• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01343

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01343"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MENANTI PENGAKUAN

:

INDUSTRI BATIK BERBASIS

PUTTING-OUT SYSTEM

DAN

HOME-WORKERS

(STUDI KASUS DI JAWA TENGAH)

1

Arianti Ina Restiani Hunga

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Pusat Peneliti dan Studi Gender, Universitas Kristen Satya Wacana, Jalan Diponegoro 52-60, Salatiga Email: [email protected]

Abstrak

Krisis ekonomi mendorong makin pentingnya peran putting-out system (POS) untuk

pengembangan industri batik skala mikro-kecil-menengah. Industri ini memindahkan sebagian besar proses produksi ke rumah pekerjanya (home-workers) tanpa supervisi. Sistem ini sudah lama ada tetapi menjadi makin penting, kompleks, dan berbeda dari fenomena POS pada umum. Perkembangan industri berbasis POS tidak dapat dipisahkan dari home-workers dan keluarganya yang faktanya mereka "tersembunyi/disembunyikan". Home-workers telah memainkan peran strategis dalam mendukung eksistensi dan kelangsungan hidup industri batik, namun kontribusi mereka termarjinalkan. Makalah ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan di klaster Sragen, Surakarta, Sukohardjo di Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dari perspektif gender. Di dalamnya dipaparkan tiga temuan penting, yaitu (a) Transformasi POS dalam industri batik; (b) implikasinya pada perubahan peran home-workers dan kondisi mereka dalam industri batik; dan (c) perubahan POS dari perspektif gender.

Keywords: ‗putting-out system, industri batik, home-workers, gender

Abstract

Economic crises have stimulated the growing importance of the ‗putting-out‘ system (POS) in

the development of micro-small-medium scale batik industries which shifted most of the production processes to the homes of its home-workers. Such systems were already present before the crises but are now more prominent, faster, complex, and different from the ‗

putting-out‘ system in general. The development and survival of batik industries using POS cannot be

separated from the roles of the home-workers and their families, but their roles are ―hidden‖, and they remain on the margins. This paper is based on a research conducted in the cluster of

Sragen-Surakarta-Sukohardjo, Central Java. It is a case study from gender perspectives. Three

key findings are presented, namely (a) The POS transformation in batik industries, especially from gender perspectives; (b) the implications of the system on the role of home-workers and the employment conditions in the batik industry; and (c) the change of POS from gender perspectives.

Keywords: „putting-out” system, batik industries, home-workers, gender

1

(2)
(3)

Latar Belakang

Perhatian penulis terhadap Industri Mikro-Kecil-Menengah (selanjutnya disingkat IMKM) dimulai sejak tahun 1999 pada saat krisis ekonomi di Indonesia masih hangat. Pada saat itu, IMKM menjadi sub-sektor yang mendapat banyak perhatian dari banyak peneliti di Indonesia. Ada temuan yang kontradiktif terhadap IMKM pada masa ini, di satu sisi IMKM dianggap sebagai satu kekuatan ekonomi yang tangguh, khususnya pada masa krisis karena perannya strategis dalam penyerapan tenaga kerja, memberikan peluang

kerja2 bagi masyarakat, dan meningkatnya jumlah

IMKM. Namun di sisi lainnya, ada fakta empiris yang menunjukkan bahwa IMKM belum memperlihatkan

kinerja3 yang membaik bahkan daya saingnya

cenderung menurun, serta kesejahteraan pekerja di sektor ini lebih baik (Manning dan Dierman, 2000; SMERU, 2000; Thee Kian We, 2004; World Economic Forum, 2004; Menperindag, 2005; Bappenas,2005; ILO, 2010; Media Industri, 2011).

Dari fakta tersebut, memunculkan pertanyaan, bagaimana keberadaan IMKM di tengah ekonomi global yang semakin menuntut daya saing, efisien, dan fleksibel? Pertanyaan berikutnya, dari mana kekuatan IMKM menghadapi krisis ekonomi yang terjadi? Bila kekuatan itu tidak bersumber dari dalam diri IMKM tentu ada yang dipakai atau dikorbankan? Pertanyaan

inilah yang mendorong penulis, sejak tahun 20004

untuk melakukan penelitian lebih mendalam agar dapat

2 Selama periode 2004-2009 terjadi peningkatan sebanyak 793.709

unit usaha atau tumbuh rata-rata per tahun sebesar 7,33% melampaui persentase target Rencana Strategis Nasonal IKM sebesar 4,6%. Sementara peningkatan penyerapan tenaga kerja terjadi sejumlah 943.108 orang, dengan rata–rata pertambahan 188.621 orang per tahun atau dengan laju pertumbuhan sebesar 3,26% per tahun (Menperindag, 2010). Namun, sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003.Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti. Posisi ini jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN (Bappenas, 2005).

3

Pascakrisis ekonomi, industri nasional mengalami pelambatan pertumbuhan yang ditandai dengan penurunan kinerja beberapa sektor. Dalam kurun tahun 2005-2010 pertumbuhan industri non migas fluktuatif dengan kecenderungan turun. Pada 2005 industri tumbuh 5,86 persen dan mencapai titik terparah menjadi 2,56 pada 2009 sebagai imbas krisis ekonomi di Amerika Serikat. Namun, pada 2010 kondisinya telah jauh membaik dengan pertumbuhan mencapai 5,09 persen (Media Indonesia-Meneprindag, 2011).

4Tahun 2000-2003 merupakan penelitian tahap pertama di bawah

payung program Riset Unggulan Terpadu-Menristek. Kedua, tahun 2004-2006 riset melalui; Program Riset Unggulan Kemitraan – Menristek; Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID) – Dikti Depdikbud tahun 2004-2006 ; Indonesia in Transition; Coping with Crisis oleh KNAW Belanda). Tahap ketiga, tahun 2007-2011 melalui program: penelitian Riset Unggulan Daerah Provinsi Jawa Tengah; Perempuan di sektor informal – Kementrian Pemberdayaan; dan 3) Hibah Kompetensi – Dikti Depdikbud tahun 2009-2010.

mengungkap strategi IMKM, khususnya pada arena produksi sebagai arena interaksi aktor, produk, dan kelembagaan dalam menghasilkan produk sebagai inti kegiatan IMKM yang bisa dilihat secara material dan simbolik. Dalam arena produksi inilah, penulis menemukan modus produksi berbasis rumah pekerja (putting-out system selanjutnya disingkan POS) yang hadir sebagai pilihan yang strategis dari IMKM disamping/menggeser posisi modus produksi berbasis pabrik yang selama ini dominan digunakan oleh industri (Hunga, 2010, 2011, 2013)

Industri yang sebagian besar aktivitasnya berbasis di luar pabrik, yaitu pada rumah tinggal atau ditempat lain yang dipilih oleh pekerjanya, dalam dunia akademik dikenal dengan istilah industrial homework atau industri berbasis pada rumah pekerja melalui sistem produksi putting-out (Dangler, 1985)5. ILO (1996) dalam The Homework Convention tahun 1996 mendefinisikan Putting-Out System (selanjutnya disingkat POS) adalah sistem yang sebagian besar proses produksinya berada di luar perusahaan atau berada di rumah atau tempat yang dipilih sendiri oleh pekerjanya dan berlangsung tanpa atau sangat sedikit supervisi dari pemberi kerja atau pengusaha. Sistem produksi ini menggunakan dan memunculkan jenis tenaga kerja yang dikenal dengan istilah home based

work atau home-worker6. Tenaga kerja ini tidak

mempunyai ikatan kerja formal dengan pengusaha, tidak tercatat sebagai kategori pekerja, sehingga hubungan kerja di antaranya berlangsung secara informal dan eksploitatif.

Di kalangan peneliti dan aktivitas yang memperhatikan fenomena ini di Indonesia,

home-worker diterjemahkan menjadi Tenaga Kerja Rumahan

atau Pekerja Rumahan. Namun penulis tidak menggunakan terjemahan ini karena istilah Tenaga Kerja Rumahan atau Pekerja Rumahan sering dimaknai secara salah, yaitu diidentikkan dengan pekerja dalam rumah tangga yang lebih dikenal dengan istilah Pembantu Rumah Tangga (PRT). Bila di antara individu dan masyarakat yang mengenal atau mendengar istilah home-worker (selanjutnya disingkat HW), sering HW dikategorikan dalam kategori yang

salah, seperti home-industri, pengusaha mikro,

pengrajin, ibu rumah tangga, pekerja musiman, bahkan tidak bekerja. HW sebenarnya banyak ditemui di lapang dengan istilah lokal yang berbeda-beda, seperti; borongan, sanggan7, maklon, rengsi, mancal, jrogan

5Juga dikenal istilah Out-worker dan home-workers menjadi bagian

dari kategori out-worker

6

Home-workers juga sering dipertukarkan atau disama artikan dengan home-based work.

(4)

gaok8, tempahan9, bos atau bos kecil, mancal, rengsi, pengobeng, jedot atau makelar, dll. Perbedaan istilah ini sangat terkait dengan komiditi yang diolah dan

konteks sosial-budaya masyarakatnya. Misalnya,

mancal dikenal untuk HW dalam pengolahan komoditi konveksi. Sedangkan sanggan salah satu istilah bagi perempuan HW dan jragon gaokv untuk laki-laki HW di Batik. Oleh karenanya istilah ini tidak sekedar kata tetapi memiliki makna (discourse) yang berbeda sekaligus membedakan HW satu dan lainnya dalam POS baik dilihat dari kompetensi, peran dan posisinya terkait dengan komoditi yang diolah, serta gendernya. Hal ini menengaskan bahwa bahwa HW bukanlah entitas yang homogen tetapi sebaliknya berbeda dan memiliki kompleksitas interaksi dalam POS. Realitas ini sekaligus mengkritisi temuan dan pandangan dominan tentang POS dan HW selama ini yang cenderung melihat mereka sebagai entitas yang homogen (Hunga,2005; 2011). Oleh karena itu, kesalahan dalam mengidentifikasi HW dan POS

berimplikasi pada kerancuan dan semakin

mengaburkan siapa mereka sebenarnnya.

Industri yang menggunakan POS dan HW, sebenarnya sudah lama ada baik di Indonesia, regional, maupun global, namun baru mendapat perhatian sejak tahun 1990-an seiring dengan krisis ekonomi dunia. Fakta ini diungkap oleh berbagai penelitian di beberapa negara dan gerakan yang difasilitasi oleh ILO pada skala Internasional (Beneria dan Roldan, 1986; Allen dan Wolkowitz, 1987; Dangler, 1985, 1994; ILO, 1996; Ping-Chun Hsing, 1999; McCormick, 2002; Surman, 2002; Doane, 2007; WIEGO, 2010). Fenomena ini di Indonesia ditunjukkan oleh beberapa penelitian, antara lain Susilastuti (1999); Wijaya (2000); ILO (2004); Doane (2007); WIEGO, 2010; Hunga (2000, 2005, 2010,2011).

Namun sejak isu HW muncul di publik pada tahun 1990-an dan adanya Konvensi ILO terkait Home-workers (ILO, 1996), HW menjadi perdebatan yang kontradiktif. Situasi ini, tampak dalam dua publikasi ini, antara lain; Home-Workers In Global Perspective. Invisible No More, merupakan salah satu buku yang ditulis oleh beberapa peneliti yang diedit oleh Eleen Boris and Elisabet Prugl (1999), dan buku We are Worker Too! Organizing Home-based Worker

In Global Economy yang dipublikasikan oleh Women

Informal Employment Globalizing and Organizing

8 Jrogan merupakan istilah yang diplesetkan dari kata Juragan. Gaok

adalah burung yang diidentikan (setreotype) dengan laki-laki yaitu terbang kesana-kemari mencari dan mengambil pekerjaan atau

‗mangsa‘. Jrogan Gaok diilustrasikan sebagai HW laki-laki yang berperan sebagai koordinator para HW yang mengambil dan membagikan pekerjaan dan upah. Istilah diwilayah lainnya adalah

tempahan

9Dari bahasa Jawa yaitu tempohke yang bisa dimaknai sebagai

diwakilkan dan kemudian dimaknai wakil juragan.

(WIEGO, 2010). Istilah ―ketersembunyian‖ yang

dipakai di kalangan peneliti dan pemerhati fenomena ini untuk menggambarkan fakta empirik yang kontradiktif yang dialami oleh HW dalam POS. Di satu sisi, mereka tidak dikenal atau dikenal secara keliru10, tidak diakui, dipertanyakan jumlah dan perannya dalam ekonomi modern, serta relevansinya memberikan perlindungan, bahkan dianggap pantas menerima perlakuan didiskriminasi. Namun faktanya POS dan HW semakin meluas penggunaannya, mereka masuk dalam POS yang semakin kompleks, menuntut perubahan peran HW yang strategis, dan sekaligus eksploitatif.

Ditengah semakin meningkatnya IMKM yang menggunakan POS justru yang terjadi sebaliknya, IMKM berbasis pabrik dikenal, mendapat perhatian,

dan acuan dalam mengambil kebijakan11. Persoalan

menjadi kompleks, pada saat kebijakan tersebut12

diberlakukan pada IMKM berbasis POS. Penerapan kebijakan ini menjadi fatal karena kedua IMKM ini mempunyai karakteristik dan dinamika yang berbeda secara prinsip dan teknis (ILO, 2002; Hunga, 2005, HomeNet, 2010, Hunga, 2011). Contoh konkrit dikeluarkannya UU N0 13 tahun 2003, di satu sisi UU ini melegitimasi industri menggunakan sistem Out-sourcing yang berimplikasi terjadinya informalisasi hubungan kerja industrial (Menakerstrans,2004), juga berarti semakin mendorong peningkatan IMKM yang menggunakan POS dan HW. Namun di dalam UU ini tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan bagi pekerja out-sourcing, termasuk HW. UU ini juga menciptakan kontroversi tidak hanya antara pengusaha dan pekerja, tetapi juga di antara pekerja yaitu pekerja pabrik dibawah payung Serikat Buruh dan HW yang ada dirumah-rumah yang tidak berorganisasi. Para

pekerja pabrik mendesak mereka ‗dipabrikan‘13 namun

sebaliknya dengan adanya UU N0 13 tahun 2003 (Out-sourcing) sebenarnya negara ikut mendorong para

pekerja ‗dirumahkan‘ atau melakukan proses produksi dari dalam rumahnya. Hal ini berimplikasi pada

terpecahkan kekuatan buruh dan cenderung

melemahkan mereka dalam sistem produksi kapitalis. Pandangan yang mendominasi, mensubordinasi

HW, ‗menyembunyikan‘ HW dan POS merupakan bukti mengabaikan fakta yang sebenarnya bahwa POS dan HW terus meluas penggunaannya (masif),

10 Banyak istilah lokal yang dimemiliki makna yang berbeda-beda.

Ini justru semakin mengaburkan siapa mereka. Misalnya memaknai merena sebagai Pembantu Rumah Tangga, Ibu Rumah Tangga,dll.

11

Libat dalam Rencana Strategis Pengembangan IMKM di Indonesia, industri berbasis POS tidak termasuk didalamnya (Menperindag, 2009).Hal yang sama juga tidak tercakup dalam bandingkan juga dengan Rencana Strategis Pengembangan Industri Kreatif tahun 2010-2025 (Menperindag, 2010).

12 Industri formal (Disperindag, 2005)

(5)

merambah dalam pengolahan komoditi strategis, potensial, membutuhkan inovasi dan kreatifitas tidak terbatas, dan terintegtasi dengan pasar yang luas. Perkembangan penting ini menunjukan, antara lain; pertama, POS mengalami transformasi menjadikan IMKM berbasis POS dan HW meningkat, penting dan strategis, kompleks, dan berbeda dengan industri berbasis POS pada umumnya.Kedua, proses transformasi mendorong perubahan peran HW dan keluarganya menjadi strategis dalam mendukung

eksistensi industri,namun sebaliknya memarginalkan14

HW dan keluarganya, khususnya pada perempuan HW. (Hunga, 2000; 2005; 2010, 2013).

Kedua hal diatas merupakan fakta

perkembangan penting, peran-peran ‗baru‘, serta

upaya-upaya beberapa pihak untuk terus

‗menyembunyikan‘ fakta ini. Mengungkapan fakta ini merupakan bagian dari upaya untuk mengungkap

‗ketersembunyian‘ POS dan HW. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa POS dan HW layak mendapat pengakuan dalam perekonomian di Indonesia dan

khususnya HW mendapatkan perlindungan

sebagaimana layaknya pekerja pada umumnya yang telah lama mereka nantikan dari berbagai pihak.

Oleh karena itiu, paper ini ini akan memaparkan aspek penting dari perkembangan POS dan HW yang menjadi inti argumentasi penulis diatas, yaitu; 1) transformasi POS dalam IMKM batik yang ditunjukan dalam modus produksi dan reorganisasi produksi yang menjadikan sistem ini strategis bagi industri; 2) Dampak transformasi POS yang mendorong peran strategis dan sekaligus memarginalkan HW dan keluarganya; dan 3) Perubahan formasi (sistem) POS dari perspektif Gender.

Paradoks POS dan HW

Salah satu penyebab ‗ketersembunyian‘ IMKM

berbasis POS dan HW adalah adanya asumsi, pendekatan, metoda penelitian, dan argumentasi yang mendominasi pandangan publik bahwa POS dan HW memainkan peran sekunder dan kurang penting dalam perekonomian. Perdebatan ini dikaitkan dengan area (domain publik vs domestik), interpretasi terhadap aktor (perempuan vs laki-laki) didalamnya, dan jenis pekerjaan dalam POS (stereotype feminin vs maskulin) yang semuanya tidak terlepaskan dari aspek gender (Beneria, 1981; Wolkowitz dan Allen, S., 1987; Saptari,1992; Chotim, 1994; Mies, et.al, 1996; Prugl, 1999; Prughl and Boris, 1996; Hunga, 2005).

14

Scott (1986) mendefinisikan marginalisasi sebagai suatu proses pemiskinan perempuan karena semakin disingkirkan, dikondisikan tidak mampu menjangkau dan tidak dapat menjangkau berbagai sumber-sumber produktif, serta dikondisikan menerima perlakuan dan penghargaan yang berbeda atau lebih rendah dibanding laki-laki.

Pandangan ini juga memunculkan kembali kontradiktif pada aras konseptual yang sudah lama ada terkait dikotomi; kerja versus (vs) tidak kerja; beruang vs tidak beruang; produktif vs reproduktif; tempat kerja (publik) vs rumah (domestik); laki-laki sebagi Kepala Keluarga dan pencari nafkah (produktif) vs perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga dan pemelihara keluarga yang berperan reproduktif. Dikotomi ini terkait dengan pembagian menurut seks yang merupakan kontruksi sosial atas jenis kelamin atau gender. Konstruksi ini juga dilekatkan pada jenis kerja dan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia yang berbeda jenis kelamin dan arena yang dilekatkan kepadanya (Hunga, 2004,2005,2011).

Dalam modus produksi POS, dapat dijelaskan bahwa pekerjaan yang menghasilkan uang dikeluarkan dari pabrik dipindahkan ke dalam rumah tinggal pekerja. Proses ini, sebenarnya secara fisik-material menunjukan bahwa pemisahan antara tempat kerja (publik) yang identik produktif dan beruang dengan rumah tinggal (domestik) yang identik reproduktif dan tidak beruang menjadi tidak relevan lagi. Namun yang terjadi fakta ini tidak merubah dikotomi di atas. HW dan kontribusinya masih tetap dinilai lebih rendah karena berlangsung dan mendapat makna domestik.

Proses domestikasi juga dikaitkan dengan anggapan bahwa jenis pekerjaan yang dikerjakan dalam POS adalah; jenis pekerjaan tidak penting, berulang-ulang, tidak butuh keterampilan, temporer, dan sekedar mencari uang tambahan (pin-money), dan sampingan. Jenis pekerjaan yang tidak penting, seperti memasang kancing, obras, menjahit label, dll., yang merupakan bagian kecil dari satu kesatuan produksi pakaian (konveksi). Namun faktanya POS dan HW yang ditemui diberbagai wilayah, termasuk di Indonesia justru sebaliknya yang berarti bahwa

pandangan ini tidak bisa lagi dipertahankan.

Perkembangan penting POS ditentukan oleh karakter komoditi dalam pasar yang luas, masyarakat, dan aktor (HW dan pengusaha). Fenomena ini sangat jelas pada komoditi yang berbasis pada nilai-nilai lokal, menjadi produk andalan, dan sekaligus memiliki pasar yang luas seperti batik dan tenun. Produk ini merupakan

produk ekonomi sekaligus sosial-budaya, serta

mengalami penetrasi pasar yang luas. Karakter produk ini berbeda dengan komoditi konveksi (garment) (Hunga, 2005, 20011, 2013).

Perbedaan penelitian ini dengan POS pada

umumnya15 adalah POS dalam IMKM Batik

menghasilkan produk yang bukan komoditas ekonomi semata tetapi karya yang memberikan makna sosial,

15

(6)

budaya, dan simbolik bagi aktor-aktor di dalamnya, termasuk konsumen yang menggunakannya (Tirta, 1996; Doellah, 2002; 2003). Oleh karenanya, dalam kasus batik, modal diluar ekonomi justru sangat menentukan. Oleh karenanya dialektika POS dalam industri Batik menunjukan kompleksitas relasi antar aktor didalamnya yang tidak hanya melibatkan modal ekonomi, ketrampilan, tetapi juga modal sosial; budaya dan simbolik (Bourdieu, 1977).

Dalam arena produksi ini, aktor mengenal dan berusaha melalui persaingan untuk memiliki modal baik ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Modal ini menentukan posisi dan peran aktor dalam arena ini. Artinya dalam menghasilkan batik membutuhkan modal pengetahuan dan nilai-nilai yang bersumber dari pengetahuan lokal yang diperoleh secara turun-temuran. Pengetahuan dan nilai ini mambentuk kerangka berpikir aktor yang oleh Bourdieu (1997) disebut Habitus. Bagi Bourdieu, “The habitus is a system of durable, transposable dispositions which functions as the generative basis of structured,

objectively unified practices” (Bourdieu 1977).

Habitus adalah struktur mental kognitif yang dikonstruksi yang diinternaliasikan dan diwujudkan dalam praktik. Bila diletakan dalam konteks POS dan HW yang sangat kental dengan isu gender maka habitus para aktor sangat terkait dengan nilai-nilai

yang berasal dari ‗ideologi‘ gender yang kait-mengkait dengan logika kapitalis.

Selanjutnya habitus inilah yang menentukan tindakan (praktek) aktor didalam areanya untuk menghasilkan batik tertentu. Praktik digambarkan oleh Bourdieu sebagai „the dialectic of the internalization of externality and the externalization of internality‟ yaitu sebuah dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas. Melalui sistem ini aktor mengorganisir tindakan sosialnya, mempresepsi, serta mengapresiasi tindakan sosial aktor lainnya dalam kehidupan sosial (Bourdieu, 1977). Dalam konteks batik maka habitus terekspresikan sebagai dialektika pengetahuan dan nilai-nilai yang dimiliki aktor yang diaktulisasikan dalam konteks kekinian dengan berbagai sentuhan inovasi yang diekspresikan dalam goresan-goresan motif yang memiliki nilai (filosofis dan kontekstual), diatas media tanpa batas (kain, kayu, kaca, dll), dan paduan warna sehingga menghasilkan batik yang indah. Pengetahuan dan nilai yang diterima aktor menentukan perbedaan habitus diantara mereka dan ini menentukan produk (batik) yang dihasilkan. Faktanya di pasar ditemui batik dengan berbagai kualitas, termasuk tekstil batik16 yang ditemui di pasar.

16

Di komunitas pecinta batik maka tekstil batik dikategorikan bukan batik karena tehnik pengerjaannya tidak menggundakan perintang lilin (malam).

Hal ini mengekspresikan bahwa ada perbedaan kepentingan diantara aktor (Hunga, 2010, 2013)

Pratek aktor dalam POS tidak hanya

menghasilkan produk yang berbeda tetapi juga menentukan dielaktika diantaranya yang menciptakan pihak yang dominan dan didominasi. Dalam kasus POS dan HW, penulis menemukan penindasan terhadap perempuan dalam dua bentuk yaitu penindasan material dan ‗idologi‘ (Hunga, 2005, 2008, 2010). Dalam arena rumah tangga (domestik), modus produksi pabrik masuk, berlangsung, memanfaatkan dan tumpang tindih dengan modus produksi domestik untuk mencapai efisiensi dan keuntungannya. Didalam area ini, aktor (laki dan perempuan) memanfaatkan sistem ini , dan pemilik otoritas rumah (laki-laki) yang mendominasi. Hal ini sebagai ekspresi dialektika (tali-temali) logika kapitalisme dengan patriarkhi yang melekat pada area, komoditi, dan aktor.

Hartman (1976,1981) mengatakan bahwa dalam sistem kapitalis, buruh perempuan sering dieksploitasi untuk menekan biaya produksi dalam upaya untuk

memperoleh keuntungan memperluas produksi.

Mereka dibayar murah dibanding laki-laki dengan alasan tidak terampil, melakukan pekerjaan yang mudah, dan sebagai pencari nafkah tambahan. Pada saat industri mengalami proses deindustrialisasi

dimana terjadi pergeseran kelembagaan pabrik

digantikan dengan kelembagaan „rumah sebagai

pabrik‟ melalui modus produksi POS, maka logika ini juga yang dipakai dan dibawa masuk ke Rumah Tangga (RT) dan menciptakan jenis pekerja yang disebut HW. Jadi eksploitasi terhadap perempuan dalam industri berbasis POS ini merupakan manifestasi dari ideologi gender dalam masyarakat patriarkhi sebagai sistem sosial yang bergabung dengan kapitalisme sebagai sistem ekonomi (Hartman, 1976; Beneria, 1981; Wolkowitz dan Allen, S., 1987, Partini, 1990; Saptari,1992; Chotim, 1994; Mies, et.al, 1996; Prugl, 1999; Prughl and Boris, 1996; Hunga, 2005).

(7)

Dari paparan di atas, untuk menjelaskan proses transformasi POS, digunakan paradigma feminis kontemporer yang ditempatkan dalam kerangka analisis Bourdieu (1977; 1990) yang dilihat dari 3 hal yang saling terintegrasi, yaitu: pertama, kapitalisme, patriarkhi, dan negara merupakan kekuatan sistem

yang saling berhubungan mendorong proses

transformasi POS. Kapitalisme sebagai suatu dasar material dan nilai menjadi sarana yang membangun

dan menjaga POS agar dapat memenuhi

kepentingannya. Sedangkan nilai patriarki menjadi dasar material dan nilai yang melembaga dalam Rumah Tangga yang menegaskan hubungan gender di dalam kegiatan produksi dan reproduksi. Kedua nilai ini menjadi bagian dari habitus (Bourdieu, 1977) yang melekat para aktor dan berkaitan erat dengan komoditi dan kelembagaan dalam POS sebagai area/ranah/field. Keduanya bisa berlangsung karena didukung oleh peran negara. Ketiga, modal (ekonomi, sosial, budaya,

dan simbolik) yang dikembangkan aktor dalam POS

sebagai field/arena/ranah (Bourdieu,1977).

Kerangka analisis penelitian ini difokuskan pada hubungan dialektis antara logika kapitalis dan nilai patriarkhi yang merupakan habitus aktor dalam POS yang diartikulasikan dalam POS sebagai field atau area dalam tiga dimensi relasi atau praktek pada tiga level yaitu mikro, medium, dan makro yang terjadi antara, pengusaha-HW; diantara HW; dan HW-anggota RT sebagai satu kesatuan basis produksi atau klaster yang menentukan kompleksitas dan eksistensi industri berbasis POS dan HW. Selanjutnya analisis diarahkan untuk melihat dampak dari proses ini terhadap aktor-aktor di dalamnya. Interaksi kekuatan di dalamnya menciptakan ada pihak yang mendominasi dan pihak yang termarginalkan.

Metodologi

Untuk dapat menggambarkan proses

transformasi POS dalam IMKM dan dampaknya pada

aktor di dalamnya secara lebih ‗dalam‘ dan

komprehensif maka jenis penelitian yang tepat adalah jenis penelitian kualitatif (Bogdan dan Taylor, 1975;Kirk dan Miller, 1986; Denzin dan Licoln, 1987; David william, 1996) dan metode penelitian kualitatif yang dipakai adalah studi kasus (Adelman, et.al., 1977 dalam Wilardjo, 1994; Natsir, 1988; Yin, 2005). Namun dalam konteks POS dan HW, kompleksitas didalamnya erat dengan isu gender17 maka strategi

17 isu gender dalam POS seba-gai sentral dapat dijelaskan berikut

ini:1) internalisasi ‗ideologi‘ gender yang melekat pada aktor

(pengusaha dan HW) dan institusionalisasi dalam sistem (POS) yang menjadi kerangka pikir aktor; 2) proses subjektifikasi dan

eksternalisasi ‗ideologi‘ gender yang nampak dalam tindakan aktor

dalam sistem (POS); 3) pengaturan arena beraktivitas (strategi) untuk

penelitian dengan memakai studi kasus tidaklah cukup karena metode penelitian ini masih netral atau bias gender. Subjek dan ukuran terhadap subjek masih bias gender sehingga realitas perempuan (keberadaan, pengalaman, dan kebutuh-annya) dalam relasinya dengan laki-laki tidak nampak (Robert, 1981; Harding, 1987). Oleh karena itu, penulis mengintegrasikan paradigma feminis ke dalam metode studi kasus

sehingga menjadikannya metode studi kasus

berperspektif gender. Metode ini secara eksplisit

menjadikan realitas perempuan, khususnya

keberadaannya, pengalaman, dan kebutuhan

perempuan dilihat dalam hubungan gendernya sebagai isu pokok relasi dalam POS. Pada akhirnya dapat memberikan kontribusi untuk perubahan situasi dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender (Robert, 1981;Cook dan Fonow, 1986; Harding, 1987; Saptari dan Holzner, 1997)

Hal lain yang menjadi pembeda mendasar dari penelitian ini dengan yang umumnya, antara lain: (1) pemilihan komoditas yang diteliti yaitu batik dan bukan pada garmen atau konveksi yang banyak dipakai dalam penelitian POS selama ini. Pemilihan Batik

karena merupakan komoditas yang sudah sangat lama18

diproduksi dengan POS dan sangat kental dengan simbol kultural Jawa; (2) pendekatan yang digunakan yaitu menempatkan IMKM berbasis POS dan HW sebagai satu kesatuan rantai produksi dan pemasaran atau klaster19, serta melihat dialetika aktor-aktor dalam satu kesatuan sistem; dan (3) analisis yang digunakan yaitu mengintegrasikan gender sebagai bagian yang sentral dalam analisis.

Langkah-langkah metodik yang penulis lakukan

untuk menentuan kasus dengan menggunakan

pendekatan pendekatan cluster20. Adapun langkah

meraih, mempertahan-kan, dan mengembangkan modal dalam sistem (dikembangkan dalam kerangka pikir Bourdiew, 1977)

18 Hasil wawacancara dengan pengusaha kecil-menengah Batik di

Surakarta yaitu Ibu Prodjo dan Bapak Karto. Mereka generasi yang ketiga yang mengelola usaha keluarga. Sejak awal usaha keluarga memakai POS. Ibu Painem sudah bekerja sebagai home-workers

Batik sejak usia 10 tahun.

19 Deperindag (2000);‖Pengelompokan industri dengan satu

focal/core industri yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership dengan industri pendukung (supporting industries) dan industri terkait (related industries)‖. Porter (1998); ‖a cluster is geographically promimate group of interconnected companies, linked by commodities, and complementarities‖.

Penelitian yang mengintegrasikan konsep klaster untuk bisa menangkap rantai produksi dalam satu kesatuan area yang dimulai dari bahan baku, rantai produksi yang panjang, dan pemasaran.

20 Menggunakan konsep Michael E. Porter yang telah diadopsi oleh

Depperindag dalam Strategi Industri Nasional (2000). Konsep klaster

Disperindag adalah,‖klaster industri adalah pengelompokan industri

dengan satu focal/core industry yang saling ber-hubungan secara intensif dan membentuk partnership dengan industri pendukung (supporting industry) dan industri terkait (related industry).

(8)

tersebut, antara lain; pertama, memperoleh gambaran data makro atau peta sentra produksi dan pemasaran batik untuk menentukan area. Pemilihan lokasi sebenarnya tidak terikat pada batasan rural-urban tetapi lebih memperhatikan jangkauan arena atau jejaring sebagai satu-kesatuan rantai produksi dan pemasaran yang area POS21. Oleh karenanya, area rantai produksi batik dalam penelitian ini mencakup area yang relatif luas, yaitu; Sragen, Surakarta, dan Sukohaerdjo. Juga melacak jangkauan pasar, karakter pasar, pelaku dalam pasar yang menentukan penetrasi produksi batik dan integrasi HW dalam jejaring IMKM berbasis POS dalam pasar yang luas. Akhirnya ditemui rantai pemasarannya tersebar di kota-kota besar di Indonesia, seperti Surabaya, Jakarta, Yogjakarta, dan Bali, bahkan sampai ke luar negeri, seperti Paris, Inggris, dan USA.

Kedua, melakukan pemetaan

jenis-jenis/sub-jenis komoditi batik, rantai produksi, dan organisasi produksi komoditas tersebut dalam klaster diatas. Langkah ini dapat memberikan informasi terkait klaster, potensi, dan kekhasan komoditi tersebut. Untuk itu, penulis menelusuri mulai dari bahan kainnya dari mana, terus di bawa ke mana, masuk ke produksi dari rantai ke rantai produksi lainnya; terus dari satu sub-rantai ke sub-sub-rantai lainnya sampai batik dipacking dan dikirim atau dipajang bila dilakukan di toko. Proses ini berjalan sangat rumit, membutuhkan waktu yang panjang, dan kehati-hatian dalam mengolah informasi yang diterima.

Ketiga, memetakan aktor-aktor yaitu pengusaha dan HW, posisi, dan peran mereka dalam setiap rantai dan sub-rantai produksi dan organisasi produksi dalam

klaster tersebut. Pada setiap rantai penulis

mengidentifikasi siapa aktor, termasuk gendernya dalam setiap rantai produksi, apa perannya, bagaimana

ia masuk dalam posisi ini, bagaimana ia

mempertahankan posisinya atau tersingkir dari posisi tersebut, dll, kemudian memetakan aktor dalam organisasi produksi. Dari pemetaan ini, penulis memperoleh peta aktor yaitu pengusaha sebagai pihak pemberi pekerjaan dan pemilik faktor produksi dan HW yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki dalam posisinya dan perannya sebagai pekerja dalam struktur POS, sebagai tempahan, sanggan, dan sub

sanggan. Tempahan, Sanggan, Sub-Sanggan

merupakan istilah lokal bagi HW dan mereka semua adalah HW. Pembedaan istilah ini, berkaitan dengan perbedaan posisi dan peran mereka dalam rantai produksi dan organisasi produksi dalam POS.

specialized supplier, service provider, firms in related industries, and associated institutions (for example, universities, standart agencies, and trade associations) in particular fields that complete but also cooperate‖.

21 Penelitian selama ini terhadap home-workers di wilayah urban

Kelima, penentuan jenis produk batik menjadi hal yang sangat penting karena sangat menentukan analisis dan kesimpulan atas kasus tersebut. Oleh karena itu, mempertimbangkan, antara lain: (1) definisi batik sebagai ciri atau kriteria batik Indonesia yaitu menggunakan perintang lilin atau malam dan ragam hias; (2) penetrasi pasar pada produk batik yang ditunjukkan oleh orientasinya yaitu pasar eksport dan domestik); (3) jaringan produksi sebagai satu kesatuan produksi dan pemasaran yaitu panjang-pendeknya rantai produksi dan organisasi produksi yang

menentukan inovasi, teknologi produksi, dan

kompleksitas interaksi aktor di dalamnya;(4) stereotype yang melekat pada produk yaitu feminin melekat pada batik tulis dan maskulin melekat pada batik cap, semokan, tolet, dan printing dengan teknik cabut warna; (5) aktor yang melekat dengan posisi dan perannya dalam rantai dan organisasi produksi.

Dari langkah diatas, akhirnya penentukan kasus mempertimbangkan tiga hal, antara lain; aktor (pengusaha dan HW), batik (karakteristik),dan jejaring kelembagaan yang menentukan dinamika IMKM berbasis POS, HW, dan batik yang dihasilkan dan dipasarkan. Berdasarkan pertimbangan ini, ditentukan 3 kasus yang masing-masing terdiri dari 2 sub-kasus pada setiap kasus. Kasus ini tidak dimaksudkan untuk analisis perbandingan namun untuk menggambarkan kedalaman dan varisi yang ada dalam ketiga kasus tersebut sebagai gambarakan keunikan dan kom-pleksitas di dalamnya. Kasus-1 memberikan gambaran IMKM batik dan HW yang memproduksi batik eksklusif dan dominan untuk pasar eksport; kasus-2 merupakan IMKM batik dan HW yang memproduksi batik untuk pasar domestik, massal, dan tidak langsung eksport; dan kasus-3 adalah IMKM batik dan HW yang produksi batik tradional dan lebih berorientasi pasar domestik.

Unit analisis dalam penelitian ini adalah relasi tiga dimensi yang dialetis antara pengusaha – home-workers, antara home-home-workers, dan

home-wokers-anggota Rumah Tangga dalam sistem ―putting-out‖ sebagai satu kesatuan produksi. Sedangkan unit pengamatan penelitian adalah IMKM batik dan HW dalam posisi dan peran sebagai tempahan, sanggan, dan sub sanggan dalam satu kesatuan produksi yang mengolah komoditi dan menghasilkan batik seperti Batik tulis, Batik Cap, Batik Tolet, Batik gradasi warna atau semokan, dan Batik printing memakai teknik cabut warna, kombinasi tulis di klaster Sragen-Surakarta-Sukohardjo.

Dalam penerapannya, metode ini membutuhkan kombinasi teknik pengambilan data adalah wawancara

‗mendalam‘, pengamatan dan pengamatan terlibat,

(9)

Tehnik analisis data menggunakan tehnik analisis kualitif dari perspektig gender. Artinya teknik analisis gender diintegrasikan dalam analisis data kualitatif yang digunakan sesuai dengan tujuan penelitian, antara lain; analisis isi, analisis wacana, dan analisis jejaring.

Transformasi POS: Studi Kasus IMKM Batik berbasis POS

Pada bagian ini dipaparkan temuan yang menunjukan perkembangan POS yang penting/strategis dan berbeda dari POS pada umumnya antara lain: (1) modus produksi POS; (2) reorganisasi produksi dalam POS sebagai suatu area/ranah/ field; dan 3) transformasi POS berbasis Gender. Ketiga hal ini menunjukan bahwa terjadi transformasi peran HW menjadi strategis dan sekaligus marginal

1. Modus Produksi POS

Perbedaan modus produksi POS dalam IMKM batik yang diteliti ini dibandingkan dengan POS pada umumnya terletak pada bentuk dan pola pemecahan rantai produksi dan reorganisasi produksi.

Pertama, terjadi proses pemecahan rantai

produksi menjadi spesifik dan panjang. Pemecahan ini tergantung dari komoditas dan nilai tambah yang diinginkan dari produk batik yang dihasilkan karena menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Dalam sub-kasus BaYo (ToSIBayo), Gambar 1 menunjukan rantai produksi yang dipecah-pecah secara spesifik dan panjang, tergantung pada nilai tambah. Misalnya; bahan batik, kemeja batik, blose, dll., dengan berbagai kreasi yang melengkapinya dan di atas media kain yang bervariasi seperti sutera, sutera tenun ATBM, katun, dll.

–temporer) dalam kasus ToSIBaYo –Sub-Kasus BaYo

Desentralisasi Produksi Kasus Batik Basang Proses pembuatan Batik Basang dalam gambar 1, dimulai dari proses menenun menghasilkan kain sutera dengan menggunakan alat mesin semi manual

atau dikenal dengan alat tenun bukan mesin – ATBM.

Kain yang dihasilkan ini disebut kain tenun Basang dan menjadi populer di Indonesia sekitarnya tahun 2000-an. Batik Basang dikenal dengan ciri; bahan sutera, halus, tenunannya rapat, motifnya dirancang melalui kombinasi motif tenun dengan batik di atas motif yang dihasilkan dari tenun. Hasil karya ini dikenal dengan nama Batik Basang. Bagi pembatik, sebenarnya kain sutera tenun Basang ini relatif sulit karena kainnya licin dan permukakannya berserat sehingga mata canting yang digunakan untuk membatik tidak bisa

berjalan mulus. Oleh karenanya dibutuhkan

keterampilan yang relatif tinggi, ketekunan, dan kesabaran dalam menyelesaikannya. Kesulitan lainnya adalah dalam teknik pewarnaan yang tidak hanya terletak pada paduan warna yang cenderung sulit bagi tukang warna, juga resikonya relatif tinggi karena media kainnya halus, harganya mahal, dan dibuat dalam jumlah yang sedikit untuk setiap desain atau eksklusif.

Karakter Batik Basang yang eksklusif

membutuhkan aktor dalam setiap rantai produksi yang memiliki ketrampilan yang relatif cukup sampai tinggi. Oleh karena itu, karakter produk Batik Bsang juga berpengaruh pada relasi aktor di dalamnya. Posisi strategis dalam proses tenun dipegang oleh para laki-laki seperti instruktur, koordinator para HW yang berperan sebagai tempahan. Para HW diupah berdasarkan satuan lembar kain atau potong kain (pieces atau borongan). Setelah kain sutera ini selesai maka kain ini akan dikirimkan ke lokasi yang berbeda di rumah-rumah para tempahan yang diberi pekerjaan memproduksi batik di atas media kain ini.

Pada tempat terpisah ada proses menggambar desain batik di atas kertas transparan dan pekerjaan ini disebut juga coret atau gambar. Hasil kerja ini nantinya akan dipindahkan di atas kain sutera tenun dan proses ini disebut nglebat atau kopi. Proses ini sebagian besar dikerjakan oleh laki-laki HW yang diupah per satuan kain yang sudah digambarkan motif batik di atasnya.

Selanjutnya serangkaian proses menulis di atas

media kain mengikuti desain yang sudah ada dengan

menggunakan canting dan lilin. Pekerjaan ini disebut membatik, dilakukan berulang-ulang tergantung dari berapa banyak kombinasi warna yang ingin dibuat di atas helaian kain ini. Pekerjaan membatik berstrata mulai dari ngengreng (disebut ambil motif) dan dilanjut pekerjaan nerusi yaitu melakukan pekerjaan yang sama dengan ngengreng tetapi dilakukan di permukaan sebaliknya nembok, mbironi, dst. Semua tahapan pekerjaan ini dilakukan perempuan yang diupah berdasarkan tahapan pekerjaan ini per satuan helaian atau borongan.

Berikutnya, pewarnaan yang dilakukan

(10)

oleh laki-laki yang diupah harian dan ditambah uang makan dan rokok. Menghilangkan lilin pada kain dengan menggunakan air masak melalui proses memasaknya yang disebut nglorot. Tahapan pekerjaan ini semuanya dilakukan oleh laki-laki dengan upah harian. menjemur dengan cara diangin-anginkan tidak di bawah terik matahari. Semua pekerjaan ini dilakukan laki-laki dengan upah harian dan ditambah dengan makan siang dan rokok. Bila produk tersebut adalah selendang maka ada proses terakhir atau diawalnya pada lembaran kain dibuat rumbai. Rantainya dapat dilanjutkan bila bahan batik dijahit menjadi busana melalui rantai desain, pola, potong, jahit, dst.

Dari gambar 1, integrasi perempuan dan laki-laki HW dalam rantai produksi berbeda dan hirarki. Hal ini berlangsung bukan semata ketrampilan tetapi lebih karena konstruksi sosial (gender). Artinya pembagian pekerjaan ini bukan semata berdasarkan

kompetensi tetapi lebih ‗ideologi‘ gender yang dipadu atau bertautan dengan motif ekonomi.

Hal ini sebagai bagian integral dari habitus baik dari pemberi kerja atau pengusaha maupun penerima kerja atau pekerja. Hampir tidak ada pertanyaan dari para pembatik, mengapa laki-laki selalu masuk dalam pekerjaan yang strategis, seperti; desain, meracik

warna, membantu proses pewarnaan, dan

menghilangkan lilin pada kain batik dan

mengeringkannya? Juga mengapa semua pekerjaan laki-laki ini dihargai lebih tinggi dari pada perempuan? Sebaliknya, mengapa perempuan masuk dalam semua sub-rantai yang dihargai lebih rendah, seperti membatik, menyulam, membuat rumbai, membagi pekerjaan, dan mengontrol kualitas kerja? Pembagian kerja seperti ini telah berlang-sung lama dan hampir tidak dipertanyakan kebenarannya. Hal ini merupakan manifestasi dari habitus yang telah menjadi doxa (Bourdieu, 1977) dalam aktor-aktor di dalam POS.

Seseorang perempuan dan laki-laki masuk dalam rantai pekerjaan tertentu tidak hanya bermakna ekonomi karena terkait dengan pendapatan tetapi juga daya tawarnya (power) dalam rantai tersebut. Namun lebih dari itu jenis pekerjaan dalam rantai tersebut

memberikan makna dan sekaligus mereka

mengekspresikan makna tersebut dalam keseluruhan interaksi di dalam POS yang pada kenyataannya

merupakan ‗pertarungan‘ yang melibatkan modal para

aktor-aktor di dalamnya. Seorang desainer dan peracik warna batik tidak hanya memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari pekerja lainnya, khususnya perempuan tetapi mereka juga diperlakukan khusus oleh para juragan karena dianggap menjadi modal yang penting bagi para juragan. Mereka menempati kelas sosial-ekonomi yang lebih tinggi di antara pekerja yang memproduksi batik sejenis maupun batik yang

berbeda, khususnya batik eksklusif dan batik halus. Dalam kasus batik BaYo, walaupun secara kuantitas lebih banyak perempuan dan stereotype yang melekat pada batik tulis adalah stereotype feminin tetapi posisi penting dan strategis ditempati oleh para laki-laki pada jenis pekerjaan desain, peracik warna atau tukang warna. Bapak Sukir merupakan salah satu dari 3

tempahan yang semuanya laki-laki yang memiliki

kompetensi meracik warna atau tukang warna, menjadi orang kepercayaan Bapak Basang. Untuk mengikat dan mengontrolnya maka Pak Basang melakukan serangkaian strategi, antara lain: (1) membangun relasi yang hampir rutin per minggu dalam 3 tahun pertama usahanya, bahkan kadang-kadang seperti sidak; dan (2) selain memberikan upah rutin per bulan dan bonus tertentu di hari spesial seperti Idul Fitri, memberikan fasilitas seperti tanah dan rumah, mobil, dan sepeda motor. Pandangan ini akan sangat berbeda sekali dengan perempuan tempahan yaitu Sarmi yang mengkoordinir HW pembatik yang semuanya perempuan. Posisi Sarmi dinilai tidak setara dengan pekerjaan meracik warna dan hal ini mempengaruhi daya tawarnya dalam POS khususnya mengha-dapi juragan.

Posisi aktor sebagai desainer yang sekaligus pemilik usaha (Pak Basang) memegang peranan penting dalam keseluruhan proses pemecahan rantai produksi dan nilai tambah yang dirancang sejak awal untuk batik ini. Desainer dalam konsep Bourdieu (1977) adalah aktor-aktor yang dalam satu komunitas

desainer, yang menciptakan selera dan sekaligus

mengkonstruksi selera baik di antara produsen batik

maupun konsumen batik. Batik BaYo telah

menciptakan kelasnya tersendiri. Hal ini diperoleh dalam waktu yang panjang dan kerja keras sehingga terbangun habitus mereka yang menjadi kerangka pikir dan bertindak. Dalam proses ini (habitus) juga seiring dengan keduanya meraih dan mengembangkan modal yang melekat di dalamnya menjadi kekuatan dalam melakukan perubahan dalam sistem. Mereka sudah menjadi menjadi trendsetter dunia fashion yang

membawa, menggunakan, memanipulasi dengan

kreativitasnya pada batik sebagai komoditas yang memenuhi kebutuhan ekonomi sekaligus non ekonomi yaitu makna dan identitas.

(11)

cuaca hujan maka proses pengerjaan batik ini akan dihentikan total. Sebaliknya bila cuaca panas maka cuaca ini akan mendorong proses gradasi juga tidak bisa mencapai desain yang diharapkan karena warna mengering dengan cepat. Terjadi pergerakan atau pengentalan warna di beberapa tempat sehingga proses gradasi untuk mencapai desain yang diinginkan tidak tercapai. Berdasarkan pemahaman terhadap tipe pekerjaan ini terjadi kontruksi terhadap pekerjaan tersebut yang dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan streotype maskulin. Pada akhirnya semua jenis pekerjaan ini dikuasai oleh laki-laki. Di dalam komunitas ini yang semuanya laki-laki, juga terjadi perbedaan berdasarkan rantai pekerjaan yang dikerjakan, misalnya tukang meracik warna atau tukang warna menempati posisi yang strategis dalam komunitas ini dibandingkan lainnya.

Dalam sub-kasus ToGaSIA-1, ada suatu yang ToGaSIA-1 (batik Kombinasi Cap &. semokan. Diproduksi semi-massal

Semokan

Desentralisasi Produksi Sub-Kasus Batik ToGaSIA-1 Dari namanya memberikan wacana batik ini berasal dari Afrika22 atau bisa juga terkesan batik Indonesia yang bermotif Afrika. Wacana yang kuat lainnya pada kata Batik yang sudah menjadi bahasa dunia dan dikenal berasal dari Indonesia. Wacana ini dibiarkan berkembang sebagai daya tarik pasar di dunia, khususnya Afrika. Namun sejak awal, produk batik bagi perusahan ToGa yang berpusat di USA, merupakan potensi pasar yang unik karena ada unsur lokal atau budaya yang memberikan nuansa yang khas dan kuat dalam dunia fashion. Produk ini tidak menekankan pada makna filosofi yang terkesan berat dari ragam hias batik melainkan memainkan wacana

22

Wawancara dengan Bapak Gito yang merupakan mitra perusahaan TOGA yang berpusat di USA.

batik yang melekat pada teknis pengerjaannya, yaitu menggunakan cap dan lilin, kerajinan tangan, dan wacana budaya lokal. Seperti kata tim kreatif ToGaSIA dan Bapak Gito (pemilik SIA) dalam trend berbusana di pasar global yang cenderung terus berubah-ubah maka dibutuhkan kemampuan dunia usaha atau industri untuk menyiasati tiga hal secara dinergis, antara lain: (1) kebutuhan konsumen pada produk dalam satuan waktu yang relatif pendek, misalnya di Eropa yang mengenal 4 musim; (2) trend konsumen yang semakin membutuhkan identitas yang lokal tetapi juga global yang dikemas dalam pembentukan selera; dan (3) inovasi dan kreativitas dalam teknik produksi yang efisien dan fleksibel sesuai dengan permintaan pasar yang berubah-ubah. Oleh karena itu, ToGA melihat ketiga hal ini merupakan titik persilangan krusial sehingga tim kreatif yang direkrut memegang peranan penting dalam produksi batik ToGa yang dimaksud.

Tim kreatif ToGa yaitu desainer ekspatriat bersama SIA dan para tempahan dari SIA melakukan pengembangan desain untuk memper-oleh desain yang merupakan pertemuan ide dan kreativitas yang ber-sumber dari motif-motif batik Indonesia yang ditujukan untuk konsu-men yang luas yang memiliki latar belakang yang berbeda. Bahan kain itu selanjutnya diolah lebih lanjut oleh sub-tim kreatif menjadi ber-bagai kebutuhan konsumen. Pembentukan selera dan identitas konsu-men menjadi bagian penting yang sejak

awal dirancang, terus dipantau, dan terus

dikembangkan sesuai konteks konsumen yang

dimaksud. Produk ToGASIA tersebar di 14 negara di USA dan Eropa dengan karakter konsumen yang berbeda-beda. Salah satu isu penting yang dibangun oleh ToGa terhadap pasarnya adalah tidak hanya isu fashion tetapi juga image kerajinan tangan, eksklusif, kreativitas, dan nuansa lokal yang komoditi tersebut atau batik sebagai produk budaya Indonesia.

(12)

atau jejaring ToGa di berbagai negara; dst. Oleh karena

itu pada musim-musim tertentu atau kemarau, semua

tempahan ToGaSIA sangat sibuk memproduksi kain batik ini. Tidak jarang mereka menambah tenaga kerja untuk mengejar target produksi. Pada saat ini biasanya tingkat stress tinggi karena para tempahan dikejar-kejar waktu. Tidak jarang terjadi kesalahan produksi dan semua resikonya ditanggung tempahan.

Dalam kasus HaDiBro, merupakan batik tulis yang masih mempertahankan ragam hias tradisional maupun kontemporer untuk pasar yang luas untuk kelas sosial-ekonomi menengah-atas dan jangkauan umur yang luas. Pada prinsipnya rantai produksi batik HadiBro dalam hal pengerjaannya seperti halnya batik BaYo di atas. Namun perbedaannya batik HadiBro lebih fokus pada pasar domestik, komponen batik tradisional masih dipertahankan tetapi juga masuk dalam kombinasi printing dan tulis, serta batik printing yang oleh banyak pecinta batik ditentang23. Selain itu, penerapan inovasi dan teknologi tidak seintensif dan semaju pada batik BaYo maupun ToGaSIA di atas. Batik HadiBro memelihara pasar dan mengkonstruksi pasar yang masih menjadikan batik tradisonal (termasuk pakem), sebagai produk sosial yang

dibutuhkan dalam berbagai kebutuhan seperti

pernikahan, pakaian resmi, dll, juga mengembangkan batik kontemporer untuk memperluas pasar khususnya

pada kalangan muda dan anak-anak, serta

mengembangkan batik untuk pasar mene-ngah-bawah. Untuk produksi batik tradisional maka HaDiBro mengandalkan pada pembatik di luar perusahaan melalui POS, khususnya melalui peran tempahan yang juga merangkap sebagai self-employment. Jenis peker-jaan ini membutuhkan waktu yang panjang, ketelitian, dan kesabaran karena pengerjaannya sangat halus, serta penguasaan isen-isen pada motif-motif pakem tidak

semua pembatik menguasainya. Produk yang

dihasilkan HaDiBro relatif bervariasi mulai dari batik tulis, batik cap, printing batik, dan kombinasinya.

Dalam kasus SriKanti dalam gambar 3, yang merupakan batik tulis dengan motif tradisional atau motif yang sudah baku atau pakem, dibuat dari bahan alam, mempunyai rantai produksi yang hampir sama dengan batik lainnya hanya perbedaannya pada proses pewarnaan yang memakai bahan alam. Proses

pewarnaan memiliki kesulitan tersendiri untuk

menghasilkan warna yang khas seperti sogan atau warna kuning kecoklatan. Informasi yang diperoleh untuk memperoleh warna yang bagus membutuhkan 30

– 40 kali pencelupan. Oleh karena itu proses

pembuatan batik tulis tradisional atau jarik, dengan warna alam mem-butuhkan waktu yang relatif panjang

23 Kelompok ini menganggap proses produksi dengan metode

printing dianggap bukan batik tetapi printing batik. Metode ini tidak menggunakan teknik rintang warna dengan menggunakan lilin.

3 – 5 bulan. Sedikit berbeda dengan kasus batik lainnya, proses pewarnaan bisa berlangsung di dalam rumah pengusaha dan HW. Pertimbangannya pada ketersediaan bahan alam yang ada dan kemudahan memperolehnya. Mengingat ada bahan alam yang sulit memperolehnya baik ketersediaannya maupun jarak

untuk menjangkaunya maka proses pewarnaan

dilakukan dalam rumah pengusaha. Bahan alam yang sulit diperoleh, misalnya bahan alam dari kayu dan kulit kayu, yang digunakan untuk memperoleh warna kuning dan merah. Juga daun kayu untuk memperoleh warna hijau. Namun bila bahan ini ketersediaannya cukup maka proses ini diserahkan pada laki-laki HW.

SriKanti (dua perusahaan) memfokuskan diri pada batik tradisional, antara lain; jarik, sarung, selendang, dan bahan untuk blangkon. Perbedaan kedua perusahaan ini lebih pada corak ragam hias batik yang diproduksi dan teknik pewarnaan yang dipakai. Misalnya; Sariyati memproduksi batik dengan ragam hias dan warna gaya solo dan Kanti memproduksi batik baik gaya Solo, Yogjakarta, dan dari daerah lainnya; Ibu Sariyati menggunakan teknik pewarnanan alami dan Ibu Kanti menggunakan pewarnaan kimia maupun alam. Kedua perusahaan ini memiliki basis produksi di Surakarta, Karanganyar, Sukohardjo, Karanganyar, dan Sragen.

Desentralisasi Produksi SubKasus Batik SriKanti

Kedua, perbedaan lainnya yang ditemukan

dalam studi ini yang berbeda dengan POS pada umumnya, adalah jenis pekerjaan dari rantai produksi yang dipindahkan ke HW. Pada gambar 1 - 3 di atas, pengalihan pekerjaan oleh pengusaha atau juragan yang ditunjukkan oleh garis putus-putus. Artinya yang terjadi dalam industri batik berbasis POS, antara lain; pemindahan rantai produsi dari pengusaha ke pekerjannya atau HW yang faktanya bukan sebagian kecil dari satu kesatuan produksi tetapi sebagian besar dari satu proses produksi yang panjang; tidak

(13)

pengelolaannya; dikerjakan oleh banyak HW yang seolah-olah sesuai keterampilannya tetapi sebenarnya lebih karena konstruksi sosial atau pertimbangan gender.

Temuan di lapangan menunjukkan tiap

pembatik mempunyai spesialisasi dalam jenis

pekerjaan membatik, yaitu ngengreng, nerusi, nembok, dan mbironi bahkan ada yang mempunyai spesialisasi ngengreng hanya untuk motif tertentu, seperti motif parang dengan beberapa modifikasinya. Keterampilan membatik ini diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka sejak masih kecil24 dan berpeluang menguasai keterampilan yang relatif lengkap dalam membatik.

Ketiga, perbedaan temuan ini dengan fenomena

POS pada umumnya adalah pembentukan gugus produksi POS atau klaster yang dilakukan oleh para pengusaha. Pengusaha melakukan serangkaian usaha menyebar rantai produksi yang sebelumnya menyatu atau menjadi satu dalam pabrik dan memudahkan untuk dikontrol, dipidahkan ke luar pabrik. Pemetaan lokasi, penempatan rantai produksi, dan integrasi HW di dalamnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Persoalannya bukan hanya jaraknya yang berjauhan tetapi juga keterampilan dan pengetahuan lokal yang harus dimiliki oleh pembatik. Oleh karena itu, penempatan rantai produksi tidak hanya di wilayah rural atau urban, tetapi menjangkau area yang luas, yang dapat ditemui di wilayah urban dan rural.

Dalam Gambar 4 di bawah nampak sub-rantai produksi sejenis dikelompokan dalam satu area dan beberapa sub-rantai produksi saling diintegrasikan membentuk satu kesatuan rantai produksi (klaster produksi). Setiap sub-rantai produksi dikoordinir oleh seorang tempahan yang berfungsi sebagai kontrol kualitas. Semua sub-rantai tidak saling berintraksi

tetapi terpusat pada pengusaha atau juragan.

Pembentukan sistem produksi ini secara teknis ekonomi tentunya tidak ekonomis tetapi dari ini merupakan kekuatan juragan untuk mengendalikan HW dan menciptakan ketergantungan yang tersentral pada dirinya. Sedangkan biaya akibat sistem ini tidak sinergis tidak ditanggung oleh juragan tetapi oleh HW secara bersama-sama mulai dari HW yang berposisi sebagai sub-sanggan, sanggan, dan tempahan.

24Ibu Tumini (bukan nama sebenarnya) saat ini berusah sekitar 50

tahun. Seorang pembatik yang memiliki keterampilan membatik cukup lengkap yaitu; coret motif batik pakem, ngengreng, nerusi, nembok, mbironi, dll. Belajar membatik sejak usia 10 tahun dari orang tua mulai dari proses yang sangat sederhana, misalnya

membuat garis pinggir pada jarik (―nyeret‖). Proses belajar

dikerjakan sambil membantu pekerjaan orang tua.

IMKM

Semua sub-rantai berpusat pada IMKM berbasis POS. Jadi antar sub-rantai tidak ada interaksiSetiap sub-rantai menghasilkan sub-bagian dari satu kesatuan produk

HW dalam sub-rantai memiliki posisi dan peran yang berbeda.

HW sebagai koordinator disebtut tempahan, Pengepul; bos, pengrajib, rengsi, HW yang tidak berperan sebagai koordinator disebut sanggan, mbabar, gerji, mancal,

borongan, maklon, bahu

Rantai Produksi POS dalam IMKMBatik

Gambar 4

Organisasi Rantai Produksi

Keluasan dan kompleksitas dari satu satuan (klaster) sangat tergantung dari: (a) rantai produksi yang dibentuk atau dibangun oleh industri dalam upaya memperoleh nilai tambah (lihat Gambar 1 - 5 di atas); (b) orientasi pasar dari produk tersebut; dan (c) area tenaga kerja (HW) bisa diperoleh dan memungkinkan menjadikan mereka HW. Dalam kasus batik Basang yang dipaparkan diatas, terdiri dari 6-8 gugus rantai

produksi, yang melingkupi area Surakarta–Sukoharjo–

Sragen-Klaten-Jakarta. Gugus atau klaster produksi dan pemasaran ini terbentuk karena di area ini memungkinkan bisa menempatkan atau memperoleh HW sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tersebut.

Sedangkan Batik YoSe untuk produk batik tertentu maka rantai produksinya bisa ditempatkan di wilayah seperti ke Pekalongan, Cirebon, dan Madura. Pada wilayah ini batik YoSe ingin memberikan nuansa warna atau motif yang khas dari daerah ini. Wilayah ini

terkenal dengan warna-warnanya yang terang,

motifnya yang lebih bebas, dan pembatiknya lebih cepat menerima perubahan-perubahan yang relatif cepat. Dalam diskusi dengan beberapa tokoh batik mereka melihat karakter batik Pekalongan, Cirebon, dan Madura merupakan batik pesisiran yang secara historis terbuka dengan peru-bahan karena wilayah mereka dalam sejarah merupakan wilayah per-dagangan. Hal ini juga menunjukan bahwa habitus aktor yang mengarahkan tindakannya dalam POS. Batik adalah produk dari dialektika habitus dan modal yang melekat pada aktor yang ditentukan oleh area.

Keempat, sebagian besar jenis pekerjaan

(14)

polusi atau kerusakan lingkungan. Biaya ini otomasits menjadi beban HW karena dikerjakan di dalam atau sekitar rumah dengan melibatkan anggota keluarga, termasuk anak tanpa supervisi dari pengusaha. Hal ini juga berarti, HW dan keluarganya mempunyai kontribusi atau mensubsidi secara ekonomi dalam proses produksi, di samping keterampilan mereka karena pengusaha tidak menyediakan, antara lain; bahan baku, minyak tanah, kompor, tempat kerja, peralatan kerja, listrik, air, risiko akibat produksi, risiko akibat kecelakaan kerja, bahkan risiko kesehatan akibat limbah produksi.

Dalam POS awalnya, semua bahan seperti kain dan lilin diberikan oleh juragan. Sedangkan HW

menganggung minyak tanah. Namun dalam 15 tahun25

terakhir tidak semua bahan baku diberikan pengusaha. Khususnya HW dalam posisi tempahan menanggung bahan baku seperti lilin, bahan pewarna. Bahkan untuk kalangan Self Employment yang secara mandiri membuat produk dan menjualnya ke Juragan, barang mereka tidak dibayar pada saat diterimakan tetapi mereka sebut titip-jual yang dalam bahasa Jawa disebut ngalap-nyaur. Sistem ngalap-nyaur merupakan sistem yang sudah umum di kalangan produsen batik. Sistem ini tentunya sangat menolong pengusaha yang bergerak pemasaran dan tentunya merugikan produsen di bawahnya.

Beban biaya yang tidak terkait langsung produksi adalah biaya sosial seperti; penyakit akibat polusi atau limbah produksi, kenyamanan dalam RT akibat ruangan dalam rumah digunakan untuk

produksi, kenyamanan lingkungan sekitar, dan

kerusakan lingkungan sekitarnya. Beberapa penyakit yang menonjol, antara lain, gangguan saluran pernapasan; penyakit kulit; gangguan ginjal, dll. Nyeri di wilayah pinggang akibat terlalu lama duduk dan posisi tempat duduk pembatik (dingklik) yang terlalu pendek.

Biaya lainnya adalah hilangnya kenyamanan keluarga akibat area dalam dan sekitar rumah digunakan untuk produksi karena sebagian besar HW tidak memiliki bengkel kerja tersendiri dan cukup baik bagi kegiatan ini. Anak-anak kehilangan area untuk bermain dan area untuk bisa belajar. Selain itu, kebisingan, kumuh, bau tidak enak, dan debu tidak hanya memengaruhi kesehatan HW dan anggota RT-nya, tetapi juga lingkungan sekitarnya.

Kerusakan lingkungan sekitar merupakan hal serius yang sebenarnya perlu diperhatikan. Limbah pengolahan batik yang terdiri dari zat warna kimia dan zat kimia untuk fiksasi selama ini dibuang begitu saja di sekitar area rumah HW. Ada limbah yang langsung

25

Wawancara dengan Bapak Brono, Bu Painem, dan Ibu Sutiyem seorang pembatik senior (usia 75 tahun). Mereka memakai patokan pada tahun 1990 sebagai titik awal POS dan HW mulai meningkat

dibuang ke selokan air yang mengairi sawah, merembes dan masuk dalam sumur yang juga dipakai untuk kebutuhan RT.

Biaya sosial lainnya yang seharusnya serius diperhatikan adalah pekerja anak yang dilibatkan dalam proses produksi. Juga pekerja keluarga lainnya yang tidak dibayarkan. Persoalan pekerja anak dalam industri batik perlu dicermati dengan baik. Sudah menjadi pemandangan biasa anak-anak perempuan berusia 9 – 12 tahun terlibat dalam proses pembuatan batik. Mereka bekerja pada ibunya sendiri, saudara, dan tetangga yang berprofesi sebagai pembatik.

Mereka dibayar sangat kecil, sebesar Rp 500 lembar –

1.250 setengah hari. Para pembatik maupun orang tua dari anak-anak ini tidak menganggap mempekerjakan anak adalah masalah karena dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran batik. Pemandangan yang hampir sama ditemui dalam konveksi batik. Anak-anak biasanya membantu memasang menggun-ting sisa benang, memasang kancing, dan pekerjaan lainnya yang sifatnya mendukung.

2. Reorganisasi Produksi: Strategis dan

Memarginalkan HW

Kelima, proses pemecahan rantai produksi yang

diikuti dengan desentralisasi produksi ke HW dan

keluarganya menciptakan interaksi yang tidak

sederhana atau interaksi kompleks26. Namun yang

menarik adalah HW dalam satu satuan rantai produksi tidak saling berbagi informasi atau mengenal27. Hal ini memudahkan pengusaha untuk mengontrol, bahkan memanfaatkan mereka atau melemahkan daya tawar mereka. Tidak terbangunnya komunikasi antara pekerja sebenarnya merupakan strategi atau cara yang secara sadar diciptakan oleh pengusaha dalam memelihara mekanisme dalam POS agar mendukung pencapaian produksi yang diinginkan. Sebagai contoh, Batik Basang, ia membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun untuk membangun klaster produksi batiknya. Semua komunikasi dibangun terpusat agar tidak merepotkan dirinya dalam mengelola pekerja yang banyak. Selain itu untuk mengurangi resiko adanya gerakan pekerja menuntut hal-hal yang terkait dengan pekerjaan, khususnya upah. Pekerja pada rantai produksi yang strategis, misalnya pertenunan, pewarnaan, membatik

26

Saya mengilustrasikan kain batik yang berjalan bolak-balik dari pengusaha ke satu HW dengan spesialisasi pekerjaan tertentu, antara lain; bahan dari pengusaha  HW yang membuat desain (gambar)

 diberikan pengusaha  diberikan pada HW untuk di kopi (ngeblat) ke mori  diberikan pengusaha  diberikan HW untuk di batik atau ngengreng  diberikan ke pengusaha  dberikan HW untuk di batik lagi, misalnya; nerusi atau mbironi, dst.

27Hasil wawancara pada beberapa HW terungkap ada tidak

(15)

untuk produk-produk eksklusif diberi kepercayaan dan diberi insentif khusus28 agar terbangun loyalitas, kepatuhan, dan tanggung-jawab dari pekerja.

Rumah-rumah para tempahan oleh para juragan dijadikan sebagai bengkel kerja yang mereka lengkapi sebagai representasi dari pabrik. Untuk itu mereka mengeluarkan uang yang tidak sedikit dan semuanya bukan berarti gratis tetapi hutang jangka panjang yang harus dibayar dalam seluruh proses relasinya dengan juragan. Mereka tidak boleh menerima pekerjaan dari juragan lainnya, mereka harus memenuhi target produksi yang ditentukan juragan, demikian juga upah atau gaji yang diperoleh. Namun demikian dibalik semunya ini, rumah atau bengkel kerja memberikan makna sosial-ekonomi bagi tempahan, khususnya laki-laki memperoleh kesan sebagai juragan kecil/bos kecil.

Keenam, proses yang dipaparkan di atas

menciptakan kekompleksan yang membutuhkan suatu reorganisasi. Reorganisasi yang dipilih29 adalah bentuk dan pola yang oleh IMKM dapat menciptakan organisasi yang tetap mempertahankan ciri fleksibilitas dan efisien dari POS itu sendiri dan menguntungkan, serta menekan sisi negatifnya yaitu keterlambatan dan risiko produksi30 dari sistem ini karena tidak adanya supervisi. Strategi yang dilakukan oleh IMKM adalah mencari dan memakai organisasi produksi yang sudah ada dalam komunitas batik dan memodifikasinya sesuai dengan kepentingannya sekarang atau saat itu.

Pilihannya adalah reorganisasi POS yang

memakai/memunculkan HW yang diposisikan sebagai tempahan. Tempahan diposisikan sebagai koordinator HW dan atau kelompok HW yang semakin penting31. Peran tempahan tidak seperti peran carik32 batik yang sebelumnya ada di perusahaan, yang sebagian besar adalah perempuan, serta terbatas pada pencatatan hasil kerja dan pembagian upah kerja tenaga kerja. Tempahan menjadi bagian dari strategi industri dalam proses reorganisasi produksi melalui proses pemetaan,

pemecahan, penempatan, pengelompokan, dan

pengorganisasian yang sesuai dengan keterampilan HW yang spesifik dalam area yang berbeda, tetapi tetap dalam satu satuan klaster yang meliputi area baik rural maupun urban. Mendistribusikan bahan baku dan

28Hand phone, motor, mobil, bahkan piutang untuk membangun

rumah tinggal, dll., yang secara tidak sadar mengikat pekerja secara moral.

29 Hasil wawancara dengan Pak Sukir dan dikonfirmasi dengan hasil

eksperimen ke-lompok pengrajin. Bila POS berjalan secara alamiah, produksi yang berjalan tidak oprimal karena terjadi risiko keterlambatan sebesar 50% dan resiko produksi sebesar 20 – 40%.

30 Walaupun resiko akibat keterlambatan dan produksi ditanggung

oleh HW, tetapi tetap berimplikasi pada performance dan daya saing dari industri.

31sebenarnya tempahan sudah lama ada dalam organisasi produksi

batik

32 Terminologi carik diambil dari istilah carik/sekretaris dalam tata

pemerintahan desa di daerah Jawa.

pekerjaan, melaku-kan kualitas kontrol, membagi upah, dan seterusnya.

Oleh karena pentingnya posisi tempahan, pengusaha cukup selektif dalam memilih dan

menentukan seorang tempahan. Pertimbangan

pengusaha, antara lain: loyalitas, kejujuran, ketegasan dalam menghadapi HW atau bersedia menjadi semacam bumper bagi pengusaha bila berhadapan dengan HW maupun pihak pemerintah terkait dengan tanggung-jawab pajak, ijin, dll. Harapannya dengan ciri maskulin dari tempahan, mereka mampu dan mengkoordinir para HW. Rumah para tempahan yaitu Bapak Sukir dan Bapak Sondong, dibuat seperti rumah tinggal biasa dan tidak ada yang menyangka bila di belakang ada bengkel kerja menenun dan membatik.

Reorganisasi ini menciptakan stratifikasi HW yang dapat ditelusur dari nama atau istilah yang disimbolkan oleh nama yang menunjukkan HW baik posisi dan perannya, misalnya tempahan dan pengrajin yang melekat pada laki-laki HW memberikan makna mereka merupakan wakil atau mewakili juragan yang diberi tanggung jawab. Juga istilah jrogan yang

diplesetkan dari kata Juragan dan bos kecil yang

menggambarkan bahwa mereka adalah juragan yang

bukan sebenarnya atau semu/palsu, namun tetap

memiliki kuasa yang diberi-kan juragan. Berbeda dengan istilah bagi perempuan HW sebagai sanggan yaitu dari kata Songgo yang artinya dukung atau mendukung dalam bahasa Jawa atau islilah bahu yaitu membantu dengan tenaga. Dari dua istilah ini sangat

jelas bahwa laki-laki HW diberi power atau kuasa

yang lebih karena konstruksi gender yang ada dalam masyarakat. Hal ini menjadi penting bagi industri atau kapitalis untuk bekerjasama dengan para laki-laki sebagai pemilik otoritas rumah dimana proses produksi berlangsung dan area dimana kepentingan kapitalis dijaga atau disembunyikan. Di sisi lain kepentingan pemilik otoritas rumah yaitu laki-laki juga terpenuhi karena di area ini dia memperoleh kekuasaan lebih, baik dari sisi ekonomi atau uang maupun sosial yaitu status sosial, seperti wakil juragan, jrogan, bos kecil. Pada saat laki-laki di PHK dari ruang publik dan mengerjakan pekerjaan dari industri di dalam rumah, Ia tidak mengalami proses domestifikasi seperti halnya perempuan.

Gambar 5, menunjukan reorganisasi yang dibangun oleh IMKM menciptakan struktur dan pola hubungan kerja yang juga menciptakan stratifikasi menjadi tiga kelas sosial-ekonomi, yaitu tempahan,

sanggan, dan sub-sanggan. Posisi ini menentukan

Gambar

Gambar 3 Desentralisasi Produksi SubKasus Batik SriKanti
Gambar 4 Organisasi Rantai Produksi

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait