• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Seorang Pemeriksa Pajak (Friday, 12 August 2005) - Kontribusi dari nditz - Terakhir diperbaharui (Tuesday, 25 April 2006)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kisah Seorang Pemeriksa Pajak (Friday, 12 August 2005) - Kontribusi dari nditz - Terakhir diperbaharui (Tuesday, 25 April 2006)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Kisah Seorang Pemeriksa Pajak

(Friday, 12 August 2005) - Kontribusi dari nditz - Terakhir diperbaharui (Tuesday, 25 April 2006)

Artikel menarik dari milist... Penulis: anonymous

Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Sebagai pegawai Departemen

Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak

kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim

Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang

saja. Jadi benarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali. Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya

sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.

Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun

1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian

saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi

pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim.

Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah,

jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung

keluarga, karena isteri juga aktif dalam

pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak

orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau

diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak

jadi. Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu.

Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang kita pilih

ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan

selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa

kejadian yg kami alami selama menjalankan prinsip

hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak.

Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah. Menjalani prinsip seperti ini jelas

(2)

banyak ujiannya. Di mata keluarga besar

misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami

membantu adik-adik dan keluarga. Tapi kami berusaha

menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit

dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung

ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami.

Jabatan saya sampai sekarang adalah

petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala

Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru,

penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat.

Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama

poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh. Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman

itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras,

pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka. Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika

mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara

seperti ini sudah direkayasa.

Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati.

Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja

pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain

lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga

satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di

akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau

jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada

anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada

anak-anak. Tidak terlalu saya perhatikan.

Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.

(3)

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita

ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut

dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap

efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak

adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan

penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti

perusahaan lain. Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia

memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa

membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga

tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya

satu-satunya anggota tim yang menolak dan meminta

agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu

pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi

saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka.

Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya

dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan. Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan seperti keluarga

sendiri dengan saya itu mengatakan, "Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik."

Saya katakan, "Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk

tidak melakukan korupsi." Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika

mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kecuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang

suap. Bukan karena saya

tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau.

Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika

mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. Ia

(4)

lalu mengatakan, "Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai," katanya. Ternyata di

luar pengetahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplop itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk

keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu.

Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang

dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena

sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.

Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan

kepala seksi. Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, "Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan

kalian!" Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung

dimutasi antar seksi. Awalnya saya di auditor, lantas saya diletakkan di arsip,

meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja ada saat

tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi

alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas.

Ada pengalaman lain yang masih saya ingat

sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk

membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun. Saya mau bicara dengan pihak rumah sakit dan

terus terang bahwa insya Allah pekan

depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa

ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman

lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia

dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit.

Wallahu a'lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau

bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas.

(5)

Alhamdulillah. Ada lagi peristiwa hampir sama,

ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa Askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak

saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke rumah sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap

berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana?

Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam

uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika

sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana

kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan,

"Kenapa tidak bilang-bilang?" Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu

pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan

pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah.

Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam

korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar

keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta

bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya

mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha

dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha

lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.

Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya

lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan

pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim

pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya

mengatakan dengan bercanda, "Uang setan ya dimakan hantu."

Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.

Ada juga di antara teman-teman yang

beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya

(6)

menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan, itu hanya memberi. Mereka

mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang

sebesar itu. Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung iasanya memberi uang hari Jumat atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum?atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar

uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur'an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi

memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri

karena dikejar- kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka

sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan.

Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut

kajian keislaman di kampus. Tapi ketika

keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak

punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur

jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman- teman di kantor. Bahkan

sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara. Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor

dan teladan di mana saja. Kiatnya

hanya satu, terus menerus menumbuhkan

rasa takut menggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki

yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca).

Takut akan Tuhan itulah kuncinya. Kiranya menjadi berkat bagi kita semua... Amin... :-)

Referensi

Dokumen terkait