• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Perubahan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Dayak Akibat Kegiatan HPH/HPHH di Kutai Barat Kalimantan Timur (Johan Iskandar dan Azhar Ginanjar)

PERUBAHAN PENGELOLAAN HUTAN OLEH MASYARAKAT DAYAK AKIBAT KEGIATAN HPH/HPHH

DI KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR Johan Iskandar*dan Azhar Ginanjar**

*Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang 40600 dan Peneliti pada PPSDAL-UNPAD

**Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Padjadjaran, Bandung 40132

ABSTRAK

Secara tradisional, masyarakat Dayak yang bermukim di tiga desa: Desa Dempar, Jontai, dan Sembuan, Kutai Barat, Kalimantan Timur telah berhasil mengelola hutan secara berkelanjutan, terutama untuk berladang, bertanam rotan, bertanam buah-buahan, dan mengumpulkan berbagai hasil ikutan hutan. Namun, dewasa ini pengelolaan hutan secara tradisional oleh masyarakat Dayak tersebut telah menglami perubahan secara drastis. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah hutan mereka telah dimanfaatkan untuk kepentingan HPH/HPHH. Pada tulisan ini penulis membahas tentang berbagai isu mendasar tentang berbagai perubahan lokal pengelolaan hutan oleh masyarakat Dayak yang tinggal di tiga desa yang diakibatkan oleh adanya aktivitas HPH(Hak Pengusahaan Hutan)/ HPHH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan atau HPH skala kecil). Penulis berpendapat bahwa keberhasilan pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal di 3 desa itu telah terganggu dengan berat oleh HPH/HPHH. Konsekuensinya, keterlanjutan ekosistem hutan untuk masa mendatang cenderung sulit dipertahankan oleh masyarakat Dayak tersebut.

Kata Kunci: pengelolaan hutan, aktivitas HPH/HPHH, perubahan, sistem keterlanjutan

CHANGES OF THE DAYAK’S FOREST MANAGEMENT CAUSED BY THE HPH/HPHH ACTIVITIES

IN WEST KUTAI, EAST KALIMANTAN ABSTRACT

Traditionally, the Dayak people who reside in three villages: Desa Dempar, Jontai, and Sembuan, Kutai Barat, East Kalimantan had successfully managed the forest by sustainable system, particularly for practising swidden cultivation, planting rattans, planting fruit trees, and collecting non-timber forest products. Currently, however, the Dayak traditional forest management system has dramatically changed because their forest hes been exploited by the HPH/HPHH. In this

(2)

forest management undertaken by Dayak people who live in those three villages caused by impact of the Forest Concession (HPH)/the Forest Product Concession (HPHH or HPH small scale) activities. The authors argue that the successful local community forest management in those three villages has been significantly disturbed by the HPH/HPHH. Consequently, the sustainability of forest ecosystem for the future has tended to hardly be maintained by the Dayak community. Keywords: forest management,HPH/HPHH activities, changes,sustainable system

PENDAHULUAN

Kelompok masyarakat yang paling merasakan dampak negatif kerusakan hutan akibat kegiatan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau HPHH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan atau HPH skala kecil) adalah masyarakat lokal, yang bermukim di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Hal ini dikarenakan penduduk lokal yang bertindak sebagai ‘controlling programme’ dalam ekosistem (bdk. Odum, 1983) kebudayaannya telah berubah drastis akibat adanya kegiatan HPH/HPHH di daerah mereka. Faktor kebudayaan bagi manusia sangat penting dalam proses adaptasi terhadap lingkungan (Ingold, 1992: 39). Dengan kata lain, aspek latar belakang sosial ekonomi dan kebudayaan manusia sangat berpengaruh dalam memperlakukan alam sekitar (Geertz, 1963; Ellen, 1982; Hutterer dan Rambo, 1985). Jadi, karena adanya perubahan bio-fisik atau ekosistem hutan, dapat menyebabkan perubahan sistem sosial ekonomi dan budaya penduduk lokal yang ada di tempat itu dan vice versa (bdk. Rambo, 1983).

Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan masyarakat Dayak dan hutan di Kalimantan Timur. Diharapkan tulisan ini dapat menambah hasil penelitian tentang desa hutan di Kalimantan yang telah banyak dilakukan oleh para peneliti lain sebelumnya (lihat antara lain Padoh dan Pelluso, 1996; Eigher dan Sellato, 1999; Lahajir, 2002), yang secara khusus mendiskusikan pengaruh kegiatan HPH/HPHH terhadap sistem pengelolaan hutan yang telah dilakukan oleh penduduk lokal secara turun temurun. Studi kasus dilakukan pada masyarakat Dayak yang bermukim di Desa Dempar, Desa Jontai, dan Desa Sembuan, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

METODA PENELITIAN

Pengumpulan data lapangan dilakukan pada akhir November 2000 dan dilakukan pengulangan pada awal Februari 2002. Metoda penelitian bersifat deskriptif analisis, dengan tehnik pengumpulan data melalui wawancara terstruktur dan semi terstruktur secara mendalam dengan masyarakat lokal Dayak, serta dilakukan penelitian terlibat atau participant observation (bdk.

(3)

Bodley, 1997: 6). Wawancara secara terstruktur menggunakan lembaran kuesioner dilakukan terhadap 13 Kepala Keluarga (KK) sebagai responden yang dipilih secara acak dari tiga desa penelitian, yaitu yaitu: Desa Mantar (5 KK), Desa Jontai (4 KK), dan Desa Sembuan (4 KK). Sedangkan wawancara semi terstruktur dilakukan terhadap beberapa informan kunci (key informants), seperti pimpinan adat, kepala desa, dan para orang tua

HASIL PENELITIAN

Pemanfaatan Hutan Oleh Penduduk Lokal

Tiga desa hutan yang menjadi tempat penelitian memiliki luas kira-kira 819, 41 km2, berpenduduk kurang lebih 1680 jiwa, dengan komposisi sebagai berikut: Desa Dempar (339,07 km2; 900 jiwa), Desa Jontai (91,83 km2; 380 jiwa) dan Sembuan (388, 51 km2; 400 jiwa) (BPS, 1999). Suku Dayak Benuaq dan Dayak Tuwoyan merupakan suku dominan yang menempati tiga desa hutan tersebut, sedangkan suku lain merupakan suku minoritas, terdiri dari suku Dayak Tunjung, Jawa, Bugis, Banjar, Menado, dan dari Indonesia Timur (Green et al, 2000). Penduduk minoritas non-Dayak itu pada umumnya merupakan pendatang dari luar yang tinggal di daerah tersebut, karena beberapa sebab, seperti bekerja di HPH/HPHH, sebagai pemuka agama kristen, dan guru SD.

Sebelum tahun 1960-an, penduduk yang bermukim di tiga desa ini biasanya tinggal di rumah-rumah panjang (lamin). Tiap keluarga menempati kamar-kamar terpisah (bilik atau amin). Mereka mempunyai sistem produksi dan konsumsi keluarga masing-masing, bukan sistem komunal, seperti anggapan orang luar. Misalnya, setiap keluarga memiliki hak penguasaan lahan pertanian, seperti lahan ladang masing-masing secara terpisah dan diwariskan pada keturunannya (bdk. Dove, 1985). Namun pada saat ini, rumah-rumah panjang itu telah mereka tinggalkan, kecuali masih tersisa antara lain 1 rumah panjang di Desa Pepas Eheng, Kecamatan Barong Tongkok, yang dijadikan obyek wisata bagi para pengunjung yang datang ke daerah ini. Dengan demikian, mereka kini menempati rumah-rumah tunggal. Rumah berbentuk panggung dibuat dari bahan kayu. Misalnya, tiang-tiang rumah dibangun dari bahan kayu ulin yang tahan air. Atap rumah dibuat dari sirap, namun ada beberapa rumah di antaranya telah menggunakan atap dari bahan seng. Rumah-rumah tunggal ini dihuni oleh keluarga inti/batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Anggota setiap keluarga inti rata-rata 2-5 orang. Sedangkan pada keluarga luas jumlah anggota keluarga lebih banyak dari angka di atas, mengingat anak-anak yang telah kawin masih ikut numpang pada orang tua mereka.

Lokasi pemukiman umumnya berada di tepi sungai, yaitu Sungai Nyutan. Hal ini dikarenakan sungai memiliki tujuan khusus antara lain sebagai satu sarana agar mereka mudah untuk bepergian ke ladang-ladang, kebun, dan hutan, serta

(4)

ke daerah-daerah lainnya, termasuk pergi ke kota, dengan menggunakan perahu atau perahu bermotor (ketingting atau ches).

Seperti masyarakat Dayak umumnya (lihat Padoh dan Pelluso, 1996; Eigher dan Sellato, 1999, Lajir, 2002), mata pencaharian utama penduduk adalah bertani ladang (uma) dan mengumpulkan aneka ragam hasil ikutan hutan (non-timber forest products) serta menangkap ikan (fishing). Di dalam berladang, pada tiap tahun, setiap keluarga senantiasa membuka lahan hutan tua (hutan rimba) yang dikhususkan untuk berladang, bukan merupakan hutan cadangan yang dilindungi, dengan luas rata-rata 1-1.5 ha. Hutan rimba yang dipilih memiliki umur 20-30 tahun. Hutan Rimba itu digarap dijadikan ladang (uma) dengan melalui beberapa tahapan seperti:----lokasi ladang dipilih, semak-semak ditebas (nokap), kayu-kayunya ditebang (nowong), sisa-sisa tebangan dikeringkan (ekayjoa), sisa tebangan kering dibakar (nyuru), lahan ditanamai padi (ngasek) dan jenis-jenis tanaman lainnya, padi ladang disiangi (ngerikut), dan padi yang telah menguning dipanen (ngotow)----. Pada satu petak lahan hutan rimba yang telah dibuka, biasanya ditanami padi dan jenis-jenis tanaman semusim lainnya secara berturut-turut 2-3 tahun, dan akhirnya lahan diistirahatkan (diberakan). Kemudian, lahan hutan bekas ladang yang diberakan mengalami suksesi membentuk hutan sekunder muda atau uren (umur kurang 4-5 tahun), serta terus berkembang menjadi hutan yang lebih tua, yang disebut tuha (umur hutan lebih dari 5 tahun). Serta pada akhirnya, setelah hutan diberakan 20-30 tahun, hutan sekunder tersebut membentuk hutan tua (disebut bengkar atau rimba). Kini hutan tua tersebut siap dibuka kembali untuk dijadikan ladang. Pada saat lahan hutan tersebut belum siap digarap ulang, para peladang biasanya pindah ke tempat lain. Tempat itu di daerah yang berdekatan atau pindah ke daerah yang lebih jauh mencapai beberapa kilometer jaraknya dari kampung. Dengan demikian, setiap keluarga biasanya memiliki blok-blok lahan ladang di dua lokasi utama. Lokasi pertama umumnya dekat dengan pemukiman, dan lokasi lainnya jauh dari pemukiman. Petak-petak ladang pada masing-masing lokasi itu, digarap secara rotasi silih berganti dengan mengalami masa bera (fallow time) 20-30 tahun. Model pertanian seperti ini mereka namakan sistem ‘pertanian berotasi’ dan menolak sebutan orang luar yang menyebutnya sebagai ‘sistem ladang berpindah’. Ini cukup beralasan, karena mereka berladang dengan sistem rotasi pada suatu teritorial khusus yang dipertahankan terus-menerus dalam kurun waktu ratusan tahun. Berladang dilakukan secara hati-hati dan bijaksana, dengan dilandasi oleh kebudayaan mereka yang kuat (bdk. Freeman, 1955; Dove, 1985 ). Lahan-lahan bekas ladang itu ada pula yang ditanami pohon-pohon rotan, sehingga lahan itu berubah menjadi kebun-kebun rotan. Selain itu, pada beberapa daerah, khususnya di Desa Jontai, lahan bekas ladang itu diubah menjadi daerah sawah, khususnya diperkenalkan dan dipromosikan oleh pihak luar, seperti program dari Yayasan Rio Tinto. Dengan demikian, di desa ini penduduk selain tanam padi ladang juga tanam padi di sawah dengan sekala yang sangat terbatas.

(5)

Sudah menjadi kebiasaan secara turun-temurun, bila penduduk membuka rimba untuk ladang, biasanya di pinggir-pinggir ladang itu dibangun pondok-pondok (belai), untuk tempat tinggal sementara setiap keluarga, ketika mereka sedang sibuk bekerja di ladang. Perkembangan selanjutnya, karena secara sengaja maupun tidak sengaja, para penghuni pondok-pondok ini menanam atau membuang biji buah-buahan di sekitar pondok-pondok mereka. Maka, ketika lahan setelah diberakan 20-30 tahun, berubah menjadi hutan buah-buahan yang rimbun seperti hutan rimba, dengan dinamakan lembo atau simpukng. Lembo mempunyai fungsi penting bagi ekologi dan sosial ekonomi masyarakat. Fungsi ekologi, seperti perlindungan plasma nutfah, perlindungan erosi tanah, dan habitat satwa liar. Sedangkan fungsi sosial ekonomi, yaitu menghasilkan aneka ragam hasil buah-buahan, untuk dikonsumsi dalam keluarga atau hasil lebihnya dijual ke pasar, seperti buah durian (Durio zibethinus) dan campedak (Artocarpus champeden).

Di samping tataguna lahan, seperti: ladang, sawah, kebun rotan, lembo, dan hutan sekunder yang diberakan, juga di tiap desa didapatkan ‘hutan rimba cadangan’. Hutan rimba sadangan ini biasanya tidak/belum pernah dibuka dijadikan ladang. Sehingga di hutan cadangan ini, pohon-pohon kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti bengkiray, kruing, meranti, jelutung dan ulin banyak ditemukan. Kawasan hutan rimba cadangan ini sewaktu-waktu akan dibuka dijadikan ladang, terutama bila kawasan ladang yang ada telah tidak mencukupi lagi. Pembukaan hutan rimba cadangan ini harus mendapat persetujuan kepala adat. Pada kawasan hutan rimba cadangan biasa dimanfaatkan untuk mengambil berbagai hasil ikutan hutan, seperti yang diuraikan di bawah ini.

Pendapatan Keluarga

Berbagai jenis tataguna lahan seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu ladang, sawah, lembo, kebun rotan, hutan rimba, serta sungai dan danau memberikan aneka ragam hasil bagi penduduk lokal. Hasil-hasil itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari atau hasil lebihnya dijual ke bandar desa atau dijual ke pasar dengan aneka ragam harga (Tabel 1). Hasil utama dari ladang adalah padi dan jenis-jenis sayuran. Varietas padi lokal banyak sekali ragamnya, antara lain: kantur, karamulung, tahayan, pare ohong, pulut nakan, pulut siwak, dan pulut buih (bdk. Soedjito, 1999). Padi pada umumnya digunakan untuk konsumsi keluarga, tidak pernah dijual. Selain padi, hasil lain dari ladang yang cukup menonjol adalah singkong, jagung, kacang panjang, dan pisang. Pada lahan lembo, dapat dipungut aneka ragam buah-buahan seperti: rambutan, durian, nangka, campedak, mangga, langsat, dan kapul. Sedangkan pada pada kebun rotan, jenis-jenis rotan dapat dipanen seperti: rotan putih, rotan merah, rotan sakajahap dan bambu.

(6)

Tidak kalah menariknya, anekaragam hasil juga dapat dipungut dari hutan rimba, antara lain: madu, kayu bakar, rotan, getah damar, kulit gembor, burung tiung/beo, babi hutan, kijang, trenggiling, dan ular sanca.

Pohon-pohon bengeris merupakan tempat yang khusus bersarang lebah madu, sehingga pohon ini biasa dilindungi penduduk tidak pernah ditebang, kendati hutan itu dibuka dijadikan ladang. Secara tradisional, biasanya siapapun orangnya yang menemukan pertama lebah madu dan merawat pohon bengaris tempat sarang lebah tersebut, maka orang itu menjadi pemilik hak untuk memungut/memanen lebah madu itu. Namun demikian, orang lain dapat pula menikmati hasil madu itu, karena adanya sistem bagi hasil bagi yang membantu panen madu, atau karena meminjam dari pemelik hak tersebut.

Selain itu, pada sungai-sungai dan danau, jenis-jenis ikan dapat dihasilkan seperti: haruan, lempam, kelabau, dan baung (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis-jenis hasil pertanian dan hasil ikutan dari hutan rimba yang biasa dipungut penduduk Desa Mantar, Desa Jontai, dan Desa Sembuan pada bulan November 2000.

Tataguna lahan dan aneka ragam hasil Harga Lokal Satuan

A. Ladang

Beras (Oryza sativa) Rp. 3.300 per kg

Singkong (Manihot esculenta) Rp. 1.000-Rp. 2.000 per kg

Jagung (Zea mays) Rp. 1.000-Rp.1.500 per kg

Kacang Panjang (Vigna sinensis) Rp. 1.000 per ikat

Pisang (Musa paradisiaca) Rp. 1.000-Rp. 1.250 per tandan

B. Lembo

Rambutan (Nephelium lappaceum) Rp. 1.000-Rp. 3.500 per ikat

Durian (Durio zibethinus) Rp. 3.000-Rp. 4.000 per buah

Nangka (Artocarpus heterophylla) Rp. 1.500-Rp. 2.500 per buah

Campedak (Artocarpus champeden) Rp. 1.000-Rp.3000 per buah

Mangga (Mangifera indica) Rp. 300-Rp. 350 per buah

Langsat (Lansium domesticum) Rp. 2.500-Rp. 5.000 per kg

Kapul Rp. 3.500-Rp.5.000 perkaleng (7kg)

C. Kebun Rotan

Rotan Putih (Calamus sp) Rp. 500-Rp.600 per kg/basah

Rotan Merah (Calamus sp) Rp. 500 per kg/basah

Rotan Sajahap (Calamus sp) Rp. 600 per kg/basah

Bambu (Bambusa spp) Rp. 400 per batang

Hutan Rimba

Kayu Bakar Rp. 3.500-Rp.5.000 per pikul

Madu Rp. 12.500-Rp.25.000 per botol

Rotan (Calamus sp) Rp. 600 per kg/basah

Getah Damar (Agathis spp) Rp .500 per kg

Kulit Gembor Rp. 300 per kg

(7)

Babi Hutan (Sus barbatus) Rp.125.000-Rp.180.000 per ekor

Kijang (Muntiacus muntjac) Rp. 75.000 per ekor

Trenggiling (Manis javanica) Rp. 50.000 per ekor

Ular Sanca (Phyton sp) Rp. 50.000 per ekor

D. Sungai dan Danau

Ikan Haruan Rp. 5.000 per kg

Ikan Lempam (Puntius sp) Rp. 5.000 per kg

Ikan Kelabau (Osteochilus sp) Rp. 5.000 per kg

Ikan baung (Leiocassis sp) Rp. 7.500 per kg

Ikan biawan Rp. 5.000 per kg

Sumber: Data Primer, 2000.

Secara kuantitatif, berdasarkan wawancara terhadap 13 responden, aneka ragam jenis-jenis hasil tadi, memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap total penghasilan (income) keluarga, seperti ladang (20,06 %), hutan rimba (19, 58 %), lembo/simpukng (12, 52 %), dan sungai (11,73 %) (Tabel 2).

Tabel 2. Pendapat keluarga dalam setahun yang dihasilkan dari berbagai sumber (n=13)

Sumber Pendapatan Prosentase dari total (%)

Ladang 20,06

Sawah 1,58

Lembo/simpukng 12,52

Kebun 4,91

Hasil Ikutan Hutan/Hutan Rimba 19,58

Sungai 11,73 Lain-lain (jasa, warung, dll) 29,62

TOTAL 100,00

Sumber: Data Primer, 2000.

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat disimpulkan bahwa hutan rimba memberikan andil yang cukup besar bagi pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari atau hasil lebihnya dijual. Jadi dengan kata lain, hutan rimba dan daerah-daerah sekitarnya bukanlah merupakan barang bebas yang tidak memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat lokal, tetapi telah memberikan arti ekonomi dan dikuasi secara hak tradisional (hak adat) oleh masing-masing keluarga komunitas desa. Secara hak adat, daerah-daerah hutan rimba itu merupakan dari hasil warisan dari para nenek moyang/datuk mereka.

(8)

umumnya mengganggap hutan adalah sebuah ekosistem yang memberikan aneka ragam hasil, seperti yang telah diuraikan di atas. Namun sebaliknya, di pihak lain, pihak HPH/HPHH memandang bahwa hutan hanyalah sebagai penghasil komoditas tunggal berupa kayu. Kayu (logging) diambil hasilnya untuk kepentingan ekonomi sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan fungsi-fungsi lainnya, seperti fungsi ekologi, sosial ekonomi dan kebudayaan masyarakat lokal (bdk. Nur Mahmudi Ismail, 2000:11). Maka konflik di antara dua kepentingan yang sangat berbeda ini tidak terhindarkan lagi.

Penduduk lokal di Desa Dempar, Desa Jontai dan Desa Sembuan, mulai merasakan pengaruh kegiatan HPH kurang lebih sejak tahun 1970-an, ketika HPH mulai masuk di daerah desa mereka. Pada waktu itu, daerah-daerah hutan di sekitar desa mereka dibuka secara besar-besaran, yakni pohon-pohon kayu besar ditebangi, jalan-jalan penghubung untuk mengangkut kayu hasil tebangan dibangun, base camp tempat tinggal para pekerja didirikan, tempat-tempat menyimpan hasil kayu sementara disiapkan, dan kolam-kolam penampungan kayu (logg-pond) dibuat di daerah-daerah tepi sungai. Selain itu, sungai-sungai dijadikan tempat menghanyutkan ratusan atau ribuan glondongan kayu.

Namun dengan maraknya berbagai kegiatan pemanenan kayu oleh HPH tersebut, kurang memberikan kontribusi yang berarti pada penduduk lokal. Pada umumnya mereka kurang dilibatkan pada berbagai kegiatan yang ada. Menurut beberapa informan, mereka sulit untuk diterima bekerja, karena tidak memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian khusus yang disyaratkan oleh HPH. Di samping itu, upah harian yang diajukan HPH dianggap kurang layak oleh penduduk lokal. Besarnya upah ini dianggap lebih rendah dibandingkan bila mereka bekerja di lahan pertanian. Di tambah lagi, uluran bantuan HPH untuk pembangunan desa, melalui program Pembangunan Desa Hutan (PMDH), yang sesungguhnya merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh HPH, tidak sepenuhnya dilaksanakan. Karena kurang adanya kesadaran dari pihak HPH dan tidak ada pengawasan dari pihak yang berwenang.

Pengaruh negatif aktivitas-aktivitas HPH juga dirasakan penduduk desa yang merasakan makin berkurangnya hasil-hasil ikutan hutan. Misalnya, karena timbulnya daerah-daerah hutan terbuka, dan bisingnya suara-suara orang, mesin-mesin pemotong kayu (chain-saw), suara traktor, dan truk-truk pengangkut kayu, telah mengusir berbagai satwa tangkapan bagi kepentingan penduduk desa. Konsekuensinya, jenis-jenis satwa liar seperti: babi hutan, rusa, kijang, dan lain-lainya menjadi sukar diperoleh, berbeda dengan keadaan sebelum adanya kegiatan HPH. Demikian pula hasil-hasil ikutan hutan lainnya, seperti produksi madu makin berkurang, karena pohon-pohon tempat bersarang lebah madu habis ditebangi.

Selain itu, pada tahun 1999 dengan adanya perubahan kebijakan baru dalam pengusahaan hutan yang memberi wewenang pada pemerintah daerah/Bupati untuk mengeluarkan izin bagi HPH skala kecil atau HPHH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan), berupa izin menebang kayu dengan luas 100 ha. Ditambah dengan

(9)

adanya ‘semangat otonomi daerah’ yang telah diberlakukan secara resmi sejak 1 Januari 2001, penduduk desa secara perorangan atau bermitra dengan perusahaan (PT) lokal, bersemangat untuk memohon izin ‘pemanenan kayu’ tersebut pada Bupati.

Maka akibat kebijakan ini, sebagian besar penduduk, seperti kasus yang terjadi di Desa Sembuan merasa tergugah ingin memanfaatkan hasil-hasil kayu yang ada di daerahnya. Sehingga segenap warga desa, dengan melalui kepala desanya, telah menjalin kerjasama dengan suatu HPPH (PT. SBB) untuk membuka hutan, memanen pohon-pohon kayu nilai ekonomi tinggi di daerahnya. Adanya program HPHH, memberi harapan akan lebih menguntungkan warga desa, tidak seperti halnya praktek-praktek yang telah dilakukan program HPH sebelumnnya. Pada awal kegiatan, HPHH (PT SBB), telah menunjukkan perhatian pada aspirasi warga setempat. Sebagai contoh, HPHH tersebut telah menyumbangkan 2 generator listrik dan 2 TV yang diinginkan warga desa. Lahan-lahan penduduk, seperti bekas rumah panjang (lamin) yang dimanfaatkan PT SBB guna tempat penyimpanan tebangan kayu di tepi sungai disewa Rp 6.000.000/tahun dari penduduk desa. Uang sewa itu dibayarkan pada tiap keluarga pemilik lahan itu.

Rencana pembagian keuntungan dari hasil penebangan kayu juga telah dirundingkan antara PT SBB dengan kepala desa. Kesepakatannya, setiap pohon kayu yang ditebang oleh PT SBB akan diganti rugi Rp 50.000/m3 pada setiap keluarga sebagai pemilik lahan. Selain itu, PT SBB juga akan membayar fee kepada kepala desa, kepala adat, dan kas desa, masing-masing Rp 5.000/m3.

Namun ketika PT SBB yang telah berhasil memotong jenis-jenis kayu ekonomi, seperti: bengkiray, kruing, meranti, jelutung dan ulin (Tabel 3) sebanyak 1000 m3, kegiatan operasinya dihentikan oleh pihak INHUTANI. Alasannya, karena semua kawasan Desa Sembuan menurut peta kehutanan termasuk KBK (Kawasan Budidaya Kehutanan). Menurut peraturan pemerintah, semua daerah KBK tidak boleh digarap penduduk, sedangkan daerah yang boleh digarap penduduk adalah berupa daerah KBNK (Kawasan Non Budidaya Kehutanan).

Tabel 3. Jenis-jenis kayu ekonomi tinggi di tiga desa Kutai Barat pada November 2000.

Jenis Kayu Hutan Harga Lokal (Rp/m3)

Bengkiray 300.000,- Keruing 200.000,- Meranti 200.000,- Jelutung 200.000,-

Ulin 400.000,- Sumber: Data Primer, 2000.

(10)

Maka berdasarkan status ini, kawasan Desa Sembuan (388,51 km2), Desa Jontai (91,83 km2), dan Desa Dempar (339,07 km2) semua wilayahnya masuk KBK yang tidak lagi boleh digarap penduduk lokal. Dengan kata lain, lahan-lahan pemukiman, ladang, sawah, kebun rotan, lembo, dan hutan cadangan menjadi milik kehutanan. Karena adanya status KBK tersebut, maka kepala Desa Sembuan dengan gigih memohon pada Camat, Bupati, Kepala Cabang Dinas Kehutanan, dan INHUTANI, agar status daerahnya diubah dari daerah KBK menjadi KBNK. Namun upaya untuk mengubah status tersebut hingga saat ini masih nihil. Diperlukan perjuangan lebih keras dan waktu lebih panjang lagi.

PEMBAHASAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bawa penduduk desa hutan di Desa Sembuan, juga termasuk di dua desa lainnya, dengan adanya program HPH skala kecil atau HPHH, menjadi terlibat langsung untuk berperan serta memanen kayu yang ada di daerahnya sebagai konsekuensi dari perkembangan baru ini timbul gejala perubahan yang mendasar. Tadinya hutan-hutan rimba mereka gunakan untuk tempat memungut aneka ragam hasil ikutan hutan, dan dicadangkan untuk keperluan perluasan lahan ladang di masa-masa mendatang jika lahan yang ada dianggap sudah tidak memadai lagi. Namun, dewasa ini hutan-hutan cadangan tersebut lebih diminati untuk diambil kayunya dengan dijual langsung melalui program HPHH. Bila keadaan ini berjalan terus akibatnya hutan-hutan rimba cadangan untuk perluasan ladang dimasa datang tidak bakal tersedia lagi. Ikut “berbisnis kayu” saat ini, dianggap suatu pilihan yang cukup rasional, berdasarkan perkembangan yang ada, dengan berbagai tekanan yang datang dari pihak luar. Mereka memiliki pertimbangan bahwa seandainya hutan itu ‘tidak dibisniskan’ sendiri, tidak ada jaminan bahwa orang luar tidak akan memanennya. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Desa Sembuan yang menytakan bahwa: “dari pada kami sebagai penonton, menyaksikan hutan-hutan diambil orang luar, maka lebih baik kamilah yang memanen hutan itu”. Jika keadaan demikian terus maka nasib keterlanjutan hutan-hutan rimba di kawasan ini sungguh dikhawatirkan. Maka, sangatlah beralasan beberapa kalangan yang peduli terhadap kelestarian hutan di Kalimantan, mengusulkan bahwa seyogianya kebijakan pemberian izin HPH sekala kecil atau HPHH perlu ditinjau kembali, karena hal ini membahayakan lingkungan (lihat antara lain Anonim, 2000).

Konflik sosial antar warga masyarakat di tingkat desa juga tidak terelakkan lagi, misalnya kasus yang terjadi di Desa Intu Lingau. Bebeda dengan 3 desa yang telah diuraikan di atas, Desa Intu Lingau (565,11 km2) (BPS Kabupaten, 1999), kurang lebih 70 % daerahnya termasuk KBK yang tidak boleh digarap penduduk, sedangkan kurang lebih 30 % masuk kategori daerah KBNK yang dapat digarap penduduk. Di daerah KBNK yang dapat digarap itu, beberapa keluarga desa dan beberapa HPHH (antara lain PT Indo) telah mendapat izin dari Bupati untuk memungut kayu. PT Indo telah berhasil memanen kayu di Desa Intu

(11)

Lingau dengan membayar fee Rp 25.000/m3 pada setiap keluarga yang mengaku pemilik lahan hutan rimba, serta membayar fee ke desa Rp 5.000/m3. Berdasarkan catatan desa, kurang lebih 250 KK di Desa Intu Lingau, yang memiliki lahan-lahan hutan rimba yang mesti dibayar oleh pihak HPHH. Namun adanya perkembangan baru ini telah menimbulkan berbagai pertentangan antar warga desa yang cukup serius. Ada beberapa keluarga dari luar desa yang meminta bayaran kepada HPHH, karena mereka menyatakan bahwa lahan hutan yang ditebang oleh HPHH tersebut milik leluhurnya. Maka, pertentangan antar warga desa atau warga desa dengan HPHH tidak terelakkan lagi. Hal ini disebabkan karena secara keseluruhan hutan rimba telah bergeser fungsi bagi warga desa. Hutan tidak lagi dikelola sebagaimana biasanya yang dilakukan oleh nenek moyang mereka untuk berladang dan memungut hasil-hasil ikutan hutan secara berkelanjutan, tetapi lebih diutamakan hasil kayunya, seperti yang diperkenalkan oleh pihak luar, melalui kegiatan HPH atau HPHH. Dengan adanya sistem pengelolaan hutan yang baru ini, maka kerusakan hutan tidak dapat dihindarkan lagi, dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan gangguan pada sistem sosial ekonomi penduduk lokal yang ada di daerah itu.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa sebelum semaraknya HPH (1970-an) dan HPHH (akhir 1990-an), serta era Otonomi Daerah (2000), masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tuwoyan yang tinggal di 3 desa hutan: Desa Dempar, Jontai, dan Sembuan, mempraktekan sistem pertanian ladang yang bersifat terintegrasi dengan kebudayaan atau integral systems (bdk. Conklin, 1957). Praktek sistem ladang integral biasanya dibingkai oleh adat, ritual, dan mitos yang kuat. Mereka memiliki pengetahuan lingkungan biotik (flora dan fauna) dan a-biotik (jenis tanah, kesuburan tanah, pergantian musim) yang mendalam. Mereka mengerjakan ladang penuh ke hati-hatian berdasarkan aturan-aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun. Kerusakan lingkungan sangat dihindari. Namun dewasa ini, karena pengaruh HPH dan HPHH, masyarakat Dayak di 3 desa tersebut, mempraktekan sistem pertanian ladang cenderung menuju ‘sekuler’, yang telah kehilangan makna dan religiusitasnya dan lebih mementingkan aspek ekonomi atau pertanian ladang yang bersifat partial systems (bdk. ibid, 1957; Lahajir, 2002).

Apa konsekuensi perubahan itu bagi keterlanjutan sistem perladangan mereka?. Menurut hemat penulis, bila kondisi ‘bisnis kayu’ ini akan terus berjalan, sungguh sulit untuk dapat mempertahankan keterlanjutan sistem ladang mereka yang aslinya berlandaskan moral agama (integral systems). Hasil kajian penulis (Iskandar, 2001) dari beberapa pustaka (Geertz 1963; Conklin 1969; Harris 1969; Rappaport 1971; Ellen 1975, 1977; Nations & Night 1980; Dove 1983; dan Berkes et al 1989), dapat disimpulkan bahwa sistem pertanian ladang berpindah cenderung dapat dipertahankan bila 4 faktor utama dapat dipertahankan. Keempat faktor itu adalah (a) adanya keterjaminan pemilikan/penguasaan lahan ladang dan lahan hutan; (b) harus didukung oleh hasil-hasil dari usaha subsisten

(12)

hutan, serta menangkap ikan (fishing); (c) beradaptasi dengan kondisi ekologi lokal, seperti menyerupai (mimicry) dengan struktur vegetasi hutan alami; dan (d) daya dukungnya (carrying capacity) tidak terlampui.

Jelas, dari 4 faktor di atas telah banyak terganggu. Misalanya, keterjaminan pemilikan/pengusaan lahan hutan, akibat adanya desakan HPH atau HPHH, terganggu. Dukungan dari usaha subsisten lain juga berkurang, karena aneka ragam hasil ikutan hutan berkurang sejalan dengan hutan rimbanya yang berkurang atau punah. Keterjaminan adanya adaptasi dengan ekologi lokal juga terganggu, karena daur unsur hara berubah, akibat keanekaan tumbuhan dan kerimbunan vegetasi berkurang. Pada akhirnya, apabila sistem produksi internal turun, sedangkan subsidi dari luar tidak ada, maka jangka panjang dapat mengganggu daya dukung lingkungan mereka.

Oleh karena itu, untuk mendukung pengelolaan hutan secara terlanjutkan dan berwasan lingkungan, paradigma pengelolaan hutan harus berubah: (a) dari penekanan “tree management” menjadi “forest ecosistem management” (ecologically sound); (b) dari layanan “keuntungan ekonomi terbatas pada sekelompok orang” menjadi “layanan keuntungan ekonomi pada segenap lapisan masyarakat secara berkeadilan sosial”, khususnya terhadap masyarakat desa di sekitar hutan (economical variable dan social justice); dan (c) dari “mengabaikan kebudaan masyarakat lokal” menjadi “memperhatikan dan tidak merusak kebudayaan masyarakat lokal” (cultural adaptable). Semua itu dapat diupayakan antara lain melalui pembuatan kebijakan baru yang mengakomodir paradigma-paradgima di atas.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal penting, yaitu:

1. Pada sistem perladangan tradisional, masyarakat Dayak menggarap ladang yang cenderung bersifat ‘integral system’, yaitu menggarap ladang berlandaskan pada moral yang biasanya memuat nilai agama yang kuat atau ‘moral approach’.

2. Akibat perkembangan sosial ekonomi yang cepat, terutama pengaruh dari HPH/HPP, praktek perladangan masyarakat Dayak itu cenderung berubah dari ‘integral system’ atau ‘moral’ menjadi ‘partial system’, yaitu lebih menekankan pada keuntungan ekonomi semata-mata atau ‘economic ineterest’.

3. Mengingat telah terjadinya perubahan lingkungan biofisik yang cepat dilingkungannya, terutama akibat aktivitas HPH/HPHH, masyarakat Dayak dalam rangka mempertahankan keterlanjutan sistem pertanian ladang mereka, seyogianya perlunya mencari strategi baru yang bersifat memadukan

(13)

antara ‘economic interest’ dan ‘moral’, yang dilandasi oleh adat, ritual dan mitos mereka.

Saran-saran

1. Perlunya dilakukan studi lanjutan yang lebih mendalam menyangkut perubahan kebudayaan masyarakat Dayak dalam berladang yang berlandaskan moral agama menjadi lebih sekuler yang lebih menekankan pada nilai ekonomis semata-mata, terutama kaitannya dengan kerusakan lingkungan hutan di kawasan Kutai Barat tersebut.

2. Perlunya dilakukan pengkajian ulang yang sangat cermat terhadap kebijakan tentang HPH/HPHH, terutama perlunya melibatkan partisipatif masyarakat lokal, sehingga aktivitas HPH/HPHH tersebut berwawasan lingkungan, berkeadilan, dan dapat terlanjutkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001.HPH Skala Kecil Bahaya Lingkungan. Kompas, 2 Januari 2001,hal. 3, Jakarta.

BPS, 1999. Kecamatan Damai Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten

Kutai, Tenggarong.

Conklin, H. 1957. Hanunoo Agriculture: A Report on Integral System of Shifting Agriculture in the Philippines. Rome: Forestry Development Paper, No. 12. FAO.

Conklin, H. 1969. An Ethnoecological Approach to Shifting Agriculture Dalam Vayda, A.P. (ed). Environment and Culture Behaviour: Ecological Studies in Cultural Anthropology. New York: The Natural History Press.

Berkes, F., Feeny, D., McCay, B., Acheson, J. M. 1989. Benfits of the Commons. Nature 340:91-3.

Dove, M.R. 1983. Theories of of Swidden Agriculture, and Political Economy of Ignorance. Agroforestry Systems 1: 85-99.

Dove, M.R. 1985. Swidden Agriculture in Indonesia: The Subsistence Strategies of the Kalimantan Kantu. Mouton, Berlin.

Eghenter, C. dan B. Sellato (eds), 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. WWF, Jakarta, Indonesia. Ellen, R.F. 1975. Non-domesticated Resources in Nualu Ecological Relations.

(14)

Ellen, R.F. 1977. Resource and Commodity: Problems in Analysis of the Social Relations of Nualu Land Use. Journal of Anthropological Research, 33 (1): 50-72.

Ellen, R.F. 1982. Environment, Subsistence, and System: The Ecology of Small-Scale Social Functions. Cambridge University Press, Cambridge.

Freeman, D. 1955. Iban Agriculture: A Report on the Shifting Cultivation of Hill Rice by Iban Sarawak. Colonial Research Studies, No. 18. Her Majesty’sStationery Office, London.

Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. California University Press, California.

Green, A., W. Setiawan, and Bachtiar, 2000. Village Base Line Study: Stakeholder Participation Program. PT. Kelian Equatorial Mining, Kutai Barat.

Hutterer, K.L, and A.T. Rambo, 1985. Introduction. Dalam K.L. Hutterer, A.T. Rambo, and G.Lovelace (eds) Cultural Values and Human Ecology in Southeast Asia. Michigan Paper on Southeast Asia Center for South and Southeast Asia Asian Studies The University of Michigan, Paper No.27, Michigan.

Ingold, T. 1992. Culture and Perception of the Environment. Dalam Croll, E. and D.Parkin (eds) Bush Base: Forest Farm. Routledge, London and New York. Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia.

Bandung: Humaniora Utama Press.

Ismail, N.M.2000. Kita Butuh Integritas Moral. Dalam A.Susilobudi (Red.Eksekutif). Hutan Kita, Kini dan Esok. Link: PembangunanYangBerkelanjutan, Vo.4-Tahun I-15 Juli 2000, Jakarta. Lahajir, 2002. Ethnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang.

Yogyakarta: Galang Press.

Nations, J.D and Night, R.B. 1980. The Evolutionary Potential of Lacandon Maya Sustained-Yield Tropical Forest Agriculture.Journal of Anthropological Research, 36 (1): 1-30.

Odum, H.T. 1983. System Ecology: An Introduction. John Willey and Sons, New York.

Padoch, C. and N.E. Peluso (eds). 1996. Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development. Oxford University Press, Kuala Lumpur. Rambo, A.T. 1983. Conceptual Approches to Human Ecology. East-West

(15)

Rappaport, R.A. 1971. The Flow of Energy in Agricultural Society.Scientific American, 22:117-32.

Soedjito, H. 1999.Masyarakat Dayak Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah. Dalam Adimihardja, K (ed). Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi. Humaniora Utama Press,Bandung.

Gambar

Tabel 1. Jenis-jenis hasil pertanian dan hasil ikutan dari hutan rimba yang biasa  dipungut penduduk Desa Mantar, Desa Jontai, dan Desa Sembuan pada  bulan November 2000
Tabel 2. Pendapat keluarga dalam setahun yang dihasilkan dari berbagai sumber  (n=13)
Tabel 3. Jenis-jenis kayu ekonomi tinggi di tiga desa Kutai Barat pada November  2000

Referensi

Dokumen terkait

a) Multiplatform, Kelebihan utama dari java ialah dapat dijalankan di beberapa platform / sistem operasi komputer. b) OOP (Object Oriented Programming – Pemrograman Berorentasi

Penelitian yang dilakukan di perusahaan telah berhasil membuat rancangan perbaikan dan telah dilakukan implementasi perbaikan untuk 6 jenis cacat yang penting untuk

Pada awalnya Vipro-G memperkenalkan produknya sebagai salah satu minuman kesehatan yang ditujukan hanya untuk para perokok agar dapat menetralisir radikal bebas yang ada di

INTERA KSI MATER NAL BAYI Pemeriksaan dan evaluasi kesejahtera an dan tumbuh kembang janin (antenatal screening) INTERAKSI MATERNAL BAYI Pemeriksaan dan evaluasi

Bahwa berdasarkan kualifikasi syarat tersebut, para Pemohon merupakan pihak yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yaitu sebagai

Unsur sensualitas sangat tergambar dari gambar di atas serta pada lirik lagu di atas yaitu pada kalimat “cinta-cinta lakukan dengan cinta bila kamu mau” makna dari

Aplikasi Irama Kenjoan Pada Bass Drum, Floor Tom, Hi-hat, Snare Drum Dan Small Tom Dalam Bentuk Notasi Drumset .... Score Irama Krotokan Dalam Bentuk Notasi Kendang

Tingkat pendidikan, jenis game yang dimainkan, lama bermain game, jumlah jam bermain, jumlah uang yang dihabiskan saat bermain, pihak yang mengenalkan game, teman yang dikenal