PERKEMBANGAN SHOLAWAT WAHIDIYAH DI KELURAHAN BANDAR LOR MOJOROTO KEDIRI JAWA TIMUR
PADA MASA KH. ABDUL LATIF MADJID (1989-2015)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)
Pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)
SA’ADAH SULISTYAWATI
(A02213086)
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: “Perkembangan Sholawat Wahidiyah di Kelurahan
Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur Pada Masa KH. Abdul Latif Madjid (1989-2015)”. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: 1) Bagaimana Biografi KH. Abdul Latif Madjid? 2) Bagaimana Sholawat Wahidiyah di bawah kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid? dan 3) Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Perkembangan Sholawat Wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid?.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode sejarah. Adapun metode penulisan sejarah yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan beberapa langkah yaitu heuristik (mengumpulkan arsip-arsip terkait dengan perkembangan sholawat wahidiyah), verifikasi (kritik terhadap data), interpretasi (penafsiran), serta historiografi (penulisan sejarah). Sedangkan pendekatan dan teori yang digunakan adalah pendekatan sejarah (mendeskripsikan peristiwa pada masa lampau) dan teori yang digunakan yaitu teori kepemimpinan, teori peran dan teori tingkah laku kumpulan masa (collective behavior).
ABSTRACT
This undergraduate thesis under title: “Development of Sholawat Wahidiyah in Bandar Lor Mojoroto Village Kediri Regency East java on KH. Abdul Latif Madjid era (1989-2015)”. Research questions in this undergraduate are: 1) how is biography of KH. Abdul Latif Madjid? 2) How is Sholawat Wahidiyahunder guidance of KH. Abdul Latif Madjid? and 3) How are society’s
point of view about development of Sholawat Wahidiyah on KH. Abdul Latif Madjid era?
To answers question above researcher used historical method. Historical method used some steps of heuristic (collecting files related with development of
Sholawat Wahidiyah), verification (critics of data), interpretation and historiography (historical writing). This undergraduate thesis used theory and approach; theory used is leadership theory, role theory, and action of collective theory and historical approach used to describe events in the past.
In this research we can conclude that: 1) KH. Abdul Latif Madjid was born in the boarding school area on August 15th 1952. After graduate from senior high school, he creates organizations which have purposes to increase moral value of the youth. 2) The development of sholawat wahidiyah at the time of leadership KH. Abdul Latif Madjid is very rapidly growing, both in the field of education, economics, and the number of pengamal sholawat wahidiyah. In the field of education add Wahidiyah high school of economics in 1998 (STIEWA) and in 2015 turned into higher education of Wahidiyah University (UNIWA). The economic field raised the economy of the pengamal with the existence of
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... .xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Kegunaan Penelitian... 7
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 8
F. Peneliti Terdahulu ... 11
G. Metode Penelitian... 15
H. Sistematika Bahasan... 18
BAB II : BIOGRAFI KH. ABDUL LATIF MADJID A. Latar Belakang Keluarga... 21
B. Genealogi KH. Abdul Latif Madjid ... 22
C. Riwayat Pendidikan KH. Abdul Latif Madjid ... 26
D. Prestasi KH. Abdul Latif Madjid ... 28
BAB III : SHOLAWAT WAHIDIYAH DI BAWAH KEPEMIMPINAN KH. ABDUL LATIF MADJID A. Asal-usul Sholawat Wahidiyah ... 33
B. Ajaran Sholawat Wahidiyah ... 42
2. Ajaran Billah ... 49
3. Ajaran Lirrasul ... 50
4. Ajaran Birrasul ... 51
5. Ajaran Lilghauts ... 53
6. Ajaran Bilghauts... 54
7. Yu„ti Kulla Dzī Ḥaqqin Ḥaqqah ... 56
8. Taqdīimul Aham Fal Aham Tsummal Anfa’ ... 59
C. Perkembangan sholawat wahidiyah pada masa kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid ... 60
1. Periode sebelum KH. Abdul Latif Madjid ... 60
2. Periode Tahun 1989-1999 M ... 62
3. Periode Tahun 1999-2009 M ... 65
4. Periode Tahun 2009-2015 M ... 67
BAB IV : PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PERKEMBANGAN SHOLAWAT WAHIDIYAH PADA MASA KH. ABDUL LATIF MADJID A. Kalangan Tokoh Masyarakat ... 74
B. Kalangan Keluarga ... 77
C. Kalangan Santri ... 80
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Shalawat dalam arti bahasa berasal dari kata salla atau salat yang
berarti doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah. Salah satu
sholawat yang dijadikan tuntunan oleh sebagian umat muslim yakni
sholawat wahidiyah. Sholawat wahidiyah merupakan salah satu gerakan
tasawuf lokal di Indonesia yang mengedepankan akhlakul karimah dengan
mengamalkan pujian-pujian kepada Rasulullah Muhammad SAW. Banyak
cara yang dapat ditempuh oleh seseorang dalam bertasawuf. Sholawat
Wahidiyah sebagaimana sholawat yang semestinya yakni, Sholawat yang
mengandung doa-doa kepada Allah swt untuk Nabi Muhammad SAW.1 Allah swt menganjurkan kepada manusia bahkan para malaikat
untuk senantiasa bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, baik berdoa
maupun dalam bentuk kondisi-kondisi yang lain. Anjuran tersebut
memiliki landasan dalam Alquran.
Artinya:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.2
1
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Salawat Wahidiyah (Yogyakarta: LkiS, 2008), 118.
2
2
Dari ayat diatas dijelaskan bahwa membaca sholawat kepada Nabi
sangat dianjurkan. Sholawat wahidiyah disebut sebagai “gerakan tasawuf
lokal, karena tidak bisa dilepaskan dari bacaan-bacaan yang menjadi khas
dari sholawat wahidiyah yang lahir menurut inisiatif seorang guru “lokal”,
yang memiliki jalan tersendiri dalam bertasawuf, yang kemudian
menurunkan atau mengijazahkan secara umum. Berturut-turut santri
pondok kedunglo banyak yang mengamalkannya. Para santri itulah yang
kemudian membawa dan mengirimkan bacaan sholawat wahidiyah ke
banyak ulama atau kyai agar bisa diamalkan oleh masyarakat setempat.
Ijazah mengamalkan yang beliau berikan adalah „ijazah mutlak’, artinya
disamping diamalkan sendiri supaya dapat ditularkan atau disampaikan
kepada orang lain.3
Sholawat wahidiyah merupakan seluruh rangkaian amalan yang
tertulis dan terkandung di dalam lembaran sholawat wahidiyah, termasuk
cara-cara dan adab-adab pengamalannya, bacaan-bacaan dan memiliki tata
cara pembacaan tersendiri, segala kandungan yang terdapat didalamnya
termasuk al-fatihahnya. Meskipun beberapa sisi dari sholawat wahidiyah
ini berbeda dengan macam sholawat-sholawat lainnya, tetapi kandungan
ajaran yang ada didalamnya yang menjadi inti (berdoa untuk Nabi
Muhammad SAW), sama sekali tidak berbeda.
Sholawat wahidiyah sebagai seperangkat bimbingan lahiriyah dan
batiniyah yang berpedoman kepada Alquran dan Hadist dalam hal
3
3
peningkatan iman, pelaksanaan Islam, perwujudan Ihsan, serta
pembentukan moral atau akhlaq dan mencakup syariat, hakikat, makrifah
serta dilengkapi dengan akhlak. Bimbingan praktis yang terdapat di
sholawat wahidiyah meliputi segala bentuk kegiatan hidup dalam
hubungan manusia terhadap Allah SWT, dan hubungan manusia di dalam
kehidupan masyarakat sebagai insan sosial.
Di tengah kehidupan masyarakat yang telah kehilangan pegangan
hidupnya, muncul seorang tokoh yang sangat perhatian akan kelangsungan
keselamatan kehidupan masyarakat di dunia dan akhirat. Beliau adalah
KH. Abdoel Madjid Ma’roef, seorang ulama’ sekaligus pengasuh Pondok
Pesantren Kedunglo, Bandar Lor, Kediri. Keprihatinan KH. Abdoel
Madjid Ma’roef terhadap kondisi kehidupan manusia yang semakin jauh
dari Allah SWT dibuktikan dengan riyaḍah yang begitu luar biasa beliau lakukan. Segala jenis dan macam doa beliau amalkan untuk memperbaiki
atau membangun mental (akhlak) manusia yang hampir berada di jurang
kehancuran lewat Jalan Batiniyah. Dengan kesungguhan KH. Abdoel
Madjid Ma’roef dalam bermunajat kepada Allah SWT, sekitar awal bulan
Juli 1959 beliau menerima suatu “alamat gaib” dengan istilah beliau
disebut Yaquḍatan (sadar dan terjaga), bukan dalam keadaan mimpi.4 Setiap manusia dari bangsa apa saja dan dari lingkungan manapun
juga pasti ingin kepada kejernian hati, kesejahteraan batin, dan
ketentraman jiwa untuk membangun kehidupan yang selamat dan bahagia
4
4
lahir batin di dunia sampai di akhirat. Maka ajaran KH Abdoel Madjid
Ma’roef merupakan ajaran yang berdasarkan Alquran, al-Hadis serta ijma’
para ulama’ terdahulu.5
Sejauh yang dapat diamati fakta menarik, pada diri KH Abdul Latif
Madjid penerus ayahnya menunjukkan sosok pribadi yang kharismatik dan
amanah tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Dalam kehidupan sehari-hari,
KH Abdul Latif Madjid seorang yang fleksibel. Pada saat hadir
ditengah-tengah jamaah sholawat wahidiyah, penampilannya layaknya para kyai
dan ulama pada umumnya. Mengenakan juba putih, kopyah, dan sorban.
KH Abdul Latif Madjid dapat dengan mudah menyesuaikan diri kepada
masyarakat. Pada saat menemui santri, jamaah, atau tamu lainnya, KH
Abdul Latif Madjid memanfaatkan rumah pribadinya sebagai media
pertemuan.
Sholawat wahidiyah di Pondok Pesantren Al-Munadhoroh
(masyarakat sekitar Kediri mengenalnya dengan sebutan kedunglo) di
Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri mengalami perkembangan pada
masa pengasuh ke-3 yakni KH. Abdul Latif Madjid. Pada masa beliau,
Pesantren Kedunglo mengembangkan sistem managerial secara modern.
Dengan komando tunggal dari pengasuhnya, perkembangan Pesantren
Kedunglo dan penyiaran sholawat wahidiyah menjadi sangat fenomenal.
Baik dari luasnya bidang perjuangan, luas jangkauan wilayah maupun
perkembangan jumlah santri dan jamaah.
5
Tim Upgrading, Dai Wahidiyah Bag. A(Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Podok
5
Hal ini terbukti di bidang pendidikan terbentuk pendidikan formal
play group sampai dengan perguruan tinggi, di bidang ekonomi terbentuk
koperasi-koperasi wahidiyah, dan luasnya bidang perjuangan mulai dalam
negeri sampai luar negeri. Dengan demikian sholawat wahidiyah, tidak
hanya memperhatikan masalah kerohaniahan saja, meski masalah rohani
menjadi prioritas utama. Akan tetapi bidang-bidang dhahiriyah seperti pendidikan, ekonomi, manajemen tetap menjadi perhatian mengingat
bidang ini dapat mendukung terhadap masalah kerohaniahan.
Sedangkan tujuan dari sholawat wahidiyah tersendiri adalah agar
pengamal sholawat wahidiyah dapat tenggelam kedalam lautan tauhid dan
merasakan segala gerak geriknya selalu dalam pengawasan Allah SWT
sehingga terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
agama. Sikap dan perilaku yang terjadi pada waktu mengamalkan dengan
cara menangis, meratap, lebih disebabkan teringatnya akan dosa-dosa yang
mereka lakukan dan selanjutnya menuntun mereka kepada taubat dan
melakukan „amar ma’ruf nahi mungkar’.
Dari penelitian ini penulis fokuskan dengan biografi KH. Abdul
Latif Madjid. Bukan hanya biografi saja melainkan dengan perkembangan
pada masa kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid mulai tahun 1989
sampai dengan 2015. Perkembangan yang relatif panjang yang sampai saat
ini sholawat wahidiyah sudah ada di hampir semua daerah dan di luar
negeri. Dari waktu ke waktu, sholawat wahidiyah berjalan dengan lancar
6
beberapa masyarakat kota, desa, dan pesantren-pesantren. Kenyataan
sholawat wahidiyah terbilang istimewa. Karena menurut penulis tidak
semua kelompok sholawat dapat berkembang secara luas dan bertahan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahasnya dalam skripsi ini.
Sedangkan bagi yang ingin mengamalkan sholawat ini harus
mengikuti aturan yaitu dengan cara membaca sholawat setiap hari selama
40 hari atau 7 hari tetapi dibaca sepuluh kali lipat, setelah itu boleh dibaca
salah satu aurad yang terdapat didalam sholawat wahidiyah. Dalam
mengamalkannya harus dengan niat semata-mata beribadah kepadah Allah
SWT dengan ikhlas tanpa pamrih suatu apapun. Baik pamrih duniawi
maupun pamrih ukrowi, harus sungguh-sungguh mulus.6
B. Rumusan Masalah
Agar permasalahan tidak melebar dan lebih terarah, maka dalam
penelitian ini perlu diberikan batasan penulisannya, maka penulis
memfokuskan tentang perkembangan sholawat wahidiyah di Kelurahan
Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur pada masa KH. Abdul Latif
Madjid (1963-2015).
Adapun perumusan masalah adalah :
1. Bagaimana Biografi KH. Abdul Latif Madjid ?
2. Bagaimana Sholawat Wahidiyah di bawah kepemimpinan KH. Abdul
Latif Madjid ?
6
Tim perumus, Kuliah Wahidiyah Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Wa Birosulihi
7
3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Perkembangan Sholawat
Wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Biografi KH. Abdul Latif Madjid.
2. Untuk menjelaskan Sholawat Wahidiyah di bawah kepemimpinan KH.
Abdul Latif Madjid.
3. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap perkembangan
sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, di antaranya
sebagai berikut :
1. Secara Akademik (Praktis)
a. Memberikan tambahan kazanah keilmuan sejarah Indonesia pada
umumnya dan sebagai bahan referensi dalam bidang sejarah dan
kebuayaan Islam pada khususnya, serta dapat memberikan
informasi bagi pihak-pihak yang melakukan penelitian.
b. Sebagai pelengkap khazanah ilmu pengetahuan agama dan
memberikan wacana bagi perkembangan perbendaharaan ilmu
pengetahuan Islam, terutama dalam bidang sejarah.
2. Secara Ilmiah (Teoritis)
a. Peneliti diharapkan dapat memberikan manfaat dan pemahaman
8
kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid dalam sholawat
wahidiyah.
b. Untuk memperkaya kajian sejarah yang ada di Indonesia yang
berupa perkembangan sholawat wahidiyah.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Sartono Kartodirjo beranggapan bahwa penggambaran kita
mengenai suatu peristiwa sangat bergantung pada pendekatan, yaitu dari
segi mana kita dapat memandangnya, unsur-unsur mana yang
diungkapkan, dan dimensi mana yang diperhatikan.7 Dengan pendekatan tersebut mempermudah penulis dalam menggabungkan antara ilmu sosial
dan ilmu bantu dalam penelitian sejarah. Dalam hal ini penulis
menggunakan sosiologi.
Pendekatan historis yang digunakan dalam penelitian ini untuk
menggambarkan suatu peristiwa masa lampau, maka semua peristiwa yang
terdapat di dalam Sholawat Wahidiyah akan kita ketahui sejarahnya
melalui pendekatan historis. Sedangkan pendekatan sosiologi dipakai
untuk mengetahui sebuah perubahan sosial di antara para jamaah sholawat
wahidiyah.
Dalam pendekatan sosiologis diharapkan dapat mempermudah
untuk melihat golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial,
pelapisan sosial, peranan, dan status sosial.8 Dengan menggunakan pendekatan sosiologi dapat melihat suatu perubahan sosial yang ada dalam
7
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejara (Jakarta: Gramedia, 1993),
4.
8
9
penelitian dengan peran pendiri sholawat wahidiyah dalam perjalanan
mendirikan sholawat wahidiyah dan mendakwahkan ajaran sholawat
wahidiyah kepada masyarakat Kelurahan Bandar Lor Kecamatan Mojoroto
Kediri.
Teori merupakan pedoman yang berguna untuk mempermudah
jalannya penelitian dan sebagai pegangan pokok bagi peneliti disamping
sebagai pedoman, teori adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam
memecahkan suatu masalah-masalah penelitian.9
Dalam sholawat wahidiyah yang dilakukan oleh masyarakat
merupakan kehendak rohani yang ingin mencari ketenangan jiwa,
menghilangkan depresi, meredakan emosi, kecemasan rasa yang tidak
aman yang dialami manusia atau kerohanian yang membangkitkan rasa
percaya diri dan optimis.10
Penelitian ini menggunakan teori kepemimpinan dapat diartikan
sebagai kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau
pengikutnya untuk mencapai tujuan.11 Sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut.
Max Weber mengklasifikasikan kepemimpinan menjadi 3 jenis:
1. Otoritas Kharismatik yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan
pribadi. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang telah memberikan
suatu penampilan berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima
9
Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi(Jakarta: Liberty,
1990), 11.
10
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 66.
11
10
perintahnyaa sebagai sesuatu yang mesti diikuti. Ia diyakini
memperoleh bimbingan “wahyu”, memiliki kualitas yang dipandang
sacral dan menghimpun massa dari masyarakat.
2. Teori tradisional yaitu dimiliki berdasarkan pewaris. Bersumber pada
kepercayaan yang telah mapan terhadap kesakralan tradisi kuno.
Kedudukan pemimpin ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan lama yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam melaksanakan berbagai
tradisi.
3. Otoritas legal-rasional yakni yang dimiliki berdasarkan jabatan serta
kemampuan.12
Dalam hal ini Max Weber membatasi bahwa kharismatik sebagai
kelebihan tertentu dalam kepribadian seseorang yang membedakan dengan
orang biasa dan diperlukan sebagai seseorang yang memperoleh anugerah
kekuasan atau kelebihan yang luar biasa, tetapi dianggap individu tersebut
diperlukan sebagai seorang pemimpin.
Konsep kharismatik menurut Max Weber ditekankan kepada
kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan
mengesankan dihadapan masyarakat. Meskipun dmikian seseorang yang
berkharisma tidaklah mengharuskan semua karakteristik melekat utuh
padanya.
Dari teori tersebut KH Abdul Latif Madjid masuk kedalam teori
kepemimpinan otoritas kharismatik, karena dalam memimpin sholawat
12
Sorjono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar cet 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990),
11
wahidiyah sekaligus Pondok Pesantren Kedunglo beliau memiliki
kharisma tersendiri yang membuat santri-santri dan para pengamal
menjadi segan dan patuh kepada beliau. Bukan hanya itu, masyarakat
sekitar Bandar Lor Mojoroto juga menghormati beliau selaku salah satu
tokoh agama yang ada di Bandar Lor Mojoroto tersebut. Sementara itu
juga menggunakan teori peran yang dalam kehidupan sosial nyata
membawakan peran yang menduduki suatu posisi sosial dalam
masyarakat. 13
Yang selanjutnya menggunakan teori tingkah laku kumpulan
massa (collective behavior) yang dikemukakan oleh Neil Smelser. Dalam teori ini dapat dinyatakan bahwa suatu kumpulan massa adalah satu
kelompok yang saling bertindak secara fisik dan hampir berhubungan
dengan minat atau perhatian yang sama. Perlu adanya keikutsertaan
bersama dan perasaan penyertaan kelompok secara keseluruhan. Dalam
kumpulan masa diperlukan pula kebersamaan secara keseluruhan, serta
melalui interaksi dalam kelompok yang biasanya mengikuti tingkah laku
dan cara yang sama.14
F. Penelitian Terdahulu
Judul tentang “perkembangan sholawat wahidiyah di Kelurahan
Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur (1989-2015)” difokuskan kepada
asal usul, ajaran dan perkembangan sholawat wahidiyah serta pandangan
13
Edy Suhardono, Teori Peran Konsep, Derivasi dan Implikasinya (Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama, 1994), 07.
14
12
masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH.
Abdul Latif Madjid. Peneliti telah melacak ada beberapa judul skripsi atau
karya tulis yang membahas tentang Shalawat Wahidiyah yang berada di
berbagai daerah, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Nurul Hasanah, E01303029, Akidah Filsafat pada Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2007. Pelaksanaan Ajaran Shalawat dan Manfaatnya dalam Pembinaan Akhlak di Jemur Wonosari Surabaya,
Perbedaan dari judul di atas dengan penelitian ini membicarakan
tentang tata cara ajaran shalawat wahidiyah dan manfaat bagi
pengamalnya dalam pembinaan akhlak di Desa Jemur Wonosari
Surabaya. Yang membedakannya adalah dari segi perkembangan pada
masa kepemimpian KH. Abdul Latif Madjid.
2. Hanif Widyawati, A02301099, Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
pada Fakulatas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya,
tahun 2006. Masuk dan Berkembangnya Shalawat Wahidiyah di Kelurahan Wiyung Kecamtan Wiyung Kota Surabaya 1984-2005.
Perbedaan dari penelitian ini membicarakan kronologi muncul dan
berkembangnya shalawat wahidiyah di Wiyung Surabaya. Sedangkan
dalam penelitian ini yang membedakan dari beberapa judul mengenai
tempat yang dijadikan objek penelitian.
3. Anis Sukriyah, A02302050, Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) pada
13
2004. Shalawat Wahidiyah di Jombang: Ihwal Tangis dalam Mujahadah yang Dilakukan Oleh Pengamal Wahidiyah.
Sedangkan perbedaan dari penelitian diatas lebih terfokus mengenai
reaksi-reaksi yang ditunjukkan para pengamal shalawat wahidiyah saat
pelaksanaan berdasarkan kasus di Jombang. Dalam penelitian ini
mengfokuskan biografi KH. Abdul Latif Madjid selaku penerus ke-3
dalam sholawat wahidiyah di daerah Kediri Jawa Timur.
4. Rajib Qandi, A02210007, Sejarah dan kebudayaan Islam (SKI) pada
Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun
2016. Sejarah perkembangan Shalawat Wahidiyah dipondok pesantren Miftahul Ulum desa Kambingan Timur kecamatan Saronggi kabupaten Sumenep (1972-2014).
Perbedaan yang terdapat dalam penelitian di atas lebih fokus pada
perkembangan sholawat wahidiyah pada Pondok Pesantren di Sumenep.
Berbeda dengan penelitian ini yang lebih mengfokuskan dengan
perkembangan yang terjadi di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri
Jawa Timur, tempat berdirinya sholawat wahidiyah.
5. M Amin Khoirul Anam, E51212050, Filsafat Agama pada Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2016.
Implikasi Sosiologis Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef.
Perbedaan dari judul diatas dengan penelitian ini lebih fokus pada
14
Madjid Ma’roef yang dirangkai dalam sholawat wahidiyah. Sedangkan
untuk penelitian ini lebih fokus dengan pandangan masyarakat terhadap
perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid
selama memimpin di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri.
6. Galuh Giri Jati, A72212125, Sejarah dan kebudayaan Islam (SKI) pada
Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun
2016. Sejarah Perkembangan Organisasi Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW) Tahun 1964-2015.
Perbedaan dari judul diatas dengan penlitian ini adalah lebih fokus pada
konflik muallif atas perpindahan kantor kesekretariatan di Kedunglo
Kediri ke Rejoagung Jombang.
Dari keenam macam judul yang pernah diteliti tidak ada yang
membahas lebih khusus mengenai perkembangan kepemimpinan pada
masa KH. Abdul Latif Madjid dalam memimpin sholawat wahidiyah dan
pandangan masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada
masa KH. Abdul Latif Madjid.
Demikian beberapa karya penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya mengenai kelompok sholawat wahidiyah. Meskipun ada
beberapa karya yang fokus pada hal yang sama dengan penelitian ini,
mengenai sejarah, namun masalah tempat dan waktu. Bagaimanapun
samanya sebuah kajian sejarah, sangat sulit untuk sama dalam hal proses
15
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kajian lapangan (field research). Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sumber data yang ada di lapangan berupa kata-kata tertulis dari orang atau perilaku yang
diamati dan kemudian didiskripsikan dan dianalisa sehingga dapat
menjawab dari perumusan masalah. Penelitian ini dikategorikan dalam
penelitian sejarah, yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis peristiwa masa lampau. Kaitannya dengan hal tersebut, untuk
memperoleh sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
maka diperlukan suatu metode penelitian.15
Adapun langkah-langkah praktis yang harus dilalui oleh peneliti
dalam menyusun skripsi ini antara lain sebagai berikut:
1. Heuristik atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang dilakukan
oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data, atau
jejak sejarah. Sejarah tanpa sumber maka tidak bisa bicara.16 Maka sumber dalam penelitian ini merupakan hal yang paling utama yang
akan menentukan bagaimana aktualisasi masa lalu manusia bisa
dipahami orang lain. peneliti mengumpulkan sumber berasal dari
dokumen-dokumen, foto-foto, buku-buku, dan wawancara.
a. Sumber primer, adalah sumber yang dihasilkan atau ditulis oleh
pihak-pihak yang secara langsung terlibat atau menjadi saksi mata
15
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 14.
16
16
dalam peristiwa yang akan diteliti ini. Dalam hal ini peneliti
melakukan wawancara dengan orang-orang yang terlibat dalam
sholawat wahidiyah, seperti pengurus Yayasan Perjuangan
Wahidiyah, santri, dan masyarakat sekitar, khususnya para
pengamal. Foto-foto aktifitas rutin yang dilakukan para jamaah
sholawat wahidiyah. Narasumber tersebut yaitu:
1. KH. Zainuddin (Staf Yayasan Perjuangan Wahidiyah)
2. N
ing HJ. Tutik Indiyah (Adik KH. Abdul Latif Madjid)
3. Nyai Hj. Shofiyah (Istri KH. Abdul Latif Madjid)
4. KH. Abdul Latif Madjid (Pengasuh Yayasan Perjuangan
Wahidiyah)
5. Rahmat Sukir (Staf Penyiar dan Pembinaan Wahidiyah)
b. Sumber sekunder, yakni data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan dengan berbagai macam buku yang berkaitan dan
sebagai pendukung dalam penelitian ini, diantaranya yaitu:
1. Buku “Bahan Up Grading Da’I Wahidiyah” karya Tim
Perumus Yayasan Perjuangan Wahidiyah.
2. Buku “Kuliah Wahidiyah” Karya Tim Perumus Yayasan
Perjuangan Wahidiyah.
3. Buku “Kumpulan Teks Kuliah Wahidiyah” Diterbitkan oleh
17
4. Buku “Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah”
karya Sokhi Huda.
5. Majalah “Aham” yang diterbitkan Yayasan Perjuangan
Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kediri.
2. Kritik sumber adalah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber
yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut
kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik apa tidak.
Upaya penulis untuk mendapatkan sumber-sumber yang kredibel dan
autentik ialah dengan cara observasi langsung ke kantor yayasan
perjuangan wahidiyah dan melakukan wawancara kemudian penulis
juga meminjam arsip-arsip dari yayasan perjuangan wahidiyah untuk
di foto copy untuk dijadikan bukti yang valid bagi penelitian skripsi
ini. Pada proses ini dalam metode sejarah biasa disebut dengan istilah
kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern adalah suatu upaya yang
dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut
cukup kredibel atau tidak, sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan
peneliti untuk melihat apakah sumber yang dipaparkan autentik atau
tidak, dalam artian asli, turunan, palsu, serta relevan tidaknya suatu
sumber. Tujuan kritik sumber ini untuk menyeleksi data menjadi fakta,
sehingga setelah mendapatkan data-data penulis berusaha melakukan
kritik sumber dengan cara memilah-milah data yang ada kemudian
18
3. Interpretasi atau penafsiran adalah suatu upaya peneliti untuk melihat
kembali tentang sumber yang didapatkan apakah
sumber-sumber yang didapatkan dan yang telah diuji autentisitasnya terdapat
saling berhubungan. Pada tahap interpretasi penulis mencari hubungan
antar berbagai fakta yang telah ditemukan kemudian menafsirkannya.
Penulis juga akan mencoba untuk bersikap se-objektif mungkin
terhadap penyusunan penelitian ini.
4. Historiografi adalah menyusun atau merekontruksi fakta-fakta yang
telah tersusun dan didapatkan dari penafsiran peneliti terhadap
sumber-sumber sejarah dalam bentuk tertulis. Pada tahap ini rangkaian fakta
yang telah ditafsirkan disajikan secara tertulis sebagai kisah atau cerita
sejarah. Untuk menggambarkan perkembangan Sholawat Wahidiyah
dalam penelitian ini menggunakan model diakronis. Model diakronis
lebih mengutamakan memanjangnya lukisan yang berdimensi waktu.
H. Sistematika Bahasan
Penulisan proposal ini kami bagi dalam beberapa bab dengan
maksud untuk mempermudah penuisan dan penjabaran penulis, hal ini
dilakukan agar pembahasan tidak menyimpang dari tema pokok
pembahasan. Adapun pembagian tersebut meliputi :
Bab pertama dari penelitian ini berupa pendahuluan yang
menguraikan tentang hal-hal yang menjadi latar belakang dari
permasalahan yang penulis akan bahas, membuat batasan dan rumusan
19
metode penelitan serta sistematika penulisan. Dalam bab ini lebih
mengarahkan pembaca sebagai bahan acuan dari penelitian ini.
Bab kedua membahas tentang biografi KH. Abdul Latif Madjid,
tidak hanya itu dalam bab ini juga mencakup penjelasan tentang riwayat
pendidikan dan prestasi yang dicapai.
Bab ketiga membahas sholawat wahidiyah pada masa
kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid di Kelurahan Bandar Lor
Mojoroto Kediri.
Bab keempat membahas pandangan masyarakat terhadap
perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid
yang diperoleh dari pengamal sholawat wahidiyah dan keluarga serta
warga sekitar Kelurahan Bandar Lor. kesan itu diperoleh dari masyarakat
dilihat dari masa ke masa.
Bab kelima merupakan penutup yang terbagi atas kesimpulan dan
saran penulis mengenai permasalahan yang terdapat dalam bab-bab
sebelumnya dari awal hingga akhir, guna untuk membangun demi
BAB II
BIOGRAFI KH. ABDUL LATIF MADJID A. Latar Belakang Keluarga
KH. Abdul Madjid Ma’roef ia adalah seorang pengasuh Pondok
Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh sekaligus mualif (pengarang)
sholawat wahidiyah tahun 1955-1989. Ia lahir di Kediri pada hari Jum’at
Wage malam 29 Ramadhan 1377 H/20 Oktober 1918 M sebagai putra
ketujuh dari sembilan bersaudara. Mereka adalah sosok orang tua yang
sederhana dan sangat mementingkan nilai-nilai Islam, karena ia hidup di
lingkungan keluarga yang taat beragama pasangan KH. Abdoel Madjid
Ma’roef dan Nyai HJ. Shofiyah sangat memperhatikan perkembangan
keagamaan dan pendidikan anak-anaknya. Hal tersebut sebagaimana
penuturan informan (Zainuddin, 63 tahun) sebagai staf khusus yayasan
perjuangan wahidiyah kepada peneliti sebagai berikut:
“Mbah yai Madjid dan mbah Nyai sangat memperhatikan perkembangan agama dan pendidikan untuk putra putrinya. waktu kecil mbah yai sama sama mbah nyai sering memberikan pengajaran baca tulis al-Quran dan berakhlakul karimah serta rasa tanggung jawab kepada masing-masing putra putrinya”17
Tahun berganti tahun KH. Abdul Madjid Ma’roef semakin
bertambah dewasa dan kemudian menikah dengan seorang putri KH.
Hamzah di Tulungagung bernama Hj. Shofiyah yang saat itu keduanya
berumur 27 tahun. Dari pernikahannya dengan Hj. Shofiyah ia dikaruniai
14 orang anak putra dan putri yakni 4 laki-laki dan 14 perempuan yang
17
21
salah satunya melanjutkan mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo
Al-Munadhoroh dan Yayasan Perjuangan Wahidiyah karena dianggap sebagai
anak laki-laki yang tertua. Masing-masing anak tersebut yakni:
1. Ning Usniyati
2. Dra. Hj. Nurul Isma Faiq
3. Ning Khuriyah (Almarhum)
4. Ning Tatik Farikhah
5. KH. Abdul Latif Madjid
6. Agus Abdul Hamid
7. Ning Fauziah (Almarhum)
8. Ning Djauharotul Maknunah
9. Ning Istiqomah
10.Agus Muhammad Hasyim Asy’ari (Almarhum)
11.Ning Hj. Tutik Indiyah
12.Agus Ahmad Syafi Wahidi Sunaryo
13.Ning Khuswatun Nihayah
14.Ning Zaidatun Inayah (Almarhum).18
Yang diberikan amanat untuk melanjutkan adalah KH. Abdul Latif
Madjid untuk mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh dan
Yayasan Perjuangan Wahidiyah pada tahun 1989 sampai sekarang ini.
Sedangkan kakak dan adik-adik KH. Abdul Latif Madjid ikut serta dalam
membantu mengelola Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh. Hal
18
22
tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai
berikut:
“yang paling dekat dengan mbah Yai itu ya KH. Abdul Latif Madjid, dalam hal apa saja setiap ada permasalahan yang dipanggil didalam kamar ya KH. Abdul Latif Madjid itu harapan untuk meneruskan dan
dilimpahkan ke KH. Abdul Latif Madjid yang sangat
dibanggakan.”19
B. Genealogi KH. Abdul Latif Madjid
KH. Abdul Latif Madjid nama lengkapnya adalah Abdul Latif
Madjid merupakan sebuah nama salah satu “asmaul husna” yaitu “Latif”
yang bermakna lembut. Beliau lahir di lingkungan pesantren, tepatnya
pada Jum’at Pahing tanggal 15 Agustus 1952, di Kedunglo Kecamatan
Mojoroto Kediri Jawa Timur.20
KH. Abdul Latif Madjid merupakan putra dari KH. Abdul Madjid
Ma’roef dan Hj. Shofiyah. Garis keturunan ibunya KH. Abdul Latif
Madjid, ia berasal dari keturunan KH. Hamzah dari Tulungagung yang
kakeknya bernama KH. Mansur yang pernah mendapat tanah dari kerajaan
Mojopahit karena pada saat itu selalu banjir saat musim hujan, kemudian
kerajaan membuat sayembara barang siapa yang dengan kesaktiannya
membuat daerah Tulungagung tidak banjir lagi akan diberi hadiah tanah
beberapa hektar tepatnya di Desa Tawangmangu Kecamatan Boyolali
Kabupaten Tulungagung.21
Selama sembilan bulan berada dalam kandungan Ibu Nyai Hj.
Shofiyah ia melakukan puasa sampai melahirkan putra kinasih KH. Abdul
19
Zainuddin, Wawancara, Kediri, 27 Februari 2017.
20
Abdul Latif Madjid, Wawancara, Kediri, 28 Febriari 2017.
21
23
Latif Madjid. Ia tumbuh dewasa di lingkungan Pondok Pesantren
Kedunglo Al-Munadhoroh. KH. Abdul Latif Madjid memiliki wajah yang
sangat tampan kulitnya putih bersih dan bercahaya memancarkan aura
ketaatan kepada Allah SWT, memiliki sifat santun dan sangat bijaksana
dalam menghadapi siapapun, terkenal cerdas dan ber-IQ tinggi, memiliki
wibawa yang luar biasa.
Sejak kecil KH. Abdul Latif Madjid telah dipersiapkan oleh
ayahnya (KH. Abdul Madjid) sebagai kader penerus beliau. Masyarakat
sekitar Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh mengenal KH. Abdul
Latif Madjid degan sebutan “Gus Latif”. Ketika beranjak remaja pun
beliau sudah dikenal sebagai cendekiawan yang teguh menegakkan
kebenaran dan beliau adalah pemuda yang senang bergaul dengan
siapapun di berbagai kalangan, baik dengan rakyat pada umumnya, ulama
maupun dengan dunia anak muda.22
Pada usia 35 tahun KH. Abdul Latif Madjid menikah dengan ibu
Muanifah dari Blitar, kemudian karena ada beberapa masalah dalam
pernikahannya ia berpisah dengan ibu Muanifah yang saat itu usia
perkawinannya hanya beberapa hari saja. Setelah berpisah tidak lama KH.
Abdul Latif Madjid menikah kembali dengan santri Pondok Pesantren
Kedunglo Al-Munadhoroh yang terkenal anggun dan cantik yaitu Ibu Hj.
Sholihah, Ia berasal dari kota Lumajang. Hj. Sholihah dinikahi oleh Kh.
Abdul Latif Madjid dalam usia 14 tahun yang saat itu masih duduk di
22
24
bangku sekolah kelas 3 SMP Wahidiyah. Hal tersebut sebagaimana
peuturan informan (Zainuddin, 62 tahun) sebagai berikut:
“KH. Abdul Latif Madjid menikah dengan ibu Hj. Sholihah dan beliau punya 3 orang putra dan seorang putri.”23
Adapun putra-putri KH. Abdul Latif Madjid dengan ibu nyai Hj.
Sholihah diantaranya :
1. Agus Abdul Madjid Ali Fikri, M. Hum
2. Dr. Firdausul Makrifah
3. Tajul Mundir Wahidiyin
4. Ahmad Muhammad Mustofa Wahiduz Zaman24
Hasil dari wawancara melalui Hj. Sholihah, beliau mengatakan
bahwa sudah memberikan kepercayaan dan melimpahkan tugas kepada yai
Zainuddin dalam mencari informasi yang penulis butuhkan. Yai Zainuddin
merupakan teman dekat sekaligus sebagai staf khusus dalam kepengurusan
Yayasan Perjuangan Wahidiyah.
KH. Abdul Latif Madjid mempunyai kepribadian yang menarik.
Menurut masyarakat sekitar Kedunglo KH Abdul Latif Madjid berbadan
sedang dengan warna kulit putih bersih, berhidung mancung agak tumpul
dan berbibir bagus agak lebar. Matanya cekung dengan kelopak dan
pelipis mata ke dalam bak gua menunjukkan bahwa beliau seorang yang
mempunyai pikiran yang tajam dan dalam. Tangannya yang halus dan
lembut selembut hatinya yang pemaaf. Beliau berjalan melangkah dengan
23
Zainuddin, Wawancara, Kediri, 27 Februari 2017.
24
25
pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah ke bawah terkadang beliau
menoleh ke kiri atau kanan untuk melihat situasi dan kondisi jamaah.
Cara bicaranya tenang dan santun disertai senyum. Beliau
berbicara dengan bahasa “Jawami Kalam” artinya kata-kata yang
dituturkannya mengandung makna yang banyak, karena beliau mempunyai
kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat.
Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam satu ucapan
yang dituturkannya, jelas dan mudah dipahami, tidak lebih dan tidak
kurang banyak yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepada
orang yang berbicara kepadanya.25
Dari segi penampilan beliau terlihat sederhana, pakaian yang
dikenakan layaknya pegawai kantor pada umumnya, seperti kemeja dan
batik yang menunjukkan kesan rapi. Beliau juga sangat memperhatikan
kebersihan dan kesucian badannya, baju yang dipakainya sekali tidak
dipakainya lagi. Dari cara berpenampilan inilah dapat menempatkan
dirinya bergaul dan dekat dengan kalangan mana pun, mulai dari
masyarakat sekitar, para santri, kyai, hingga pejabat pemerintah. Ketika
marah, beliau diam hanya roman mukanya sedikit berubah dan beberapa
saat beliau bicara pertanda marahnya mulai mereda seolah tidak terjadi
apa-apa.
Kharisma yang dimiliki sosok KH. Abdul Latif Madjid
mempunyai pengaruh luar biasa yang bukan didasarkan atas kewenangan,
25
26
melainkan atas persepsi para pengikut, bahwa pemimpin tersebut
dikaruniai dengan kemampuan-kemampuan yang luar biasa.
Itulah sisi lain dari „Gus Latif’ kepribadian dan sikap beliau
menjadi contoh kalangan santri. KH. Abdul Latif Madjid sepintas
menunjukkan sosok kyai yang unik. Secara fisik, KH. Abdul Latif Madjid
tidak terlihat seperti seorang kyai. Diluar rutinitasnya, penampilan KH.
Abdul Latif Madjid berbeda lagi. Selain gemar mengenakan celana jeans
dan kaos, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk riyadlah (tidak tidur pada malam hari), waktu privasi hanyalah saat istirahat. Selama
bertahun-tahun selalu berputar keliling ke berbagai daerah kabupaten di
Jawa Timur dan juga di luar Jawa bahkan sampai ke luar negeri untuk
berdakwah dan menyiarkan sholawat wahidiyah. Para santri, pengamal
sholawat wahidiyah atau pejabat pemerintah dapat menemui KH. Abdul
Latif Madjid setiap hari sabtu sampai dengan kamis pada jam efektif kerja
dari pukul 08.00 hingga 02.00 di kantor kesekretariatan wahidiyah.
C. Riwayat Pendidikan KH. Abdul Latif Madjid
KH. Abdul Latif Madjid adalah seorang anak yang mempunyai
semangat yang tinggi dalam hal ilmu pendidikan terutama pendidikan
agama Islam. Semasa kecilnya ia di masukkan oleh ayahnya untuk belajar
dan menempuh pendidikan formal di SD Negeri Kelurahan Bandar Lor
kota Kediri pada tahun 1960, ia menempuh pendidikan SD selama enam
tahun dan selesai pada tahun 1965. Setelah menempuh pendidikan di SD ia
27
selama 3 tahun, tepatnya di SMP Negeri 4 Bandar Lor Kota Kediri dan
lulus dengan predikat baik pada tahun 1968, kemudian melanjutkan
pendidikan SMA pada tahun 1968 di SMA Negeri 2 kota Kediri selama 3
tahun dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1971.26 Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai berikut:
“KH. Abdul Latif Madjid itu sekolah di SMA negeri 2 kota Kediri, trus d SMP negeri 4 kota Kediri dan di SD negeri kelurahan Bandar Lor, beliau itu lulus SMA pada tahun 1971.”27
Tidak hanya menempuh pendidikan formal ia juga menempuh
pendidikan informal yang diberikan ayahnya secara langsung ia
mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya yang merupakan pengasuh
Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh dan muallif sholawat
wahidiyah. Ia belajar dengan ayahnya ketika sore hari ba’da ashar, tidak
hanya agama, ayahnya juga memberikan ilmu tentang ide pemikiran
mengenai jiwa kepemimpinan untuk kelak bisa menjadi seorang pemimpin
yang bijaksana. Selama di SD ia juga meluangkan waktu belajar mengaji
ketika sore hari di Madrasah Bandar Kidul. Ia juga belajar di Pondok
Pesantren Sarang Jawa Tengah mbah Maimoen tetapi hanya bertahan satu
minggu. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62
tahun) sebagai berikut:
“kalau dari mbah Yai ya itu ide, pemikiran dan kepemimpinan, karena dicetak sejak dini untuk menjadi pemimpin. Semasa kecil KH. Abdul Latif Madjid juga pernah belajar di Madarasah Bandar Kidul. Beliau juga pernah mondok di pondok Sarang Jawa Tengah di mbah maimoen di usia SMA, tetapi hanya satu minggu saja.”28
26
Zainuddin, Wawancara, Kediri, 27 Februari 2017.
27
Ibid.
28
28
Selain pendidikan formal dan informal ia juga melanjutkan
pendidikan non formal di salah satu tempat khursus Bahasa Inggris yang
terkenal di kota Kediri pada saat itu.29
Beliau terkenal seorang ahli riyadlah tidak tidur pada malam hari
digunakan untuk senantiasa taqorub (mendekatkan diri) kepada Allah
SWT mohon pertolongan dan mohon bimbingan serta mohon diberi ilmu
Laduni ilmu yang tidak perlu belajar tapi mengetahui seluruh ilmu-ilmu
yang ada dalam kitab-kitab kuning.30 Kondisi ini yang memastikan KH. Abdul Latif Madjid mengalami awal pendidikan dari kultur keluarga
pesantren dengan nilai-nilai ke-Islaman yang sangat kuat.
D. Prestasi KH. Abdul Latif Madjid
Gus Latif adalah pemuda yang senang bergaul dengan siapapun
dari berbagai kalangan. Gus Latif termasuk orang yang supel dengan
siapapun bahkan dari kalangan pemuda se-Kota Kediri mengenal baik
sosok Gus Latif. Semasa remaja beliau sangat aktif membangun mental
para remaja wahidiyah terutama para remaja di Kelurahan Bandar Lor
sekitar Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh. Pada tahun 1971
beliau membentuk “jama’ah usbuiyah remaja”. Jamaah ini dibentuk untuk
menjalin silatuhrahmi dan remaja yang dibina pada saat itu menjadi
orang-orang yang sukses.
Beliau pernah mendirikan perkumpulan Young Moral Concelling
disingkat YMC (perbaikan moral kaum muda). YMC dibentuk pada tahun
29
Tutik Indiyah, Wawancara, Kediri, 25 April 2017.
30
29
1971 dengan tujuan mengajak generasi muda supaya memiliki moral yang
baik dan meningkatkan moral kaum muda yang ada di kota Kediri. Tidak
hanya jamaah usbuiyah dan YMC beliau juga mendirikan perguruan bela
diri “Jiwa Suci” di Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh pada
tahun 1979.31
Jiwa Suci ini merupakan kumpulan dari pendekar-pendekar dari
berbagai perguruan, materi yang didapat dari berbagai aliran-aliran yang
ada dan terdapat jurus-jurus baru yang diciptakan oleh guru-guru pencak
silat melalui teknis pengajaran yang baru pula. Jiwa suci ini dibentuk
karena cara berkomunikasi beliau dengan berbagai masyarakat yang
sangat bagus, baik itu dari generasi muda yang suka hura-hura sampai
teman-teman yang ahli pencak silat. Kemudian dari perkumpulan itu ia
mengajak orang-orang untuk mendirikan pencak silat “jiwa suci” disisi
lain karena ia sebagai putra mbah yai Madjid pengasuh Pondok Pesantren
Kedunglo Al-Munadhoroh secara tidak langsung orang-orang tersebut ikut
serta dalam mendirikan pencak silat “jiwa suci”.
Bahkan prestasi yang sangat diperhitungkan hingga pengikutnya
sangat banyak adalah Gus Latif pernah sukses mengadakan takbir akbar
yang diselenggarakan dalam merayakan Idul Fitri yang diikuti oleh
masyarakat se-kota Kediri dan sekitarnya serta pemuda-pemuda se-kota
Kediri. Bisa dikatakan sukses sebab sebelumnya acara seperti itu pernah
digerakkan oleh pemuda, ataupun pondok-pondok lain namun tak mampu
31
30
mengumpulkan massa sebanyak itu, sehingga takbir akbar yang di gelar
dan dipimpin oleh Gus Latif merupakan prestasi tersendiri. Semua itu
sebagai pertanda bahwa Gus Latif merupakan calon pemimpin yang
sanggup menyatukan berbagai kalangan.32
Dari takbir akbar yang diadakan terdapat tokoh-tokoh yang
berperan didalamnya. Oleh tokoh-tokoh tersebut kemudian
disosialisasikan kepada masyarakat kota Kediri dengan cara mengirimkan
surat ke obyek-obyek yang dituju sekaligus untuk wawancara dan
memberi motivasi. Dalam takbir akbar tersebut rombongan menggunakan
kendaraan mobil dan sebagian lainnya menggunakan sepeda motor. Rute
yang ditempuh adalah dari kedunglo menuju ke selatan, sampai
perempatan Bandar kemudian mengarah ke alun-alun, lalu ke arah utara.
Dari alun-alun menuju ke utara sampai ke perempatan sumur bur melewati
pasar Setono Betek, pasar Pahing sampai ke kawasan
Klotok-Selomangleng, langsung mengarah pulang kembali ke Kedunglo. Hal
tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai
berikut:
“tokoh-tokoh pemuda kota Kediri, tokoh agama, pendekar punya inisiatif diajak bicara bagaimana kalau di kota Kediri ini diadakan takbir keliling umat Islam kota Kediri. Setelah itu disosialisasikan kepada masyarakat termasuk saya dulu jadi sekretaris di takbir akbar itu. Saya disini tidak hanya kirim surat ke obyek-obyek yang kita tuju tetapi sekaligus kita wawancara dan memberikan motivasi disitu. Jadi kita datangi ke kecamatan dimasjid-masjid kemudian disekolah-sekolah. Untuk disekolah kita temui guru agama dan kita ajak bicara agar bisa mengirimkan rombongan untuk takbir keliling.
32
31
Kegiatan ini dapat berjalan selama 4 tahun, setelah itu diambil alih oleh pemerintah daerah.”33
Pengangkatannya sebagai Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan
Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhodhoroh secara resmi
dilaksanakan pada tanggal 08 Maret 1989 sesaat sebelum beliau mualif
sholawat wahidiyah, KH. Abdul Madjid Ma’roef dimakamkan. Upacara
pengangkatan tersebut dilaksanakan dengan khidmat. Keputusan tersebut
merupakan hasil musyawarah keluarga Almarhum KH. Abdul Madjid
Ma’roef yang mana dalam musyawarah keluarga dihadiri oleh seluruh
anggota keluarga dan semua telah menyetujuinya.
Hasil keputusan pengangkatan dibacakan oleh bapak AF. Badri
selaku PSW (Pemimpin Sholawat Wahidiyah) Pusat Kedunglo Kediri saat
itu. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun)
sebagai staff khusus yayasan perjuangan wahidiyah kepada peneliti
sebagai berikut:
“perkenankanlah pada kesempatan yang haru ini, kami akan membacakan hasil keputusan musyawarah keluarga Almarhum tanggal 08 bulan Maret 1989, kurang lebih jam 02.00 WIB, setelah wafatnya beliau Almarhum KH. Abdoel Madjid Ma’roef, kepemimpinan secara umum baik untuk Pondok Pesantren Kedunglo maupun Penyiar Sholawat Wahidiyah adalah beliau Al-Mukarrom bapak KH. Abdul Latif Madjid. Sedangkan pengelolaan untuk Pondok Pesantren Kedunglo putri dibantu oleh Almukarromah ibu Dra. Nurul Isma Faiq. Untuk Pondok Pesantren putra Al-Mukarrom Agus Imam Yahya Malik dan beliau Al-Mukarrom Agus Abdul Hamid Madjid. Khusus beliau Al-Mukarrom Agus Abdul Hamid Madjid ada suatu pernyataan bahwa beliau di dalam mengelola Pondok Pesantren putra cukup sebagai pembantu.”
33
32
Itulah isi pidato singkat yang disampaikan bapak AF Badri selaku
PSW Pusat dalam membacakan keputusan hasil musyawarah keluarga
tentang pengangkatan KH. Abdul Latif Madjid sebagai pengasuh Pondok
Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh.34
34
33
BAB III
SHOLAWAT WAHIDIYAH DI BAWAH KEPEMIMPINAN KH. ABDUL LATIF MADJID
A. Asal-usul Sholawat Wahidiyah
Kelahiran sholawat wahidiyah diawali oleh keprihatinan dari
muallif KH. Abdul Madjid Ma’roef atas kondisi sosial masyarakat yang
banyak menyimpang dari ajaran syariat Islam terutama masyarakat
Kelurahan Bandar Lor Kediri, sehingga beliau melakukan riyadlah dan
mohon petunjuk Allah SWT untuk mengatasi kondisi sosial masyarakat.
Dalam riyadlah tersebut beliau memperbanyak amalan berupa Sholawat
Al-Ma’rifat.35
Pada tahun 1959 KH. Abdul Madjid Ma’roef menerima suatu
“alamat ghoib” (istilah beliau) dari Allah SWT dalam keadaan terjaga dan
sadar, bukan dalam keadaan mimpi. Maksud dan isi “alamat ghoib”
tersebut ialah supaya bisa mengangkat masyarakat dan ikut serta
memperbaiki serta membangun mental masyarakat, melalui “Jalan
Batiniyah”. “Alamat ghoib” ini terjadi hingga tiga kali pada Tahun 1963,
untuk memenuhi hal tersebut beliau meningkatkan riyadlah dengan beberapa macam sholawat, antara lain: Sholawat Badawiyah, Sholawat
Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Masyisyiyah, dan masih banyak
lagi. Dari riyadlah tersebut maka lahirlah rangkaian sholawat yang
35
Tim perumus, Bahan Up Grading Da‟i Wahidiyah (Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan
34
selanjutnya disebut Sholawat Wahidiyah. Sholawat ini merupakan
gabungan atau penyatuan dari berbagai macam sholawat.36
Pada awal tahun 1963 KH. Abdul Madjid Ma’roef menerima
“alamat ghoib” lagi sama seperti kejadian yang beliau terima pada tahun
1959. “Alamat ghoib” yang kedua ini bersifat peringatan terhadap “alamat
ghoib” yang pertama supaya cepat-cepat ikut berusaha memperbaiki
mental masyarakat. Tidak lama sesudah menerima “alamat ghoib” yang
kedua tahun 1963 itu, beliau menerima “alamat ghoib” dari Allah SWT
untuk yang ketiga kalinya ini lebih keras sifatnya daripada yang kedua.
Hal tersebut sebagaimana penuturan KH. Abdul Madjid Ma’roef dalam
buku Bahan Up Grading Da’i Wahidiyah sebagai berikut:
“malah kulo dipun ancam menawi mboten enggal-enggal berbuat
dengan tegas” “malah kulo dipun ancam menawi mboten
enggal-enggal nglaksanaaken” (Malah saya diancam kalau tidak cepat-cepat berbuat dengan tegas). “saking kerasipun peringatan lan ancaman, kulo ngantos gemeter sak bakdonipun meniko” (karena kerasnya peringatan dan ancaman, saya sampai gemetar sesudah itu).37
Pada tahun 1963, dalam situasi batiniyah yang senantiasa
mengarah kepada Allah SWT itu kemudian beliau mengarang suatu doa
sholawat.
“Kulo damel oret-oretan” Saya membuat coret-coretan). “Sak
derenge kulo inggih mboten angen-angen badhe nyusun sholawat
(sebelumnya saya tidak berangan-angan menyusun Sholawat). Beliau menjelaskan: “Malah anggen kulo ndamel namung kalian nggloso” (bahkan dalam menyusun saya hanya dengan tiduran).
36
Ibid., 2. 37
35
Setelah situasi tersebut kemudian beliau menyusun sholawat dan ditulis
dalam satu lembar dengan disebut Sholawat Wahidiyah. Yang berbunyi :
َو اَِعْيِفَشَو اَنَاْوَمَو اَنِدّيَس ىَلَع ْكِراَبَو ْمّلَسَو ّلَص ،ُُلَْا َتْنَا اَمَك مُهللَا
َكُلَ ئْسَن ،ُُلَْا َوُ اَمَك َملَسَو ِْيَلَع ُ ها ىلَص ٍدمَُُ اَُِيْعَا ِةرُ قَو اَِبْيِبَح
ِف اََ قِرْغُ ت ْنَا ِّقَِِ مُهللا
َدَِ َاَو َََمْسَن َاَو َرَ ن َا ََح ،ِةَدْحَوْلا ِرَِْ ُُِِ
،ُهَا آَي َكِتَرِفْغَم َماَََ اََ قُزْرَ تَو ،اَِِ اِا َنُكْسَن َاَو َكرَحَتَ ن َاَو سُِ َاَو
َو ،ُهَا آَي َكِتَفِرْعَم َماََََو ،ُهَا آَي َكِتَمْعِن َماََََو
َماََََو ،ُهَا آَي َكِتبََُ َماَََ
اَحَا اَم َدَدَع ،ِِبْحَصَو ِِلآ ىَلَعَو ِْيَلَع ْكِراَبَو ْمّلَسَو ّلَصَو ،ُهَا آَي َكِناَوْضِر
ّبَر ِلِل ُدْمَْْاَو ،َنِِْارلا َمَحْرَا اَي َكِتََْْرِب َكُباَتِك ُاَصْحَاَو َكُمْلِع ِِب َط
َعْلا
َنِمَلا
Artinya:
“Ya Allah, sebagaimana keahlian ada pada-MU, limpahkanlah sholawat, salam, barokah atas junjungan kami, pemimpin kami, pemberi syafaát kami, kecintaan kami, dan buah jantung hatu kami Baginda Nabi Muhammad SAW yang sepadan dengan keahlian beliau, kami memohon kepada-MU Ya Allah, dengan Hak Kemuliaan Beliau, tenggelamkan kami di dalam pusat dasar samudra ke-Esaan-MU, sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, tiada kami bergerak ataupun berdiam, melainkan senantiasa merasa di dalam samudra tauhid-MU, dan kami memohon kepada-MU Ya Allah, limpahilah kami ampunan-MU yang sempurna Ya Allah, nikmat karunia-MU yang sempurna Ya Allah, sadar ma’rifat kepada-MU yang sempurna Ya Allah, cinta kepada-MU dan kecintaan-MU yang sempurna Ya Allah, ridlo kepada-MU serta memperoleh ridlo-MU yang sempurna pula Ya Allah, dan sekali lagi Ya Allah, limpahkanlah sholawat salam dan barokah atas Baginda Nabi dan atas keluarga serta sahabat beliau, sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh ilmu-MU dan termuat di dalam kitab-MU, dengan rahmat-MU, Ya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam”.38
38
36
Setelah menyusun sholawat tersebut Kemudian KH. Abdul Madjid
Ma’roef menyuruh tiga orang untuk mengamalkan sholawat tersebut. Tiga
orang yang beliau sebut sebagai pengamal percobaan itu ialah Bapak
Abdul Jalil, seorang tokoh tua dari Desa Jamsaren, Kediri, Bapak Mukhtar
seorang pedagang dari Desa Bandar Kidul, Kediri, dan seorang santri
Pondok At-Tahdzib di Kedunglo, Kediri yang bernama Dahlan, dari Blora,
Jawa Tengah. Dalam uji coba amalan oleh tiga orang tersebut, mereka
melaporkan Alhamdulillah setelah mengamalkan sholawat tersebut,
mereka menyampaikan kepada beliau bahwa mereka dikarunia rasa
tenteram dalam hati, tidak merasa gelisah dan merasa lebih banyak ingat
kepada Allah SWT. Setelah itu KH. Abdoel Madjid Ma’roef menyuruh
beberapa santri pondok untuk mengamalkan sholawat tersebut. Hasilnya
juga sama seperti yang dirasakan oleh tiga orang yang pertama kali
mengamalkan sholawat tersebut, kemudian sholawat tersebut diberi nama
sebagai “Sholawat Ma’rifat”39
Beberapa waktu kemudian, namun masih dalam bulan Muharram
1383 H muallif kembali menyusun sholawat, sholawat tersebut berbunyi40:
اَوَجاَي ُدِجاَوَاي ْدَحَااَي ُدِحاَو اَي مُهللَا
ُد
ٍدمَُُ اَنِدّيَس ىَلَع ْكِراَبَو ْمّلَسَو ِلَص
ُك ِِْ ٍدمَُُ اَنِدّي َس ِلآ ىَلَعو ٍدمَُُ اَنِدّي َس ِلَا ىَلَعَو
ِدَدَعِب ٍسَفَ ن و ٍَِحْمَل ّل
ِداَدْمَاَو ِِتاَضْوُ يُ فَو ِها ِتاَمْوُلْعَم
ِ
.
39
Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah , 94.
40
37
Artinya:
“Ya Allah, Ya Tuhan Maha Esa, Ya Tuhan Maha Satu, Ya Tuhan
Maha Menemukan, Ya Tuhan Maha Pelimpah, limpahkanlah sholawat, salam dan barokah atas junjungan kami Baginda Nabi Muhammad dan atas keluarga Baginda Nabi Muhammad pada setiap berkedipnya mata dan naik turunnya nafas, sebanyak bilangan yang Allah Maha Mengetahui dan sebanyak kelimpahan pemberian serta kelestarian pemeliharaan-NYA”.
Sholawat tersebut kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam
susunan sholawat wahidiyah, karena sholawat tersebut lahir pada bulan
Muharram, maka muallif menetapkan bulan Muharram sebagai bulan
kelahiran sholawat wahidiyah. Ulang tahun sholawat wahidiyah
diperingati dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro Wahidiyah pada setiap
bulan Muharram.
Untuk mencoba khasiat sholawat yang kedua ini, beliau menyuruh
beberapa orang untuk mengamalkannya, dan hasilnya lebih positif lagi,
yaitu mereka dikaruniai oleh Allah SWT ketenangan batin dan kesadaran
hati kepada Allah SWT dalam keadaan hati yang lebih mantap. Semenjak
itu beliau memberi ijazah sholawat tersebut secara umum, termasuk para
tamu yang sowan (bertamu) kepada beliau. selain itu beliau menyuruh beberapa santri untuk menuliskan sholawat tersebut dan mengirimkan
kepada para ulama/kyai yang diketahui alamatnya dengan disertai surat
pengantar yang beliau tulis sendiri. Isi dari surat itu antara lain, agar
38
Sejauh itu tidak ada jawaban negatif dari para ulama/kyai yang dikirimi
sholawat tersebut.41
Semakin hari semakin banyak yang datang untuk memohon ijazah
amalan sholawat wahidiyah. Oleh karena itu, muallif memberikan ijazah
secara mutlak. Artinya disamping diamalkan sendiri juga dapat disiarkan
atau disampaikan kepada orang lain tanpa pandang bulu. Kemudian beliau
mengajarkan sholawat wahidiyah dengan cara menuliskan sholawat yang
pertama itu di papan tulis pada pengajian kitab Al-Hikam secara rutin di
Masjid Kedunglo setiap malam jum’at yang dibimbing oleh beliau sendiri.
Pengajian itu diikuti oleh para santri dan masyarakat sekitar dan beberapa
kyai dari sekitar Kota Kediri. Kemudian menerangkan hal-hal yang
terkandung didalam sholawat tersebut.
Dengan semakin banyaknya orang yang memohon ijazah dua
sholawat tersebut, dan untuk memenuhi kebutuhan, maka muallif
menugaskan Bapak KH. Mukhtar, seorang pengamal sholawat wahidiyah
berasal dari Tulungagung yang juga ahli Khat (seni tulis arab) untuk membuat lembaran sholawat wahidiyah. Pembuatannya menggunakan
kertas stensil yang sederhana dan dengan biaya sendiri serta dibantu oleh
beberapa orang pengamal dari Tulungagung.42
Masih dalam tahun 1963 saat pengajian kitab Al-Hikam
berlangsung KH. Abdoel Madjid Ma’roef menjelaskan tentang haqiqah
al-wujud dan penerapan bi al-haqiqah al-Muhammadiyyah yang kemudian
41
Ibid., 96. 42
39
hari disempurnakan dengan penerapan lirrasul birrasul. Pada saat itu tersusunlah sholawat yang ketiga yaitu:
ُم
اَن
َلْا َيِدا َ
ِقْلَْْاَرْوُ ن
َك ْيَلَع
ُمَا سلاَو ُةَاصلا ِقْلَْْا ََ
ِفاَشآَي
َأَو
ِن ْكِرْدَأ ُ َحُرَو َُل ْص
ِن ّبَرو اًد َبَأ ُت ْمَلَظ ْد َقَ ف
دُرَ ت
ُت ُْك
اًصْخَش
اَكِلاَ
ْنِإَف
اَكاَوِس ِدّي َساَي ِِ َس ْيَلَو
Artinya:
“Duhai kanjeng Nabi pemberi syafa’at makhluk, kepangkuan-Mu sholawat dan salam kusanjungkan, duhai nur cahaya makhluk pembimbing manusia, Duhai unsur dan jiwa makhluk, bimbing dan didiklah diriku, sungguh aku manusia yang dholim selalu.”
Pada awal tahun 1964, lembaran sholawat wahidiyah mulai dicetak
dengan klise yang pertama kalinya di kertas HVS putih sebanyak kurang lebih 2.500 lembar. Setelah lembaran sholawat wahidiyah tersebar luas di
masyarakat, ada banyak pihak masyarakat yang menerimannya, namun
juga ada yang menolaknya. Kebanyakan orang yang menolak pada amalan
sholawat wahidiyah adalah karena adanya garansi. Hal tersebut
sebagaimana penuturan KH. Abdul Madjid Ma’roef dalam buku Tasawuf
Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah sebagai berikut:43
“menawi sampun jangkep sekawan doso dinten mboten wonten
perubahan manah, kenging dipun tuntut dunyan wa ukhron” (jika setelah mengamalkan 40 hari tidak mengalami perubahan dalam hati, boleh dituntut di dunia dan akhirat).
Masyarakat yang menolaknnya beranggapan tentang garansi
tersebut dengan pemahan yang jauh bertentangan dengan makna yang
dimaksud oleh pembuat garansi. Pemahaman mereka terhadap “garansi”
43
40
adalah “siapa saja yang mengamalkan sholawat wahidiyah dijamin masuk
surga”. Sedangkan makna asli dari si pembuat garansi adalah untuk
pertanggungjawaban atau merupakan suatu ajaran atau bimbingan agar
kita meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang kita
lakukan.
Pada tahun 1964, setelah peringatan ulang tahun sholawat
wahidiyah yang pertama, diadakan “Asrama Wahidiyah” di Kedunglo,
Kediri yang diikuti oleh para kyai dan tokoh agama dari berbagai daerah
seperti Kediri, Madiun, Tulungagung, Blitar, Malang, Jombang,
Mojokerto, dan Surabaya44. Kuiah-kuliah wahidiyah diberikan langsung oleh muallif sendiri. Dari “Asrama Wahidiyah” menghasilkan kalimat
nida‟ (seruan):
ِها َل ْوُسَر اَي ي ِدّيَس اَي
Kemudian kalimat nida‟ tersebut dimasukkan ke dalam lembaran
sholawat wahidiyah. Pada tahun 1965 diadakan Asrama Wahidiyah lagi
tepatnya yaitu pada tanggal 5-11 Oktober 1965 di Kedunglo, Kediri.
Kemudian lahirlah kalimat sholawat yakni45:
َا آَي
ها ُم َاَس ُثْوَغْلا اَه ي
¤
ِها ِنْذِاِب ِنّب َر َكْيَلَع
ْرُظْناَو
ِةَرْظَِب ي ِدّيَس ََِا
¤
ِِيِلَعْلا ِةَرْضَحْلّل ٍَِلِصْوُم
44
Tim perumus, Bahan Up Grading Da‟I Wahidiyah, 8.
45
41
Artinya:
“Duhai Ghoutsu zaman, ke pangkuanmu salam Allah ku haturkan,
bimbing, bimbing dan didiklah diriku dengan izin Allah, dan arahkan pancaran sinar nadharohmu kapadaku Ya Sayyidi, radiasi batin yang me-wushul-kan aku, sadar ke Hadirot Maha Luhur Tuhanku”.
Kalimat sholawat tersebut yang merupakan jembatan emas yang
menghubungkan tepi jurang pertahanan nafsu disatu sisi dan tepi adalah
kebahagiaan yang berupa kesadaran kepada Allah SWT. Dalam
kandungan kalimat tersebut disebut dengan istilah “istighotsah”. Kalimat
ini tidak langsung dimasukkan kedalam lembara