• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (SKN). Pembangunan kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan 36 Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (SKN). Pembangunan kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan 36 Tahun 2009"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan di bidang kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia yang diatur dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Pembangunan kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan 36 Tahun 2009 memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Departemen Kesehatan RI, 2007). Pembangunan kesehatan mencangkup kesehatan anak sebagai suatu bagian dari bangsa pada umumnya. Anak yang sehat merupakan investasi di masa depan dimana gambaran bangsa Indonesia di masa yang akan datang tergantung pada gambaran anak pada saat ini. Sehingga diperlukan anak yang berkualitas untuk dapat melanjutkan pembangunan dan cita – cita bangsa melalui optimalisasi pembangunan kesehatan (Astuti, 2011).

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih dalam kandungan. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih di dalam kandungan sampai lima tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnnya sekaligus meningkatkan

(2)

kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional, maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya (Depkes RI, 2007 ; Maritalia, 2009). Lima tahun pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang kembali sehingga disebut sebagai masa keemasan (Golden period) (Astuti, 2011).

Masa keemasan di satu tahun pertama kehidupan seorang anak merupakan masa yang sangat rentan terhadap penyakit utamanya penyakit infeksi. Anak usia dibawah satu tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi suatu penyakit karena daya tahan tubuhnya belum terbentuk dan berfungsi secara optimal yang ditunjukkan dengan perkembangan imunitas selulernya yang belum sempurna. Anak yang terjangkit infeksi mengalami risiko gangguan tumbuh kembang. Sehingga diperlukan upaya preventif untuk mencegah infeksi tersebut (Rahardiyanti dkk, 2012).

Upaya preventif dikembangkan pemerintah melalui penerapan wajib imunisasi dasar pada satu tahun pertama kehidupan anak. Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu(Saragih, 2011). Vaksin menstimulasi sistem imun tubuh untuk menjaga seseorang dari ancaman karena infeksi atau penyakit. Tujuan imunisasi adalah untuk melindungi anak atau individu dari penyakit tertentu, menurunkan angka kejadian

(3)

penyakit dan pada akhirnya mengeradikasi suatu penyakit (WHO, 2008). Imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam menurunkan angka kematian bayi pada Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I). PD3I seperti tuberkulosis (TB), dipteri, tetanus, pertusis, polio, campak, hepatitis B turut berkontribusi terhadap kematian bayi (Sundoro, 2012).

Jangkauan cangkupan imunisasi semakin luas seiring dengan penetapan Global Vaccine Action Plan 2011-2020 dimana salah satu poinnya dengan merealisasikan tujuan Millenium Development Goals (MDGs) poin keempat yaitu penurunan angka kematian bayi dan balita dengan indikator angka kematian balita, angka kematian bayi dan pencapaian imunisasi campak (WHO, UNICEF, NIAID dan Gate Foundation, 2013). Kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan, sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai MDGs. Indonesia menargetkan penurunan angka kematian balita sebesar duapertiganya yaitu pada tahun 2012 angka kematian bayi 32 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita 40 kematian per 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut belum mencapai target MDGs untuk kematian bayi sebesar ≤ 23 per 1000 kelahiran hidup dan kematian balita ≤32 per 1000 kelahiran hidup (BKKBN, BPS dan Kementrian Kesehatan,2012). Direktur Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) tahun 2013 melaporkan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi usia 0 – 11 bulan tahun 2012 hingga triwulan III sebesar 57,9% sementara presentase anak usia 0 – 11 bulan yang mendapat imunisasi campak tahun

(4)

2012 hingga triwulan ketiga 68,5% (Antara, 2013). Angka ini masih dibawah standar WHO yang memberi estimasi sebesar 80% untuk cakupan imunisasi campak anak usia dibawah 24 bulan (Sarimin, 2011).

Sebagian besar anak tidak mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap sehingga anak dinyatakan drop out (DO) atau anak tidak lengkap imunisasinya. Di Indonesia tahun 2009, anak usia 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar tidak lengkap yaitu 33,5% (Riskesdas, 2010). Drop Out Rate Provinsi Bali pada tahun 2012 masih berada di bawah batas < 5%. Demikian halnya dengan sebagian besar kabupaten/kota, yaitu 8 kab/kota (88,9%) memiliki DO Rate di bawah standar, belum melebih batas < 5% (Ditjen PPPLdan Kemenkes RI, 2013). Padahal pemberian imunisasi merupakan langkah preventif untuk pencegahan PD3I yang berkontribusi pada angka kematian balita secara nasional. Berdasarkan kajian kementerian kesehatan mengenai Universal Child Immunization 2010 – 2014 menemukan alasan terbanyak bayi mengalami drop out sebesar 13% ibu berespon berupa ketakutan akan efek samping imunisasi (Depkes RI, 2010).

Prosedur imunisasi menimbulkan efek jangka pendek berupa Kejadian Ikutan paska Imunisasi (KIPI) yang merupakan reaksi yang ditimbulkan akibat proses imunisasi baik berupa reaksi sistemik maupun lokal seperti bengkak dan kemerahan di sekitar suntikan. Pemberian imunisasi secara suntikan yang berulang merupakan tindakan yang dapat menimbulkan nyeri pada bayi dan distress pada bayi dan ibu (Chamber CT et al., 2009). Hal ini ditakutkan akan menimbulkan dampak jangka

(5)

panjang berupa trauma akan pengalaman nyeri saat imunisasi. Hasil studi menunjukkan bahwa anak yang berumur 2–3 hari mengingat pengalaman nyeri saat imunisasi sebagai dokumentasi untuk reaksinya pada pengalaman selanjutnya (Razek AA dan El-Dein, 2008). Pengalaman dengan suntikan jarum yang menimbulkan nyeri pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi kecemasan sebelum prosedur dimasa akan datang terlebih mempengaruhi nyeri prosedur berikutnya bahkan berkembang menjadi needle phobia (Taddio, 2012).

Ingatan yang negatif tentang nyeri akibat prosedur masa lalu meningkatkan distress anak (Sarimin, 2011). Distress yang dialami anak membuat orang tua menghindar untuk melakukan imunisasi pada anak sehingga terjadi penurunan jumlah kunjungan, peningkatan PD3I yang berdampak pada peningkatan biaya kesehatan (Kimmel, Burns, Wolf, & Zimmerman, 2007; Taddio et al, 2010). Orang tua bertanggung jawab atas tumbuh kembang anak melalui pemenuhan imunisasi lengkap untuk mencegah PD3I pada anak. Pemenuhan imunisasi yang lengkap tidak terlepas dari dukungan perawat terhadap keluarga dengan melibatkan orang tua dalam prosedur imunisasi anak. Keterlibatan ini sangat penting karena orang tua lebih mengetahui dan memahami perubahan prilaku yang terjadi saat prosedur imunisasi. Pendekatan yang dilakukan orang tua terhadap anak adalah dengan menentramkan anak. Dari hasil penelitian disebutkan bahwa semua orang tua memberi dukungan secara emosional pada anak,sebagian besarnya (91%) berbicara untuk dan/atau menenangkan anak dan 73% mengusap dan/atau mencium anaknya (Sufriani, 2010).

(6)

Prosedur imunisasi yang menyebabkan nyeri pada anak berhubungan dengan distress emosional yang berdampak pada prilaku orang tua dalam menanggapi nyeri pada anak. Orang tua juga merasa terancam dan mengalami tekanan ketika dihadapkan pada anak yang menderita nyeri (Caes, Vervoort, & Goubert, 2012). Hal ini jelas bagaimana nyeri pada anak berpengaruh pada respon prilaku dan emosional yang dirasakan oleh orang tua. Oleh karena itu perawat bertanggung jawab untuk membantu mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan anak agar tidak menimbulkan trauma jangka panjang pada anak (Bagnasco et.all, 2012).

Intervensi yang diterapkan untuk mengurangi nyeri saat prosedur imunisasi melalui dua pendekatan yaitu terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi dengan pendekatan non farmakologis menjadi pilihan terapi yang memiliki keuntungan berupa cost-effective yang tinggi, non invasif serta tidak menimbulkan efek samping yang merugikan. Adapun terapi non farmakologis yang sering digunakan meliputi sweet solution, breastfeeding analgesia, posisi anak, terapi es, skin to skin contact (Kangaroo Care), distraksi, humor dari orang tua dll Sreptiani, 2013;Taddio, 2010). Intervensi yang melibatkan keluarga merupakan salah satu intervensi yang memiliki cost-effective yang tinggi. Family Triple Support (FTS) merupakan salah satu intervensi non farmakologis yang melibatkan keluarga dalam pelaksanaannya. FTS merupakan intervensi terintegrasi yang melibatkan peran orang tua dalam mengatasi permasalahan nyeri saat prosedur imunisasi bayi. Intervensi ini terdiri atas pemberian informasi tentang metode reduksi nyeri pada bayi dan dilanjutkan dengan

(7)

pelaksanaan metode mengurangi nyeri saat prosedur imunisasi pada bayi. Metode mgurangi nyeri yang ditawarkan dalam FTS berupa pemberian ASI dengan posisi anak sitting up (posisi kepala lebih tinggi dari ektremitas bawah/semi fowler) diikuti dengan distraksi menggunakan mainan bersuara (krincingan) (Sufriani. 2010; Taddio A et al., 2009;Sarimin, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang mendukung meliputi penelitian yang dilakukan Indra Tri Astuti (2011), bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektifitas pemberian intervensi ASI dengan air gula mengurangi nyeri saat bayi diimunisasi. Penelitian ini menggunakan design quasi experiment dengan postes kelompok-kontrol nonekuivalen (after only nonequivalent control group design). Dari hasil penelitian diperoleh terdapat perbedaan respon nyeri yang bermakna antara ketiga kelompok, dimana respon nyeri pada kelompok yang diberikan ASI lebih rendah dibandingkan dua kelompok lainnya.

Penelitian yang dilakukan Aida Abdul Razek dan Nagwa AZ El-Dein (2009), bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ASI pada penurunan nyeri selama injeksi imunisasi pada bayi. Penelitian menggunakan design quasi experiment dengan group kontrol. Hasil penelitian menunjukkan pemberian ASI dan skin – to skin contact secara signifikan mampu menurunkan intensitas menangis pada bayi yang mendapat injeksi imunisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Gedam GS, Verma M, Patil U dan Gedam S (2013), bertujuan untuk mengetahui efektifitas teknik distraksi audiovisual pada anak

(8)

selama dan setelah imunisasi. Penelitian menggunakan quasi experiment tiga kelompok pre test post test design. Hasil penelitian menunjukkan dua kelompok yang diberikan distraksi memiliki skor nyeri yang rendah dibandingkan kelompok kontrol pada anak yang diimunisasi

Penelitian yang dilakukan oleh Hajar Hadadi Moghadam dkk (2011), bertujuan untuk mengetahui efektifitas distraksi terhadap penurunan intensitas nyeri saat imunisasi bayi. Penelitian menggunakan design experiment dengan grup kontrol pre-post design. Hasil penelitian menunjukkan teknik distraksi efektif menurunkan nyeri selama vaksin imunisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Lacey Cm, et al. (2008), bertujuan untuk mengetahui perbedaan posisi bayi antara sitting up dengan supine terhadap respon nyeri saat imunisasi bayi. Penelitian menggunakan quasy experiment dengan dua grup intervensi dengan design pre – post test. Hasil penelitian menunjukkan posisi sitting up lebih membuat bayi nyaman daripada supine sehingga dapat mengurangi terjadinya nyeri saat injeksi.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Puskesmas I Denpasar Barat pada tanggal 8 Oktober 2013 yang merupakan puskesmas yang memiliki cakupan wilayah terluas di kota Denpasar. Pada tahun 2012 angka kelahiran bayi dan pasangan usia subur tertinggi berada di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Barat sebanyak 18.042 orang dan 2342 orang. Hal ini memungkinan tingginya jumlah bayi yang akan dilakukan prosedur imunisasi di Puskesmas I Denpasar Barat, dimana data

(9)

bayi yang mendapatkan imunisasi sepanjang tahun 2013, rata-rata kunjungan imunisasi perbulan sebanyak 110 bayi. Dari hasil wawancara dan observasi dengan petugas yang menaungi bagian kesehatan ibu dan anak bagian imunisasi menyatakan bahwa petugas memberikan petunjuk menggendong bayi seperti menyusui saat diinjeksi vaksin dan setelahnya menyerahkan tanggung jawab kepada ibu untuk mengurangi nyeri bayinya tanpa petunjuk yang jelas dari perawat. Puskesmas belum memiliki media informasi seperti leaflat mengenai metode untuk mengurangi nyeri prosedur imunisasi serta sebelum tindakan injeksi vaksin, perawat belum melakukan pemberian informasi mengenai metode mengurangi nyeri saat prosedur imunisasi kepada keluarga mengingat tuntutan pekerjaan yang padat hingga tidak memiliki waktu luang untuk melaksanakannya. Hasil wawancara pada hari yang sama dengan tiga orang ibu yang anaknya diimunisasi mengatakan belum mengetahui metode untuk mengurangi nyeri saat diimunisasi. Keluarga hanya mengikuti petujuk apa yang diperintahkan oleh petugas imunisasi. Berdasarkan studi pendahuluan kedua yang dilakukan peneliti di Puskesmas I Denpasar Barat pada tanggal 29 Oktober 2013 dari pukul 08.30-09.50 WITA, terdapat 17 bayi yang teregristrasi dilakukan prosedur imunisasi DPT,HB dan Hib melalui injeksi intramuskular di bagian paha anterolateral (vastus lateralis). Dari hasil observasi 17 bayi, semua bayi menunjukkan respon menangis dengan mata tertutup selama dan setelah dilakukan injeksi melalui intramuskular bersamaan tehnik penurunan nyeri yang dianjurkan perawat berupa memposisikan bayi seperti orang menyusui. Sebanyak 5 bayi menangis sebelum

(10)

dilakukan tindakan injeksi imunisasi tersebut. Hal ini menunjukkan kurang optimalnya pelaksanaan atraumatik care saat imunisasi.

Berdasarkan latar belakang diatas dirasa perlu untuk mengembangkan intervensi berbasis atraumatic care dengan pendekatan family centerd care. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana pengaruh Family Triple Support (FTS) yang meliputi pemberian edukasi tentang penanganan nyeri kepada ibu bayi yang dilanjutkan dengan pelaksanaan metode penurunan nyeri yang berupa pemberian ASI dengan posisi anak sitting up (posisi kepala lebih tinggi dari ektremnitas bawah/semi fowler) diikuti dengan distraksi menggunakan mainan bersuara (krincingan) dengan judul “Pengaruh Family Triple Support (FTS) berbasis Atraumatic Care terhadap Respon Nyeri Bayi saat Imunisasi di Puskesmas I Denpasar Barat”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh Family Triple Support (FTS) berbasis Atraumatic Care terhadap Respon Nyeri Bayi saat Imunisasi di Puskesmas I Denpasar Barat?”

1.3 Tujuan

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan Umum

(11)

Mengetahui pengaruh Family Triple Support (FTS) berbasis Atraumatic Care terhadap Respon Nyeri Bayi saat Imunisasi di Puskesmas I Denpasar Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden (Usia, jenis kelamin, jenis imunisasi, pengalaman suntikan imunisasi dan pendidikan ibu)

b. Mengetahui skor respon nyeri 5 detik sebelum prosedur suntikan imunisasi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

c. Mengetahui skor respon nyeri 15 detik setelah prosedur suntikan imunisasi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

d. Mengetahui selisih skor nyeri antara 5 detik sebelum dengan 15 detik setelah prosedur suntikan imunisasi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

e. Menganalisa pengaruh Family Triple Support (FTS) terhadap respon nyeri bayi saat prosedur imunisasi pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

1.4 Manfaat

Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini menambah data kepustakaan keperawatan khususnya yang berkaitan dengan pengembangan atraumatic care dan family centered

(12)

care, dan memberikan informasi dalam penerapan manajemen nyeri pada suntikan imunisasi dengan pemberdayaan keluarga

b. Sebagai data dasar melaksanakan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan manajemen nyeri pada anak yang mendapat suntikan imunisasi.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian ini memberikan pilihan strategi bagi perawat dalam menerapkan prinsip atraumatic care khususnya pada pasien yang diimunisasi

b. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini memberikan masukan bagi institusi dalam meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan pada anak dan dapat dijadikan sebagai bukti untuk mengembangkan praktek keperawatan.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan kenaikan persen peredaman DPPH dari konsentrasi bentonit 10, 20 dan 40 ppm tetapi pada konsentrasi 80 ppm terjadi

Kemampuan akademik siswa adalah gambaran tingkat pengetahuan atau kemampuan siswa terhadap suatu materi pembelajaran yang sudah dipelajari dan dapat digunakan

36 Tahun 2009 khususnya berkaitan dengan aborsi yang aman bagi korban perkosaan yang terdapat dalam Pasal 75 ayat 2b, 76, 77 dan 194 dipandang oleh sebagian orang yang

Kesadahan air adalah kandungan mineral-mineral yang terdapat di dalam air umumnya mengandung ion Ca2+ dan Mg2+.. Selain ion kalsium dan magnesium, penyebab kesadahan juga

Dilihat dari hasil deskriptif, dapat disimpulkan strategi bisnis diferensiasi dan penggunaan ukuran kinerja non keuangan mempunyai pengaruh yang tidak terlalu besar

Setelah mengikuti pembelajaran praktek kebidanan komunitas selama 3 minggu, mahasiswa diharapkan mampu mengelola, membina dan memberikan pelayanan kebidanan di komunitas dengan

Dengan demikian, ketika ketiga unsur ini tidak dimiliki oleh suatu ilmu pengetahuan, yaitu tidak mampu mendatangkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi kehidupan manusia,

Populasinya adalah mahasiswa Proram Studi Pendidikan Tata Boga angkatan 2010 sebanyak 46 orang dengan sampel jenuh.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada elemen