8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS
Peraturan Perundangan Pengelolaan TNDS
Pengelolaan TNDS dilakukan berdasarkan pada Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan peraturan pelaksanaannya, serta Peraturan Perundangan dan Peraturan Daerah yang berlaku di Indonesia. Identifikasi dan penilaian dilakukan terhadap beberapa kebijakan formal yang berkaitan dengan pengelolaan TNDS. Hasil identifikasi ditemukan 31 (tiga puluh satu) buah peraturan (kebijakan) yang digunakan oleh Balai TNDS sebagai dasar pengelolaan TNDS saat ini. Kebijakan tersebut berupa Undang-undang (UU) yang terkait, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Daerah (Perda), Keputusan dan Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Bupati. Identifikasi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan TNDS disajikan pada Tabel 25 berikut:
Tabel 25 Peraturan perundang-undangan terkait pengelolan TNDS
No Peraturan Keterangan
1 Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Bab I Ketentuan Umum. Pasal 1 memberikan definisi Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Bab VII Kawasan Pelestarian Alam. Pasal 34 (1) Pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh Pemerintah
Bab IX Peran Serta Rakyat. Pasal 37 (2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat... melalui pendidikan dan penyuluhan
Bab X Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan. Pasal 38 Dalam ..., pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemda sebagaimana dimaksud... 2 Undang-undang No.41
Tahun 1999, tentang Kehutanan
Bab V Pengelolaan Hutan. Pasal 21 Pengelolaan hutan ..., meliputi kegiatan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Pasal 25 Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional
3 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Bab III Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal 14 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi....j. pengendalian lingkungan hidup
Tabel 25 Peraturan perundang-undangan ...(lanjutan) 4 Undang-Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup. Pada pasal 2, 3 dan 4 mengatur tentang asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup
Pasal 57 menyebutkan pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumberdaya alam yang meliputi perlindungan sumberdaya alam, pengawetan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari
Bab IX Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pada pasal 63, mengatur tentang tugas dan wewenang Pemerintah Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Bab XI Peran masyarakat. Pada pasal 70 dinyatakan masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
5 Undang-Undang No.10 Tahun 2009, tentang Kepariwisataan
Bab VIII Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pada Pasal 28, 29, 30, 31, dan 32 mengatur tentang kewenangan Pemerintah dan Pemda dalam mengatur kegiatan pariwisata
6 Undang Undang No.52 Tahun 2009, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Bab III Hak dan Kewajiban Penduduk. Pada Pasal 5 point (p) dinyatakan setiap penduduk berhak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya
Bab IV Kewenangan dan Tanggungjawab Pemerintah. Pada Pasal 12, 13, dan 14 dinyatakan tentang tanggung jawab Pemerintah, Pemda provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan kependudukan.
7 Undang Undang No.26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang
Bab II Asas dan Tujuan. Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan penataan ruang adalah mewujudkan keharmonisan lingkungan, keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam/buatan dan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
Bab IV Tugas dan Wewenang. Pada Pasal 8, 10, dan 11 meyatakan wewenang Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota dalam Penataan Ruang
Bab VI Pelaksanaan Penataan ruang. Pada Pasal 19 point (h) menjelaskan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten
8 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985, tentang Perlindungan Hutan.
Bab II Perlindungan Kawasan Hutan, Hutan Cadangan dan Hutan Lainnya. Pada Pasal 4 dinyatakan penataan batas dilakukan terhadap setiap areal hutan yang telah ditunjuk sbg kawasan hutan sesuai dengan peraturan per UU yang berlaku Bab IV Perlindungan terhadap Kerusakan Hutan. Pada Pasal 9, 10, 11 mengatur tentang larangan melakukan penebangan pohon dalam hutan tanpa izin, membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah dan pengembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput dan makanan ternak dari dalam hutan
Bab VII Ketentuan Pidana. Pada Pasal 18 mengatur hukuman pidana bagi yang melanggar aturan dari pasal-pasal sebelumnya pada PP ini.
Tabel 25 Peraturan perundang-undangan ...(lanjutan) 9 Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999, tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Bab I Ketentuan Umum . Pada Pasal 1 (1) dinyatakan Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup
10 Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1994, ttg Perburuan Satwa Buru.
Bab II Satwa Buru, Tempat dan Musim Berburu. Pada Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa tempat berburu terdiri dari : Taman Buru; Areal Buru dan Kebun Buru
11 Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2010, tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
Pasal 2 menjelaskan Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengusahaan pariwisata alam bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan, kekhasan, keindahan alam dan/atau keindahan jenis atau keanekaragaman jenis satwa liar dan/atau jenis tumbuhan yang terdapat di TN
12 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Bab III Kawasan Pelestarian Alam.
Pasal 30 menyatakan TN dikelola berdasar sistem zonasi (zona inti, pemanfaatan, rimba dan zona lainnya )
Pasal 31 menyatakan kriteria TN, zona inti, zona pemanfaatan dan zona rimba
Pasal 35 menyatakan pengelolaan TN dilakukan Pemerintah Pasal 37, 38, 39, 40, 41 dan 44 mengatur tentang pengelolaan dengan melakukan upaya pengawetan di TN beserta zonanya Pasal 48, 49.50, 51 dan 54 mengatur tentang pengelolaan dengan melakukan upaya pemanfaatan di TN beserta zonanya 13 Peraturan Pemerintah
No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Bab II Tata hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Pada pasal 8 ayat (2) dinyatakan Tata hutan pada kawasan TN dilaksanakan pada setiap unit pengelolaan, yang memuat kegiatan: a. penentuan batas-batas kawasan yang ditata; b. inventarisasi, identifikasi, dan perisalahan kondisi kawasan; c. pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya di kawasan dan sekitarnya; d. pembagian kawasan ke dalam zona-zona; e. pemancangan tanda batas zona; dan f. pengukuran dan pemataan
14 Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang RTRWN
Pasal 50 ayat (1) menyatakan Rencana pola ruang wilayah nasional terdiri atas: a). kawasan lindung nasional; dan b). kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Pasal 51 menjelaskan Kawasan Pelestarian alam atau TN adalah salah satu Kawasan Lindung Nasional.
15 Keppres No.43 Tahun 1978, tentang Ratifikasi CITES (Convention on International Trades of Endangered Species of Wild Flora and Fauna).
CITES mengatur perdagangan spesies langka dengan mengelompokkan spesies langka yang dimuat dalam Appendiks I, II, dan III
Dalam CITES terlalu banyak peraturan yang rumit, tidak adanya mekanisme sanksi, serta pengaturan nasional yang belum optimal pada beberapa negara peserta
16 Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Bab II Tujuan dan Sasaran. Pada Pasal 2 dan 3 dinyatakan tentang pengelolaan dan sasaran kawasan lindung, yaitu bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dengan sasaran meningkatkan fungsi lindung dan mempertahankan keanekaragaman hayati
Bab III Ruang Lingkup. Pada Pasal 6 dinyatakan bahwa Taman Nasional termasuk kawasan suaka alam dan cagar budaya bersama Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
Tabel 25 Peraturan perundang-undangan ...(lanjutan) 17 Keppres No.48 Tahun
1991, tentang Ratifikasi Ramsar (Convention On Wetland of International Importance Especially as Waterfowl Habitat)
Sejak tahun 1994 TNDS ditetapkan sebagai situs Ramsar Pengelolaan TNDS harus sesuai dengan konvensi Ramsar yang meluas pada kesadaran keutuhan lingkungan dan konservasi, termasuk keanekaragaman hayatinya, bahkan kesadaran tersebut saat ini lebih bermulti fokus menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.
18 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/ Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Bab III Pelaksanaan Kolaborasi Pengelolaan. Pada Pasal 4 ayat (1) menjelaskan Kolaborasi dalam rangka pengelolaan KPA adalah proses kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan
19 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.29/ Menhut-II/2006, tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional
Perubahan tipe Balai TNDS
BTNDS termasuk Tipe A yang terdiri dari a. Sub Bagian Tata Usaha; b. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I; c. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II; d. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III; e. Kelompok Jabatan Fungsional.
20 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006, tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Bab I Ketentuan Umum. Pada Pasal 1 ayat (1) dinyatakan TN adalah KPA baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yaitu dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisaata .dan rekreasi.
21 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007, tentang pembentukan Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional
Bab I Kedudukan, Tugas, Fungsi dan klasifikasi
Pasal 1 ayat (1) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 2, Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional menyelenggarakan fungsi: a. penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional; b. pengelolaan kawasan taman nasional; c. penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman nasional; d. pengendalian kebakaran hutan; e. promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; f. pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; g. kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; h. pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional; i. pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam; j. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Tabel 25 Peraturan perundang-undangan ...(lanjutan) 22 Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2007 tentang Pembagian Rayon Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
Permenhut ini membagi kawasan konservasi di Indonesia kedalam 3 (tiga) Rayon yaitu Rayon I sebanyak 25 unit TN, Rayon II sebanyak 12 unit TN dan Rayon III sebanyak 13 unit TN
Lampiran Permenhut ini menjelaskan TNDS masuk dalam Rayon II dengan lokasi Kalbar
23 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
Bab II Ruang Lingkup.
Pada Pasal 4 dinyatakan areal usaha pariwisata alam dilaksanakan pada kawasan : B. Taman nasional kecuali zona inti.
Pada Pasal 9 ayat (1) dinyatakan pengusahaan pariwisata alam diberikan dalam bentuk IUPJWA dan/atau IUPSWA Pada Pasal 10 ayat (2) Permohonan IUPJWA di TN dan TWA, dapat diajukan oleh; a. Perorangan; b. BUMN; c. BUMD; d. BUMS; atau e. Koperasi.
24 Keputusan Menteri Kehutanan No. 689/ Kpts-II/1989 tentang Peraturan-peraturan untuk Perijinan Usaha di zona Pemanfaatan
Keputusan ini mengatur tentang perijinan usaha di zona pemanfaatan
25 Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 34/ Kpts-II/199 tentang perubahan status kawasan menjadi TNDS
Keputusan ini berisi perubahan status Danau Sentarum dari suaka margasatwa menjadi taman naional
26 Keputusan Menteri Kehutanan No. 878/ Kpts-II/1992, tentang Tarif Tanda Masuk ke Taman Nasional, Taman Hutan Wisata dan Taman Laut
Keputusan ini mengatur tentang tarif tanda masuk ke kawasan TN
27 Keputusan Menteri Kehutanan No. 446/ Kpts-II/1996, tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan
Pencabutan Izin Pengusaha Pariwisata Alam.
Keputusan ini mengatur tentang tatacara permohonan, pemberian dan pencabutan izin pengusaha pariwisata alam
28 Keputusan Dirjen PHKA No. 59/Kpts/DJ-VI/1993, tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional.
Mengatur tentang pedoman penyusunan rencana pengelolaan TN. Rencana Pengelolaan TN dibuat dalam Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pengelolaan Tahunan
Tabel 25 Peraturan perundang-undangan ...(lanjutan) 29 Keputusan Dirjen PHKA
No. 129/Kpts/ DJ-VI/1996, tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, Dan Hutan Lindung.
Mengatur tentang pola pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam yaitu TN berdasarkan zonasi
30 Peraturan Daerah No.5 tahun 2005, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi.
Mengatur tentang RTRW Provinsi Kalimantan Barat
Pasal 4 menyatakan tujuan RTRWP adalah mewujudkan pemanfaatan ruang yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung lingkungan serta sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah yang berdasarkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Pasal 8 ayat (1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan dan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, maka strategi pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf b meliputi: a. Pemeliharaan kelestarian lingkungan;
b Penanganan kegiatan budidaya yang telah ada di dalam kawasan lindung;
c. Pengaturan prasarana dasar di kawasan lindung.
Pasal 32 ayat (2) point e menyatakan TNDS di Kab Kapuas Hulu merupakan Kawasan Taman Nasional
Pasal 37 Kawasan yang diarahkan sebagai Kawasan tertentu adalah: (e) TNDS
31 Keputusan Bupati Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003, tentang Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi.
Bab II Kawasan Konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu pada point B menyebutkan TNDS
Bab III Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi pada point C mengenai Faktor-faktor penunjang pembentukan kabupaten konservasi, antara lain adalah pada point 4 Kekayaan keanekaragaman hayati (Biodiversity) yang dimiliki Taman Nasdional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum merupakan asset yang sangat berharga bagi penelitian dan pengembangan (research and development)
Dari kebijakan yang teridentifikasi di atas, sebagian besar kebijakan menyatakan bahwa pengelolaan TN dilakukan oleh Pemerintah dengan sistem zonasi. Walaupun ada peluang untuk berkolaborasi antara berbagai pihak yang berkepentingan seperti yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) namun masih dalam kendali Pemerintah Pusat. Selain itu keterlibatan atau peran serta masyarakat masih sangat dibatasi dalam kegiatan pengelolaan seperti terungkap dalam Undang Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada Pasal 70 ayat (1) menyatakan memberi peluang kepada masyarakat berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, namun
peran tersebut hanya terbatas seperti tertera di ayat (2) yaitu dalam kegiatan pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan.
Beberapa hal penting lain yang menjadi benang merah adalah bahwa kebijakan tersebut mengedepankan: konservasi keanekaragaman hayati dalam kawasan; pemanfaatan ruang yang terpadu dan selaras; serta mengedepankan kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Ilustrasi tentang hubungan regulasi yang telah teridentifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 25 dengan kriteria yang diacu oleh penelitian ditunjukkan pada Tabel 26.
Tabel 26 Point kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TNDS
No Aspek Formal Nonformal
1 Desentralisasi √
2 Konservasi SDA √ √
3 Koordinasi dan kerjasama √ √
Kelemahan kebijakan formal adalah belum memuat semangat desentralisasi secara utuh. Hal ini ditunjukkan oleh hampir seluruh kebijakan yang teridentifikasi di atas yang menyatakan peranserta masyarakat diatur, digerakkan dan diarahkan oleh pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan belum ada niat penuh untuk melaksanakan pengelolaan TN bersama masyarakat dan juga pemerintah daerah, atau dengan kata lain pemerintah masih setengah-setengah untuk memberikan sebagian pengelolaan dengan pemangku kepentingan lain. Padahal dinyatakan bahwa pada tahun 1980-an Indonesia mulai memperhatikan masyarakat sebagai pihak yang ikut terlibat dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan TN yakni sejak diselenggarakan Kongres Dunia TN di Bali tahun 1982. Hal tersebut diperkuat lagi dengan Konferensi Anggota Konvensi Keragaman Hayati ke-2 yang diadakan di Jakarta pada tahun 1995. Konferensi tersebut mengamantakan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam setiap rencana kegiatan TN. Seperti juga di TNDS dalam menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum (RPTNDS) dan Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM) nya BTNDS telah melakukan musyawarah dengan berbagai pihak yang terlibat, namun dalam pelaksanaannya pengelolaan masih dipegang penuh oleh pihak Balai.
Kebijakan-kebijakan lain juga telah membuka peluang masyarakat dan pihak lain untuk berperanserta, bahkan lebih spesifik pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), tetapi otoritas pengelolaan TN tetap pada Menteri Kehutanan. Kenyataan yang ada di semua TN terjadi kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, ini menunjukkan pemerintah pusat belum mampu dan berhasil membentuk mekanisme pengelolaan TN yang efektif. Hasil penelitian Anshari 2006 menyatakan bahwa pengelolaan kolaboratif diharapkan dapat menciptakan tata kelola mandiri (self governance) yang akan menciptakan keuntungan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Hal penting sebagai implikasi dari kebijakan yang telah ada adalah (terutama ) undang-undang yang belum secara detail mengatur tentang tata cara atau mekanisme pengelolaan kolaborasi. Dengan demikian maka pada konteks
lokal (daerah) aspek kolaborasi pengelolaan yang telah dituangkan dalam undang-undang dan permenhut yang sudah ada perlu dijabarkan kembali kedalam bentuk yang lebih spesifik misalnya dengan Peraturan Daerah.
Selanjutnya untuk ke depan aspek kolaborasi yang telah diatur pada kebijakan di atas perlu digeser paradigmanya menjadi pengelolaan TN secara terdesentralisasi dan partisipatif. Ini dikarenakan manfaat dan tanggungjawab yang lebih besar diberikan pada pihak kabupaten/kota dan dibawahnya. Manfaat, peran dan tanggungjawab yang lebih besar tentunya menyebabkan masyarakat lokal dan juga Pemda kabupaten/kota akan lebih menjaga kelestarian TN. Ini tentunya dapat memberikan harapan keberlanjutan kelestarian TN akan lebih besar untuk diraih.
Pada kebijakan nonformal, yaitu aturan-aturan yang berlaku di masyarakat telah memuat aspek desentralisasi dan ditunjukkan dengan pembagian wewenang atau tugas pada masing-masing pihak di lingkungan masing-masing berkaitan dengan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Contoh konkrit adalah saat akan melakukan aktifitas ngerinan, jala zakat dan pembagian wilayah tangkap ditentukan oleh ketua rukun nelayan. Namun yang perlu dibenahi adalah sebaiknya kebijakan tersebut perlu didokumentasikan dan disebarluaskan ke seluruh kampung nelayan, sehingga kekuatan adatnya lebih permanen dan diketahui. Secara substansi isinya tidak berubah dan dapat diwariskan pada generasi selanjutnya. Sebenarnya di TNDS sendiri sudah dilakukan pertemuan rukun nelayan se danau sentarum, namun karena yang pergi hanya perwakilan seringkali pengetahuan yang dimiliki perwakilan kurang tersampaikan ke masyarakat. Untuk hal seperti ini perlu fasilitasi dari pihak Balai agar dapat mensosialisasikannya sehingga dapat dijalankan dengan lebih baik.
Jika dicermati lebih lanjut isi dari kebijakan yang terkait kegiatan pengelolaan tersebut di atas umumnya merupakan perangkat aturan yang dikontrol (command and control) karena memuat sanksi-sanksi dalam pasal-pasalnya. Perangkat aturan yang dikontrol diartikan sebagai kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan standar‐standar dan mengontrolnya dengan peraturan‐peraturan hukum yang disertai sanksi‐sanksi (Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Pendekatan yang digunakan adalah paksaan (coercive). Penerapan standar‐standar tersebut kelihatannya sederhana dan berdampak langsung, tetapi pada kenyataannya hal demikian hanya diperoleh pada awalnya saja, selanjutnya menjadi tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh (1) penetapan standar yang cenderung ―zero risk‖ dan seragam, sementara daya dukung dan daya lenting lingkungan tidak seragam, (2) perhitungan denda dilakukan pada ex‐ante dan tidak selamanya sesuai dengan kondisi aktual, (3) membutuhkan biaya penegakan (enforcement costs) yang tinggi, dan (4) pada banyak kejadian tingginya biaya penegakan tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh (Nugroho et al. 2009).
Kewenangan Pengelolaan TNDS
Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 bahwa TN adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan TN dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan. Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 menyebutkan Unit Pelaksana Teknis TNDS adalah Balai TNDS yang melakukan pengelolaan dan bertanggungjawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 menjelaskan bahwa fungsi Balai TNDS sebagai berikut: a. penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional; b. pengelolaan kawasan taman nasional; c. penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman nasional; d. pengendalian kebakaran hutan; e. promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; f. pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; g. kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; h. pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional; i. pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam; j. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Dalam menjalankan mandat peraturan perundang-undangan di atas pihak BTNDS melaksanakan pengelolaan kawasan TNDS berdasarkan rencana pengelolaan yang dibuat dalam bentuk RPTNDS, RPJM dan Rencana Pengelolaan Jangka Pendek. Rencana pengelolaan merupakan pedoman, kerangka, dan acuan pengelolaan TNDS dalam merencanakan, melaksanakan, dan monitoring evaluasi kegiatan, termasuk waktu bertindak, besarnya dana dan jumlah tenaga yang dibutuhkan. Beberapa proses telah dilalui dalam penyusunan rencana pengelolaan ini dengan berdasarkan berbagai pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan. Serta mengadopsi beberapa masukan dari para pihak termasuk di dalamnya masyarakat melalui pertemuan-pertemuan kelompok (discussion group), melalui Workshop penyusunan RPTNDS maupun Konsultasi Publik RPTNDS yang melibatkan para pihak, masyarakat dan Unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu.
Perkembangan Kebijakan Pengelolaan TNDS
Dalam perjalanannya ada beberapa aspek dalam pengelolaan TNDS yang mendapat perhatian pengembangan yang cukup signifikan, sebagai contoh adalah pengelolaan kolaboratif dan pengembangan ekowisata. Kebijakan pengelolaan kolaboratif dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pengelolaan kolaboratif mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat, yang selain bersifat partisipatif juga mengandung maksud adanya pembagian peran, manfaat dan tanggung jawab. Seperti yang sudah dikemukakan di atas kebijakan formal ini masih setengah-setengah memberikan peluang pada pihak lain selain Pemerintah Pusat untuk dapat berpartisipasi dalam mengelola TN. Ini terlihat dari jenis kegiatan yang menjadi sasaran kegiatan pengelolaan kolaboratif adalah: penataan
kawasan; pemanfaatan kawasan; penelitian dan pengembangan; perlindungan dan pengamanan potensi kawasan; pengembangan sumberdaya manusia dalam mendukung pengelolaan KPA; pembangunan sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan kolaborasi dan pembinaan partisipasi masyarakat. Padahal dalam pengelolaan sebaiknya dilibatkan juga dari kegiatan perencanaan, karena dari perencanaan semua pengelolaan itu dimulai dan mengarahkan pengelolaan yang akan dilakukan.
Pengelolaan kolaboratif juga sangat sulit untuk terbentuk. Peraturan Menteri Kehutanan No.P19 menentukan kolaborasi pengelolaan KSA dan KPA dilakukan melalui kesepakatan dan kesepahaman yang tertulis (Pasal 5 ayat 1). Secara praktis hal ini mungkin sulit dicapai karena terlalu banyak perbedaan antara pemangku kepentingan (Lihat hasil Bab 6) dan membutuhkan tenaga, waktu, biaya serta inisiatif. Dalam praktek, masih perlu adanya koordinator karena proses-proses kolaboratif belum mencapai titik kesempurnaan dan masih diperlukan tenaga penggerak dan pendobrak serta niat tulus dari semua pemangku kepentingan untuk melakukan pengelolaan bersama dengan tujuan keberlanjutan ekosistem TNDS yang lebih baik.
Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan para pemangku kepentingan, secara ringkas dapat dikatakan bahwa sebenarnya pola pengelolaan yang saat ini sedang berjalan tidak hanya dilakukan oleh BTNDS saja. Ada pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat, LSM dan Pemda yang bersifat spesifik seperti kegiatan gotong royong, pelaksanaan kearifan lokal, kerjasama pengelolaan dan pelaksanaan program pemerintah. Bila dikaji lebih mendetail sebenarnya ini merupakan informasi dasar dalam menentukan pola partisipasi sesuai dengan jenisnya, seperti yang terjadi di TN Gunung Rinjani yakni pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSBM), pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah (POP) dan co-management (Nikijuluw 2002; NRTEE 1998).
Kebijakan pengembangan ekowisata di TNDS mengacu pada pasal 1 ayat (4) UU no. 5 Tahun 1990 yaitu TN dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi. Pasal 1 ayat 6 Permenhut Nomor:P.56/Menhut-II/2004 menjelaskan zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi serta potensi alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Peraturan Menteri ini juga menyebutkan bahwa zona pemanfaatan meliputi ciri-ciri antara lain: a). Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; b). Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensial dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; c). Kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan; d). Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; e). Tidak berbatasan langsung dengan zona inti.
Zonasi di kawasan TNDS sampai penelitian berlangsung belum selesai dilakukan. Namun sudah ada hasil berupa peta zonasi yang dibuat bekerjasama dengan Tropenbos tahun 2008. Berdasarkan aspek fisik TNDS, zonasi di TNDS meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona penyangga, dapat
dilihat pada Gambar 20. Belum tuntasnya zonasi kawasan sebagai dasar pengelolaan TN merupakan salah satu permasalahan dalam pengelolaan yang dilakukan saat ini, namun demikian kegiatan ekowisata tetap dilaksanakan.
Gambar 20 Peta rencana zonasi TNDS
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pengembangan ekowisata di Taman Nasional dapat memberikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan Negara Bukan Pajak di Departemen Kehutanan berasal dari pungutan masuk dari taman nasional. Besarnya tarif PNBP yang berlaku di Departemen Kehutanan di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomo 59 Tahun 1998 yaitu berdasarkan Rayon. Permenhut Nomor: P.11/Menhut-II/2007 menjelaskan bahwa TNDS masuk dalam Rayon II dengan lokasi Kalbar. Tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran pungutan dan iuran bidang hutan dan konservasi alam diatur dalam pasal 1 ayat (5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 656/KMK.06/2001. Permenhut ini menjelaskan bahwa PNBP adalah pungutan yang dikenakan kepada setiap pengunjung dan atau peneliti dan atau pelaku kegiatan dan setiap kendaraan yang memasuki kawasan pelestarian alam.
RTRW Kabupaten Kapuas Hulu menjelaskan bahwa pengembangan pariwisata di Kabupaten Kapuas Hulu meliputi wisata alam, wisata alam hutan dan panorama alam. Salah satu daerah tujuannya yaitu TNDS. Pasal 14 Permendagri Nomor 33 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Pemda dalam mengembangkan ekowisata dilakukan melalui perencanaan, pemanfaatan dan dilakukan secara terpadu. Pasal 15 Permendagri ini menjelaskan bahwa untloluk mengembangkan ekowisata daerah perlu dibentuk kepengurusan Tim Koordinasi tingkat Kabupaten dan Tingkat Provinsi. Susunan kepengurusan terdiri dari Ketua (Kepala Bappeda kabupaten/kota/provinsi); Sekretaris (Kepala Dinas/lembaga yang membidangi 87 pariwisata); Anggota (Kepala SKPD terkait, assosiasi pengusaha pariwisata, tenaga ahli, akedemisi dan masyarakat). Secara administratif kawasan TNDS berada di Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalbar.
Kebijakan pengelolaan TNDS
Kebijakan pengelolaan TNDS secara umum berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dari pusat dan daerah. Kebijakan pusat meliputi UU No.5 tahun 1990 tentang KSDHE, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.32 tahun 2004 (UU No.12 tahun 2008) tentang Otonomi Daerah, UU No.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kebijakan daerah berupa RTRW Provinsi Kalimantan Barat dan Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Dalam RTRW Provinsi dinyatakan bahwa TNDS merupakan kawasan TN dan kawasan tertentu. Sementara untuk RTRW Kabupaten yang juga sebagai panduan dalam kegiatan pengelolaan TNDS belum di perdakan sampai saat penelitian berlangsung. Dalam RTRW Kabupaten dinyatakan bahwa TNDS merupakan kawasan strategis kabupaten, meliputi: Kawasan Ekowisata TNDS yang merupakan kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi, dan Kawasan Koridor TNDS dengan TNBK yang merupakan kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan. Keputusan Bupati Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003, tentang Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi, mengungkapkan keberadaan TNDS merupakan faktor penunjang penting dalam penetapan Kapuas Hulu sebagai kabupaten Konservasi.
Kebijakan BTNDS terkait dengan pengelolaan yang dilakukan mengacu pada RPTNDS tahun 2007-2031 dan RPJM TNDS 2007-2011. Misi dari BTNDS adalah: 1 Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem TNDS; 2 Memantapkan perlindungan hutan dan penegakkan hukum kawasan TNDS; 3 Mengembangkan secara optimal sumberdaya alam hayati dan ekosistem TNDS berdasarkan prinsip kelestarian; 4 Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan perlindungan dan pemanfaatan SDA hayati dan ekosistem TNDS; dan 5. Meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Di dalam RPJM TNDS 2007-2011 dinyatakan secara program, rencana pengelolaan meliputi: 1Perlindungan kawasan TNDS; 2 Pelestarian ekosistem-ekosistem yang terdapat dalam TNDS; 3 Penegakan hukum, baik hukum positif maupun adat; 4 Penyusunan zonasi kawasan yang dilakukan secara partisipatif, sesuai dengan kaidah-kaidah perlindungan dan pelestarian alam kebutuhan masyarakat lokal yang pada saat ini tinggal di dalam kawasan TNDS; 5 Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan para pihak lainnya untuk memberdayakan perekonomian masyarakat lokal yang selaras dengan kaidah-kaidah perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam yang terdapat dalam TNDS; 6 Bekerjasama dengan masyarakat lokal dan para pihak lainnya untuk secara bersama-sama mengelola dan melestarikan TNDS; 7 Bekerjasama dengan pemerintah provinsi Kalbar dan kabupaten Kapuas Hulu untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan TNDS; 8 Bekerjasama dengan universitas dan lembaga penelitian untuk melakukan kegiatan penelitian yang akan membantu masyarakat lokal untuk memelihara kelestarian ekosistem TNDS, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Balai KSDA Kalbar 2006). Secara ringkas hirarki kebijakan pengelolaan TNDS disajikan pada Gambar 21.
UU No.5/1990 UU No.41/1999 PP No. 28/2011 PP No.34/2002 RPJP DEPHUT 2006-2025 UU No. 32/2009 UU No. 10/2009 PP No. 27/1999 (PP No. 27/2012) PP No.36/2010 RIPPNAS UU No.32/2004 (UU No.12/2008) PP No. 7/2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan UU No.52/2009 PP No. 57/2009 Tentang Pengelolaan Perkembangan Penduduk UU No.26/2007 PP No 26/2008 Tentang RTRWN Kebijakan Ditjen PHKA
Renstra dan Renja BLHD KalBar
Renstra dan Renja Provinsi Kalbar
Renstra dan Renja BPPAMKB Kalbar
RTRW Provinsi Kalbar
RPTNDS 2007-2031
Renstra dan Renja BLH Kab. Kapuas Hulu
Renstra dan Renja Kabupaten Kapuas Hulu
Renstra dan Renja BPDPKB Kab
Kapuas Hulu
RTRW Kabupaten Kapuas Hulu
2003-2012
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Gambar 21 Hirarki kebijakan pengelolaan TNDS Provinsi Kalimantan Barat
1