• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ruko

Ruko adalah akronim dari sebuah istilah untuk salah satu jenis bangunan. Akronim tersebut merupakan gabungan dari kata rumah dan toko. Rumah berarti bangunan sebagai tempat tinggal (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 1323) dan toko berarti bangunan permanen tempat kegiatan usaha (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 1323).

Kedua kata tersebut sama-sama merupakan sebuah bangunan yang dibedakan oleh fungsi. Penggabungan kedua kata tersebut lahir dari terjadinya penggabungan kedua fungsi bangunan tersebut. Ruko memiliki karakteristik secara umum, yaitu:

1. Bentuk bangunan memanjang ke belakang dengan lebar yang sangat minim. 2. Umumnya lebih dari 1 lantai guna memisahkan antara fungsi rumah (bagian

atas) dan toko (bagian bawah).

3. Terbangun lebih dari 1 unit dengan fasad yang sama dalam 1 deret. 4. Tidak memiliki ruang terbuka di sisi samping bangunan.

Pengertian dan karakteristik tersebut menjadi batasan dan kriteria pemilihan objek penelitian yang akan dikaji.

(2)

2.2 Sejarah Ruko

Ruko dapat kita temukan di berbagai kota di dunia sebagai bangunan komersial dan diyakini sebagai bangunan yang berarsitektur Tionghoa. Dalam pertumbuhannya ruko mengalami adaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, hal inilah yang membuat bentuknya menjadi beragam. Pada awalnya, dahulu kala pedagang-pedagang Tionghoa berlayar dengan tujuan berdagang rempah-rempah, mereka sering singgah di pelabuhan-pelabuhan sepanjang perjalanannya untuk menunggu cuaca membaik agar bisa berlayar kembali. Para pedagang yang tinggal membangun kelompok pemukiman dengan konstruksi dan gaya bangunan yang sama dengan tempat tinggal di daerah asalnya. Pemukiman ini juga dilengkapi dengan bangunan ibadah yang dinamakan klenteng dan berada di sekitar pasar, hal inilah yang menyebabkan timbulnya identitas unik pada kawasan yang mereka bangun. Kawasan komersial masyarakat Tionghoa ini dikenal dengan nama Pecinan.

Ruko sebenarnya bukanlah bangunan yang timbul akhir-akhir ini. Ruko adalah singkatan yang dipakai untuk menjelaskan fungsi dari bangunan yang dipakai untuk hunian dan usaha, yaitu rumah toko. Kalau kita kembali melihat kebelakang apa yang terjadi di Eropa maupun di Indonesia di masa lalu, fungsi Ruko adalah sama. Ruko muncul karena situasi yang terjadi pada masa itu akibat terjadinya pemusatan segala jenis kegiatan dan fasilitas pada suatu lingkungan kota maupun desa karena sistem transportasi dan komunikasi belum seperti saat ini serta kawasan usaha, hunian, perdagangan, pemerintahan, dan sebagainya berada pada suatu areal yang terbatas. Sebagai contoh pada kota lama Jakarta yang dikenal dengan Batavia

(3)

khususnya di kawasan jalan Toko Tiga atau jalan Perniagaan di daerah Glodog, pertumbuhan ruko dimulai oleh warga Tionghoa yang berprofesi secara turun temurun sebagai pedagang. Mereka beranggapan bahwa pada awalnya bidang usaha mereka dapat diurus oleh satu atau beberapa anggota keluarganya, maka untuk praktisnya bangunan dipakai sebagai tempat usaha dagang, kantor, toko, gudang, dan sekaligus untuk hunian. Ruang depan untuk usaha, ruang belakang adalah rumahnya, juga banyak rumah yang bertingkat di mana lantai bawah dipakai untuk usaha, dan lantai atas dipakai sebagai rumah mereka.

Pola yang terakhir inilah yang tidak berubah sampai saat ini bila ditinjau dari fungsi ruang-ruangnya. Dhani Mutiari (2004) dalam jurnalnya yang berjudul Karakteristik Tampilan Fasade Ruko Cina di Surakarta, menemukan adanya kaidah-kaidah budaya Cina yang terdiri atas nilai-nilai keharmonisan, hierarki, dan keseimbangan (simetri) teraplikasi dalam bentuk tampilan pada fasade rumah atau rumah toko Cina yang masih terlihat secara visual bentuk tradisionalnya maupun telah bertransformasi ke bentuk universal (universal style). Kondisi ini tercermin dalam perwajahan ruko-ruko Cina di nusantara yang menjadi cikal bakal munculnya bangunan ruko di Indonesia.

2.3 Perkembangan Ruko dan Pengaruhnya terhadap Kota

Perkembangan ruko di Indonesia dimulai sejak tahun 1800-an di daerah-daerah komersial disetiap kota, yaitu dilakukan oleh saudagar-saudagar besar yang berdagang di atas lahan mereka yang berbentuk melebar dengan pemanfaatan lahan depan untuk fungsi toko dan sisi belakang lahan untuk hunian. Seiring dengan

(4)

perkembangan zaman di mana nilai tanah semakin tinggi dan persediaannya pun semakin terbatas, maka para saudagar itu pun membagi tanah bagian belakangnya untuk dijual. Situasi ini menyebabkan munculnya usaha untuk menaikkan bangunan yang memisahkan ruang untuk usaha toko di bawah dan hunian di bagian atas. Susunan bangunan inilah yang kemudian populer dengan sebutan Ruko. Ruko-ruko yang tersusun berderet memanjang ini membentuk satu kawasan perdagangan.

Semakin berkembangnya kawasan tersebut menyebabkan nilai ekonomis kawasan tersebut meningkat, sehingga mengundang pemilik modal untuk membangun lagi ruko-ruko di kawasan tersebut. Akibatnya pembangunan Ruko menjadi tidak terkendali, tidak memperhatikan syarat-syarat bagi fungsi hunian dan nonhunian, semuanya bercampur aduk dalam kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan terbentuknya bangunan yang tidak manusiawi dan menghilangkan identitas lingkungannya, sehingga tanpa disadari perkembangannya kemudian menjurus pada terbentuknya satu kawasan yang kumuh.

Keadaan yang mirip situasi ini dijelaskan oleh Devin Defriza Harisdani dan M. Dolok Lubis dalam tulisan mereka yang berjudul Identitas Fungsi Ruko Kesawan, di mana kawasan Kesawan yang merupakan kawasan perdagangan yang sarat akan nilai sejarah kehilangan citranya akibat pembangunan dan perombakan bangunan lama yang hanya berorientasi pada aspek komersial cenderung tidak terkendali tanpa memperhatikan harmonisasi dengan lingkungan sekitar dan romantisme nilai nilai sejarahnya, pada akhirnya identitas dari kawasan tersebut menjadi hilang dan menjadikan kawasan tersebut hanya sekedar space bukan place yang dapat

(5)

dinikmati. Para pengembang properti di kota-kota besar berlomba-lomba membangun ruko-ruko pada kawasan yang strategis dengan pertimbangan aspek bisnis yang sangat menguntungkan. Ruko-ruko ini dibangun berdampingan dengan bangunan-bangunan perumahan elit. Sebagai contoh kawasan Kelapa Gading, Pondok Indah, Kemang, yang kita jumpai di Jakarta adalah produk dari persaingan bisnis antar pengembang. Persaingan ini membuat para pengembang membangun ruko-rukonya dengan tampilan fasade yang beraneka ragam, bahkan wajah arsitektur bangunan yang berasal dari mancanegara dianggap layak untuk diadopsi sebagai daya tarik bagi konsumen. Selain itu perang warna pada fasade ruko semakin membuat kesan ramai menjurus norak, kekayaan arsitektur lokal pun jadi terabaikan, westernisasi menjadi hal yang mutlak bagi pengembang.

Muncul fenomena baru yang tanpa disadari merusak identitas dan jati diri kearifan arsitektur lokal yang sudah terbukti sangat bersahabat dengan iklim tropis Indonesia. Berada di kawasan tersebut seolah-olah kita sedang berada pada suatu tempat di Eropa yang beriklim tropis, hal ini menyebabkan karakter ataupun ciri-ciri kota menjadi tidak menentu. Itulah sebabnya bangunan ruko umumnya dicap sebagai bangunan yang merusak tata kota dan juga merusak pemandangan kota secara keseluruhan. Bangunan ruko dianggap sebagai gudang yang dihuni manusia. Susahnya, justru bangunan ruko lah yang kini makin banyak dibangun.

Harus disadari bahwa kondisi ini menggiring kita pada situasi yang tidak rasional, padahal produk ruko dari saudagar-saudagar Cina dan juga arsitektur kolonial adalah hasil kompromi dari kebutuhan akan bangunan untuk beraktifitas

(6)

yang sesuai dengan kebiasaan dan budaya di negara mereka dengan iklim dan kearifan lokal di tanah air. Situasi ini bisa dihindari bila pemerintah kota menerapkan secara tegas peraturan-peraturan dan syarat-syarat bagi pengembang mengenai pelaksanaan pembangunan ruko-ruko tersebut, hal ini akan sangat mendukung untuk terciptanya kawasan-kawasan yang dapat menciptakan citra kota yang selaras dengan budaya dan arsitektur lokal mengingat pembangunan ruko yang pesat sangat berpotensi sebagai elemen pembentuk wajah kota yang selaras dengan identitas lokal yang kita miliki. Pulau dewata adalah contoh bagaimana citra kota yang dibangun dengan konsep-konsep budaya lokal yang unik terbungkus dengan paduan arsitektur lokal dan modern telah terbukti mampu menarik sumber devisa yang sangat signifikan bagi pemerintah daerah.

2.3.1 Fungsi ruko dan pengaruhnya terhadap bentuk

Setiap bangunan yang terbangun didasari oleh pemenuhan kebutuhan manusia akan fasilitas pendukung aktifitasnya selama berada di suatu lingkungan. Pemenuhan kebutuhan tersebut dikenal pula dengan sebutan fungsi bangunan. Salah satu cara memenuhi kebutuhan tersebut adalah memberikan ruang dengan bentuk dan ukuran tertentu. Setiap fungsi yang berbeda akan menuntut bentuk dan ukuran yang berbeda. Bentuk dan ukuran tertentu akan membutuhkan suatu sistem struktur tertentu pula, maka struktur dan fungsi sangat terkait erat.

(7)

Dalam penelitian ini, objek penelitian merupakan sebuah bangunan dengan fungsi utama yang sama yaitu rumah toko. Dengan fungsi utamanya, ruko telah memiliki tipologi bentuk bangunan yang cenderung sama. Secara umum, ruko berbentuk persegi panjang dengan ruas struktur kotak dan mengarah vertikal. (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Contoh Tipologi Denah Ruko

Sumber: http://www.grandtaruma.com/artikel/ruko-darmawangsa-1.html

Selain faktor fungsi utama, bentuk ruko juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi pendukung lain seperti kenyamanan, keamanan, estetika dan sebagainya. Bentuk-bentuk tersebut hanya terdapat pada bagian-bagian kecil dari Bentuk-bentuk utamanya. Misalnya balkon pada lantai 2 yang membuat bidang pada sisi tersebut dimajukan atau dimundurkan. Contoh lain misalnya fungsi penghawaan dan pencahayaan, yang membuat salah satu sisi ruko terbuka baik sebagian maupun keseluruhan. Kemudian, seperti kebanyakan bangunan lainnya di daerah tropis, yaitu bentuk atap miring sebagai tanggapan terhadap curah hujan yang besar. Bentuk utama ruko juga

(8)

ditentukan oleh pemanfaatan lahan yang sangat-sangat efisien sehingga ketika ruko terbangun secara massal, bagian sisi samping ruko harus berdempet. Ini menyebabkan hanya tersisa sisi depan dan belakang ruko saja yang masih dapat menyesuaikan dengan fungsi-fungsi tersebut. Untuk kebutuhan fungsi estetika tampilan bangunan, ruko hanya memiliki bagian depan sebagai bidang yang dianggap paling representatif.

2.4 Tipologi dan Tipologi Fasad dalam Arsitektur

Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan berdasarkan tipe atau jenis. Tipologi merupakan satu bidang studi yang mengelompokkan objek dengan ciri khas struktur formal yang sama dan kesamaan sifat dasar kedalam jenis-jenis tertentu dengan cara memilah elemen-elemen yang mempengaruhi jenis-jenis tersebut. Aspek klasifikasi dalam pengenalan tipologi mengarah kepada usaha mengklasifikasikan, mengkelaskan, dan mengelompokan objek berdasarkan aspek-aspek/kaidah-kaidah tertentu. Aspek-aspek yang dapat diklasifikasikan dapat berupa fungsi, bentuk, maupun gaya.

Tipologi merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tipe. Arti kata “tipe” sendiri berasal dari bahasa yunani typos yang diartikan sebagai “akar dari” (Lukito, 1994), secara konsepsional mendefinisikan tipologi sebagai sebuah konsep yang mendeskripsikan sebuah kelompok obyek atas dasar kesamaan karakter bentuk-bentuk dasarnya. Tipologi juga dapat diartikan sebagai sebuah tindakan berpikir dalam rangka pengelompokan (Lukito, 1994), yaitu kelompok dari obyek yang dicirikan dari struktur formal yang sama, sehingga

(9)

tipologi dikatakan sebagai studi tentang pengelompokan objek sebagai model melalui kesaman struktur. Struktur formal yang dimaksud di sini tidak hanya berupa istilah yang berkaitan dengan geometrik fisik semata, tetapi juga berkaitan dengan apa yang disebut sebagai “deeper geometri” yaitu geometrik yang tidak hanya terbatas pada perbandingan geometri matematis, akan tetapi berkaitan dengan realita mulai dari aktifitas sosial sampai dengan konstruksi bangunan. Struktur formal juga diartikan sebagai kaitan atau inter relasi antar elemen (Sugini dalam aplikawati, 2006).

Tjahjono (1992) mengatakan bahwa studi tipologi dalam dunia arsitektur berarti studi dalam usaha pemilahan dan klasifikasi, hingga dapat terungkap keragaman dan kesamaan dalam produk arsitektur yang satu dengan lainnya. Pada dasarnya, tipologi merupakan konsep yang mendeskripsikan kelompok objek atas dasar kesamaan sifat-sifat dasar. Menurut Sukada dan Sulistijowati (1991), ada tiga tahapan yang harus dijalani untuk menentukan satu tipologi, yaitu:

1. Menentukan bentuk-bentuk dasar yang ada dalam setiap obyek arsitektural; 2. Menentukan sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh setiap objek arsitektural

berdasarkan bentuk dasar yang ada dan melekat pada obyek tersebut;

3. Membantu kepentingan proses mendesain (membantu terciptanya produk baru).

Dalam buku The Theory of Architecture, Paul-Alan Johnson (1994) menjabarkan tipologi sebagai berikut. Dalam bahasa Inggris penggunaan istilah Type berasal dari Perancis “typé” atau dari bahasa latin “typus”, yang keduanya berasal dari bahasa latin kuno “typos” yang berarti sebuah hembusan, kesan, gambaran, atau

(10)

figur. Istilah ini digunakan secara luas untuk menjelaskan bentuk umum, struktur, atau pembedaan karakter sebagian kelompok hal atau objek. Pada abad ke-20 muncul pengertian tambahan “pola atau model yang dihasilkan dari sesuatu setelah sesuatu itu dihasilkan/diwujudkan”. Pengertian tambahan tersebut juga digunakan terhadap orang atau benda dalam menilai suatu kualitas dari suatu klasifikasi, khususnya terhadap ciri-ciri atau karakteristik khusus.

Menurut Sulistijowati (1991:12), pengenalan tipologi akan mengarah pada upaya untuk “mengkelaskan”, mengelompokkan, atau mengklasifikasikan didasari oleh aspek atau kaidah tertentu. Aspek tersebut antara lain:

1. Fungsi (meliputi penggunaan ruang, struktural, simbolis, dan lain-lain); 2. Geometrik (meliputi bentuk, prinsip, tatanan, dan lain-lain);

3. Langgam (meliputi periode, lokasi atau geografi, politik atau kekuasaan, etnik atau budaya, dan lain-lain).

Dalam analoginya pada elemen kota, Anthony Vidler dalam Jencks dan Kropl (1997) mengatakan pertimbangan terhadap suatu kota itu mencakup keseluruhannya. Kondisi masa lalu dan masa kininya terungkap melalui kondisi struktur fisiknya yang di dalamnya terdapat tipologi baru. Tipologi tersebut bukan terbentuk dari elemen-elemen yang terpisahkan, bukan pula dari gabungan objek-objek yang terbagi berdasarkan fungsinya, ideologi sosialnya, atau karakter teknisnya. Hal ini menjadi satu kesatuan yang bisa dibagi dalam beberapa fragmen. Dalam fragmen-fragmen tersebut tidak akan ditemukan tipe-tipe standar atau pengulangan sesuatu di masa lalu.

(11)

Fragmen-fragmen tersebut terpadu dan memiliki makna berdasarkan 3 tingkat kriteria berikut:

1. Merupakan warisan makna dari bentuk-bentuk di masa lalu. 2. Berasal dari lingkungan khusus.

3. Merupakan rekomposisi fragmen-fragmen tertentu dalam konteks yang baru.

Pernyataan Vidler tersebut menegaskan bahwa tipologi dihasilkan dari pengamatan terhadap seluruhan elemen kota. Jika kita menelaah dari komponen pembentuk kota, ada kemungkinan kita tidak menemukan tipologi baru. Setiap tipologi pasti ada dan tidak selalu harus merujuk kepada tipologi-tipologi yang sudah ada sebelumnya.

2.5 Elemen Tipologi dalam Arsitektur

Sebuah bangunan dibentuk dari bentukan-bentukan dasar geometri dan pada umumnya menampilkan sebuah tingkatan hierarki dan biasanya penyusunan komposisi yang jelas dan terpusat menurut sistem geometri. Dalam arsitektur, bentuk merupakan satu dari empat unsur pembentuk yang mempengaruhi konteks sebuah desain. Nilai, makna atau arti dari desain sebuah bangunan dapat dengan mudah terlihat jika penerapan keempat elemen tersebut secara baik dan komprehensif.

(12)

Elemen arsitektur yang mempengaruhi konteks dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Empat Elemen Arsitektur yang Mempengaruhi Konteks Sumber: Architecture Form Space and Order (Ching; 1943)

Nix (1853) dan Pamungkas (2002), menyatakan bahwa bentuk ditentukan oleh adanya hubungan campur tangan dan kegiatan manusia. Mengenai penentuan secara langsung maupun tidak langsung tergantung dari apa-apa saja yang dalam pemberian bentuk ditentukan secara primer dan kemudian apa yang timbul dari kegiatan primer tersebut. Penentuan bentuk dapat meningkat lebih jauh, yaitu berasal dari massa, lewat ukuran menuju kesuatu hal yang ditentukan. Objek menjadi lebih mudah untuk dikenali dan diidentifikasikan, dapat diuraikan, dan memiliki sesuatu yang dapat diukur, diamati, dan dihitung, baik yang bersifat mendatar, maupun yang bersifat berdiri. Lebih lanjut mengenai bentuk, Ching (1943:34) menyatakan ada tiga faktor yang mendukung bentuk yaitu ukuran, warna, dan tekstur. Berbagai variasi dari unsur tersebut akan menciptakan berbagai jenis bentuk dan kesan. Kemudian terdapat pula faktor di luar sifat fisik bentuk itu sendiri yang mempengaruhi, yaitu posisi, orientasi, dan kestabilan.

(13)

2.5.1 Komposisi

Komposisi ialah susunan unsur-unsur rupa yang memancarkan kesan-kesan kesatupaduan, irama, dan keseimbangan dalam suatu karya, sehingga karya itu terasa utuh, jelas, dan memikat.

Unsur desain adalah unsur-unsur yang digunakan untuk mewujudkan desain, sehingga orang lain dapat membaca desain itu. Maka yang dimaksud tidak lain adalah unsur-unsur yang dapat dilihat atau lazim disebut unsur visual. Wujudnya adalah garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, ukuran, nada gelap terang, dan arah.

Setiap unsur seni dikomposisikan secara estetis. Sebagai kata sifat estetika (estetik) mengandung pengertian keindahan dan juga rasa indah. Sedangkan sebagai ilmu, estetika berarti ilmu pengetahuan yang membahas segala sesuatu yang estetik. Kapasitas estetika dalam seni adalah sebagai “roh” yang menentukan hidup dan matinya sebuah tampilan karya seni dan desain. Seniman atau designer adalah pemberi “roh” tentu menyadari roh macam apa yang harus disandangkan kepada seni rupanya. Oleh karena itu setiap karya seni harus dikomposisikan secara estetis agar menghasilkan karya yang menarik.

Ada beberapa aturan yang perlu digunakan untuk menyusun bentuk-bentuk tersebut. Walaupun penerapan prinsip-prinsip penyusunan tidak bersifat mutlak, namun karya seni yang tercipta harus layak disebut karya yang baik. Perlu diketahui bahwa prinsip-prinsip ini bersifat subjektif terhadap penciptanya.

(14)

2.5.2 Pola komposisi

Pola komposisi ada 3 macam, yaitu simetri, asimetri, dan bebas atau informal. a. Pola simetri

Pola simetri menggambarkan dua bagian yang sama dalam sebuah susunan. Komposisi yang berpola simetri meletakkan fokusnya di tengah, dan meletakkan unsur-unsurnya di bagian kiri sama dengan bagian kanan, ibarat pinang di belah dua. Jika ada dua fokus dalam komposisi simetri, maka penempatanya bisa stu di kiri, satu di kanan. Penempatan demikian memberikan kesan bagian kiri dan bagian akanan sama kuat. Komposisi berpola simetri memberikan kesan formal, beraturan dan statis.

b. Pola asimetri

Pola asimetri meletakkan fokusnya tidak di tengah-tengah, dan paduan unsur-unsur di bagian kiri tidak sama dengan yang di bagian kanan, tetapi tetap memancarkan keseimbangan. Kompisisi asimetri memberikan kesan keteraturan yang bervariasi dan karenanya tidak formal serta lebih dinamis. c. Pola bebas

Komposisi pola bebas meletakkan fokus dan unsur-unsurnya secara bebas, tetapi tetap memelihara keseimbangan. Dibandingkan dengan pola simetri, pada pola bebas ini kesan keteraturan dan kesan formal sama sekali tidak terasa. Meskipun demikian, kecermatan dan ketelitian dalam membentuk irama dan keseimbangannya menjadikan komposisi berpola bebas ini tampak dan terasa lebih hidup serta semakin menarik.

(15)

2.5.3 Prinsip-prinsip dasar seni rupa

Berikut akan dijelaskan prinsip-prinsip dasar seni rupa, yaitu:

a. Kesatuan (Unity)

Kesatuan merupakan salah satu prinsip dasar tata rupa yang sangat penting. Tidak adanya kesatuan dalam sebuah karya rupa akan membuat karya tersebut terlihat cerai-berai, kacau-balau yang mengakibatkan karya tersebut tidak nyaman dipandang. Prinsip ini sesungguhnya adalah prinsip hubungan. Jika salah satu atau beberapa unsur rupa mempunyai hubungan (warna, raut, arah, dll), maka kesatuan telah tercapai.

b. Keseimbangan (Balance)

Karya seni dan desain harus memiliki keseimbangan agar nyaman dipandang dan tidak membuat gelisah. Seperti halnya jika kita melihat pohon atau bangunan yang akan roboh, kita merasa tidak nyaman dan cenderung gelisah. Keseimbangan adalah keadaan yang dialami oleh suatu benda jika semua daya yang bekerja saling meniadakan. Dalam bidang seni keseimbangan ini tidak dapat diukur tapi dapat dirasakan, yaitu suatu keadaan di mana semua bagian dalam sebuah karya tidak ada yang saling membebani.

c. Proporsi (Proportion)

Proporsi termasuk prinsip dasar tata rupa untuk memperoleh keserasian. Untuk memperoleh keserasian dalam sebuah karya diperlukan perbandingan-perbandingan yang tepat. Pada dasarnya proporsi adalah

(16)

perbandingan matematis dalam sebuah bidang. Proporsi Agung (The Golden Mean) adalah proporsi yang paling populer dan dipakai hingga saat ini dalam karya seni rupa hingga karya arsitektur. Proporsi ini menggunakan deret bilangan Fibonacci yang mempunyai perbandingan 1:1,618, sering juga dipakai 8:13. Konon proporsi ini adalah perbandingan yang ditemukan pada benda-benda alam termasuk struktur ukuran tubuh manusia sehingga dianggap proporsi yang diturunkan oleh Tuhan sendiri. Dalam bidang desain proporsi ini dapat kita lihat dalam perbandingan ukuran kertas dan layout halaman.

d. Irama (Rhythm)

Irama adalah pengulangan gerak yang teratur dan terus menerus. Dalam bentuk-bentuk alam bisa kita ambil contoh pengulangan gerak pada ombak laut, barisan semut, dan lain-lain. Prinsip irama sesungguhnya adalah hubungan pengulangan dari bentuk-bentuk unsur rupa.

e. Dominasi (Domination)

Dominasi merupakan salah satu prinsip dasar tata rupa yang harus ada dalam karya seni dan desain. Dominasi berasal dari kata Dominance yang berarti keunggulan. Sifat unggul dan istimewa ini akan menjadikan suatu unsur sebagai penarik dan pusat perhatian. Dalam dunia desain, dominasi sering juga disebut Center of Interest, Focal Point dan Eye Catcher. Dominasi mempunyai bebrapa tujuan yaitu untuk menarik perhatian, menghilangkan kebosanan dan untuk memecah keberaturan.

(17)

Perkembangan fasade sebuah bangunan itu sendiri sangat bergantung pada perubahan-perubahan sosial budaya masyarakat. Keberagaman tampilan fasade bangunan merupakan modifikasi berbagai unsur desain yang dari waktu ke waktu mengalami transformasi. Menurut Ching (1979: 50-51) “Perlengkapan visual bentuk yang menjadi objek transformasi dan modifikasi bentuk elemen pada fasade bangunan meliputi sosok, ukuran, warna, tekstur, posisi, orientasi dan inersia visual”. Selain tradisi lokal, budaya luar melalui informasi yang didapat masyarakat memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemilihan perlengkapan visual bentuk sehingga tampilan sosok, warna, ukuran, tekstur, dan lain-lain seringkali menggambarkan bagaimana kondisi serta trend apa yang sedang muncul pada saat desain fasade itu dibuat.

Untuk mengevaluasi atau melakukan studi pada arsitektur fasade menurut DK Ching (1979): “Komponen visual yang menjadi objek transformasi dan modifikasi dari fasade bangunan dapat diamati dengan membuat klasifikasi melalui prinsip-prinsip gagasan formatif yang menekankan pada geometri, simetri, kontras, ritme, proporsi dan skala”.

Geometri pada fasade yaitu gagasan formatif dalam arsitektur yang mewujudkan prinsip-prinsip geometri pada bidang maupun benda suatu lingkungan binaan, segi tiga, lingkaran, segi empat beserta varian-variannya. Simetri yaitu gagasan formatif yang mengarahkan desain bangunan melalui keseimbangan yang terjadi pada bentuk-bentuk lingkungan binaan. Dibagi menjadi; simetri dengan keseimbangan mutlak, simetri dengan keseimbangan geometri, simetri dengan

(18)

keseimbangan diagonal. Untuk membangun suatu keseimbangan komposisi, simetri harus jauh lebih dominan dari asimetri. Fasade harus memiliki “wajah-wajah” yang mencerminkan solusi terencananya yang berbeda tetapi tetap simetris di dalam diri mereka sendiri (analog terhadap tubuh manusia). Tampak samping seperti yang terlihat, dapat memainkan peran minor dalam menyeimbangkan tampak depan dan belakang.

Kontras Kedalaman yaitu gagasan formatif yang mempertimbangkan warna dan pencahayaan kedalaman menjadi perbedaan gelap terang yang terjadi pada elemen fasade. Tingkat perbedaan dikategorikan menjadi 3; sangat gelap, gelap, terang. Ritme yaitu tipologi gambaran yang menunjukan komponen bangunan dalam bentuk repetasi baik dalam skala besar maupun skala kecil. Komponen yang dimaksud dapat berupa kolom, pintu, jendela atau ornamen. Semakin sedikit ukuran skala yang berulang, dikategorikan ritme monoton, semakin banyak dikategorikan dinamis.

Proporsi yaitu perbandingan antara satu bagian dengan bagian lainnya pada salah satu elemen fasade. Dalam menentukan proporsi bangunan biasanya mempertimbangkan batasan-batasan yang diterapkan pada bentuk, sifat alami bahan, fungsi struktur atau oleh proses produksi. Penentuan proporsi bentuk dan ruang bangunan sepenuhnya merupakan keputusan perancang yang memiliki kemampuan untuk mengolah bentuk-bentuk arsitektur, mengembangkan bentuk-bentuk geometri dasar dan sebagainya, yang tentunya keputusan dalam penentuan proporsi tersebut ada dasarnya.

(19)

Skala dalam arsitektur menunjukkan perbandingan antara elemen bangunan atau ruang dengan suatu elemen tertentu dengan ukurannya bagi manusia. Pada konteks fasade bangunan, skala merupakan proporsi yang dipakai untuk menetapkan ukuran dan dimensi-dimensi dari elemen fasade.

2.5.4 Fasad dan pengaruhnya

Dalam buku Surface Architecture (Leatherbarrow dan Mostafavi, 2002), diterangkan sebuah kejadian bahwa fasad mampu bercerita tentang beberapa hal. Pada awal abad ke-20, seorang arsitek Amerika bernama Albert Kahn menghasilkan beberapa karya bangunan industrial. Pada saat itu Kahn dianggap merancang bangunan hanya dalam konteks bisnis yang menurut sebagian pengamat bangunan-bangunannya jauh dari seni arsitektural. Ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena pada bangunan nonbisnis lainnya seperti gereja, sekolah, dan lainnya, Kahn tidak melupakan aspek arsitekturalnya.

Pada bangunan bisnis, Kahn menganggap modernis adalah yang paling sesuai. Dari kejadian tersebut Leatherbarrow (2002) menangkap suatu hal tentang tampilan bangunan dengan kontekstual. Pada masa itu, kawasan tersebut sedang tumbuh pesat dalam bidang perindustrian. Material dan komponen bangunan pada saat itu pun mulai dihasilkan melalui proses pabrikasi. Intinya, pada saat itu Kahn tidak sedang menerapkan dan menunjukkan langgam tertentu pada bangunannya, tetapi tampilan hasil rancangannya berhasil merepresentasikan bahwa pada masa itu industri sedang tumbuh. Dalam buku yang sama, Leatherbarrow (2002) mengutip penjelasan dari Claude-Nicolas Ledoux. Menurut Ledoux (1990), saat ini bagian luar permukaan

(20)

bangunan dapat menyampaikan apa fungsi bangunan tersebut secara harfiah, serta seluruh bagian permukaan bangunan dapat menunjukkan representasi profil bangunan secara keseluruhan. Bahkan menurutnya, arsitektur digunakan sebagai alat moralitas sosial, sebagai pelopor dari karakter bangunan, baik bangunan tunggal maupun berkelompok (Ledoux, 1990).

Dari kedua kasus tersebut didapat bahwa karakter muka bangunan dapat menunjukkan beberapa hal, diantaranya karakter bangunan itu sendiri maupun kondisi sosial pada masa itu. Paling tidak sebuah bangunan akan menunjukkan secara harfiah apa fungsi bangunan tersebut.

2.6 Fasad

Dalam buku Dictionary of Architecture & Construction, pengertian fasad adalah bagian (arsitektural) luar dari wajah bangunan yang terkadang digunakan untuk membedakan dengan wajah bangunan lainnya dengan cara mengelaborasi detil arsitektural atau ornamental (Harris, 2006). Walaupun tidak dikatakan dengan jelas bahwa fasad merupakan bagian depan bangunan, namun pengertian “wajah” dalam definisi tersebut dapat diartikan bagian muka atau depan.

Kemudian dari definisi tersebut, fungsi fasad pada umumnya adalah untuk kebutuhan arsitek membuat dan menyajikan karakter yang membedakan bangunannya dengan bangunan lain. Karena seperti yang kita pahami bersama bahwa, arsitektur merupakan salah satu profesi yang menghasilkan karya dengan ide-ide baru yang belum pernah ada sebelumnya.

(21)

Di sisi lain kita juga dibatasi oleh tipologi bentuk berdasarkan fungsi bangunan. Seperti yang dikatakan penulis buku Time Saver Standard for Building Types (1983), Joseph De Chiara dan John Hancock Callender, “ketika kita berbicara tentang standar kebutuhan fungsi sebuah bangunan, kita juga sering akan bertemu dengan bentuk-bentuk dengan karakter yang sama berdasarkan fungsi yang sama” (De Chiara, 1983). Ternyata dari kedua hal tersebut tidaklah bertentangan dengan kenyataan objek penelitian ini. Ruko yang merupakan bangunan fungsional, dengan pemanfaatan lahan dan bentuk yang efisien, melahirkan tipologi bentuk (ciri khas) khusus seperti yang telah kita bahas pada bagian awal bab ini. Kemudian, dengan karakter bentuk seperti itu, ruko hanya memiliki bagian muka dari bangunan yang dapat diolah tampilan arsitekturalnya.

2.6.1 Elemen fasad

Selubung bangunan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan ciri dari satu bangunan. Adalah elemen utama dari tampilan bangunan, juga merupakan bentuk dari wajah bangunan (fasade). Ciri yang dapat dilihat dari wajah bangunan atau selubung bangunan adalah bentuk atap, ornamen, ragam hias, dan juga elemen-elemen penyusun wajah bangunan lainnya seperti bukaan dan dinding bangunan (Suryokusumo, 2006).

Dari pandangan Krier (2001), selain menunjukkan fungsi dan organisasi ruang di dalamnya, wajah bangunan juga menunjukkan keadaan budaya saat bangunan itu dibangun, wajah bangunan menunjukkan kriteria tatanan dan penataan, dan berjasa

(22)

dalam memberikan kemungkinan kreatifitas dalam ornamentasi dan dekorasi. Pernyataan Krier tersebut bisa diartikan, pada dasarnya fasad akan menggambarkan bentuk bangunan sesuai dengan fungsi dan strukturalnya atau yang dia istilahkan dengan fasad yang transparan. Seiring dengan upaya pencapaian keindahan yang lebih harmonis, hal-hal selain bukaan (pintu dan jendela) mengalami berbagai macam jenis pengolahan.

Krier (2001), mempertegas pendapatnya bahwa muka bangunan merupakan wajah bangunan yang memamerkan keberadaan bangunan kepada publik. Muka bangunan dibentuk oleh dimensi, komposisi, dan ragam hias. Komposisi muka bangunan mempertimbangkan persyaratan fungsional pada dasarnya berkaitan dengan kesatuan proporsi yang baik, harmonis, dan selaras, penyusunan elemen horizontal dan vertikal yang terstruktur, bahan, warna, dan elemen dekoratif lainnya. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah proporsi bukaan, ketinggian bangunan, prinsip pengulangan, keseimbangan komposisi yang baik, serta tema yang tercakup kedalam variasi.

Krier (2001), juga menyatakan bahwa wajah bangunan mencerminkan kepribadian penghuninya, memberikan semacam identitas kolektif sebagai satu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas tersebut dalam publik. Aspek penting dalam wajah bangunan adalah pembuatan semacam perbedaan antara elemen horizontal dan vertikal, di mana proporsi elemen tersebut harus sesuai terhadap keseluruhannya. Setelah prinsip penyusunan wajah bangunan ini, kondisi konstruksi dapat dibuat terlihat, misalnya artikulasi vertikal

(23)

pada tiang sebagai penyangga, penggunaan elemen-elemen naratif seperti balok jendela untuk mempertegas independensi jendela, teritisan yang menghasilkan bayangan, bahan-bahan yang menonjolkan massa juga dapat digunakan. Krier (2001).

Pendapat Lippsmeir (1980; 74-90), mempertegas lagi mengenai elemen wajah bangunan dari sebuah bangunan yang sekaligus merupakan komponen komponen yang mempengaruhi wajah bangunan adalah: (1) atap; (2) dinding; dan (3) lantai.

Lapisan horizontal pada fasad dihasilkan dari daerah-daerah fungsi yang berbeda. Secara prinsip suatu fasad tidak boleh dirancang tanpa pembedaan horizontal. Suatu pembedaan yang jelas diterapkan dengan sangat tepat di antara lantai dasar, tingkat biasa dan loteng. Fasad sebagai “batas binaan” bekerja serupa dengan portal. Karena itu dinding merupakan suatu tempat di mana eksterior berubah menjadi interior dan sebaliknya.

Dari ketiga sumber tersebut, unsur-unsur yang mempengaruhi karakter suatu fasad dapat disintesakan seperti Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Unsur-unsur yang Mempengaruhi Karakter Fasad menurut Beberapa Ahli Menurut

Krier Lippsmeir Suryokusumo

Elemen dekorasi Atap Bentuk atap

Bukaan dinding Ornamen

Ketinggian bangunan lantai Ragam hias

Bukaan Dinding (bentuk)

(24)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

Unsur-unsur yang Mempengaruhi Karakter Fasad menurut Beberapa Ahli Maksud dari Elemen dekorasi yang disebut oleh Krier dan ornamen serta ragam hias yang disebut oleh Suryokusumo adalah hal yang sama, yaitu elemen-elemen nonfungsional yang ada pada fasad untuk kebutuhan estetika atau yang lebih dikenal dengan sebutan elemen dekorasi. Krier dan Suryokusumo menyebutkan bukaan, yaitu bagian dari fasad (dinding) yang terbuka. Baik itu jendela, pintu,maupun ventilasi. Ketinggian bangunan yang disebutkan oleh Krier dimaksudkan untuk menunjukkan proporsi dari bentuk fasad tersebut. Lippsmeir dan suryokusumo menyebutkan dinding, atap, dan lantai di mana mereka bermaksud menunjukan bentuk fasad yang terbentuk dari elemen-elemen tersebut.

Dalam penjabaran mengenai elemen dekorasi, Krier menyebutkan bahan dan warna dari fasad juga memberi pengaruh terhadap karakteristik fasad. Jika studifasad dilakukan menggunakan metode visual, warna dapat teridentifikasi namun bahan tidak. Dari salah satu pernyataan Krier diatas diketahui pula bahwa karakteristik unsur-unsur tersebut dinilai dari dimensi (bentuk) dan komposisinya. Sumber: Sintesa kajian teori

Secara diagram, apa saja unsur-unsur yang mempengaruhi karakteristik fasad dan apa yang dinilai dari unsur tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Unsur-Unsur yang Mempengaruhi Karakteristik Fasad

BENTUK BUKAAN ORNAMEN DEKORASI WARNA

Badan Pintu Objek atau Elemen yang

Atap Jendela bersifat dekoratif Ventilasi BENTUK JENIS dan KOMPOSISI TIPOLOGI

(25)
(26)

2.7 Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Dari definisi-definisi beberapa sumber pustaka, didapat pengertian dan elemen- elemen fasad yang menjadi batasan objek penelitian, rumusan pengertian tipologi yang akan menjadi aspek-aspek kajian terhadap objek studi sekaligus dapat dirumuskan proses identifikasi tipologi. Kemudian didapat pula peran dan pengaruh fasad terhadap sebuah kota serta fungsi hasil kajian tipologi fasad elemen kota yang mempengaruhi wajah kota.

Gambar

Gambar 2.1 Contoh Tipologi Denah Ruko
Gambar 2.2 Empat Elemen Arsitektur yang Mempengaruhi Konteks  Sumber: Architecture Form Space and Order (Ching; 1943)
Tabel 2.1 Unsur-unsur yang Mempengaruhi Karakter Fasad menurut Beberapa Ahli  Menurut

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis internal dan eksternal perusahaan beserta diagram cartesius dapat diperoleh bahwa yang menjadi strategi utama PT AHASS Honda Daya Motor

Segala jenis aktivitas ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali untuk memuliakan dan menjaga keseimbangan kosmik didasarkan pada munculnya kesadaran manusia yang terpusat pada

Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh.. Zat besi

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Efisiensi Teknis, Alokatif

Secara teoritis penelitian ini diharapkan menghasilkan dalil dalam ilmu kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan persfektif multikultur

Berdasarkan permasalahan yang ingin diteliti, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui besaran pengaruh pendapatan, tingkat

Fenomena anak jalanan dengan beragam permasalahannya tersebut, tidak bisa menghindarkan dari konflik batin yang kerap kali mereka alami, karena pada dasarnya apa

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan SPSS, diperoleh interaksi antara model pembelajaran berbasis proyek terhadap pemecahan masalah usaha dan energi ditinjau