• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar Sabar Menggapai Kebahagiaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Belajar Sabar Menggapai Kebahagiaan"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

Editor :

www.ashabul-muslimin.tk

Sumber Bahan Tulisan :

[PERPUSTAKAAN ASHABUL MUSLIMIN ONLINE

DISELENGGARAKAN ATAS KERJASAMA MAJELIS ASHABUL MUSLIMIN DAN YAYASAN BINAAUL UMMAH AL-ISLAMIYAH

TAMBUN BEKASI]

PERPUSTAKAAN

(2)

UKADIMAH / PENDAHULUAN

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Alhamdulillah, Segala Puji hanya milik Allah SWT dan semoga limpahan rahmat-Nya, Shalawat serta Salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung dan Rasul terakhir, Nabi Muhammad SAW berserta

keluarganya, kerabatnya, sahabatnya serta pengikutnya hingga akhir zaman, amiien

Dalam suatu hadits Rasulullah saw pernah bersabda ;

“ Menuntut ilmu (khususnya ilmu agama) wajib atas tiap muslim (baik

muslimin maupun muslimah). (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu hokum menuntut ilmu agama adalah fardhu ―ain. Karena

(3)

mempersulit diri kita sendiri jika semua itu tidak diarahkan dengan ilmu agama. Oleh karena itu ilmu adalah termasuk faktor utama kebahagiaan dunia dan akhirat.

Keutamaan menuntut dan mengajarkan ilmu agama itu sangat besar bahkan lebih utama daripada ibadah sholat sunnah seribu roka‖at. Dalam suatu hadits Rasulullah saw menasehati Abu Dzar ra.

“Wahai Aba Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah lebih baik

bagimu daripada shalat (sunnah) seratus rakaat, dan pergi mengajarkan satu

bab ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik daripada

shalat seribu raka'at.” (HR. Ibnu Majah)

Oleh karena besarnya manfaat dan pahala menuntut ilmu maka tidak boleh kita menyia-nyiakan waktu kita untuk hal-hal yang tidak berguna, karena kita sadari kehidupan dunia ini singkat sekali. Jika kita merasa masih muda kemudian menunda waktu kita untuk mencari ilmu maka seperti nasehat ulama “barangsiapa tidak merasakan pahitnya mencari ilmu dimasa muda maka dia akan merasakan pahitnya kebodohan dan kesulitan hidup dimasa

tua”.

Berangkat dari sini marilah kita bersama-sama membangun islam ini

dengan semarak belajar dan mengajar ilmu agama penerang kehidupan ini. Khususnya kami menghimbau kepada generasi muda khususnya dan

kepada kaum muslimin umumnya, dengan ini marilah kita mulai

(4)

Karena kita sadari terpuruknya umat islam hari ini adalah karena jauhnya generasi muda dari al-Qur‖an dan majelis ilmu agama. Kebodohan umat islam hari ini adalah karena kemalasan generasi muda yang enggan untuk belajar dan kebanyakan mereka lebih memilih hura-hura yang tidak berguna. Padahal jika kita mau menengok beberapa abad yang lalu pada saat umat islam ini masih jaya faktor terbesarnya tidak lain adalah karena kaum muda saat itu adalah bersemangat dan menyemarakan kegiatan mengaji dan belajar ilmu agama. Jika kita mau menengok sejarah

imam-imam ahli hadits seperti Imam Malik, Imam Syafi‖I, Imam Bukhordi,

Imam Muslim, Imam Hanafi dan lainnya, ternyata kebanyakan mereka telah hafal al-Qur‖an diusia anak-anak dan telah menjadi seorang ahli penulis kitab hadits ketika berusia masih muda.

Salah jika kita beranggapan bahwa mereka menjadi ahli hadits ketika usia sudah tua, justru ketika dari kecil hingga dewasa mereka menggadaikan seluruh waktu hidupnya untuk berjihad dijalan Allah dengan menuntut dan menyebarkan ilmu-ilmu agama. Merekalah panutan generasi muda yang sebenarnya. Bukan para artis penghibur dan bintang sinetron yang jadi idolanya. Karena salah idola akan menjadikan salah berpikir kemudian salah juga dalam perbuatan. Maka generasi muslim adalah generasi yang

mempunyai idola / teladan yang baik.

Ilmu sangat berbeda dengan harta. Ilmu akan menjaga hidup kita,

(5)

disebarkan akan berkembang semakin banyak sedangkan harta bila diberikan akan habis juga. Selain itu keutamaan ilmu adalah merupakan amal yang tidak akan terputus hingga kiamat tiba meskipun pemiliknya telah meninggal namun pahalanya akan terus mengallir. Dalam hadits Sahih riwayat Imam Muslim Nabi Muhammad SAW bersabda

“Jika manusia telah meninggal maka putuslah amalnya kecuali tiga macam

:

- Sedekah jariyah (yang tahan lama).

- Ilmu yang bermanfaat (yang diajarkan dan disebarluaskan).

- Anak shaleh (berakhlak baik) yang mendo'akan kedua orang tuanya.

(HR. Muslim)

Poin pertama adalah sedekah jariyah semacam wakaf tanah untuk

(6)

disebar luaskan adalah investasi akhirat yang bisa dilakukan siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Berangkat dari hal itu maka kami hanya mampu berupaya kecil-kecilan untuk menyemarakan dakwah islam dengan cara membuat e-book islam yang sederhana ini supaya dikaji, diamalkan dan disebar luaskan oleh kaum muslimin dimanapun kita berada. Jaman sekarang ini harga kertas cetak semakin naik otomatis harga buku semakin mahal selain itu penyebaran ilmu lewat buku cetak relative lebih sempit dan mengingat butuh biaya yang besar sekali untuk menyebarkannya belum lagi tranportnya. Jika kita mau menghitung secara gamblang misalnya harga 1 buku sebesar Rp. 35.000 kemudian akan dibagikan kepada 1.000 orang. Bayangkan baru 1000 buku sudah memakan biaya 35.000X1000 = Rp. 35.000.000,- belum ditambah biaya transportasi dan operasionalnya. Tentu saja bagi kita yang tidak mampu soal biaya tidak akan mampu untuk melakukan amal jariyah ini.

(7)

kalangan umat islam dan seluruh dunia umumnya bisa mengkaji ilmu agama yang merupakan jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, amiien

Berikut ini adalah e-book yang bertemakan “sabar”. Keseleruhan artikel ini adalah saya ambil dari website www.muslim.or.id dan sebagian dari www.almanhaj.or.id . E-book ini semata-mata dibuat hanya untuk kemaslahatan umat islam, tidak dibenarkan dikomersilkan atau untuk mengambil profit. Oleh karena itu e-book ini hanya boleh disebarkan dan dibagikan kepada siapapun dengan catatan tidak untuk komersil kecuali mendapat perijinan daripada pemilik website diatas.

Sekian sekelumit pendahuluan kata dari kami, kurang lebihnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Wallahu‖alam

Wassalamu‖alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Bekasi, Oktober 2012

Penyusun

(8)

PELAJARAN PERTAMA MENGENAL HAKIKAT SABAR

Pengertian Sabar

Sabar adalah menahan jiwa dari mendongkol, menahan lisan dari berkeluh kesah dan marah serta menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti menampar-nampar pipi atau merobek-robek kerah baju (Al Jadid fi Syarhi Kitab At Tauhid, hlm. 314).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ―Utsaimin rahimahullahberkata, “Sabar

adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari

perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh

Tsalatsatul Ushul, hal. 24) Macam-Macam Sabar

Sabar ada tiga macam; (1) Sabar dalam ketaatan, (2) Sabar dalam menahan diri dari melakukan kemaksiatan dan (3) Sabar dalam menghadapi takdir Alloh yang terasa menyakitkan.

Di antara ketiga macam sabar ini, sabar dalam ketaatan adalah macam sabar yang tertinggi. Namun adakalanya bersabar dalam menahan diri dari

(9)

laki-laki berupa godaan wanita cantik yang mengajaknya untuk berzina di tempat sunyi yang tidak diketahui siapapun selain Alloh, sementara laki-laki ini masih muda dan memendam syahwat dalam dirinya. Maka bersabar agar tidak terjatuh dalam maksiat seperti ini menjadi lebih sulit bagi

jiwanya. Bisa jadi mengerjakan sholat seratus rokaat itu lebih ringan

baginya daripada harus menghadapi beratnya ujian semacam ini. (Al Qoulul

Mufid, Syaikh Al Utsaimin)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ―Utsaimin rahimahullahberkata, “Sabar

itu terbagi menjadi tiga macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah

2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah 3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya,

berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar adalah kunci pertolongan dari Allah SWT

Di dalam Taisir Lathifil MannaanSyaikh As Sa‖di rahimahullah

(10)

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta‖ala, “Dan mintalah

pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta‖ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.”

(QS. Ar Ra‖d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan

kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.”

(QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta‖ala, “Dan Kami menjadikan di antara

mereka (Bani Isra‖il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan

titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.”

(QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375) Sabar adalah Kebahagiaan Hakiki

(11)

Qayyim rahimahullahmengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada

lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa‖id, hal. 95)

Alloh Ta‖ala berfirman, “Alloh mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imron: 146). Ujian demi ujian hendaknya justeru menempa kepribadian kita agar menjadi hamba yang semakin dicintai oleh Alloh Ta‖ala, yang bersyukur bila mendapat nikmat, bertaubat bila berdosa dan bersabar dalam ketaatan, dalam menghindari maksiat dan tatkala menghadapi musibah.

Keutamaan Menuntut Ilmu dengan Sabar

Syaikh Nu‖man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus

dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan

memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan,

“Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”,

(12)

menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang

mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

Keutamaan mengamalkan ilmu dengan kesabaran

Syaikh Nu‖man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan

ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari‖at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida‖ wal ahwaa‖ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang

berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)

Keutamaan Dakwah Dengan Kesabaran

Syaikh Nu‖man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah

(13)

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da‖i pengajak

kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela

bid‖ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan

berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia

telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid‖ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ―Utsaimin rahimahullahberkata, “Allah

ta‖ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para

Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan

terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan

Kami.” (QS. Al An‖aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu

terbatas hanya pada saat seseorang (da‖i) masih hidup saja sehingga dia bisa

(14)

dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da‖i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da‖i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya

dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ―alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta‖ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya)

mengatakan, ―Dia adalah tukang sihir atau orang gila‖.” (QS. Adz Dzariyaat

[51]: 52). Begitu juga Allah ―azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan

orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya

para da‖i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh

Tsalatsatul Ushul, hal. 24) Tetaplah Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ―anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di

Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak

(15)

Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan

Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa‖ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ―anhu yang dipaksa

oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai

mati. Namun dengan tegas Sa‖ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai

Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu

persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…”

(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

(16)

Ingatlah firman Allah ta‖ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu

mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ―Imran

[3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki

kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] :

2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ―alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama

kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam

Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam

Mustadrak ―ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba‖in Ibnu ―Utsaimin, hal.

200)

Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha

menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat

terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka,

(17)

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di

rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat

terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan

kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara

keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke

dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah

sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang

menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ―Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat

kepada Allah tabaaraka wa ta‖ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya,

(18)

mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ―azza wa jalla, “Sesungguhnya

kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] :

114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ―alaihi wa

sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan

menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam

Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam

ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang

mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut

ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab

rahimahullahuta‖ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau

(19)

Syaikh Shalih bin Abdul ―Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahuta‖ala

mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini,

“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam

agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari‖at (untuk

mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari‖at (untuk tidak

mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari‖at serta

menjauhi larangan syari‖at dan bersabar menghadapi musibah-musibah.

Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ―ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ―ala kepada Nabi-Nya shallallahu

―alaihi wa sallamdi dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ―Iyaadh

bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ―alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta‖ala berfirman: ―Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam

(20)

Maka hakikat pengutusan Nabi ―alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam

menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah

sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam

berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala

menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk

(21)

memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila

fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu

tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar‖i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya.

Maka menurut istilah syari‖at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh,

menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain

semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullahberkata, “Di dalam al-Qur‖an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi

maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia

kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ―ala aqdaarillah” artinya:

(22)

menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin

memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang

diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa

menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah

Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahuta‖alamenjelaskan, “Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah

sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.

Adapun ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

(23)

terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla

wa ―ala. Rasa ridha terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu

kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).

Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya

mustahab (disunnahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib)

Alqamah mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang

tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi

Allah maka diapun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu

datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri

keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393)

Sabar dan Syukur

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ―anhu, beliau

(24)

“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua urusannya

adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin.

Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya.

Dan apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun

baik baginya.” (HR. Muslim)

Syaikh Al ―Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir

Allah yang berupa kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak beriman.

Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.

Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan

kepada Allah. Karena syukur bukan saja mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik bagi dirinya. Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal

(25)

bahkan tidak mau terima, memprotes takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.

Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat akan berubah menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan atau menikmati minuman kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya bagi orang kafir.

Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta‖ala yang artinya,

“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah dan rezeki

yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya.

Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-orang yang beriman di dalam

kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk mereka saja pada hari

kiamat.” (QS.Al A‖raaf [7]: 32).

Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti. Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka. Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti mereka akan disiksa

karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun kesulitan adalah sama-sama buruknya, wal ―iyaadzu billaah. (Lihat Syarh Riyadhush

Shalihin, I/107-108)

(26)

Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ―alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah

segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki

keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu

sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan

nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220)

Syaikhul Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah

nikmat. Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga

menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta‖ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab

penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu

menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila

(27)

“Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian

dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati,

kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan

musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan perbuatan Rabb ―azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta‖ala maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka

muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).

Dan apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan

rahmat.” (QS. Al Baqarah [2]: 156) Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya

(28)

memperoleh balasan-balasan tersebut” Selesai perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid, hal. 353-354)

Doa Apabila Tertimpa Musibah

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji‖uun, Allahumma‖jurnii fii mushiibatii wa

ahklif lii khairan minhaa

Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah ganjaran pahala atas musibah

hamba. Dan gantikanlah ia dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR.

Muslim, 2/632. lihat Hishnul Muslim, hal. 96-97)

Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana yang berakibat buruk bagi diri atau hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa bencana itu merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?

Syaikh Abdul ―Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahmenjawab, “Allah

―azza wa jalla menguji hamba-hamba-Nya dengan bentuk kesenangan dan

kesulitan, dengan kesempitan dan kelapangan. Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa menaikkan derajat mereka serta

meninggikan sebutan mereka dan juga demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang demikian itu sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ―alaihimush shalatu was salaam, dan juga para hamba Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu ―alaihi wa

sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian

(29)

Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa-dosa (yang mereka lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu merupakan hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Yang Mahasuci yang artinya,

“Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah

perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan

orang.” (QS. Asy Syura [42]: 30).

Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena

taqshir/meremehkan dan tidak menunaikan kewajiban yang telah

dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa dirinya maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang diperbuatnya serta kekurangannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah.

(30)

Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta‖ala yang artinya, “Barang

siapa yang melakukan kejelekan pasti akan dibalas.”(QS. An Nisaa‖ [4] :

123).

Nabi shallallahu ―alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah

kesusahan, kekalutan, keletihan, penyakit, kesedihan maupun gangguan

yang menimpa seorang mukmin melainkan Allah pasti menghapuskan

sebagian dosa kesalahan-kesalahannnya, bahkan sampai duri yang menusuk

bagian tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu ―alaihi wa sallam, “Barang

siapa yang diinginkan baik oleh Allah maka pasti Dia timpakan musibah

kepadanya.”

Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu sebagaimana diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu ―alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Allah segerakan

hukuman baginya di alam dunia. Sedangkan apabila Allah menghendaki

keburukan bagi hamba-Nya maka Allah menahan hukuman atas dosa itu

hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya

hasan). (Majmu‖ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi‖ah juz 4, diterjemahkan dari website beliau)

Marah Saat Tertimpa Musibah ?

(31)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Orang ketika menghadapi musibah terbagi dalam empat tingkatan :

Tingkatan Pertama: Marah

Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan:

Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun menjadi marah terhadap apa yang sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan terkadang bisa

menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran. Allah ta‖ala berfirman yang artinya, “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia

tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia

dan akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).

Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan ucapan. Seperti dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan atau ucapan semacamnya, ini juga haram.

Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota badan. Seperti dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut dan perbuatan

semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang wajib ada.

Tingkatan Kedua: Bersabar

(32)

Pahit kalau baru dirasa

Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu

Jauh lebih manis daripada madu

Dia melihat bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat akan tetapi dia tetap bisa tabah dalam menanggungnya. Dia merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih bisa menjaganya untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya musibah itu masih terasa berbeda baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah ta‖ala telah

memerintahkan untuk bersabar. Allah berfirman yang artinya, “Bersabarlah

kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al

Alnfaal [8]: 46).

Tingkatan Ketiga: Merasa Ridha

Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan musibah yang menimpanya. Sehingga ada dan tidaknya musibah adalah sama saja baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban yang sangat berat. Ini adalah tingkatan yang sangat dianjurkan/mustahab, dan bukan hal yang wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya cukup jelas. Yaitu karena dalam tingkatan ini ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal keridhaan terhadapnya. Adapun dalam tingkatan sebelumnya terjadinya musibah itu masih dirasakan sebagai sesuatu yang sukar baginya, namun dia masih tetap bersabar.

(33)

Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya. Dia sadar bahwa pada hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya dosa-dosanya, bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambahan amal kebaikannya. Nabi shallallahu ―alaihi wa

sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang

muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu,

bahkan sekalipun duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan

Muslim (2572)). (Diterjemahkan dengan penyesuaian redaksional dari

Fatawa Arkanil Islam, hal. 126-127)

Balasan Bagi Orang yang Sabar

Allah ta‖ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan

buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang

sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka

mengatakan, “Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga

akan kembali kepada-Nya”. Mereka itulah orang-orang yang akan

mendapatkan ucapan shalawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka

itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS. Al Baqarah [2]:

155-157).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa‖di rahimahullah berkata di dalam

(34)

bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…”

(Taisir Karimir Rahman, hal. 76)

Allah ta‖ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya balasan pahala bagi

orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar [39]: 10).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa‖di rahimahullah berkata di dalam

kitab tafsirnya,”Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar

dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu

dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam

melakukannya.

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali

disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721)

(35)

Allah ta‖ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Surga ―Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari

bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk

ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan):

“Salamun ―alaikum bima shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai

balasan atas kesabaran kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan

itu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra‖d: 23-24).

Wa shallallahu ―ala Nabiyyina Muhammadin wa ―ala aalihi wa shahbihi wa

sallam.

Selesai disusun ulang, Kamis 8/1/1428 H Abu Mushlih Al Jukjakarti

Semoga Allah mengampuninya ***

(36)

PELAJARAN KEDUA INDAHNYA SABAR

Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakekat kesabaran itu

adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.”(al-Minhaj Syarh Shahih

Muslim [3/7]). Ibnu ―Atha‖rahimahullah berkata,“Sabar adalah menyikapi

musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj Syarh Shahih

Muslim[3/7]). Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakekat dari

sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir.

Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk

berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan

kesabaran.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7])

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar

secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta‖ala berfirman kepada

nabi-Nya (yang artinya), ―Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang

berdoa kepada Rabb mereka‖. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk

tetap bersama mereka. Adapun di dalam istilah syari‖at, sabar adalah:

menahan diri di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta‖ala dan untuk

meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan kepada-Nya. …” (I‖anat al

-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134] software Maktabah

asy-Syamilah)

(37)

al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sabar yang dipuji

ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah ―azza wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ―azza wa

jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa

menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi

perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi

takdir yang terasa menyakitkan…” (Jami‖ al-‖Ulum wa al-Hikam, hal. 279)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana

ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan,“Maka

sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh

keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk

meraih segala kesempurnaan.” (Fath al-Bari [11/344]).

Syaikh as-Sa‖dirahimahullah berkata, “Adapun sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya,

maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya merupakan

bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok dan

cabangnya. Karena pada hakekatnya iman itu secara keseluruhan

merupakan kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan

diridhai-Nya serta untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-diridhai-Nya, demikian pula

harus sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga

karena sesungguhnya agama ini berporos pada tiga pokok utama: [1]

(38)

Allah dan rasul-Nya, dan [3] menjauhi larangan-larangan keduanya…” (

al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 105-106)

Sabar merupakan akhlak para rasul

Allah ta‖ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelummu maka mereka pun bersabar menghadapi tindakan pendustaan

tersebut, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka

pertolongan Kami.” (QS. al-An‖am: 34)

Sabar membuahkan kebahagiaan hidup

Allah ta‖ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang

beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling

menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‖Ashr: 1-3)

Umar bin Khatthab radhiyallahu‖anhu mengatakan, “Kami berhasil

memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR.

Bukhari secara mu‖allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd dengan sanad sahih, lihat Fath al-Bari [11/342] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)

Sabar penopang keimanan

Dari Shuhaib radhiyallahu‖anhu, Rasulullah shallallahu ―alaihi wa

sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin.

Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak

ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan

(39)

untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal

itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim [2999] lihat al-Minhaj

Syarh Shahih Muslim[9/241])

Ibnu Mas‖ud radhiyallahu‖anhu mengatakan, “Sabar adalah separuh

keimanan.” (HR. Abu Nu‖aim dalamal-Hilyah dan al-Baihaqi dalam

az-Zuhd, lihat Fath al-Bari [1/62] dan [11/342]). Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‖anhu mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah

keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan

al-Baihaqi dalam Syu‖ab al-Iman [40], bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha‖if al-Jami‖ [3535], lihat Shahih wa Dha‖if al-Jami‖ as

-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah).

Sabar penepis fitnah

Dari Abu Malik al-Asy‖ariradhiyallahu‖anhu, Rasulullah shallallahu ―alaihi

wa sallam bersabda, “…Dan sabar itu adalah cahaya -yang panas-…” (HR.

Muslim [223], lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/6] cet. Dar Ibn al-Haitsam tahun 2003). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “… Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat

ditepis dengan bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci

menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara

ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara

mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami

(40)

as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan

keyakinan itulah akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah

juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka

saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi

kesabaran.” (QS. al-‖Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran

merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling

menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang

fitnah syahwat…” (dikutip dariadh-Dhau‖ al-Munir ―ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal. 669)

Sabar membuahkan hidayah bagi hati

Allah ta‖ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka

Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)

Ibnu Katsir menukil keterangan al-A‖masy dari Abu Dhabyan. Abu Dhabyan berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika

dia membaca ayat ini ―barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah

akan menunjuki hatinya‖ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka

beliau menjawab, ―Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang

yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal

dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar

ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir

(41)

itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu

mengucapkan istirja‖ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji‖un.” (Tafsir

al-Qur‖an al-‖Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)

Hikmah dibalik musibah

Rasulullah shallallahu ―alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah

menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan

baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan

untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan

disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, hadits

hasan gharib, lihat as-Shahihah [1220])

Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ―alaihi wa

sallam memberitakan bahwa ada kalanya Allah ta‖ala memberikan musibah

(42)

kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah

mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ―Aziz al

-Qor‖awi dalamal-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)

Setelah kita mengetahui betapa indahnya sabar, maka sekarang

pertanyaannya adalah: sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai kesabaran ini dalam kehidupan kita? Sudahkah kita menjadikan sabar sebagai pilar

kebahagiaan kita? Sudahkah sabar mewarnai hati, lisan, dan gerak-gerik anggota badan kita?

(43)

PELAJARAN KETIGA

10 NASEHAT DARI IBNUL QOYYIM

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba‖du.

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah

mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

(44)

Apabila engkau berlimpah nikmat

maka jagalah, karena maksiat

akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara

kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

(45)

menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa

kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.

(46)

PELAJARAN KEEMPAT

PELAJARAN SABAR DARI SURAT AL-ASHR

Allah ta‖ala berfirman,

(3)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam

kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati

supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ―Ashr).

Surat Al ―Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur‖an yang banyak

dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat

memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi‖i rahimahullah berkata,

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ―Utsaimin rahimahullah berkata,

(47)

untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini

tanpa mengamalkan seluruh syari‖at. Karena seorang yang berakal apabila

mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling

menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].

Iman yang Dilandasi dengan Ilmu

Dalam surat ini Allah ta‖ala menjelaskan bahwa seluruh manusia

benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

(48)

―ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf

dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan

syari‖at-syari‖at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa

hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu‖amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224

dengan sanad shahih).

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu

menegakkan agama.” [Al Furu‖ 1/525].

Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia

perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta‖ala berfirman,

”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak

(49)

cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).

Mengamalkan Ilmu

Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya. Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ―Iyadh

rahimahullah

”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat

mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi

seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma‖mul).

Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.

(50)

,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat

nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan

dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Berdakwah kepada Allah

Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta‖ala, adalah tugas para Rasul

dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta‖ala berfirman,

(١٠٨)

“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang

mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).

Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak

firman Allah ta‖ala berikut,

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya

aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).

(51)

Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).

Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.

Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi

masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.

Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan

mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak

mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ―alaihi wa

(52)

”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang

apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR.

Bukhari nomor 13).

Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa

kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan

dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.

Bersabar dalam Dakwah

Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika

menyeru ke jalan Allah ta‖ala. Seorang da‖i (penyeru) ke jalan Allah mesti

menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini

dikarenakan para dai‖ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa

nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari‖at [Hushulul ma‖mul hal. 20].

Hendaklah seorang da‖i mengingat firman Allah ta‖ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta‖ala berfirman,

(٣٤)

”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan

tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang

(53)

mereka” (QS. Al-An‖am : 34).

Seorang da‖i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan

dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan

bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta‖ala menyebutkan wasiat

Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),

”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang

baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu

termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).

Pada akhir tafsir surat Al ―Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa‖di

rahimahullah berkata,

]

”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat

menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat

selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir

(54)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

(55)

PELAJARAN KELIMA

SABAR MENGHADAPAI COBAAN

Oleh ; Majdi As-Sayyid Ibrahim

: :

"Dari Ummu Al-Ala', dia berkata :"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk-ku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. 'Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala'. Sesungguhnya sakitnya orang Muslim itu membuat Allah menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang

menghilangkan kotoran emas dan perak". [1]

Wahai Mukmin dan Mukminah !

Sudah barang tentu engkau akan menghadapi cobaan di dalam kehidupan dunia ini. Boleh jadi cobaan itu menimpa langsung pada dirimu atau suamimu atau anakmu ataupun anggota keluarga yang lain. Tetapi justru disitulah akan tampak kadar imanmu. Allah menurunkan cobaan

kepadamu, agar Dia bisa menguji imanmu, apakah engkau akan sabar ataukah engkau akan marah-marah, dan adakah engkau ridha terhadap takdir Allah ?

(56)

wa sallam tatkala menasihati Ummu Al-Ala' Radhiyallahu anha, seraya menjelaskan kepadanya bahwa orang mukmin itu diuji Rabb-nya agar Dia bisa menghapus kesalahan dan dosa-dosanya.

Selagi engkau memperhatikan kandungan Kitab Allah, tentu engkau akan mendapatkan bahwa yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan mengambil nasihat darinya adalah orang-orang yang sabar, sebagaimana firman Allah.

"Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jikalau Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan) -Nya bagi setiap orang yang bersabar dan banyak bersyukur". [Asy-Syura : 32-33]

Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memuji orang-orang yang sabar dan menyanjung mereka. Firman-Nya.

(57)

"Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". [Al-Baqarah : 177]

Engkau juga akan tahu bahwa orang yang sabar adalah orang-orang yang dicintai Allah, sebagaimana firman-Nya.

"Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar". [Ali Imran : 146]

Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya dan melipat gandakannya tanpa terhitung. Firman-Nya.

(58)

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". [Az-Zumar : 10]

Bahkan engkau akan mengetahui bahwa keberuntungan pada hari kiamat dan keselamatan dari neraka akan mejadi milik orang-orang yang sabar. Firman Allah.

"Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan) :'Salamun 'alaikum bima shabartum'. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu" [Ar-Ra'd : 23-24]

Benar. Semua ini merupakan balasan bagi orang-orang yang sabar dalam menghadapi cobaan. Lalu kenapa tidak ? Sedangkan orang mukmin selalu dalam keadaan yang baik ?.

Dari Shuhaib Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Apabila mendapat

(59)

Engkau harus tahu bahwa Allah mengujimu menurut bobot iman yang engkau miliki. Apabila bobot imanmu berat, Allah akan memberikan cobaan yang lebih keras. Apabila ada kelemahan dalam agamamu, maka cobaan yang diberikan kepadamu juga lebih ringan. Perhatikalah riwayat ini.

"Dari Sa'id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata. 'Aku pernah bertanya : Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya ?. Beliau menjawab. Para nabi, kemudian orang pilihan dan orang pilihan lagi. Maka seseorang akan diuji menurut agamanya. Apabila agamanya merupakan (agama) yang kuat, maka cobaannya juga berat. Dan, apabila di dalam agamanya ada kelemahan, maka dia akan diuji menurut agamanya. Tidaklah cobaan menyusahkan seorang hamba sehingga ia

meninggalkannya berjalan di atas bumi dan tidak ada satu kesalahan pun pada dirinya".[3]

"Dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu anhu, dia berkata. 'Aku

(60)

bagi kami'. Aku bertanya.'Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya ?. Beliau menjawab. 'Para nabi. Aku bertanya. 'Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?. Beliau menjawab.'Kemudian orang-orang shalih. Apabila salah seorang-orang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak

mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, apabila salah seorang diantara mereka sungguh merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan". [4]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata. "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Cobaan tetap akan menimpa atas diri orang mukmin dan mukminah, anak dan juga hartanya, sehingga dia bersua Allah dan pada dirinya tidak ada lagi satu kesalahanpun". [5]

Selagi engkau bertanya :"Mengapa orang mukmin tidak menjadi terbebas karena keutamaannya di sisi Rabb.?".

(61)

Mas'ud pernah berkata."Aku memasuki tempat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau sedang demam, lalu aku berkata.'Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sungguh menderita demam yang sangat keras'.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata."Benar. Sesungguhnya aku demam layaknya dua orang diantara kamu yang sedang demam".

Abdullah bin Mas'ud berkata."Dengan begitu berarti ada dua pahala bagi engkau ?"

Beliau menjawab. "Benar". Kemudian beliau berkata."Tidaklah seorang muslim menderita sakit karena suatu penyakit dan juga lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya dengan penyakit itu,

sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya". [6]

Dari Abi Sa'id Al-Khudry dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, keduanya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Tidaklah seorang Mukmin ditimpa sakit, letih, demam, sedih hingga kekhawatiran yang mengusiknya, melainkan Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya". [7]

Referensi

Dokumen terkait

peran Humas dilihat dari perencanaan Program, Perencanaan Strategi, Aplikasi Strategi, dan Evaluasi dan kontrol, jika semua itu diprioritaskan untuk

Hasil fraksinasi ekstrak tumbuhan bila dan tumbuhan lada menunjukkan bahwa ada 12 fraksi yang dihasilkan dan digabung menjadi 4 fraksi pada daun bila (A, B, C, D) dan 4

Koperasi Telekomunikasi Selular (KISEL) Cabang Sorong sudah benar dalam melakukan mekanisme pelaporan serta pembukuan PPh Pasal 21 akan tetapi perusahaan belum

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui perbedaan trust pasangan hubungan jarak jauh yang belum menikah (pacaran jarak jauh) dengan pasangan hubungan jarak jauh yang

Jika dari proses pemeriksaan barang terdapat spesifikasi barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi sebagaimana tercantum dalam daftar pemeriksaan barang, maka barang yang

Aktivitas katalitik dari lembaran EHBBT yang dibandingkan dengan HBBT dan katalis asam sulfat pada reaksi esterifikasi ditunjukkan pada Gambar 5. Perbandingan jumlah

Larutan dipindah ke dalam kuvet dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan program UV-Probe untuk menghitung regresi linier secara otomatis

Jumlah PKP, PDB, ekspor, inflasi, suku bunga SBI, pengeluaran investasi dan kredit ³3HQJDUXK ,QIODVL 1LODL 7XNDU Inflasi, nilai dan Jumlah Pengusaha Kena tukar rupiah, Pajak