• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ANGKATAN 41 KELOMPOK XII ANALISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH ANGKATAN 41 KELOMPOK XII ANALISI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH ANGKATAN 41 KELOMPOK XII:

ANALISIS KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA

NEGARA/PUSAT PEMERINTAHAN

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Kebijakan Publik Dosen: Dr. Ir. A. H. Rahadian, M.Si

Disusun Oleh:

No. Nama NPM

1. Ika Luswara MIA 1201010474 2. Olivia Aprinae MIA 1201010452

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI MANDALA INDONESIA (STIAMI) PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU ADMINISTRASI

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Dr. Ir. A. H. Rahadian, M.Si selaku Dosen mata kuliah Kebijakan Publik yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah mengenai Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Demikian kami sampaikan, terimakasih.

Jakarta, Juli 2013

(3)

Daftar Isi

Hal Kata Pengantar... i Daftar Isi ... ii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang. ... 1 1.2 Ruang Lingkup Penulisan ... 5 1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

Bab II Analisis Situasi

2.1 Masalah/Isu Politik... 7 2.2 Masalah dan Isu Faktual ... 10 2.3 Alasan diangkat sebagai isu kebijakan ... 14

Bab III Alternatif Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat

Pemerintahan

3.1 Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Tetap di Jakarta ... 17 3.2 Pusat Pemerintahan dipisahkan dari Ibukota Negara... 19 3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru

diluar jakarta ... 20

Bab IV Skenario Terpilih dan Strategi Implementasi

4.1 Skenario Terpilih... 26 4.2 Strategi Implementasi ... 26

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, dimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat. Indonesia disebut juga sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu disebut sebagai Nusantara. Dengan populasi sebesar 237 juta jiwa pada tahun 2010. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara islam. Di indonesia terdapat lima pulau yaitu pulau Sumatera, Jawa, kalimantan, Sulawesi dan Papua. Serta mempunyai masyarakat plural terbesar terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, budaya dan agama. Indonesia terdiri dari 33 provinsi yang terbentang luas di khatulistiwa, dipisahkan oleh lautan luas dan kaya akan hasil alam.

Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1964, ditetapkannyalah Jakarta sebagai ibukota negara yang di sahkan tanggal 31 Agustus 1964 oleh presiden Soekarno pada saat itu. Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Pemerintah pun mulai melaksanakan program pembangunan proyek besar, seperti membangun pemukiman masyarakat, dan mengembangkan pusat-pusat bisnis kota.

(5)

menurunnya interaksi sosial karena gaya hidup yang individualistik juga menjadi penyebab stress. Tata ruang kota yang tidak partisipatif dan tidak humanis menyisakan ruang-ruang sisa yang mengundang tindak laku kriminalitas. Penggusuran kampung miskin dan penggusuran lahan usaha informal oleh pemerintah adalah penyebab aktif kemiskinan di Jakarta.

Tata ruang kota yang sering berubah-ubah, menyebabkan polusi udara dan banjir sulit dikendalikan. Walaupun pemerintah telah menetapkan wilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air (Perda Nomor 1 Tahun 2012), namun ketentuan tersebut sering dilanggar dengan terus dibangunnya perumahan serta pusat bisnis baru. Beberapa wilayah yang diperuntukkan untuk pemukiman, banyak yang beralih fungsi menjadi tempat komersial.

Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km2, dengan penduduk

berjumlah 9.607.787 jiwa (2010) merupakan metropolitan terbesar di asia tenggara atau terbesar kedua di dunia. Dilihat dari luas wilayah dan banyaknya penduduk yang bermukim di Jakarta membuat ruang gerak menjadi sempit. Melihat hal ini seharusnya pemerintah bergerak cepat untuk mengatasi masalah yang terjadi di Jakarta sebagai ibu kota negara.

Pembangunan yang terus terjadi di Jakarta membuat seolah daerah lain seperti di anak tirikan. Hal tersebut membuktikan bahwa masih adanya pembangunan yang tidak merata disegala bidang. Misalnya daerah timur di indonesia, seperti Papua masih terbilang sangat jauh tertinggal meskipun otonomi daerah sudah diberlakukan sejak tahun 2008 (Perpu No.1 Tahun 2008 mengenai otonomi khusus).

Jakarta sejak jaman penjajahan hingga kemerdekaan terus melakukan pembangunan, akibatnya penyempitan lahan hijau semakin luas dikarenakan penggunaan lahan yang terus menerus tanpa melihat peruntukan lahan tersebut. Penumpukan masyarakat, baik dari kalangan elit hingga yang kecil membuat permasalahan semakin kompleks. Bahkan pemberitaan nasional pun terkonsentrasi hanya pada Jakarta, dikarenakan permasalahan tersebut diatas, yang tidak segara dicari

(6)

Adalah presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang pernah melontarkan ide memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Tengah. Persisnya ke kota Palangkaraya, yang dibelah oleh sungai Kahayan. Mimpi Presiden Soekarno untuk memindahkan ibukota negara itu dilontarkan pada tahun 1950-an. Saat itu, putra sang fajar tersebut sudah meramalkan bahwa Jakarta akan tumbuh tak terkendali.

Ada beberapa pertimbangan Soekarno memilih Palangkaraya sebagai ibukota negara. Pertama, Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua, menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga, pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda, dan Soekarno ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.

Satu hal lagi, seperti Jakarta yang punya Ciliwung, Palangkaraya juga punya sungai Kahayan. Soekarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan raya, seperti di negara-negara lain. Ia juga ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Di mana warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.

"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Soekarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini pada 17 Juli 1957. "Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," tambahnya.

Untuk mewujudkan ide tersebut, Soekarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari Rusia pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan ini berjalan dengan baik. Tapi seiiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat. Puncaknya pasca 1965, Soekarno dilengserkan.

(7)

menjadi ibukota RI yang megah. Hanya sebuah monumen berdiri menjadi pengingat Soekarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya. Sementara Jakarta sebagai ibukota negara, terlihat semakin tidak layak. Kota ini menyimpan segudang masalah. Mulai dari kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak terencana hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.

Pada pemerintahan Presiden RI sekarang, Opsi pemindahan ibukota dari Jakarta sudah dikaji pemerintah sejak 3 Maret 2010, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, telah menyelenggarakan sebuah Strategic Policy

Discussion bertajuk “Mengkaji Wacana Pemindahan Ibukota Negara:

Strategi Membangun Berkeadilan”.

Menurut Velix, Presiden selaku kepala negara melihat perlunya mengkaji wacana pemindahan Ibukota. Kondisi Jakarta sebagai sebuah ibu kota negara dirasakan semakin tidak nyaman. Beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta dirasakan semakin tidak optimal terutama akibat penyimpangan penataan ruang dan mempertimbangkan kemacetan lalu lintas, bencana banjir, dan kerawanan gempa. "Sehingga wacana kebijakan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta relevan

dikemukakan. (VIVAnews, Selasa 3 Agustus 2010).

Velix Wanggai yang dilahirkan di Jayapura, Papua, ini menyampaikan bahwa pemindahan Ibukota negara memerlukan komitmen politik yang kuat. Ia menegaskan bahwa pada beberapa kali kesempatan Presiden telah menyampaikan pandangan untuk mengkaji wacana pemindahan ibu kota Negara. Agar dapat berlangsung optimal, pemindahan ibukota negara harus merupakan konsensus nasional. "Political will Presiden ini perlu didukung konsensus nasional yang dikukuhkan melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat,

(8)

Perpindahan ibukota bisa saja terjadi karena berbagai hal termasuk diantaranya karena bencana dan kekalahan perang, yang mana pada jaman dahulu pernah terjadi di Indonesia akibat kondisi darurat politik (perpindahan ibukota sementara ke Jogja). Setiap terjadi bencana di Jakarta atau tanah Jawa maka selalu muncul usulan atau wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta. Tentunya usulan ini sering bersifat sepekulatif dan musiman sekedar wacana untuk obrolan.

Rekomendasi pemindahan Ibu Kota keluar Jawa justru berangkat dari keprihatinan akan daya dukung ekosistem dan bencana sosial di kota-kota besar di Jawa (seperti 1997-1998). Cadangan air bersih di Jawa saat ini hanya 20% dari kebutuhan. Tanah pertanian di Jawa tingkat kesuburannya lebih dari 3 kali lipat kesuburan lahan di luar Jawa. Perlahan tapi pasti, lahan pertanian itu terus diciutkan utk dikonversi menjadi kawasan industri, kota baru, proyek-proyek properti. Dengan model perkembangan seperti ini, kaum miskin desa sebagian besar hanya berpindah status menjadi kaum miskin kota.

Kalangan menengah bawah, yang satu atau dua level di atas kaum miskin kota, hidup dalam ketegangan dan stress yang semakin tinggi di luar ruang di kota-kota besar (Jakarta, Bandung dan sekitarnya). Hutan di Jawa pun makin menipis, sehingga menimbulkan ancaman banjir yang akan semakin mempersulit kehidupan para petani. Sebaliknya, di luar Jawa cadangan air bersih melimpah, sumber energi berlimpah. Mengapa kita tidak pindahkan sebagian kawasan industri ke luar Jawa, selain memindahkan juga ibu kota pemerintahan. Itulah alasan-alasan merekomendasikan pemindahan ibu kota ke luar Jawa.

1.2 Ruang Lingkup Penulisan

(9)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui masih layakkah Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan.

2. Mengetahui permasalahan yang muncul berkaitan dengan wacana pemindahan ibukota negara/pusat pemerintahan. 3. Mengetahui skenario-skenario apa saja yang muncul

berkaitan dengan wacana pemindahan ibukota negara/pusat pemerintahan serta apa yang harus dilakukan sebagai tindak lanjutnya.

4. Mencoba memberikan skenario terpilih dengan

menggunakan model penilaian terhadap empat kriteria penilaian kebijakan serta memberikan strategi implikasinya.

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:

(10)

BAB II

ANALISIS SITUASI

2.1 Masalah/Isu (Teoritik)

Seperti yang dikemukakan dilatar belakang, perpindahan ibukota bisa saja terjadi karena berbagai hal termasuk diantaranya karena bencana dan kekalahan perang, yang mana pada jaman dahulu pernah terjadi di Indonesia akibat kondisi darurat politik (perpindahan ibukota sementara ke Jogja). Setiap terjadi bencana di Jakarta atau tanah Jawa maka selalu muncul usulan atau wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta. Tentunya usulan ini sering bersifat spekulatif dan musiman sekedar wacana untuk obrolan.

Apakah wacana pindah ibukota ini hanya sekedar wacana yang setiap banjir akan terulang seperti ini? Kemudian akan muncul pertanyaan, sesungguhnya apa esensi krusial dari wacana pemindahan ibu kota? Jika ibu kota akan dipindah, tentu akan ada efek bagi daerah yang didatangi dan daerah yang ditinggalkan.Wacana pemindahan ibu kota ini bukan merupakan isu yang baru muncul.

Namun yang menjadikannya ramai diperbincangkan adalah bahwa wacana pemindahan Ibukota ini adalah suatu isu yang penting dan besar, namun pemerintah tidak secara serius menyikapinya. Bahkan sampai saat ini belum ada pusat kajian yang cukup komprehensif dan punya concern

pada isu tersebut. Terlebih lagi instansi yang menghasilkan kajian yang dapat menjadi masukan dalam policy making. Dan jika dikaji lagi, siapa yang bertanggungjawab terhadap wacana pemidahan ibukota? Ini adalah contoh isu “yang dalam pandangan pembicara bukan autopilot” namun

fragmented.

2.2 Masalah dan Isu Faktual

(11)

Pembangunan Nasional). Bappenas seharusnya merupakan lembaga yang mampu merespon isu-isu pembangunan yang muncul pada level nasional, termasuk tentang isu pemindahan ibukota. Institusi Bappenas saat ini tengah mengalami degradasi perannya, terutama setelah kekuatan “main budgeting”nya diambil alih oleh Menteri Keuangan. Jika

pada masa sebelumnya para “local government” memastikan anggaran

yang diterima daerahnya ke Bappenas, sekarang mereka memastikannya di DPR dan Kementrian Keuangan.

Fungsi budgeting Bappenas ini telah dikurangi. Tidak masalah jika

Bappenas tidak punya kekuatan dalam penentuan alokasi anggaran, akan tetapi tetap peran strategis Bappenas sebagai institusi perencana pembangunan harus tetap berjalan sebagaimana fungsi lembaga tersebut.

Sejak muncul wacana pemindahan IbuKota , tidak ada satupun pemikiran progresif yang dilontarkan oleh Bappenas, ataupun Kementrian Pekerjaan Umum sebagai respon terhadap wacana yang muncul ini.

Kementrian Pekerjaan Umum sebenarnya merupakan sekedar

lembaga public executing saja, lembaga yang mengeksekusi terhadap

perencanaan kebijakan yang telah dirumuskan. Sementara

perencanaannya seharusnya berada di tangan Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) yang juga berkewajiban menyiapkan RPJP dan RPJM. Sehingga perencanaan tersebut dapat terintegrasi. Hal tersebut juga tentunya akan menentukan apakah persoalan pemindahan Ibukota ini akan tertuang dalam RPJP dan RPJM.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapakah lembaga “strategic national think thank” di Indonesia yang bertanggungjawab untuk

merespon wacana seperti ini. Isu-isu yang meletup dan telah berjalan dalam kurun waktu yang panjang, namun tidak disikapi secara serius ataupun segera diputuskan oleh para pengambil kebijakan.

(12)

kewenangan, di Bappenas terdapat Deputi Regional yang salah satu kewenangannya dalam menangani isu tersebut.

Kedua, isu tersebut dapat dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu dari aspek teknis physical dan dari aspek non teknis (aspek social, ekonomi dan budaya). Analisis pertama wacana pemindahan Ibukota dapat dilihat dari aspek tekhnis. Dari aspek tekhnis wacana pemindahan Ibu kota memiliki logika sebagai berikut :

Dalam mengembangkan atau menata kota, secara teknis dapat menggunakan sebuah konsep dalam studi lingkungan yang disebut dengan carrying capacity (daya dukung atau daya tampung). Ilustrasinya adalah sebagai berikut. Suatu area atau wilayah pasti memiliki daya tampung atau daya dukung yang mampu menampung beban tertentu.

Beban yang dimaksudkan disini adalah jumlah manusia beserta segala

aktivitasnya. Oleh karenanya terdapat konsep carryingcapacity.

Secara garis besar konsep carrying capacity ingin mengatakan bahwa jika kita akan menata kota atau mengembangkan kota, beban yang kita berikan tidak boleh melebihi daya dukung atau daya tampung. Kalau kita memberikan beban berlebih, maka kota itu akan mengalami degradasi dan diikuti dengan berbagai eksesnya, seperti misalnya ekses pencemaran. Hal tersebut dilihat dari aspek capacity. Menata kota atau mengembangkan kota itu, seperti memastikan antara kapasitas (daya tampung dan daya dukung) dengan beban kota tersebut.

Apabila satu lahan kota dengan kapasitas daya dukungnya besar, akan tetapi hanya diisi dengan beban yang kecil, maka penggunaannya akan mubadzir dan tidak efisien. Termasuk dalam konteks Pulau Jawa yang memiliki lahan terbatas, namun bebannya sangat besar.

(13)

Persoalannya adalah daya dukung itu relatif kecil. Daya dukung juga akan tergantung pada kecanggihan teknologi. Dalam skala kecil ilustrasi daya dukung manusia ini adalah sebagai berikut : Dalam kondisi tanah yang alami (tanpa rekayasa teknologi) jika struktur tanah, struktur soil dan airnya bagus, maka kita dapat membangun gedung pencakar langit karena struktur tanah dan daya dukungnya bagus. Akan tetapi jika kita berada di lahan gambut, maka kita tidak mampu membangun bangunan pencakar langit, karena struktur tanahnya labil dan sebagainya. Akan tetapi karena manusia memiliki ilmu dan teknologi, maka ia bisa merekayasa dan memberikan input teknologi supaya lahan alami yang “misalnya gambut” , kemudian direkayasa supaya bisa tetap dibangun pencakar langit.

Jadi masalah yang dihadapi ketika kita menghitung daya dukung itu adalah sangat tergantung seberapa jauh kita bisa memasukkan teknologi. Dan fungsi teknologi ini juga bergantung pada financial. Semakin canggih teknologinya, semakin mahal biayanya.

Perbincangan tentang kedua aspek ini akan berpengaruh pada isu apakah Jakarta perlu dipindah atau tidak. Apabila ada orang yang mengatakan “Pindah Jakarta”, yang salah satu alasannya karena banjir, maka hal tersebut sesungguhnya adalah salah satu contoh atau ilustrasi bahwa beban kota melebihi kapasitasnya.

Beban disini bisa jadi jumlah penduduknya yang terlalu banyak dan jumlah bangunannya terlalu banyak pula. Fakta bahwa kemudian Jakarta ini menjadi tidak layak, sebenarnya adalah hal yang wajar. Di masa lalu, sebagian besar wilayah Jakarta adalah rawa-rawa yang sebenarnya tidak tepat untuk dijadikan pemukiman. Seperi Rawa Mangun, Rawa Angke, Rawa Gede. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa beberapa wilayah Jakarta sebenarnya secara alami tidak tepat dijadikan wilayah pemukiman atau pusat kota.

(14)

pula pada negeri Belanda yang juga tiga perempat lahannya sebelumnya berada di bawah permukaan air laut.

Pengetahuan dan teknologi tersebut membuat mereka mampu merekayasa Batavia yang awalnya rawa-rawa itu menjadi satu kota yang besar. Ini adalah salah satu contoh bahwa kapasitas teknologi dapat diintervensikan pada situasi alam yang sebenarnya, pada awalnya, tidak pas untuk dijadikan wilayah pemukiman. Hal ini beimplikasi pada tata ruang yang dibangun kemudian. Jika orang-orang mengatakan bahwa Jakarta itu telah melebihi beban, contohnya saat ini adalah banjir, maksudnya adalah kapasitas drainase yang ada tidak mampu menampung jumlah air/beban air dengan segala limbah kegiatan manusia yang ada.

Ketika Jakarta macet dan kemudian diproyeksikan bahwa

“beberapa tahun lagi, jika semua mobil yang ada di Jakarta dikeluarkan

dari garasinya, mereka sudah tidak bisa bergerak karena tatanan mobil tersebut telah memenuhi jalan” juga merupakan sebuah contoh bahwa daya tampung jalan raya itu sudah tidak mampu menampung ataupun menggerakkan jumlah mobil. Karena jika dihitung secara kasar, luas jalan hampir sama dengan luas mobil jika dijajarkan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa beban yang ada telah jauh melebihi daya tampung. Jika situasinya adalah beban nya melebihi daya tampungnya, ada dua kemungkinan. Jika daya dukungnya tidak dapat diperbaiki dengan teknologi, maka beban tersebut yang harus dipindah.

Itulah yang menjadi basis argument ide pemindahan Ibukota Jakarta. Asumsinya adalah intervensi teknologi untuk meningkatkan kapasitas Jakarta dianggapt sudah tidak memungkinkan lagi. Sehingga Ibukotanya harus dipindah sebagai upaya mengurangi beban.

(15)

merupakan salah satu contoh dan ilustrasi bahwa memang bisa, beban Ibukota dalam bentuk orang ataupun kegiatan ini dipindahkan.

Dan ini merupakan basis argument dari ide dibalik wacana pemindahan Ibukota. Namun ada pula yang mengatakan, pemindahan Ibukota itu juga mahal. Apakah Jakarta tidak bisa ditingkatkan daya dukungnya supaya beban yang besar itu tidak perlu dipindah. Toh peristiwa seperti banjir itu pernah terjadi sebelumnya. Jika alasannya sekedar banjir saja, kanal banjir timur difungsikan, dibuat sudetan, dibuat terowongan dengan intervensi teknologi, maka banjir dapat diatasi dan ibukota tak perlu dipindahkan.

Tentang persoalan kemacetan dan daya tampung jalan misalnya, jika jumlah kendaraan yang ada sangat besar dibandingkan luas jalan, maka bisa direkayasa kegiatannya seperti pembatasan kepemilikan kendaraan atau system pembatasan operasi berbasiskan pada plat kendaraan (ganjil genap).

Apalagi jika kualitas dan kuantitas jalannya ditingkatkan dan revitalisasi penggunaan moda transportasi public. Pandangan yang

menolak “Pemindahan Jakarta” ini berasumsi bahwa intervensi teknologi

disertai dengan pembiayaan ini masih bisa dilakukan untuk meningkatkan daya dukung. Namun sampai sekarang tidak ada yang menghitung jika pada engineer dari Belanda, tentu jawabannya adalah terdapat banyak teknologi yang dapat diterapkan untuk mengatasi banjir Jakarta. Jika diberikan kekuasaan dan uang, para teknisi ini mampu mengatasi

persoalan teknis seperti banjir di Jakarta. Dari pandangan tersebut maka

Ibukota tak perlu dipindah.

(16)

nampaknya menjadi jauh lebih penting dan krusial dibanding dari sisi teknik. Selama ini Jakarta merupakan symbol dari pemusatan kekuasaan yang luar biasa. Terkait dengan otonomi pun sering dikatakan bahwa kepalanya sudah dilepas, tapi ekornya masih dipegang. Berapa jumlah perputaran uang yang ada di Jakarta pasca otonomi daerah perlu ditelusur lagi. Karena kita tahu bahwa kegiatan ekonomi ini pun merupakan kolaborasi antara penguasa dan pemodal.

Penyimpangan ini sangat dimungkinkan karena Jakarta menjadi titik berkumpulnya kekuatan politik dan capital. Semua usaha besar kantor pusatnya di Jakarta, dan pengambilan kebijakan pusat juga berpusat di Jakarta. Penyimpangan antara penguasa dan pengusaha ini difasilitasi di Ibukota Negara Jakarta. Maka kemudian terlihat jelas bahwa persoalan pemindahan Ibukota Jakarta bukan sekedar masalah teknis, bahkan lebih dominan masalah geopolitik.

Mungkin wacana pemindahan Ibukota ini baik untuk memecah atau mendobrak penyimpangan dan kolaborasi antara penguasa dan

pengusaha yang sekarang difasilitasi dalam kamar yang disebut “Ibukota

Jakarta”.

Untuk mengatasi hal tersebut salah satu caranya adalah dengan memisahkan Ibukota yang murni menjadi pusat pemerintahan dan pengambilan keputusan, dengan Jakarta yang menjadi pusat kegiatan bisnis dan usaha.

Secara teknis tidak penting, dan kedua duanya mungkin terjadi. Justru yang menjadi pembahasan menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah selama ini Jakarta menjadi kamar perselingkuhan yang begitu nyaman antara penguasa dan pengusaha. Jika benar dugaan bahwa Jakarta ini menjadi kamar perselingkuhan antara politisi (penguasa) dengan pengusaha, apakah benar jika memindahkan Ibukota adalah upaya

menceraikan perselingkuhan antara politisi (penguasa) dengan

(17)

hitungan biaya dan manfaatnya diketahui, baru dapat kita simpulkan :

Lebih baik benahi Jakarta atau Pindah Ibukota?

2.3 Alasan diangkat sebagai isu kebijakan

Peran sebagai pusat pemerintahan, perekonomian dan bisnis menjadi beban Jakarta sebagai ibukota negara. Situasi Jakarta saat ini yang terlalu ramai dan semrawut menyebabkan wacana pemindahan ibukota negara kembali mencuat ke publik. Wacana pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke wilayah lainnya bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka pada awal tahun 1920-an, Belanda sudah merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke kota Bandung. Beberapa wilayah yang sejak dulu dijadikan alternatif sebagai calon ibukota negara, seperti Palangkaraya, Jonggol, Purwokerto, Lampung, Karawang, dan Palembang.

Sejarah mencatat, sejak era Presiden Ir. Soekarno, Indonesia pernah memindahkan ibukotanya beberapa kali antara tahun 1945-1950, karena Belanda berhasil mengambil alih Jakarta. Jatuhnya ibukota membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan utusannya dan menawarkan kota Yogyakarta menjadi ibukota negara. Saran ini disetujui Presiden Soekarno Tepatnya pada tanggal 4 Januari 1946, ibukota Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Istana Negara pun pindah ke Gedung Agung, berseberangan dengan Benteng Vedeburg. Namun, saat terjadinya Agresi Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bahkan para pimpinan Negara juga ditangkap.

Dalam keadaan seperti ini, dibentuklah Pemerintahan Darurat

Republik Indonesia dan ibukota kembali dipindahkan untuk

(18)

Sekitar tahun 1957, Presiden Soekarno juga pernah berencana menjadikan Palangkaraya sebagai calon ibukota masa depan Indonesia dengan memisahkan antara urusan Pengendalian Pemerintahan dan kenegaraan. Usaha Soekarno saat itu kandas, selain karena faktor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu juga sedang dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games dan ajang olahraga tandingan Olimpiade, Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Demikian pula, era Presiden HM. Soeharto. Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pernah diwacanakan sebagai lokasi alternatif ibukota. Ratusan hektar lahan di kawasan ini pernah dibebaskan oleh sejumlah pengembang. Namun entah kenapa rencana itu terhenti, ribuan hektar tanah yang bakal dibebaskan itu kini menjadi hutan ilalang.

Di era Presiden Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie, KH.

Abdurrahman Wahid, dan Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, ide itu sama sekali tidak pernah muncul.

Kemudian pada era Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono. Sejak 2009 lalu, Presiden SBY terbuka dan tidak tabu untuk berdiskusi atas

wacana perpindahan ibukota negara. Bahkan SBY telah mengajukan

tiga skenario perpindahan ibukota yang perlu didiskusikan oleh publik.

Skenario pertama adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibukota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan. Pilihan atas opsi ini berkonsekuensi pada pembenahan total atas soal macet.

Skenario kedua, membangun ibukota yang benar-benar baru (totally new capital). Dan skenario ketiga adalah ibukota tetap di Jakarta, tapi memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain. Presiden SBY mengajak semua komponen bangsa untuk membahas secara terbuka, matang, dan komprehensif atas wacana ini. Karena itu, kebijakan perpindahan ibukota dan pergeseran pusat pemerintahan harus menjangkau strategi jangka panjang bangsa.

(19)
(20)

BAB III

ALTERNATIF KEBIJAKAN

PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA/PUSAT PEMERINTAHAN

Kemacetan dan banjir yang kian lama kian bertambah parah terjadi di Ibukota Jakarta menjadikan wacana pemindahan ibukota ke kota lain menghangat kembali. Meskipun demikian, tak sedikit pula warga yang berpendapat sebaliknya. Berbagai permasalahan maupun segala kelebihan yang ada di Jakarta membuat pro dan kontra pemindahan ibukota menjadi topik menarik untuk ditelisik. Ada tiga skenario yang bisa dipilih. Pertama, ibukota tetap di Jakarta tetapi dibenahi secara total. Kedua, ibukota tetap di Jakarta tetapi pusat pemerintahan pindah ke lokasi lain. Ketiga, dibangunnya ibukota yang sama sekali baru.

3.1 Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Tetap di Jakarta

Skenario pertama ini merupakan skenario yang paling realistis, dimana ibukota negara dan pusat pemerintahan tetap di Jakarta, namun dengan pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Kebijakan ini juga harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.

(21)

justru juga merupakan negara dengan tutupan hutan paling besar persentasenya.

Pemindahan ibukota dan pusat pemerintahan perlu kajian yang matang dan mendalam karena menyangkut berbagai aspek, bukan sekedar membangun gedung-gedung semata. Biayanya sangat mahal dan implikasinya luas. Ibukota yang baru harus memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban sebagai ibukota, bukan hanya daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya. Selain itu, jangan dilupakan pula potensi konflik antara warga asli yang akan menjadi minoritas dengan warga pendatang.

Sebagai contoh, pemindahan ibu kota baru Myanmar, Nay Pyi Taw, yang artinya Kota Raja, yang dilaksanakan pada tahun 2005, menurut sumber dari media luar negeri, terkesan tergesa-gesa karena infrastruktur seperti listrik, jalan, dan air bersih di ibukota yang baru belum rampung. Keadaan sebenarnya kini tidak bisa dipastikan karena kontrol media yang ketat dari pemerintahnya. Contoh lainnya adalah Brasilia, ibukota negara Brasil. Tahun 1960, Presiden Juscelino Kubitschek, memindahkan ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Dari masa awal saja, pemerintah sudah susah payah untuk memindahkan fungsi-fungsi pemerintahan. Bahkan, hingga 20 tahun sesudah perpindahan itu, pemerintah masih harus memberi insentif agar orang-orang mau pindah ke ibukota baru.

(22)

merupakan obat mujarab terhadap permasalahan yang dihadapi ibukota saat ini.

3.2 Pusat Pemerintahan Dipisahkan dari Ibukota Negara

Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini ditawarkan agar pusat pemerintahan dipisahkan dari ibukota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibukota negara karena faktor historis, namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru.

Pemindahan ibukota negara ke luar Jakarta membutuhkan kajian dan butuh proses panjang. Selain cukup rumit dan sulit, Jakarta sudah terlanjur memiliki berbagai fasilitas infrastruktur yang hampir memadai untuk pusat kegiatan pemerintahan. Yang paling mungkin dan realistis untuk dilaksanakan adalah dengan memindahkan sebagian fungsi ibukota, seperti kasus Belanda yang walaupun ibukotanya tetap di Amsterdam, namun pemerintahan kerajaan dan sebagian fungsi pemerintahannya ada di Den Haag. Kasus serupa bisa disaksikan pula di negeri jiran Malaysia yang pusat pemerintahannya sebagian besar ada di Putrajaya.

Dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal berbagai opsi lokasi dari pusat pemerintahan baru ini. Faktor jarak antara Jakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya perlu dipertimbangkan.

(23)

Selain membenahi sistem transportasi Jakarta yang terintegrasi, dari dan ke kota satelit perlu dibangun juga infrastruktur jalan penghubung yang memadai seperti sistem jalan lingkar dan radial. Jaringan penghubung (lingkar, radial) saat ini sudah disiapkan pemerintah, sehingga akan memudahkan pemindahan pusat pemerintahan. Adanya jalan penghubung ini, memiliki fungsi peran strategis yang mampu mengurangi beban ibukota negara yang kini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa. Dengan demikian diharapkan kawasan Jabodetabekjur bisa cepat berkembang menjadi kawasan hunian yang aman, nyaman dan produktif. Pada akhirnya tekanan kepada Jakarta sebagai Ibukota Negara akan jauh berkurang.

3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru di Luar Jakarta

Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk. Sebagai

pusat pemerintahan, perdagangan, perindustrian, dan pariwisata,

mengakibatkan tata ruangnya menjadi semrawut serta banyak terjadi pemanfaatan lahan yang saling kontradiktif. Pembangunan fisik terus dipacu tanpa arah yang jelas. Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang sedemikian bagus disusun Bang Ali, (1966-1977), dengan mudahnya dapat berubah sehingga banyak peruntukan kota yang dilanggar. Banyak situ-situ yang berfungsi sebagai penampung air hilang menjadi perumahan. Program proyek kali bersih (prokasih) macet total. Tiga belas kali/sungai yang membelah kota ini tetap menjadi kubangan sampah. Kemacetan lalu lintas setiap saat, dan banjir yang setiap tahun terjadi menunjukkan bahwa tata

ruang kurang memperhatikan karakteristik lahan serta kurang

mengakomodasikan kepentingan masyarakat.

(24)

memerlukan biaya yang tinggi dan waktu lama menjadi rusak, bahkan hilang dalam waktu singkat. Sanitasi lingkungan menjadi lebih buruk akibat banjir, sehingga banyak penyakit yang mewabah; ledakan demam berdarah di Jakarta merupakan bukti bahwa sanitasi lingkungan kurang memadai. Momentum banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2007 tersebut menimbulkan pemikiran atau gagasan untuk memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan dari Jakarta. Jakarta dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota negara.

Secara kewilayahan Jakarta sudah amat padat penduduk dan sarat dengan fasilitas, sedang di luar Jakarta, baik di Jawa maupun luar Jawa masih tersedia wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan.

Skenario ketiga ini merupakan skenario ideal yang bersifat radikal. Dalam skenario ini, negara membangun ibukota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibukota baru. Guna memutuskan pilihan yang ideal, perlu keterlibatan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah.

Ada tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu: pertimbangan politik, pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik. Pertimbangan politik seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan ibukota. Pertimbangan ini berguna untuk meningkatkan persatuan nasional, membangun simbol kebangkitan negara dan merepresentasikan lebih baik

keragaman suku bangsa. Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi

(25)
(26)

BAB IV

SKENARIO TERPILIH DAN STRATEGI IMPLEMENTASI

Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai pihak sejak beberapa tahun lalu. Bahkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007 mulai banyak dibahas wacana pemindahan ibukota negara menyusul banjir besar yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota negara.

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai membicarakan wacana pemindahan ibukota -negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009. Menurut SBY, beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat.

Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai aspek dan tidak hanya melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan pemindahan ibukota negara, tetapi juga dilihat sebagai upaya strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara merata. (Kompas, 5 Agustus 2010).

Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, ada tiga skenario dalam pemindahan ibukota negara, yakni :(1) tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan; (2) memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru; (3) memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Jakarta.

(27)

Technical feasibility: Efektivitas; pencapaian tujuan; apakah skenario tersebut mencapai hasil (akibat) yang diharapkan; atau mencapai tujuan dari diadakan tindakan.

Economic and financial feability: Efisiensi (biaya dan hasil); berkenaan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu yang umumnya diukur dengan biaya.

Political viability: Apakah alternatif kebijakan diterima oleh aktor kebijakan dan kelompok sasaran; apakah kebijakan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat; apakah kebijakan akan memenuhi kebutuhan masyarakat; apakah kebijakan didukung oleh perangkat hukum yang memadai; apakah efek dan dampak kebijakan sama dan seimbang antar kelompok masyarakat.

Administrative operability: Dapat diimplementasikan pada konteks sosial, politik, dan administrasi yang berlaku; apakah tersedia staf yang cukup; apakah instansi terkait akan mendukung implementasi kebijakan program; apakah tersedia sarana untuk melaksanakan kebijakan program; dan apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat waktu.

Penjabaran penilaian kebijakan untuk masing-masing skenario sebagai berikut:

(1) Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara.

Technical feasibility: Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota negara dapat tercapai setelah dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah.

Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang lebih kecil karena tidak memindahkan ibukota. Biaya hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta.  Political viability: Berbagai permasalahan maupun segala kelebihan

(28)

Administrative operability: Jakarta sudah memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan, dan juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya.

(2) Memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru.

Technical feasibility: Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota negara dapat tercapai jika sistem

transportasi Jakarta dengan pembangunan Mass Rapid

Transportation (MRT), seperti monorel, subway, dan busway yang terintegrasi sudah memadai dan jaringan penghubung (lingkar, radial) sudah disiapkan pemerintah.

Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membangun pusat pemerintahan baru, seperti kantor presiden, departemen, dan infrastuktur penunjang yang lainnya. Selain itu juga harus dibangun pemukiman masyarakat.

Political viability: Tetap ada kelompok yang pro dan kontra, terutama pada opsi penentuan calon lokasi pusat pemerintahan.

Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu yang baru.

(3) Memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Jakarta.

Technical feasibility: Tujuan mendapatkan ibukota negara yang layak dapat tercapai jika ibukota yang baru memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban sebagai ibukota, selain itu juga harus

mempunyai daya dukung terhadap roda pemerintahan,

perekonomian, sosial, serta budaya.

Economic and financial feability: Biayanya sangat mahal untuk membuat ibukota negara yang baru dan juga untuk membangun infrastruktur perkantoran milik pemerintah dan BUMN.

(29)

Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu yang baru.

4.1 Skenario Terpilih

Berdasarkan model penilaian diatas, Penulis memutuskan untuk memilih skenario yang pertama, yaitu: “Tetap mempertahankan Jakarta

sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan”. Hal ini didukung dari poin

yang diperoleh pada kriteria technical feasibility, economic and financial feability, serta administrative operability. Artinya, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, dan mungkin untuk membangun “gula-gula ekonomi baru” di luar Jakarta sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang. Sementara pada konteks administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya. Potensi konflik yang terjadi kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah warga yang multi etnis.

4.2 Strategi Implementasi

 Harus didukung dengan kebijakan untuk menata, membenahi, dan

memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah.

 Melakukan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah

untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.

 Menyiapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yaitu 30 % dari luas

(30)
(31)

BAB V PENUTUP

Keputusan untuk memindahkan ibukota adalah suatu keputusan besar dan memakan biaya yang sangat mahal. Pengalaman dari beberapa negara misalnya Brasil, menunjukkan bahwa pemindahan ibukota memakan proses yang sangat panjang.

Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai suatu proses penting sebelum menentukan keputusan besar untuk memindahkan ibukota keluar Jakarta atau tetap menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara.

Pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh pertimbangan kondisi ibukota lama yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga menjadi faktor penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara.

Indonesia perlu dengan sangat seksama membahas wacana pemindahan ibukota negara ini. Studi yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak di pusat maupun di daerah diperlukan untuk menentukan pilihan terbaik dari ketiga skenario pemindahan ibukota negara. Setelah pilihan tersebut ditetapkan, akan diperlukan pula suatu perencanaan yang komprehensif agar implementasi pilihan tersebut berjalan dengan sebaik-baiknya. Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek publik terbesar dan terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Skenario yang dipilih Penulis adalah “Tetap mempertahankan Jakarta

sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan”. Dengan alasan, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai

(32)

di luar Jakarta sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang.

Sementara pada konteks administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya

(33)

Daftar Pustaka

 Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional

Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka

 Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965).

Yogyakarta: LKIS

 Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:

Bhratara

 Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta.

Baiquni, M.2004. Membangun Pusat -pusat di Pinggiran. Ideas. Yogyakarta. Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan

.

 Anonim, 2007. Masih Layakkah Jakarta Jadi Ibu Kota?. Jawa Pos, 6 Februari

2007-04-06 Anonim, 2002. Benang Kusut Ibu Kota Jakarta. Sinar Harapan 6 Juni2002.

 Anonim, 2002. Banjir Jakarta Sulit Diatasi. Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Buay

Admin yang telah melakukan proses login dapat langsung menuju proses tambah template, hapus template atau ubah template Pada proses tambah template (proses 3.1.1) aliran

Aisyah Fatin, L100080074, Analisis Resepsi Penonton Perempuan Yang Sudah Menikah Terhadap Kekerasan Pada Perempuan Di Film Die Fremde (When We Leave), Skripsi, Program

[r]

Berdasarkan hal tersebut untuk membantu penentuan dalam menetapkan seorang siswa memperoleh beasiswa, maka dibutuhkan sebuah sistem pendukung keputusan dengan

Berbekal dengan peringkat webometrics bulan Januari 2011, paper ini bertujuan membuat model simulasi untuk menentukan lama waktu dan jumlah biaya yang diperlukan oleh Institusi

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Penerima Bantuan Program Pendidikan

KUBE adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang telah dibina melalui proses kegiatan Program