1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat di Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki beragam suku, budaya, ras maupun agama. Mereka saling berinteraksi satu sama lain tanpa memandang perbedaan. Interaksi tersebut mampu menciptakan pergaulan yang semakin luas. Sehingga timbul banyak fenomena menarik terjadi terkait dengan keragaman budaya di Indonesia yang tidak mampu untuk di hindarkan. Keberagaman tersebut membentuk sebuah fenomena yang saat ini semakin banyak terjadi di masyarakat yaitu terjadinya perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama sering terjadi dimasyarakat Indonesia, karena dilandasi atas dasar cinta. Fenomena pernikahan beda agama dapat ditemui dikalangan public figure (artis) Indonesia yang telah berhasil membangun keluarga yang memiliki perbedaan keyakinan didalamnya. Menurut Pratiwi (2014:2) beberapa public figure menjadi sorotan dalam melaksanakan pernikahan beda keyakinan diantaranya Nia Zulkarnain (Islam) dengan Ari Sihasale (non-Islam), Katon Bagaskara (non-Islam) dengan Ira Wibowo (Islam), Dewi Yul (Islam) dengan Ray Sahetapi (non-Islam), Rio Febrian (non-Islam) dengan Sabria Kono (Islam), Andre Heanusa (non-Islam) dengan Cut Rizki Teo (Islam), Sebastian Paredes (non-Islam) dengan Shanty (Islam), Audy Marissa (Islam) dengan Anthony (non-islam), Nadien Chandrawinata (non-Islam) dengan Dimas Anggaea (Islam), Jamal Mirdad(Islam) dengan Lydia Kandou (Non-Islam).
Perkawinan merupakan suatu hak alami yang telah dianugrahkan untuk manusia meneruskan keturunannya, dimana manusia diciptakan untuk saling berpasang-pasangan. Melalui pernikahan seseorang dapat belajar mengenai kehidupan secara bersama-sama melalui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki setiap individu. Perkawinan beda agama adalah suatu realitas yang sudah tidak dapat dipungkiri didalam kehidupan masyarakat Indonesia. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan di Indonesia, yang menjelaskan bahwa pernikahan beda agama itu dilarang oleh pemerintah, karena hal tersebut telah bertentangan dengan aturan hukum yang telah berlaku
2 di Indonesia. Dalam undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 telah menyatakan bahwa perkawinan akan dianggap sah, apabila dilakukan sesuai dengan aturan hukum agama dan kepercayaan pasangan masing-masing. Tetapi pada kenyataannya fenomena perkawinan agama akan terus terjadi sebagai akibat dari keberagaman yang ada di Indonesia yang menimbulkan interaksi sosial antara semua kalangan masyarakat Indonesia.
Menurut Indrayanti & Entah (2015:2) berdasarkan program konseling dan advokasi dari keluarga harmoni yang telah diselenggarakan oleh Indonesia Conference on Relegion and Peace (ICRP) membahas mengenai kurang lebih seratus pasangan yang akan melakukan pernikahan beda agama tercatat sejak tahun 2005-2007 sudah sekitar 60-an pasangan berhasil menikah. Sejak tahun 2004-2012 tercatat perkawinan KBA sudah mencapai 1.109 pasangan dan data tersebut akan terus meningkat. Menurut Nurcholis (dalam Heyder Affan, 2015:2), pada tahun 2015 ia sudah menikahkan lebih dari 630 pasangan beda agama, hingga tahun 2019 tercatat sudah 1.073 pasangan beda agama.
TABEL 1.1 Angka PBA Menurut Agama, Tahun dan Jenis Kelamin
Sumber: bphn.go dan Islamlib.com, di akses pada tanggal 13 Februari 2020, pada pukul 21.15 WIB
Menurut Kartono (dalam Turandan, 2016:3), bahwa setiap perkawinan yang terdiri dari suami, istri, dan anak mampu menciptakan kesatuan di dalam keluarga. Kedudukan dan keputusan paling penting ada di dalam keluarga, karena masa perkembangan anak diawali di dalam suatu lingkungan sekitar sebagai tempat dimana anak dilahirkan serta dibesarkan sampai mereka mampu menciptakan sebuah keluarga baru. Keluarga dapat diartikan sebagai kelompok
3 sosial terkecil dalam masyarakat yang memiliki karakteristik seperti kepala keluarga (ayah atau suami) dan pendampingnya (istri dan anak-anak) yang tinggal di dalam satu atap bersama. Keluarga merupakan salah satu lingkungan pertama yang dikenal oleh anak dan tempat untuk mendapatkan perhatian, kasih sayang, perlindungan, dan rasa aman bagi anak. Keluarga mampu menjadi tempat belajar dalam pembentukan pribadi, mental, pembentukan identitas agama, dan karakter dalam diri anak.
Orang tua memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Norma serta nilai yang didapatkan sejak kecil melalui proses imitasi, identifikasi, asimilasi, dan sosialisasi didapatkan dari kedua orang tuanya. Menurut Jalaludin (dalam Priskila and Widiasavitri, 2020:92) menyatakan bahwa pendidikan agama yang didapatkan dari keluarga merupakan sebuah pendidikan yang mendasar bagi pembentukan suatu konsep keagamaan pada anak. Hasil penelitian dari Hanindya, Yuliadi, dan Karyanta (dalam Priskila and Widiasavitri,2020:92), menyatakan apabila sekalipun orang tua telah membuat kesepakatan kepada anak untuk memilih agama mana yang akan dianutnya nanti, tetapi tetap saja proses yang dijalani oleh anak akan memiliki perbedaan dari kedua orang tua yang menikah satu agama.
Perbedaan agama dalam sebuah keluarga akan menjadi awalan terciptanya kesalahpahaman (miss communication) (Subhan and Trianasari, 2013:13). Dimana terdapat peraturan yang berbeda-beda pada setiap agama, baik dari gaya hidup maupun dalam menyikapi permasalahan. Anak yang lahir dari pasangan beda agama akan mengalami berbagai masalah didalam hidupnya seperti status orang tua mereka yang memiliki agama berbeda. Permasalahan lain yang harus dihadapi anak yaitu mereka dituntut dalam memilih keyakinan dari salah satu orang tuanya.
Pada usia remaja akan mengalami permasalahan dalam hal sosial maupun hal-hal yang terkait dengan nilai dalam diri termasuk agama. Hal ini terjadi dikarenakan remaja merupakan masa peralihan seorang anak dengan kondisi labil jiwanya. Hal-hal negatif yang sering terjadi saat masa-masa peralihan dalam remaja yang dapat memengaruhi remaja sampai mereka dewasa nanti.
4 Menurut Jalaludin (dalam Cintiawati and Tri, 2015:87), hasil penelitian Starbuck terhadap mahasiswa Middleburg college (Amerika Serikat), dengan menyatakan kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu remaja yang berusia 11-26 tahun dengan presentasi 53% dari 142 mahasiswa di sekolah tersebut telah mengalami konflik batin dan keraguan mengenai ajaran agama yang telah mereka terima, melihat cara penerapannya, dilihat dari lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Adanya penelitian lebih lanjut dan menemukan permasalahan yang sama dari 95 mahasiswa, dimana 75% diantaranya mengalami konflik dan keraguan mengenai agama yang mereka dapatkan. Berdasarkan data tersebut, besar kemungkinan remaja menjadi korban. Hal ini disebabkan karena mereka sulit dalam menentukan pilihan agama siapa yang akan diikuti. Orang tua yang membiarkan anaknya untuk memilih agama akan menimbulkan permasalahan apabila tidak dilakukan dengan bijaksana karena keyakinan agama pada anak seharusnya ditentukan saat mereka sejak kecil, bahkan hal tersebut dapat mempengaruhi remaja untuk menjadi ateis.
Hasil dari penelitian dari Sari (dalam Priskila and Widiasavitri, 2020:5) menjelaskan bahwa remaja yang lahir atau tinggal dengan orang tua beda agama akan mengalami sebuah fase dimana dirinya akan merasa jauh dari orang tuanya. Kebanyakan remaja yang lahir dari perkawinan beda agama tidak mendapatkan atau hanya sedikit mendapatkan identitas agama dari kedua orang tuanya. Saat masih kecil, anak akan mengalami kebingungan dalam tata cara ibadah, tetapi mereka terus berkembang hingga tumbuh dewasa dan mulai muncul perbedaan agama yang sangat memengaruhi remaja pada situasi tertentu. Kebanyakan remaja akan mempertanyakan kembali mengenai perbedaan keyakinan yang diterima dalam keluarga. Sehingga remaja mulai mengerti mengenai masalah hidup dan mempertanyakan mengenai agama orang tua yang berbeda dan agama mana yang akan dipilihnya.
Keluarga yang memiliki latar belakang beda agama sering terjadi permasalahan didalamnya. Salah satu permasalahan yang terjadi di keluarga beda agama disebabkan karena komunikasi yang terlalu memaksa anak remaja untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak orang tua. Ego yang dimiliki orang tua dan remaja dapat menjadi pemicu jarang terjadinya komunikasi didalam keluarga sehingga menimbulkan permasalahan dikeluarga beda agama.
5 Orang tua yang menginginkan agar anak mampu mengikuti pilihan agama yang mereka ikuti, membuat remaja melihat kenyataan mengenai sikap egois yang dimiliki orang tuanya membuat anak tersebut malas untuk melakukan komunikasi di dalam suatu keluarga beda agama. Keinginan anak yang tidak sesuai dengan orang tua karena terjadinya miss communication akan menimbulkan permasalahan dalam keluarga. Lalu bagaimana caranya dalam sebuah keluarga yang berbeda agama dalam menentukan kebebasan pemilihan agama anak dan mempertahankan hubungan keluarganya.
Pada keluarga beda agama sering sekali terhambat mengenai kebebasan agama anak karena adanya perbedaan agama orang tua. Hal ini kemudian membuat remaja tidak mempunyai pendirian yang kuat dalam menentukan agamnya. Jarang melakukan komunikasi di dalam sebuah keluarga menjadi penghambat anak dalam menentukan agamanya, sehingga mampu mempengaruhi bagaimana remaja dapat mempraktikkan agamanya seperti beribadah di tempat umum layaknya teman sebaya yang lainnya.
Remaja yang jarang melakukan komunikasi atau berbicara, tidak mau mendengarkan, dan tidak memberikan respons ketika orang tuanya mengajaknya berkomunikasi atau hanya diam mengikuti perintah orang tuanya disebabkan karena mereka memiliki ketakutan untuk menentang atau mengutarakan pendapatnya. Hal tersebut pasti membuat setiap anggota keluarga tidak saling mengenal atau mempunyai hubungan yang dekat satu sama lain, mereka akan hanya seperti orang asing yang tinggal dalam satu atap rumah.
Menurut Kriswanto (dalam Nurulita and Setyarahajoe, 2014:385), menyatakan komunikasi interpersonal memiliki fungsi yang optimal apabila terciptanya pola komunikasi yang terbuka, dimana mereka saling mendukung satu sama lain dan menciptakan rasa aman dan nyaman didalam sebuah keluarga. Bila komunikasi interpersonal dapat terjalin baik, maka adanya kedekatan antara remaja dan orang tua, serta intensitas berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Bagi para remaja yang memiliki komunikasi interpersonal yang baik dengan orang tuanya mereka biasanya menjadikan orang tua mereka sebagai teman untuk berbagi pengalaman, bertukar cerita, bertukar pikiran, berdiskusi, bertengkar, dan sebagainya. Keakraban yang terjalin antara anak dengan anggota keluarga terjadi karena memiliki komunikasi interpersonal yang baik, remaja
6 tidak sungkan untuk berbicara mengenai sesuatu yang ada di pikirannya. Tetapi sebaliknya ketika suatu komunikasi di dalam keluarga yang buruk maka remaja akan merasa kesulitan dalam melakukan keterbukaan mengenai apa yang dia pikirkan dan perasaannya sehingga cenderung memendamnya.
Berdasarkan hasil pra-riset wawancara dengan para informan remaja dari keluarga yang berbeda agama pada hari Kamis 5 Maret 2020 menjelaskan bahwa keluarga yang dimiliki oleh para remaja tersebut berawal dari pernikahan beda agama dari kedua orang tuanya. Saat di wawancarai, para informan menjelaskan bahwa sejak kecil mereka diajarkan oleh ibunya. Keinginan dalam memilih agama timbul saat para informan memasuki fase remaja karena mereka merasa nyaman dan tenang saat memeluk agama tersebut. Kurangnya komunikasi interpersonal di dalam keluarga membuat para remaja tersebut takut untuk mengungkapkan keinginannya kepada orang tua. Sehingga saat melakukan kegiatan agama yang ada di sekolah, mereka merasa bebas dalam menjalankan ibadah bersama teman-temannya. Sedangkan di rumahnya mereka harus sembunyi-sembunyi untuk melakukan ibadah. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kebebasan untuk memilih agama di keluarga, sehingga sulit untuk mengambil keputusan tersebut.
Banyaknya peraturan dan kurangnya komunikasi interpersonal yang efektif di dalam sebuah keluarga membuat remaja semakin menentang keinginan orang tuanya. Sulitnya remaja untuk melakukan komunikasi dengan kedua orang tuanya mengenai agama yang akan mereka anut akan menimbulkan masalah bagi remaja dalam melakukan keterbukaan diri mereka di dalam keluarga, sehingga membuat remaja menjadi acuh tak acuh mengenai agama yang memunculkan perbedaan di dalam keluarganya dan dirinya menjadi bimbang. Hal ini, dapat membuat remaja sulit untuk melakukan komunikasi di dalam keluarga yang baik terhadap kedua orang tuanya dalam memutuskan memilih agama yang berbeda dari orang tuanya atau mengikuti agama orang tuanya. Sehingga menimbulkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dari diri remaja dalam mengambil suatu pilihan mengenai agama mana yang akan ditetapkan. Oleh karena itu, komunikasi interpersonal di dalam keluarga harus mampu terjalin dengan baik antar anggota keluarga untuk mampu mempertahankan keutuhan keluarga.
7 Menjalin komunikasi interpersonal yang baik antar anggota keluarga bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Tetapi hal tersebut sudah menjadi sebuah tanggung jawab setiap anggota keluarga untuk terus mengusahakan, memelihara, dan mempertahankan agar komunikasi di dalam keluarga terus berjalan dengan baik, meskipun telah diusahakan untuk menciptakan komunikasi yang baik, tetapi terkadang komunikasi itu masih tidak bisa berjalan dengan baik. Faktor yang mampu menghambat ketidaklancaran komunikasi di dalam keluarga yaitu perbedaan pendapat, permasalahan, kebutuhan, atau perbedaan keyakinan. Sehingga komunikasi di dalam keluarga merupakan salah satu faktor terpenting dalam membentuk sebuah hubungan yang baik didalam keluarga.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala bidang pelayanan pencatatan sipil bapak Dendi Hermansyah, SE pada Jum’at 18 September 2020 menjelaskan bahwa Bandung memiliki mekanisme tersendiri dalam melakukan pencatatan mengenai perkawinan beda agama. Beliau menjelaskan apabila pasangan beda agama ingin melakukan pernikahan maka mereka harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pengadilan agama Kota Bandung. Setelah itu, mereka harus merelakan salah satu dari mereka untuk mengganti agama yang dianut sejak kecil untuk mengikuti agama pasangan mereka. Setelah berpindah agama dan melakukan pemberkatan, maka ada jangka waktu untuk tercantum dalam data Dinas Catatan Sipil. Data yang didapatkan oleh peneliti terdapat 208 pasangan telah tersimpan di catatan sipil dengan jarak waktu 0-6 bulan setelah pemberkatan. Lalu, terdapat 258 pasangan terlambat dalam mendaftarkan pernikahan dengan jangka waktu 6 bulan ke atas. Hal ini disebabkan karena pasangan tersebut setelah melakukan pemberkatan langsung pindah kembali untuk menganut agamanya masing-masing.
Dari hasil pemaparan latar belakang diatas, peneliti memiliki alasan dalam melakukan penelitian ini karena peneliti melihat beberapa remaja yang ada disekitar peneliti yang hidup di dalam keluarga beda agama mengalami kesulitan dan kebingungan dalam melakukan komunikasi interpersonal di dalam keluarga untuk memilih agama yang akan dianut orang tuanya atau tidak memiliki kebebasan dalam memilih agamanya sendiri. Hal tersebut membuat remaja sulit untuk membuka diri mengenai agama yang dianutnya kepada orang lain, hal itu
8 akan memengaruhi psikologis dalam diri mereka. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi manfaat kepada remaja untuk membuat keputusan dalam memilih agama melalui komunikasi interpersonal yang baik terhadap kedua orang tuanya. Penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik yang bertujuan untuk merelevansikan mengenai teori dan konsep yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Dasar dari teori interaksi simbolik merupakan sebuah makna yang dibuat dalam bahasa untuk digunakan orang, baik dalam berkomunikasi dengan orang lain (Konteks komunikasi interpersonal) maupun berbicara mengenai diri sendiri (Intrapersonal). Bahasa memungkinkan untuk orang mengembangkan kesadaran diri dan melakukan interaksi dengan orang lain didalam masyarakat (West, 2017:74). Selain itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengetahui fenomena yang terjadi, serta menggunakan pendekatan studi kasus guna memperkuat hasil penelitian yang akurat. Peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data yang menggunakan observasi melalui wawancara. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana Komunikasi Interpersonal Remaja-Orang Tua Di Keluarga Berbeda Agama Tentang Kebebasan Remaja Memilih Agama. 1.2 Fokus Penelitian
Melalui penjelasan latar belakang yang telah dijelaskan, maka fokus penelitian yang ingin diangkat oleh peneliti yaitu, Bagaimana Komunikasi Interpersonal Remaja Orang Tua di Keluarga Berbeda Keyakinan Tentang Kebebasan Remaja Memilih Agama?
1.3 Tujuan Penelitian
Dapat ditetapkan berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan bahwa tujuan dari penelitian ini yaitu, Untuk menjelaskan komunikasi interpersonal remaja dan orang tua di keluarga berbeda Agama tentang Kebebasan remaja memilih agama.
1.4 Manfaat Penelitian
Peneliti memiliki harapan agar penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi beberapa pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini, penulis membagi manfaat ke dalam dua aspek penting yaitu:
9 1.4.1 Manfaat Teoritis
Peneliti berharap pada penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya dan dijadikan sebagai tambahan pengetahuan terutama di bidang ilmu komunikasi dan sebagai sarana untuk menambah wawasan serta mengembangkan ilmu komunikasi mengenai komunikasi interpersonal remaja-orang tua di keluarga berbeda keyakinan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini mampu memberikan masukan bagi remaja yang memiliki orang tua berbeda keyakinan agar mampu melakukan komunikasi interpersonal yang efektif dalam pemilihan agama. Penelitian ini mampu menjadi bahan referensi bagi peneliti lain yang memiliki tema sama sehingga mempermudah dalam proses penyusunan.
1.5 Waktu Penelitian
Waktu penelitian: Januari 2020- Maret 2021
Tabel 1.1 Waktu dan Periode Penelitian
No Kegiatan Bulan
Janu ari
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 1 Pengajuan Judul 2 Menyusun Proposal Bab 1,2,&3 3 DE (Desk Evaluation) 4 Melakukan Peneliti Pengumpulan Data 5 Penulisan Bab IV & V (Pengelolaan data dan penyajian data 6 Pendaftaran Sidang Skripsi