• Tidak ada hasil yang ditemukan

14 PERDA RETRIBUSI INDUSTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "14 PERDA RETRIBUSI INDUSTRI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 14 TAHUN 2006

TENTANG

RETRIBUSI PERIJINAN DI BIDANG INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEMBER,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan perlindungan terhadap konsumen dan persaingan usaha industri yang semakin sehat, diharapkan akan mendorong tumbuh dan berkembangnya industri yang kuat, sehingga perlu diatur Retribusi Perijinan Di Bidang Industri ;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Perijinan Di Bidang Industri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-

Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara RI Tahun 1950 Nomor 41) ;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) ;

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) ;

4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611) ;

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3865) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048) ; 6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) ;

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817) ;

(2)

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

10. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438) ;

11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 3258) ;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3330) ;

13. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3596) ;

14. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952) ;

15. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139) ;

16. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1987 tentang Pembinaan Penyederhanaan Izin Usaha Industri ;

17. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri ;

18. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1984 Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha ;

19. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 590/MPP/Kep/10/1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri; 20. Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Jember (Lembaran Daerah Kabupaten Jember Tahun 2003 Nomor 9/D) ;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBER dan

(3)

MEMUTUSKAN :

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan :

1. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya disebut Pemerintah Kabupaten Jember.

2. Kabupaten adalah Kabupaten Jember.

3. Bupati adalah Bupati Jember.

4. Dinas adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Jember.

5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Jember.

6. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Kabupaten Jember, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan / atau laba.

7. Perusahaan Industri adalah perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri yang dapat berbentuk perorangan, persekutuan atau badan hukum yang berkedudukan di Kabupaten Jember.

8. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku barang setengah jadi, dan/ atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

9. Bidang Usaha Industri adalah lapangan kegiatan yang bersangkutan dengan cabang industri atau jenis industri.

10. Jenis Industri adalah bagian suatu cabang industri yang mempunyai ciri khusus yang sama dan/ atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi.

11. Izin Usaha Industri yang disingkat IUI adalah jenis izin usaha yang diberlakukan terhadap setiap pendirian perusahaan industri.

12. Komoditi Industri adalah suatu produk akhir dalam proses produksi dan rangka pemberian izin kepada pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

(4)

16. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi yang berupa bunga dan atau denda.

BAB II

LANDASAN DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI

Pasal 2

Pembangunan industri berlandaskan demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri, manfaat, dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 3

Pembangunan industri bertujuan untuk:

a. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan atau hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup;

b. meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara bertahap, mengubah struktur perekonomian kearah yang lebih baik, maju, sehat, dan lebih seimbang sebagai upaya untuk mewujudkan dasar yang lebih kuat dan lebih luas bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya, serta memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan industri pada khususnya;

c. meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong terciptanya teknologi yang tepat guna dan menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan dunia usaha;

d. meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan aktif dalam pembangunan industri; dan

e. memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan berusaha.

BAB III

PENGATURAN, PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

Pasal 4

Pemerintah Daerah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk :

a. mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;

b. mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur; dan

c. mengembangkan kerjasama yang saling menguntungkan, dan mengusahakan peningkatan pengembangan kerjasama.

Pasal 5

(5)

BAB IV

IZIN USAHA INDUSTRI

Pasal 6

(1) Setiap pendirian Perusahaan Industri maupun setiap perluasan wajib memperoleh IUI.

(2) Pemberian IUI terkait dengan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri.

(3) Kewajiban memperoleh IUI dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam Kelompok Industri Kecil.

(4) Ketentuan mengenai perijinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB V

IUI, TANDA DAFTAR INDUSTRI DAN PERLUASAN INDUSTRI

Pasal 7

(1) Terhadap semua jenis industri dalam Kelompok Industri Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya dibawah Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, tidak wajib memperoleh IUI kecuali bila dikehendaki oleh perusahaan yang bersangkutan.

(2) Terhadap semua jenis industri dalam Kelompok Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memperoleh Tanda Daftar Industri dan diberlakukan sebagai IUI.

(3) Terhadap semua jenis industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya diatas Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memperoleh IUI.

Pasal 8

Perusahaan Industri yang melakukan perluasan melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang telah diijinkan sesuai IUI yang dimiliki, wajib memperoleh Izin Perluasan.

Pasal 9

(1) IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri berlaku selama Perusahaan Industri yang bersangkutan berproduksi dan wajib diperpanjang selama beroperasi.

(2) IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri tidak berlaku karena : a. masa berlakunya telah berakhir dan tidak diperpanjang ;

b. tidak memenuhi kewajiban dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri ; atau

(6)

Pasal 10

IUI dan Tanda Daftar Industri diberikan untuk masing-masing jenis industri sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia 5 (lima) digit yang mencakup semua Komoditi Industri dalam lingkup jenis industri.

BAB VI

KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN

Pasal 11

Kewenangan pemberian IUI, Izin Perluasan, dan Tanda Daftar Industri sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini diberikan kepada Bupati dan dilimpahkan kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perindustrian.

BAB VII

INFORMASI INDUSTRI

Pasal 12

(1) Perusahaan Industri yang telah memperoleh IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri wajib menyampaikan Informasi Industri secara berkala kepada Pejabat yang berwenang memberikan IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri dengan tembusan kepada Bupati menurut jadwal sebagai berikut :

a. untuk 6 (enam) bulan pertama tahun yang bersangkutan selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Juli; dan

b. untuk 6 (enam) bulan kedua tahun yang bersangkutan selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Januari.

(2) Semua jenis industri dalam Kelompok Industri Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan Kegiatan Usaha industri.

(3) Ketentuan tentang bentuk, isi dan tata cara penyampaian Laporan Kegiatan Usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB VIII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Pasal 13

(1) IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri yang hilang atau rusak tidak terbaca, Perusahaan Industri yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan penggantian IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri tersebut kepada Pejabat yang berwenang megeluarkan IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap permohonan penggantian IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri yang hilang atau rusak tidak terbaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat asli IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri atau keterangan dari kepolisian setempat yang menerangkan hilangnya IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri tersebut.

(7)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri sebagi pengganti IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri yang hilang atau rusak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

(1) Sesuai dengan IUI, Izin Perluasan atau Tanda Daftar Industri yang diperolehnya berdasarkan sebagaimana dalam Pasal 9 ayat (1), Perusahaan Industri wajib :

a. melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya dengan melaksanakan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) yang berlaku bagi jenis-jenis industri yang telah ditetapkan; dan

b. melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, bahan baku dan bahan penolong, proses serta hasil produksi termasuk pengangkutan dan keselamatan kerja.

(2) Pemerintah mengadakan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan, mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi termasuk pengangkutannya.

(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi termasuk pengangkutannya.

(4) Tata cara penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX

NAMA, OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI

Pasal 15

Dengan nama retribusi perijinan dalam bidang industri dipungut retribusi.

Pasal 16

Obyek Retribusi meliputi semua jenis perijinan dalam bidang industri.

Pasal 17

Subyek Retribusi meliputi orang perorangan atau badan hukum selaku pengusaha / penanggung jawab dari suatu usaha industri.

BAB X

GOLONGAN RETRIBUSI

Pasal 18

(8)

BAB XI

CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA

Pasal 19

Tingkat penggunaan jasa adalah semua pelayanan perijinan yang telah diberikan kepada pengusaha dalam bidang industri.

BAB XII

PRINSIP PENETAPAN STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI

Pasal 20

Prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi tergantung pada besar dan kecilnya investasi perusahaan industri yang ditanamkan kecuali tanah dan bangunan.

BAB XIII

STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI

Pasal 21

(1) Semua jenis industri dalam Kelompok Industri Kecil dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya dibawah Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, untuk memperoleh Tanda Daftar Industri dipungut Retribusi sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

(2) Semua jenis industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya diatas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, untuk memperoleh IUI dipungut retribusi sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).

(3) Semua jenis industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya diatas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, untuk memperoleh IUI dipungut retribusi sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).

(4) Izin Perluasan, dipungut retribusi sebesar Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)

BAB XIV

CARA PEMUNGUTAN

Pasal 22

(1) Pemungutan retribusi tidak boleh diborongkan.

(9)

BAB XV

WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 23

Retribusi terutang dipungut di wilayah daerah tempat pelayanan perijinan dalam bidang industri yang diterbitkan.

BAB XVI

MASA RETRIBUSI DAN RETRIBUSI TERUTANG

Pasal 24

(1) Masa Retribusi adalah jangka waktu retribusi yang lamanya 5 (lima) tahun.

(2) Saat retribusi terutang adalah pada saat diterbitkan izin dalam bidang industri.

BAB XVII

SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 25

Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua perseratus) setiap bulan dari jumlah retribusi yang terutang atau kurang bayar yang ditagih menggunakan STRD.

BAB XVIII

KEBERATAN, PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI

Pasal 26

(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk, atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3) Dalam hal wajib retribusi mengajukan keberatan atas ketetapan retribusi, wajib retribusi harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan retribusi.

(4) Keberatan diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, kecuali apabila wajib retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kuasanya.

(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan.

(10)

Pasal 27

(1) Bupati atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Bupati dapat memberikan keringanan dan pembebasan retribusi.

(3) Pengurangan, keringanan, dan pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan kemampuan wajib retribusi.

(4) Tata cara pengurangan keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan oleh Bupati.

BAB XIX P E N Y I D I K A N

Pasal 28

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu dilingkungan Pemerintah Kabupaten diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas ;

b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang perorangan atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah ;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah;

d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah ;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti ;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah ;

g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada angka 5 ;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi daerah ;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ;

j. menghentikan penyidikan ; dan/ atau

(11)

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 29

(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah dikenakan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah retribusi yang terutang.

(2) Perusahaan Industri yang dijalankan dan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

(3) Perusahaan Industri yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b yang mengakibatkan timbulnya pencemaran, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

(4) Tata cara pelaksanaan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan pelanggaran.

BAB XXI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30

IUI, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri yang diperoleh sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Daerah ini diberlakukan harus menyesuaikan.

BAB XXII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

(12)

Pasal 32

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jember.

Disahkan di Jember

pada tanggal 15 Juni 2006

BUPATI JEMBER,

ttd

MZA DJALAL

Diundangkan di Jember Pada tanggal 20 Juni 2006

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JEMBER

ttd

Drs. H. DJOEWITO, MM Pembina Utama Muda

NIP. 510 074 249

(13)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 14 TAHUN 2006

TENTANG

RETRIBUSI PERIJINAN DI BIDANG INDUSTRI

I. UMUM

Sasaran pembangunan dan pengembangan bidang industri di Kabupaten Jember, perlu diintegrasikan dengan potensi pertanian dan sumber daya lokal potensial. Pembangunan industri dalam arti luas diarahkan pada peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja, investasi dan daya saing yang berorientasi pada pasar. Di samping itu pelaksanaan pembangunan industri harus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh masyarakat sesuai dengan rasa keadilan, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan aktif dalam pembangunan industri.

Dengan memperhatikan sasaran pembangunan dan pengembangan bidang industri, maka pembangunan industri memiliki peranan yang sangat penting. Pembangunan industri bukan berarti harus ditingkatkan pertumbuhannya tetapi untuk mempercepat struktur ekonomi yang lebih seimbang, mampu memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan proses produksi serta meningkatkan ekspor hasil industri.

Untuk mewujudkan sasaran pengembangan industri, diperlukan perangkat hukum dalam pengaturan, pembinaan, dan pengembangan bagi tatanan seluruh kegiatan industri perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Perijinan Dalam Bidang Industri.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Melalui pengaturan, pembinaan, dan pengembangan, Pemerintah mencegah timbulnya persaingan yang tidak sehat.

Melalui pengaturan, pembinaan, dan pengembangan, Pemerintah mencegah pemusatan dan penguasaan industri oleh salah satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Pasal 5

Yang dimaksud dengan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan bidang usaha industri adalah upaya yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan dalam arti yang seluas-luasnya terhadap kegiatan industri. Tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan iklim dan suasana yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan bidang usaha industri pada dasarnya ada pada Pemerintah.

(14)

Dalam pelaksanaan kegiatan pengaturan, pembinaan dan pengembangan bidang usaha industri yang dilakukan oleh Pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dilakukan secara seimbang, terpadu, terarah untuk memperkokoh struktur industri setiap tahun.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pengecualian untuk mempunyai IUI ditujukan terhadap jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil yang karena sifat usahanya serta investasinya kecil dan merupakan mata pencaharian dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah seperti usaha industri rumah tangga dan industri kerajinan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam rangka pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan, Pemerintah memberikan petunjuk pelaksanaan mengenai upaya menjamin keamanan dan keselamatan terhadap penggunaan alat bahan baku serta hasil produksi industri termasuk pengangkutan serta keselamatan kerja.

Pengangkutan adalah pengangkutan bahan baku dan hasil produksi industri yang berbahaya.

(15)

Ayat (3)

Pengawasan dan pengendalian yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses dan hasil produksi industri bertujuan untuk menjamin keamanan, dan keselamatan dalam pelaksanaan tugas tehnis operasional.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

(16)

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Bagian Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui hubungan career plateauing ( hierarchical plateauing & job content plateauing ) dengan sikap kerja (kepuasan kerja & komitmen

Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.Seperti diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan

Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan keseragaman monografi, persyaratan dalam keseragaman dosis dipenuhi, jika jumlah zat aktif dalam

Tekanan terhadap ruang terbuka hijau khususnya green belt area cenderung akan meningkat dari tahun ketahun karena peningkatan populasi di perkotaan (Ramana et al. Hal ini

Selain itu harus di pertimbangkan juga factor usia, perkembangan fisik dan jenjang pendidikan yang sudah dijalani oleh mereka, model pembelajaran dengan pendekatan bermain

Keernpat, masyarakat cenderung terbuai dengan posisi imajinatif perempuan yang tinggi dalam masyarakat minangkabau sehingga sulit untuk menyadari adanya masalah yang

ternak dapat dilakukan dengan mengetahui kecernaan bahan kering dan bahan organik. Nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik menunjukan derajat cerna pakan