• Tidak ada hasil yang ditemukan

PHENOTYPIC PLATISITY KUNCI SUKSES ADAPTASI IKAN MIGRASI: STUDI KASUS IKAN SIDAT (Anguilla sp.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PHENOTYPIC PLATISITY KUNCI SUKSES ADAPTASI IKAN MIGRASI: STUDI KASUS IKAN SIDAT (Anguilla sp.)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Migrasi atau dalam dunia perikanan lebih dikenal juga dengan istilah ruaya merupakan pergerakan suatu spesies pada stadia tertentu dalam jumlah banyak ke suatu wilayah untuk bereproduksi, menemukan makanan serta tempat yang memiliki iklim tepat untuk sintasannya. Proses fisiologi yang berperan penting dalam kesuksesan migrasi adalah mekanisme osmoregulasi dan metabolisme. Proses migrasi pada ikan merupakan respons fisiologis terhadap input internal maupun eksternal yang diterima. Input yang diterima oleh ikan akan menghasilkan tanggapan atau perubahan pada perilaku dan morfologi. Perubahan lingkungan selama migrasi akan memberikan respons terhadap tingkah laku ikan (karakter phenotipik). Perubahan selama proses migrasi meliputi perubahan perilaku dan morfologi. Phenotypic plasticity adalah kemampuan suatu genotif untuk menghasilkan lebih dari satu karakter morfologi, fisiologi, dan tingkah laku dalam merespons perubahan lingkungan. Sehingga respons suatu gen terhadap perubahan lingkungan bisa menggambarkan polymorphism gen tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi adalah faktor internal yang meliputi genetik atau insting, makanan, dan homing atau reproduksi, sedangkan faktor eksternal yaitu, lunar, temperatur, salinitas, dan arus. Migrasi terbagi menjadi migrasi vertikal dan horizontal. Migrasi horizontal lebih dikenal dengan diadromus yaitu pergerakan ikan dari air tawar menuju air payau.

KATA KUNCI: phenotipic plasticity, ikan migrasi, ikan sidat (Anguilla sp.)

PENDAHULUAN

Migrasi atau dalam dunia perikanan lebih dikenal juga dengan istilah ruaya merupakan suatu proses perpindahan ikan ke tempat yang memungkinkan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak. Heape (1931) dalam Lucas & Baras (2001) menyebutkan migrasi adalah sebuah proses siklus yang “mendorong” migran (hewan yang melakukan migrasi) untuk kembali ke wilayah di mana migrasi dimulai, tempat untuk bereproduksi, menemukan makanan serta tempat yang memiliki iklim tepat untuk sintasannya. Lucas & Baras (2001) menyebutkan secara umum migrasi merupakan pergerakan suatu spesies pada stadia tertentu dalam jumlah banyak ke suatu wilayah. Perubahan iklim akan memacu ikan untuk melakukan proses migrasi atau perpindahan (Nikolsky, 1963; Harden Jones, 1968 dalam Lucas & Baras 2001) namun kondisi ini tidak ditemukan di daerah yang beriklim tropis dan subtropis Northcote (1978). Northcote (1978) menyebutkan bahwa ada tiga habitat sebagai tempat yang menjadi tujuan saat melakukan migrasi, yaitu tempat untuk reproduksi, tempat untuk makan dan tempat untuk berlindung dari serangan predator di mana ketiga habitat tersebut tidak selalu sama dan akan dikunjungi oleh ikan pada stadia tertentu.

Setiap ikan yang melakukan kegiatan migrasi selalu berangkat dari dan menuju suatu lokasi yang sama atau hampir sama dengan tempat di mana dilahirkan. Migrasi menuju tempat reproduksi umumnya dilakukan setiap tahun atau setiap musim pemijahan. Namun migrasi yang dilakukan oleh ikan yang masih kecil (juvenile) untuk mencari makan dapat dilakukan berulang kali hingga masa pemijahan dimulai. Ikan yang dapat melakukan pemijahan lebih dari satu kali akan melakukan ruaya pemijahan kedua tidak selalu sama dengan ruaya yang pertama namun karakter lokasi yang menjadi tujuan tetap sama (Mc Keown, 1984). Hal ini juga ditemukan pada ikan yang melakukan migrasi untuk mencari makanan, di mana area kedua dan sebelumnya tidak selalu sama namun memiliki karakter sumberdaya yang hampir sama.

Lebih dari seratus tahun yang lalu di perairan Lofoten, New Foundland banyak ditemukan ikan cod (Gadus sp.) pada musim-musim tertentu. Para nelayan waktu itu menduga bahwa ikan tersebut berasal dari Atlantik Utara, namun tidak ada bukti yang menunjukkan pergerakan ikan tersebut.

PHENOTYPIC PLATISITY KUNCI SUKSES ADAPTASI IKAN MIGRASI:

STUDI KASUS IKAN SIDAT (

Anguilla

sp.)

Melta Rini Fahmi Balai Riset Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No 13 Pancoran Mas, Depok

(2)

Setelah ditemukannya metoda tagging maka pada tahun 1913 misteri keberadaan ikan cod ini pun mulai diketahui, bahwa ikan tersebut merupakan stok yang bergerak dari Bear Island menuju perairan Lofoten untuk melakukan pemijahan (Woodhead, 1963 dalam Gunarso, 1988).

Fenomena migrasi ikan salmon banyak dieksplorasi oleh peneliti untuk mempelajari tingkah laku migrasi. Ikan salmon dewasa akan menghabiskan banyak waktunya di perairan laut dan hanya akan kembali ke perairan tawar untuk melakukan pemijahan. Pemijahan ikan salmon terjadi pada musim dingin dan musim gugur di hulu sungai. Larva ikan salmon akan kembali ke laut untuk mendapatkan makanan, namun perjalanan kembali ke laut sangat tergantung pada ketersediaan makanan di sekitar larva. Salmon Atlantik baru akan melakukan migrasi setelah satu hingga enam tahun atau lebih lama dari Salmon Pasifik sekitar 2–3 tahun. Salmon Atlantik dapat melakukan pemijahan 2–3 kali ke perairan tawar, sedangkan salmon Pasifik hanya melakukan 1 kali setelah itu mati (Jones FRH, 1970). Fenomena lain dalam migrasi ikan adalah perpindahan ikan Sidat (Anguilla sp.) dari air tawar menuju laut untuk melakukan pemijahan. Matsui (1993) menduga lokasi pemijahan ikan sidat berada pada kedalaman lebih dari 500 m. Leptochephalus yang baru menetas bergerak kearah permukaan laut dan berenang secara diurnal. Leptochephalus mengalami metamorfosis menjadi glass eel yang ditandai dengan terbentuknya sirip dan panjang badan mulai memendek selanjutnya glass eel tersebut berenang mengikuti arah arus hingga mencapai air tawar.

Migrasi ikan dapat dibagi berdasarkan pola gerakan yaitu migrasi vertikal dan migrasi horizon-tal, sedangkan menurut waktu migrasi terbagi menjadi dua yaitu migrasi panjang dan migrasi pendek. Myers (1949) dalam Lucas & Baras (2001) menyebutkan ada dua variasi migrasi yang terkait dengan salinitas yaitu ikan yang bergerak dari air tawar menuju air laut dan sebaliknya (diadromus). Kemampuan ikan yang bermigrasi diadromus sering disamakan dengan ikan euryhaline, namun pada kenyataanya tidaklah sama. Pendapat Myers ini disempurnakan McDowall (1997) dalam Lucas & Baras (2001) dengan membagi diadromus menjadi 3 kelompok dengan pola pergerakan ikan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema pola migrasi ikan Fresh water

Sea

Reproduction ANADROMY Reproduction

Early feeding and growth in fresh water

Adult return migration to fresh water Larval/juvenile migration to sea

Most feeding and growth in the sea

Fresh water

Sea

Reproduction Reproduction

CATADROMY

Early feeding and growth in sea

Juvenile migration to fresh water Adult return migration to the sea Most feeding and growth in fresh water

Fresh water

Sea

Reproduction AMPHIDROMY Reproduction

Early feeding and growth at sea

Most feeding and growth in the fresh water Larval migration to sea

Juvenile migration back to fresh water

(3)

1. Katadromous yaitu ikan yang beruaya dari air tawar menuju air laut untuk melakukan pemijahan, seperti pada ikan sidat

2. Anadromus yaitu ikan yang beruaya dari perairan laut menuju air tawar, seperti pada ikan salmon 3. Ampidromi yaitu ikan yang beruaya ke air laut beberapa saat setelah menetas, ikan tersebut tumbuh

dan besar di air laut.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Migrasi

Proses migrasi pada ikan merupakan respons fisiologis terhadap input internal maupun eksternal yang diterima (Lucas & Baras, 2001). Input yang diterima oleh ikan akan menghasilkan tanggapan atau perubahan pada perilaku dan morfologi. Tanggapan ikan terhadap suatu rangsangan yang diterima bisa berbeda walaupun yang diterima sama, hal ini disebabkan oleh perkembangan fisiologi ikan dan motivasi dalam merespons suatu rangsangan. Peran hormon menjadi sangat penting dalam mempengaruhi respons ikan, berikut ini adalah faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi ikan melakukan migrasi (Gambar 2).

Faktor internal yang mempengaruhi proses migrasi adalah: pertama; faktor genetik dan ontogeni; para peneliti meyakini bahwa tingkah laku migrasi sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, namun ekspresi genetik tergantung pada lingkungan dan stadia perkembangan ikan. Perubahan ontogeni memberikan respons pada insting dan fisiologi ikan kecil untuk melakukan migrasi menuju area feeding ground. Selanjutnya ikan dewasa akan dipandu oleh insting-nya untuk melakukan migrasi ke area pemijahan (spawning ground). Faktor kedua adalah keseimbangan metabolik; banyak spesies ikan yang bermigrasi untuk mencari makanan, dengan menempuh jarak dekat hingga jarak yang sangat jauh dan penuh risiko pemangsaan. Stimulus untuk bermigrasi mencari makanan sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pemenuhan isi lambung atau kelaparan dan faktor yang berkaitan dengan faktor keseimbangan metabolisme. Faktor ketiga adalah homing dan reproduksi; homing adalah kemampuan ikan dewasa untuk kembali ke tempat asalnya, untuk kematangan gonad dan reproduksi. Beberapa peneliti telah melaporkan tingkat homing beberapa jenis ikan salmon yaitu

Gambar 2. Diagram faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi tingkah laku migrasi

External

factors Internal factors Behavioural rensponse Ontogenic changes Hunger Fear Spasial memory/ homing Prey availability Predator avoidance Displacement Climate (light, hydrology, meterorology, temperature, water quality) De n s it y depende n c e ? Migratory behaviour

(at various spatial and temporal scales)

(4)

salmon, Oncorhynchus mykiss 94% (Lindsey et al., 1959), Salvelinus fontinalis 99,5% (O’Connor & Power, 1973), dan Salmotrutta 100% (Stuart, 1957) dalam (Lucas & Baras, 2001).

Faktor eksternal yang mempengaruhi proses migrasi pertama adalah lunar. Hipotesa yang dituliskan oleh banyak peneliti mengenai pengaruh lunar terhadap pola migrasi adalah hal yang terkait dengan intensitas cahaya dan pengincaran predator secara visual. Sebagai ikan nokturnal Anguilla anguilla tidak akan meninggalkan shelter hingga matahari tenggelam. Pergerakan ikan Anguilla akan sangat cepat menuju hulu pada malam hari karena aktivitas ikan nokturnal sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya bulan. Di samping itu, siklus bulan juga mempengaruhi tingginya permukaan air laut yaitu terjadinya arus pasang dan surut, sehingga ikan sidat akan banyak ditemukan di muara pada saat bulan penuh. Faktor kedua adalah temperatur; sebagai hewan ektoterm, ikan umumnya lebih aktif pada suhu yang lebih tinggi daripada kisaran normal. Sebaliknya pergerakan ikan ruaya terjadi pada batas toleransi, hal ini dapat dilihat pada pola pergerakan ikan salmon yang cenderung nokturnal di musim dingin. Faktor ketiga adalah salinitas; ikan yang memiliki perilaku migrasi horizontal umumnya adalah ikan-ikan yang memiliki toleransi yang luas terhadap perubahan salinitas. Faktor keempat adalah arus; arus memegang peranan penting dalam penyebaran larva ikan-ikan yang bermigrasi. Larva akan berenang secara pasif mengikuti pola arus, sedangkan ikan-ikan dewasa secara aktif berenang melawan arus. Penelitian tentang penyebaran Leptochepalus ikan sidat yang dilakukan oleh Herunadi (1999) menunjukan bahwa laju pendaratan glass eel di muara Sungai Cimandiri berhubungan erat dengan arus pantai Jawa.

Proses Fisiologi Selama Migrasi

Selama proses migrasi ikan akan melakukan berbagai upaya atau strategi untuk mempertahankan hidup di antaranya adalah mengatur tekanan osmotik (osmoregulasi) dan metabolisme.

Osmoregulasi

Osmoregulasi adalah mekanisme atau aktivitas fisiologis hewan yang berkaitan dengan pengaturan konsentrasi ion dan volume cairan di dalam badan dan luar badan. Mekanisme ini sangat penting dimiliki oleh hewan-hewan akuatik yang melakukan migrasi dari air laut ke air tawar atau sebaliknya. Untuk mencapai kondisi isoosmotik maka ikan akan melakukan pengambilan dan pengeluaran ion dari dalam badan. Bagi ikan yang menetap atau mendiami suatu perairan tertentu akan memiliki toleransi yang rendah terhadap perubahan salinitas (stenohalin) sedangkan ikan migrasi memiliki toleransi yang luas terhadap perubahan salinitas (euryhalin) (McKeown, 1984; Willmer et al., 2000). Ikan air tawar mengalami kondisi hiperosmotik terhadap lingkungan. Untuk mencapai kondisi isoosmotik, ikan tersebut akan mengeluarkan ion-ion badan melaui urin dan akan minum banyak untuk mengatur volume cairan tubuh. Sebaliknya ikan laut mengalami kondisi hipoosmotik terhadap lingkungan. Organ tubuh yang berperan penting dalam proses osmoregulasi adalah insang, ginjal, dan kulit. Sedangkan hormon yang mengontrol osmoregulasi adalah prolactine, intestinal steroid, dan vasotocin. Aktivitas hormon-hormon tersebut akan meningkat pada saat ikan melakukan adaptasi terhadap salinitas terutama pada organ-organ yang berperan dalam mekanisme osmoregulasi. Seperti pada insang peningkatan aktivitas prolactin akan menurunkan konsentrasi ion Na+, K+ dan aktivitas

ATP ase. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stanley & Flaming (1967) menunjukkan bahwa penambahan prolaktin menyebabkan pengeluaran ion melalui ginjal dalam jumlah lebih banyak (McKeown, 1984).

Metabolisme

Setiap ikan yang melakukan migrasi akan menyimpan energi dan membuat mekanisme metabolisme yang spesifik supaya migrasi yang dilakukan berjalan sukses. Hewan migran menyimpan banyak energi saat malakukan migrasi ke tempat sumber makanan. Selanjutnya energi tesebut akan dikeluarkan dalam jumlah yang banyak untuk melakukan migrasi ke habitat lain seperti tempat pemijahan atau ekspansi ke wilayah yang baru. Energi yang dikeluarkan oleh ikan saat bermigrasi digunakan untuk kebutuhan dasar (basal metabolic) seperti, untuk berenang, osmoregulasi, respirasi, excretory, dan hormonal regulation. Pengeluaran energi oleh migran sangat efektif karena berasosiasi

(5)

dengan perubahan morfologi, tingkah laku, dan pengaturan hormon. Hormon-horman yang berperan aktif dalam mengatur mekanisme metabolik adalah growth hormon, thyroid hormon, insulin, dan pro-lactin.

Migrasi ikan kecil ke daerah yang memiliki produktivitas tinggi bertujuan untuk menyimpan energi dalam jumlah banyak, ikan-ikan tersebut tidak akan pindah hingga proses pemijahan dilakukan. Migrasi dapat ditunda jika simpanan energi untuk melakukan perjalanan belum mencukupi atau menunggu hingga mekanisme atau struktur badan berkembang dengan baik.

ADAPTASI DAN PLASTISITY

Adaptasi merupakan konsep yang sangat popular dalam biologi, sehingga pendefinisiannya juga menjadi sangat luas dan terkait beberapa hal:

1. Adaptasi sering digunakan dalam menentukan ciri atau karakter pengamatan suatu makhluk hidup yang telah terseleksi. Seperti ditemukannya haemoglobin sebagai indikasi adanya oksigen dalam darah

2. Adaptasi didefinisikan sebagai sebuah proses yang terjadi secara alami, sehingga memunculkan karakter-karakter tertentu yang mengarah kepada fitness atau seleksi; contoh hewan-hewan yang memiliki kandungan haemoglobin tinggi akan memiliki kemampuan beradapatasi secara cepat di lingkungan yang memiliki kandungan oksigen rendah

3. Adaptasi didefinisikan sebagai ganti rugi terhadap perubahan lingkungan, perubahan atau pergantian karakter, lebih dikenal dengan istilah phenotypic plasticity, di mana karakter-karakter tersebut tidak muncul pada kondisi normal

Proses adaptasi terhadap lingkungan baru bisa terjadi dalam kurun waktu yang singkat (aklimatisasi) bisa juga dalam kurun waktu yang lama (adaptasi/evolusi). Respons dalam waktu singkat misalnya ekskresi urin yang berlebihan bagi ikan yang akan masuk ke perairan dengan konsentrasi garam (ion) lebih tinggi, ikan yang menghindari kekurangan cahaya dengan bergerak arah permukaan (avoidence). Perubahan tersebut bisa terjadi dalam waktu yang lama seperti proses endemisitas ikan air tawar (Willmer, 2000).

Pada hewan-hewan yang mengalami metamorfosa dari embrio, larva, yuwana, dan dewasa akan memasuki lingkungan yang berbeda pada setiap stadianya sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan fisiologi badannya. Perubahan selama fase perkembangan (development) dapat terjadi secara permanen

Gambar 3. Interaksi genotipik dan lingkungan akan selalu memberikan respons terhadap fenotip (tingkah laku) secara berurutan dimulai dari respons biokimia, fisiologi, dan terakhir morfologi

Genotype Random processes ENVIRONMENT Behaviour DEVELOPMENT Produces PHENOTYPE Biochemistry Physiology Morphology EVOLUTION Natural selection Acts on 'Learning' 'Acclimation'

(6)

dari generasi ke generasi (development plasticity), sekali lagi perubahan fenotip tersebut merupakan ekspresi dari gen-gen yang berbeda juga.

Pada hewan akuatik faktor lingkungan seperti, suhu, salinitas, tekanan, fotoperiod, pH, kecerahan, dan kandungan oksigen dapat memacu munculnya fenotipik plastisity, karena ikan merupakan hewan polikioterm (suhu badan mengikuti suhu lingkungan). Di samping itu, faktor biotik seperti predator, kelimpahan populasi, perkembangan fisiologi, juga memacu munculnya phenotipic plastisity. Faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan berbagai jenis reaksi fenotip yang berbeda (Willmer, 2000).

Pada saat menghadapi perubahan lingkungan maka hewan umumnya akan melakukan berbagai reaksi mulai dari yang paling sedikit mengeluarkan energi yaitu menghindar dari perubahan lingkungan tersebut. Beberapa strategi yang dilakukan oleh hewan pada saat menghadapi perubahan lingkungan yaitu;

a. Avoiders, mekanisme badan untuk menghindar dari perubahan atau tekanan lingkungan

b. Conformer, merubah mekanisme internal badan mengikuti perubahan lingkungan (eksternal), umumnya conformer dilakukan tidak untuk menjaga homeostatik badan secara keseluruhan c. Regulator, menjaga beberapa mekanisme atau komponen badan yang hampir sama dengan kondisi

lingkungan dan

Sebuah istilah yang umum dikenal pada proses adaptasi adalah konsep plastisity. Kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity) adalah variasi ekspresi fenotip suatu genotip sebagai respons terhadap kondisi lingkungan tertentu sehingga dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan berkembang biak. Pengontrolan variasi fenotip ini dilakukan secara genetik (level gene) (Sultan, 1987). Hewan yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan lingkungan dan mampu mengeskpresikan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan tingkah laku, maka hewan tersebut dikatakan memiliki kelenturan fenotipik (Sultan, 1987). Kelenturan fenotipik ini mencerminkan kepekaan fenotip terhadap perubahan lingkungan (Noor, 1996). Menurut Taylor & Aarssen (l989), kelenturan fenotipik sebagai suatu variasi ekspresi fenotip suatu genotip merupakan respons terhadap kondisi lingkungan tertentu dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan berproduksi pada lingkungan tersebut.

Prinsip plastisity telah menjadi kesepakatan pada para ilmuwan sebagai salah satu upaya untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Namun bagaimana cara mengukur plastisity masih terus berkembang hingga saat ini. Di antara kendala dalam pengukuran satu karakter dari plastisity adalah apakah karakter tersebut berdiri sendiri atau merupakan asosiasi dari berbagai gen. Salah satu pengukuran plastisity yang umum dilakukan adalah dengan mengukur fenotip individu dalam dua lingkungan yang berbeda tanpa menuntut keberadaan gen-gen pengontrol plastisity. Dengan menempatkan individu pada lingkungan berbeda maka hipotesa plastisity dapat dibangun.

Pada hewan akuatik yang melakukan aktivitas ruaya/migrasi fenomena plastisity menjadi sangat penting untuk menyukseskan migrasi tersebut. Mengingat migrasi merupakan aktivitas yang dilakukan dari generasi ke generasi maka dapat diduga gen yang mengontrol kegiatan migrasi akan diturunkan kepada generasi berikutnya. Untuk jangka panjang jika gen-gen yang mengontrol plastisity pada hewan migran dapat dikenali, maka pemeliharaan hewan tersebut dapat dilakukan di habitat yang diinginkan manusia.

FENOMENA PLASTISITY PADA IKAN MIGRASI

Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama proses migrasi. Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh perubahan morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. Pada ikan sidat perubahan morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver eel, meliputi pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu. Sedangkan perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan atau perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang memiliki karakter fisika dan kimia berbeda. Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang dialami oleh ikan sidat selama proses migrasi, baik perubahan morfologi maupun perubahan fisika.

(7)

Adaptasi Morfologi

Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur organisme, tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan hidup) sehingga bisa berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai macam strategi beradaptasi terhadap morfologinya. Di antara adaptasi morfologi yang ada pada ikan sidat adalah bentuk badan, warna kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan lain-lain. Adaptasi bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini sangat penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif (pasif transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai upaya adaptasi terhadap serangan predator. Pada saat memasuki perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat memasuki muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang dalam lumpur. Di samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu ikan sidat bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan predator.

Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pada tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan, sehingga memudahkan larva mengindar dari serangan preda-tor. Seiring dengan pertambahan ukuran badan pigmen ikan sidat mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan ikan akan semakin terang untuk mengikat pasangan.

Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap getaran terutama di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini sangat membantu ikan sidat dalam bergerak karena kemampuan penglihatannya kurang baik. Di samping itu, ikan sidat juga memiliki organ penciuman yang sangat baik untuk membantu mengatasi kelemahan penglihatannya.

Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-lamela yang ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk mengambil oksigen langsung dari udara, selain oksigen yang terlarut dalam air. Untuk mempertahankan kelembaban dalam rongga branchial, sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa organ yang sangat kecil terletak di bagian belakang kepala dan sangat sulit dilihat (Tesch, 2003).

Mata ikan sidat akan beradaptasi saat memasukan perairan laut dalam. Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat kali lipat ukuran normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan kemampuan melihat karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap. Pankhrust (1982) menyatakan pada saat memasuki perairan laut dalam komposisi sel retina akan mengalami perubahan, menyesuaikan intensitas cahaya.

Adaptasi Fisiologi

Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan bermigrasi dari perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar 3.000 km2 terjadi perubahan pada badan yaitu diameter mata

membesar. Pankhrust (1982) menyatakan bahwa membesarnya mata saat memijah mencapai empat kali dari sebelumnya. Selain mata, perubahan badan lainnya ketika akan memijah antara lain warna sirip pektoral yang makin gelap, perubahan komposisi sel pada retina, perubahan warna badan menjadi silver, sisik membesar, dermis menebal, densitas sel mukus meningkat terutama pada betina, bentuk kepala agak pipih, adanya peningkatan panjang dan diameter kapiler pada gelembung renang, peningkatan aktivitas Na+/K+-ATP ase pada insang, usus mengalami peningkatan bobot namun jumlah lipatannya menurun, serat otot tonus meningkat, penumpukan glikogen dalam hati dan lain-lain. Mekanisme perubahan badan tersebut banyak melibatkan hormon-hormon dalam badan, karena perubahan lingkungan akan mempengaruhi hipotalamus, yang seterusnya mempengaruhi hipofisa dan organ-organ target di bawahnya.

Menurut Tesch (1977), perkembangan gonad sidat terbagi menjadi delapan tingkatan mulai dari gonad berbentuk benang tipis hingga berupa pita berwarna putih. Scott (1979) mengemukakan faktor lingkungan yang dominan yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu, pakan, periode cahaya, dan musim.

(8)

Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap determinasi kelamin. Pada keadaan temperatur sedang (20°C–23°C) akan menghasilkan lebih banyak jantan sedangkan pada temperatur rendah dan tinggi akan didominasi oleh betina. Perkembangan gonad sangat terkait dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak makan sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Kondisi malnutrisi ini dapat mempengaruhi fungsi hipofisis gonadotropin yang berakibat pada penghambatan pertumbuhan gonad. Pada kondisi ini ikan akan memanfaatkan energi yang ada dalam badan untuk maintenance dan perkembangan gonad. Simpanan energi dalam badan ikan berasal dari konsumsi pakan dengan kadar lemak tinggi.

Periode pencahayaan dan musim sangat berpengaruh pada kematangan gonad ikan sidat sub tropis. Untuk spesies tropik musim hujan dan banjir sangat mempengaruhi kematangan gonad hal ini disebabkan oleh perubahan konsentrasi garam-garam dalam air, dan pasokan pakan akibat banjir akan memacu perkembangan gonad. Querat et al. (1987) menduga bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang dapat menginduksi kematangan gonad pada sidat, dengan cara menstimulasi ekskresi estradiol 17. Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap perkembangan gonad ikan sidat telah diteliti oleh Herianti (2005) dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa cahaya dan salinitas mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih tinggi berkaitan

Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat menghadapi kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Pada kondisi “apnoea”, yaitu keadaan di mana otot-otot pernafasan dan alat pernafasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekurangan oksigen). Ikan sidat mampu bernafas melalui permukaan kulit dan pada kondisi tertentu insang ikan sidat juga mampu mengambil oksigen langsung dari udara (Tesch, 2003).

Sidat berukuran 100 g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi (hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100 g diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100–300 g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Ikan sidat mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu hal ini disebabkan karena secara alami ikan yang melakukan aktivitas migrasi memiliki toleransi yang luas terhadap suhu dan salinitas. Daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran badan ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla australis mampu hidup pada suhu 28°C, elver 30,5°C–38,1°C dan sidat dewasa 39,7°C. Ikan sidat tropis (A. bicolor, A. marmorata) kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. austra-lis.

Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar.

Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respons ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang bermetamorfosa ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme.

DAFTAR ACUAN

Arai, T., Otake, T., & Tsukamoto, K. 1997. Drastic change in otolith microstrukture & microchemistry accompanying the onset of metamorphosis in Japanese eel, Anguilla japonica. Mar Ecol Prog Ser.,

(9)

161: 171–122.

Gunarso, W. 1988. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode, dan Teknik Penangkapan. Diktat kuliah (tidak dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, 146 hlm.

Herunadi, B. 2003. Variabilitas Arus dan Masa Air Samudera Hindia dan Pengaruhnya terhadap Migrasi Larva Sidat Tropis di Pantai Selatan Jawa. Prosiding Sumberdaya Periakanan Sidat Tropik. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, hlm. 17–24.

Irie, T. 1960. The growth of the fish otolith. Journal Faculty of Animal Husbandry–Hiroshima Univ., 3: 203–221.

Jones, H.F.R. 1970. Fish Migration. Edward Arnold (Publishers). London.

Kotake, A., Arai, T., Ohji, M., Yamane, S., Miyazaki, N., & Tsukamoto, K. 2004. Application of otolith microchemistry to estimate the migratory history of Japanese eel Anguilla japonica on the Sanriku Coast of Japan. J Appl. Ichthyology, 20: 150–153

Lucas, M.C. & Baras, E. 2001. Migration of Freshwater Fishes. Blackwell Science. London, 440 pp. McDowall, R.M. 1997. The Evolution of Diadromy in Fishes (revisited) and Its Place in Phylogenetic

Analysis. Fish Biology and Fisheries, 7: 443–462.

McKeown, B. 1984. Fish Migration. Departement Of Biologcal Science. Simon Fraser University. Tim-ber Press. London, p. 107–188.

Northcote, T.G. 1978. Migratory Strategies and Production in Freshwater Fishes. Dalam Ecology of Freshwater Production (Ed. Gerking, S.D.). Blackwell, Oxford. p. 326–359.

Noor, R.R. 1987. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.

Northcote, T.G. 1984. Mechanisms of fi sh migration in rivers. dalam Mechanisms of Migration in Fishes (Eds McCleave, J.D., Dodson, J.J., & Neill, W.H). Plenum, New York, p. 317–355.

Setiawan, I.E. 2001. Early Live History and Age at Recrutment of Tropcal Eels Anguilla spp. revealed by otolith microstructure. (Master). Kyusu University. Japan

Sultan, S.E. 1987. Evolutionary implication of phenotypic plasticity in plants. Evol. Bio., 20: 127–178. Tesch, F.W. 1977. The Eel – Biology and Management of Anguillid Eels. Chapman & Hall, London. Taylor, D.R. & Aarssen, L.W. 1988. An Interpretation of Phenotypic Plasticity in Agropyron repens

(Gramminae). Amer. J. Bot., 75(3): 401–413.

Willmer, P., Stone, G., & Jhonston, I. 2000. Enviromental Physioplogy of Animal. Blackwell Science. London

Gambar

Gambar 1. Skema pola migrasi ikanFresh water
Gambar 2. Diagram faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi tingkah laku migrasi
Gambar 3. Interaksi genotipik dan lingkungan akan selalu memberikan respons terhadap fenotip (tingkah laku) secara berurutan dimulai dari respons biokimia, fisiologi, dan terakhir morfologi

Referensi

Dokumen terkait