• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Demam Tifoid Di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Demam Tifoid Di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 1

Artikel Penelitian Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Demam Tifoid Di Wilayah Kerja

Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang

Dwi Febriana *), Yuliaji Siswanto**), Puji Pranowowati**) *)

Mahasiswa PSKM STIKES Ngudi Waluyo **)

Dosen Pembimbing STIKES Ngudi Waluyo ABSTRACT

Typhoid fever is an acute infection of the digestive tract caused by salmonella typhi. The disease is still become public health problem especially in development countries. In Indonesia, the incidence of typhoid fever at hospital in 2011 were 41.081 cases and 274 died. The incidence of typhoid fever at the Lerep Public Health Center in 2013 were 917 cases. The purpose of this study is to determine the correlation between environmental sanitation with the typhoid fever at Lerep Public Health Center Working Area Semarang Regency.

The study design used analytic with cross sectional approach. The population in this study were all patients at Lerep health center from January 1st until June 17th 2014 with sample of 64 respondents drawn by using purposive sampling. Data collection used questionnaires and observation sheets, analyzed by using univariate and bivariate with Chi-square test (α=0,05).

The results show that there is correlation between source of clean water for drinking (p=0,033), there is correlation between source of clean water for cooking (p=0,014), and there is no correlation between excrate disposal device (p=0,364), there is no correlation between waste treatment (p=0,269) with the incidence of typhoid fever.

Community is expected to maintain the cleanliness of latrines, improving wasting management well and maintain the quality of water comsumed.

Key Words : Typhoid fever, Environmental Sanitation ABSTRAK

Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh salmonella typhi. Penyakit ini berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia jumlah kejadian demam tifoid di rumah sakit pada tahun 2011 adalah 41.081 kasus dan 274 meninggal. Angka kejadian demam tifoid di Puskesmas Lerep tahun 2013 sebanyak 917 kasus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang.

Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini semua pasien rawat inap di Puskesmas Lerep selama 1 Januari – 17 Juni 2014 dengan sampel sebanyak 64 responden yang diambil secara purposive sampling. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar pengamatan, dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji Chi-square (α=0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara sumber air bersih untuk minum (p=0,033), ada hubungan sumber air bersih untuk masak (p=0,014), dan tidak ada hubungan antara sarana pembuangan tinja (p=0,364), tidak ada hubungan pengolahan sampah (p=0,269) dengan kejadian demam tifoid.

Masyarakat diharapkan untuk menjaga kebersihan jamban, meningkatkan pengolahan sampah dengan baik dan menjaga kualitas air yang dikonsumsi.

(2)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 2

PENDAHULUAN

Penyakit demam tifoid di suatu daerah tergantung pada manusia yang peka terhadap kondisi lingkungan yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme penyebab penyakit. Kebersihan dan sanitasi lingkungan yang buruk merupakan faktor yang dapat meningkatkan penyebaran penyakit seperti, kurangnya sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal dan penggunaan tinja untuk pupuk sayuran dapat meningkatkan penyakit menular yang menyerang sistem pencernaan.1

Demam tifoid masih merupakan masalah penyakit global, besarnya angka pasti demam tifoid sulit ditentukan, WHO memperkirakan jumlah kasus demam tifoid diseluruh dunia mencapai 16 – 33 juta penderita, dengan 500.000 hingga 600.000 kematian setiap tahunnya. Kasus demam tifoid paling tinggi terdapat di kawasan Asia Tengah dan Asia Tenggara.2

Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) Propinsi Jawa Tengah tahun 2007, menjelaskan bahwa tifoid terutama ditemukan pada kelompok umur usia sekolah dan lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Sedangkan berdasarkan pengeluaran perkapita, tifoid cenderung lebih tinggi pada rumah tangga dengan tingkat pengeluaran perkapita rendah.3

Demam tifoid dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan), sanitasi lingkungan (sumber air bersih, sarana pembuangan tinja, pengolahan sampah rumah tangga) perilaku (perilaku mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, perilaku mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar), dan carier.4 Menurut karakteristik umur, semua kelompok umur dapat tertular demam tifoid, tetapi paling banyak pada kelompok umur dewasa muda.2

Berdasarkan uraian diatas yang dapat diketahui bahwa sanitasi lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya penyakit demam tifoid, maka penulis tertarik untuk menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid. METODE PENELITIAN

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Populasi

dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap di Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang selama 1 Januari – 17 Juni 2014 yang berjumlah 64 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu sebanyak 43 sampel, dengan kriteria sebagai berikut: usia ≥ 15 tahun, alamat rumah berada di wilayah kerja Puskesmas Lerep dan bersedia menjadi responden.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner (tentang sumber air bersih dan pengolahan sampah) dan lembar observasi untuk sarana pembuangan tinja. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square untuk mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid. Penghitungan menggunakan program SPSS 16 dengan α = 0,05. Dasar pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan p value dengan α, p value α maka hipotesis penelitian diterima, artinya ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sumber air bersih

Tabel 1 Distribusi responden

berdasarkan sumber air bersih Variabel Frekuensi

(n=43)

Persentase (%) Sumber Air Bersih

Untuk Minum - Sumur gali 13 30,2 - Mata air - PDAM 23 7 53,5 16,3 Sumber Air Bersih

Untuk Masak

- Sumur gali 12 27,9

- Mata air - Air isi ulang - PDAM 23 2 6 53,5 4,6 14,0 Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian dari responden menggunakan sumber air bersih untuk minum dan masak berasal dari mata air yaitu 53,5% (23 orang). Hal ini disebabkan karena mayoritas dari responden tinggal di dataran tinggi, yang meliputi Desa Kalisidi, Keji, Nyatnyono dan sebagian Desa Lerep. Dimana pada tempat penelitian tersebut sudah ada program tersendiri seperti PAMSIMAS. Program tersebut dikelola oleh masyarakat dengan cara membuat bak

(3)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 3

penampungan air di beberapa tempat kemudian disalurkan melalui selang atau pipa untuk sampai ke rumah – rumah responden.

Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat di Indonesia dimulai pada tahun 2008, dimana sampai dengan tahun 2012 telah berhasil meningkatkan jumlah warga miskin pedesaan dan pinggiran kota yang dapat mengakses pelayanan air minum dan sanitasi. Guna meningkatkan akses penduduk pedesaan dan pinggiran kota terhadap fasilitas air minum dan sanitasi, maka program Pamsimas dilanjutkan pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2016.5 Namun, pada daerah penelitian program pamsimas sendiri dimulai sejak tahun 2013.

Air sangat penting bagi kehidupan manusia, kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum dan masak. Sesuai dengan prinsip teknologi tepat guna di pedesaan, maka sumber air bersih yang berasal dari mata air dan sumur gali yang terlindungi dan tidak tercemar dapat diterima sebagai air yang sehat dan layak untuk dikonsumsi.6 2. Sarana Pembuangan Tinja

Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan sarana pembuangan tinja Sarana Pembuangan Tinja Frekue nsi Persenta se (%) Tidak memenuhi syarat 27 62,8

Memenuhi syarat 16 37,2

Total 43 100,0

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden memiliki sarana pembuangan tinja tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 62,8% (27 orang). Jamban sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat kesehatan sebagai berikut a) kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus, b) tersedia air, sabun dan alat pembersih.7

Hasil pengumpulan data diperoleh sarana pembuangan tinja responden tidak memenuhi 4 indikator syarat jamban sehat yang terdiri dari : a) tersedia air di ruangan jamban, b) tersedia sabun didekat jamban, c) lantai dan dinding jamban bebas dari tinja, dan d) tersedia alat pembersih di ruangan jamban. Didapatkan sebagian dari responden tidak tersedia alat pembersih kloset di ruangan

jamban yaitu 55,8% (24 orang), adapula dari responden yang tidak tersedia sabun diruangan jamban yaitu 37,2% (16 orang) serta 11,6% (5 orang) dari responden mempunyai lantai dan dinding jamban tidak bebas dari tinja. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi kamar mandi yang juga digunakan sebagai tempat untuk mencuci perabotan rumah tangga, dimana limbah hasil cucian tersebut menyebabkan sumbatan pada aliran air dan dapat dijamah oleh serangga dan tikus.

3. Pengolahan Sampah

Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan pengolahan sampah Pengolahan Sampah Frekuensi Persentase (%) Dibiarkan ditempat terbuka 2 4,7 Dibuang ke sungai Dibakar Dikumpulkan dan dibuang ke TPS 12 17 12 27,9 39,5 27,9 Total 43 100,0

Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian dari responden mengolah sampah secara dibakar dengan persentase 39,5% (17 orang). Hal ini disebabkan karena sebagian dari responden dalam penelitian ini bertempat tinggal di pedesaan dan masih mempunyai lahan yang cukup untuk mengolah sampah yang dihasilkan dari responden tersebut. Mengolah sampah dengan cara dibakar merupakan tradisi masyarakat di daerah penelitian dan kegiatan tersebut dilakukan setiap hari. Pengolahan sampah secara dibakar adalah cara yang paling mudah dan menghemat biaya. Selain itu, di Indonesia sendiri program pengolahan sampah dengan konsep 3R belum serentak. Secara nasional rata-rata baru mencapai 7%, hal ini disebabkan karena masyarakat di Indonesia memiliki rasa kepedulian yang rendah terhadap lingkungan.8

Pada saat pengumpulan data tidak diketahui dimana tempat pengumpulan sampah yang dihasilkan oleh responden mungkin saja pengumpulan sampah dilakukan diluar atau didalam rumah serta tidak diketahui pula frekuensi pembuangan sampah yang telah dikumpulkan oleh responden. Padahal pengolahan sampah yang baik menurut Notoadmodjo (2007)6, meliputi pengumpulan, pengangkutan sampah sampai

(4)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 4

dengan pemusnahan dan pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak menjadi gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Pengumpulan sampah itu sendiri tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga yang menghasilkan sampah. 4. Kejadian Demam Tifoid

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kejadian Demam Tifoid Kejadian Demam Tifoid Freku ensi Persentase (%) Demam Tifoid 24 55,8

Tidak Demam Tifoid 19 44,2

Total 43 100,0

Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh dari responden menderita demam tifoid dengan persentase 55,8% (24

orang). Seorang yang menderita demam tifoid dapat dipengaruhi oleh karakteristik responden yaitu umur dan jenis kelamin. Proporsi umur responden terbanyak yaitu antara umur 25-34 tahun yaitu 25,6% (11 orang). Hal ini berbeda dengan kebanyakan kasus demam tifoid bahwa distribusi umur responden terbanyak pada kelompok umur 2-19 tahun.

Menurut jenis kelamin responden, dengan jenis kelamin perempuan mempunyai proporsi lebih banyak yaitu 65,1% (28 orang). Hal tersebut berbeda dengan kebanyakan kasus demam tifoid bahwa laki-laki mempunyai risiko lebih banyak terpapar dengan kuman salmonella typhi karena aktivitas di luar rumah lebih banyak dibandingkan wanita.

Tabel 5 Hasil analisis bivariat hubungan variabel bebas dengan kajdian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang

Variabel

Kejadian Demam Tifoid

Total

p PR Demam Tifoid Tidak

Demam Tifoid

f % f % f %

Sumber air bersih untuk minum

Berisiko 23 63,9 13 36,1 36 100,0 0,033 4,472

Tidak berisiko 1 14,3 6 85,7 7 100,0

Sumber air bersih untuk masak

Berisiko 23 65,7 12 34,3 35 100,0 0,014 5,257

Tidak berisiko 1 12,5 7 87,5 8 100,0

Sarana pembuangan tinja

Tidak memnuhi syarat 17 63,0 10 11,9 27 100,0 0,364 1,439

Memenuhi syarat 7 43,8 9 56,2 16 100,0

Pengolahan sampah

Berisiko 10 71,4 4 28,6 14 100,0 0,269 1,480

Tidak berisiko 14 48,3 15 51,7 29 100,0

Hasil analisis terhadap variabel sumber air bersih untuk minum diperoleh bahwa responden yang mengalami demam tifoid lebih banyak pada sumber air bersih yang berisiko yaitu 63,9% (23 orang) daripada responden yang memiliki sumber air bersih untuk minum yang tidak berisiko dan menderita demam tifoid yaitu 14,3% (1 orang).

Berdasarkan hasil analisis p-value 0,033 Didapatkan pula nilai PR (Prevalensi Ratio) sebesar 4,472 artinya responden dengan sumber air bersih untuk minum yang berisiko mempunyai risiko 4,47 kali terhadap kejadian demam tifoid dibanding responden yang sumber air bersih untuk minum tidak berisiko.

Sedangkan hasil analisis terhadap variabel sumber air bersih untuk masak

diketahui bahwa responden yang memiliki sumber air bersih untuk masak yang berisiko dan menderita demam tifoid mempunyai proporsi lebih banyak yaitu 65,7% (23 orang) daripada responden yang memiliki sumber air bersih untuk masak yang tidak berisiko dan menderita demam tifoid yaitu 12,5% (1 orang).

Berdasarkan hasil analisis nilai p = 0,014. Didapatkan pula nilai PR (Prevalensi Ratio) sebesar 5,257 artinya responden dengan sumber air bersih untuk masak yang berisiko mempunyai risiko 5,25 kali terhadap kejadian demam tifoid dibanding responden yang sumber air bersih untuk masak tidak berisiko.

Dimana sumber air bersih untuk minum dan masak responden berasal dari mata air dan sumur gali, alasan yang menjadi penyebab

(5)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 5

sumber air bersih yang berisiko dan dikonsumsi responden pada penelitian ini adalah tidak diketahui apakah sumber air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan atau belum baik syarat fisik maupun bakteriologis. Dilihat dari syarat fisik memang air bersih yang dikonsumsi responden sudah memenuhi syarat (tidak keruh, tidak berbau dan tidak berasa) akan tetapi untuk syarat secara bakteriologis belum diketahui. Hal yang mungkin terjadi pada sumber air bersih yang berasal dari mata air adalah sumber air yang digunakan mungkin bukan pada mata air tetapi pada saluran air yang berasal dari mata air yang kemungkinan dapat tercemar. Sedangkan untuk sumber air bersih yang berasal dari sumur gali didapatkan sumur milik responden tidak tertutup dan tidak diketahui berapa jarak antara sumber air bersih dengan sumber pencemar yaitu 6,9% (3 orang). Padahal bakteri yang ada pada sumber pencemar akan mudah mengkontaminasi sumber air bersih dari sumur gali pada jarak kurang dari 10 meter.

Sumber air bersih yang tidak memenuhi kualitas kesehatan cenderung sebagai sarana penyebaran berbagai penyakit, diantaranya adalah penyakit demam tifoid. Untuk berbagai keperluan hidup, air bersih harus memenuhi beberapa syarat baik syarat fisik maupun syarat bakteriologis. Selain syarat air bersih, adapula yang harus diperhatikan yaitu jarak sumber air bersih dengan sumber pencemar.9

Kuman salmonella typhi sering ditemukan di sumur-sumur yang telah terkontaminasi oleh feses manusia yang terinfeksi oleh kuman salmonella typhi. Hal ini dapat terjadi karena jarak lubang septik tank kurang dari 10 m dengan sumur gali. Sehingga kuman salmonella typhi yang berada dalam septik tank akan mengontaminasi air sumur yang digunakan untuk konsumsi keluarga. Bila air tersebut di minum oleh manusia maka salmonella typhi akan masuk lagi ke usus manusia dan berkembang hingga dapat menyebabkan demam tifoid. Jadi air merupakan salah satu media penularan yang paling penting terhadap penyakit demam tifoid.10

Diketahui pula responden yang memiliki sumber air bersih untuk minum yang berisiko dan tidak menderita demam tifoid yaitu 36,1% (13 orang), sedangkan untuk sumber air bersih untuk masak yang berisiko dan tidak

menderita demam tifoid yaitu 34,3% (12 orang). Hal ini dapat dipengaruhi oleh cara pengolahan air responden yang dikonsumsi, responden merebus air sebelum dikonsumsi sampai mendidih sehingga bakteri yang ada dalam air mati dan tidak dapat menularkan penyakit salah satunya penyakit demam tifoid.

Pengolahan air yang baik dan benar dapat dilakukan dengan cara pasteurisasi atau memanaskan air pada temperatur 55oC – 60oC selama 10 menit. Hal tersebut dapat mematikan sebagian besar patogen yang ada dalam air. Walaupun demikian cara ini tidak efektif, sebab kita hampir tidak mungkin setiap saat dapat memantau air yang kita panaskan. Akan tetapi ada cara yang lebih efektif yaitu memasak atau merebus air yang akan kita konsumsi hingga mendidih. Cara ini sangat efektif untuk mematikan semua patogen yang ada dalam air seperti virus, bakteri, protozoa, fungi dan spora. Lama waktu air mendidih yang dibutuhkan adalah sekitar 5 menit, namun lebih lama waktunya akan lebih baik, direkomendasikan selama 20 menit.11

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pramitasari (2013)14 menunjukkan adanya hubungan antara sumber air bersih dengan kejadian demam tifoid dengan nilai p=0,045.

Hasil analisis terhadap variabel sarana pembaungan tinja dengan kejadian demam tifoid dapat diketahui bahwa responden yang memiliki sarana pembuangan tinja tidak memenuhi syarat dan menderita demam tifoid mempunyai proporsi lebih banyak yaitu 63,0% (17 orang) daripada responden yang memiliki sarana pembuangan tinja memenuhi syarat dan menderita demam tifoid yaitu 43,8% (7 orang).

Berdasarkan hasil analisis nilai p = 0,364. Walaupun dalam hasil analisis penelitian menunjukkan tidak ada hubungan, tetapi didapatkan nilai PR (Prevalensi Ratio) sebesar 1,439 artinya responden dengan sarana pembuangan tinja tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 1,43 kali terhadap kejadian demam tifoid dibanding responden yang sarana pembuangan tinja memenuhi syarat.

Hal tersebut dapat diketahui dari responden yang tidak memiliki alat pembersih kloset sebesar 55,8% dan tidak memiliki sabun 37,2%, walaupun sarana jamban responden tidak memenuhi syarat akan tetapi jambannya terlihat bersih. Mungkin pada saat

(6)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 6

pengumpulan data yang dilakukan saat itu juga tanpa pemberitahuan terlebih dulu, kamar mandi atau jamban responden setelah dipakai atau setelah dibersihkan dan tidak ada bekas tinja di dinding jamban sehingga bakteri yang ada pada tinja tidak dapat diakses oleh vektor serta tidak dapat menularkan penyakit. Hal ini dapat dipengaruhi oleh perilaku mencuci tangan setelah buang air besar dengan sabun dan dapat mengurangi risiko penularan penyakit yang ditularkan oleh tinja manusia.

Menurut Soeparman dkk (2002)13, tinja dapat menjadi perantara penyakit menular yang biasanya menyerang masyarakat. Proses pemindahan kuman penyakit dari tinja sebagai pusat infeksi sampai inang baru dapat melalui berbagai media perantara, antara lain air, tangan, serangga, tanah, makanan serta sayuran. Pembuangan tinja dan limbah cair yang dilaksanakan secara saniter akan memutuskan rantai penularan penyakit.

Hal itu salah satunya dipengaruhi oleh faktor perilaku responden yaitu perilaku mencuci tangan dengan sabun, yang diketahui PR (Prevalensi Ratio) sebesar 2,333 yang artinya responden yang tidak mencuci tangan dengan sabun mempunyai risiko 2,33 kali terkena demam tifoid dibandingkan responden yang mencuci tangan dengan sabun. hal ini dapat diketahui pula dari nilai tingkat kemaknaan 95%CI = 1,646-3,309, tidak mencakup angka 1 hal ini berarti perilaku mencuci tangan dengan sabun merupakan faktor risiko untuk terjadinya demam tifoid.

Menurut Fatonah (2005),14 menyatakan tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri atau virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh karenanya kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas tinggi, walaupun hal tersebut sering tidak diperhatikan. Pencucian dengan sabun sebagai pembersih, penggosokkan dan pembilasan dengan cair mengalir akan menghanyutkan pertikel kotoran yang banyak mengandung mikroorganisme.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rakhman (2009)15 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sarana pembuangan tinja dengan kejadian demam tifoid dengan nilai p=0,801.

Hasil analisis variabel pengolahan sampah dengan kejadian demam tifoid dapat

diketahui diketahui bahwa responden dengan pengolahan sampah yang berisiko dan menderita demam tifoid mempunyai proporsi lebih banyak yaitu 71,4% (10 orang). Berdasarkan hasil analisis nilai p = 0,269.

Walaupun dalam hasil analisis penelitian menunjukkan tidak ada hubungan, tetapi didapatkan nilai PR (Prevalensi Ratio) sebesar 1,480 artinya responden dengan pengolahan sampah yang berisiko mempunyai risiko 1,48 kali terhadap kejadian demam tifoid dibanding responden yang pengolahan sampah tidak berisiko.

Hal tersebut mungkin disebabkan responden sudah melakukan tahapan pengolahan sampah terlebih dahulu, seperti halnya responden melakukan pengumpulan dan pemilahan sampah sesuai jenisnya (anorganik dan organik). Setelah sampah dipilah dan dikumpulkan kemudian diangkut untuk diproses lebih lanjut, seperti untuk sampah anorganik di jual ke pengepul sampah dan sampah organik dibuat pupuk selanjutnya dijual. Oleh sebab itu tidak ada tumpukan sampah di rumah responden dan terlihat bersih sehingga tidak ada vektor penyebab penyakit salah satunya penyakit demam tifoid.

Selain itu, pada penelitian ini didapatkan pengolahan sampah responden paling banyak adalah dibakar dimana pemusnahan sampah dengan cara dibakar yang dilakukan responden menyebabkan bakteri salmonella typhi yang kemungkinan terdapat di tumpukan sampah ikut musnah karena proses pembakaran.

Pengolahan sampah yang baik terdiri dari pengumpulan dan pengangkutan. Dimana pengolahan sampah dimulai pertama dari sumber penghasil sampah kemudian dikumpulkan dan diangkut serta diolah untuk pemanfaatan kembali. Penanganan sampah yang tidak hanya sampai di bak sampah saja tetapi lebih dari itu. Apabila sampah dibiarkan menumpuk akan menyebabkan masalah estetika (bau, kotor) dan menjadi sarang serangga pengganggu (lalat, nyamuk, lipas) dan tikus akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Lalat menyukai tempat yang basah dan lembab, tikus menyukai tempat yang kering dan hangat untuk sarangnya, semua itu tersedia pada timbunan sampah. Penyakit yang ditimbulkan oleh sampah berkaitan dengan serangga sebagai vektor penyakit demam tifoid.16

(7)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 7

Hasil pengumpulan data diperoleh pengolahan sampah responden yang berisiko dan menderita demam tifoid yaitu 71,4% (10 orang) yang terdiri dari dibiarkan di tempat terbuka dan dibuang ke sungai. Dimana pengolahan sampah yang dilakukan tidak sesuai dengan tahapan pengolahan sampah akan merusak kualitas lingkungan dan meyebabkan penyakit. Walaupun responden tidak mempunyai tumpukan sampah didalam rumahnya bisa saja dapat tertular penyakit dari luar rumah yang dibawa oleh vektor seperti lalat.

Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor perilaku responden, salah satunya yaitu kebiasaan menutup makanan yang diketahui PR (Prevalensi Ratio) sebesar 1,826 yang artinya responden yang tidak menutup makanan mempunyai risiko 1,82 kali terkena demam tifoid dibandingkan responden yang menutup makanan. Hal ini dapat diketahui pula dari nilai tingkat kemaknaan 95%CI = 1,367-2,404, tidak mencakup angka 1 hal ini berarti kebiasaan menutup makanan merupakan faktor risiko untuk terjadinya demam tifoid.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yonathan (2013)17 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengolahan sampah dengan kejadian demam tifoid dengan nilai p = 0,706.

SIMPULAN DAN SARAN

1. Sumber air bersih untuk minum dan masak responden di wilayah kerja Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang sebagian berasal dari mata air (53,5%).

2. Sarana pembuangan tinja sebagian besar dari responden tidak memenuhi syarat (62,8%).

3. Sebagian dari responden mengolah sampah dengan cara dibakar (39,5%) 4. Separuh dari responden menderita demam

tifoid dengan persentase 55,8%.

5. Ada hubungan antara sumber air bersih untuk minum dan masak dengan kejadian demam tifoid.

6. Tidak ada hubungan antara sarana pembuangan tinja dan pengolahan sampah dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Lerep Kabupaten Semarang.

7. Diharapkan untuk mengembangkan penelitian dengan meneliti variabel lain yang berhubungan dengan kejadian demam tifoid seperti jarak sumber air bersih dengan sumber pencemar, kualitas air bersih, sumber dan cara pengolahan sampah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Surabaya : Sagung Seto. 2. WHO, 2005. Typhoid fever in the

Democratic Republic of the Congo – update.

http://www.who.int/csr/don/2005_01_19/e n/index.html diakses tanggal (18 Februari 2014)

3. Badan Litbangkes Departemen Kesehatan RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional 2007. Jakarta : Departemen

Kesehatan 2008 (online)

(http://www.k4health.org/system/files/Lap oranNasional%20Riskesdas202007.pdf) diakses tanggal (10 Mei 2013).

4. KMK. No.364. 2006. Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 5. Pedoman Umum Pengelolaan Program

Pamsimas. 2013. Jakarta : Sekretariat CPMU PAMSIMAS.

6. Notoadmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta.

7. Depkes RI Pusat Promosi Kesehatan. 2009. Seri Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga.

8. Republika. 2014. Pengelolaan Sampah Berkonsep 3R di Indonesia Baru 7 Persen. 25 Februari 2014. 14.36 WIB.

9. Machfoed. 2004. Menjaga Kesehatan Rumah dari Berbagai Penyakit.

10. Mulia, MR. 2005. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

11. Said, Idaman Nusa. 2012. Desinfeksi untuk

Pengolahan Air Minum.

http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/Bu kuAirMinum/BAB12DISINFEKSI.pdf. diakses tanggal 18 agustus 2014.

12. Pramitasari, Okky Purnia. 2013. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Pada Penderita Yang Di Rawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan

(8)

Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Lerep Kabupaten Semarang 8

Masyarakat 2013 Volume 2 No 1 Tahun 2013. FKM UNDIP.

13. Soeparman, dkk. 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Jakarta : EGC.

14. Fatonah, S. 2005. Higiene dan Sanitasi Makanan. Semarang : UNNES Press. 15. Rakhman, Arief dkk. 2009. Faktor-Faktor

Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Tifoid pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran Masyarakat Vol 25, No 4. Yogyakarta : FK UGM. 16. Suyono. 2010. Ilmu Kesehatan

Masyarakat dalam Konteks Kesehatan lingkungan. Jakarta : ECG.

17. Yonathan, Yerisa Daniel. 2013. Hubungan

Antara Kualitas Sarana & Prasarana Rumah dan Perilaku Sehat dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Ngaliyan Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013 Volume 2 No 1 Tahun 2013. FKM UNDIP.

Gambar

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kejadian  Demam Tifoid   Kejadian Demam  Tifoid  Frekuensi  Persentase (%)  Demam Tifoid  24  55,8

Referensi

Dokumen terkait

Nilai p > 0,05 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kualitas sarana saluran pembuangan air limbah (SPAL) dengan kejadian demam typhoid di Wilayah

Ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, kebiasaan makan di luar rumah, frekuensi makan, dan kepemilikan tempat sampah dengan kejadian demam

Rumah tangga memiliki fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan, antara lain kloset menggunakan leher angsa, tempat pembuangan akhir tinja menggunakan

Terdapat hubungan yang signifikan antara pembuangan tinja, sumber air minum, saluran pembuangan air limbah rumah tangga, pengelolaan sampah, dengan kejadian diare

Adapun faktor lingkungan yang berhubungan dengan infeksi kecacingan adalah tersedianya air bersih, tempat pembuangan tinja (jamban) dan sumber air minum yang memenuhi

Pembuangan sampah memiliki resiko paling besar dengan kejadian Leptospirosis sebesar 26 kali, sehingga responden yang memiliki pembuangan sampah buruk memiliki

Variabel penelitian, sebagian besar responden memiliki kondisi breeding place yang buruk (82,5%), sebagian besar responden memiliki kepadatan hunian yang tidak

Hubungan Suhu Terhadap Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Gribig Kota Malang Dari penelitian ini, terdapat 32 responden diketahui yang tinggal di rumah dengan suhu tidak