• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOLANGO: KERAJAAN TRADISIONAL DI GORONTALO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BOLANGO: KERAJAAN TRADISIONAL DI GORONTALO"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BOLANGO: A TRADITIONAL KINGDOM IN GORONTALO Hasanuddin

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara Jalan Katamso, Bumi Beringin Lingkungan V, Manado

Telepon (0431) 855311 / Faksimile (0431) 864926 Pos-el: anwar_hasanuddin@yahoo.com

Handphone: 085240969600

Diterima: 4 Februari 2016; Direvisi: 28 Maret 2016; Disetujui: 30 Mei 2016 ABSTRACT

Bolango was a nomadic group that formed colony and dispersed in some places in North Sulawesi and Gorontalo Provinces. In Gorontalo, the Bolango ethnic established a new kingdom. The entry of Bolango into Limo Lo Pohalaa community appeared a dynamic interaction. The VOC and the Dutch East Indies Government created marital relations and diplomacy. The centre power development in social history course clearly shew a tendency towards the ups and downs of progressive integration. The liability of gold deposit annually and the compulsory labor caused the power of king ran down. In 1862, the king and the royals migrated from Tapa to Bolaang Uki. This incident caused Bolango was out of the Limo Lo Pohalaa community, thus its position was replaced by Boalemo. This research is conducted by literary study and uses the analytical description method, which outlines an event into its parts in order to understand the socio-political changes of Bolango.

Keywords: Bolango, the policy of Dutch East Indies Government, migration, and Limo Lo Pohalaa ABSTRAK

Bolango merupakan kelompok pengembara yang membentuk koloni dan tersebar di beberapa tempat di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Di Gorontalo, suku Bolango membentuk sebuah kerajaan baru. Masuknya Bolango dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa menimbulkan hubungan interaksi yang dinamis. VOC dengan Pemerintahan Hindia-Belanda menciptakan hubungan perkawinan dan diplomasi. Perkembangan pusat kekuasaan dalam perjalanan sejarah sosial secara jelas menunjukkan kecenderungan ke arah integrasi progresif yang mengalami pasang surut. Kewajiban menyetor emas setiap tahun dan kewajiban kerja mengakibatkan melemahnya kekuasaan raja. Pada tahun 1862, raja dan pembesar kerajaan melakukan migrasi dari Tapa sampai ke Bolaang Uki. Peristiwa tersebut menyebabkan Bolango keluar dari persekutuan Limo Lo Pohalaa, sehingga kedudukannya digantikan oleh Boalemo. Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan menggunakan metode deskripsi analitik, yaitu menguraikan suatu peristiwa ke dalam bagian-bagian dalam rangka memahami perubahan sosial politik Bolango.

Kata kunci: Bolango, kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda, migrasi, dan Limo Lo Pohalaa PENDAHULUAN

Bolango atau Bulango adalah nama sebuah suku kecil sekaligus nama kerajaan tradisional yang teritorial kekuasaannya pernah menempati daerah bernama Tapa, yang kini berada di wilayah Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Setelah munculnya kebijakan Pemerintah Hindia Belanda telah membawa perubahan formasi sosial, teritorial, ekonomi, dan politik Bolango. Hal ini mengakibatkan raja dan para bangsawan Bolango melakukan migrasi ke beberapa wilayah

dan akhirnya menyatu dan membentuk Kerajaan Bolaang Uki di Molibagu, sekarang wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.

Dalam catatan Haga dijelaskan penduduk Bolango berasal dari Suwawa. Sebagian menetap di Tapa dan membentuk kerajaan baru, sedangkan sebagian lainnya menetap di Atinggola (Haga, 1931:1-2). Namun, sumber lain menjelaskan bahwa kelompok Bolango pada awalnya adalah suku pengembara laut. J.G.F. Riedel menyebut

(2)

Bolango sebagai kelompok footloose atau suku yang seringkali melakukan migrasi (Henley, 2005:183).

Peristiwa-peristiwa Kerajaan Bolango di wilayah Tapa dapat direkonstruksi dengan baik kalau kita memahami ciri-ciri sosial-kulturalnya dalam lingkup kekuatan dan kekuasaan politik wilayah Gorontalo. Salah satu ciri mendasarnya, adalah kedudukan serta peranan Bolango dalam lingkup Limo Lo Pohalaa, atau persekutuan lima kerajaan yaitu Gorontalo (Hulontalo), Limboto (Limutu), Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango, dan Atinggola atau Andagile (Haga, 1931:1-2; Tacco, 1935:81).1

Dalam dinamika persekutuan Limo Lo Pohalaa, Bolango punya identitas dalam konteks sejarah di wilayah itu. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, terjadi perubahan besar pada eksistensi kerajaan Bolango, tepatnya terjadi setelah raja dan para pembesar Kerajaan Bolango memutuskan unutk melakukan perpindahan pusat kerajaan bersama dengan para pengikutnya, yang pada akhirnya membentuk kerajaan baru di Molibagu atau di Bolaang Uki. Akhirnya kedudukan Bolango dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa digantikan kedudukannya oleh Boalemo.

Perpindahan pusat-pusat kerajaan dari suatu wilayah ke wilayah yang lain seringkali terjadi pada kerajaan-kerajaan dalam sejarah Indonesia. J.G de Casparis, seorang ahli epigrafi atau ilmu tentang prasasti/inskripsi, menyatakan bahwa perpindahan pusat kerajaan ke wilayah lain dapat disebabkan oleh faktor politis, keamanan, dan ekonomi. Hal ini terjadi pada kasus Kerajaan Sunda yang beberapa kali memindahkan pusat kerajaannya: dimulai dari daerah Galuh dan berakhir di daerah Pakwan (Pakuan) Pajajaran (Casparis, 1975:54-56). Demikian pula terjadi

1 Pembentukan persekutuan Limo Lo Pohalaa

dimulai dari disepakatinya penyelesaian konfrontansi (perdamaian) antara Kerajaan Gorontalo dengan Limboto pada tahun 1673. Akhirnya persekutuan kedua kerajaan tersebut berkembang menjadi Loudulluwa Limo Lo

Pohalaa artinya dua kerajaan -- Gorontalo dan Limboto

-- telah mempersatukan kerajaan sekitarnya dalam lima kerajaan setelah masuknya Kerajaan Bone, Bolango, dan Attingola. Akhirnya persekutuan kerajaan ini kemudian berkembang menjadi Limo Lo Pohalaa.

pada Kerajaan Demak, yang memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke daerah Pajang.

Melengkapi Casparis, R.W van Bemmelen (seorang ahli geologi dan vulkanologi) menyatakan perpindahan pusat kerajaan juga dapat disebabkan oleh faktor bencana alam. Menurutnya, misalnya pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang disebabkan oleh faktor bencana alam, yaitu karena letusan Gunung Merapi di Magelang, Jawa Tengah (Soedjamoko, 2007:70). Selain itu, Buchori, seorang ahli epigrafi asal Indonesia, berpendapat bahwa faktor perpindahan pusat kerajaan dapat pula disebabkan oleh sistim religi.

Peralihan pusat Kerajaan Bolango ke Bolaang Uki berlangsung lama, dan dilakukan secara bergelombang2 (Kartodirdjo, dkk, 1973:380-384; Henley, 2005:183). Perpindahan itu terjadi lewat proses pengambilan keputusan yang kompleks dan saling berkaitan. Raja dan para pembesar Kerajaan Bolango bersama dengan individu-individu dalam masyarakatnya masing-masing memberikan sumbangan pada perubahan-perubahan wilayah mereka, baik di dalam maupun di luar kerajaan.

Menurut Everett S. Lee yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan daerah tujuan, adanya rintangan yang menghambat, dan faktor pribadi. Demikian pula faktor yang mendorong melakukan migrasi antara lain adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal (Munir, 1981:120-121). Migrasi yang terjadi jelas mempunyai implikasi perubahan sosial baik di daerah asal, maupun di daerah tujuan. Migrasi atau moblitas yang terjadi pada suku Bolango sejak awal termasuk ke dalam mobilitas permanen, karena mereka berpindah dan bermukim tetap di

2 Setelah dikeluarkannya perjanjian 7 Februari

1829 yang memuat tentang daerah Bolang Bangka dimasukkan dalam kekuasaan Bolaang Mongondow, dan adanya penyerahan wajib pajak menyebabkan keluarga raja dan pembesar kerajaan di Bolang Bangka kembali melakukan migrasi. Mereka memutuskan untuk berangkat menuju ke Teluk Bolango Kiki dan kemudian dikenal dengan nama Bolaang Uki. Bolang Uki kemudian menjadi pusat politik utama bagi Kerajaan Bolango.

(3)

tempat tujuan dan tidak kembali lagi ke daerah pemberangkatan asal.

Migrasi sebagai ciri atau karakter dari kelompok atau suku Bolango. Mereka melakukan sejak permulaan abad ke-14, yaitu menuju ke wilayah Mongondow dari Pulau Lembeh oleh Wintuwintu. Perpindahan awal ini mengambil rute pelayaran ke Pulau Bangka, Babontehu, Manggatasik, Ranoiapo dan tiba di Lombagin (bagian timur sungai dan jembatan Kaiya di Kota Inobonto kini). Rute pelayaran itu adalah rute jaringan pelayaran Pulau Sulawesi bagian Utara. Dari lokasi Lombagin, mereka kemudian menyusur sungai ke pemukiman Mongondow di Bumbunon (Dumoga) yang merupakan wilayah awal pemukiman Mongondow.

Selanjutnya mereka melanjutkan migrasi ke Suwawa, di wilayah inilah kemudian terjadi perkawinan dengan para bangsawan kerajaan sekitarnya. Pada 1670, kelompok Bolango diberi wilayah di Tapa oleh Eyato, Raja Gorontalo (Riedel, 1870:126). Wilayah inilah kemudian dikembangkan menjadi kerajaan baru sampai pada persekutuan Limo Lo Pohalaa.

Setelah runtuhnya kekuasaan VOC, pada 1829 mulai berlangsung periode baru dalam hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Bolango. Kehadiran Pemerintah Hindia Belanda mengawali masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Limo Lo Pohalaa, lebih khusus pada kasus Bolango. Untuk pertama kalinya, pihak Pemerintah Hindia Belanda langsung mengikat raja dan pembesar Kerajaan Bolango melalui kontrak atau perjanjian. Pemerintah berusaha mengatur kerajaan dan menguasai eksplotasi ekonomi kerajaan.

Kebijakan bernuansa eksploitatif tersebut melahirkan perubahan-perubahan baru dalam hubungan ekonomi, kekuasaan dan sosial. Terdapat interelasi yang dinamis antara perubahan struktur politik dan ekonomi terhadap perubahan sosial masyarakat di Bolango dalam berbagai tingkatan. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda membawa dampak sosial, politik, dan ekonomi, ke Kerajaan Bolango baik pada tingkat elite maupun pada tingkat masyarakat biasa.

Raja Bolango dipaksa menandatangani perjanjian oleh Pemerintah Hindia Belanda

pada 7 Pebruari 1829 yang memuat 19 pasal; kemudian perjanjian 1 Maret 1838 memuat 4 pasal dan perjanjian 22 Juli 1843 (Kartodirdjo dkk, 1973:379-390). Namun, ternyata setelah berbagai perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda itu, Raja Bolango justru menolak melaksanakan dan tidak mengakuinya. Raja serta pembesar Kerajaan Bolango tidak mau diperintah oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada 1862, Kerajaan Bolango resmi keluar dari persekutuan Limo Lo Pohalaa. Untuk mempertahankan status Limo Lo Pohalaa, kedudukan Bolango dalam persekutuan itu digantikan oleh Kerajaan Boalemo, yang sebelumnya masuk dalam kekuasaan atau merupakan vasal Limboto.

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan mengapa Bolango sebagai kerajaan yang memiliki akar sejarah dalam percaturan politik, ekonomi, dan sosial pada persekutuan Limo Lo pohalaa mengalami kemerosotan. Kemudian bagaimana kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi kekuasaan tradisional Bolango. Selanjutnya bagaimana reaksi raja dan pembesar kerajaan terhadap kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, hingga menimbulkan perubahan politik sampai dihapuskannya kedudukan Kerajaan Bolango dalam persekutuan Limo Lo pohalaa. Perlu dipahami bahwa persekutuan ini bersama-sama berpedoman pada agama dan adat istiadat, di samping itu juga pada kepentingan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan militernya. Meskipun tidak semua peristiwa tercantum dalam tulisan ini, namun diharapkan dapat membantu mengingatkan kembali proses perjalanan sejarah Bolango yang dapat menjadi acuan bagi kebijakan pembangunan masa kini dan akan datang. METODE

Prosedur penelitian sejarah melalui beberapa tahap, pertama adalah mengumpulkan data-data sejarah (heuristik) yang dilakukan dengan mengumpulkan, sumber-sumber sejarah. Oleh karena periode penelitian ini mencakup masa Pemerintahan Belanda, maka sumber primer yang digunakan adalah berupa foto, laporan pemerintah, buku, surat kabar, dan majalah pada

(4)

masanya didapatkan di Arsip Nasional RI, dan Perpustakaan Nasional. Adapun sumber sekunder berupa buku-buku tentang Banggai didapatkan di Perpustakaan Daerah Gorontalo. Sementara sumber lisan dapat digunakan sebagai tambahan, pembanding, dan gambaran rinci dengan harapan bahwa ingatan yang dilestarikan antar-generasi secara turun-temurun dapat menguak masa lampau yang tidak terekam oleh tulisan.

Sumber-sumber primer yang telah dikumpulkan harus dikoreksi ulang, sebab titik tolak semua karya sejarah adalah mengenal penggunaan sumber primer maupun sekunder (Gottshalk, 1986: 35-40). Selain itu, landasan utama metode sejarah adalah bagaimana menyeleksi bukti-bukti sejarah yang sesuai dengan pokok permasalahan yang akan ditulis. Sumber itu dapat berupa arsip dan surat-surat pribadi. Bukti-bukti ini dipelajari kemudian dipertimbangkan, mana yang sesuai dengan pokok masalah (Frederick, 1984:13-14). Langkah inidilakukan dengan mengingat bahwa setiap keterangan tidak luput dari arti subyektif.

Selanjutnya dilakukan kritik sumber baik otentitas atau keabsahan sumber sebagai kritik eksteren maupun kredibilitas atau bisa tidaknya dipercaya sumber tersebut sebagai kritik intern (Kuntowijoyo, 1995:100). Kemudian dilakukan

interpretasi dengan merangkai, menghubungkan,

dan menerangkan fakta-fakta yang ada kaitannya dengan permasalahan sehingga dapat disusun menjadi suatu historiografi (Kartodirdjo, 2014:1-2). Historiografi merupakan hasil penafsiran pada sejumlah fakta yang telah disusun secara kronologis menjadi suatu kesatuan peristiwa sejarah yang jelas dan selaras. Tahapan ini berupa rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh suatu proses dalam ilmu sejarah disebut metode sejarah (Gottshalk, 1986:32).

Wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan keterangan tambahan (sumber sekunder), dengan terlebih dulu menetapkan dan memilih informan yang dianggap banyak mengetahui peristiwa sejarah Bolango. Proses wawancara dilakukan secara bebas, artinya peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap

untuk pengumpulan data-datanya. Pedoman wawancara hanya menggunakan garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskripsi analitik, dengan membeda-bedakan atau menguraikan suatu peristiwa ke dalam bagian-bagian untuk memahami perubahan sosial politik Bolango. Hal ini dapat memberikan sebuah pengertian tentang sejarah sebagai suatu proses, sehinggaapa yang telah terjadi dapat direkonstruksi kembali. PEMBAHASAN

Asal Mula Suku Bolango

Tradisi lisan Bolango menyatakan bahwa komunitasnya berasal dari Pulau Batang Dua yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Ternate. Sumber-sumber mengenai Bolango dalam kaitannya dengan Pulau Batang Dua masih kurang diketahui. Yang jelas bahwa penamaan pulau itu sebagai ‘Batang Dua’ telah mendapat pengaruh bahasa Melayu.3 Pulau Batang Dua adalah nama Kecamatan Kota Ternate untuk kepulauan dengan dua pulau kecil di dekat Ternate, yaitu Pulau Mayau dan Tifure. Letak Pulau Batang Dua berada di jalur pelayaran Malaka – Maluku. Jalur ini juga dimanfaatkan para pelaut Eropa khususnya Spanyol dan Portugis dalam kekuasaannya di Maluku (Alwi, 2005:322).

Kelompok Bolango sebagai masyarakat maritim memberi peluang untuk melakukan interaksi dengan dunia luar. Menurut Alfred Thayer Mahan bahwa apabila keadaan pantai suatu negeri memungkinkan penduduknya untuk turun ke laut, maka mereka akan lebih bergairah untuk mencari hubungan ke luar melalui laut (Poelinggomang, 2002:13). Dorongan untuk menjalin hubungan ke luar berkaitan dengan kecenderungan penduduknya untuk berdagang atau mencari daerah baru atau kegiatan ekspansi.

3 Para pelaut dari luar sering menyebutnya Pulau

Batang Dua. Di kalangan pelayar atau pelaut Sangihe nama Batang Dua adalah nama pulau dalam bahasa

sasahara (bahasa yang secara khusus digunakan di

laut yang berbeda dengan nama populer yang diketahui umum).

(5)

Kelompok Bolango sebagai pengembara laut (seafarer), melakukan pelayaran dan akhirnya bermukim di Pulau Lembeh yang terletak di bagian ujung timur Pulau Sulawesi bagian utara. Setelah bermukim di Pulau Lembeh, kelompok ini kemudian menyebut identitasnya sebagai kaum Bolango. Nama tersebut disebut diambil dari kata bahasa Bolango yaitu moBolango artinya menyeberang lautan.

Komunitas atau suku Bolango merupakan suku pengembara yang terus mencari kehidupan di daerah-daerah baru yang dianggap sebagai tempat pemukimannya. Suku Bolango telah ada sekitar 1320, namun beberapa pendapat menyatakan sekitar 1335 (Nur, 1949; Joesoef dan Gobol, 1986:7). Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa suku Bolango telah melakukan aktifitasnya di perairan Sulawesi bagian utara sekitar abad ke-14.

Pulau Lembeh (wilayah administrasi Kota Bitung), pada awalnya mereka namakan “lombe” atau tempat yang menjorok keluar.4 Pulau Lembeh bagi kalangan orang Minahasa (Tonsea) disebut sebagai Punten ni Rumoyoporong. Hal disebabkan karena pulau tersebut merupakan tempat bermukimnya para kaum keturunan Toar Lumimuut yang bernama Rumoyoporong (Riedel, 1862:34).

Meski demikian, Haga (1931:17) berpendapat bahwa penduduk Bolango mula-mula berasal dari Suwawa (Gorontalo). Dalam tradisi lisan dikisahkan bahwa seorang Raja Bolaang Mongondow telah menemukan di dalam hutan satu suku yang mengikutinya ke Mongondow, dimana mereka disebut Bolango. Sebagian berpindah dari situ ke Gorontalo, dan bertempat tinggal di Tapa, sebagian lainnya pergi ke Attingola. Jika diamati daerah Suwawa tidak terkait dengan suku budaya bahari yang utama di Sulawesi Utara. Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa daerah Suwawa merupakan awal

4 Syair sastra lisan pengiring tarian danghisa:

lembeh-lembeh Lripu asalri, lripu aslari no Bolranga. Di

samping syair sastra lisan, terdapat juga tradisi lisan yang sampai sekarang masih diyakini tentang Bolango dan Atinggola yang menyebut Pulau Lembeh sebagai pulau titik awal persebaran di Sulawesi Utara dan Gorontalo.

masuknya penyebaran suku Bolango di wilayah Gorontalo melalui Mongondow.

Di Pulau Lembeh, suku Bolango dipimpin oleh Wintuwintu antara tahun 1320-1350 yang dikenal sebagai seorang pemberani dan tidak takut dengan para perompak yang telah berkeliaran di kawasan tersebut (Lipoeto, 1949:1). Mereka memilih pusat pemukimannya di wilayah Papusungan (sekarang Kecamatan Lembeh Selatan, di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara). Beberapa sumber menyebut Wintuwintu sebagai pemimpin pertama suku Bolango.

Dalam syair pengiring tari danghisa dinyatakan selain sebagai pemimpin pertama juga dikisahkan perjalanan kelompok Bolango di berbagai tempat, seperti berikut:

Wintu Wintu raja pertama

Wintuwintu adalah raja pertama

Dotulungo jadi utama

Dotulungo adalah raja paling utama

Di Negri Lembeh ke Lembe Koba di

Lembeh pindah ke Lembe Koba

Di Minahasa Tonsea Lama dan pindah ke

Minahasa di Tonsea Lama Migrasi Suku Bolango

Migrasi atau pengembaraan suku Bolango dapat diketahui dari tradisi lisan di kalangan masyarakat Bolango. Dalam tradisi lisan “Pulisan Laki-laki dan Pulisan Perempuan”, dikisahkan sedikit tentang Bolango. Demikian pula nama-nama tempat yang pernah dihuninya antara lain Pulau Lembeh maupun di wilayah Minahasa (sekarang Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Bitung). Selain itu, mereka juga menetap di Tonsea Lama,5 Gunung Klabat atau Kalawat, Gunung Dua Sudara, Kaburu(k)an atau Kema, Tanjung Pulisan, dan Lempekoba/Lempokoba atau Lembekoba. Lokasi-lokasi pemukiman

5 Dalam beberapa dokumen ditulis nama Tonsea

Lama, lokasinya berada di pegunungan dikenal dengan nama Tonsea Ure. Setelah menetap di Tonsea Lama, kemudian mereka memilih untuk menetap ke tempat yang baru disebut Tonsea. Setelah masa kekuasaan Spanyol dan Portugis daerah ini dikenal dengan nama Kema.

(6)

tersebut sebagian besar masih diketahui sekarang, kecuali wilayah Lempekoba yang belum diketahui lokasinya. Proses migrasi suku Bolango dari Pulau Lembeh hingga ke Tonsea Lama ternyata juga diikuti dengan pergantian pimpinan suku dari Wintuwintu yang pada 1350 digantikan kedudukannya oleh Dotulong (Lipoeto, 1949:1).

Pada masa kepemimpinan Dotulong mulai dilakukan pembaharuan dalam sistim kepemimpinan suku dengan mengadakan pemimpin unit-unit kecil dalam suku Bolango (Gobel, 2012:2). Hal ini juga dinyatakan dalam syair pembuka tari danghisa. Dotulong merupakan anak dari Wintuwintu, namun tidak mempunyai minat untuk mengembara atau mencari daerah baru sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Wintuwintu. Dotulong memimpin suku Bolango di Pulau Lembeh dan Kema. Walaupun demikian suku Bolango yang menetap di Pulau Lembeh, Lempokoba, dan Tonsea Lama seringkali terlibat perseteruan hingga peperangan dengan orang-orang Tonsea. Akhirnya suku Bolango terdesak dan Dotulong meninggal di Tonsea Lama. Sehubungan dengan meninggalnya Dotulong, maka pada 1381, Mongolaing diangkat sebagai pemimpin (Joesoef dan Gobol, 1986:7).

Masa kepemimpinan Mongolaing tidak begitu lama, karena tidak mempunyai kecakapan dalam memimpin. Kemudian pada 1390, Mongolaing menyerahkan kepemimpinannya kepada saudara perempuannya bernama Putri Daopeyago. Putri Daopeyago mempunyai kepemimpinan kharismatik, dan dikenal sebagai pemimpin perempuan pertama suku Bolango. Ia dikenal memiliki kesaktian dan keberanian, sehingga disegani oleh anggota suku Bolango. Putri Daopeyago melakukan pengembaraan dari satu ke tempat lainnya dengan berlayar ke arah barat mengikuti arah matahari. Tentang perjalanannya dikisahkan dalam “syair danghisa” yaitu:

Pada zaman raja Perempuan Daopeyago puteri Bangsawan Di Lempokoba buat ramalan Lalu datang satu ubahan Daopeyago ratu bangsawan Telah membuat satu kepindahan

Arah Buyat ke Kotabunan

Di Tinempah diperkotakan (Joesoef dan Gobol, 1986:8).

Di Lembah Molibagu, Putri Daopeyago mengambil segumpal tanah (buta no dirlata) dan bersumpah bahwa di kemudian hari wilayah ini akan menjadi tempat pemukiman bagi orang-orang Bolango. Pernyataan sumpah bagi Putri Daopeyago sangat dihormati bagi suku Bolango. Sejak saat itu kolompok Bolango percaya bahwa nantinya suku mereka akan kembali ke Lembah Molibagu bagi suku Bolango disebutnya sebagai

buta dillata atau buta dalitta (Gobel, 2012:2).

Setelah menetap di Lembah Molibagu, suku Putri Daopeyago kembali melanjutkan perjalanannya menuju Pegunungan Tolutu. Di tempat ini mereka mendirikan pemukiman yang dikembangkan menjadi perkampungan. Bagi mereka daerah ini disebutnya lipu lagido (negeri lama) Tinempa.6 Tinempa dalam dokumen Gorontalo dan bagi orang Bolango menyebutnya sebagai Mongoladea atau Mongoladia yang berarti ketinggian. Beberapa lama kemudian Putri Daopeyago wafat di daerah Tolutu atau Tinempah. Setelah itu, kembali suku Bolango mencari daerah baru menuju ke wilayah Gorontalo. Kedudukan Putri Daopeyago digantikan suaminya bernama Pasuma (Botutihe, 2007:32). Dalam masa pemerintahan raja beberapa kelompok suku Bolango mulai menetap di wilayah Suwawa, Limboto, dan Gorontalo.

Suku Bolango yang dipimpin Mogulaingo menetap di Polangguwa (Gorontalo) kemudian memilih untuk meninggalkan tempat tersebut. Pada 1673, Eyato sebagai Olongia (raja) Gorontalo mengusulkan kepada Mogulaingo bersama pengikutnya untuk menetap di Gorontalo. Permintaan raja Gorontalo diterima oleh pemimpin suku Bolango, kemudian mereka membangun pemukiman di Tapa dan dikembangkan menjadi sebuah kerajaan. Bahkan Kerajaan Bolango masuk dalam kerajaan-kerajaan sekutu

6 Juga ditulis sebagai Tinempah atau Tinempaho.

Meski lebih sering disebut sebagai Mongoladia yang berarti ketinggian, karena tempat ini berada pada ketinggian dengan jarak 8 kilometer dari garis pantai. Bekas tempat yang didirikan Putri Daopeyago sekarang ini masih dapat ditemukan sisa-sisa peninggalannya.

(7)

(bondgenootschappelijke landen), kemudian

dikenal dengan Limo lo Pohalaa (persekutuan lima kerajaan) terdiri dari Gorontalo (Hulontalo); Limboto (Limutu); Bone-Suwawa-Bintauna; Bolango; dan Atinggola (Andagile).

Kerajaan Bolango ibukotanya berada di Tapa (sekarang Kabupaten Bone Bolango, di Provinsi Gorontalo). Walaupun telah dibentuk sebuah kerajaan, penduduk Bolango yang menetap di Tapa kemudian beberapa di antaranya melakukan migrasi dan menetap di wilayah Kerajaan Atinggola (sekarang Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo). Faktor ini menyebabkan hubungan antara Bolango dan Atinggola sangat kuat, hal ini tercermin dalam bahasa yang sama (Sneddon, 1986:409-410).

Selain kesamaan bahasa, baik Bolango maupun Atinggola mempunyai kemiripan tradisi lisan tentang asal-usulnya, yaitu sama-sama menyatakan bahwa mereka berasal dari Pulau Batang Dua dan melakukan perjalanan menuju Pulau Lembeh. Kesamaan lainnnya adalah proses pelaksanaan upacara-upacara keagamaan, serta banyaknya kesamaan dalam penamaan marga. Pembentukan Kerajaan Bolango

Proses terbentuknya Kerajaan Bolango di Tapa berlainan dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Kerajaan Bolango berawal dari kesepakatan Mongulaingo sebagai pemimpin suku Bolango dengan kedua saudara untuk membentuk kerajaan baru. Selanjutnya, Mongulaingo diangkat sebagai raja (olongia) melalui proses kesepakatan kedua saudaranya dan anggota suku Bolango. Latar pendirian dan pembagian peran kerajaan yang disetujui bersama menjadi dasar konsep dan susunan kerajaan. Untuk mempermudah pemerintahan kerajaan, Olongia Mogulaingo membentuk tiga wilayah

marsaoleh yaitu Marsaoleh Toluaja, Huidu, dan

Popodu. Juga untuk membantu tugas marsaoleh, dibentuk tiga walaapulu yaitu walaapulu Bilalantunga, Duminanga, dan Totoija (Lipoeto, 1949: 2-3). Kedudukan marsaoleh dan walaapulu secara langsung memegang peranan penting pada politik birokrasi kerajaan dan sebagai tiang utama dalam birokrasi kerajaan.

Kerajaan Bolango mengalami kemajuan setelah masuk dalam persekutuan Limo Lo

Pohalaa yang artinya adalah lima kerajaan yang

bersaudara dan secara bersama-sama berpedoman pada agama dan adat istiadat yang sama. Tentu kelimanya punya kepentingan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan militernya yang sama dan diupayakan bersama.

Pada struktur birokrasi Kerajaan Bolango terdapat penguasa tertinggi yang dijabat olongia

lipu (raja negeri). Di awal pembentukan kerajaan, olongia dibantu oleh tiga wulea lo lipu dan tiga

walaapulu. Perkembangan kerajaan selanjutnya, struktur birokrasi kerajaan mengalami perluasan dengan menambahkan jabatan huhuhu, apitalau, dan kadli.

Pada pelaksanaan pemerintahan kerajaan terdapat olongia sebagai penguasa tertinggi (wisesa) yang dibantu huhuhu (saudara tua) yang bertugas membantu menjalankan urusan pemerintahan bersama wulea lo lipu dan

walaapulu. Selain itu, mereka bertugas mengatur

hukum, dan tata tertib kerajaan. Adapun untuk urusan keamanan kerajaan dijabat apitalau, sebagai panglima yang menjaga keamanan kerajaan dan mengatur pasukan jika kerajaan dalam perang.

Pada tingkat struktur masyarakat terdapat 5 lapisan sosial. Pertama, olongia dan keluarganya. Kedua, ponimpalo sebagai bangsawan atau golongan yang berhak menduduki jabatan

huhuhu. Ketiga adalah timbuli atau disebut juga

bangsawan menengah, golongan tersebut hanya berhak menjabat sebagai wulea lo lipu. Keempat adalah golongan penduduk kebanyakan sebagai abdi yang merdeka. Kelompok kelima adalah

wato atau budak (Lipoeto, 1949:3).

Dari gambaran birokrasi di atas tampak jelas bahwa peranan olongia, huhuhu, dan wulea lo lipu sangat besar dan penting dalam kelangsungan suatu kerajaan. Di samping merumuskan dan menetapkan peraturan dalam kerajaan, para pejabat tinggi kerajaan tersebut juga mengatur kehidupan keagamaan dan adat istiadat.

(8)

Hubungan dengan VOC

Munculnya pengaruh VOC, khususnya pada Kerajaan Bolango atau umumnya pada perserikatan Limo Lo Pohalaa, terkait dengan penandatanganan Perjanjian Bungaya, tanggal 18 November 1667. Langkah awal dilakukan VOC dengan melakukan kunjungan resmi ke negeri-negeri yang dikuasai Gowa dan Ternate dimaksudkan untuk menguatkan penetrasinya atas hegemoni kekuasaan Gowa dan Ternate. Pada September 1677, Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge mengunjungi Gorontalo (Bastiaans, 1996:203-204). Disampaikan tujuan Gubernur Padtbrugge, yaitu memberitakan tentang telah disepakatinya Perjanjian Bungaya, yang pada pasal 17 dicantumkan bahwa Sultan Gowa mengakui hak-hak Ternate atas semua daerah Sulawesi yang letaknya antara Pulau Selayar dan Manado, serta semua tanah yang terbentang sampai Mandar.7

Setelah Olongia Mogulaingo menjabat sebagai raja, maka kedudukan sebagai olongia digantikan oleh putranya bernama Sangiandatu sebagai olongia atau raja Bolango. Kepemimpinan raja pengganti ini telah memajukan struktur birokrasi Kerajaan Bolango. Dalam sastra lisan syair danghisa dikisahkan pergantian raja-raja sampai masa Sangiandatu.

Mogolaing raja ketiga Seri Pasuma raja kelima Tinggal tetap selama-lama Di Tinempah di negeri lama Titingio Puteri Dermawan Ratu keenam memangku kerajaan Mogolaing seri bangsawan Raja ketujuh asal gunawan Sangian-datu Seri Budiman Paduka raja yang ke-delapan

7 Dalam pasal 17 Perjanjian Bungaya memuat

bahwa Sultan Ternate wajib menyerahkan dan mengembalikan semua orang yang telah diambil dari Sula bersama meriam dan senapan. Demikian pula Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai Kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai dan Kepualuan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri antara Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.

Sudah bertahta di singgasana

Di Bolango Tapa Negeri Utama (Joesoef, 1986:9).

Dalam masa awal kekuasaannya, VOC mengajukan kontrak bagi persekutuan Limo

Lo pohalaa antara lain di bidang pelayaran

sungai, penguasa Gorontalo, Limboto, Bolango, Bone-Suwawa-Bintauna, dan Atinggola wajib menjamin kelancaran dan keamanan jalur pelayaran dan perdagangan yang menggunakan sungai tersebut. Mulai dari Sungai Gorontalo hingga menyusuri lereng Pegunungan Bolango dan Atinggola diatur. Selanjutnya, dari hilir sungai sampai ke Dumoga semua pagar yang sebelumnya dipasang oleh pasukan Bia harus disingkirkan dan kapal-kapal VOC diutamakan untuk menyusuri sungai tersebut, khususnya untuk mengambil produk hasil bumi dan hasil hutan dari Atinggola (Juwono: 2005:105).

Selain itu, setiap kerajaan yang tergabung dalam Limo Lo Pohalaa diwajibkan memberi upeti emas kepada VOC, dan setiap penguasanya akan diangkat dan diberhentikan di Ternate, serta semua tatacara dan adat kerajaan akan diatur secara bersama-sama (Polontalo, 1986:16). Sehubungan dengan adanya penyelundupan dan perdagangan emas, menyebabkan raja Bolango, Sangiandatu dan raja Atinggola diperintahkan oleh utusan VOC di Gorontalo agar mereka mencegah perpindahan penduduknya yang membuka pemukiman di sepanjang Sungai Gorontalo.

Meskipun VOC telah mengambil tindakan pencegahan dengan mengeluarkan peringatan kepada penguasa Limo Lo Pohalaa, namun penyelundupan dan perdagangan emas gelap tetap saja berlangsung. Mengetahui adanya penyelundupan emas, Residen VOC di Manado mengutus Sekretaris Beseler ke Gorontalo. Dalam perjalanannya, selain membahas bersama dengan Raja Gorontalo dan Raja Limboto, dia juga mengunjungi Raja Bolango dan Raja Atinggola. Dalam laporannya, dinyatakan bahwa seluruh wilayah Gorontalo bersama Limo Lo Pohalaa mampu menyetor 1000 keping emas kepada VOC. Beseler memberikan masukan agar dikirim kekuatan besar ke Gorontalo untuk menjamin

(9)

kepentingan penyetoran emas bagi VOC (Juwono, 2005: 127-128).

Atas usul Beseler, Residen Manado juga memberikan tekanan kepada raja Bolango dan raja Atinggola agar melakukan penggalian emas di wilayahnya seperti apa yang telah dilakukan Gorontalo dan Limboto. Penduduk Bolango dan Atinggola juga wajib menyetorkan emas seperti halnya Gorontalo dan Limboto dengan imbalan bahwa kerajaan mereka akan selalu dilindungi dari ancaman kerajaan lain.

Pada pertengahan abad ke-18, pemerintah VOC di Batavia menuntut kepada Gubernur VOC di Ternate agar menambah jumlah pengiriman emas ke Jawa.8 Langkah ini diambil VOC dengan meminta penambahan jumlah tenaga penggali emas kepada raja Gorontalo dan Limboto. Pada awal Maret 1746, Gubernur Maluku, Gerardus van Blokland memanggil raja Gorontalo dan Limboto ke Ternate. Setelah melalui pembicaraan tentang penyetoran emas dan pembangunan benteng VOC di Gorontalo, akhirnya pada 19 Maret 1746 disepakatilah kontrak baru yang memuat 10 pasal VOC (Juwono, 2005:162).

Dalam pasal 3 dinyatakan bahwa Gubernur dan dewan VOC juga berusaha mengatur para penguasa rendahan (para penguasa daerah di sepanjang Teluk Gorontalo atau Tomini) agar memberikan sumbangan tenaga kerja atau penduduknya untuk membantu pembangunan benteng dan penggalian emas bersama residen yang mengaturnya.

Tentang tuntutan jumlah tenaga kerja yang diwajibkan, raja Bolango, Bone, Atinggola, dan Bintauna mengirim tenaga kerjanya masing-masing 16 orang. Sedangkan, penguasa Lembuno, Sinding, Sikabu, Bega, Lembu, dan Tampe masing-masing mengirim 8 orang (Juwono, 2005:162).

8 Hal ini disebabkan sejak awal abad ke-18

neraca perdagangan VOC mengalami defisit sebagai akibat dari pergeseran prioritas komoditi dagang rempah-rempah menjadi tanaman perkebunan tropis. Faktor ini menyebabkan kurangnya pemasukan nilai perdagangan bagi VOC. Untuk menutup kerugian tersebut maka salah satunya jalan bagi VOC dengan meningkatkan eksplotasi emas di Gorontalo.

Setelah disepakatinya kontrak tersebut, Raja Gorontalo, Botutihe segera mengumpulkan para bangsawan dan raja Bolango, Atinggola, Bintauna dan raja-raja rendahan lainnya untuk membicarakan masalah isi kontrak. Dalam pembicaraan tersebut mereka wajib menerima pasal-pasal dalam kontrak tersebut. Dalam kontrak-kontrak yang dibuat VOC dan disepakati oleh raja-raja dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa hampir semua kewajiban yang dituntut oleh VOC dipenuhi oleh raja-raja pribumi. Akibatnya hubungan antara VOC dengan para penguasa pribumi di daerah Limo Lo Pohalaa berhasil dipulihkan. Dalam periode tersebut ketegangan di daerah semakin berkurang. Perseteruan antara raja pribumi berhasil diredakan baik lewat perantaraan VOC maupun dengan kesepakatan di antara penguasa.

Pada 1752, Raja Sangiadatu digantikan kedudukannya sebagai raja Bolango oleh Hubulo (Gobel). Raja Hubulo merupakan garis keturunan ke sembilan dalam silsilah raja-raja Bolango. Pada masa kekuasaannya, terjadi perubahan penting dalam kehidupan penduduk Bolango setelah masuknya agama Islam di dalam kerajaan. Raja Hubulo disamping sebagai raja, juga seorang ulama dan merupakan peletak dasar Islamisasi di Bolango. Setelah menyiarkan agama Islam di Bolango, atas usahanya mengislamkan penduduk Bolango, raja Hubulo mendapat gelar aulia salihin (Lipoeto, 1949:3).

Masuknya pengaruh Islam di dalam masyarakat Bolango mengakibatkan terjadinya pembaharuan dalam kerajaan dengan mengembangkan prinsip adat dan kebiasaan masyarakat disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kerajaan mulai ditetapkan bahwa pentingnya adat istiadat disesuaikan dengan syari’ah Islam.

Prinsip-prinsip adat menjadi pegangan utama dalam menjalankan pemerintahan kerajaan serta hubungannya dengan masyarakat yang berpola pada kehidupan islami. Dapat dikatakan bahwa penyebaran agama Islam yang dilakukan raja Hubulo, lebih menguntungkan dan mempercepat saluran islamisasi dalam masyarakat Bolango. Keberhasilan penyebaran Islam di kalangan penduduk Bolango disebabkan

(10)

oleh status politik dari raja Hubulo. Islamisasi dapat dilakukan lebih mudah penerimaan dan penyebarannya di kalangan penduduk sangat efektif, karena raja Hubulo mempunyai wibawa dan kharismatik di tengah masyarakatnya.

Pada 1772, Raja Hubulo wafat dan disebut sebagai raja yang paling berwibawa dan kharismatik. Hubulo berkuasa sebagai raja Bolango selama dua puluh tahun dan keturunannya diangkat sebagai raja-raja Bolango di beberapa wilayah, baik saat Kerajaan Bolango di Tapa, maupun di Atinggola, Lombagin, Uki, Walugo, dan sampai ke Molibagu.

Setelah raja Hubulo wafat, maka kedudukannya sebagai olongia (raja) digantikan oleh Mokosisi. Pada masa pemerintahan raja Mokosisi, intervensi VOC semakin kuat dengan adanya tuntutan penyetoran butiran emas setiap tahunnya dan penyediaan tenaga kerja untuk menggali emas atau pembangunan benteng dan

loji VOC.

Pada 1778, Raja Mokosisi diganti kedudukannya oleh Polingala. Pada masa kekuasaannya, raja Polingala diingatkan kembali pada kewajiban-kewajiban yang dimiliki Kerajaan Bolango atas perjanjian-perjanjian yang sebelumnya yang telah disepakati oleh raja-raja Bolango terdahulu. Perjanjian terutama pada penggalian emas dan penyetoran wajib emas senilai 1200 setiap tahunnya kepada VOC (Juwono, 2005: 200). Hubungan Kerajaan Bolango khususnya, dan Limo lo Pohalaa pada umumnya dengan VOC berlanjut dalam rentang waktu yang amat panjang. VOC secara perlahan menggeser kedudukan olongia (raja) dan memperoleh hak politik dan ekonomi untuk mengatur kekuasaannya di wilayah.

Pada akhir abad ke-18, VOC mengalami kebangkrutan disebabkan oleh merajalelanya korupsi yang berdampak pada krisis keuangannya. Pemerintah Hindia-Belanda yang menggantikan VOC melanjutkan apa yang selama ini sudah dikerjakan oleh maskapai dagang Belanda tersebut dengan tujuan memperoleh penghasilan sebagai upeti dan laba perdagangan.

Kebijakan Politik Pemerintah Hindia Belanda

Setelah dilaksanakan penyerahan kekuasaan VOC, Pemerintah Hindia-Belanda melakukan berbagai perubahan dalam usaha menjalankan pembaharuan administrasi. Mengingat masa kevakuman yang berlangsung telah menimbulkan perubahan, sementara di sisi lain, para petinggi Belanda berkesimpulan bahwa kebijakan pada masa VOC tidak lagi memadai untuk dipertahankan. Gubernur Jenderal Baron van der Capellen akhirnya memandang perlu untuk melakukan kunjungan langsung ke daerah-daerah jajahannya.

Pada awal 1824, Gubernur Jenderal Baron van der Capellen mengunjungi Minahasa dan Gorontalo. Dari hasil kunjungannya itu, disimpulkan untuk menyusun kebijakan, khususnya untuk daerah Gorontalo. Van der Capellen menyadari bahwa, adalah sebuah kesalahan pemerintahan menempatkan Gorontalo di bawah Ternate. Hal ini disebabkan karena kondisi sosial dan sifat masyarakat Minahasa dan Gorontalo dengan Maluku sangat berbeda, sehingga tidak mungkin menerapkan suatu kebijakan yang sama (Juwono, 2005:252-253).

Pada 14 Juni 1824 terjadi perubahan susunan tatanegara Hindia-Belanda. Bolango sudah dipisahkan dari wilayah Karesidenan Ternate dan dimasukan dalam Karesidenan Manado. Walaupun demikian, Karesidenan Manado termasuk dalam pengawasan Gouverneur yang berkedudukan di Kepulauan Maluku. Dalam susunan Karesidenan Manado terbagi atas 2 bagian yaitu:

1. Minahasa terdiri dari Manado beserta kerajaan-kerajaan kecil di sebelah barat dan selatan sampai di Kadjeli-Palos.

2. Kerajaan-kerajaan Gorontalo, Limboto, Bolango, Atinggola, Bone, Suwawa, dan lainnya di Teluk Tomini sampai ujung Taliabo.

Masing-masing diperintah oleh seorang asisten residen yang diperbantukan oleh residen Manado. Selanjutnya ditambahkan bahwa wilayah Karesidenan Manado juga meliputi wilayah Kepulauan Sangir dan Talaud.

(11)

Berdasarkan konsep politik pemerintahan kerajaan yang telah dibentuk, kemudian dikeluarkan Besluit Gubernur Jenderal van der Capellen 1824 Staatsblad No. 28a. Selanjutnya, pada 2 Nopember 1833 Pemerintah Hindia-Belanda menempatkan seorang gezaghebber yang wilayah kekuasaannya tidak hanya terbatas pada Gorontalo, tetapi juga Limboto, Bone-Bintauna-Suwawa, Bolango, dan Attinggola (Kartodirdjo, 1973:373).

Pada struktur birokrasi Kerajaan Bolango terdapat olongia (raja) yang mengurus kepentingan pribumi (pemerintah kolonial menyebutnya

negorij radja). Tugas raja dibantu oleh jogugu, kapitan laut, wulea lo lipu, walaapulu, majulu, hukum, taudaa, (kepala kampung), dan kapala dapulu.

Kedudukan olongia sebagai penguasa ter-tinggi kerajaan, diwajibkan untuk mementingkan urusan pemerintahan kerajaan dan kepentingan penduduknya. Raja mempunyai kekuasaan atas segala urusan penduduk pribumi dan menarik pajak pribumi. Tugas raja dibantu oleh

jogugu sebagai patih atau mangkubumi yang

bertugas membantu dan membawahi langsung pemerintahan kerajaan.Tugas jogugu dibantu oleh hukum yang membawahi pengadilan agama yang dijabat oleh kadli, dan pengadilan umum dijabat hakim. Urusan keamanan kerajaan dijabat

kapitan laut, tugas utamanya melindungi raja dan

kerajaan, dan mengatur pasukan jika kerajaan dalam perang. Pelaksanaan tugas kapitan laut dibantu oleh para mayulu (Tacco, 1935:95).

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang mengatur pemerintahan kerajaan menyebabkan raja Bolango dan pembesar kerajaan kecewa dan menolak diperintah Pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya disepakati untuk bermigrasi ke daerah Bangka, dekat muara Bolaang Mongondow dalam wilayah Bolaang Mongondow (Henley, 2005:183).

Ketika keluarga kerajaan dan pembesar kerajaan akan meninggalkan daerah Bolango, beberapa penduduk mempertanyakan kepada raja antara lain: “LapataO maa pongola utiye

Bolango?”, artinya ’’Bagaimana nantinya keadaan

Bolango?’’. Selanjutnya, raja menjawab ”Donggo

popo tapato pomaO”, yang artinya untuk

sementara kita tinggalkan dulu, dan “Tapa-tapato

PomaO”, artinya ’’Daripada kita mau diatur dan

bekerja sama dengan Pemerintah Belanda’’ (H. Yamin Husain dan Hamid R Delalu, wawancara tanggal 9 Mei 2013 di Desa Kramat, Kec. Tapa, Kab. Bone Bolango).

Dalam kurun waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda menerapkan pembangunan ekonomi melalui “cultuurstelsel”. Dalam historiografi Indonesia tradisional, istilah itu diganti dengan sistim “Tanam Paksa”, artinya yang menonjol dari aspek normatif pelaksanaannya adalah penderitaan penduduk. Istilah cultuurstelsel bagi Hindia-Belanda terbatas pada aspek ekonominya, namun dalam pelaksanaannya sangat menonjol aspek politiknya. Dengan demikian, sebenarnya Pemerintah Hindia-Belanda bertujuan untuk menghidupkan kembali sistem VOC.

Gubernur Jenderal Johannes Graaf van den Bosch mengeluarkan keputusan tentang pelaksanaan cultuurstelsel di seluruh wilayah Hindia-Belanda. Sehubungan dikeluarkannya keputusan Gubernur Jenderal itu, Gubernur Maluku mengundang Raja Gorontalo Mohammad Iskandar Pui Monoarfa ke Ternate untuk menandatangani perjanjian penanaman kopi di wilayah Gorontalo. Dalam pelayarannya ke Ternate, Raja Monoarfa didampingi Raja Bolango, Abdullatif bin Muhammad Saleh Tilahungga Wadipalapa.

Pada 9 Januari 1828 ditandatangani-lah perjanjian tersebut, kemudian Raja Monoarfa memerintahkan pembesar Kerajaan Gorontalo, Limboto, Suwawa-Bone-Bintauna, Bolango dan Atinggola untuk menghadap Asisten Residen Samel Moleh di kediamannya. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan tentang perjanjian penanaman kopi dalam wilayah Limo Lo Pohalaaa, dan selanjutnya disepakati untuk menerima perjanjian tersebut. Mengenai pemasaran harga kopi ditetapkan pada pasal 11 kontrak 9 Januari 1828 itu yang memuat bahwa harga kopi ditetapkan sebesar f. 16/pikul.

Sekembalinya ke Gorontalo, Raja Gorontalo Mohammad Iskandar Pui Monoarfa bersama Raja Bolango Abdullatif bin Muhammad Saleh Tilahungga Wadipalapa memerintahkan kepada petani untuk menanam kopi, khususnya di

(12)

kawasan kaum Tapadaa, Talumelito, Bulobuta, Bulila, Tapodu, Tabango, Tomula, dan Tohupa. Kedua raja juga menginstruksikan kepada para

wulea lo lipu dan taudaa di setiap kampung untuk

membuka kebun kopi.

Setelah dikeluarkan instruksi tersebut, kedua raja mengeluarkan keputusan kepada para

wulea lo lipu dan taudaa agar setiap tahunnya

bagi pemilik kebun kopi wajib melunasi pajaknya. Kebun kopi umumnya dibudidayakan pada tanah yang agak tandus (woeste gronden) yang tidak dapat difungsikan sebagai persawahan, sehingga pembudidayaan tanaman kopi dilakukan pada lereng-lereng gunung. Kebanyakan tanaman kopi diusahakan pada Kampung Biawao yang setiap kebunnya ditanami sekitar 40 pohon.

Untuk meningkatkan hasil kopi lagi, raja memerintahkan petani untuk menanam pohon kopi di setiap pekarangan rumah (kintal). Dalam Kampung Biawao terjadi peningkatan aktifitas petani pada penanaman kopi, setiap rumah penduduk terdapat 50 sampai 75 pohon kopi. Keseriusan penanaman kopi bukan hanya dilakukan oleh raja, tetapi asisten residen yang seringkali melakukan pemeriksaan kebun kopi di setiap kaum. Umumnya hasil komoditi kopi dijual petani ke gudang-gudang milik Pemerintah Hindia Belanda.

Selain tanaman kopi, Pemerintah Hindia-Belanda juga menginstruksikan komoditas yang menjadi permintaan pasar dunia. Beberapa produk komoditas juga yang dibudidayakan seperti tebu (untuk gula), indigo (nila) dan tembakau. Persamaan dari semua produk tersebut adalah bahwa penduduk atau petani dipaksa oleh pemerintah kolonial untuk memproduksinya.

Dampak dari cultuurstelsel memang menciptakan ekspor besar-besaran dari produk-produk agraria, dengan keuntungan dari penjualannya mengalir ke Belanda. Tidak mengherankan keuntungan yang didapat dari

cultuurstelsel membuat krisis keuangan Negara

Belanda dapat teratasi. Demikian pula halnya dengan perkembangan Gorontalo, terutama setelah ditemukannya pertambangan-pertambangan emas yang menghasilkan keuntungan besar di pihak Pemerintah Hindia Belanda melalui penarikan pajak tambang dan penjualan emas.

Pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian besar terhadap penghasilan pajak emas, sehingga mengutus Residen Manado van Holven ke Gorontalo dan menyampaikan perjanjian baru tentang penyerahan emas setiap tahun bagi Gorontalo ditingkatkan sebesar 776 real, dan Boalemo sebesar 100 real. Pemerintah Hindia-Belanda juga membebankan kerajaan-kerajaan, yang sebelumnya tidak diwajibkan, juga untuk menyerahkan emas, seperti Attingola sebesar 50 real dan Bolango sebesar 75 real (Kartodirdjo, 1971:173).

Dalam usaha memperkuat kepentingan politik dan ekonominya, Pemerintah Hindia-Belanda menekan raja Bolango untuk menandatangani kontrak yang ditetapkan pada 7 Pebruari 1829 yang memuat 19 pasal, antara lain raja mengakui kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda; Sehubungan migrasi banyaknya penduduk Bolango di Bangka, maka pada 5 Pebruari Bangka dimasukkan dalam Kerajaan Bolaang Mongondow; Raja dan pembesar kerajaan tidak mengadakan ikatan kerjasama dengan negeri-negeri Eropa; Kerajaan Bolango dapat mengadakan hubungan dengan negeri-negeri Eropa atas sepengetahuan Pemerintah; Raja dan Kepala bawahan kerajaan mengakui Pemerintah atas pemilihan dan pengangkatan pengganti raja, selain itu dalam pengangkatan jabatan jogugu dan kapitan laut diperbolehkan tanpa persetujuan Pemerintah; Raja wajib untuk menyerahkan emas dengan takaran ons setiap tahunnya kepada Pemerintah, dilaksanakan setiap tahun sekali, yaitu diserahkan 50 ons emas. Dalam beberapa hal orang-orang Bolango masih tersebar ke Bangka dan harus menyelesaikan pasokan emas. Di samping itu, raja wajib setiap akhir tahun memberikan jumlah yang akurat keluarga yang telah menetap di Bangka.

Setelah dikeluarkannya perjanjian yang memuat tentang daerah Bolang Bangka dimasukkan dalam kekuasaan Bolaang Mongondow, dan adanya penyerahan wajib pajak menyebabkan keluarga raja dan pembesar kerajaan di Bolang Bangka kembali melakukan migrasi. Mereka memutuskan untuk berangkat menuju ke Teluk Bolango Kiki dan kemudian dikenal dengan nama Bolaang Uki – sekitar 30 Km ke arah barat Bolang

(13)

Bangka, Bolang Uki yang akan menjadi pusat politik utama bagi Kerajaan Bolango. Begitupula yang lainnya menuju pantai selatan di Molibagu dan kemudian menjadi ibukota Kerajaan Bolango (Henley, 2005:183).

Sejak diberlakukannya perjanjian 7 Pebruari 1829 terjadi beberapa permasalahan dalam kerajaan. Permasalahan utama adalah kewajiban penyerahan wajib (verplichte leveranties) emas yang ditarik melalui penduduk. Permasalahan dalam penyerahan pajak emas telah menimbulkan kekacauan bagi penduduk. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda juga giat melaksanakan penarikan pajak budak pada 1828. Kontrak kembali diperbaharui pada 1 Maret 1838 yang juga memuat 6 pasal. Selain Kerajaan Bolango, perjanjian-perjanjian itu juga dilaksanakan pada kerajaan-kerajaan tergabung dalam persekutuan

Limo Lo Pohalaa lainnya.

Adapun isi perjanjian kontrak 1 Maret 1838 antara lain raja menyetujui penyerahan emas sebesar 25 real setiap tahunnya. Tetapi penyerahan yang belum dilunasi sebesar 400 real emas yang dihasilkan tahun lalu juga wajib diselesaikan; Raja, jogugu, dan kapitan

laut, juga marsaoleh melalui Pemerintah harus

menyelesaikan seluruh kekacauan pemasokan emas, begitupula diharapkan tidak ada lagi kepala kampung yang diangkat atau disimpan dan semua penyelesaian tersebut harus sepengetahuan

gezaghebber (penguasa sipil).

Dikeluarkannya perjanjian tersebut, terutama penyerahan emas dan penarikan pajak menyebabkan terjadinya kegelisahan baik di kerajaan maupun penduduk Bolango. Perjanjian tersebut dianggap memberatkan kerajaan dan membebani penduduk. Akibatnya sebagian penduduk melarikan diri ke hutan dan pegunungan, sehingga sulit dihubungi lagi oleh para wulea lo lipu. Bagi penduduk yang tinggal dan tidak mampu membayar wajib emas dijual sebagai budak, agar hasil penjualannya dapat memenuhi penyerahan emasnya. Para wulea lo lipu diperintahkan menetap di ibukota kerajaan agar lebih mudah diawasi dan menerima perintah dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Pemerintah Hindia-Belanda melalui Asisten Residen Gorontalo yang memerintahkan raja

Bolango untuk melakukan penyerahan wajib emas sebesar 25 real setiap tahunnya. Selain itu, penyelesaian hutang yang belum dilunasi sebesar 400 real emas yang dihasilkan wajib untuk diselesaikan. Keseriusan ini disebabkan komoditas emas merupakan komoditas ekspor yang sangat laku dan harganya dinamis di pasaran Eropa pada masa itu (Kartodirdjo, 1993:13), sehingga tidak mengherankan jika Pemerintah Hindia-Belanda memaksa raja untuk menyelesaikan penyerahan emasnya.

Pada Nopember 1854, Tuli Usman diangkat sebagai penguasa di Bolango. Namun kekuasaannya tidak berlangsung lama, karena Tuli Usman wafat pada tanggal 18 Juni 1855. Para bangsawan Bolango kemudian mengadakan rapat untuk mencari pengganti Tuli Usman. Akhirnya disepakati untuk menunjuk Humangilu sebagai penggantinya. Setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia Belanda, Humangilu diangkat sebagai penguasa di Bolango pada Maret 1856 dan pada Agustus 1856 membuat perjanjian baru dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa kekuasaannya, terjadi konflik sengketa perbatasan antara Atinggola dengan Kaidipang. Munculnya sengketa disebabkan daerah Imana dikenal sebagai daerah yang subur tidak memiliki status yang jelas. Penduduk Atinggola datang untuk menanam padi, dan setelah panen mereka kembali ke daerahnya dan menyetorkan sebagian panennya kepada raja Atinggola. Berita tersebut kemudian diketahui Raja Kaidipang, dan memerintahkan pasukannya ke Imana untuk mengusir penduduk Atinggola. Mengetahui penduduknya diusir di Imana, Iskandar Baito sebagai Raja Atinggola melakukan persiapan untuk menyerang Kerajaan Kaidipang. Berita tentang perselisihan kedua kerajaan tersebut menyebabkan para raja Limo lo Pohalaa mengadakan rapat pada bulan September 1857 yang dihadiri pejabat Pemerintah Hindia Belanda, dan raja Kaidipang di Kwandang. Hasil rapat disepakati agar kedua kerajaan yang bersengketa untuk menyelesaikan persoalannya secara kekeluargaan. Kedua raja tersebut setuju dan menunjuk pihak yang dianggap netral dan tidak mempunyai kepentingan. Kemudian Humangilu dari Bolango bersama Rahmola sebagai Kapitan

(14)

laut Limboto ditunjuk untuk menyelesaikan persoalan sengketa tersebut. Akhirnya sengketa batas Atinggola dan Kaidipang dapat diselesaikan setelah Residen Manado ke Atinggola untuk mengadakan perundingan pada Agustus 1858.

Pada 1856, Pemerintah Hindia-Belanda mengangkat Bastiaan van Baak sebagai asisten residen Gorontalo yang baru. Dalam pemerintahan van Baak terjadi berbagai perubahan pada kehidupan masyarakat. Persoalan paling utama yang dihadapi van Baak tentang permasalahan proses penghapusan raja yang direncanakan dengan membentuk pemerintahan langsung, serta masalah perbudakan yang jumlahnya cukup besar. Kecenderungan besarnya jumlah budak terjadi akibat ketidakmampuan penduduk membayar pajak, sehingga mereka dijadikan budak untuk melunasi pajaknya.

Perlu dibentangkan bahwa perbudakan m e n g a l a m i p e r k e m b a n g a n s e t e l a h diberlakukannya penyerahan wajib pajak emas yang dibebankan kepada penduduk. Sebagai akibat tingginya jumlah perbudakan di Gorontalo, menyebabkan van Baak serta raja dan pembesar kerajaan Limo Lo Pohalaa mengambil inisiatif untuk menghapuskan perbudakan di seluruh wilayah Keasisten-Residenan Gorontalo pada 1856. Keputusan tersebut telah memberi arti kebebasan penuh para budak untuk menentukan mata pencahariannya sendiri. Dalam daerah Gorontalo, dengan luasnya tanah persawahan yang belum digarap, terbuka peluang sebagai mata pencaharian baru bagi para budak yang dibebaskan untuk menggarap tanah tersebut. Namun, suatu kecenderungan yang timbul pada masa itu bahwa para pemilik tanah menarik persewaan terlalu besar bagi para bekas budak. Keadaan itu menyebabkan banyak di antara mereka meninggalkan tanah garapannya dan membuat pemukiman baru di gunung-gunung untuk berladang dan mencari hasil-hasil hutan sebagai mata pencahariannya (Haga, 1931:9).

Periode pertengahan abad ke-19 ditandai merosotnya kekuasaan raja-raja Limo lo Pohalaa, sedangkan di bagian lain membawa kemajuan politik dan ekonomi Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini disebabkan berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda menimbulkan ketidakpuasan dan

kebencian dari raja dan para bangsawan Bolango. Karena Pemerintah Hindia Belanda sudah ikut serta mengatur kerajaan yang jelas semakin mengurangi kewenangan raja untuk mengatur kerajaannya.

Persoalan semakin bertambah dengan adanya pungutan wajib penyetoran emas, wajib pajak, dan pengerahan wajib kerja yang dirasakan merugikan kerajaan. Dalam kerajaan juga terjadi konflik tentang kepemilikan tanah disebabkan oleh banyaknya orang Gorontalo yang pindah dan menetap di Kerajaan Bolango. Hal ini sering menyebabkan perselisihan di antara rakyat (Haga, 1931:18).

Pada 1862, para kerabat kerajaan akhirnya melakukan migrasi menuju Bolang Uki untuk bergabung dengan para kerabatnya. Walaupun beberapa penduduk Bolango masih memilih menetap di Tapa, sedang sebagiannya lagi tersebar di Bone, Wabu, Bintauna, Suwawa, Tibawa, Batudaa, Paguyaman, Kwandang, Atinggola, Boalemo, dan Pohuwato. Sehubungan raja dan pembesar Bolango mengungsi ke Bolaang Mongondow, maka untuk mempertahankan status persekutuan Limo lo Pohalaa, maka kedudukan Bolango digantikan Boalemo yang sebelumnya masuk dalam vasal atau kekuasaan Limboto. PENUTUP

Penelitian ini merupakan rekonstruksi sejarah Bolango, diawali dari kelompok pengembara hingga membentuk kerajaan baru. Bolango mengalami perkembangan setelah masuk dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa. Walaupun dalam perkembangannya keluar dari persekutuan tersebut. Faktor ini disebabkan raja dan pembesar Kerajaan Bolango seringkali melakukan migrasi, hingga mencapai puncaknya pada 1862. Perubahan sosial dan politik yang terjadi sepanjang periode tersebut merupakan efek dari perubahan struktur politik dan ekonomi di Gorontalo. Dalam rangka membangun dan memperkuat hegemoninya Pemerintah Hindia Belanda melakukan serangkaian kebijakan politik dan ekonomi dengan mengurangi pengaruh kekuasaan tradisional.

(15)

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Bolango tidak dapat dipisahkan dari kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mengurangi peran kekuasaan tradisional untuk menguasai politik dan ekonomi. Kebijakan politik dan ekonomi ternyata membatasi pengaruh dan kekuasaan raja. Langkah ini diambil dengan memaksa raja menandatangani kontrak. Berangkat dari kontrak inilah, Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan mengawasi pemerintahan kerajaan sampai pada penentuan seorang raja. Hak dan wewenang raja dan pembesar kerajaan mulai berkurang. Demikian pula kebijakan ekonomi yang sebelumnya dikuasai raja melalui sumber-sumber produksi beralih pada Pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda memperlihatkan upaya membangun kekuasaannya. Tindakan dominasi nampak pada upaya membendung pengaruh penguasa tradisional dengan mengikat secara represif, melalui perjanjian dan kontrol yang ketat.

Dominasi Pemerintah Hindia Belanda memperlihatkan bukan hanya dalam mengatur pemerintahan, tetapi juga dalam monopoli hasil produksi emas dan kopi. Pada bidang pertambangan, pemerintah Hindia Belanda mengatur dan memonopoli pajak hasil tambang emas, sedangkan dalam bidang pertanian, melalui sistim cultuurstelsel penduduk mulai mengenal pembudidayaan tanaman baru yang laku dipasaran internasional, terutama kopi. Ini memperlihatkan sebuah mekanisme pasar baru tercipta di mana hasil produksi menyentuh pasar internasional.

Gejala tersebut memperlihatkan perubahan politik dalam masyarakat, terutama berhubungan dengan relasi sosial dalam perkonomian. Hubungan-hubungan politik dan ekonomi dalam masyarakat mengalami perubahan mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat bersangkutan. Demikian juga hubungan struktural merupakan perwujudan saling hubungan antara kekuasaan ekonomi, politik, dan status sosial. Ini memperlihatkan bahwa perubahan tidak selalu berasal dari kondisi sosial ekonomi tetapi juga politik yang dapat mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan.

DAFTAR PUSTAKA ARSIP

Sartono Kartodirdjo, dkk. 1973. Ikhtisar

Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No.

5. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. Artikel/Buku

Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku: Banda Nairas,

Ternate, Tidore da√√ Ambon. Jakarta: Dian

Penduduk.

Bastiaans, J. 1996. “Persekutuan Limbotto dan Gorontalo”, dalam Taufik Abdullah (ed.)

Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Botutihe, Medi dan Farah Daulima. 2007.

Sejarah Perkembangan Limo Pohalaa di Daerah Gorontalo. Limboto: Forum Suara

Perempuan LSM Mbu’I Bungale.

Casparis, J.G de. 1975. Indonesian Palaeography:

A History of Writing In Indonesian From The Beginning To C. A.D 1500. Leiden/

Koln: E. J. Brill.

Frederick, William H. & Soeri Soeroto (peny.). 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia:

Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta:

LP3ES.

Gobel, Deddy A. 2012. Daftar Raja-Raja Bolango dan Napak Tilas yang Dilakukan Suku Bangsa Bolango. Molibagu: tp.

Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Dalam Nugroho Notosusanto (terj.). Jakarta: UI Press.

Haga, B.J. 1931. De Lima-pahalaä (Gorontalo):

Volksordening, adatrecht en bestuurspolitiek.

LXXI. Bandoeng: A.C Nix & Co, 1931. Henley, David. 2005. Fertility, Food and Fever:

Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930.

Leiden: KITLV.

Joesoef, S dan Bakir Gobol. 1986. Sejarah Suku Bolango Dari Masa Ke Masa dan Perjuangannya Menyambut Proklamasi 17 Agustus 1945. tp.

Juwono, Harto dan Yosephine Hutagalung. 2005. Limo Lo Pohalaa Sejarah Kerajaan

(16)

Kartodirdjo, Sartono. 2014. Pendekatan Ilmu

Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Benteng.

Lipoeto, M.H. 1949. Sedjarah Gorontalo: Dua

Lima Pohalaa. X. Gorontalo: Pertjetakan

Ra’jat Gorontalo.

Munir, Rozy. 1981. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Nur, S.R. 1949. Sejarah Perkembangan Limo Pohalaa Di Daerah Gorontalo. tp.

Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar

Abad XIX: Studi Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Polontalo, Ibrahim. 1986. Proses Masuk dan berkembangnya Kekuasaan Pemerintahan Hindia-Belanda di Gorontalo Abad XVII sampai Abad XIX. Gorontalo: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sam Ratulangi Manado di Gorontalo. Riedel, J.G.F. 1862. Pada menjatakan babarapa

perkara deri pada hhikajatnja tuwah

tanah Minahasa sampej palla adatangan orang kulit putih Nederlanda itu. Batavia: Landsdrukkerij. [“Inilah Pintu Gerbang pengatahuwan ltu Apatah Dibukakan Guna Orang-Orang Padudokh Tanah Minahasa Ini”].

---. 1870. “Het landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Katinggola of Andagile: geographische, statistische, historische en ethnographische aanteekeningen”, Tijdschrijt voor Indische

Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG), XIX.

Sneddon, J dan H.T. Usup. 1986. Shared Sound

Changes In The Gorontalic Language Group: Implications for Subgrouping.

Leiden: KITLV.

Soedjamoko, (ed.). 2007. An Introduction

to Indonesian Historiography. Jakarta:

Equinox Publishing Indonesia.

Tacco, Richard. 1935. Het Volk Van Gorontalo:

(Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal Karakteristiek en Economisch). Gorontalo: Yo Un Ann.

Referensi

Dokumen terkait