• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI CITRA PADA SUPER RESOLUSI MENGGUNAKAN PROJECTION ONTO CONVEX SETS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKONSTRUKSI CITRA PADA SUPER RESOLUSI MENGGUNAKAN PROJECTION ONTO CONVEX SETS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI CITRA PADA SUPER RESOLUSI MENGGUNAKAN PROJECTION ONTO CONVEX SETS

Nama Mahasiswa : Achmad Bryandi

NRP : 1207 100 006

Jurusan : Matematika FMIPA-ITS

Dosen Pembimbing : 1. Dr. Imam Mukhlash, S.Si, M.T. 2. Drs. Iis Herisman, M.Si.

Abstrak

Teknologi untuk memperoleh citra resolusi tinggi membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan seringkali belum dapat memenuhi kebutuhan citra resolusi tinggi. Oleh karena itu, dilakukan pendekatan lain dalam memperoleh citra resolusi tinggi, salah satunya dengan Super Resolusi. Super Resolusi adalah teknik untuk mendapatkan citra yang beresolusi tinggi dari citra yang beresolusi rendah. Pada umumnya Super Resolusi terdiri dari dua tahap, registrasi dan rekonstruksi. Dalam Tugas Akhir ini, diterapkan rekonstruksi citra pada Super Resolusi menggunakan Projection onto Convex Sets (POCS) pada domain frekuensi.

Dari uji coba yang telah dilakukan, citra hasil rekonstruksi cukup baik secara visual. Hasil perhitungan

Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) menunjukkan bahwa citra hasil rekonstruksi memberikan kualitas lebih baik jika jumlah citra pada citra observasi semakin banyak. Hasil rekonstruksi citra menggunakan POCS memiliki nilai PSNR yang lebih baik jika dibandingkan dengan interpolasi bicubic sehingga kualitas citra hasil rekonstruksi lebih baik karena semakin tinggi nilai PSNR maka semakin baik kualitas citra. Dari hasil pengujian 6 citra, didapatkan rata-rata nilai PSNR citra hasil rekonstruksi 33.74837 dB sedangkan citra hasil interpolasi sebesar 32.29027 dB.

Kata kunci : super resolusi, projection onto convex sets, rekonstruksi citra, domain frekuensi 1. PENDAHULUAN

Citra resolusi tinggi banyak dibutuhkan di berbagai bidang seperti bidang medis, pengamatan citra satelit, deteksi target, pengenalan pola dan bidang yang lain. Teknologi untuk memperoleh citra resolusi tinggi seringkali membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan kadang-kadang belum dapat memenuhi kebutuhan citra resolusi tinggi di beberapa bidang. Oleh karena itu, dilakukan berbagai penelitian untuk memperoleh citra resolusi tinggi dengan pendekatan yang lain, salah satunya dengan menggunakan teknik Super Resolusi.

Super Resolusi adalah teknik untuk mendapatkan citra yang beresolusi tinggi dari citra yang beresolusi rendah[6]. Citra resolusi rendah yang digunakan dapat berupa citra tunggal atau rangkaian citra yang diambil dari scene yang sama. Pada umumnya Super Resolusi terdiri dari dua tahap. Pertama adalah tahap registrasi, pada tahap ini dilakukan perhitungan estimasi pergerakan (Motion Estimation) antara rangkaian citra resolusi rendah yang diberikan. Tahap selanjutnya adalah rekonstruksi, yang berupa proses pembangunan ulang atau penyusunan ulang dari rangkaian citra resolusi rendah sebagai masukan untuk mendapatkan keluaran berupa citra resolusi tinggi, baik dalam bentuk tunggal maupun rangkaian.

Dalam Tugas Akhir ini, akan diterapkan salah satu metode dari rekonstruksi citra pada Super

Convex Sets (POCS) dan dilakukan dalam domain frekuensi. POCS adalah salah satu algoritma yang efektif dalam restorasi dan rekonstruksi citra, untuk meningkatkan kualitas dari citra yang blur dan memiliki noise[9]. POCS juga merupakan algoritma yang cukup sederhana tapi dapat memberikan informasi yang lebih detail pada citra hasil rekonstruksi sehingga lebih dekat pada citra asli[4].

POCS melakukan pendekatan dengan melakukan iterasi yang berulang dengan menggunakan informasi dari rangkaian citra resolusi rendah dan membatasi solusi pada himpunan konveks. Selanjutnya, untuk menguji kualitas citra hasil rekonstruksi digunakan Peak Signal to Noise Ratio (PSNR), dan selain itu hasil peningkatan resolusi citra juga dilihat secara visual.

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun sebuah program yang dapat menghasilkan citra tunggal beresolusi tinggi dari rangkaian citra resolusi rendah dengan menggunakan algoritma POCS pada domain frekuensi, serta mengukur kualitas citra hasil rekonstruksi menggunakan metode PSNR. Program yang akan dibuat diharapkan dapat menjadi salah satu media untuk meningkatkan kualitas citra digital sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang.

(2)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Citra

Citra digital merupakan citra yang diambil berdasarkan sampling dan kuantitasi tertentu sehingga citra digital ini terbentuk dari piksel-piksel yang besarnya tergantung pada besar kecilnya sampling dan nilainya (besarnya derajat keabuan) tergantung pada kuantisasi. Berdasarkan pengertian ini dapat dinyatakan bahwa citra digital adalah citra yang didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) dimana

x menyatakan nomor baris,

y

menyatakan kolom, dan f menyatakan nilai derajat keabuan dari citra[2]. Dengan demikian (x,y) adalah posisi dari piksel dan f adalah nilai derajat keabuan pada titik

) ,

(x y seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Sistem koordinat citra digital Model citra digital dapat direpresentasikan dalam bentuk matriks yang nilainya berupa nilai derajat keabuan. Misalkan citra berukuran ( menyatakan baris dan menyatakan kolom), representasi citranya ditunjukkan pada Gambar 2.2.

[ ]

Gambar 2.2 Representasi citra digital

Untuk citra berwarna digunakan model RGB (Red-Green-Blue) di mana satu citra berwarna dinyatakan sebagai 3 buah matriks gray-scale yang berupa matriks untuk Red (R-layer), matriks untuk

Green (G-layer) dan matriks untuk Blue (B-layer)[2].

2.2 Domain Frekuensi

Domain frekuensi dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang sulit jika dilakukan pada domain spasial. Untuk memindahkan atau mengubah domain spasial

menjadi domain frekuensi dan sebaliknya digunakan Transformasi Fourier.

Karena fungsi dari citra digital merupakan fungsi diskrit maka digunakan Transformasi Fourier

Diskrit. Transformasi Fourier Diskrit dibuat untuk fungsi diskrit yang tidak bernilai nol pada daerah dan . Transformasi Fourier Diskrit dua dimensi, dari citra berukuran yang dilambangkan dengan fungsi diskrit [8] adalah :

∑ ∑

(2.1)

sedangkan invers dari Transformasi Fourier Diskrit dua dimensi[8] adalah :

∑ ∑ ⁄ ⁄ (2.2) dengan: : koefisien frekuensi

: bilangan imajiner yang didefinisikan dengan √

dan : peubah frekuensi 2.3 Super-Resolusi

Super Resolusi merupakan teknik untuk mendapatkan citra yang beresolusi tinggi dari citra yang beresolusi rendah[6]. Resolusi yang dimaksud pada teknik Super Resolusi ini adalah resolusi spasial. Citra resolusi rendah yang digunakan dapat berupa citra tunggal atau rangkaian citra yang diambil dari scene yang sama. Karena dari scene

yang sama itu menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk merekonstruksi citra resolusi tinggi.

Pada umumnya, Super Resolusi terdiri dari dua tahap, yaitu registrasi citra dan rekonstruksi citra. Rangkaian citra resolusi rendah yang digunakan pada Super Resolusi ini harus memiliki nilai pergeseran sampai tingkat sub-piksel, karena dari pergeseran ini maka setiap citra memiliki informasi yang berbeda-beda sehingga citra resolusi tinggi dapat dibentuk.

Oleh karena itu, tahap pertama pada Super Resolusi adalah registrasi citra untuk menghitung estimasi pergerakan (Motion Estimation) antara rangkaian citra resolusi rendah yang diberikan. Tahap selanjutnya adalah rekonstruksi citra yang menyatakan proses pembangunan ulang atau penyusunan ulang dari rangkaian citra resolusi rendah sebagai input untuk mendapatkan output berupa citra resolusi tinggi. Tahapan Super Resolusi dapat dilihat pada Gambar 2.3

(3)

Gambar 2.3 Tahapan Super-Resolusi 2.3.1 Registrasi Citra

Registrasi citra termasuk proses yang penting dalam Super Resolusi. Registrasi citra dengan tingkat akurasi sampai sub-piksel merupakan prasyarat untuk melakukan rekonstruksi yang baik[11]. Pada registrasi citra ini dilakukan perhitungan estimasi pergerakan (Motion Estimation) antara rangkaian citra resolusi rendah yang diberikan. Estimasi pergerakan digunakan untuk memperkirakan posisi-posisi piksel dari tiga citra yang mengikuti citra pertama. Pada Tugas Akhir ini estimasi pergerakan yang dilakukan meliputi perhitungan rotasi dan pergeseran yang dikembangkan oleh Vandewalle[10,11].

1. Perhitungan Rotasi (Rotation Calculation). Perhitungan rotasi dilakukan dengan melakukan rotasi pada tiap citra di semua sudut dan mengkorelasikan dengan citra referensinya yang dalam hal ini adalah citra pertama. Sudut yang memberikan korelasi maksimum adalah sudut rotasinya.

2. Perhitungan Pergeseran (Shift Calculation). Perhitungan pergeseran dapat dilakukan setelah diperoleh sudut rotasi pada rangkaian citra terhadap citra referensinya saat perhitungan rotasi. Sebelum menghitung pergeserannya, semua citra diputar dengan merujuk pada citra referensi. Karena diperlukan akurasi sub-piksel maka perhitungan dilakukan pada domain frekuensi.

)

(

)

(

T j2 u s 1 T i

u

e

F

u

F

  (2.3) ] [ , ] [ ; 2 )) ( / ) ( ( 1 y x T T T i u F u s x y u f f F sudut s u        (2.4) Secara teknik, setiap frekuensi seharusnya memberikan pergeseran yang sama, tetapi hal tersebut tidak terjadi. Jadi, metode least square

digunakan untuk menghitung pergeseran

s

. Karena citra-citra resolusi rendah dapat memiliki gangguan, maka hanya 6% dari frekuensi-frekuensi yang lebih rendah digunakan untuk mengukur

s

. 2.3.2 Rekonstruksi Citra

Rekonstruksi citra pada Super Resolusi menyatakan proses pembangunan ulang atau penyusunan ulang dari rangkaian citra resolusi rendah sebagai input untuk mendapatkan output berupa citra resolusi tinggi, baik tunggal maupun rangkaian. Pada rekonstruksi ini dilakukan proyeksi ke grid resolusi tinggi setelah diketahui nilai pergerakan dari proses registrasi. Pada proyeksi ini dilakukan proses perhitungan untuk memperoleh nilai piksel pada grid resolusi tinggi yang belum diketahui atau menyempurnakan nilai yang sudah diketahui. Pada tugas akhir ini akan dilakukan proses rekonstruksi menggunakan Projection onto Convex Sets.

2.4 Projection onto Convex Sets (POCS)

Algoritma POCS merupakan algoritma yang cukup sederhana tapi dapat memberikan informasi yang lebih detail pada citra hasil rekonstruksi Super Resolusi. Algoritma ini melakukan pendekatan dengan melakukan iterasi yang berulang dengan menggunakan informasi dari rangkaian citra resolusi rendah dan membatasi solusi pada himpunan konveks

C

i[4].

Untuk suatu sinyal f(x,y)dan himpunan konveks

C

i diasumsikan merupakan elemen pada Ruang Hilbert, maka

H

C

i

, i = 1,2..m dan i m i C C f

1 0    ,

dengan syarat irisan di

C

0 tidak nol.

Diberikan himpunan kendala pada C dan operator proyeksi

P

i pada tiap-tiap f(x,y) maka diperoleh

k m m k

Tc

Tc

Tc

f

f

1

1

...

1 (2.5) dimana

Tc

i

I

i

(

Pc

i

I

)

dengan operator proyeksi

Pc

i yang memproyeksikan sinyal f(x,y) ke himpunan konveks

C

i dan

i adalah faktor pengali dengan nilai 0 <

i < 2.

(4)

Citra resolusi rendah g(x,y) yang digunakan dapat dimodelkan sebagai suatu citra resolusi tinggi

) , (x y

f yang mengalami pergeseran

(

s

x

,

s

y

)

dan mengalami proses degradasi atau blurring oleh suatu

point spread function h(x,y) dan penambahan

noise N(x,y) seperti pada persamaan berikut:

)

,

(

)

,

(

)

,

(

)

,

(

x

y

h

x

y

f

x

s

y

s

N

x

y

g

x

y

(2.8)

Sehingga dari persamaan tersebut diperoleh himpunan konveks

C

i sebagai berikut

f

:|

g

(

x

,

y

)

h

(

x

,

y

)

f

(

x

,

y

)

N

(

x

,

y

)

C

i

(2.9) Penyelesaian dari persamaan (2.9) diperoleh secara iterasi dari proyeksi orthogonal ke himpunan konveks yang ditentukan oleh kendala dari tingkat

noise citra resolusi rendah maka diperoleh operator proyeksi yang disubstitusikan ke persamaan (2.7) sehingga diperoleh persamaan berikut:

2 2 1

'

i i k i i i k k

h

h

f

h

g

f

f

(2.10) dimana

g

i adalah elemen ke i dari vektor g(x,y) dan

h

i

'

adalah baris ke i dari matriks h(x,y). Residual error dari

g

i

h

i

'

f

k dapat ditulis sebagai dan digunakan untuk memodifikasi penyelesaian setelah iterasi ke k sampai penyelesaian memenuhi pada irisan dari himpunan konveks[9].

2.4.1 Struktur POCS pada domain frekuensi Sebuah citra resolusi tinggi awal f(x,y), disebut sebagai citra Super Resolusi (SRI) yang secara berurutan diproyeksikan ke himpunan kendala yang dibangun di sekitar komponen citra observasi g(x,y) yang disebut citra resolusi rendah (LRI). Proyeksi dilakukan dalam domain frekuensi.

Gambar 2.4 Ilustrasi POCS pada domain frekuensi

Gambar 2.4 menunjukkan ilustrasi dari POCS pada domain frekuensi. Pada bagian kanan digambarkan rangkaian citra resolusi rendah (LRI) yang melalui proses preprocessing terlebih dahulu untuk didefinisikan bagian citra yang penting dan akan digunakan dalam proses rekonstruksi, jika semua bagian citra digunakan maka proses ini dapat dilewati. LRI yang akan digunakan dalam proses rekonstruksi di Transformasi Fourier menjadi LRS. Pada bagian kiri didefinisikan citra resolusi tinggi awal (SRI) yang diperoleh dari LRI yang telah diskala atau dari metode interpolasi yang sederhana seperti nearest, bilinear, atau bicubic. SRI di

resample untuk menyesuaikan dengan LRI, dalam hal ini bila pada LRI mengalami rotasi maka pada SRI juga dikenakan rotasi. SRI kemudian ditransformasi dengan Transformasi Fourier

menjadi citra Super Resolusi Overlay (SRO). SRO selanjutnya di proyeksi secara berurutan ke himpunan kendala yang didefinisikan menggunakan LRS.

Setiap proyeksi ke data yang diturunkan dari himpunan kendala melibatkan resampling dari SRI ke SRO, FFT, proyeksi dari SRO yang sudah di Transformasi Fourier ke himpunan konveks dari SRO yang konsisten dengan LRS, invers FFT dan kemudian disampling kembali ke koordinat SRI. Jika pada operasi proyeksi tidak ada perubahan pada SRO, maka invers FFT dan operasi resampling jelas bisa dilewati[6].

2.5 Peak Signal to Noise Ratio

Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) merupakan salah satu metode pengukuran yang banyak digunakan untuk sistem kompresi dan rekonstruksi gambar. PSNR didefinisikan sebagai berikut:

MSE

255

log

20

PSNR

10 (2.11) MSE atau Mean Square Error merupakan suatu metode pengukuran kontrol dan kualitas yang sudah dapat diterima luas. MSE dihitung dari sebuah contoh obyek yang kemudian dibandingkan dengan obyek aslinya sehingga dapat diketahui tingkat ketidaksesuaian antara obyek contoh dengan aslinya. Persamaan MSE terhadap deviasi dari target adalah sebagai berikut

 

N 1 2 M 1

)

,

(

I'

)

,

(

I

MN

1

MSE

x y

y

x

y

x

(2.12) I(x,y) adalah nilai piksel di citra asli, I’(x,y) adalah nilai piksel pada citra hasil rekonstruksi, dan M, N adalah dimensi citra.

(5)

3. Perancangan dan Implementasi Program 3.1 Perancangan sistem

Perancangan sistem dilakukan untuk mengetahui gambaran keseluruhan dari proses kerja sistem program yang dibuat, bagaimana sistem program berinteraksi dengan user mulai dari memasukkan data sampai menghasilkan keluaran. Seluruh proses yang dilakukan dalam pembuatan program rekonstruksi citra Super Resolusi dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Skema keseluruhan proses pada sistem

Pada Gambar 3.1 tersebut juga dapat dilihat pada sistem terbagi ke dalam 4 proses, yakni pembuatan citra observasi, registrasi citra, rekonstruksi citra dengan POCS dan pengujian dengan PSNR.

3.1.1 Pembuatan Citra Observasi

Pada proses ini akan dibuat rangkaian citra resolusi rendah dari citra tunggal resolusi tinggi. Citra resolusi tinggi yang digunakan sebagai masukan pada proses ini juga akan digunakan pada proses pengujian dengan PSNR sebagai citra pembanding dengan citra hasil rekonstruksi dengan menggunakan POCS.

Pada proses pembuatan citra observasi ini terdiri dari beberapa tahap untuk membuat rangkaian citra resolusi rendah dari citra resolusi tinggi, tahap-tahap yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Tahapan proses pembuatan citra observasi

a. Penggandaan Citra Input

Pada tahap ini Citra Input akan digandakan menjadi n citra sesuai dengan jumlah rangkaian citra resolusi rendah yang ingin dihasilkan. b. Translasi dan Rotasi Citra

Setelah didapat n citra maka untuk citra citra ke-2 sampai ke-n pada tahap kedua ini dilakukan proses translasi dan rotasi dengan citra pertama sebagai citra referensi. Langkah-langkah pada tahap translasi dan rotasi ini adalah sebagai berikut:

1) Menggeser citra dalam arah horisontal dan vertikal, kemudian mengatur piksel-piksel tambahan menjadi 0,

2) Memutar citra searah jarum jam pada sudut tertentu.

(6)

c. Downsampling dan Blurring Citra

Pada tahap selanjutnya adalah melakukan downsampling dan blurring pada citra. Downsampling dan blurring dilakukan pada semua citra untuk menghasilkan ukuran citra yang lebih kecil dan mengurangi kualitas citra. Pada MATLAB sudah tersedia fungsi

downsample dan lowpass untuk melakukan

downsampling dan blurring d. Penambahan Noise

Untuk tahap penambahan noise

dilakukan jika citra observasi berjumlah lebih dari 5. Hal ini karena proses translasi dan rotasi serta pengaburan citra tidak dapat terus-menerus dilakukan pada pada banyak citra karena akan menyebebabkan kerusakan yang terlalu jauh. Proses penambahan noise sendiri menggunakan fungsi yang telah disediakan oleh MATLAB.

3.1.2 Proses Registrasi

Pada proses ini dilakukan perhitungan pergerakan antara citra resolusi rendah yakni perhitungan rotasi dan pergeserannya. Perhitungan dilakukan untuk citra ke-2 sampai ke-n dengan citra pertama sebagai citra referensi. Langkah-langkah pada proses ini dapat dilihat pada Gambar 3.3.

1.

Pada citra observasi ke-i, dilakukan perhitungan rotasi.

2.

Setelah perhitungan rotasi didapat, rotasi dilakukan terhadap citra referensi.

3.

Menghitung estimasi translasi atau pergeseran.

\

Gambar 3.3. Tahapan proses registrasi citra 3.1.3 Proses Rekonstruksi dengan POCS

Pada proses rekonstruksi ini dilakukan proyeksi ke grid resolusi tinggi. Metode POCS ini mengasumsikan dua hal:

1) Nilai dari beberapa piksel pada grid resolusi tinggi diketahui.

2) Matriks blur yang merepresentasikan PSF diketahui.

Cara kerja dari metode POCS ini adalah menyempurnakan nilai dari grid resolusi tinggi yang diketahui maupun yang tidak diketahui dengan memproyeksikan ke grid resolusi rendah dan juga menggunakan informasi dari matriks blur yang diketahui. Langkah-langkahnya dapat dilihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Tahapan proses rekonstruksi citra 1) Bentuk grid resolusi tinggi dengan

menerapkan interpolasi seperti nearest,

bicubic atau bilinear dengan faktor pembesaran 2x pada citra resolusi rendah pertama yang dijadikan sebagai referensi sehingga nilai dari grid resolusi tinggi diketahui.

2) Ubah posisi piksel pada citra resolusi rendah sesuai dengan posisi piksel pada grid resolusi

(7)

tinggi dengan melakukan upsampling atau memperbesar matriks sebesar 2x dan membulatkan posisi sub-piksel yang diketahui dari proses registrasi ke lokasi integer piksel terdekat.

3) Ubah nilai pada grid resolusi tinggi dan rangkaian citra resolusi rendah ke domain frekuensi.

4) Nilai yang berada pada grid resolusi tinggi di proyeksikan dengan nilai pada tiap citra resolusi rendah dengan menggunakan persamaan (2.10). Proses dilakukan secara iterasi sampai nilai pada grid resolusi tinggi tidak berubah atau sebanyak maksimal iterasi. 5) Langkah terakhir adalah melakukan invers

Transformasi Fourier untuk mengubah kembali citra hasil rekonstruksi ke domain spasial.

3.1.4 Pengujian dengan PSNR

Pada proses ini dilakukan pengujian untuk citra hasil rekonstruksi dengan menghitung nilai PSNR. Langkah-langkah pada proses ini dapat dilihat pada Gambar 3.3.

1) Pertama, citra asli resolusi tinggi dimasukkan dalam sistem sebagai pembanding terhadap citra hasil rekonstruksi menggunakan POCS. 2) Dari hasil perbandingan kedua citra tersebut,

dicari nilai MSE-nya dengan menggunakan rumus pada persamaan (2.11).

3) Setelah didapat nilai MSE, maka nilai PSNR dihitung dengan rumus pada persamaan (2.12). Semakin besar nilai PSNR, maka semakin baik kualitas citra hasil rekonstruksi.

Gambar 3.5. Tahapan pengujian dengan PSNR

4.

Uji Coba dan Pembahasan

Untuk uji coba pertama akan dibuat rangkaian resolusi rendah dari tiap citra referensi dengan program buat citra observasi dan menghasilkan rangkaian citra resolusi rendah yang berukuran 2 kali lebih kecil. Rangkaian citra resolusi rendah tersebut lalu dijadikan sebagai masukan dalam program rekonstruksi citra dengan POCS untuk dilakukan proses rekonstruksi sehingga berukuran 2 kali lebih besar atau sama dengan citra referensinya. Selanjutnya citra hasil rekonstruksi dibandingkan dengan citra referensinya untuk dihitung nilai PSNR.

Untuk uji coba yang kedua pada rangkaian citra resolusi rendah yang telah dibuat akan diambil citra pertama atau citra yang dijadikan grid resolusi tinggi awal pada proses rekonstruksi pada uji coba pertama untuk dikenakan interpolasi bicubic dan dibandingkan dengan citra referensinya untuk dihitung nilai PSNRnya. Nilai PSNR pada uji coba kedua ini digunakan sebagai pembanding dengan nilai PSNR citra hasil rekonstruksi untuk mengetahui seberapa baik penggunaan POCS dalam rekonstruksi cira. Sebagai tambahan pembanding secara visual, salah satu citra resolusi rendah juga diperbesar menggunakan software paint tapi untuk nilai PSNRnya tidak dihitung.

Untuk uji coba yang ketiga adalah menggunakan data citra yang diambil sendiri. Rangkaian citra berupa frame dari video ataiu beberapa citra yang diambil sekaligus dengan menggunakan kamera. Pada rangkaian citra tersebut dilakukan rekonstruksi dengan POCS dan pada salah satu citra dilakukan interpolasi dengan bicubic. Hal ini dilakukan untuk melihat perbandingan secara visual untuk kasus yang sebenarnya.

4.1 Pelaksanaan Uji Coba

Uji coba dilakukan pada citra cameraman, dengan keterangan sebagai berikut:

Nama Citra : cameraman.jpg

Ukuran Citra

Ukuran Citra Observasi Ukuran Citra Rekonstruksi

: : : 256 x 256 piksel 128 x 128 piksel 256 x 256 piksel

(8)

Gambar 4.1 Citra observasi dari cameraman

a)

b)

c)

Gambar 4.2 a)Citra cameraman hasil perbesaran dengan paint

b) Citra cameraman hasil interpolasi c) Citra cameraman hasil rekonstruksi Dari Tabel 4.1, didapat bahwa rata-rata nilai PSNR untuk citra “cameraman.jpg” hasil rekonstruksi adalah 32.3873 dB, sedangkan untuk citra hasil interpolasi sebesar 30.3873 dB.

Tabel 4.1 Data nilai PSNR citra cameraman

Gambar 4.3 Grafik nilai PSNR cameraman

28 30 32 34 5 15 25 35 45 N ilai PS N R

Jumlah Citra Obervasi

hasil rekonstruksi Citra hasil rekonstruksi

Jumlah Citra Observasi Nilai PSNR (dB)

5 30.7535 10 31.1374 15 31.6535 20 32.1016 25 32.4769 30 32.7628 35 33.0192 40 33.174 45 33.3289 50 33.4652 Rata-rata 32.3873

(9)

4.2 Evaluasi

Dari hasil uji coba yang telah dilakukan secara visual dapat dilihat perbedaan antara citra hasil rekonstruksi dan citra dengan perbesaran menggunakan software paint namun kurang dapat dilihat perbedaan antara citra hasil rekonstruksi dan citra hasil interpolasi. Jika diamati lebih seksama maka dapat dilihat bahwa citra hasil rekonstruksi sedikit lebih tajam dan jelas bila dibandingkan dengan citra hasil interpolasi yang terlihat sedikit kabur atau blur. Untuk nilai PSNRnya menunjukkan bahwa citra hasil rekonstruksi memiliki nilai PSNR yang lebih baik jika dibandingkan dengan citra hasil interpolasi. Dari data nilai PSNR tiap citra uji juga menunjukkan bahwa jumlah citra observasi mempengaruhi citra hasil rekonstruksi, semakin banyak jumlah citra observasi maka nilai PSNRnya semakin baik untuk jumlah citra paling banyak dalam uji coba ini adalah 50 citra. Dari uji coba untuk 5 citra yang lain diperoleh rata-rata nilai PSNR untuk citra hasil rekonstruksi sebesar 33.74837 dB dan untuk citra hasil interpolasi sebesar 32.29027 dB.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil uji coba yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil implementasi rekonstruksi citra pada super resolusi menggunakan Projection onto Convex Sets menunjukan bahwa program dapat merekonstruksi rangkaian citra resolusi rendah menjadi citra beresolusi lebih tinggi dengan hasil yang cukup baik secara visual.

2. Dari hasil perhitungan PSNR menunjukkan bahwa citra hasil Super Resolusi memberikan kualitas lebih baik jika jumlah citra pada citra observasi semakin banyak.

3. Hasil rekonstruksi citra menggunakan Projection onto Convex Sets memiliki nilai PSNR yang lebih baik jika dibandingkan dengan interpolasi

bicubic sehingga kualitas citra hasil rekonstruksi lebih baik karena semakin tinggi nilai PSNR maka semakin baik kualitas citra. Dari hasil pengujian 6 citra, didapatkan rata-rata nilai PSNR 33.74837 dB untuk citra hasil interpolasi bicubic

sebesar 32.29027 dB. 5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dalam pengembangan tugas akhir ini adalah:

1. Dalam prosesnya algoritma Projection onto Convex Sets juga menggunakan informasi blur

dari citra resolusi rendah, oleh karena itu untuk

penelitian selanjutnya dapat ditambahkan proses untuk mengestimasi blur dari citra resolusi rendah sehingga hasil rekonstruksi yang didapat lebih baik.

2. Registrasi citra merupakan bagian yang penting dalam teknik Super Resolusi. Untuk penelitian selanjutnya, dapat digunakan metode registrasi citra yang lebih baik dalam estimasi translasi ataupun rotasi sehingga rekonstruksi citra pada Super Resolusi menggunakan POCS akan memberikan hasil yang lebih baik pula.

3. Sebagai pengembangan program, penelitian dapat ditingkatkan untuk menghasilkan video beresolusi tinggi dari video yang resolusinya rendah.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bannore, Vivek. 2009. “Interpolation Super-Resolution Image Reconstruction A Computationally Efficien Technique (Studies in Computational Intelligence, Volume 195)”. Springer.

[2] Basuki, A. Palandi, JF. Fatchurrochman. 2005. “Pengolahan Citra Digital Menggunakan Visual Basic”. Yogyakarta : Graha Ilmu. [3] Chaudhuri, Subhasis. 2001. “Super-Resolution

Imaging (The Springer International Series in Engineering and Computer Science)”. Indian Institute of Technology-Bombay, Powai, India.

[4] Chong Fan, Jianjun Zhu, Jianya Gong, Cuiling Kuang. 2006. “POCS Super-Resolution Sequence Image Reconstruction Based on Improvement Approach of Keren Registration Method”. Sixth International Conference on Intelligent Systems Design and Applications (ISDA'06) isda. vol. 2. hal.333-337.

[5] Fadlisyah. 2007. “Computer Vision dan Pengolahan Citra”. Yogyakarta : CV. ANDI OFFSET.

[6] Frederick W. Wheeler, Ralph T. Hoctor, Eamon B. Barrett. 2005. ”Super-Resolution Image Synthesis using Projections onto Convex Sets in the Frequency Domain”.

IS&T/SPIE Symposium on Electronic Imaging, Conference on Computational Imaging. Vol. 5674. San Jose. hal. 479-490, January.

[7] Gevrekci, M, Gunturk, B.K. 2005. “Image acquisition modeling for super-resolution reconstruction”. IEEE International Conference on Image Processing, Vol 3. [8] Gonzales, R.C., Woods, Richard E. 2002.

“Digital Image Processing”. New Jersey: Prentice Hall.

(10)

[9] H. Wei and T.D. Binnie, 1999. “High-resolution image reconstruction from multiple low-resolution images,” Proceedings of 7th International Conf. on Image Processing and its Applications, vol. 2, pp. 596-600, July. [10] Jain, D. 2005. “Superresolution using

Papoulis-Gerchberg Algorithm”, EE392J Digital Video Processing. Stanford University, Stanford, CA.

[11] P. Vandewalle, S. Süsstrunk and M. Vetterli, 2006. “A Frequency Domain Approach to Registration of Aliased Images with Application to Super-Resolution,” EURASIP Journal on Applied Signal Processing (special issue on Super-resolution), Vol. 2006, pp. Article ID 71459, 14 pages,.

[12] Works, The Math. Image Processing Toolbox For Use with MATLAB. The Math Works Inc, 1994-2005.

Gambar

Gambar 2.1. Sistem koordinat citra digital
Gambar 2.3 Tahapan Super-Resolusi  2.3.1  Registrasi Citra
Gambar 2.4 Ilustrasi POCS pada domain frekuensi
Gambar 3.1. Skema keseluruhan proses pada
+4

Referensi

Dokumen terkait

Petani sudah terbiasa melakukan praktek budidaya secara intensif dengan ketergantungan sangat tinggi pada bahan kimiawi pertanian (agrochemical), terutama pupuk dan

(3) Ekspor dan/atau impor Sumber Energi Baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari

Salah satu indikator penuntasan program Wajib Belajar 9 Tahun diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP. Dengan APK sebesar ini, maka dapat dikatakan bahwa

Zat-zat makanan (nutrien) merupakan substansi yang diperoleh dari bahan pakan yang dapat digunakan ternak bila tersedia dalam bentuk yang telah siap digunakan oleh sel,

bahwa sejak terbentuknya Perwakilan Kecamatan Tapin Utara di Bakarangan dan Perwakilan Kecamatan Tapin Utara di Piani di Kabupaten Daerah Tingkat II Tapin, Perwakilan

1288 Bobok Tempel Seloharjo Pundong 02 BASUKI WARSINEM 25 01-07-1982 P K I. 1289 Bobok Tempel Seloharjo Pundong 02 BASUKI

Pada bab ini akan dipaparkan pendapat Ibnu Hazm tentang waktu pelaksanaan penyembelihan hewan kurban, metode istinbath yang digunakan Ibnu Hazm dalam menentukan waktu

Dari gambar pola retak hasil pengujian, perbedaan pola retak untuk variasi volume bata ringan dengan mutu yang sama belum terlihat namun perbedaan pola retak