• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III AGAMA BAHÁ’Í - KONSEP DAN MAKNA KETUHANAN DALAM AGAMA BAHÁ’Í - Raden Intan Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III AGAMA BAHÁ’Í - KONSEP DAN MAKNA KETUHANAN DALAM AGAMA BAHÁ’Í - Raden Intan Repository"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

Umumnya setiap agama memiliki latar belakang sejarah dimana pendiri memulai sebuah usaha penyebaran dalam kurun waktu dan tempat tertentu akan ajaran yang terdapat pada Agama yang di usung-Nya, sama halnya dengan agama yang lain. Agama Bahá’í juga memiliki sejarah yang cukup panjang dimulai sejak masa awal berdirinya di sebuah kota negara iran yang akan peneliti uraikan di bawah.

Masa awal abad kesembilan belas, latar belakang negara Iran atau Persia ketika itu dalam keadaan yang parah dan pada tahap keruntuhan, dengan keadaan yang sedemikian maka muncullah sekumpulan ulama cerdik yang menyuarakan sebuah reformasi atau pembaharuan sebagai bintang harapan untuk keberlangsungan masa depan yang lebih baik.

Di antara mereka termasuklah seorang terkemuka dan amat dihormati orang, bernama syeikh Ahmad Ahsai yang menetap di kota suci Karbala, awal Ia mengajarkan kepada masyarakat akan kemunculan “Yang dijanjikan” seperti yang diramalkan. Ajaran-ajaran syeikh Ahmad menarik bak pengikut bahkan shah Parsi dan kaum kerabat turut tertarik dan membawa ke istana di Tehran.1 Sebelum meninggal dunia pada tahun 1826 syeikh Ahmad telah memberikan amanah kepada salah seorang pengikut untuk meneruskan kepemimpinan serta gerakan mencari Yang dijanjikan. Sayyid Kazim menyeru kepada pengikut untuk terus mencari Yang dijanjikan dengan menelusuri setiap sudut kota dan

(2)

daerah terpencil sekaligus menjernihkan hati sebagai persiapan untuk kehadiran Yang dijanjikan.

Pengikut-pengikut Sayyid Kazim bertambah pesat baik mereka yang berasal dari Parsi dan Iraq mencakup para remaja seperti Mulla Husein seorang pengikut terkemuka dan terpercaya dalam gerakan yang dipelopori oleh Sayyid Kazim. Ketika Mulla Husein sibuk menyempurnakan tugas dan amanat guru di Karbala, Iraq, Sayyid Kazim meninggal dunia pada bulan Desember 1843. Walaupun berduka atas kematian guru Mulla Husein berikhtiar untuk memulai gerakan mencari Yang dijanjikan setelah kembali dari Karbala.

Sesuai pesan yang disampaikan Sayyid Kazim dengan tegas kepadanya setiap pengikut meninggalkan rumah mereka dan menyebar jauh kemana-mana untuk mencari Yang kedatangan ditunggu-tunggu. 2 Setelah menghabiskan 40 hari dalam ibadah, puasa, tafakur Mulla Husein menguatkan tekad meskipun pengikut-pengikut lain enggan dan keberatan meninggalkan rumah halaman mereka.

Dia melangkah menuju Parsi bersama dua orang teman, mula-mula ke kota Bushir yang terletak di teluk Parsi dan ke kota Shiraz seperti tertarik pada satu daya kuat hati nurani ke arah kota Shiraz, letih dan berdebu setelah perjalanan jauh yang memakan waktu kemudian ia ditemui oleh seorang anak muda yang tak dikenali di pintu masuk kota Shiraz, dan Mulla Husein disambut. Dengan mesra selayak teman dekat, pemuda itu menggunakan pakaian serba hijau yang menandakan ia adalah keturunan nabi Muhammad SAW.3 Nama ialah

2 Wlliams Sears, Terbitlah Sang Surya, terj. Sekelompok Penterjemah (Jakarta: Majelis Rohani Nasional Bahá’í Indonesia, 2000) h. 11.

(3)

Sayyid Ali Muhammad, kemudian dibawa Mulla Husein kerumah. Setelah membersihkan diri dan memuaskan dahaga dengan minuman yang telah disediakan, Mulla Husein berbincang dan bercerita panjang mengenai maksud dan tujuan kedatangan ke kota Shiraz, setelah Mulla Husein selesai menjelaskan secara rinci maksud kedatangan tanpa diduga pemuda itu mengatakan dengan suara lantang dan jelas bahwa dia adalah yang dijanjikan yang sedang dicari-cari oleh Mulla Husein dan rekan-rekan yang telah diramalkan oleh Sayyid Kazim dan syeikh Ahmad, pemuda itu mendakwa kembali bahwa ia adalah B́́ab. B́́ab berarti “pintu gerbang” sang bab adalah pintu gerbang suatu kerajaan baru yakni kerajaan Tuhan di bumi.4 B́́ab juga dimaksudkan sebagai utusan Tuhan yang membuka pintu gerbang tersebut agar manusia memasuki sebuah ajaran dan zaman baru yakni zaman kedewasaan manusia.

Mulla Husein terkejut dengan apa yang telah disampaikan oleh pemuda itu, tetapi ia menyadari bahwa Sayyid Ali Muhammad memiliki segala syarat dan kelayakan yang diramalkan oleh guru perihal Yang dijanjikan. Adapun ramalan tersebut ialah :

“Sesungguh dalam tahun ’60 (1260 Hijriah/1844) Agama akan dilahirkan dan nama akan terdengar kemana-mana”

“Dalam nama, nama wali (Ali) mendahului nama nabi (Muhammad)” “Dalam tahun1260 pohon hidayat Ilahi akan ditanam”

“Menteri-Menteri dan para pendukung agama akan terdiri dari orang-orang Persia.”5

4 Husmand Fathe’azzam, Taman Baru, terj. Sekelompok penterjemah (Jakarta: Majelis Rohani Nasional Bahá’í Indonesia, 2002), h. 35.

(4)

Mulla Husein mempunyai dua landasan ujian yang diharapkan dapat menentukan kebenaran dari barang siapa yang mengaku bahwa diri adalah utusan Tuhan, yang pertama adalah sebuah risalah yang disusun sendiri, risalah ini berisi ajaran-ajaran tersembunyi yang sukar dari syeikh Ahmad dan Sayyid Kazim, siapa yang dapat membuka rahasia-rahasia maka akan diuji dengan menerangkan tafsiran mengenai surat Yusuf, Mulla Husein menceritakan kembali permasalahan.

“Saya merasakan bahwa inilah saat untuk memberikan kepada risalat saya sendiri. Sudilah untuk membaca buku saya ini dan melihat dengan sabar pada halaman-halaman saya minta kepada. Ia membuka buku itu memandang sebentar beberapa bagian tertentu lalu ditutup dan mulai bercakap-cakap dengan saya. Dalam beberapa menit saja, Ia bersemangat dan menawan hati, membuka rahasia dan memecahkan semua masalah yang telah menggelisahkan hatiku. Selanjut Ia memberikan keterangan kepada saya kebenaran-kebenaran tertentu yang tidak dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Sayyid Kazim maupun syekh Ahmad. Ajaran ini yang belum pernah saya dengar sebelum, seolah-olah mengandung kehidupan dan kekuatan yang menyegarkan.”6

Keyakinan menjadi semakin bertambah tatkala pemuda itu secara spontan memberikan sebuah penafsiran mengenai surat Yusuf.7 dengan peristiwa itu Mulla Husein memulai kepatuhan pada Sang Bab, tuan yang ditunggu-tunggu selama ini dan menjadi pengikut pertama dengan gelar Babul-bab bagi satu agama baru yang dipelopori oleh B́́ab.

Detik bersejarah ini terjadi pada malam 22 mei 1844 yang menandakan

permulaan satu era baru dalam evolusi manusia. Bagi kaum Bahá’í tanggal itu

merupakan awal dari terbentuk agama Bahá’í. Sebagian 17 orang lagi atas daya

usaha sendiri telah mencari Sang Bab dan menemui dan menjadi

(5)

pengikut pertama Sang Bab. Beberapa pengikut pertama Sang Bab adalah sebagai

berikut :

1. Mulla Husein Al-Bushrui

2. Muhammad Hasan

3. Muhammad Baqir

4. Mulla Ali Al-bastami

5. Mulla Khuda Bakhsh Al-Quchani

6. Mulla Hasan Al-Bajistani

7. Siyyid Husein Al-Yazdi

8. Mirza Muhammad Rawdih Khan Al-Yazdi

9. Said Al-hindi

10. Mulla Mahmud Al-Khui

11. Mulla Jalil AL-Umumi

12. Mulla Ahmad Al-ibdalil Haraghi

13. Mulla Baqir Al-Tabrizi

14. Mulla Yusuf Al-Ardibili

15. Mirza Hadi

B. Tokoh Pendiri Agama Bahá’í

(6)

Yesus Kristus dan Rasulullah Muhammad. Begitupun dalam agama Bahá’í, perjalanan sejarah tokoh dan yang mereka yakini sebagai yang dijanjikan telah dituliskan oleh Husmand Fathe’azzam dalam bukunya Taman Baru menjelaskan nama serta perjalanan hidup tokoh dalam agama Bahá’í, menjadi empat sosok yang dikirimkan oleh Tuhan di zaman ini demi transformasi rohani manusia yaitu: 1. Sang B́́ab (Ali Muhammad)

Ali Muhammad merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. Ia dilahirkan di kota yang indah di Iran selatan yang bernama Shiraz. Rakyat Iran adalah penganut Nabi Muhammad, maka Ia diberi nama yang banyak digunakan di negeri itu. Ia dipanggil dengan nama Ali Muhammad. “B́́ab” berarti “Pintu Gerbang”! Sang B́́ab adalah pintu gerbang suatu kerajaan baru, yakni Kerajaan Tuhan di bumi.8

Sewaktu masih kecil Ia dikirim kepada seoarang guru yang mengajarkan Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran dasar. Masa kecil Sang B́́ab berbeda dari anak-anak lain. Ia gemar menanyakan pertanyaan yang sulit, dan kemudian memberikan jawaban-Nya sendiri dengan cara yang mengagumkan orang-orang dewasa. Ketika anak-anak lain sibuk bermain, Ia sering ditemukan sedang asyik berdoa di tempat teduh di bawah sebuah pohon atau di tempat yang teduh.9 Sehingga Pada kemudian hari, sewaktu sang B́́ab mengumumkan hakikat-Nya sebagai Seorang Perwujudan Tuhan, baik paman-Nya atau guru-Nya percaya Kepada-Nya karena mereka telah mengenalnya sejak Ia kecil, dan melihat perbedaan antara dia dan anak-anak lainnya.

(7)

Sebelum sang B́́ab mengumumkan Diri sebagai utusan Tuhan di usia-Nya yang ke 25 ada dua guru yang termasyhur yang mengatakan bahwa menurut Al-Qur’an dan hadis-hadis suci, Ia Yang Dijanjikan dalam Islam akan segera datang. Kedua guru ini adalah syekh Ahmad dan pengikut utamanya, Sayyid Kazim. Karena mereka adalah orang-orang suci dan sangat pandai, banyak orang yang percaya pada apa yang mereka ajarkan dan menyiapkan diri untuk menerima Dia Yang Dijanjikan.

Ketika Sayyid Kazim meninggal, para pengikutnya menyebar ke berbagai penjuru untuk menemukan Dia Yang Dijanjikan. Mereka mengikuti contoh seorang pemuda yang shaleh dan pandai yeng bernama Mulla Hasein. Setelah berdoa dan berpuasa 40 hari beberapa orang di antara mereka pergi menuju Shiraz. Doa-doa mereka terjawab. Di dekat pintu gerbang pintu kota shiraz, Mulla Husein menuju rumah-Nya dan di sana pada tanggal 23 Mei 1844, sang B́́ab menyatakan Diri Sebagai Ia yang Dijanjikan.

Hati Mulla Husein telah tertarik pada sang B́́ab sejak saat matanya tertuju pada-Nya di luar pintu gerbang kota Shiraz, tetapi kini ketika Tuan Rumahnya menyatakan Diri-Nya sebagai Ia Yang Dijanjikan, ia minta beberapa bukti. Sang B́́ab bersabda bahwa tak ada bukti yang lebih besar lagi daripada ayat-ayat Ilahi yang diwahyukan oleh Perwujudan Tuhan. Kemudian, dengan mengambil pena dan kertas, Ia menulis Tulisan Suci-Nya yang pertama.10

Mulla Husein menjadi pengikut-Nya yang pertama Sang B́́ab memberikan gelar Babul- B́́ab padanya yang berarti Pintu dari Pintu Gerbang. Malam yang bersejarah bagi umat Bahá’í karena sejak itu penanggalan dalam agama Bahá’í

(8)

dimulai. Kepercayaan terhadap Sang B́́ab semakin banyak bermunculalan hal itu ditandai dengan Tulisan suci-Nya yang dibaca dan membuat masyarakat kagum terhadap-Nya dan juga beberapa mendapati-Nya melalui mimpi dan mata.

Cahaya Perwujudan Tuhan bersinar begitu terang sejak saat itu, semua yang bangun melihatnya dengan jelas menerangi gelapnya dunia yang penuh dengan kekacauan dan bahkan digambarkan cahaya cemerlang sinar kehadiran perwujudan Tuhan yang dijanjikan mampu membangunkan seorang yang sedang tertidur.

Pergerakan yang di dorong semangat membara untuk menyampaikan amanat Sang B́́ab mula-mula disampaikan kepada rakyat Iran, tetapi orang-orang muslim dari negeri lain belum mengetahui bahwa Ia yang dijanjikan telah datang. Oleh karena itu, ketika beribu-ribu orang muslim dari beberapa negeri berkumpul di Mekkah untuk melakukan ibadah haji, Sang B́́ab mengunjungi tempat yang tersuci bagi agama Islam itu, untuk mengumumkan kepada mereka telah datang, dan Ia adalah Orang yang dijanjikan itu. Tak seorang pun diantara mereka mendengarkan Dia tetapi Sang B́́ab telah melengkapkan Pengumuman-Nya.11 Ia menyampaikannya dengan penuh rasa semangat dan percaya diri. Dan Sang B́́ab kembali di tanah air-Nya, ia ditemukan oleh serombongan tentara yang telah datang untuk menahan-Nya karena kaum ulama yang fanatik tidak menginginkan ajaran baru ini tersebar. Kaum ulama mengadakan semacam usaha untuk memadamkan Cahaya Tuhan yang sedang bernyala-nyala dalam dada Sang B́́ab terus ditimpa kesukaran dan kesulitan. Setelah mengumumkan putusan-Nya, kebanyakan masa hidup-Nya yang singkat tetapi cemerlang, dilewatkan dalam

(9)

penjara, dua kali Ia dikirim ke penjara yang berada di pegunungan yang sangat dingin dan sukar di daki. Tetapi tak ada rantai atau penjara yang pernah dapat menghalangi penyebaran Ajaran Tuhan Ketika Sang B́́ab berada dalam penjara, para pengikutnya yang setia menyebarkan Amanat-Nya ke seluruh negeri, selama waktu yang singkat itu, beribu-ribu orang telah mengorbankan hidup mereka demi sebuah Ajaran-Nya.

Sang B́́ab masih muda, usia-Nya kira-kira 31 tahun ketika mereka memutuskan untuk membunuh-Nya. Sang B́́ab mengetahui bahwa ia akan dimati syahidkan dijalan Tuhan. Ia merasa senang mengorbankan hidup-Nya agar orang-orang di dunia dapat mengerti tujuan hidup mereka dan menghadap kepada Kerajaan Tuhan yang kekal.

Hari kesyahidan-Nya pada tanggal 9 juli 1850. Pagi-pagi perwira yang bertugas untuk menembak Sang B́́ab, datang kepada-Nya dipenjara, Sang B́́ab sedang bercakap-cakap dengan para pengikut-Nya yang sedang menulis pesan-pesan-Nya yang terakhir. Perwira itu mengatakan kepada-Nya saat kematian-Nya telah tiba dan para prajurit telah siap di alun-alun kota untuk menjalankan tugasnya. Sang B́́ab berkata bahwa harus menyelesaikan percakapan-Nya dengan murid-Nya, tetapi perwira itu tertawa dan berkata bahwa seorang hukuman dapat memilih apa yang ia inginkan.

(10)

alun-alun bersama seorang pemuda bernama Muhammad Ali Zanusi yang ingin dimati syahidkan bersama Dia. Pada hari sebelumnya sebelum Sang B́́ab dibawa kepenjara, pemuda ini bersegera menghampiri dan menjatuhkan diri-Nya di kaki guru yang dicintanya, dan meminta agar diizinkan mati bersama-Nya. Perwira yang membawa Sang B́́ab waktu itu berusaha mengusir dia tetapi Muhammad Ali Zanusi menangis dan memohon dengan sangat agar ia dibolehkan untuk dibawa juga. Maka ia juga dipenjarakan bersama Sang B́́ab dan dibawa ke alun-alun untuk dimati syahidkan.12 Tragis dan menyedihkan, begitulah banyak cerita mengenai perwujudan Tuhan yang mengorbankan diri-Nya demi Agama Tuhan.

Banyak orang berkumpul di lapangan di mana para prajurit sedang menunggu untuk menembak Sang B́́ab. Semua mengamati ketika Sang B́́ab dan murid-Nya yang muda itu diikat sedemikian rupa sehingga kepala sang murid berada di depan dada Kekasihnya.

Kemudian tibalah saat yang mendebarkan, genderang dibunyikan, terompet ditiup, dan ketika suara terompet menghilang, perintah yeng mengerikan diteriakkan: “Tembak!” Beratus-ratus prajurit yang mengarahkan senapan mereka menembakkan senjata mereka. Segumpal asap kelam meliputi seluruh tempat itu. Bau mesin memenuhi udara. Tetapi setelah beberapa saat ketika asap itu telah hilang, tampaklah suatu keajaiban yang besar! Sang B́́ab tidak ada lagi disitu, sedangkan murid-Nya berdiri tanpa luka sedikitpun! Tak seorangpun tahu apa yang telah terjadi. Banyak orang berkata bahwa ini adalah mukjizat yang telah terjadi. Banyak orang berkata bahwa ini adalah suatu mukjizat yang telah terjadi,

(11)

dan Sang B́́ab telah naik kelangit. Barisan penembak dan komandan belum pernah menyaksikan kejadian yang aneh dan luar biasa seperti ini.

Perwira-perwira dikirimkan kesetiap penjuru untuk mencari Sang B́́ab. Perwira yang telah membawa Sang B́́ab dari sel penjara tadi, kini menemukan Sang B́́ab duduk dengan tenang sedang menyelesaikan percakapan-Nya yang tadi telah di ganggu dengan kasar. Kemudian Sang B́́ab menoleh kepada perwira itu dan tersenyum sambil berkata bahwa Misi-Nya di bumi ini. Kini telah selesai, dan Ia siap mengorbankan jiwa-Nya untuk membuktikan kebenaran Misi-Nya.

Sang B́́ab sekali lagi dibawa kelapangan, tetapi komandan barisan penembak tadi menolak untuk ikut campur dalam melaksanakan hukuman mati itu. Ia menjawab para prajuritnya keluar dari lapangan dan berjanji bahwa tak ada alasan apapun untuk membunuh pemuda yang tak berdosa dan suci. Serombongan prajurit lain ditugaskan untuk melakukan penembakan itu, dan kali ini ratusan peluru menembus tubuh Sang B́́ab dan murid-Nya yang setia. Wajah-Nya yang indah, tak terlukai oleh satupun peluru, dan masih membawa senyum yang mengandung cinta, menunjukkan ketentraman dan kebahagiaan karena Dia telah mengorbankan hidup-Nya untuk mengumumkan awal dari suatu zaman baru bagi umat manusia.

(12)

bahwa mereka harus mengesampingkan segala-segalanya dan mengikuti-Nya segera setelah mereka mendengar Amanat-Nya. Sang B́́ab banyak mewahyukan doa-doa, yang memohon kepada Tuhan agar hidup-Nya sendiri dapat diterima sebagai suatu pengorbanan untuk kekasih hati-Nya, yakni Dia “Yang akan Tuhan Wujudkan”. Bahkan dalam Tulisan-tulisan-Nya Ia merujuk pada wahyu Baha’u’llah, dan mengatakan: “Berbahagialah dia yang mengarahkan pandangannya pada Tata Tertib Baha’u’llah,...”.13

Doa-doa Sang B́́ab terjawab dan janji-Nya terpenuhi. Sembilan belas tahun setelah Misi-Nya, Baha’u’llah mengumumkan bahwa Ia adalah Dia Yang Dijanjikan, yang kedatangan-Nya telah diramalkan oleh semua Perwujudan Tuhan pada zaman dulu. Begitulah kisah perjalanan Sang B́́ab berarti “Pintu Gerbang” menuai banyak kisah akan peristiwa yang mengejutkan pandangan mata saat membacaya. Agama Bahá’í lahir di pelopori oleh seorang tokoh bernama Ali Muhammad yang saat itu kental dengan dinamika dalam negara yang beragamakan Islam karena sebagian besar penduduk Iran kota Shiraz adalah pengikut Nabi Muhammad Saw.

2. Baha’ullah

Pada tanggal 21 April 1863, Baha’ullah mengumumkan pada dunia, bahwa ”Wahyu yang dinyatakan dari dahulu kala sebagai Tujuan dan Janji semua Nabi Tuhan serta Hasrat yang didambakan semua Utusan-Nya, kini telah disingkapkan kepada manusia.”

(13)

Ketika Baha’ullah membuat pengumuman yang mengagumkan ini. Ia adalah seorang tahanan dari dua kerajaan yang sangat berkuasa, dan telah di asingkan ke Akka, di Palestina yaitu kota “ yang paling terpencil di antara negeri-negeri.”

Sekitar 46 tahun sebelum Pengumuman ini, Baha’ullah dilahirkan di rumah seorang menteri yang terkenal di istana raja Iran. Semenjak masa kanak-kanak Ia berbeda dari anak-anak lain, tetapi tak seorangpun tahu dengan sebenarnya bahwa Anak yang menakjubkan ini akan mengubah seluruh nasib umat manusia, ketika Ia berumur 14 tahun Baha’ullah sudah termasyhur di istana kerena kepandaian dan kearifan-Nya. Dan ketika Ia berumur 22 tahun ayah-Nya meninggal dunia pemerintah menghendaki agar Ia menggantikan kedudukan Ayah-Nya. Mereka berpikir pemuda ini akan menjadi seorang menteri yang sangat baik, tetapi Baha’ullah tidak tertarik untuk membuang waktu-Nya dalam mengurus masalah-masalah duniawi. Ia tidak menaruh perhatian pada kehidupan kerajaan yang ditawarkan kepada-Nya. Ia meninggalkan istana dengan menteri-menterinya untuk mengikuti jalan yang ditakdirkan bagi-Nya oleh Yang Maha Kuasa.

Ketika Sang B́́ab mengumumkan Misi-Nya Baha’ullah berusia 27 tahun. Ia segera menerima Sang B́́ab sebagai perwujudan Tuhan dan menjadi salah Seorang di antara para pengikut-Nya yang berpengaruh dan terkenal.

(14)

kali dimasukan kedalam penjara, dan sekali Ia dipukuli sedemikian hebatnya dengan cemeti dan rotan sampai telapak kaki-Nya berdarah.

Sembilan tahun setelah pengumuman Sang B́́ab, Baha’ullah dimasukan kedalam penjara di bawah tanah yang sangat seram. Penjara yang bernama Syah-Chal ini, tidak mempunyai jendela maupun lubang lain kecuali pintu yang mereka lewati. Dalam penjara ini Baha’ullah ditempatkan bersama dengan kira-kira 150 orang yang terdiri dari pembunuh, perampok dan orang-orang jahat lainnya. Rantai yang diikiat dileher-Nya begitu berat, sehingga Ia tak dapat mengangkat kepala-Nya. Baha’ullah mengalami penderitaan yang hebat disini selama empat bulan, akan tetapi didalam penjara inilah kemuliaan Tuhan mengisi Jiwa-Nya. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam dalam mimpi-Nya, Ia mendengar kata-kata berikut yang bergetar dari segala penjuru:

“Sesungguhnya, Kami akan menjadikan Engkau menang melalui Engkau Sendiri dan melalui Pena-Mu.”

Baha’ullah mengalami semua kesukaran ini adalah demi kepentingan kita dan demi kepentingan generasi yang akan datang. Ia dikalungi rantai di leher-Nya yang diberkati, agar kita dapat dibebaskan dari rantai dan belenggu prasangka, kefanatikan dan permusuhan.

(15)

di Iran, di mana salju dan es yang tebal menutupi tanah. Baha’ullah, istri dan anak-anak-Nya yang masih kecil harus berjalan beratus-ratus kilo meter ketempat tujuan, dan mereka tidak mempunyai pakaian yang seharusnya dikenakan pada musim dingin; semua ini menambah kesulitan mereka dalam perjalanan yang begitu sukar. Akhirnya mereka tiba di Baghdad, namun penderitaan Baha’ullah belumlah berakhir di kota itu. Akan tetapi Baha’ullah tidak akan pernah takut terhadap kesukaran-kesukaran, Ia bersedia untuk mengalami penderitaan-penderitaan dijalan Tuhan. Jika Ia takut akan kehidupan yang penuh penderitaan-penderitaan, Ia tidak mungkin akan meninggalkan kehidupan di istana raja Iran yang serba mewah yang dapat Ia nikmati.

(16)

seorang Perwujudan Tuhan datang, karena seorang Perwujudan Tuhan berdiri terpisah dari semua makhluk lain dan mempunyai suatu kedudukan yang tidak dimiliki oleh siapapun. Semua Perwujudan zaman dulu mempunyai saudara laki-laki dan perempuan atau keluarga-keluarga lain, tetapi nama-nama mereka sekarang telah dilupakan karena mereka tidak menerima Perwujudan Tuhan pada zamannya.

(17)

tetapi semua pengikut Sang B́́ab dalam keadaan menderita karena ketidak hadiran-Nya.

Maka setelah berdoa dan bermeditasi selama dua tahun, Baha’ullah kembali ke Baghdad. Dengan kembalinya Baha’ullah, kembalilah kebahagiaan semua pengikut Sang B́́ab. Satu-satunya kaum yang marah kerena kedatangan-Nya kembali adalah kaum ulama fanatik dan saudara-kedatangan-Nya yang berkhianat dan iri, Yakni Yahya. Kaum ulama tak menginginkan Baha’ullah tinggal di Baghdad karena Ia terlalu dekat dengan beberapa tempat suci milik umat Islam. Kebanyakan peziarah yang datang ketempat ini tertarik dengan keindahan dan kepribadian Baha’ullah. Kaum ulama ini terus-menerus menghasut dan mendesak sehingga pemerintah Iran dan Pemerintah Kerajaan Turki bekerjasama untuk memindahkan Baha’ullah kesuatu tempat yang lebih jauh lagi yakni Istanbul.

(18)

izinkan untuk menemui-Nya. Ia dijauhkan dai segala kenikmatan duniawi dan dikelilingi oleh para musuh-Nya siang dan malam. Tetapi dari Akka dia mengirimkan surat-surat yang terkenal untuk para Raja dan penguasa yang paling berkuasa pada zaman-Nya, memanggil mereka agar mendengarkan Ajaran Tuhan dan tunduk pada pada perintah “Raja dari segala Raja”. Tak seorang pun, kecuali Seorang Perwujudan Tuhan, yang akan berani memerintah raja-raja bagaikan seorang raja yang memerintah para hambanya.

Baha’ullah mengibarkan panji perdamaian dan persaudaraan sedunia dari balik dinding penjara-Nya, dan meskipun para penguasa dunia menggunakan kekuatan-kekuatan mereka untuk melawan-Nya, Ia menang terhadap mereka semua sebagaimana Tuhan telah menjanjikan kepada-Nya dalam mimpi-Nya, Ajaran Baha’ullah mempengaruhi hati beribu-ribu orang diseluruh dunia. Banyak diantara mereka yang mengorbankan hidup mereka demi Ajaran-Nya. Melalui kekuasaan firman Tuhan dan pengorbanan-pengorbanan para pengikut Baha’ullah, ratusan ribu orang yang dulunya terpisah karena agama, bangsa atau warna kulit, sekarang telah menjadi bagaikan anggota-anggota dari satu keluarga.

(19)

Baha’ullah tinggal di suatu tempat di luar kota Akka, di mana Ia wafat terbang menuju Kerajaan Surgawi-Nya pada tanggal 29 Mei 1892. Ajaran Baha’ullah tersebar berbagai penjuru dunia dari Tanah Suci sebagaimana telah diramalkan dalam Kitab Suci zaman dulu. Dalam Kitab-Kitab Suci Buddha, Tanah Suci dinamakan “Nirwana dibarat”, “Takhta Dia Yang Dijanjikan, Amitabha”. Bagi orang-orang Yahudi, tanah suci adalah “Tanah Yang Dijanjikan” dari mana Hukuman Tuhan akan muncul lagi untuk seluruh dunia. Kaum Kristen dan Islam juga mempunyai ramalan-ramalan yang menakjubkan mengenai negeri suci ini yang telah menjadi Tanah Suci mereka selama berabad-abad. Sejak Baha’ullah dibuang ke Akka, Tanah Suci ini menjadi Pusat Agama-agama Bahá’í Sedunia.

Baha’ullah adalah Perwujudan Tuhan Yang Agung yang kedatangan-Nya telah diramalkan oleh semua perwujudan Tuhan di masa lampau. Agama-agama Ilahi dari semua zaman mempunyai tujuan yang sama, dan membimbing kearah yang sama. Agama-agama itu bagaikan sungai-sungai yang mengalir ke samudra. Setiap sungai mengairi beribu-ribu hektar tanah, tetapi tidak ada satu sungaipun yang seluas dan sekuat samudra yang besar karena samudra yang besar karena samudra adalah tempat bertemunya semua sungai itu. Dalam masyarakat Bahá’í penganut-penganut semua agama telah berkumpul dan menjadi bersatu. Meskipun mereka berasal dari penjuru dunia, kini mereka telah bersatu dalam satu persaudaraan yang besar, yakni satu agama yang tunggal.

Air sari berbagai sungai sungguh-sungguh menjadi satu ketika semuanya mengalir ke satu tempat, yaitu ke samudra Yang Maha Besar!.

(20)

Baha’ullah bagaikan Arsitek Ilahi. Ia telah menggambar Rencana Besar untuk kesatuan umat manusia. Ia meletakkan pondasi yang kuat pada dasar Bangunan Suci itu dan memilih bahan-bahan yang dibutuhkan.

Tetapi siapakah yang menegakkan bangunan yang menakjubkan ini setelah Baha’ullah meninggalkan kita? Memang Rencana-Nya sudah sempurna tetapi suatu rencana yang sudah sempurnapun harus diserahkan ke tangan orang-orang yang ahli untuk dilaksanakan, karena kalau tidak bangunannya pasti akan runtuh. Betapapun sempurna rencana itu dan betapa pun kuat pondasi suatu gedung, namun jika tidak diawasi dengan benar oleh orang yang ahli untuk dilaksanakan, karena kalau tidak maka bangunannya pasti akan runtuh. Betapapun sempurna rencana itu dan betapapun kuat pondasi gedung, namun jika tidak di awasi dengan benar oleh orang yang ahli, bangunan itu akan berbeda sama sekali bentuknya dari rencana yang dimaksudkan oleh Sang Arsitek.

Ketika Baha’ullah wafat, Ia menyerahkan Rencana Ilahi-Nya ke tangan Putera-Nya. Ia menagangkat Abdu’l-Baha sebagai Pusat Perjanjian-Nya, dan meminta kepada para pengikiut-Nya agar mendapatkan bimbingan dari Beliau.

Nama “Abdu’l-Baha” artinya hamba Baha. Abdu’l-Baha adalah putera Baha’ullah yang sulung dilahirkan pada tanggal 23 Mei 1844, tepat pada malam hari yang sama ketika Sang B́́ab mengumumkan Misi-Nya. Seorang putera yang diberkati dan pada saat yang diberkati pula!

(21)

Baha’ullah dalam perjalanan-Nya yang sulit dari Taheran ke Baghdad dan melewatkan empat puluh tahun dari hidup-Nya sebagai tawanan dan orang buangan. Akhirnya sewaktu Abdu’l-Baha dibebaskan, usia-Nya sudah lanjut. Tetapi cinta Tuhan telah menyebabkan Dia selalu bahagia meski di saat-saat yang penuh penderitaan. Ia mengalami kebahagiaan rohani yang sangat dalam, meskipun Ia berada dalam penjara yang terburuk. Abdu’l-Baha menghendaki agar kita dapat menikmati kebahagiaan itu juga. Ia bersabda:

“Kebahagiaan itu ada dua macam: duniawi dan rohani. Kebahagiaan

duniawi terbatas; jangka waktunya paling lama satu hari, satu bulan, satu tahun.

Kebahagiaan tak ada hasilnya. Kebahagiaan rohani muncul dalam hati

seseorang dengan cinta Tuhan dan menyebabkan seseorang mencapai kebaikan

dan kesempurnaan dari dunia kemanusiaan. Oleh karena itu berusahalah sedapat

mungkin agar engkau dapat menyinari lampu hatimu dengan cahaya cinta.”

(22)

menunjuk Abdu’l-Baha sebagai Pusat Perjanjian-Nya dan sebagai juru Tafsir Ajaran-ajaran-Nya.

Penunjukan Pusat Perjanjian adalah suatu hal yang istimewa di agama Bahá’í. Semua agama di masa lampau menjadi terpecah-belah setelah Sang Pembawa agama meninggal, karena para pengikut-Nya tidak tahu ke mana mereka harus menghadap setelah Rasul Tuhan meninggalkan mereka.

“Wahai orang-orang yang di dunia! Bila Merpati Gaib telah terbang dari

Tempat-Suci Pujian, dan menuju ke tujuan-Nya yang terakhir, tempat kediaman

yang tersembunyi, bertanyalah engkau kepada Dia yang telah bercabang dari

Akar Yang Maha Kuasa ini, mengenai apa yang tidak engkau mengerti dalam

kitab.” Baha’ullah.14

Mereka mulai menafsirkan Ajaran-ajaran Tuhan menurut penafsiran mereka sendiri, dan karena mereka tidak mempunya pengertian yang sama. Ajaran-ajaran itu ditafsirkan dengan = arti yang berbeda-beda. Hal ini menjadi sebab perpecahan di antara para pengikut agama-agama lampau. Tetapi hal seperti ini tidak akan terjadi pada agama Bahá’í. Baha’ullah telah datang untuk menghilangkan segala macam perpecahan di antara umat manusia di dunia. Ia tidak membiarkan agama-Nya terpecah belah. Ia menulis suatu wasiat yang menyatakan bahwa Ia telah mengangkat Abdu’l-Baha sebagai Orang kepada siapa semua orang Bahá’í mengarahkan pandangan untuk meminta bimbingan mengenai hal-hal yang berkenaan dengan Ajaran-ajaran-Nya. Dokumen ini menyelamatkan orang-orang Bahá’í dari perpecahan. Kitab Perjanjian

(23)

persatuan para pengikut Baha’ullah, tetapi menimbulkan rasa iri dalam hati saudara Abdu’l-Baha yang bernama Muhammad Ali. Seperti Yahya, Muhammad Ali berusaha mengadakan perpecahan di antara orang-orang Bahá’í. Berpikir karena dia adalah anak Baha’ullah, maka Ia juga dapat menyatakan dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi usaha-usaha ini tidak berhasil karena hubungan darah dengan Baha’ullah tak ada artinya bila ia tidak patuh kepada Baha’ullah. Muhammad Ali bagaikan cabang yang telah patah dari suatu pohon yang agung, yang tidak daat menghasilkan buah karena telah kering dan menjadi tak berguna. Dan seperti cabang yang kering ia harus di potong dan dibuang.

Ketika Muhammad Ali gagal untuk menyebabkan perpecahan di antara umat Bahá’í, Ia menggabungkan diri dengan musuh-musuh agama dan mencoba untuk melukai Abdu’l-Baha. Ia meracuni pikiran-pikiran pejabat pemerintah terhadap Abdu’l-Baha, dengan mengatakan bahwa Ia sedang mengumpulkan orang-orang di sekitar-Nya untuk bangkit melawan pemerintah. Ketika Abdu’l-Baha mendirikan makam Sang B́́ab di Gunung Karmel, Muhammad Ali melaporkan bahwa Ia sedang mendirikan benteng dan ini mengakibatkan pemerintah Turki mengirim satu rombongan khusus ke Tanah Suci untuk menyelidiki masalah itu. Muhammad Ali berhasil membujuk jenderal yang korup, yang datang sebagai kepala rombongan, dan laporan-laporan palsu diberikan ke pemerintah Turki Mengenai Abdu’l-Baha.

(24)

surat-surat-Nya yang berharga, Ia membimbing dan menguatkan langkah-langkah orang-orang Bahá’í di jalan pengabdian pada agama Tuhan. Jika Ia tidak sibuk menulis, Sang Guru mengunjungi orang sakit dan memperhatikan kebutuhan orang miskin. Dari kantong-Nya Ia memberikan dengan murah hati kepada orang lain, dan tak seorangpun pernah dikecewakan dari pintu rumah Sang Guru.

Abdu’l-Baha tidak menaruh perhatian pada rombongan pejabat yang telah datang untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan palsu terhadap-Nya. Sebaliknya, Muhammad Ali menunjukan hormat yang besar dan menghujani mereka dengan berbagai pemberian dan hadiah. Sebelum mereka pergi, jenderal yang bertugas untuk memimpin rombongan itu berjanji akan kembali untuk membunuh Abdu’l-Baha. Ia akan menggantung Abdu’l-Baha di pintu gerbang kota, katanya. Ini membuat musuh-musuh Abdu’l-Baha bergembira, sedangkan mereka yang mencintai-Nya merasa takut. Banyak diantara para sahabat-Nya memohon kepada Abdu’l-Baha untuk melarikan diri dari Tanah Suci selama masih ada waktu, tetapi Sang Guru yang telah menaruh seluruh kepercayaan-Nya pada Tuhan, tidak merasa khawatir sedikitpun. Ia bersabda:

“Bagi-ku penjara adalah kemerdekaan, bagi-ku pe-menjaraan adalah

suatu istana yang terbuka, bagi-ku kerendahan hati adalah kemuliaan, bagi-Ku

kesukar-an adalah anugerah dan kematian adalah kehidupan.”15

Jenderal yang mau menggantung Abdu’l-Baha dengan tangannya sendiri, terbunuh dalam suatu perang tidak lama setelah ia meninggalkan Tanah Suci. Kerajaan Turki sendiri terpecah, dan suatu sistem pemerintahan yang baru mengambil alih pemerintahan itu. Muhammad Ali dan beberapa orang lainnya

(25)

yang telah melanggar perjanjian Baha’ullah kecewa dalam usaha-usaha mereka untuk merugikan Abdu’l-Baha atau menyebabkan perpecahan diantara umat Bahá’í. Mereka jatuh di jurang kehinaan dan rencana-rencana mereka yang memalukan itu terbuka di hadapan mata setiap orang.

Dengan bergantinya pemerintahan, datanglah kebebasan Abdu’l-Baha setelah pemenjaraan-Nya selama seumur hidup Sang Guru, yang mengabdi pada ajaran Baha’ullah dengan penuh kesetiaan-Nya, di bawah kesukaran-kesukaran yang berat, akhirnya bebas untuk bergerak dan membawa yang berat, akhirnya bebas untuk bergerak dan membawa Amanat ayah-Nya kepada bangsa-bangsa di negara-negara lain orang-orang Bahá’í di Barat menghendaki agar dia mengadakan perjalanan ke Eropa dan Amerika. Meskipun usia-Nya sudah lanjut dan jasmani-Nya sangat lemah karena bertahun-tahun dalam penjara, Abdu’l-Baha dengan senang hati menerima undangan mereka.

(26)

Di Amerika, Abdu’l-Baha meletakkan pondasi dasar bagi Gedung Rumah ibadah Bahá’í yang pertama di Barat yang sekarang merupakan suatu gedung indah yang dipersembahkan untuk kemuliaan agama Tuhan.

Perjalanan Abdu’l-Baha ke Eropa dan Amerika menghasilkan buah yang mengagumkan, agama Bahá’í didirikan di banyak negara, dan sebelum Abdu’l-Baha meninggal dunia, Ia memberi semangat kepada para mukmin agar membawa Amanat baru ini ke negeri lain.

Sang Guru meninggal dunia di Tanah Suci pada tanggal 28 November 1921. Makam-Nya terletak dalam sebuah ruangan di sebelah makam Sang B́́ab dalam gedung yang sama, yang telah didirikan-Nya sendiri semasa hidup-Nya. Abdu’l-Baha adalah juru Tafsir Agama Tuhan, Juru Tafsir Tulisan-tulisan Baha’ullah dan Suri Teladan yang sempurna dari Ajaran-ajaran-Nya. Baha’ullah telah menamakan Dia “Rahasia Tuhan.”

4. Shohogie Effendi

(27)

mereka yang telah melanggar Perjanjian Baha’ullah berpikir bahwa ini adalah kesempatan bagi mereka untuk tampil kemuka dan melakukan rencana-rencana mereka yang jahat. Mereka mengira bahwa karena Abdu’l-Baha telah tiada, tak ada orang yang akan melindungi kesatuan umat Bahá’í, maka akan mudah bagi mereka untuk menyerang agama ini. Mereka tidak tahu bahwa Tuhan tak akan mengizinkan adanya perpecahan yang bagaimana pun dalam agama-Nya pada zaman ini.

Abdu’l-Baha telah menyiapkan semua yang diperlukan untuk menjaga kesatuan para pengikut Baha’ullah. Ia telah membuat perjanjian yang kuat dengan umat Bahá’í di seluruh dunia. Ia telah meninggalkan sebuah Loh yang mengagumkan yakni Wasiat-Nya, yang didalamnya Ia telah menunjuk cucu-Nya Shoghi Effendi, sebagai wali Agama Tuhan. Dengan meninggalnya Abdu’l-Baha, orang-orang Bahá’í kehilangan Ayah yang tercinta, tetapi dalam diri Shoghi Effendi mereka menemukan seorang “saudara sejati”.

Shoghi Effendi dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1897 dalam keluarga Abdu’l-Baha yang diberkati. Ibunya adalah putri Abdu’l-Baha dan ayahnya adalah keluarga dekat dengan Sang B́́ab. Abdu’l-Baha telah menamakan Shoghi Effendi “Mutiara yang paling mengagumkan, yang unik dan tak ternilai, yang berkilau dari lautan kembar yang bergelombang”, dan “dahan suci yang telah bercabang dari pohon-pohon Suci Kembar”, karena dalam dirinya, keluarga Sang B́́ab dan Baha’ullah menjadi satu.16

Shoghi Effendi menjadi dewasa dibawah asuhan dan bimbingan langsung dari Abdu’l-Baha, tetapi tak seorangpun tahu mengenai kedudukan yang telah

(28)

disiapkan oleh Abdu’l-Baha untuk dia, meskipun orang banyak melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Shoghi Effendi jauh sebelum Abdu’l-Baha meninggal. Seorang Bahá’í dari Amerika pada suatu waktu menulis kepada Abdu’l-Baha menanyakan apakah benar ramalan yang tertulis dalam Injil, yakni sudah ada seorang anak yang hidup diantara mereka yang telah ditakdirkan untuk memegang kemudi Agama setelah Abdu’l-Baha. Sang Guru menjawab bahwa ia benar, dan anak yang diberkati itu ada di antara mereka dan akan segera menerangi dunia dengan cahaya. Kepada orang lain Abdu’l-Baha memberikan keyakinan bahwa anak yang diberkati itu akan “menegakkan Agama Tuhan sampai ke puncak-puncak.”

Shoghi Effendi masih kecil ketika Abdu’l-Baha menulis Wasiat-Nya, dan ketika ia menjadi Wali Agama, Ia berusia 24 tahun. Tetapi karena ia selalu diilhami oleh Baha’ullah usianya yang masih muda tidak menjadi halangan. Abdu’l-Baha memanggil Shoghi Effendi “Tanda Tuhan di bumi” dan mengatakan bahwa siapa yang taat kepada Shoghi Effendi telah taat kepada Tuhan. Melalui kearifan dan bimbingan Rohani dari Shoghi Effendi, Amanat Baha’ullah dibawa ke setiap negeri di bumi ini.

(29)

ia sembuh betul dari kagetnya karena berpisah dengan Abdu’l-Baha secara tiba-tiba, ia sampai di Tanah Suci untuk menerima berita bahwa Abdu’l-Baha telah memberikan kepadanya tanggung jawab yang berat, yaitu sebagai Wali Agama Tuhan. Tetapi bila Tuhan memberikan seseorang suatu tugas yang harus dilakukan di dunia ini, Ia juga pasti memberikan kepadanya kekuatan untuk melaksanakannya. Setelah beberapa minggu bermeditasi dan berdoa, Shoghi Effendi siap untuk memulai pekerjaan besar dalam hidupnya. Dan Tuhan memberkati dia dengan ilmu dan Ilham Ilahi dalam setiap langkah yang di ambil demi kemajuan Agama-Nya.17

Selama 36 tahun kewaliannya, Shoghi Effendi tidak mempunyai pikiran lain kecuali kemajuan Agama. Ia bekerja siang dan malam, tidak membuang-buang waktu dalam hal-hal lain. Kehidupan pribadinya sangat sederhana, ia jarang makan lebih dari satu kali dalam 24 jam, atau tidur lebih dari beberapa jam setiap malam. Waktu selebihnya ia pergunakan untuk pekerjaan Agama yang makin bertambah. Orang-orang yang melihat pekerjaan yang dilakukannya setiap hari, menyadari bahwa hanya dengan pertolongan kekuatan Tuhan seorang manusia biasa dapat melakukan sedemikian banyak pekerjaan dari hari ke hari dan tahun ke tahun.

Musuh-musuh Agama yang ingin meneruskan rencana-rencana jahatnya setelah Abdu’l-Baha wafat segera menyadari bahwa Ajaran Baha’ullah kini dijaga oleh tangan-tangan besi Shoghi Effendi. Dialah yang mengajar orang-orang Bahá’í di dunia bagaimana bekerja sama untuk mendirikan Tata-tertib dunia Baha’ullah, dan bagaimana melaksanakan petunjuk-petunjuk Abdu’l-Baha yang

(30)

disebut dalam Loh Rencana Ilahi-Nya. Dalam Loh yang ditulis Sang Guru kepada orang-orang, kepada orang-orang Bahá’í sebelum Ia meninggal, Ia berseru kepada mereka semua agar bangkit demi kemajuan Agama, agar meninggalkan rumah mereka dan kesenangan-kesenangan mereka, dan membawa Amanat Baha’ullah keseluruh penjuru dunia yang jauh. Shoghi Effendi mendidik orang-orang Bahá’í selama bertahun-tahun agar mempersiapkan diri mereka untuk tugas besar ini. Ia mengajarkan mereka bagaimana bekerja dengan perantaraan Majelis-mejelis Setempat dan Nasional, karena jika orang-orang Bahá’í tidak belajar bekerja sebagai suatu badan yang bersatu, tak mungkinlah bagi mereka untuk melakukan apa pun. Dan ketika mereka dipersiapkan untuk pekerjaan yang besar itu, Sang Wali mendorong mereka agar tersebar keseluruh dunia dan membawa panji Baha’ullah ke setiap penjuru dunia. Di bawah bimbingan keilahian-Nya beratus-ratus teman Bahá’í menyebar dengan membawa obor Agama dan tinggal di pulau-pulau dan daerah-daerah yang terpencil untuk menyampaikan Amanat baru kepada orang-orang di mana-mana.

Ketika Abdu’l-Baha meninggal dunia, Agama Bahá’í telah tersebar di 35 negara, tetapi selama masa hidup Sang Wali yang tercinta, Amanat Baha’ullah di bawa lebih ke 251 negara di dunia termasuk tempat-tempat yang disebutkan oleh Abdu’l-Baha dalam Loh Rencana Ilahi.18

Dalam Surat Wasiat-Nya, Abdu’l-Baha telah berseru kepada umat Bahá’í di dunia agar bangkit untuk mengabdi pada Agama, dan jangan berhenti sesaat pun sampai mereka mendirikan Panji Agama di setiap penjuru dunia. Sang Wali yang tercinta melaksanakan permintaan Sang Guru ini sepanjang seluruh

(31)

hidupnya sampai akhir hayatnya di dunia ini. Ia meninggal dunia pada tanggal 4 November 1957 di London sewaktu Ia sedang pergi untuk membeli bahan-bahan untuk pembangunan gedung Lembaga-lembaga Administrasi Bahá’í di Tanah Suci.19

Sang Wali meninggalkan kita setelah ia yakin bahwa usaha-usahanya, sebagai Wali Agama selama 36 tahun, berhasil mendirikan suatu dasar yang kuat bagi Agama yang universal ini. Sehingga pekerjaan Baha’ullah dapat diteruskan oleh orang-orang Bahá’í setelah ia wafat. Seperti kapten kapal yang bijaksana, ia menentukan arah yang harus kita ikuti dan memberikan petunjuk-petunjuk yang penting sebelum ia pergi ketempat peristirahatan yang terakhir. Tidak ada kemungkinan kita akan kehilangan jalan karena arah dan arus yang harus kita ambil ditentukan oleh Sang Wali sendiri. Dibawah bimbingan rohaniahnya, Bahtera Tuhan ini dengan pasti akan mencapai tujuannya. Sewaktu hidup, Shogi Effendi membuat Rencana Sepuluh Tahun yang berakhir pada tahun 1963.

Menurut rencana ini, semua teman Bahá’í di dunia harus bekerja sama dengan erat ketika membawa Amanat Baha’ullah ke pulau-pulau dan daerah-daerah lainnya di awasi kemajuan Rencana ini pada tahap-tahap pertamanya dan sebelum Ia meninggal lebih dari 4200+ pusat Bahá’í telah di dirikan di dunia, sedangkan literatur Bahá’í telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 200 bahasa.

Di Tanah Suci, yakni Pusat Agama Bahá’í sedunia Sang Wali membangun Gedung Arsip Internasional, yang di dalamnya tersimpan Tulisan-tulisan asli Sang B́́ab dan Baha’ullah, maupun peninggalan-peninggalan lain yang amat berharga. Bangunan-bangunan dan taman-taman yang indah di sekitarnya merupakan salah

(32)

satu tempat yang terindah di dunia dan beribu-ribu orang datang mengunjungi tempat-tempat ini setiap tahun.

Untuk melindungi Agama dan menyebarkan Ajaran-ajaran Baha’ullah, Shoghi Effendi mengangkat orang-orang tertentu sebagai Tangan Agama Tuhan. Sebelum wafatnya, beliau melengkapkan pekerjaannya dengan mengangkat 27 orang lagi sebagai Tangan Agama Tuhan yang disebut para “Pembantu Utama”. Dengan demikian, jumlah Tangan Agama Tuhan seluruhnya yang diangkat oleh beliau menjadi 43 orang. Ketika Sang Wali meninggal, para Tangan Agama Tuhan itu memilih suatu badan di antara mereka sendiri yang terdiri dari sembilan orang untuk menetap di Tanah Suci dan mengawasi pekerjaan Agama di pusat Sedunia. Mereka ini disebut para Penjaga. Para Tangan Agama lainnya menyebar ke seluruh dunia untuk menolong menyelesaikan Rencana Sepuluh Tahun Sang Wali.

Akhirnya Rencana Sepuluh Tahun pada tahun 1963 menandakan suatu tonggak bersejarah dalam Agama Bahá’í. Seabad penuh telah lewat sejak hari Pengumuman Misi Baha’ullah dan umat Bahá’í diseluruh dunia memilih Balai Keadilan Internasional yang pertama, yakni Badan Agung yang telah dianggap oleh Abdu’l-Baha sebagai Badan yang berada di bawah bimbingan langsung dari Tuhan dan yang tak dapat salah dalam segala keputusannya.

(33)

beraneka ragam pakaian nasional merupakan suatu taman yang indah. Peserta yang beraneka warna dalam Kongres Bahá’í Sedunia itu sungguh merupakan karangan bunga yang pantas untuk dipersembahkan pada peringatan Shoghi Effendi, sang Wali kita yang tercinta yang telah merancang bagi kita Rencana Sepuluh Tahun yang penuh dengan kemenangan dan kejayaan.

Berkat usaha-usaha Sang Wali yang tercinta yang tak mengenal lelah dan tiada henti, orang-orang Bahá’í di seluruh dunia telah dipersiapkan dengan baik untuk perkembangan yang hebat dalam kemajuan Agama Tuhan, yaitu pemilihan balai keadilan sedunia. Sebagaimana diramalkan oleh Abdul Baha sewaktu ia masih kanak-kanak, Shoghi Efendi betul-betul menegakkan Agama Tuhan sampai ke puncak-puncak yang tinggi.

C. Ajaran Agama Bahá’í

Setiap agama yang terpenting adalah sebuah ajaran. Dalam agama akan mengatur serta menentukan bagaimana karakter serta perilaku penganutnya dalam kehidupan sehari-hari oleh karenanya Baha’ullah sebagai pengasas Agama Bahá’í telah menulis hal-hal yang berkaitan dengan ajaran-ajaran untuk para pengikut. Secara umum tujuan dari ajaran Baha’i menuju pada terwujudnya perdamaian dan kerukunan antar manusia.

(34)

1. Keesaan Tuhan.

Tujuan Agama Bahá’í adalah mempersatukan umat manusia. Di dalam

Ajaran Bahá’í, diajarkan bahwa manusia adalah buah-buah dari satu pohon dan

daun-daun dari satu dahan. Meskipun berbeda satu sama lain secara jasmani dan

perasaan, meskipun memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, namun

manusia tumbuh dari satu akar yang sama, semua manusia adalah satu keluarga

manusia.

Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha

Agung, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengirim para Utusan Tuhan

untuk membimbing manusia. Oleh karena itu, semua agama yang bersumber dari

satu Tuhan ini, haruslah menunjukkan rasa saling menghormati, mencintai, dan

niat baik antara satu dengan yang lain.

“Tiada keraguan apa pun bahwa semua manusia di dunia, dari bangsa atau

agama apapun, memperoleh ilham mereka dari satu Sumber surgawi, dan

merupakan hamba dari Satu Tuhan.” Bahá’u’lláh.

“Katakanlah: Wahai engkau para kekasih Tuhan Yang Maha Esa!

Berupayalah agar engkau sungguh-sungguh mengenal dan mengetahui Dia dan

menjalankan perintah- perintah-Nya dengan benar.” Bahá’u’lláh

“Tujuan Tuhan Yang Maha Esa diluhurkanlah kemuliaan-Nya dalam

menyatakan diri-Nya kepada manusia adalah untuk memunculkan

permata-permata yang tersembunyi dalam tambang diri sejati dan inti manusia. Pada Hari

ini, hakikat Keyakinan dan Agama Tuhan adalah agar bermacam-macam umat

(35)

memupuk rasa permusuhan di antara umat manusia. Asas-asas dan hukum-hukum

semua agama, sistem-sistem-Nya yang teguh dan agung, berasal dari satu Sumber

dan merupakan sinar-sinar dari satu Cahaya”. Bahá’u’lláh.20

Umat Bahá’í percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta alam semesta

dan Dia bersifat tidak terbatas, tak terhingga dan Maha Kuasa. Hakekat Tuhan

tidak dapat dipahami, dan manusia tidak bisa sepenuhnya memahami realita

Keilahian-Nya. Oleh karena itu, Tuhan telah memilih untuk membuat Diri-Nya

dikenal manusia melalui para Utusan Tuhan, diantaranya Ibrahim, Musa, Krishna,

Zoroaster, Buddha, Isa, Muhammad, dan Bahá’u’lláh. Para Utusan Tuhan yang

suci itu bagaikan cermin yang memantulkan sifat-sifat dan kesempurnaan Tuhan.

Mereka merupakan saluran suci untuk menyalurkan kehendak Tuhan bagi umat

manusia melalui Wahyu Ilahi, yang terdapat dalam Kitab-kitab Suci berbagai

agama di dunia. Wahyu Ilahi adalah “Sabda Tuhan” yang dapat membuka potensi

rohani setiap individu serta membantu umat manusia berkembang terus-menerus

menuju potensinya yang tertinggi.

2. Keselarasan dan Toleransi Antar Umat Beragama.

Umat Bahá’í percaya bahwa tujuan agama adalah mewujudkan persatuan

dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Saling menghormati dan mencintai

serta kerja sama di antara pemeluk agama yang berbeda akan membantu

terwujudnya masyarakat yang damai. Karena itu, umat Bahá’í aktif berperan di

berbagai usaha serta proyek-proyek yang memajukan persatuan agama dan yang

(36)

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap agama-agama lain. Umat

Bahá’í menghormati keanekaragaman dalam melakukan ibadah keagamaan.

“Utusan-utusan Ilahi telah diturunkan, dan Kitab-kitab mereka

diwahyukan, dengan maksud untuk meningkatkan pengetahuan tentang Tuhan,

serta menegakkan persatuan dan persahabatan di antara manusia.” Bahá’u’lláh.

“Bergaullah dengan semua agama dalam persahabatan dan keselarasan,

agar mereka dapat menghirup darimu keharuman Tuhan … Segala sesuatu berasal

dari Tuhan, dan kepada-Nyalah semua akan kembali.” Bahá’u’lláh.21

Demikianlah betapa Ajaran dalam keselrasan dan toleransi dalam Agama

Bahá’í di ajarkan secara baik oleh perwujudan Tuhan dalam Agama Bahá’í.

3. Sifat Roh dan Kehidupan Sesudah Mati.

Umat Bahá’í percaya tentang adanya roh yang kekal yang ada pada setiap manusia, walaupun kita tidak sepenuhnya mampu memahami sifat roh itu. Bahá’u’lláh bersabda:

“Engkau telah menanyakan kepada-Ku mengenai hakikat roh. Ketahuilah bahwa sesungguhnya roh adalah sebuah tanda Tuhan, sebuah permata surgawi yang kenyataannya telah gagal dipahami oleh orang-orang yang paling terpelajar, dan tidak ada akal, betapa pun tajamnya, yang dapat berharap untuk membuka rahasianya.” Bahá’u’lláh.22

Dalam kehidupan yang fana ini, roh seseorang tumbuh dan berkembang sesuai dengan hubungan rohaninya dengan Tuhan. Hubungan ini dapat dipelihara dengan jalan mengenal Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya yang diwahyukan oleh para Utusan Tuhan, seperti cinta pada Tuhan, doa, meditasi, puasa, disiplin moral, kebajikan-kebajikan Ilahi, menjalankan hukum-hukum agama, dan pengabdian

(37)

kepada umat manusia. Semua itu memungkinkan manusia untuk mengembangkan sifat-sifat rohaninya, yang merupakan pondasi bagi kebahagiaan manusia serta kemajuan sosial, dan juga untuk menyiapkan rohnya untuk kehidupan sesudah mati, yaitu di alam-alam Ilahi.

Agama Bahá’í mengajarkan bahwa realita rohani setiap manusia, yaitu roh, adalah abadi. Pada saat kematian, roh manusia akan melanjutkan perjalanannya dalam alam rohani. Orang-orang yang telah taat pada ajaran-ajaran para Utusan Tuhan dan telah mengembangkan kapasitas rohani mereka, kelak sesudah mati, akan mendapatkan keuntungan atas perbuatan-perbuatan mereka. Bahá’u’lláh bersabda:

“Ketahuilah olehmu bahwa roh, setelah berpisah dari tubuhnya, akan terus maju hingga mencapai hadirat Tuhan ... Roh itu akan ada selama berlangsungnya kerajaan Tuhan, kedaulatan-Nya, kekuasaan dan kekuatan-Nya. Ia akan memperlihatkan tanda-tanda Tuhan dan sifat-sifat-Nya, dan akan mewujudkan kasih sayang dan kedermawanan-Nya. Gerakan pena-Ku terhenti tatkala ia berupaya untuk menggambarkan dengan patut keluhuran dan kemuliaan kedudukan yang maha tinggi itu… Diberkatilah roh yang pada saat berpisah dari tubuhnya, disucikan dari segala khayalan sia-sia semua kaum di dunia. Roh semacam itu hidup dan bergerak sesuai dengan Kehendak Penciptanya, dan memasuki Surga Yang Maha Tinggi. Bidadari-bidadari Firdaus, para Penghuni Surga Terluhur, akan berkeliling di sekitarnya, dan para Utusan Tuhan serta orang-orang pilihan-Nya, akan bergaul dengannya. Roh itu akan dengan bebas bercakap-cakap dengan mereka, dan akan menceritakan kepada mereka apa yang telah dialaminya di jalan Tuhan, Tuhan sekalian alam… Para Utusan Tuhan telah diutus hanya dengan tujuan membimbing umat manusia ke jalan lurus kebenaran.

Maksud yang mendasari wahyu semua Utusan Tuhan itu adalah untuk mendidik semua manusia, agar pada saat kematiannya manusia dapat naik dalam keadaan yang paling suci dan murni serta lepas dari segala-galanya, ke hadapan takhta Yang Maha Tinggi”. Bahá’u’lláh.

(38)

sesuai dengan keabadiannya dan yang pantas bagi kediaman surgawinya.” Bahá’u’lláh.23

Demikianlah kepercayaan Umat Bahá’í mengenai sifat roh dan kehidupan setelah kematian, mereka percaya bahwa kehidupan ini sejatinya ada pada roh dan setelah kematian, karena raga manusia akan dapat hancur setelah masuk kedalam tanah, serta semua yang ada didunia ini bersifat fana dan sementara.

4. Budi Pekerti yang Luhur.

Umat Bahá’í percaya bahwa manusia harus berupaya memperoleh sifat-sifat mulia serta bertingkah laku sesuai dengan standar moral yang tinggi. Salah satu tujuan dasar kehidupan Bahá’í adalah mengembangkan dan memperoleh sifat-sifat mulia seperti kebaikan hati, kedermawanan, toleransi, belas kasihan, sifat dapat dipercaya, niat yang murni, dan semangat pengabdian. Umat Bahá’í dilarang bergunjing, berbohong, mencuri, dan berjudi. Kebajikan-kebajikan tersebut diajarkan kepada anak-anak sejak usia dini, sehingga menjadi bagian utama dari akhlak mereka dan mengarahkan mereka kepada Tuhan, sehingga dengan demikian mereka akan lebih mampu mengabdi pada umat manusia.

“Maksud Tuhan Yang Maha Esa dalam menyatakan Dirinya adalah untuk memanggil seluruh umat manusia kepada kejujuran dan ketulusan, kepada kesalehan dan sifat dapat dipercaya, kepada ketawakalan serta ketaatan pada Kehendak Tuhan, kepada ketabahan dan kebaikan hati, kepada keadilan dan kearifan. Tujuan-Nya adalah untuk membalut setiap manusia dengan pakaian watak yang suci, serta menghiasinya dengan perhiasan perbuatan-perbuatan yang suci dan baik.” Bahá’u’lláh.

“Cahaya dari watak yang baik melebihi cahaya dan kecemerlangan matahari. Barangsiapa mencapai tingkat ini, dianggap sebagai permata

(39)

di antara manusia. Kemuliaan dan keluhuran dunia tergantung padanya.” Bahá’u’lláh.

“Bukankah tujuan setiap Wahyu adalah mewujudkan perubahan menyeluruh pada karakter manusia, suatu perubahan yang akan terwujudkan baik ke dalam maupun ke luar, yang akan mempengaruhi kehidupan batinnya maupun kondisi lahirnya?” Bahá’u’lláh.

“Semua manusia diciptakan untuk memajukan peradaban yang terus berkembang. Kebajikan-kebajikan yang sesuai dengan harkat manusia ialah kesabaran, belas kasihan, kemurahan hati, dan cinta kasih terhadap semua kaum dan umat di bumi”. Bahá’u’lláh.24

Jadi dalam ajaran agama Bahá’í mereka meyakini bahwasanya wahyu yang diturunkan Tuhan kepada utusan-Nya, untuk memandu umat manusia agar memiliki prilaku yang baik dan luhur, serta berupaya menjauhi prilaku yang buruk dan merusak baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain pada umumnya.

5. Kehidupan yang Murni dan Suci.

Bahá’u’lláh telah menetapkan hukum-hukum moral untuk individu dan

keluarga yang bertujuan untuk mengembangkan sifat rohani individu, dan

meningkatkan persatuan dan kesejahteraan dalam keluarga dan masyarakat. Umat

Bahá’í memahami bahwa keluarga adalah unit dasar dari suatu masyarakat; bila

keluarga-keluarga bersifat rohani, sehat dan bersatu, maka demikian pulalah

masyarakatnya. Monogami adalah fondasi kehidupan pernikahan. Hubungan

badaniah hanya diizinkan antara suami dan isteri dalam ikatan pernikahan, dan

sebelum pernikahan tidak diizinkan. Umat Bahá’í dilarang berbuat zina.

“Wahai Sahabat-Ku!

Engkau adalah surya di langit kesucian-Ku, janganlah noda dunia sampai menggelapkan cahayamu. Robekkanlah tabir kelalaian, agar dari balik awan-awan, engkau dapat terbit dengan gemilang dan menghiasi segala sesuatu dengan pakaian kehidupan.” Bahá’u’lláh.

(40)

“Semoga matamu suci, tanganmu setia, lidahmu jujur dan hatimu diterangi.” Bahá’u’lláh.

“Kemurnian mengandung arti suatu kehidupan seksual yang bersifat murni dan tak bernoda — baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Sebelum pernikahan, benar-benar menjaga kesucian, dan sesudah pernikahan benar-benar setia kepada pasangan pilihannya. Setia dalam semua perbuatan seksual, setia dalam perkataan dan dalam perbuatan.” Shoghi Effendi.

“Kehidupan yang murni dan suci itu, yang mengandung arti kesederhanaan, kesucian, penahanan diri, kesopanan, dan pikiran bersih, mengharuskan adanya suatu sikap sedang dalam segala hal yang berkenaan dengan pakaian, ungkapan, hiburan, serta semua kegemaran seni dan sastra. Kehidupan seperti itu menuntut kewaspadaan terus-menerus untuk mengendalikan hawa nafsu dan kecenderungan buruk. Kehidupan yang murni dan suci menghendaki ditinggalkannya tingkah laku yang tidak karuan, yang terlalu mementingkan kenikmatan-kenikmatan yang remeh dan seringkali menyesatkan. Kehidupan semacam ini mengharuskan pantangan total dari semua minuman beralkohol, dari candu, serta dari obat-obatan yang mencandukan. Agama Bahá’í mencela pelacuran seni dan sastra, praktek-praktek nudisme dan hidup bersama di luar pernikahan, penyelewengan dalam pernikahan, dan segala macam promiskuitas, perbuatan tidak senonoh serta asusila. Ia tidak mengenal kompromi terhadap semua teori, norma, kebiasaan, dan ekses-ekses zaman yang rusak ini. Sebaliknya, melalui daya keteladanan yang dinamis dan melalui kehidupan yang murni dan suci itu berupaya untuk menunjukkan sifat merusak yang dimiliki oleh teori-teori itu, kepalsuan norma-norma itu, kosongnya tuntunan-tuntunan itu, keburukan dari kebiasaan-kebiasaan itu, dan sifat asusila dari ekses-ekses itu.” Shoghi Effendi.25

Dalam agama Bahá’í menjunjung tinggi kesucian hubungan manusia,

mereka mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa benar-benar menjaga

kesucian diri serta melarang untuk menodainya, dengan hal-hal yang tercela dan

tidak bermoral, baik sebelum terjadinya pernikahan ataupun sesudah terjadinya

pernikahan.

6. Sembahyang Wajib, Puasa, dan Doa.

Umat Bahá’í seperti juga umat agama-agama lainnya, diwajibkan untuk

bersembahyang yang dilaksanakan secara individu, serta untuk berpuasa selama

(41)

periode tertentu. Selain sembahyang wajib, terdapat pula banyak doa dan Tulisan

Suci lainnya yang dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari. Kewajiban-kewajiban

rohani itu membantu orang-orang Bahá’í untuk memenuhi tujuan hidup mereka,

yaitu mengenal dan menyembah Tuhan dan berkembang secara rohani.

“Kami telah memerintahkan kepadamu agar bersembahyang dan berpuasa dari awal akil balig; inilah perintah Tuhan, Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu” Bahá’u’lláh.

“Bacalah olehmu ayat-ayat Tuhan setiap pagi dan petang. Barangsiapa yang tidak membacanya tidak setia pada Perjanjian Tuhan dan Wasiat-Nya, …Takutlah engkau kepada Tuhan, wahai hamba-hamba-Ku sekalian.” Bahá’u’lláh.

“Renungkanlah olehmu apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau dapat menemukan tujuan Tuhan, Rajamu, dan Raja sekalian alam. Dalam sabda-sabda ini, rahasia-rahasia hikmah Ilahi telah disimpan.” Bahá’u’lláh.

“Sembahyang wajib bersifat mengikat, karena mengakibatkan kerendahan hati serta kepatuhan, menyebabkan orang menghadapkan wajahnya kepada Tuhan dan mengungkapkan cinta kepada-Nya. Melalui sembahyang itu, manusia berhubungan dengan Tuhan, berupaya mencapai kedekatan dengan-Nya, bercakap-cakap dengan Kekasih hatinya, serta mencapai derajat-derajat rohaniah.” Abdu’l-Bahá.

“ ... Doa dan puasa adalah penyebab kesadaran dan kewaspadaan dan mendatangkan perlindungan dan pemeliharaan dari cobaan.” Abdu’l-Bahá.26

Didalam agama Bahá’í memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa

beribadah kepada Tuhan-Nya, bersembahyang, membaca ayat-ayat suci-Nya,

berdoa dan juga melakukan puasa. Dengan senantiasa mendekatkan diri pada

Tuhan, umat Bahá’í pun meyakini akan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka.

7. Kesetiaan Kepada Pemerintah.

Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa di negara mana pun umat Bahá’í

menetap, “mereka harus bersikap setia, lurus, dan jujur pada pemerintah negara

itu”. Umat Bahá’í percaya, bahwa patriotisme yang sehat dan benar, yang

(42)

menghormati dan mencerminkan keanekaragaman nilai-nilai budaya, akan

mengakibatkan persatuan dalam masyarakat dan bangsa. Karena memiliki

ketulusan dan kesetiaan semacam itu, umat Bahá’í dihargai oleh banyak

pemerintahan di dunia.

“Tidak diizinkan bagi siapa pun untuk menentang mereka yang berkuasa memerintah rakyat; serahkanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka, dan arahkan perhatianmu pada kalbu-kalbu manusia.” Bahá’u’lláh. “Diwajibkan kepada setiap orang pada Hari ini, untuk berpegang teguh pada apa saja yang memajukan kepentingan-kepentingan dan meluhurkan martabat semua bangsa dan pemerintahan yang adil.” Bahá’u’lláh.

“Prinsip utama yang harus kita ikut ... adalah patuh kepada pemerintah yang sah di negara mana pun kita berdiam.” Shoghi Effendi.27

Umat Bahá’í tidak terlibat dalam kegiatan politik partisan dan tidak boleh

menjadi anggota partai politik. Sebagai individu, dalam pemilihan umum, seorang

Bahá’í bebas untuk memberikan suara sesuai dengan hati nuraninya.

8. Musyawarah Sebagai Landasan Pengambilan Keputusan.

Bahá’u’lláh menyeru umat manusia agar bersandar pada musyawarah

sebagai sarana untuk mengambil keputusan dalam segala aspek kehidupan

masyarakat, baik dalam masalah-masalah pribadi maupun persoalan umum.

Dalam Tulisan Suci Bahá’í, banyak dikembangkan prinsip-prinsip musyawarah,

yang dilukiskan sebagai sarana untuk menemukan kebenaran dalam segala

persoalan. Musyawarah juga mendorong pencarian kemungkinan-kemungkinan

baru, membangun kesatuan dan kemufakatan, serta menjamin kesuksesan

pelaksanaan keputusan kelompok.

“Langit kebijaksanaan Ilahi diterangi oleh dua bintang, musyawarah dan belas kasihan. Bermusyawarah bersama-sama dalam segala hal, karena

(43)

musyawarah adalah lampu bimbingan yang menunjukkan jalan, dan memberi pengertian.” Bahá’u’lláh.

“Musyawarah menghasilkan kesadaran yang lebih dalam dan mengubah dugaan menjadi keyakinan. Musyawarah adalah laksana sebuah cahaya cemerlang, yang membimbing dan menunjukkan jalan di dalam dunia yang gelap. Dalam setiap hal, selalu dan selamanya memiliki suatu tingkat kesempurnaan dan kedewasaan. Tingkat kedewasaan dari berkah pengertian akan diwujudkan melalui musyawarah.” Bahá’u’lláh.

“Bermusyawarahlah bersama-sama dengan penuh persahabatan dan dalam semangat persaudaraan sejati.” Bahá’u’lláh.

“Dalam setiap persoalan, mereka harus mencari kebenaran dan tidak bersikeras mempertahankan pendapat mereka sendiri, karena sikap keras kepala dan mempertahankan pendapat sendiri pada akhirnya akan menyebabkan perselisihan dan percekcokan, dan kebenaran akan tetap tersembunyi.” Abdu’l-Bahá.28

Ajaran dalam agama Bahá’í menganjurkan kepada setiap umatnya untuk

senantiasa melakukan musyawarah dalam menghadapi setiap persoalan, agar rasa

persaudaraan semakin terikat dengan kuat terhadap sesama.

9. Keadilan dan Pemerataan Bagi Semua Manusia.

Bahá’u’lláh bersabda “di dalam pandangan-Ku keadilanlah yang teramat

Kucintai.” Semua orang harus menyumbangkan upaya mereka untuk memajukan

dan mengembangkan suatu peradaban dimana kemiskinan dan kekayaan yang

berlebihan harus dihapuskan, dimana kebutuhan dasar manusia dipenuhi, dan

manusia bisa hidup terhormat dan bermartabat. Umat Bahá’í percaya, bahwa

kemajuan yang amat pesat akan dicapai oleh manusia bila semua

menyumbangkan gagasan dan tindakan dengan semangat kerjasama di semua

tingkat: di tingkat keluarga, masyarakat, dan bangsa. Setiap orang harus bekerja

sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka, serta harus ada keadilan bagi semua

orang.

(44)

“Keadilan dan pemerataan merupakan penjaga kembar yang melindungi manusia. Dari keduanya terwujud kata-kata yang demikian diberkati dan jelas, yang menyebabkan kesejahteraan dunia dan perlindungan bangsa-bangsa.” Bahá’u’lláh.

“Katakanlah: Ya Rabi Tuhanku! Hiasilah kepala hamba dengan mahkota keadilan, dan tubuh hamba dengan hiasan sikap yang adil. Sesungguhnya, Engkau yang mempunyai segala pemberian dan kedermawanan.” Bahá’u’lláh.

“Wahai Putra Debu!

Sesungguhnya Aku katakan kepadamu: Di antara semua orang yang paling lalai adalah dia yang berdebat dengan tololnya dan mengutamakan dirinya sendiri atas saudaranya. Katakanlah, wahai para saudara! Perbuatan-perbuatanlah yang menjadi perhiasanmu, bukan perkataan.” Bahá’u’lláh.

“Persaudaraan dan ketergantungan antar manusia harus ada, karena saling menolong dan kerja sama merupakan dua prinsip penting yang mendasari kesejahteraan manusia.” ‘Abdu’l-Bahá.29

Dapat diketahui untuk mewujudkan kesejahteraan dan keberadilan didalam

kehidupan bermasyarakat, agama Bahá’í mengingatkan agar umatnya senantiasa

saling bekerjasama bahu membahu untuk menolong terhadap sesama.

10. Bekerja Adalah Ibadah.

Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa semua manusia harus mempunyai

pekerjaan. Termasuk dalam golongan ini adalah tugas mengurus rumah tangga,

yang dianggap sebagai pekerjaan yang terhormat. Setiap orang harus diberi

kesempatan untuk mencari nafkah dan mengabdi kepada umat manusia;

mengemis tidak di perbolehkan dan harus dihilangkan dari masyarakat. Karena

tujuan kita adalah mengembangkan bakat dan kemampuan untuk mengabdi demi

kebaikan masyarakat, maka dalam pandangan Tuhan pekerjaan yang dilakukan

dengan semangat pengabdian disetarakan dengan ibadah.

(45)

“Diwajibkan bagi setiap orang di antaramu agar sibuk dalam suatu pekerjaan tertentu, misalnya keahlian, perdagangan atau sebangsanya. Kami telah mengangkat pekerjaanmu itu ke derajat yang sama dengan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Besar ... Janganlah engkau menghamburkan waktumu dengan sia-sia dan bermalas-malasan, tetapi kerjakanlah sesuatu yang akan menguntungkan dirimu maupun orang lain.” Bahá’u’lláh.

“Tidak ada pengasingan diri dan tidak ada petapa di antara umat Bahá’í. Manusia harus bekerja dengan sesamanya. Setiap orang, kaya atau miskin, harus mempunyai keahlian atau keterampilan atau profesi, dan dengan itu, ia harus mengabdi kepada umat manusia. Pengabdian ini dapat diterima Tuhan sebagai ibadah yang paling luhur.” Abdu’l-Bahá.

“Tata tertib masyarakat harus diatur sedemikian rupa, sehingga kemiskinan akan lenyap dan setiap orang sedapat mungkin akan merasa nyaman, sesuai dengan posisi dan kedudukannya.” Abdu’l-Bahá.

Agama Bahá’í memberikan pengajaran kepada umatnya untuk tidak

berpangku tangan terhadap sesama, sebab bekerja adalah salah satu ibadah kepada

Tuhan. Untuk itu setiap umatnya haruslah mengeluarkan kemampuan terbaik

ataupun potensi didalam diri hal itu bertujuan untuk kebaikan diri sendiri ataupun

pengabdian untuk banyak orang.

11. Pendidikan Diwajibkan Bagi Setiap Manusia.

Bahá’u’lláh memberi kewajiban kepada orangtua untuk mendidik

anak-anak mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Jika orangtua tidak mampu

memenuhi kewajiban ini karena keadaan ekonominya, masyarakat harus

membantu mereka. Di samping pelajaran keterampilan, keahlian, seni, dan ilmu

pengetahuan, dan yang paling diutamakan adalah pendidikan akhlak dan moral

anak-anak. Tanpa pendidikan, seseorang tidak mungkin mencapai seluruh

potensinya atau memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Oleh karena

itu, pendidikan haruslah universal dan wajib bagi semua.

(46)

dunia wujud dan meluhurkan jiwa-jiwa. Sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu adalah pendidikan anak-anak. Semua orang harus berpegang teguh pada hal itu.” Bahá’u’lláh.

“Manusia adalah azimat yang paling sakti. Namun karena kurang pendidikan, dia telah dirugikan oleh sifat-sifat pembawaannya ... Anggaplah manusia sebagai tambang yang kaya akan permata-permata yang tak ternilai harganya. Hanya pendidikanlah yang bisa menyingkapkan semua harta terpendam itu, serta memungkinkan umat manusia untuk mendapatkan faedah darinya.” Bahá’u’lláh.

“Sudah seyogyanya kalian menghiasi wujud lahir dan batinmu sedemikian rupa, sehingga dengan berbekal kebajikan berbaju kejujuran serta kelurusan, kalian dapat menjadi sarana untuk meluhurkan Agama dan sarana pendidikan bagi seluruh umat manusia.” Bahá’u’lláh.30

Pendidikan adalah salah satu bekal wajib yang harus dimiliki manusia, karena menurut agama Bahá’í dengan pendidikan lah manusia dapat menjadi ternilai. Dengan pendidikan manusia akan semakin mengerti tentang agamanya dan juga kehidupan dalam kesatuan umat manusia.

12. Memajukan Perkembangan Kaum Wanita.

Harus tersedia kesempatan yang sama bagi perkembangan wanita dan

pria, terutama kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Wanita dan

pria adalah bagaikan dua belah sayap dari burung kemanusiaan. Perkembangan

seluruh kemampuan dan potensi masyarakat hanya dapat diwujudkan bila kedua

sayapnya itu sama kuat.

“Dunia kemanusiaan terdiri dari dua bagian: laki-laki dan perempuan. Masing-masing adalah pelengkap dari yang lain. Oleh sebab itu, jika salah satu ada kekurangannya, maka yang satu lagi tidak akan lengkap, dan kesempurnaan tidak akan tercapai … Tidaklah wajar jika salah satu tetap tinggal terbelakang; dan kebahagiaan dunia manusia tidak akan pernah dicapai kecuali kedua-duanya disempurnakan.” <

Referensi

Dokumen terkait

Dapat dimafhumi, bahwa seni sakral adalah seni yang menjadi pusat peradaban tiap tradisi dan agama, karenanya adalah suci, pengetahuannya juga suci hadir langsung

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan data secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala pada obyek penelitian dengan

Sesuai dengan kondisi dan tata aturan kehidupan para rahib, maka status para rahib itu merupakan inti dari masyarakat kaum Buddhist, sebab melalui kehidupan kerahiban

27 Metode pembiasaan ini merupakan metode yang sangat penting terutama bagi pendidikan akhlak kepada anak – anak , karna seseorang yang

Berdasarkan Teori Kredibilitas Sumber ini, dapat diketahui bahwa dalam melakukan persuasi kepada seseorang atau kelompok di tengah- tengah masyarakat, maka

Cakak Pepadun dalam masyarakat Menggala Kota dapat diartikan Begawi ragah (laki-laki) yang di nobatkan menjadi sultan atau punyimbang dengan kata lain apabila seseorang akan

Pada umumnya, seseorang melakukan sumpah serapah karena ingin meluapkan emosi yang ada dalam dirinya. Emosi atau perasaan yang dimaksud dalam hal ini adalah

Perbedaannya hubungan antara Tuhan suatu pihak dan jiwa serta benda di lain pihak dengan hubungan antara jiwa dan tubuh pada manusia adalah bahwa hubungan antara jiwa dan tubuh