Pada saat bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan, wilayah Indonesia terdiri dari
pulau-pulau besar dan kecil yang sebelumnya
merupakan wilayah koloni Belanda, yang
disebut Hindia Belanda. Sesuai dengan
konvensi hukum internasional tentang wilayah
negara eks kolonialisasi (walau tidak tercantum
pada Undang-undang Dasar 1945), maka
wilayah negara Republik Indonesia secara
Pada saat bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan,
wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang
sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Hindia Belanda (tidak tercantum pada Undang-undang Dasar RI tahun 1945; UUD-45) dimana pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya sesuai ketentuan TZMKO 1939.
Hal ini jelas tidak menguntungkan Indonesia. Ini berarti kapal
asing pada waktu itu dapat dengan leluasa melayari laut atau selat yang mengelilingi atau disekitar pulau-pulau kita hingga tiga mil-laut mendekati pantai. Hal itu jelas mengancam
eksistensi keutuhan wilayah negara RI dipandang dari sudut mana pun.
Dari situ lah kemudian awal perjuangan bangsa Indonesia
dimulai untuk memperoleh pengakuan internasional atas hak-haknya sebagai negara maritime, baik hak atas laut wilayah maupun hak atas kewenangan lainnya di laut (yurisdiksi
Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, menyatakan
bahwa:
Laut antar pulau tidak terpisahkan dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Laut antar pulau merupakan laut penghubung,
sehingga laut di antara pulau-pulau merupakan satu
kesatuan dengan pulau-pulau tersebut.
Batas laut wilayah (territorial) Indonesia adalah 12
mil-laut dari garis pantai kearah mil-laut lepas, dan Indonesia
mempunyai kewenangan untuk mengelola daerah
kedaulatannya yang mempunyai batas wilayah 12 mil
dari garis pantai tersebut
Pada tanggal 17 Februari 1969 dikeluarkan
Pengumuman Pemerintah (Deklarasi) tentang
Landas Kontinen Indonesia yang kemudian
dipertegas dengan UU RI No. 1 tahun 1973.
Laut di atas landas kontinen ini merupakan laut zone
ekonomi eksklusif (ZEE)/laut internasional dengan
batas sejauh 200 mil-laut dari garis pantai yang
dapat dimanfaatkan Indonesia
Pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut di Wina
pada tahun 1982 (UNCLOS-82), Indonesia diakui oleh
dunia sebagai sebuah negara kepulauan
Perubahan (amandemen) terakhir Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD-45), Bab IXA, tentang Wilayah
Negara pada Pasal 25A menyatakan:
Pasal ini jelas menyebutkan bentuk negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan Republik (
Unity Republic
)
yang berwujud negara kepulauan (
archipelagic
state
).
Konvensi
PBB
tentang
Hukum
Laut
Internasional tahun 1982 (UNCLOS 82), Bab IV, Pasal
46 mendefinisikan negara kepulauan sebagai
berikut:
(a) “archipelagic State” means a State constituted
wholly by one or archipelagos and may include other
islands;
(b) “archipelago” means a group of islands,
including parts of islands, interconnecting waters
‘Negara kepulauan berciri Nusantara’ mempunyai arti Negara
kepulauan yang terletak di antara dua benua dan dua
samudera; yang dimaksud dengan dua benua adalah Benua Asia dan Benua Australia dan yang dimaksud dengan dua samudera adalah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Dalam pernyataan ‘sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dan berbentuk negara kesatuan republik’ ini baru menunjukkan dimana lokasi geografis negara kesatuan yang berbentuk republik yang bernama Negara Republik Indonesia.
Kemudian, ‘dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang’ mempunyai makna bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan Negara Kepulauan itu masih harus
Kebijakan dan praktek penanganan masalah perbatasan negara selama ini sifatnya
“adhoc” dan parsial, seperti contoh-contoh adanya kepanitiaan berikut:
Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut
(Pankorwilnas) yang dibentuk tahun 1971 dan berakhir tahun 1996 dan digantikan oleh Dewan Kelautan Nasional (DKN) tahun 1997 dan kemudian menjadi Dewan Maritim Indonesia (DMI) tahun 1999.
Sementara Pankorwilnas telah berakhir tapi produk turunannya terus berjalan
secara adhoc tanpa ada kejelasan hubungannya dengan DMI, seperti adanya:
a. General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketahui oleh Panglima ABRI (sekarang TNI).
b. Joint Commission Meeting (JCM) RI-Malaysia diketuai oleh Deplu.
c. Joint Border Committee (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
d. Joint Border Committee (JBC) RI-UNTAET diketuai oleh Dirjen Umpem Depdagri. e. Subkomisi Teknis Batas Landas Kontinen diketahui oleh Dirjen Migas,
f. Sub Komisi Teknis (TSC) Survei dan Demarkasi
(untuk batas darat) RI-Malaysia diketuai oleh
Sekjen Depdagri.
g. Sub Komisi Teknis (TSC) Survei penegasan dan
pemetaan batas RI-PNG diketuai Kapusurta TNI
sejak 1995, sebelumnya diketuai oleh ketua
Bakosurtanal.
h. Sub Komisi Teknis (TSC) Border Demarcation
dan Regulation RI-TimTim diketuai oleh
Kapusurta TNI, Wkilnya Bakosurtanal.
Pola penangan seperti di atas jelas kuran produktif dan kurang efisien, serta sering menyebabkan banyak kelemahan dalam beberapa hal, seperti:
Selalu diperlukan review dan konsolidasi setiap kali akan
melakukan perundingan.
Representasi delegasi hanya tertumpu kepada figure
kekuatan Ketua Delegasi.
Tindak lanjut hasil perundingan kurang sosialisasi dan
sering kurang terakomodasi dalam program tahunan.
Pemerintah Daerah tidak berperan aktif, demikian pula
masyarakat di perbatasan tidak memperoleh perhatian sebagai mana mestinya.
Adanya kendala membuat komitmen sekalipun oleh Ketua
Delegasi karena kurang konsolidasi.
Birokrasi pengambilan keputusan menjadi panjang dan
terpisah-pisah.
Tidak ada sistem baku baik dalam aspek pengelolaan
Dari uraian di atas, nampak jelas lingkup permasalahan
yang dapat kita kelompokkan menjadi:
masalah teknis perbatasan mencakup delimitasi,
demarkasi dan perapatan pilar batas,
masalah inventarisasi sumberdaya alam, demografi,
dan lingkungan perbatasan,
masalah sosialisasi dan penempatan tanda pengenal
pos lintas batas,
masalah sarana perbatasan terkait dengan imigrasi,
patroli perbatasan, pajak dan cukai, dan keamanan,
masalah pengawasan sumber daya alam dan
lingkungan hidup mencakup kehutanan, pertambangan,
perikanan, perkebunan, pertanahan, pelestarian dan
pemanfaatan,
masalah berkaitan dengan pertahanan dan keamanan
negara,
masalah peran serta Pemerintah Daerah dan
Aspek-aspek yang perlu dikelola dan merupakan
‘infrastruktur data spasial’ dalam penanganan
perbatasan negara, yaitu:
sistem peraturan perundang-undangan,
sistem kelembagaan yang bersifat permanent
(tidak bersifat
adhoc
),
sistem data utama (spasial dan non-spasial) dan
basis data yang terintegrasi dari daerah
perbatasan sebagai modal utama untuk
manajemen daerah perbatasan,
sistem partisipasi komunitas masyarakat
perbatasan, dan