• Tidak ada hasil yang ditemukan

kelengkapan informasi PenunJanG dalam PenenTuan keakuratan kode diagnosis utama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "kelengkapan informasi PenunJanG dalam PenenTuan keakuratan kode diagnosis utama"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

kelenGkaPan inFOrmasi PenunJanG dalam PenenTuan

keakuraTan kOde diaGnOsis uTama cHRONIc RENAL fAILURE Pasien

raWaT inaP di rumaH sakiT umum daeraH dr. sOediran manGun

sumarsO WOnOGiri

TaHun 2013

rini arintya maya1, dr. rano indradi sudra, m.kes2

mahasiswa aPikes mitra Husada karanganyar1, dosen aPikes mitra Husada karanganyar2 mayaarintya@yahoo.co.id1, rano.indradi@yahoo.com2

ABSTRACT

Based on a preliminary survey of the 15 documents of medical records of patients hospitalized chronic renal failure at the General Hospital dr. Mangun Soediran Sumarso Wonogiri in 2013 showed 73.33% primary diagnosis code on entry and exit summary form is N18.9 (unspeciied). The purpose of this study was to determine the completeness of the supporting information in determining the accuracy of the code. The study was a descriptive retrospective approach. Population is the patient medical record documents the patient’s chronic renal failure in 2013 with a sample size of 55 documents. The sampling technique is done by simple random sampling. Univariate analysis of the data. The results showed the complete document of 15 (27.27%), inaccuracies code 10 (18.18%) is greater than the accuracy of the code by 5 (9.09%), whereas the incomplete document that 40 (72.73 %), inaccuracies code by 22 (40%) greater than the accuracy of the code is 18 (32.73%). The above explanation can be deduced from the documents incomplete medical record many inaccurate. Moreover, it turns out inaccuracies could still occur in the complete document. Medics advised more fully in illing out forms to support the accuracy of medical record coders code and more thorough review of the medical record information form. Another is supporting efforts by medical and coding audits conducted periodically.

Keywords : completeness, Accuracy, chronic renal failure

Bibliography : 20 (1992-2013)

aBsTrak

Berdasarkan survei pendahuluan terhadap 15 dokumen rekam medis rawat inap pasien chronic renal failure di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2013 menunjukkan 73,33% kode diagnosis utama pada formulir ringkasan masuk & keluar adalah N18.9 (unspeciied). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kelengkapan informasi penunjang dalam penentuan keakuratan kode. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Populasi adalah dokumen rekam medis rawat inap pasien chronic renal failure tahun 2013 dengan besar sampel 55 dokumen. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling. Analisis data secara univariat. Hasil penelitian menunjukkan pada dokumen lengkap yaitu 15 (27,27%), ketidakakuratan kode sebanyak 10 (18,18%) lebih besar dibandingkan keakuratan kode sebanyak 5 (9,09%), sedangkan pada dokumen tidak lengkap yaitu 40 (72,73%), ketidakakuratan kode sebanyak 22 (40%) lebih besar dibandingkan keakuratan kode yaitu 18 (32,73%). Penjelasan di atas dapat disimpulkan dari dokumen rekam medis yang tidak lengkap

(2)

banyak yang tidak akurat. Selain itu, ternyata ketidakakuratan masih bisa terjadi pada dokumen yang lengkap. Disarankan petugas medis lebih lengkap dalam mengisi formulir rekam medis untuk mendukung akurasi kode dan koder lebih teliti mereview informasi formulir rekam medis. Upaya pendukung yang lain adalah dengan diadakan audit medis dan koding secara periodik.

Kata kunci : Kelengkapan, Keakuratan, chronic renal failure Kepustakaan : 20 (1992-2013)

PendaHuluan

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 269/Menkes/ Per/III/2008 tentang rekam medis pasal 5 ayat 1 menyebutkan dokter, dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. Salah satu isi rekam medis yaitu diagnosis sebagai dasar pengodean oleh perekam medis. Perekam medis sesuai dengan kompetensinya dalam Permenkes RI Nomor 55 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis, akan menentukan kode diagnosis pasien secara akurat berdasarkan International

Statistical Classiication of Diseases and Related Health Problems (IcD) Tenth Revision.

Perekam medis yang menentukan kode diagnosis adalah koder. Dalam pengodean, koder harus mereview isi rekam medis untuk mendapatkan informasi penunjang yang dapat digunakan dalam penentuan keakuratan kode mengingat kode di ICD-10 bernilai variatif bahkan dalam satu kategori (contoh: kode penyakit chronic

renal failure dibagi menjadi tiga varian).

Berdasarkan situs berita solorayaonline.com, kota Wonogiri berpotensi dengan penderita gagal ginjal karena kadar zat kapur yang tinggi pada perairannya. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan terhadap 15 dokumen rawat inap pasien chronic renal failure tahun 2013 di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri menunjukkan 73,33% kode diagnosis utama chronic renal failure pada formulir ringkasan masuk & keluar (RM 1) adalah N18.9 yang berarti unspeciied. Hal ini menimbulkan pertanyaan

bagaimana kelengkapan informasi penunjang yang ada di dalam rekam medis, sehingga menyebabkan banyak kode unspeciied.

Sedangkan di era BPJS, penting bagi koder untuk mengode diagnosis secara akurat dan penting bagi tenaga medis untuk mengisi rekam medis secara lengkap karena keduanya akan bersinergi untuk mempermudah proses reimbursement. Oleh karena itu peneliti merasa perlu membahas tentang “Kelengkapan Informasi Penunjang Dalam Penentuan Keakuratan Kode Diagnosis Utama chronic Renal failure Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri Tahun 2013”.

meTOde

Jenis penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan

retrospektif. Populasi adalah dokumen rekam medis

rawat inap pasien chronic renal failure di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso tahun 2013 dengan besar sampel 55 dokumen. Teknik pengambilan sampel yaitu simple random

sampling. Instrumen yang digunakan adalah checklist

dan pedoman wawancara. Cara pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Analisis data secara univariat.

Hasil

1. Formulir yang isi informasinya dapat digunakan sebagai penunjang dalam penentuan keakuratan

(3)

kode diagnosis utama chronic renal failure pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2013 a. Ringkasan masuk & keluar

Berisi diagnosis masuk, diagnosis akhir, diagnosis lain dan diagnosis komplikasi pasien yang digunakan untuk mengetahui diagnosis utama/akhir pasien apakah CRF atau CKD yang menjadi patokan untuk mereview seluruh isi dokumen atau tidak. b. Graik vital sign

Berisi informasi tekanan darah pasien yang digunakan untuk mengetahui apakah pasien hipertensi atau tidak karena akan mempengaruhi kode.

c. Perkembangan penyakit, perintah dokter dan pengobatan

Berisi segala perkembangan penyakit pasien, perintah dokter dan pengobatan. Yang dijadikan patokan koder adalah ada tidaknya keterangan pasien menerima tindakan HD karena akan menentukan apakah pasien CRF atau bukan.

d. Rekam asuhan keperawatan rawat inap Berisi segala tindakan keperawatan kepada pasien yang digunakan sebagai penegas dari formulir item c, yaitu ada tidaknya tindakan HD karena akan menentukan apakah pasien CRF atau bukan.

e. Surat persetujuan/penolakan tindakan medik Berisi keterangan bahwa pasien/keluarga pasien setuju/menolak tindakan HD. Keduanya sama-sama digunakan sebagai penegas bahwa pasien tersebut sebenarnya menderita CRF.

f. Bukti pelayanan hemodialisis

Berisi rincian biaya HD yang digunakan sebagai penegas bahwa pasien telah dilakukan

HD, sehingga menunjukkan benar-benar pasien CRF.

2. Mengetahui tata cara kodeikasi chronic renal

failure di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2013

a. Melihat ringkasan masuk & keluar untuk mengetahui diagnosis akhir pasien apakah CRF atau CKD.

b. Jika tertulis CRF, koder jarang mereview isi dokumen rekam medis, melainkan langsung membuka ICD 10 tahun 1992 volume 3 dengan

lead term: failureàrenalàchronic (N18.9).

c. Jika tertulis CKD, koder mereview isi dokumen rekam medis. Apabila ditemukan adanya perintah atau pelayanan HD, maka sebetulnya itu adalah CRF dan koder mengode berdasarkan langkah b (N18.9).

d. Jika pada ringkasan masuk & keluar ditemukan diagnosis penyerta yaitu hipertensi atau pada graik vital sign menunjukkan tensi ³140/³90 mmHg, maka koder membuka ICD 10 tahun 1992 volume 3 dengan lead term:

failureàrenalàchronicàhypertensive (I12.0).

e. Jika pada ringkasan masuk & keluar diketahui diagnosis akhir CKD stage v, koder membuka ICD 10 tahun 1992 volume 3 dengan lead

term failureàrenalàchronicàend stage renal disease (N18.0).

Diakui koder dalam penentuan kode chronic renal

failure jarang dilakukan crosscheck ke volume

1. Selain itu, koder dalam menentukan kode mengandalkan ingatan.

Tabel 4.2

rekapitulasi Penggunaan Varian istilah diagnosis Chronic Renal Failure rsud dr. soediran mangun sumarso Wonogiri Tahun 2013

Varian istilah Jumlah penggunaan (dok.)

(4)

Varian istilah Jumlah penggunaan (dok.) CKD GGK Neuropati uremi Renal failure 24 1 1 2 Jumlah 55

Sumber: Data primer 2014

Tabel 4.2 menunjukkan istilah CKD sering digunakan untuk menyatakan CRF, yaitu pada 24 dokumen. Selain itu terdapat istilah yang pemakaiannya untuk neuropati uremi (1 dokumen), sehingga tidak dapat diklasiikasikan sebagai sinonim CRF.

3. Memberikan gambaran kelengkapan informasi penunjang dalam penentuan keakuratan kode diagnosis utama chronic renal failure pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2013

Tabel 4.3

Gambaran kelengkapan informasi Penunjang dalam Penentuan keakuratan kode diagnosis utama Chronic Renal Failure rsud dr. soediran mangun sumarso Wonogiri Tahun 2013

keakuratan kode diagnosis kelengkapan informasi Penunjang Jumlah lengkap Tidak lengkap f % f % f % Akurat 5 9,09 18 32,73 23 41,82 Tidak akurat 10 18,18 22 40 32 58,18 Jumlah 15 27,27 40 72,73 55 100

Sumber: Data primer 2014

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari dokumen rekam medis yang tidak lengkap banyak yang tidak akurat.

Tabel 4.4

rekapitulasi item kelengkapan informasi Penunjang diagnosis utama Chronic Renal Failure rsud dr. soediran mangun sumarso Wonogiri Tahun 2013

item lengkap

Tidak lengkap

Σ % Σ %

Ringkasan masuk & keluar 55 100 0 0

item lengkap

Tidak lengkap

Σ % Σ %

Graik vital sign 54 98,18 1 1,82

Anamnesa 17 30,91 3 69,09 Perkembangan penyakit, p e r i n t a h d o k t e r d a n pengobatan 55 100 0 0 Hasil ECG 46 83,64 9 16,36

Sumber: Data primer 2014

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kelengkapan tertinggi pada item ringkasan masuk & keluar serta perkembangan penyakit sebesar 55 (100%) dan terendah pada item anamnesa sebesar 17 (30,91%).

Tabel 4.5

rekapitulasi item keakuratan kode diagnosis utama Chronic Renal Failure rsud dr. soediran mangun sumarso Wonogiri Tahun 2013

Pilihan item akurat Tidak akurat

Σ % Σ % I12.0 N18.0 N18.8† G63.8* N18.8† I32.8* N18.9 10 0 1 0 12 18,18 0 1,82 0 21,82 0 0 0 0 32 0 0 0 0 58,18 Jumlah 23 41,82 32 58,18

Sumber: Data primer 2014

Tabel 4.5 menunjukkan masih tingginya pemilihan kode N18.9 (unspeciied) oleh koder dengan total 44 (80%) dimana 32 (58,18%) diantaranya tidak akurat.

Tabel 4.6

rekapitulasi Peralihan kode diagnosis utama

chronic Renal failure rsud dr. soediran mangun

sumarso Wonogiri Tahun 2013

dari ke i12.0 n18.0 n18.8† G63.8* n18.9 I12.0 0 0 0 0 N18.0 0 0 0 0 N18.8† G63.8* 0 0 0 0 N18.9 28 3 1 0

(5)

Tabel 4.6 menunjukkan peralihan kode paling banyak dari N18.9 ke I12.0 sebesar 28.

PemBaHasan

1. Formulir yang isi informasinya dapat digunakan sebagai penunjang dalam penentuan keakuratan kode diagnosis utama chronic renal failure pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2013 Formulir yang menurut koder rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri menunjang dalam penentuan kode diagnosis utama chronic renal failure, yaitu ringkasan masuk & keluar; graik vital sign; perkembangan penyakit, perintah dokter dan pengobatan; rekam asuhan keperawatan rawat inap; surat persetujuan/penolakan tindakan medik; serta bukti pelayanan hemodialisis.

Menurut ICD 10 tahun 1992 volume 1 (pedoman koder), tercantum beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi pemilihan kode. Kondisi tersebut merupakan informasi penunjang yang bisa diperoleh dari isi formulir rekam medis.

Pada kategori N18 terdapat include: chronic

uraemia dan diffuse sclerosing glomerulonephritis

yang berarti kedua kondisi tersebut termasuk dalam klasiikasi chronic renal failure karena menggambarkan keadaan chronic renal failure. Pada kategori N18 terdapat excludes: chronic

renal failure with hypertension (I12.0), sehingga

melibatkan tekanan darah pasien. Kesimpulan klasiikasi hipertensi menurut WHO adalah diastolik berapapun jika sistoliknya ³140 mmHg, maka dikatakan hipertensi. Untuk dapat memberi kode I12.0 dibutuhkan formulir ringkasan masuk & keluar dengan diagnosis akhir chronic renal failure serta tambahan diagnosis hipertensi (bila ada) dan formulir graik vital sign yang menyatakan tekanan darah pasien dalam keadaan hipertensi.

Pada N18.0 menyebutkan end-stage renal disease atau tahap akhir dari penyakit ginjal, diartikan bahwa penyakit ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari CKD karena penyebutan end

stage (failure) dalam ICD volume 3 adalah

sebagai sub dari lead term: diseaseàrenal. Hal ini sama dengan penyebutan kidney failure di pedoman CKD terbitan NKF (2002) pada stage 5 (CKD stage 5). Untuk dapat memberi kode N18.0 dibutuhkan formulir ringkasan masuk & keluar dengan diagnosis akhir CKD stage v dan formulir perkembangan penyakit, perintah dokter dan pengobatan dengan indikasi perintah/pelayanan HD. Pada N18.8† G63.8* menyebutkan other chronic

renal failure uraemic neuropathy, sehingga

melibatkan status neurologis pasien. Gelb (1995) menuliskan Glasgow Coma Scale dimana jika skor E+M+v adalah <15 bisa diindikasikan adanya gangguan neurologis. Untuk dapat memberi kode N18.8† G63.8* dibutuhkan formulir ringkasan masuk & keluar dengan diagnosis akhir uraemic

neuropathy dan formulir anamnesa pada status

neurologis nilai GCS <15.

Pada N18.8† I32.8* menyebutkan other chronic

renal failure uraemic pericarditis, sehingga

melibatkan adanya pemeriksaan ECG. Untuk dapat memberi kode N18.8† I32.8* koder membutuhkan formulir ringkasan masuk & keluar dengan diagnosis akhir uraemic pericarditis dan formulir hasil pemeriksaan ECG yang berisi keterangan kesan pericarditis. Menurut Mansjoer A. dkk (2009) ada tidaknya pericarditis diketahui jika ditemukan elevansi segmen ST, depresi segmen PR, dan sinus takikardi. Setelah beberapa waktu dapat ditemukan inverse gelombang T. Sebagai komplikasi dapat ditemukan aritmia supraventrikular, termasuk ibrilasi atrium. Namun tetap saja yang dibutuhkan koder adalah hasil bacanya baik positif maupun negatif.

(6)

Pada N18.9 menyebutkan chronic renal failure

unspeciied. Pemilihan kode ini harus diminimalisir

karena poin 9 (.9) menunjukkan hasil kode tidak spesiik kecuali bila tidak ditemukan informasi penunjang, maka pengodean dapat dilakukan berdasarkan diagnosis akhir chronic renal failure pada formulir ringkasan masuk dan keluar. Menurut penjelasan di atas, maka formulir yang dibutuhkan adalah:

a. Ringkasan masuk & keluar

b. Anamnesa dilengkapi status neurologis c. Graik vital sign

d. Perkembangan penyakit, perintah dokter dan pengobatan

e. Hasil pemeriksaan ECG dilengkapi keterangan hasil baca

Disimpulkan bahwa koder tidak mengetahui formulir anamnesa dilengkapi status neurologis dan hasil pemeriksaan ECG dilengkapi keterangan hasil baca mempengaruhi pemilihan kode. Formulir di atas hanya sebagai pedoman koder dalam mereview. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, maka perlu berkomunikasi dengan tenaga medis yang lebih berwenang dalam penegakan diagnosis.

2. Tata cara kodeikasi chronic renal failure di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2013

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui koder mengetahui lead term untuk mengode chronic

renal failure. Namun tata cara kodeikasi dalam

hal review belum sesuai dengan teori Hatta (2013) yang menyatakan pengodean harus selalu dimulai dari pengkajian (review) teliti rekam medis pasien untuk memperoleh gambaran jelas secara menyeluruh dari dokumentasi rekam medis tentang masalah dan asuhan yang diterima pasien.

Selain itu, mengode berdasarkan ingatan dan jarang crosscheck ke volume 1 tidak sesuai dengan ketentuan WHO pada ICD-10 volume 2. Berikut ini penjelasan lengkap hal-hal yang mempengaruhi kodeikasi chronic renal failure:

a. Tenaga medis

1) Kebiasaan tenaga medis dalam menyebut istilah diagnosis

Diagnosis merupakan kunci utama koder dalam menentukan kode. Keseragaman penyebutan diagnosis akan memudahkan koder dalam pengodean. Berdasarkan tabel 4.2 dan graik 4.1 menunjukkan selain menggunakan istilah CRF, tenaga medis sering menggunakan istilah CKD dalam menyatakan keadaan CRF yang ditemukan pada 24 dokumen.

Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri pernah terjadi ambigu pada istilah CKD. Menurut tenaga medis jika CKD disertai bukti perintah/pelayanan HD, maka sebetulnya adalah CRF tetapi bila tidak adalah CKD yang belum menunjukkan

renal failure. Sedangkan menurut koder

berdasarkan ICD-10 tahun 1992, CKD dan CRF adalah dua penyakit yang berbeda. CKD masih berupa sindrom penyakit ginjal yang berpotensi untuk menuju gagal ginjal, sedangkan CRF sudah merupakan gagal ginjal.

Setelah koder berkomunikasi dengan tenaga medis, disepakati bahwa koder mengikuti istilah tenaga medis. Dengan demikian, kedudukan BPPRM sebagai p e d o m a n p e r e k a m m e d i s d a l a m menjalankan pekerjaannya mutlak diperlukan untuk memuat semua istilah,

(7)

singkatan, sinonim, dan sebagainya yang dipakai di kalangan petugas rumah sakit. 2) Kelengkapan pengisian rekam medis Berdasarkan tabel 4.3 diketahui hanya

15 dari 55 dokumen rekam medis pasien

chronic renal failure yang mememenuhi

kriteria lengkap dimana dari tabel 4.4 menunjukkan ketidaklengkapan paling banyak pada formulir anamnesa sebesar 69,09% dan formulir hasil pemeriksaan ECG sebesar 16,36%.

Status neurologis pada formulir anamnesa sering tidak diisi oleh petugas medis. Formulir hasil pemeriksaan ECG memang sering ada yaitu 46 (83,64%), namun tidak cukup memberikan informasi karena petugas medis hanya menempelkan hasil ECG tanpa disertai keterangan pembacaan hasil.

K e b e r a d a a n f o r m u l i r t e r s e b u t bukan berarti pasien harus dalam keadaan tersebut, melainkan untuk memastikan apakah pasien dalam keadaan tersebut atau tidak. Hal i n i d i p e r k u a t d e n g a n p e n d a p a t Kresnowati dan Dyah (2013) bahwa dalam menilai kelengkapan salah satunya adalah tetap dicantumkannya segala penemuan baik positif/negatif. P e n e m u a n d i p e r o l e h m e l a l u i pemeriksaan. Sebagai kendali mutu tenaga medis dalam menjalankan tanggung jawabnya tersebut, diperlukan audit medis mengingat banyaknya manifestasi klinis dari CRF (tabel 2.1). Hasil audit medis sebagai bahan

evaluasi dapat mendorong tenaga medis melakukan serangkaian pemeriksaan yang lebih teliti agar keadaan pasien secara komprehensif tergambarkan. Pemeriksaan yang lengkap harus d i i m b a n g i d e n g a n d o k u m e n t a s i pencatatan yang lengkap, maka aspek yang perlu diperhatikan adalah desain formulir. Perekam medis melihat ketidaklengkapan pengisian rekam medis CRF, perlu mengkaji ulang desain formulir agar tenaga medis lebih mudah dan ingat dalam mengisi rekam medis kasus CRF dengan lengkap.

b. Koder

1) Kebiasaan koder dalam pengodean Berdasarkan hasil wawancara (lampiran 4) diketahui selama ini dalam mengode

chronic renal failure koder lebih

mengandalkan ingatan dan jarang

crosscheck ke volume 1 yang ditunjukkan

pada tabel 4.5 yaitu masih tingginya pemilihan kode N18.9 (unspeciied) oleh koder dengan total 44 (80%).

Menurut instruksi manual dari WHO (2005) pada ICD-10 volume 2, langkah dalam mengode harus diawali dari mengidentiikasi pernyataan yang akan diberi kode dan merujuk ke seksi yang tepat pada volume 3 kemudian

crosscheck ke volume 1 untuk veriikasi

kecocokan nomor kode yang dipilih. Seorang koder harus mematuhi aturan tersebut karena ICD-10 merupakan pedoman yang pada dasarnya lebih kuat daripada ingatan. Selain itu, crosscheck penting dilakukan karena di volume 1

(8)

terlihat banyak varian kode, sehingga ketika hasil kodenya selalu itu-itu saja dan terlebih lagi unspeciied (.9) maka seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan terhadap keakuratan kode yang dihasilkan selama ini.

Pada ICD volume 2 juga terdapat kekhususan bab yang penting untuk dipelajari karena memungkinkan adanya kombinasi kode, misal untuk kasus CRF perlu memperhatikan blok I10-I15. Contoh pada nomor rekam medis 415387 dimana CKD dan HT dikode terpisah yaitu N18.9 dan I10. Sedangkan sebenarnya kode dapat dikombinasi menjadi I12.0. Kembali lagi kuncinya adalah rajin crosscheck ke volume 1 lalu mengikuti semua tuntunan include,

exclude, note sampai seluruh kata

diagnosis terekspresikan.

Merunut penjelasan di atas, maka bertambah lagi tugas anggota forum komite medis yaitu mengadakan audit koding untuk menemukan penyebab kode tidak akurat ataupun unspeciied (.9). Hasil audit koding berupa pemaparan analisis dampak dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi agar mendorong koder mengubah kebiasaannya dalam pengodean.

2) Review kelengkapan isi formulir rekam medis

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan terhadap koder diketahui kegiatan mereview isi dokumen rekam medis jarang dilakukan ketika koder menjumpai diagnosa CRF. Ketika

mereview ternyata formulir yang direview belum sepenuhnya mendukung keakuratan pemilihan kode.

Formulir yang luput dari review karena koder tidak tahu bahwa informasinya merupakan penunjang dalam penentuan keakuratan kode yaitu formulir anamnesa dan hasil pemeriksaan ECG. Sedangkan koder tahu tapi masih sering luput review adalah formulir graik vital sign. Contoh pada tabel 4.6 dimana sebanyak 28 dokumen yang seharusnya dikode I12.0 justru dikode N18.9. Padahal pada tabel 4.4 kelengkapan formulir graik vital sign adalah 54 (98,18%).

Mayoritas acuan pertama yang digunakan koder sebagai data dasar dalam mengode adalah informasi pada formulir ringkasan masuk & keluar. Di sisi lain tenaga medis jarang mencantumkan rincian cukup pada formulir tersebut, sehingga jika mengode hanya berdasarkan formulir ringkasan masuk & keluar saja maka tingkat akurasi kodenya perlu dipertanyakan. Hal di atas menuntut koder untuk selalu mereview isi rekam medis sebelum menentukan kode, yang diperkuat oleh pendapat Kresnowati dan Dyah (2013) serta teori Hatta (2013). Dalam pendapat tersebut ditambahkan apabila ada hal-hal yang kurang jelas atau meragukan dalam penentuan kode, perlu segera dikomunikasikan kepada dokter penanggung jawab.

Selain hal di atas, mengingat banyak kode yang beralih ke I12.0 maka perlu dijadikan perhatian. Hampir setiap

(9)

pasien CRF tekanan darah pada graik

vital sign tinggi tetapi tenaga medis tidak

selalu menulis diagnosis hipertensi pada ringkasan masuk & keluar. Menurut Hatta (2013) bahwa ada kalanya tenaga medis kurang lengkap menuliskan diagnosis ataupun tindakan, sehingga koder harus memperhatikan pernyataan terkait gejala, pengobatan serta jenis tindakan medis yang mengarah ke pernyataan diagnosis dan prosedur untuk menghasilkan informasi tambahan. Cara paling aman adalah selalu konirmasi ke tenaga medis perihal ada tidaknya tambahan diagnosis hipertensi jika menemukan tekanan darah tinggi pada graik vital sign.

3) Sarana/prasarana pengodean

Salah satu sarana pengodean adalah ICD-10. Koder RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri dibekali dengan ICD-10 tahun 1992 volume 1 dan 3. Berdasarkan wawancara diketahui dalam mengode chronic renal failure koder jarang crosscheck ke volume 1.

Ketika peneliti bertanya kepada koder mengapa tidak memakai ICD-10 elektronik (2005) dalam pengodean, koder mengatakan sebenarnya juga menginginkan hal tersebut agar proses pengodean lebih mudah, namun tidak mendapatkan jatah komputer. Hal ini mengindikasikan bahwa sarana pengodean penting diperhatikan untuk menunjang kinerja koder.

Dengan tersedianya komputer yang terpasang aplikasi ICD-10 elektronik (2005) dapat memicu koder rutin

crosscheck ke volume 1. volume 1

sebagai media belajar untuk mengetahui hal-hal yang berpengaruh terhadap pemilihan kode, sehingga diharapkan meminimalisir kode unspeciied. S e d a n g k a n s a l a h s a t u p r a s a r a n a pengodean adalah buku pedoman penyelenggaraan rekam medis (BPPRM). Sebelumnya sudah dibahas mengenai perbedaan sudut pandang antara tenaga medis dengan koder terhadap istilah CKD dimana pada akhirnya koder mengikuti istilah tenaga medis. Namun kesepakatan istilah ini tidak ditemukan dalam daftar singkatan pada BPPRM rumah sakit. Walaupun kedua pihak sudah saling mengerti maksudnya, tapi BPPRM tetap harus diperbarui karena sebagai kendali mutu dalam melaksanakan pekerjaan rekam medis agar apa yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang dibuat. 3. Gambaran kelengkapan informasi penunjang

dalam penentuan keakuratan kode diagnosis utama

chronic renal failure pasien rawat inap di Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Lengkap dan akurat

Jumlah dokumen yang lengkap dan akurat ada 5, yaitu:

1) N18.8† G63.8* = 1

2) I12.0 = 2

3) N18.9 = 2

b. Lengkap tapi tidak akurat

Jumlah dokumen yang lengkap tapi tidak akurat ada 10, yaitu:

(10)

1) N18.9 beralih menjadi I12.0 = 8 2) N18.9 beralih menjadi N18.0 = 1 3) N18.9 beralih menjadi N18.8† G63.8* =

1

c. Tidak lengkap tapi akurat

Jumlah dokumen yang tidak lengkap tapi akurat ada 18, yaitu:

1) N18.9 = 10 2) I12.0 = 8

d. Tidak lengkap dan tidak akurat

Jumlah dokumen yang tidak lengkap dan tidak akurat ada 22, yaitu:

1) N18.9 beralih menjadi N18.0 = 2 2) N18.9 beralih menjadi I12.0 = 20 Dari rincian di atas, yang perlu dijadikan fokus pembahasan adalah:

1. Mengapa keakuratan kode pada dokumen tidak lengkap lebih besar dibandingkan keakuratan kode pada dokumen lengkap?

Keakuratan kode pada dokumen tidak lengkap lebih besar yaitu 18 (32,73%) dibandingkan pada dokumen lengkap sebesar 5 (9,09%) seolah-olah memberi kesan bahwa tidak lengkap pun kodenya akurat, sehingga mungkin tenaga medis belum termotivasi melengkapi dokumentasi chronic

renal failure. Namun perlu dicermati bahwa dari

18 tersebut 10 diantaranya dikode dengan N18.9

(unspeciied) dan 8 yang lain dikode I12.0 karena

terdapat komplikasi hipertensi.

Kode unspeciied mencerminkan kualitas dokumentasi pelayanan medis yang tidak detail padahal pasien telah dirawat beberapa hari. Hal ini dapat berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan pengguna informasi rekam medis secara maksimal, contoh peneliti tidak memperoleh informasi yang cukup untuk kebutuhan penelitian yang notabene bertujuan mengembangkan keilmuan kesehatan.

Sumber pengodean adalah isi rekam medis. Selanjutnya hasil kode primer (†) beserta manifestasi (*) diindeks dan dibuat laporan internal maupun eksternal yang berfungsi sebagai manajerial dan dapat mempengaruhi unit lain (contoh: pada bagian farmasi yaitu ketepatan dalam penyediaan obat). Bisa dibayangkan apabila pengisian rekam medis tidak lengkap maka akan berdampak pada runtutan proses selanjutnya. Oleh karena itu akan lebih baik jika pengisian rekam medis dilakukan dengan lengkap.

Selanjutnya adalah mengenai pemberian kode N18.9 (unspeciied) yang masih dianggap akurat sebagai akibat dari tidak ditemukan informasi penunjang yang memungkinkan supaya kode tidak poin 9 (.9). Hal ini tidak terlepas dari faktor tenaga medis dalam mengisi formulir rekam medis dimana masih ditemukan ketidaklengkapan pada item anamnesa status neurologis sebesar 38 (69,09%) dan item hasil ECG sebesar 9 (16,36%) namun sebesar 46 (83,64%) yang ada tidak disertai dengan pembacaan hasil kondisi pericarditis baik positif maupun negatif. Padahal di dalam ICD-10 kondisi tersebut dapat mempengaruhi pemilihan kode. Menurut Kresnowati dan Dyah (2013) disinilah titik dimana petugas medis perlu memahami proses koding sehingga tahu data dasar apa saja yang dibutuhkan guna menjamin akurasi kode.

Selain faktor di atas, peran perekam medis juga mutlak diperlukan yaitu ketika menemukan kode N18.9 seharusnya sudah menimbulkan inisiatif koder untuk segera berkomunikasi kepada dokter karena ada hal-hal yang meragukan dalam penentuan kode berkaitan dengan kelengkapan informasi penunjang. Jadi, semakin lengkap isi rekam medisnya kode tidak mungkin poin 9 (.9).

2. Mengapa masih terjadi ketidakakuratan kode pada dokumen lengkap?

(11)

Ketidakakuratan kode pada dokumen lengkap yaitu 8 dokumen dengan kode N18.9 (unspeciied) yang akhirnya beralih ke I12.0 karena pada graik

vital sign menunjukkan kondisi hipertensi. Hal ini

tidak terlepas dari faktor kelengkapan item graik

vital sign sendiri yang mencapai 54 (98,18%)

namun tidak diimbangi dengan upaya koder dalam mereview isi rekam medis secara teliti, padahal berdasarkan wawancara koder mengetahui bahwa kondisi hipertensi dapat mempengaruhi pemilihan kode. Menurut Kresnowati dan Dyah (2013) disinilah letak tanggung jawab petugas rekam medis untuk selalu mereview isi rekam medis guna mendapatkan informasi tambahan agar kode yang dihasilkan menjadi akurat.

Dalam era BPJS, kode akan mempengaruhi besar klaim. Tarif gagal ginjal kronis dengan kode N18.9 tentu akan berbeda dengan kode I12.0 (merujuk pada Permenkes nomor 69 tahun 2013 tentang standar tarif pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan).

Namun tenaga medis maupun koder tidak boleh hanya berorientasi pada besar kecilnya klaim yang diterima, melainkan harus tetap berfokus pada tanggung jawab masing-masing, dimana tenaga medis wajib membuat rekam medis secara lengkap dan koder wajib mengode secara akurat. Kedua hal tersebut merupakan benteng untuk menghindari

fraud and abuse.

Tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum berupa penyalahgunaan secara sengaja sehingga merugikan salah satu pihak. Contoh pada tenaga medis yaitu menambahkan diagnosis tanpa dasar pemeriksaan sedangkan pada koder yaitu up/down

code. Wacana ini perlu disosialisasikan kepada

seluruh praktisi rumah sakit.

simPulan

1. Formulir yang isi informasinya dapat digunakan sebagai penunjang dalam penentuan keakuratan kode diagnosis utama chronic renal failure yaitu ringkasan masuk & keluar; graik vital sign; perkembangan penyakit, perintah dokter dan pengobatan; rekam asuhan keperawatan rawat inap; surat persetujuan/penolakan tindakan medik; bukti pelayanan hemodialisis.

2. Tata cara kodeikasi chronic renal failure, yaitu mengacu pada diagnosis akhir/utama di formulir ringkasan masuk & keluar yang sekaligus dijadikan patokan mereview isi dokumen atau tidak, koder mengetahui lead term untuk menentukan kode CRF, sarana pengodean adalah buku ICD-10 tahun 1992 volume 1 dan 3 namun koder sering mengode berdasarkan ingatan dan jarang crosscheck ke volume 1.

3. Gambaran kelengkapan informasi penunjang dalam penentuan keakuratan kode diagnosis utama

chronic renal failure pasien rawat inap tahun 2013

a. Pada dokumen lengkap, ketidakakuratan kode sebanyak 10 (18,18%) lebih besar dibandingkan keakuratan kode sebanyak 5 (9,09%).

b. Pada dokumen tidak lengkap, ketidakakuratan kode sebanyak 22 (40%) lebih besar dibandingkan keakuratan kode yaitu 18 (32,73%).

daFTar PusTaka

Arief Mochammad TQ. 2009. Pengantar Metodologi

Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta :

UNS-Press.

Bustami MS, MQIH. 2011. Penjamin Mutu Pelayanan

Kesehatan dan Akseptabilitasnya. Jakarta:

(12)

Erkadius dan Suwardjo S. 2013. Butiran Data Asuhan Kesehatan. Dalam Hatta Gemala R (ed.).

Pedoman Manjemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI-Press.

Gelb Douglas James. 1995. Introduction to clinical

Neurology. USA: Butterworth-Heinemann.

Kasim F dan Erkadius. 2013. Sistem Klasiikasi Utama Morbiditas dan Mortalitas yang Digunakan di Indonesia. Dalam Hatta Gemala R (ed.).

Pedoman Manjemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI-Press.

Kementerian Kesehatan RI. 2008. Permenkes Nomor

269/MENKES/PER/III tentang Rekam Medis.

Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Permenkes Nomor 55

tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis. Jakarta: Kemenkes RI.

_____________________. 2013. Permenkes Nomor 69 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Jakarta: Kemenkes RI.

Kresnowati L dan Ernawati D. 2013. Analisis

faktor-faktor yang Mempengaruhi Akurasi Koding Diagnosis dan Prosedur Medis pada Dokumen Rekam Medis di Rumah Sakit Kota Semarang.

Semarang: LPPM Udinus.

Mansjoer A. dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius.

National Kidney Foundation. 2002. clinical Practice

Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classiication and Stratiication.

New York: NKF.

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi

Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi ke-2.

Jakarta: Salemba Medika.

Pearce E. 2002. Anatomi dan fisiologi untuk Paramedis. Dialihbahasakan oleh Handoyo SY. Jakarta: Gramedia.

solorayaonline.com. 2012. Wonogiri Berpotensi dengan

Penderita Gagal Ginjal. Diakses: 1 April 2014.

http://solorayaonline.com/2012/12/08/wonogiri-berpotensi-dengan-penderita-gagal-ginjal/ Umar H. 2003. Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

World Health Organization. 1992. International

Statistical Classiication of Disease and Related Health Problem Tenth Revision. volume 1.

Geneva: WHO.

_______________________. 1992. International

Statistical Classiication of Disease and Related Health Problem Tenth Revision. volume 3.

Geneva: WHO.

_______________________. 2005. International

Statistical Classiication of Disease and Related Health Problem Tenth Revision. volume 1.

Geneva: WHO.

_______________________. 2005. International

Statistical Classiication of Disease and Related Health Problem Tenth Revision. volume 2.

Geneva: WHO.

_______________________. 2005. International

Statistical Classiication of Disease and Related Health Problem Tenth Revision. volume 3.

Geneva: WHO.

_______________________. 2013. Cumulative Oficial

Updates To IcD-10. Diakses: 17 Mei 2014. www.

Gambar

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kelengkapan  tertinggi pada item ringkasan masuk &amp; keluar serta  perkembangan penyakit sebesar 55 (100%) dan  terendah pada item anamnesa sebesar 17 (30,91%).

Referensi

Dokumen terkait

Apakah ada hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis pada Dokumen Rekam Medis Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah