• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIJI SESAWI DARI KAMPUNG SAWAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIJI SESAWI DARI KAMPUNG SAWAH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BIJI SESAWI

DARI

KAMPUNG

SAWAH

Catatan 25 Tahun Perjalanan Imamat Romo A. Yus Noron, Pr

JULIUS POUR A. ARIOBIMO NUSANTARA

EDITOR

(2)
(3)
(4)

BIJI SESAWI

DARI KAMPUNG SAWAH

Catatan 25 Tahun Perjalanan Imamat Romo A. Yus Noron, Pr

EDITOR

JULIUS POUR

A. ARIOBIMO NUSANTARA

Penerbit

Panitia Peringatan 25 Tahun Imamat Romo A. Yus Noron, Pr.

Paroki Santa Maria Regina, Bintaro

(5)

BIJI SESAWI DARI KAMPUNG SAWAH

Catatan 25 Tahun Perjalanan Imamat Romo A. Yus Noron, Pr.

© Paroki Santa Maria Regina, Bintaro

TIM PENYUSUN BUKU

(urutan berdasarkan abjad)

A. Ariobimo Nusantara

Aloysius Ary Satrio

Bagus Marsudi

Cecilia Hesti Prayoganingsih

Chatarina Puramdari Hariti

Fransiskus Heru Setiawan

James F. Kullit

Julius Pour

Maria Seraphina Astriani

Nani Yulianiwati

Simon Djoko Marjono Susilo

Theresia Widningtyas

Diterbitkan pertama kali oleh Panitia Peringatan 25 Tahun Imamat Romo A. Yus Noron, Pr. Paroki Santa Maria Regina, Bintaro, 2013

Dicetak oleh Kreasi Dwicipta

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... 1

Ucapan Terima Kasih ... 5

Prakata ... 7

Yohanes Subagyo, Pr Vikaris Jenderal KAJ ... 7

Heribertus Warnata Natawardaya, Pr Pastor Paroki St. Maria Regina, Bintaro ... 9

Prolog ... 11

1. Biji Sesawi dari Kampung Betawi ... 15

Terbang dengan Satu Sayap ... 18

Biji Sesawi Itu Mulai Bertunas ... 22

2. Menjemput Panggilan ke Mertoyudan ... 27

Berbaur dengan “Keluarga Baru” ... 28

Semangat yang Sempat Runtuh ... 31

3. Frater yang Pernah Ingin “Angkat Koper” ... 39

“Ada Apa dengan Saya?” ... 40

Sulit Bicara di Depan Umum ... 42

(7)

4. Jejak Langkah Anak Kampung Sawah ... 51

Dilanda Kecemasan ... 52

Parang di Atas Altar ... 55

Merintis Paroki Baru ... 59

Berkarya di Paroki “Raksasa” ... 62

Mengagumi Mgr Leo Soekoto SJ ... 65

Dianggap Kurang Bersahabat ... 67

Dari Utara ke Selatan ... 69

Sehat Rohani, Bugar Jasmani ... 74

5. Rekam Jejak di Pesta Perak ... 79

Epilog ... 95

Galeri Foto ... 107

(8)

KATA PENGANTAR

ANDAIKAN sebuah pelayaran, maka perjalanan

25 tahun Imamat Romo Yus Noron Pr tidak berlangsung dalam buaian angin sepoi dan di bawah tatapan sinar bulan purnama. Tetapi, dia harus menerobos hantaman gelombang besar, terpaan hujan lebat beri-kut tiupan topan yang nyaris menengge-lamkan dirinya, sehingga bisa memaksanya

tidak meneruskan pelayaran dan sekaligus pasti akan menghalangi dirinya untuk me-neruskan pelayaran menuju ke pantai tujuan, untuk menjadi seorang Imam Katolik.

Dengan terbuka Romo Yus Noron mengakui, “Pada saat sedang studi di Seminari

Menengah Mertoyudan, Magelang (Jawa Tengah), dua kali saya hampir keluar dari lembaga pendidikan calon Imam tersebut…” Pengalaman pertama, dalam masa liburan panjang, selama satu bulan dia pulang ke ru-mahnya di Jakarta. Begitu sampai di depan pintu, sambil meletakkan kopor pakaian, ke-pada Mama-nya yang menyambutnya dia

langsung berkata,”Saya tidak akan kembali lagi ke Mertoyudan, saya telah memutuskan keluar …”

Tidak ada kesabaran melebihi sikap seorang Ibu, ketika harus menghadapi ulah putranya.

Dengan penuh kasih Ny Naomi Noron, sang Mama, langsung menjawab,”Kalau kamu memang ingin meninggalkan Seminari ke-luarlah, tidak pernah ada yang memaksamu untuk terus berada di sana. Tetapi… sejujurnya kalau saya ditanya, terus terang Mama lebih senang kau menjadi seorang Imam… Namun kalau kamu sudah memu-tuskan keluar dari Mertoyudan, Mama hanya bisa memberi pesan, jadilah orang baik.”

Menurut pengakuan Yus Noron,”…selama

menjalani masa liburan, meski Mama setiap hari selalu mencurahkan kasih sayang disertai perasaan keibuannya, saya justru dilanda oleh kerinduan dengan kehidupan di Seminari. Saya malahan tidak betah tinggal di rumah, dengan demikian, begitu masa

(9)

liburan selesai, saya pamit kepada Mama, untuk kembali ke Mertoyudan. Mama meng-antar sampai ke pintu depan sambil berkata, “Kembalilah ke Mertoyudan anakku, doa Ibumu selalu menyertaimu…’”

Romo Yus Noron menuturkan, ”… ketika duduk di tingkat II Seminari Tinggi di Jakarta, saya kembali dilanda kegalauan. Saya merasakan kesulitan dalam berdoa.”

Ketika masa liburan tiba dan pulang ke rumah, keinginannya untuk meninggalkan

Seminari dia kemukakan kembali kepada ibunya. Sepanjang ingatannya, ”Berbeda dengan pengalaman pertama, kali ini mendengar kata-kata saya, Mama hanya diam. Saya justru menjadi bingung, karena Mama diam tanpa memberi komentar. Tetapi setiap tengah malam, sebelum tidur saya lihat Mama berdoa lama sekali. Setiap kali saya tanya, dia tidak pernah mau men-jelaskan doa apa dan juga apa permin-taannya kepada Tuhan. Yang pasti, begitu masa liburan selesai, tiba-tiba ada dorongan kuat muncul dari dalam lubuk hati saya, mendorong saya untuk segera kembali masuk ke Seminari….”

Keinginan untuk keluar dari Seminari tidak hanya dua kali, sebagaimana dikemukakan di atas. Keinginan yang ketiga malahan telah sempat dia kemukakan kepada Mgr. Leo Soekoto SJ.

Dalam ingatan Romo Yus Noron, waktu itu Mgr. Leo Soekoto hanya menanyakan, “Mengapa kamu memutuskan keluar dari Seminari? Apa sebenarnya masalahmu? Kalau kamu sekadar tidak krasan di Yogya akan saya pindahkan ke tempat lain…”

Yus Noron tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Tetapi dalam hati dia mengaku, “Saya sebenarnya ingin menjawab, bahwa saya tidak mau munafik dengan memaksakan diri tetap bertahan di Seminari. Saya merasa sering berdosa, sehingga tidak sepantasnya terus bertahan di sana, saya tidak ingin mengotori kesucian lembaga pendidikan calon Imam tersebut. Maka saya langsung minta diri kepada Rektor, dan dengan sikap tegar, tanpa memberi komentar Mgr. Leo Soekoto hanya mengangguk pelan.”

(10)

Begitu dia meninggalkan kamar kerja Uskup,

Yus Noron secara kebetulan bertemu Vikjen, Romo Alex Dirdjosusanto SJ. Dengan spon-tan Romo Alex berkata, “Saya tidak peduli asalmu dari Jakarta. Pokoknya, saya tidak mau melihat kamu berada di sana. Hanya satu pesanku setelah liburan selesai segera balik ke Seminari Tinggi Yogyakarta.”

Di masa liburan ketika kegalauan tersebut melanda dirinya, entah dorongan apa Yus Noron malah pergi ke Bandung dan bermalam di Seminari Tinggi di Jalan Buah Batu, Bandung selama dua malam.

Setiap kali bertemu umat, hatinya langsung dipeluk oleh kedamaian dan kerinduan untuk berbuat sesuatu dalam membantu melayani kebutuhan keimanan mereka. Yus Noron ingat kepada sebuah kalimat ber-sayap, panenan sangat melimpah tetapi kita kekurangan tukang panen. Perasaan damai yang sangat menyejukkan pribadinya ter-sebut, akhirnya tanpa dia sadari kembali mendorong langkahnya ke Seminari lagi.

Begitu dia membuka pintu gerbang Seminari, pada papan pengumuman dekat pintu

ma-suk asrama Seminari Tinggi Jakarta ter-tempel tulisan: Yus Noron harap segera menghadap Mgr. Leo Soekoto SJ.

Meski hatinya diselimuti beragam per-tanyaan, oleh karena benar-benar dia me-rasa tidak tahu apa makna di balik pengu-muman tersebut, Yus Noron segera men-cegat bus di depan Seminari, meloncat masuk ke dalam, agar bisa secepatnya sam-pai di Keuskupan di Jalan Katedral, Jakarta.

Begitu Yus Noron membuka pintu kamar kerja Uskup, ketika melihat dirinya, Mgr. Leo Soekoto langsung menghardik dengan suara keras, sambil berkata, “Yus Noron kamu memang plinplan.” Kemarahan Uskup tam-pak jelas, oleh karena menunjuk, koran yang pagi itu sedang beliau baca, langsung dipukulkan ke meja, sehingga robek jadi dua, setelah itu langsung Yus Noron dimarahi habis-habisan.

Providentia Dei, penyelenggaran Illahi, meski beberapa kali pernah muncul keingi- nan untuk meninggalkan pendidikan ca- lon Imam di Seminari. Namun setiap kali muncul bisikan dalam hatinya sekaligus

(11)

dorongan, memintainya kembali masuk ke Seminari.

Awal Agustus 2013 saya mudik ke Banyumas, oleh karena isteri saya orang Purwokerto, kami sengaja menemui Uskup Mgr Julianus Soenarko SJ, saya betanya, “Apakah Bapak Uskup kenal Romo Yus Noron.”

Jawaban beliau spontan, “Ingat sekali, karena saya pernah ditugaskan jadi Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, maka bisa disebutkan saya salah seorang gurunya. Saya tidak pernah lupa dia dari

Jakarta. Maka ketika dia sudah ditahbiskan jadi Imam saya sengaja mengunjungi paroki tempat tugasnya dengan pakaian biasa. Kepada Kosternya saya mengaku bekas gurunya. Saya merasa Koster tersebut mungkin sangsi, mana mungkin gurunya orang Jawa, Buktinya waktu itu saya dipaksa harus menunggu lama sekali di halaman gereja, baru Romo Noron bersedia keluar menemui saya...” kenang Mgr. Soenarko.

Bintaro, 18 Agustus 2013 Julius Pour

Referensi

Dokumen terkait