• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL Profil Kelas Kelas Akselerasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL Profil Kelas Kelas Akselerasi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL

Profil Kelas

Contoh dalam penelitian ini berasal dari tiga model pembelajaran yang berbeda dan terdiri atas contoh kelas akselerasi, kelas SBI, dan kelas reguler. Kelas akselerasi dan kelas SBI dalam penelitian ini berasal dari sekolah yang sama.

Kelas Akselerasi

Kelas akselerasi merupakan kelas percepatan bagi para siswa yang memiliki kemampuan kognitif diatas rata-rata siswa pada umumnya. Kelas ini memadatkan materi pelajaran yang seharusnya diperoleh dalam kurun waktu tiga tahun masa belajar menjadi hanya dua tahun saja. Contoh dari kelas akselerasi diharuskan melewati tahap seleksi yang cukup ketat, diantaranya nilai rata-rata rapor SMP (Sekolah Menengah Pertama) diatas delapan dan memiliki IQ (Inteliigence Quotient) lebih dari 130. Kelas ini dilihat dari infrastuktur sekolahnya mendapatkan fasilitas yang sangat baik dan memadai, di dalam kelas terdapat pendingin ruangan (air conditioner) dan LCD yang disediakan untuk mendukung kenyaman dan kelancaran proses pembelajaran.

Karena waktu belajar yang dipangkas setahun, konsekuensinya contoh dari kelas akselerasi harus menerima pemadatan jam pelajaran. Hal ini diperlihatkan dengan waktu masuk sekolah yang dimulai lebih pagi dari kelas yang lain. Pada hari senin sampai dengan rabu, contoh kelas akselerasi memulai kelas pukul 06.15 WIB, sedangkan hari kamis sampai sabtu kelas dimulai pada jam 06.30 WIB. Waktu pulang sekolah setiap hari adalah pukul 14.00 WIB kecuali hari jumat yakni pukul 11.20 WIB. Jam istirahat pertama untuk contoh akselerasi berbeda dengan kelas lainnya walaupun masih sama-sama belajar di sekolah dengan siswa yang lain. Istirahat pertama dimulai pada pukul 09.00-09.15 WIB, sedangkan istirahat kedua waktunya disamakan dengan kelas lain untuk sholat dan makan siang. Seringkali contoh akselerasi tidak keluar ruang kelas pada jam istirahat pertama karena lebih memilih belajar di kelas. Perbedaan waktu belajar inilah yang membuat aktivitas sosial contoh kelas akselerasi dengan siswa lain menjadi terbatasi. Sepulang sekolah, biasanya siswa lain menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau melakukan aktivitas sosial di luar sekolah. Namun, contoh akselerasi merasa kesulitan untuk bergaul dikarenakan harus mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk belajar ataupun mengerjakan tugas.

(2)

Dalam proses KBM (kegiatan belajar mengajar), contoh didampingi oleh dua pengajar. Satu guru bertugas menyampaikan materi melalui LCD, guru lain menemani dan membantu ketika ada siswa yang ingin bertanya.

Kelas SBI

Kelas SBI merupakan kelas yang berasal dari sekolah berstandar internasional. Untuk menjadi siswa di kelas SBI, contoh harus memenuhi persyaratan akademik seperti rata-rata nilai rapor SMP (Sekolah Menengah Pertama) diatas tujuh dan bersedia membayar biaya sekolah perbulan relatif lebih besar dibandingkan kelas reguler. Hal ini memungkinkan contoh kelas SBI dilihat untuk mendapatkan fasilitas yang relatif lebih baik dibanding kelas reguler. Kelas ini memiliki pendingin ruangan (air conditioner) yang memungkinkan contoh belajar dengan nyaman, selain itu contoh juga diperkenankan membawa laptop guna mendukung proses pembelajaran di kelas.

Dalam sehari, sekitar empat sampai lima mata pelajaran diberikan oleh sekolah kepada contoh dengan masing-masing mata pelajaran mendapatkan porsi 2 X 40 menit untuk hari jumat dan 2 X 45 menit untuk hari selain jumat. Jam akademik contoh dimulai pukul 07.00 WIB dengan waktu pulang bervariasi. Hari senin sampai dengan kamis, contoh pulang sekolah pada pukul 14.00 WIB, sedangkan hari jumat contoh pulang pukul 11.20 WIB dan hari sabtu pukul 11.50 WIB. Diantara waktu belajar di sekolah, terdapat dua kali waktu istirahat, yakni pukul 9.50-10.05 WIB serta pukul 11.50-12.30.

Dalam proses KBM (kegiatan belajar mengajar), semua mata pelajaran disampaikan dengan alat bantu LCD. Untuk pelajaran MIPA seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi, bahan ajar yang diberikan melalui LCD memang menggunakan bahasa Inggris, namun saat penyampaian materi oleh guru bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Ketika ulangan MIPA berlangsung, contoh mendapatkan sekitar 30% soal berbahasa Inggris dan sisanya berbahasa Indonesia.

Di dalam ruangan, seperti kelas konvensional pada umumnya, guru memberikan materi atau menjelaskan teori terlebih dahulu, kemudian contoh diberikan waktu untuk bertanya, diberi kesempatan untuk berdiskusi secara kelompok, dan mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Oleh sebab itu, dalam satu hari, pemberian tugas tidak hanya berupa tugas individu tetapi juga dalam bentuk tugas kelompok.

(3)

Kelas Reguler

Kelas reguler adalah kelas yang menggunakan sistem konvensional, waktu siswa untuk menempuh tingkat SMA adalah tiga tahun dan bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Untuk menjadi peserta kelas reguler, tidak ada persyaratan khusus seperti standar nilai rapor ataupun tes IQ. Siswa Kelas XI IPA 1 reguler yang menjadi contoh dalam penelitian tidak diberikan fasilitas khusus berupa pendingin ruangan seperti yang diperoleh contoh dari kelas akselerasi dan SBI. Selain itu, contoh kelas reguler tidak ada yang membawa laptop ke dalam ruangan kelas, mengingat kondisi sosial ekonomi yang berbeda dengan contoh dari kedua kelas tersebut, maka hal ini diduga menjadi alasan fasilitas yang digunakan oleh ketiga contoh berbeda.

Proses KBM di dalam kelas dimulai pada pukul 07.00-12.00 WIB dengan cara penyampaian materi sebagian besar guru adalah teacher centered atau guru sebagai pusat pembelajaran. Diskusi kelas biasanya berupa komunikasi dua arah antara guru dan siswa seperti tanya jawab, bukan diskusi antar siswa. Saat dilakukan pengamatan pada waktu penelitian di kelas ini, setelah jam pelajaran usai, banyak diantara siswa yang melanjutkan kegiatan ekstrakurikuler.

Karakteristik Contoh

Seorang anak dalam proses tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dirinya. Di antara faktor internal yang terdapat dalam diri anak adalah jenis kelamin, urutan kelahiran, dan usianya.

Jenis Kelamin

Pada penelitian ini, proporsi jenis kelamin contoh tidak seimbang karena contoh berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan contoh berjenis kelamin laki-laki. Lebih dari separuh contoh di ketiga kelas berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 62,8 persen. Kelas reguler memiliki persentase contoh berjenis kelamin perempuan yang paling tinggi dibandingkan persentase contoh di dua kelas lainnya, yakni sebesar 66,7 persen (Tabel 3).

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n %

Laki-laki 10 38,5 12 40,0 10 33,3 32 37,2

Perempuan 16 61,5 18 60,0 20 66,7 54 62,8

(4)

Urutan Kelahiran

Contoh dalam penelitian ini lahir dengan posisi urutan kelahiran yang berbeda-beda. Dapat dilihat di Tabel 4 bahwa contoh yang merupakan anak sulung dari ketiga kelas memiliki persentase yang lebih tinggi yakni mencapai lebih dari setengah contoh (52,3%). Sebanyak 61,5 persen contoh dari kelas akselerasi merupakan anak sulung dan menjadi proporsi anak sulung paling banyak diantara ketiga kelas. Proporsi paling kecil ditempati oleh contoh yang merupakan anak tengah. Contoh dari kelas akselerasi yang merupakan anak tengah berjumlah paling sedikit, hanya 15,4 persen dibandingkan proporsi anak tengah diantara dua kelas lainnya.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran Urutan

kelahiran

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Anak sulung 16 61,5 14 46,7 15 50,0 45 52,3 Anak tengah 4 15,4 8 26,7 7 23,3 19 22,1 Anak bungsu 6 23,1 8 26,7 8 26,7 22 25,6 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Mean ± SD 1.62 ± 0,852 1.80 ± 0,847 1.77 ± 0,858 1.73 ± 0,846 P-value 0,813 Usia Contoh

Karakteristik contoh dilihat dari usia contoh, rata-rata usia contoh adalah 16,2 tahun. Tabel 5 memperlihatkan bahwa rata-rata usia contoh paling kecil diperlihatkan di kelas akselerasi, hal ini dapat diartikan bahwa contoh dari kelas akselerasi adalah contoh termuda dimana dengan menggunakan uji beda One Way Anova, terlihat perbedaan nyata (p<0.01) rata-rata usia contoh di ketiga kelas. Contoh pada kelas akselerasi memiliki rata-rata usia termuda karena memang program ini adalah percepatan yang memangkas waktu belajar contoh akselerasi dari tiga tahun menjadi dua tahun.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan usia contoh

Usia Contoh Kelas Total

Akselerasi SBI Reguler

Minimum 14 16 16 14

Maksimum 16 18 17 18

Rata-rata ± SD 115.27 ± 0,533 16.50 ± 0,572 16.47 ± 0,507 16.12 ± 0,773

P-value 0,000

Karakteristik Keluarga Contoh

Menurut Bronfenbrenner yang diacu dalam Brooks (2001), keluarga menjadi tempat pertama dan utama seorang anak dapat belajar karena

(5)

merupakan lingkungan interaksional yang paling dekat dengan anak. Menurut Schikendaz (1995), diacu dalam Megawangi (2007), segala perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian atau karakter seorang anak. Proses pengasuhan sendiri tentunya berbeda-beda bergantung dari latar belakang pengasuh/keluarga anak. Pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, dan besar keluarga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pengasuhan.

Besar Keluarga

Menurut Hurlock (1980), besar keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang anggota), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Berdasarkan data pada Tabel 6, besar keluarga contoh dalam penelitian ini menyebar dari tiga sampai dengan tujuh orang anggota. Lebih dari separuh contoh di ketiga kelas (akselerasi, SBI, dan reguler) berasal dari keluarga sedang dan sisanya berasal dari keluarga kecil. Tabel 6 memperlihatkan bahwa dengan uji beda One Way Anova tidak ada satupun contoh yang berasal dari keluarga besar, baik contoh dari kelas akselerasi, SBI, maupun reguler dan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara ketiga kelas (p>0.05).

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar keluarga

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Kecil 7 26,9 7 23,3 14 46,7 28 32,6 Sedang 19 73,1 23 76,7 16 53,3 58 67,4 Besar - - - - Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 P-value 0,236

Usia Orang Tua

Karakteristik orang tua contoh dilihat dari usianya, rata-rata usia ayah contoh hampir mencapai 50 tahun, sementara itu usia ibu contoh juga berkisar antara usia 40 tahun-an (Tabel 7). Rata-rata usia ayah contoh yang paling muda berada di kelas reguler dan rata-rata usia ibu contoh yang termuda juga berasal dari contoh di kelas reguler. Setelah dilakukan uji beda One Way Anova, tidak diperoleh perbedaan yang nyata pada usia ayah contoh, tetapi terdapat perbedaan yang nyata pada usia ibu contoh (p<0.01). Terdapat dua ayah contoh yang telah meninggal dunia pada contoh dari kelas SBI.

(6)

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua

Usia Ayah Kelas Total

Akselerasi SBI Reguler

Minimum 39 42 40 39 Maksimum 59 72 56 72 Rata-rata 47,77 ± 5,078 50,21 ± 6,332 47,09 ± 8,962 48,21 ± 5,248 P-value 0,900 Usia Ibu Minimum 36 37 36 36 Maksimum 54 55 48 55 Rata-rata 44,19 ± 3,666 45,43 ± 4,248 41,83 ± 2,925 43,80 ± 3,922 P-value 0,001 Pendidikan Ayah

Pendidikan orang tua contoh dilihat berdasarkan tingkat terakhir orang tua contoh menamatkan pendidikan formalnya. Tabel 8 menunjukkan bahwa dari seluruh kelas, lebih dari separuh ayah contoh mencapai jenjang pendidikan tertinggi S1/S2/S3 (55,8%), dan hanya sebagian kecil yang tidak menamatkan pendidikan dasarnya.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah

Pendidikan ayah Kelas Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Tidak tamat SD - - 2 6,7 - - 2 2,3 Tamat SD/sederajat - - - - 2 6,7 2 2,3 Tamat SMP/sederajat - - 1 3,3 2 6,7 3 3,5 Tamat SMA/sederajat 3 11,5 6 20,0 15 50,0 24 28,0 D1/D2/D3 4 15,4 2 6,7 1 3,3 7 8,1 S1/S2/S3 19 73,1 19 63,3 10 33,3 48 55,8 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 P-value 0,001

Proporsi ayah contoh dari kelas akselerasi yang menamatkan pendidikan tertinggi (S1/S2/S3) lebih banyak dibandingkan ayah contoh yang menamatkan jenjang pendidikan lebih rendah, hal ini dibuktikan bahwa sebanyak 73,1 persen ayah contoh telah menamatkan pendidikannya minimal di tingkat S1. Begitu pula dengan ayah contoh di kelas SBI, lebih dari separuh contoh memiliki ayah yang berpendidikan tinggi (63,3%), sedangkan setengah dari contoh di kelas reguler (50%), berasal dari ayah yang berpendidikan pada jenjang tamat SMA, lalu proporsi terbesar kedua kelas reguler (33,3%) diraih oleh contoh yang ayahnya menamatkan jenjang S1/S2/S3. Tabel 8 memperlihatkan dengan uji beda Kruskal-Wallis memang terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat pendidikan ayah contoh diantara ketiga kelas (p<0.01).

(7)

Pendidikan Ibu

Sama halnya seperti pendidikan ayah, pendidikan ibu contoh dilihat dari jenjang terakhir ibu contoh menamatkan pendidikan formalnya. Tabel 9 memperlihatkan bahwa lebih dari seperempat ibu contoh merupakan tamatan S1/S2/S3. Sementara itu, jika pada ayah contoh masih ada yang tidak menamatkan sekolah dasarnya, ibu contoh memperlihatkan hal yang sebaliknya, yakni tidak ada sama sekali ibu contoh yang tidak menamatkan pendidikan dasar.

Pendidikan yang paling tinggi ditempuh oleh ibu contoh dari kelas akselerasi adalah jenjang S1/S2/S3 sekaligus merupakan proporsi paling besar diantara jenjang pendidikan lainnya (69,2%). Untuk kelas SBI, proporsi ibu contoh yang merupakan tamatan S1/S2/S3 sama dengan ibu contoh yang merupakan tamatan SMA (43,3%). Ibu contoh dari kelas reguler yang merupakan tamatan SMA menempati jumlah terbanyak (50,0%) di kelas tersebut (Tabel 9). Dengan menggunakan uji beda Kruskal-Wallis, terlihat bahwa diantara kelas akselerasi, SBI dan reguler, terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ibu contoh (p<0.01).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu

Pendidikan ibu Kelas Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Tidak tamat SD - - - - Tamat SD/sederajat - - 2 6,7 3 10,0 5 5,8 Tamat SMP/sederajat - - - - 7 23,3 7 8,2 Tamat SMA/sederajat 3 11,5 13 43,3 15 50,0 31 36,0 D1/D2/D3 5 19,2 2 6,7 2 6,7 9 10,5 S1/S2/S3 18 69,2 13 43,3 3 10,0 34 39,5 Total 26 100.,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 P-value 0,000 Pekerjaan Ayah

Pekerjaan ayah merupakan aktivitas yang dilakukan ayah contoh yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian keluarga. Hampir separuh contoh memiliki ayah yang bekerja di sektor swasta (40,7%).

Ayah contoh dari kelas akselerasi yang bekerja di sektor swasta mencapai 46,2 persen, lalu disusul ayah contoh yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (42,3%). Di kelas SBI dapat dilihat bahwa sektor swasta juga ditempati dengan jumlah terbanyak karena sektor ini ditempati sebanyak 36,7 persen dari jumlah ayah contoh kelas SBI. Begitu juga dengan ayah contoh kelas

(8)

reguler, pekerjaan di sektor swasta menduduki peringkat pertama (40,0%) sebagai sumber mata pencaharian ayah contoh (Tabel 10).

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah

Pekerjaan ayah

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Tidak bekerja - - 3 10,0 - - 3 3,5 Wiraswasta 1 3,8 6 20,0 3 10,0 10 11,6 PNS 11 42,3 7 23,3 9 30,0 27 31,4 Swasta 12 46,2 11 36,7 12 40,0 35 40,7 ABRI - - 2 6,7 3 10,0 5 5,8 Buruh - - - - 2 6,7 2 2,3 Pensiunan 1 3,8 1 - - - 2 2,3 Dokter 1 3,8 - - - - 1 1,2 Supir - - - - 1 - 1 1,2 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Pekerjaan Ibu

Proporsi terbesar ibu contoh diantara ketiga kelas merupakan ibu yang tidak bekerja, yakni mencapai lebih dari separuh ibu contoh (60,4%). Tabel 11 menunjukkan proporsi terbesar ibu contoh yang tidak bekerja berada di kelas reguler. Sebagian besar ibu contoh (90%) dari kelas reguler merupakan ibu yang tidak bekerja atau bisa dikatakan sebagai ibu rumah tangga. Selanjutnya lebih dari separuh ibu contoh di kelas SBI merupakan ibu yang tidak bekerja. Dibandingkan dua kelas sebelumnya, proporsi ibu contoh yang tidak bekerja berada paling sedikit di kelas akselerasi. Namun di kelas akselerasi sendiri, ibu contoh yang tidak bekerja tetap merupakan proporsi terbesar diantara ibu contoh yang bekerja dengan berbagai jenis pekerjaan (30%).

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu

Pekerjaan ibu

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Tidak bekerja 8 30,8 17 56,7 27 90,0 52 60,4 Wiraswasta 3 11,5 2 6,7 1 3,3 6 7 PNS 7 26,9 8 26,7 2 6,7 17 19,8 Swasta 7 26,9 2 6,7 - - 9 10,5 ABRI - - - - Buruh - - - - Pensiunan - - - - Dokter 1 3,8 1 3,3 - - 2 2,3 Supir - - - - Total 26 100,0 30 100,0 3 10,0 86 100,0 Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga merupakan penghasilan per bulan yang diperoleh dalam keluarga contoh dan dinilai dengan satuan rupiah. Tabel 12

(9)

memperlihatkan bahwa pendapatan keluarga contoh dari kelas akselerasi, SBI, dan reguler hampir separuhnya memiliki pendapatan lebih dari Rp 5 000 00.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan

keluarga

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % < Rp 1 000 000 - - - - 1 3,3 1 1,2 Rp 1 000 001 - Rp 2 000 000 - - 2 6,7 7 23,3 9 10,5 Rp 2 000 001 - Rp 3 000 000 - - 2 6,7 3 10,0 5 5,8 Rp 3 000 001 - Rp 4 000 000 1 3,8 3 10,0 10 33,3 14 16,3 Rp 4 000 001 - Rp 5 000 000 7 26,9 5 16,7 3 10,0 15 17,4 > Rp 5 000 000 18 69,2 18 60,0 6 20,0 42 48,8 Total 26 100,0 30 100,0 3 100,0 86 100,0 P-value 0,000

Pendapatan keluarga contoh di kelas akselerasi berada pada tingkat pendapatan lebih dari Rp 5 000 000 (69,2%). Sama halnya dengan pendapatan yang diperoleh keluarga contoh dari kelas SBI, lebih dari separuh contoh di kelas ini mendapatkan pemasukan lebih dari Rp 5 000 000 perbulannya. Tetapi tidak begitu dengan contoh dari kelas reguler karena pendapatan perbulan yang diperoleh lebih dari seperempat contoh berkisar antara Rp 3 000 001 sampai Rp 4 000 000. Terlihat dalam tabel bahwa pendapatan keluarga contoh di ketiga kelas memiliki perbedaan yang nyata (p<0.01).

Tingkat Perkembangan Nilai Moral

Tingkat perkembangan moral contoh dilihat berdasarkan tiga dimensi moral yakni nilai kebaikan (kindness), nilai kejujuran (honesty), dan nilai kontrol diri (self control). Data yang diperlihatkan oleh Tabel 13 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh dari ketiga kelas memiliki tingkat perkembangan moral yang rendah (55,8%). Total contoh mengumpul di titik rendah pada total moral, dimensi kebaikan, dimensi kejujuran, dan dimensi kontrol diri.

Dimensi kebaikan (kindness) dari contoh didominasi di tingkat rendah pada semua kelas, baik contoh dari kelas akselerasi, kelas SBI, maupun kelas reguler karena hampir separuh contoh (45,4%) memiliki tingkat kebaikan yang rendah. Jika dilihat per kelas, contoh kelas reguler memiliki rata-rata nilai kebaikan yang paling tinggi, dan rata-rata terendah diperoleh contoh dari kelas

(10)

akselerasi. Walaupun begitu, Tabel 13 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara dimensi kebaikan di kelas akselerasi, SBI, dan reguler.

Dimensi moral yang kedua adalah kejujuran. Sebagian besar contoh dari ketiga kelas memiliki nilai kejujuran yang rendah (90,7%). Sebagian besar contoh kelas akselerasi (84,6%) memiliki nilai kejujuran yang rendah dan hanya sebagian kecil yang memiliki nilai kejujuran tinggi (7,7%), sedangkan contoh dari dua kelas lainnya hampir seluruh contoh menempati posisi kejujuran tingkat rendah (SBI 96,7%, reguler 90,0%) dan tidak ada satupun contoh dari dua kelas tersebut yang memiliki kejujuran tingkat tinggi. Dilihat dari rata-rata di setiap kelas, contoh kelas SBI mempunyai nilai kejujuran yang paling rendah diantara contoh lainnya, sedangkan rata-rata tertingginya dimiliki oleh contoh dari kelas akselerasi. Namun tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada nilai kejujuran contoh diantara ketiga kelas.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan tingkat perkembangan nilai moral

Tingkat Perkembangan

Nilai Moral

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Tinggi (>80) 2 7,7 - - 3 10,0 5 5,8 Sedang (60-80) 12 46,2 10 33,3 11 36,7 33 38,4 Rendah (<60) 12 46,2 20 66,7 16 53,3 48 55,8 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 56,08 ± 17,289 51,83 ± 14,064 56,93 ± 15,556 55,25± 15,583 P-Value 0,436 Kebaikan Tinggi (>80) 5 19,2 4 13,3 7 23,3 16 18,6 Sedang (60-80) 10 38,5 10 33,3 11 36,7 31 36,0 Rendah (<60) 11 42,3 16 53,3 12 40,0 39 45,4 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 60,00 ± 27,568 61,00 ± 20,569 66,33 ± 21,732 62,55 ± 2,317 P-Value 0,541 Kejujuran Tinggi (>80) 2 7,7 - - - - 2 2,3 Sedang (60-80) 2 7,7 1 3,3 3 10,0 6 7,0 Rendah (<60) 22 84,6 29 96,7 27 90,0 78 90,7 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 45,00 ± 21,401 36,33 ± 17,711 36,67 ± 20,398 39,07 ± 1,998 P-Value 0,195 Kontrol Diri Tinggi (>80) 7 26,9 7 23,3 12 40,0 26 30,2 Sedang (60-80) 10 38,5 7 23,3 8 26,7 25 29,1 Rendah (<60) 9 34,6 16 53,3 10 33,3 35 40,7 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 62,59 ± 21,868 58,50 ± 19,454 67,53 ± 19,076 63,319 ± 2,236 P-Value 0,220

Dimensi kontrol diri ketiga kelas memiliki proporsi terbesar juga di tingkat rendah. Hampir separuh contoh (40,7%) berada pada tingkat kontrol diri yang

(11)

rendah. Contoh di kelas reguler mencapai rata-rata kontrol diri tertinggi dibanding dua kelas lainnya sedangkan rata-rata kontrol diri terendah dimiliki oleh contoh dari kelas SBI (Tabel 13). Hasil uji beda One Way Anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara dimensi kontrol diri di kelas akselerasi, kelas SBI, maupun kelas reguler.

Motivasi Belajar

Motivasi belajar contoh terdiri atas motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Dilihat dari motivasi intrinsik, lebih dari separuh contoh di ketiga kelas memiliki motivasi intrinsik dengan kategori sedang (74,4%), begitu juga dengan motivasi ekstrinsiknya. Sebagian besar contoh juga memiliki motivasi ekstrinsik dengan kategori sedang (81,4%).

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar

Motivasi Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Intrinsik Tinggi (>80) 2 7,7 8 26,7 10 33,3 20 23,3 Sedang (60-80) 23 88,4 22 73,3 19 63,3 64 74,4 Rendah (<60) 1 3,8 - - 1 3,3 2 2,3 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 43,35 ± 4,039 47,60 ± 4,628 47,93 ± 4,749 46,40 ± 4,888 P-Value 0,000 Ekstrinsik Tinggi (>80) 4 15,4 6 20,0 6 20.0 16 18,6 Sedang (60-80) 22 84,6 24 80,0 24 80.0 70 81,4 Rendah (<60) - - - - Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 46,12 ± 4,484 45,40 ± 4,065 45,33 ± 3,367 45,59 ± 3,942 P-Value 0,724

Tabel 14 menunjukkan bahwa contoh dari kelas reguler memiliki rata-rata motivasi intrinsik yang paling tinggi diantara ketiga kelas. Contoh kelas reguler memiliki tingkat motivasi intrinsik kategori tinggi dengan persentase 33,3 persen contoh, lebih tinggi dari contoh dua kelas lainnya. Jika dilihat dari rata-ratanya, contoh dari kelas reguler memiliki motivasi intrinsik tertinggi dan contoh kelas akselerasi memperoleh rata-rata terendah. Untuk motivasi ekstrinsik contoh, tidak ada satupun contoh yang mempunyai tingkat motivasi ekstrinsik yang rendah, lebih dari separuh contoh di ketiga kelas memiliki motivasi ekstrinsik kategori sedang. Berkebalikan dengan motivasi intrinsik, pencapaian motivasi ekstrinsik kelas reguler menduduki peringkat terendah karena rata-ratanya paling kecil diantara ketiga kelas sedangkan rata-rata tertinggi dimiliki oleh contoh kelas

(12)

akselerasi. Hasil uji beda One Way Anova memperlihatkan perbedaan yang nyata pada motivasi intrinsik contoh di ketiga kelas.

Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan intrapersonal merupakan bagian dari kecerdasan personal yang dimiliki oleh seseorang selain kecerdasan interpersonal. Dari Tabel 15 dilihat bahwa kecerdasan intrapersonal sebagian besar contoh di ketiga kelas menempati kategori sedang (81,4%).

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan intrapersonal

Kecerdasan Intrapersonal

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Tinggi (>80) 2 7,7 5 16,7 3 10,0 10 11,6 Sedang (60-80) 21 80,8 24 80,0 25 83,3 70 81,4 Rendah (<60) 3 11,5 1 3,3 2 6,7 6 7,0 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 42,12 ± 4,719 43,57 ± 5,250 43,90 ± 7,179 43,24 ± 4,792 P-Value 0,749

Dilihat dari rata-rata kelas, contoh dari kelas reguler memiliki kecerdasan intrapersonal yang paling tinggi dibandingkan contoh dari dua kelas lainnya, namun demikian setelah diuji beda One Way Anova hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga kelas tersebut (p>0.05).

Kecerdasan Interpersonal

Sama seperti tingkat kecerdasan intrapersonal yang diperoleh contoh, kecerdasan interpersonal contoh juga menumpuk pada tingkat sedang (66,3%). Tabel 16 menunjukkan bahwa contoh di kelas reguler memiliki rata-rata kecerdasan interpersonal tertinggi dibandingkan contoh dari dua kelas lainnya namun demikian, tidak ada perberbedaan nyata di antara ketiganya (p>0.05).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan interpersonal

Kecerdasan Interpersonal

Kelas

Total

Akselerasi SBI Reguler

n % n % n % n % Tinggi (>80) 7 26,9 11 36,7 10 33,3 28 32,5 Sedang (60-80) 19 73,1 18 60,0 20 66,7 57 66,3 Rendah (<60) - - 1 3,3 - - 1 1,2 Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0 Rata-rata ± SD 46,19 ± 4,030 47,03 ± 6,245 47,20 ± 8,410 46,84 ± 5,197 P-Value 0,347

(13)

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh dengan Tingkat Perkembangan Nilai Moral

Hasil uji korelasi Spearman yang ditunjukkan oleh Tabel 17 membuktikan bahwa dalam penelitian ini, karakteristik keluarga contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat perkembangan nilai moral. Begitu pula tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan ketiga dimensi moralnya.

Tabel 17 Koefisien korelasi Spearman karakteristik contoh dan keluarga contoh dengan tingkat perkembangan nilai moral

Variabel

Tingkat Perkembangan

Nilai Moral

Kebaikan Kejujuran Kontrol Diri

Usia contoh 0,094 0,099 -0,098 0,180 Usia ayah -0,0192 -0,177 -0,174 -0,136 Usia Ibu -0,026 -0,078 -0,064 0,006 Besar Keluarga 0,119 0,166 -0,040 0,111 Pendidikan ayah 0,015 -0,044 0,019 0,012 Pendidikan ibu -0,072 -0,093 0,000 -0,109 Pendapatan keluarga -0,018 -0,004 0,060 -0,096 Urutan kelahiran -0,114 -0,033 -0,137 -0,105

Pekerjaan Ayah (dummy) -0,068 -0,018 -0,057 -0,086

Pekerjaan Ibu (dummy) 0,048 -0,055 0,109 0,002

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh dengan Motivasi Belajar

Uji korelasi Spearman pada Tabel 18 menunjukkan bahwa karakteristik keluarga yang berhubungan signifikan dengan motivasi intrinsik contoh adalah usia contoh, besar keluarga, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu. Selain itu, tidak ada variabel karakteristik lainnya yang berhubungan signifikan dengan motivasi ekstrinsik contoh.

Besar keluarga memiliki koefisien hubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik contoh, ini artinya semakin besar/banyak anggota keluarga, maka akan semakin tinggi motivasi intrinsik contoh. Selain itu, usia contoh juga berhubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik, ini artinya semakin bertambah usia contoh maka semakin meningkat motivasi intrinsiknya. Lain halnya dengan pendidikan ibu yang berhubungan negatif sangat signifikan dengan motivasi intrinsik contoh. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin rendah motivasi intrinsik contoh. Begitu pula dengan pekerjaan ibu, semakin tinggi intensitas ibu bekerja maka semakin rendah motivasi intrinsik contoh.

(14)

Tabel 18 Koefisien korelasi Spearman karakteristik contoh dan keluarga contoh dengan motivasi belajar

Variabel Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik

Usia contoh 0,453** -0,178 Usia ayah 0,105 0,031 Usia Ibu -0,086 -0,051 Besar Keluarga 0,221* -0,135 Pendidikan ayah -0,119 0,130 Pendidikan ibu -0,330** 0,032 Pendapatan keluarga -0,204 0,135 Urutan kelahiran 0,009 -0,143

Pekerjaan Ayah (dummy) -0,055 0,119

Pekerjaan Ibu (dummy) -0,264* 0,146

Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%; ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh dengan Kecerdasan Intrapersonal dan Interpersonal

Hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh dengan kecerdasan personal baik intrapersonal maupun interpersonal dapat dilihat pada Tabel 19. Di dalam tabel diperlihatkan bahwa diantara karakteristik contoh maupun karakteristik keluarga contoh, tidak ada satupun variabel yang berhubungan dengan kecerdasan intrapersonal. Selain itu, karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh pun tidak berhubungan dengan kecerdasan interpersonal contoh.

Tabel 19 Koefisien korelasi Spearman karakteristik contoh dan keluarga contoh dengan kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal

Variabel Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan Interpersonal

Usia contoh 0,043 -0,032 Usia ayah -0,147 -0,170 Usia Ibu -0,188 -0,134 Besar Keluarga 0,080 0,194 Pendidikan ayah -0,009 0,125 Pendidikan ibu -0,182 0,026 Pendapatan keluarga 0,055 0,203 Urutan kelahiran -0,054 0,033

Pekerjaan Ayah (dummy) 0,131 0,146

Pekerjaan Ibu (dummy) -0,072 -0,026

Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%; ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%

(15)

Hubungan Tingkat Perkembangan Nilai Moral dengan Motivasi Belajar, Kecerdasan Intrapersonal, dan Kecerdasan Interpersonal

Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat perkembangan nilai moral contoh memiliki hubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik contoh. Tabel 20 memperlihatkan bahwa analisis uji korelasi Pearson untuk hubungan antara tingkat perkembangan nilai moral dan motivasi intrinsik memiliki hubungan positif signifikan (p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat perkembangan nilai moral maka akan semakin tinggi motivasi intrinsik contoh. Selain itu juga terdapat hubungan yang positif signifikan antara dimensi moral kebaikan dan motivasi intrinsik contoh (p<0.05). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi kebaikan contoh maka akan semakin tinggi juga motivasi intrinsiknya.

Hasil analisis uji hubungan Pearson pada Tabel 20 juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara motivasi belajar contoh, baik itu motivasi instrinsik maupun motivasi ekstrinsik, dengan kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi intrinsik dan kecerdasan intrapersonal contoh (p<0.01). Dapat diartikan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka semakin tinggi kecerdasan intrapersonal contoh. Selain itu, terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi intrinsik dan kecerdasan interpersonal. Hal ini didefinisikan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka kecerdasan interpersonal contoh juga semakin tinggi.

Tabel 20 Hasil uji korelasi Pearson tingkat perkembangan nilai moral dengan motivasi, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal

Variabel Moral Kebaikan Kejujuran Kontrol Diri Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan Interpersonal Moral 1 0,801** 0,599** 0,796** 0,217* 0,031 0,115 0,021 Kebaikan 0,801** 1 0,193 0,522** 0,252* 0,089 0,204 0,179 Kejujuran 0,599** 0,193 1 0,199 0,030 0,091 -0,026 -0,199 Kontrol Diri 0,796** 0,522** 0.199 1 0,183 -0,106 0,059 0,037 Motivasi Intrinsik 0,217 * 0,252* 0,030 0,183 1 0,437** 0,459** 0.342** Motivasi Ekstrinsik 0,031 0,089 0,091 -0,106 0,437 ** 1 0,419** 0,278** Kecerdasan Intrapersonal 0,115 0,204 -0,026 0,059 0,459 ** 0,419** 1 0,536** Kecerdasan Interpersonal 0,021 0,179 -0,199 0,037 0,342 ** 0,278** 0,536** 1 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%; ** = Signifikan pada selang

(16)

Terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi ekstrinsik dan kecerdasan intrapersonal. Hal ini diartikan semakin tinggi motivasi ekstrinsik maka akan semakin tinggi juga kecerdasan intrapersonal contoh. Begitu pula dengan hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan kecerdasan interpersonal, data keduanya berhubungan positif sangat signifikan, yang diartikan bahwa semakin tinggi motivasi ekstrinsik maka semakin tinggi juga kecerdasan interpersonal contoh (Tabel 20). Selain itu juga terdapat hubungan yang positif signifikan antara kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal dimana semakin tinggi kecerdasan intrapersonal contoh maka akan semakin tinggi pula kecerdasan interpersonalnya, begitu juga sebaliknya.

PEMBAHASAN

Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah (Santrock 2007). Menurut Megawangi (2007), moral merupakan pengetahuan tentang hal baik dan buruk sedangkan perilaku sehari-hari atau tabiat hasil pengetahuan moral seseorang disebut karakter. Dalam teori kognitif sosial, peran dari faktor kognitif dalam ketahanan terhadap godaan dan kontrol diri menggambarkan bagaimana kognisi menjembatani pengalaman dengan lingkungan dan perilaku moral. Lingkungan contoh menjadi faktor penting perilaku moral.

Dilihat dari lingkungan keluarga dan sekolahnya, contoh dari kelas akselerasi, SBI, dan reguler memperlihatkan standar yang berbeda. Letak sekolah dari contoh akselerasi dan SBI yang berada di tengah perkotaan menimbulkan gaya hidup contoh yang berbeda, berlawanan dengan letak sekolah dari contoh kelas reguler yang berada di wilayah kabupaten. Berdasarkan data passing grade Sekolah Menengah Atas di Bogor tahun 2008 masing-masing sekolah pun terdapat perbedaan, sekolah dari contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki poin 36.10 dan sekolah dari contoh kelas reguler memperoleh poin 32.50. Hal tersebut mengindikasikan adanya kompetisi kognitif yang berbeda pada setiap sekolah. Selain itu terdapat beberapa perbedaan nyata diantara contoh ketiga kelas seperti usia contoh, usia ibu contoh, pendidikan ayah contoh, pendidikan ibu contoh, dan pendapatan keluarga contoh.

Pendapatan keluarga contoh di ketiga kelas memperlihatkan perbedaan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa contoh dari kelas akselerasi dan SBI memang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi daripada contoh kelas reguler. Hal ini berkaitan dengan perbedaan pendidikan orang tua

(17)

yang cukup signifikan karena pada hakikatnya, terdapat hubungan antara pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang diperoleh suatu keluarga. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, kemungkinan pekerjaan yang diperoleh pun lebih baik, dan pendapatan yang diterima dapat lebih besar ketimbang orang tua yang berpendidikan lebih rendah. Maka tidak mengherankan jika contoh dari kelas akselerasi dan SBI mendapatkan fasilitas penunjang akademik yang lebih baik dibandingkan contoh kelas reguler. Hal ini sejalan dengan Gunarsa S dan Gunarsa Y (2004) yang menyatakan bahwa orang tua yang menempuh pendidikan yang lebih tinggi cenderung mengembangkan diri dan pengetahuannya dengan cara lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan informasi dan perkembangan masyarakat dibandingkan orang tua yang berpendidikan lebih rendah.

Contoh dari kelas akselerasi yang diharuskan menempuh pendidikan menengah atas hanya dalam waktu dua tahun serta contoh kelas SBI yang disyaratkan berbahasa dominan bahasa Inggris tentu akan memperoleh perlakuan berbeda dengan contoh dari kelas reguler yang menempuh pendidikan selama tiga tahun dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kognitif sosial tentang moralitas berfokus pada pembedaan antara kompetensi moral individu (kemampuan untuk melakukan perilaku moral) dan performa moral (melakukan perilaku tersebut dalam situasi tertentu). Kompetensi moral menurut Santrock (2007) adalah pengetahuan, kemampuan, kesadaran seseorang tentang aturan moral dan kemampuan kognitif seseorang untuk mengkonstruksi perilaku.

Jika kompetisi kognitif yang berbeda dapat mempengaruhi perilaku moral, maka penelitian ini menunjukkan hasil yang sebaliknya karena tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara moral contoh dari ketiga kelas yang berbeda model pembelajarannya, begitu juga dengan motivasi belajar contoh yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan, hanya motivasi intrinsik saja yang memperlihatkan adanya perbedaan signifikan diantara ketiga kelas yang diteliti.

Contoh dari ketiga kelas menduduki tingkat perkembangan nilai moral yang rendah. Ketiga dimensi moral pun turut memperlihatkan kategori yang rendah dari ketiga kelas. Dimensi moral kebaikan, kejujuran, dan kontrol diri mendapat skor rendah terbanyak di ketiga kelas, sedangkan dimensi moral kejujuran memiliki kategori rendah terbanyak dibandingkan dimensi moral lainnya karena hampir seluruh contoh menempati posisi tingkat kejujuran yang rendah. Walaupun tidak memiliki perbedaan yang nyata, tetapi dapat dilihat

(18)

kecenderungan tingkat perkembangan moral yang paling baik diantara ketiga kelas dimiliki contoh yang berasal dari kelas reguler jika dilihat dari rata-rata tingkat perkembangan nilai moral yang paling tinggi berada pada kelas reguler. Selain itu kedua dimensi moral, yakni kebaikan dan kontrol diri contoh kelas reguler, menunjukkan rata-rata yang paling tinggi diantara kedua kelas lainnya. Hanya dimensi kejujuran yang rata-rata tertingginya diperoleh contoh kelas akselerasi.

Alasan tingkat perkembangan nilai moral contoh yang berada pada kategori rendah adalah contoh yang masih tergolong remaja menurut Kohlberg (1967) yang diacu dalam Vasta et al (1999) masih berada pada tahapan perkembangan moral orientasi konformitas dan relasi interpersonal pada tingkatan konvensional. Tahapan perkembangan moral ini memperlihatkan bahwa seseorang yang berorientasi mencari penerimaan dari orang lain. Remaja yang kerap kali diliputi oleh pengaruh teman sebayanya membuat mereka cenderung mengikuti arus pergaulan karena remaja menjalin hubungan persahabatan yang terikat oleh kesamaan nilai dan minat yang dapat dimengerti oleh sesamanya, yang membuat mereka merasa aman dan nyaman, sehingga nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya merupakan nilai yang penting untuk diadopsi walaupun nilai-nilai tersebut bertentangan dengan prinsip moral. Ditambah lagi dengan paparan media yang gencar menyebarkan berbagai nilai negatif seperti keegoisan, kekejaman, ketidakpedulian dan banyak lagi yang menciptakan krisis pada nilai-nilai kebaikan remaja (Borba 2001). Papalia et al (2008) juga menyatakan bahwa walaupun sebenarnya remaja tahu dan bisa membedakan konsep benar dan salah, tetapi karena lingkungan pertemanan yang mengarahkan untuk tetap berada di jalur yang sama, maka sebagian remaja terpaksa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang diketahuinya demi melebur dengan teman-temannya.

Sama seperti yang dinyatakan Lickona (diacu dalam Megawangi 2007) bahwa moral remaja pada tingkatan ini berada pada fase ingin menjaga kelompoknya, maksudnya adalah orientasi kebenaran bagi remaja adalah dengan menjalankan tanggung jawab sosial maka remaja merupakan bagian dari sistem soisal tersebut. Agar remaja bisa menjadi bagian dalam sistem yang menaunginya, maka remaja harus menghargai segala yang dilakukan sistem sosialnya. Masalahnya terjadi ketika sistem sosialnya menganut prinsip moral yang sudah terlanjur terdegradasi, maka remaja pun dengan sendirinya terpaksa menjalankan perannya agar dapat bertahan di dalam sistem yang salah tersebut.

(19)

Tidak hanya remaja, menurut Lickona (diacu dalam Megawangi 2007) orang dewasa yang sudah mengerti prinsip moral pun akan kesulitan mengikuti prinsip kebenaran jika sistem yang ada mendorongnya untuk melakukan kejahatan. Orang dewasa pun dapat merasa bodoh jika mereka tidak mengikuti orang lain yang berhasil mendapatkan keuntungan dari perbuatan amoralnya. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman, hal ini dapat berubah karena remaja sadar bahwa prinsip-prinsip yang sebelumnya dikorbankan perlu diaplikasikan dalam kehidupan nyata karena sesungguhnya konsep benar dan salah yang diabaikan sebelumnya ternyata memang bermanfaat untuk diri sendiri, tapi tentu hal ini akan berbeda pada setiap orang, bergantung pada kekuatan prinsip setiap individunya (Papalia et al 2008).

Tingkat perkembangan moral contoh yang rendah yang ditemukan dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Fuad (2008) yang menemukan bahwa tekanan akademik yang tinggi menciptakan suasana kompetensi individual yang berhubungan negatif dengan kemampuan sosial dan moral para siswanya. Hal ini disebabkan konsentrasi siswa yang hanya berpusat pada peningkatan sisi akademik. Penelitian ini didukung oleh pendapat Southern dan Jones (1991) diacu dalam Fuad (2008) bahwa program akselerasi juga dapat berpotensi negatif terhadap para siswa-siswanya, meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, siswa akseleran kemungkinan tidak berkembang secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu. Hal inilah yang diduga mendasari rendahnya tingkat perkembangan moral contoh dari ketiga kelas. Kondisi ini terjadi diduga karena kurikulum yang ada di Indonesia memakai asumsi egaliter dimana kemampuan anak dianggap seragam, yaitu IQ diatas 110, pelajaran disusun sesulit mungkin hanya untuk anak-anak terpandai, orientasi pendidikan hanya berpusar pada teori semata tanpa anak diajarkan manfaat aplikasi ilmu untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu pendekatan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar siswa semata-mata untuk mencapai nilai tinggi. Ditambah lagi tujuan pendidikan yang diciptakan untuk mencetak anak pandai secara kognitif (fokus terlalu dipusatkan ke pengembangan otak kiri anak) dengan mengabaikan potensi anak yang lain sehingga pembangunan kualitas siswa tidak dibarengi dengan pembangunan moral, kalaupun ada penanaman nilai moral hanyalah berupa hapalan yang lagi-lagi memaksa sistem kognitif siswa (Megawangi 2004).

Tekanan akademik yang tinggi dan persaingan individual yang sangat kuat menyebabkan contoh kelas akselerasi terbilang egois, hal ini dapat

(20)

ditemukan dalam pernyataan yang ada di kuesioner penelitian (Lampiran 1). Bagi contoh, membuat orang lain bahagia tidak perlu dilakukan dengan susah payah karena setiap orang harus mengusahakan sendiri kebahagiaannya. Selain itu, contoh kelas akselerasi lebih merasa kesulitan untuk memaafkan orang lain dibandingkan dengan contoh dari kelas lainnya. Lain lagi dengan contoh kelas SBI yang dapat dikatakan oportunis dan sulit untuk bertindak jujur. Proporsi terbesar dari contoh kelas SBI merasa bahwa dalam menolong atau membantu orang lain perlu ada timbal baliknya, contoh menganggap insentif dalam membantu orang lain itu sangat penting. Selain itu dalam membantu pun, contoh lebih selektif karena memilih dan memilah orang yang akan dibantu, apakah itu teman atau bukan. Berdasarkan kuesioner, untuk contoh kelas reguler, contoh reguler lebih terlihat lebih mementingkan hubungan personal dibandingkan contoh akselerasi maupun SBI, contoh reguler akan mendukung temannya yang dirasa perlu dibela walaupun temannya itu melakukan perbuatan yang tidak benar. Dalam hal kejujuran, contoh di ketiga kelas memang berada pada kategori rendah. Jika ditelusuri lebih lanjut dari pernyataan dalam kuesioner, nilai kejujuran bagi contoh bukan jalan untuk mencapai tujuan, bahkan kebohongan diperlukan untuk membuat suasana yang menyenangkan. Perilaku amoral yang terjadi diantara contoh seperti berbohong dianggap biasa dan tidak bermasalah. Maka akibat-akibat seperti inilah yang muncul jika berbagai pemaksaan/tekanan akademik diberikan tanpa arahan nilai-nilai moral.

Dengan menciptakan sistem pendidikan yang berfokus pada kemampuan kognitif, sekolah secara tidak langsung membuat anak-anak yang memiliki potensi lebih bukan pada sisi kognitifnya menjadi tertekan dan tidak termotivasi. Hal ini bertentangan dengan perspektif humanitis motivasi yang menitikberatkan pada kapasitas murid guna mengembangkan kepribadian dan kebebasan untuk memilih nasib murid. Anak-anak yang dipaksa belajar dengan cara yang tidak sesuai dengan perkembangan dan potensinya tentu akan sulit menerima pelajaran dengan optimal (Santrock 2008). Akibat dari sistem pendidikan seperti ini, maka dapat dilihat pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa motivasi contoh, baik instrinsik maupun ekstrinsiknya hanya berada pada kategori sedang. Motivasi sendiri merupakan dorongan yang memberi semangat, arah, dan kegigihan dalam perilaku seseorang. Terdapat dua jenis motivasi yang dimiliki oleh seseorang, yakni motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik timbul sebagai akibat dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan atau dorongan dari luar diri individu, melainkan karena kesadaran dan keinginan

(21)

dari dalam diri sendiri. Lain halnya dengan motivasi ekstrinsik yang muncul karena dipengaruhi insentif ekternal baik positif maupun negatif (Santrock 2008). Motivasi ini tentu berkaitan dengan potensi yang dimiliki setiap orang.

Dilihat dari tingkat motivasi intrinsik dan ekstrinsiknya, sebagian besar contoh dari ketiga kelas masih berada pada kategori sedang. Rata-rata motivasi intrinsik contoh akselerasi merupakan rata-rata terendah diantara ketiga contoh dan memiliki perbedaan yang nyata. Rata-rata tertingginya diperoleh contoh kelas reguler. Sementara itu, contoh kelas akselerasi sendiri memiliki rata-rata motivasi ekstrinsik yang paling tinggi diantara contoh lainnya. Contoh dari kelas akselerasi yang memiliki rata-rata motivasi intrinsik yang rendah tetapi memiliki rata-rata motivasi ekstrinsik yang lebih tinggi dibandingkan kelas lainnya mengindikasikan bahwa proses belajar contoh di kelas akselerasi merupakan dorongan dari luar atau ada kemungkinan merupakan paksaan dari orang tua atau guru contoh. Contoh tidak menganggap bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan sehingga kegiatan belajar yang dilakukannya tidak bisa dinikmati serta dirasa tidak penting dan bermanfaat untuk dirinya (Lampiran 2). Selain itu, dorongan luar yang diterima contoh akselerasi bisa berupa persaingan yang ketat diantara contoh akselerasi sendiri mengingat tekanan kompetisi individu yang ada di kelas ini sangat besar. Seperti yang dinyatakan Santrock (2008) bahwa motivasi eksternal timbul salah satunya karena mengikuti arus persaingan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses belajar yang berlangsung dengan pendekatan behaviorisme, yakni anak diasumsikan sebagai kertas kosong (tabula rasa) yang menerima pelajaran karena ada stimuli dari luar dirinya sehingga anak diposisikan sebagai pihak yang pasif dan semua perilakunya disebabkan oleh stimuli eksternal, oleh sebab itulah motivasi anak untuk belajar disetir dari luar atau dengan kata lain terjadi pemaksaan kepada anak dengan adanya beban belajar yang sangat berat tapi tidak dapat dirasa menyenangkan (Megawangi 2007).

Motivasi belajar baik itu secara intrinsik maupun ekstrinsik contoh dari kelas SBI masih berada pada kategori sedang. Menurut Dharma (2010), masalah ini timbul salah satunya adalah penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kelas SBI yang justru secara empirik ternyata kebijakan ini dapat menyebabkan merosotnya nilai dan kompetensi siswa di bidang studi yang diajarkan. Riset yang dilakukan oleh TIMSS/ Trends in International Mathematics and Science Study (2007) diantaranya adalah mengkaji pengalaman sekolah-sekolah di Malaysia selama hampir delapan tahun yang ternyata menunjukkan

(22)

bahwa penggunaan bahasa Inggris (asing) untuk bidang studi IPA dan Matematika justru menurunkan mutu siswa. Selain itu, Dharma (2007) menyatakan bahwa tidak mungkin mengharapkan guru-guru yang belum memiliki kompetensi bahasa Inggris yang sesuai standar untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan materi pelajaran.

Berdasarkan hasil test TOEIC pada 600 guru dan kepala sekolah RSBI terungkap bahwa 60% dari mereka berada pada level paling rendah kemampuan Bahasa Inggrisnya. Maka mengharapkan guru-guru yang berada pada level terendah kemampuan bahasa Inggrisnya untuk mengajarkan materi IPA dan Matematika dalam bahasa Inggris adalah kebijakan yang sungguh tidak bertanggungjawab (Dharma 2007). Oleh karena itu, kompetensi guru dalam berbahasa Inggris seharusnya diperhatikan karena berkaitan sekali dengan efektifitas proses penyampaian materi pelajaran untuk siswa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Astuti (2009) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap kompetensi guru dengan motivasi berprestasi pada siswa kelas XI dan XII program RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) di SMA Negeri 1 Purworejo. Motivasi yang senantiasa dipelihara akan tumbuh dengan sendirinya di dalam diri seorang individu. Motivasi inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi seorang pembelajar sejati atau sebaliknya.

Jika sistem pendidikan di sekolah dilaksanakan sejalan dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki seseorang, maka proses belajar mengajar akan lebih mudah dijalankan oleh siswa. Sesuai dengan teori Gardner (1983) bahwa pada hakikatnya setiap orang memiliki potensi kecerdasan yang berbeda-beda kadarnya. Diantara sekian banyak kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, ada kecerdasan yang saling terkait erat satu dengan lainnya dibandingkan hubungan kecerdasan yang lain, mereka adalah kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal.

Kecerdasan personal baik intrapersonal maupun interpersonal contoh menempati kategori sedang. Sebagian besar contoh memiliki kecerdasan intrapersonal sedang dan lebih dari separuh contoh menduduki kategori sedang untuk kecerdasan interpersonal. Rata-rata tertinggi dari kedua kecerdasan personal ini diraih oleh contoh dari kelas reguler. Hasil ini sejalan dengan pengamatan peneliti saat berada di lapang. Contoh dari kelas reguler memperlihatkan kecerdasan intrapersonal yang baik seperti mampu bekerja sendiri yaitu tanpa meminta pertimbangan contoh yang lain seperti yang terjadi di

(23)

kelas SBI. Selain itu juga contoh dari kelas reguler mampu berinteraksi baik dengan peneliti, tersenyum ramah, menyapa peneliti, mudah diajak bekerja sama, hal ini berseberangan dengan yang terjadi ketika penelitian dilakukan di kelas SBI. Contoh dari kelas SBI sangat mudah mengeluh karena malas masuk kelas yang saat itu pendingin ruangannya sedang dalam keadaan mati, tidak memperhatikan peneliti yang sedang menerangkan kuesioner di depan kelas, tidak bisa memutuskan jawaban sendiri atau seringkali bertanya jawaban kuesioner contoh lain sebelum mengisi jawaban sendiri.

Kondisi lapang sekilas memperlihatkan kecerdasan personal contoh kepada peneliti. Jika ditelusuri pernyataan di kuesioner yang memiliki proporsi paling besar dijawab oleh contoh kelas SBI adalah rasa empati contoh yang terbilang minim. Misalnya contoh yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap teman-temannya yang tidak mampu membayar uang SPP. Selain itu contoh juga tidak memiliki kepekaan yang tinggi karena masih banyak contoh yang belum bisa mengenali dan membedakan suasana hati orang lain. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena rasa superior contoh yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Kemudian muncullah sikap manja/berpangku tangan contoh kelas SBI seperti pernyataan yang banyak dipilih dalam kuesioner, yakni contoh seringkali menyerah sebelum mencoba/berusaha semaksimal mungkin. Contoh lebih senang berpasrah diri tanpa merencanakan atau mengatur secara sistematis aktivitas yang dapat berguna bagi masa depannya (Lampiran 3).

Diduga penyebab lebih rendahnya pencapaian kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal contoh kelas akselerasi dan SBI dibandingkan contoh dari kelas reguler adalah karena persaingan di dalam kelas dan jam akademik contoh yang jauh berbeda. Kelas akselerasi yang menuntut kompetisi individual yang tinggi sehingga menciptakan atmosfer persaingan yang begitu kental membuat contoh lebih berfokus pada sisi akademiknya saja dan bisa jadi hal inilah yang membuat contoh kesulitan mengeksplorasi bagian-bagian lain di dalam dirinya. Berdasarkan pernyataan dalam kuesioner, contoh akselerasi yang memang memiliki motivasi intrinsik yang lebih rendah, merasa bahwa karena kondisi yang penuh paksaan itu membuat contoh cenderung pasrah dan tidak terarah.

Semestinya di tengah himpitan jadwal akademik yang padat, contoh harus bisa mengatur segala aktivitasnya sedemikian rupa agar berjalan lancar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, contoh tidak memikirkan dan menyusun rencana serius untuk mencapai cita-citanya, selain itu contoh cenderung tidak

(24)

berinisiatif dalam meningkatkan kemampuannya seperti mulai belajar sendiri sebelum materi disampaikan oleh guru. Sebagian besar contoh cenderung melakukan kesalahan yang sama berulang kali karena tidak berusaha mengevaluasi dan memperbaiki kesalahannya. Hal ini diakibatkan sikap pasrah contoh yang terlanjur bekerja keras karena paksaan dari luar dirinya. Maka dari itu, contoh akselerasi memiliki rata-rata kecerdasan intrapersonal terendah diantara ketiga kelas.

Kecerdasan interpersonal contoh kelas akselerasi menempati posisi terendah. Kemungkinan alasannya adalah karena jam akademik contoh akselerasi yang jauh lebih padat dibandingkan contoh SBI dan reguler. Contoh kelas akselerasi memulai jam pelajaran lebih awal tetapi mengakhirinya paling belakangan. Waktu istirahat yang dapat memberikan contoh kesempatan untuk berinteraksi dengan orang selain teman-teman kelasnya pun dibedakan jam istirahatnya, sehingga contoh sangat kesulitan untuk menjalin komunikasi dan bergaul di luar komunitas akselerasi. Selain itu, karena kompetisi individu yang sangat ketat, contoh terbiasa berjuang untuk dirinya sendiri, akibatnya rasa persaudaraan dan empati sedikit demi sedikit menjadi terkikis. Ditambah lagi proses belajar yang kurang menggunakan pendekatan colaborative learning yakni siswa bekerja bersama-sama, berhadapan muka dalam kelompok kecil dan melakukan tugas yang sudah terstruktur sehingga contoh tidak terbiasa belajar berdiskusi, bertukar pikiran dan menghargai perasaan dan pendapat orang lain dan kesulitan melihat sudut pandang orang lain (Megawangi 2008). Karena hal inilah anak menjadi kurang menghargai perbedaan, tidak bisa melihat perspektif yang lebih lengkap, merasa bosan dalam belajar, dan tidak mendapatkan umpan balik karena lebih sering bekerja sendirian. Oleh sebab itu kecerdasan interpersonal yang dimiliki contoh kelas akselerasi paling kecil diantara contoh kelas lainnya. Jika dilihat kecenderungan ketiga kelas, contoh dari kelas reguler memiliki tingkat perkembangan moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal yang paling baik.

Tentunya tingkat perkembangan moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal yang dimiliki contoh tidak dapat dilepaskan dari latar belakang yang dimiliki oleh contoh baik dari karakteristik contoh sendiri, maupun karakteristik keluarga contoh. Jika ditelusuri hasil korelasi antara karakteristik dengan keempat variabel tersebut, terdapat hubungan yang signifikan. Hubungan yang positif signifikan antara usia contoh dengan motivasi intrinsik menandakan adanya peningkatan kematangan berpikir contoh. Disini

(25)

terlihat bahwa seiring dengan bertambahnya usia, contoh merasa tergerak dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan proses pembelajaran. Semakin tua usianya, maka contoh semakin mengerti hakikat pentingnya belajar bagi dirinya sendiri, sehingga dorongan yang ada bukanlah insentif eksternal, melainkan sudah muncul dari dalam diri. Selain itu juga hubungan yang positif signifikan antara besar keluarga dengan motivasi intrinsik diduga karena semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka dorongan atau dukungan yang diterima contoh pun semakin besar sehingga timbul motivasi dalam diri contoh.

Diperoleh juga hubungan yang negatif signifikan antara pendidikan ibu dan pekerjaan ibu dengan motivasi intrinsik. Diduga hal ini terjadi karena ibu yang berpendidikan tinggi cenderung menetapkan standar pendidikan yang juga tinggi untuk anaknya, akibat tuntutan tersebut, motivasi anak untuk mencari ilmu pengetahuan tidak tumbuh dan kegiatan belajar hanyalah buah dari keterpaksaan (Santrock 2008). Selain itu, peran ibu sebagai wanita karir akan mempengaruhi pengasuhan ibu terhadap anaknya. Paling tidak dari alokasi waktu bekerja yang akan membuat ibu merasa lelah sepulang bekerja sehingga ibu kesulitan untuk bercanda dan bercengkerama bersama anak. Waktu ibu untuk mengajari anak pelajaran sekolah, berdiskusi tentang berbagai masalah anak dalam belajar, memberikan dukungan dan semangat, apalagi pemantauan kemajuan dan proses belajar anak di sekolah menjadi berkurang karena tuntutan pekerjaan. Hal ini menciptakan proses pengasuhan yang relatif tidak kondusif bagi anak (Hastuti 2008). Oleh karena itu, terganggunya proses pengasuhan ini dapat menjadi salah satu penyebab terganggunya motivasi contoh dalam belajar. Tingkat perkembangan nilai moral contoh yang diuji korelasi dengan motivasi belajar menunjukkan bahwa tingkat perkembangan moral nilai berhubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik. Begitu juga dengan dimensi moral, yakni dimensi kebaikan, yang berhubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik contoh.

Menurut Borba (2001), dimensi kebaikan pada moral menunjukkan perhatian seseorang tentang kesejahteraan dan perasaan sesamanya. Seiring meningkatnya nilai kebaikan, maka seseorang akan mengikis keegoisannya, menjadi lebih berbelas kasih, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan membela yang benar atau yang tersakiti. Hal-hal tersebut dipahami seseorang yang menyadari dan memiliki dorongan hati dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan kebaikan sehingga ia dapat merasakan kesenangan atau kepuasan setelah melakukan kebaikan. Oleh sebab itu, kebaikan yang melekat pada

(26)

seseorang memiliki hubungan dengan motivasinya melakukan sesuatu, karena perasaan puas saat melakukan kebaikan maka seseorang ingin mengulangi kebaikan tersebut (Borba 2001). Semakin tinggi nilai kebaikan contoh, maka semakin tinggi pula motivasi intrinsik contoh karena motivasi intrinsik adalah dorongan yang timbul dari dalam diri tanpa ada paksaan luar. Misalnya siswa belajar karena penghayatan akan kebutuhannya menimba ilmu, dan menimba ilmu dimaknai sebagai suatu kebaikan yang patut dilaksanakan, maka ia memilih untuk memperdalam ilmunya karena dorongan hatinya untuk menjadi seorang pembelajar, kegiatan belajar yang disertai dengan motivasi instrinsik akan menimbulkan perasaan senang dan sama sekali tidak menjadikan belajar sebagai sebuah beban, malah senang menerima tantangan dalam proses belajar (Santrock 2008). Sebaliknya, jika tingkat perkembangan moral contoh terbilang rendah, motivasi intrinsik yang terbangun dalam diri siswa pun menjadi rendah. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Hasan (2007) yang memperlihatkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara perilaku mencontek (salah satu perilaku amoral) siswa dengan motivasi belajar baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Selain itu juga dalam penelitian Rahmaisya (2011) ditemukan bahwa motivasi berprestasi pada siswa remaja berhubungan positif dengan moralitasnya, jadi semakin baik moralitas siswa maka akan semakin tinggi motivasinya.

Dalam penelitian ini, tingkat perkembangan moral contoh yang diukur tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Reimer (2005) yang menemukan bahwa identitas moral yang dimiliki seseorang menjadi pemicu bagi penalaran moral dan pengembangan dirinya. Pendekatan moral merepresentasikan sebuah kesempatan kepada seseorang untuk menjalani proses perkembangan diri yang spesifik dan pendekatan ini juga mewakili motivasinya melakukan sesuatu (Reimer 2005). Perkembangan moral mengatur aktivitas yang dilakukannya ketika ia tidak terlibat dalam interaksi sosial (kecerdasan intrapersonal) dan mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik yang dilakukannya (kecerdasan interpersonal) (Gibbs 2003 diacu dalam Santrock 2007).

Walaupun berlawanan dengan teori Gibbs (2003) diacu dalam Santrock (2007), hubungan yang tidak signifikan antara moral dengan kecerdasan personal contoh dalam penelitian ini didukung oleh teori Gardner (1980) yang menyatakan bahwa tidak ada moral dalam kecerdasan personal. Maksudnya adalah seseorang dengan kecerdasan interpersonal yang kuat dapat

(27)

menggunakan pengetahuannya itu untuk melakukan kebaikan atau kejahatan. Salah satu contohnya adalah Adolf Hitler, seorang yang sangat berpengaruh karena memiliki kecerdasan interpersonal yang kuat namun menggunakan kecakapannya untuk menyakiti orang lain. Coles (1997) mengatakan bahwa dengan membedakan antara baik dan benar saja tidak cukup bagi seseorang, karena ia harus berperilaku dengan benar pula. Hoerr (2007) menambahkan, apabila sekolah hendak berfokus membantu dalam mengembangkan kecerdasan personal siswa, sekolah pun memiliki tanggung jawab untuk membantu siswa belajar membedakan benar dan salah. Tidaklah cukup hanya mengajarkan siswa memahami diri sendiri dan orang lain serta bekerja sama dengan orang lain, tetapi akan lebih efektif apabila dibarengi dengan kegiatan yang membantu siswa memahami pengaruh kata-kata dan perbuatan mereka terhadap orang lain. Maka dengan modal pengetahuan dan perilaku yang berstandar pada benar dan salah, seseorang memiliki arahan untuk dirinya melakukan sesuatu. Jika kecerdasan intrapersonal maupun interpersonal siswa berjalan tanpa arahan moral, akibatnya seseorang dapat menggunakan kecerdasan tersebut hanya dengan azas manfaat saja. Mana yang baik dan menguntungkan untuk dirinya maka hal itulah yang dianggap benar olehnya, bukan sebaliknya.

Hubungan antara motivasi belajar baik secara intrinsik maupun ekstrinsik dengan kecerdasan personal contoh menunjukkan hubungan yang positif signifikan. Perspektif sosial terkait motivasi menjelaskan tentang kebutuhan afiliasi dan keterhubungan dimana seseorang memiliki motif untuk berhubungan dengan orang lain secara aman (Santrock 2008). Menurut Santrock (2008), hal ini membutuhkan pembentukan, pemeliharaan, dan pemulihan hubungan personal yang hangat dan akrab. Kebutuhan afiliasi murid tercermin dalam motivasi murid untuk menghabiskan waktu bersama teman, kawan dekat, keterikatan murid dengan orang tua, keinginan untuk menjalin hubungan positif dengan guru. Murid sekolah yang menjalin hubungan positif di dalam lingkungan yang penuh perhatian dan suportif biasanya memiliki sikap akademik yang positif dan lebih senang bersekolah (Baker 1999 diacu dalam Santrock 2008). Disinilah peranan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Didukung oleh penelitian Rahmaisya (2011) yang menemukan bahwa konsep diri positif dan penerimaan teman sebaya berhubungan positif dengan motivasi berprestasi siswa remaja. Oleh karena itu, penting sekali seorang siswa memiliki konsep diri positif dan hubungan relasional yang baik dengan lingkungannya.

(28)

Sangat diperlukan kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan mengatur pikiran, sikap, dan perilakunya agar berhasil membentuk pribadi baik yang berkualitas dan saling menguntungkan bagi lingkungan. Hal ini didasari oleh teori yang dikemukakan oleh Santrock (2008) bahwa dalam perspektif behavioral, dipandang bahwa terdapat peristiwa atau stimuli baik positif maupun negatif yang memotivasi perilaku murid. Penggunaan insentif yang diperoleh seorang murid dapat berasal dari interaksi dengan gurunya, melalui gaya mengajar seperti pemberian pujian saat murid menyelesaikan tugas dengan baik dan benar (Santrock 2008). Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan peran Bimbingan Konseling (BK) di sekolah untuk pembinaan mental dalam membangun konsep diri positif siswa. Selain itu, dukungan teman-teman di sekolah dan kurikulum yang sesuai dengan tahap perkembangan dan potensi anak akan memacu tumbuhnya motivasi kompetensi, yakni dorongan atau kekuatan dalam menghadapi lingkungan siswa secara efektif, memproses informasi secara efisien sehingga mampu bertahan di tengah persaingan.

Jika dilihat kecenderungan dari ketiga kelas, contoh kelas reguler memiliki tingkat perkembangan moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal yang paling baik. Kondisi lingkungan mikrosistem seperti orang tua, pendidik di sekolah, teman sepermainan, lingkungan mesosistem, dan lingkungan eksosistem yang berlainan diantara contoh ketiga kelas tersebut seperti yang telah dipaparkan di paragraph-paragraf sebelumnya membuat pencapaian contoh pun cenderung berbeda. Masing-masing sistem memiliki elemen yang berbeda-beda. Setiap elemen tersebut memiliki status, peran, hak, kewajiban, tanggung jawab yang berbeda-beda. Jika secara struktural fungsi sistem tersebut tidak berjalan dengan semestinya, maka pengaruhnya pada anak pun akan bervariasi.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal sampling. Di antara tujuh kelas SBI dan lima kelas reguler, penentuan kelasnya tidak dilakukan secara acak melainkan diputuskan oleh pihak sekolah. Oleh sebab itu, penentuan kelasnya menjadi purposive, bukan random sampling, sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan. Keterbatasan lainnya adalah jumlah contoh dari kelas akselerasi hanya memiliki jumlah siswa sebanyak 26 orang dan jumlah ini tidak memenuhi syarat jumlah minimal untuk uji statistik. Selain itu, karena waktu yang dibatasi oleh sekolah, peneliti tidak bisa melakukan observasi di dalam kelas

(29)

ketika guru mengajar, sehingga gambaran proses kegiatan belajar mengajar di kelas tidak dapat diobservasi langsung melainkan hanya melalui diskusi pendek peneliti dengan beberapa responden.

Gambar

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga  Pendapatan
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan tingkat perkembangan nilai moral  Tingkat
Tabel  17  Koefisien  korelasi  Spearman karakteristik  contoh  dan keluarga contoh  dengan tingkat perkembangan nilai moral
Tabel  18  Koefisien  korelasi  Spearman karakteristik  contoh  dan keluarga contoh  dengan motivasi belajar
+2

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirobbil’alamin, Segala puji dan syukur selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam semoga telimpah kepada junjungan pejuang islam Nabi besar Muhammad

o Clip, digunakan untuk ‘memotong’ dan ’menggunting’ suatu layer (layer yang bertindak sebagai objek) berdasarkan (batas- batas yang di miliki oleh) layer yang lain

Hasil penelitian memberikan hasil signifikan, hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara konsep diri terhadap pemahaman konsep matematika,

Peran dari fungsi pengawasan untuk mengawal berbagai kegiatan dan program pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memenuhi prinsip tata kelola

Hal ini mengindikasikan bahwa secara parsial, faktor pendidikan formal cukup berpengaruh terhadap kinerja aparat pemerintah desa, namun secara simultan

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Kita dapat memperkirakan bahwa pada saat itu, Nazaret telah sedemikian rupa diabaikan sehingga tidak ada hal baik yang dapat diharapkan muncul dari mereka yang tinggal di

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap