• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERALIHAN KEKUASAAN DARI SULTAN ALADDIN RIAYAT SHAH (1589-1604 M) KE SULTAN ALI RIAYAT SHAH (1604-1607 M) DALAM KERAJAAN ACEH DARUSSALAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERALIHAN KEKUASAAN DARI SULTAN ALADDIN RIAYAT SHAH (1589-1604 M) KE SULTAN ALI RIAYAT SHAH (1604-1607 M) DALAM KERAJAAN ACEH DARUSSALAM."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Dalam Program Sastra Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

Isnaini Nur Hamidah

NIM: A82212136

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Skripsi ini merupakan hasil penelitian literatur

yang berjudul “Peralihan

Kekuasaan Dri Sultan Alauddin Riayat Shah (1589-1604 M) Ke Sultan Ali Riayat

Shah (1604-1607 M) Dalam Kerajaan Aceh Darussalam”. Permasalahan yang akan

dibahas yaitu, (1) Bagaimana proses pergantian dan pengangkatan kesultanan Aceh

Darussalam hingga Sultan Ali Riayat Shah? (2) Bagaimana kondisi politik, ekonomi,

budaya dan agama pada akhir masa sultan Alauddin Riayat Shah? (3) Bagaimana

kepemerintahan Sultan Ali Riayat Shah di Kerajaan Aceh Darussalam?

Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode historis,

yaitu suatu langkah atau cara merekontruksi masa lampau secara sistematis dan

objektif. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis (sejarah) dan bersifat

kualitatif. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori kekuasaan menurut Thomas

Hobbes.

(7)

Skripsi it was a result of research literature called “Transition of power from the

Sultan Alauddin Riayat Shah (1589-1604 M) go to the Sultan Ali Riayat Shah

(1604-1607 M) in the kingdom of

Aceh Darussalam”. The problem that will be discussed,

with the topic, (1) How did the proses of the turn and removal sultanate of Aceh

Darussalam until Ali Riayat Shah? (2) How the political conditions, economy, culture

and religion at the end of the Sultan Alauddin Riayat Shah? (3) How administration

Sultan Ali Riayat Shah in the kingdom of Aceh Darussalam?

To answer the problems in the author of the historical, which is a step or how

reconstructed the past systematically and objectively. This study with the history and

qualitative. While the teory which using a authority theory according to Thomas

Hobbes.

(8)

HALAMAN JUDUL ...i

PERNYATAAN KEASLIAN...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ...iv

TRANSLITERASI ...v

MOTTO ...vi

PERSEMBAHAN...vii

KATA PENGANTAR...ix

ABSTRAK ...xi

DAFTAR ISI...xiii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian...6

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 6

F. Penelitian Terdahulu ...7

G. Metode Penelitian...9

H. Sistematika Pembahasan ...14

BAB II: KESULTANAN ACEH DARUSSALAM

A. Perpindahan Kekuasaan Kesultanan Kerajaan Aceh Darussalam ...16

B. Ketentuan Kerajaan Aceh Darussalam dalam Memerintah ...24

(9)

A. Kondisi Kesultanan Aceh Darussalam Saat Dipimpin Oleh Sultan

Ala ad-din Riayat Shah (997-1011 H/1589-1604 M) ... 32

B. Akhir Kekuasaan Sultan Ala Ad-din Riayat Shah Sampai Menjelang

Pemerintahan Sultan Ali Riayat Shah. ...40

BAB IV: SULTAN ALI RIAYAT SHAH (1604-1607)

A. Biografi Sultan Ali Riayat Shah... 49

B. Pemerintatahan

Ali Riayat Shah di Kerajaan Aceh Darussalam

(1604-1607 M) ...51

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ...61

(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun

400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni.

Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.1

1

(11)

Luas Aceh menurut Djawatan Topologi (1913), seluas 1066,2 G.M2atau 58708 Km2. Karena letak Aceh di Selat Malaka yang strategis dengan Teluk Persia dan Benggala maka, menjadi pengaruh terhadap kemajuan daerah dan penduduknya baik dalam perdangangan dan kebudayaan.2

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh di Indonesia, Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam. Menurut Lombard, dalam Hikayat Aceh mengisahkan munculnya kerajaan Aceh Darussalam sebagai hasil jenis pembauran pemukiman, yaitu raja-raja dari kedua pemukiman (Mahkota Alam dan Darul Kamal) yang bergabung dengan mengawinkan anak mereka.3Hikayat Aceh mencatat bahwa Musaffar Shah menjadi raja di Mahkota Alam dan Inayat Shah menjadi raja di Darul Kamal. Keduannya terus berperang, yang berakhir dengan kemenangan Musaffar Shah. Tindakan lanjut kemenangan itu, Sultan Musaffar Shah menyatukan negeri tersebut dalam satu Kesultanan. Hasil gabungan itulah yang kemudian menjadi Aceh Darussalam.4

Kerajaan Islam awal nusantara yang memainkan peranan penting dalam perkembangan agama dan kebudayaan Islam di Asia Tenggara, terletak di daerah yang kini disebut propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Samudra Pasai (1272-1450 M) , Aceh Darussalam (1516-1700 M) dan Malaka (1400-1511 M) di Semenanjung Malaya. Di Pasai untuk pertama kali diperkenalkan penggunaan huruf Arab Melayu yang disebut huruf Jawi sesuai dengan sebutan lain bahasa

2

Ibid., 27.

3

Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 46-47.

4

(12)

Melayu yaitu bahasa Jawi. Kitab keagamaan dan sastra Islam mulai ditulis dalam bahasa Melayu Pasai, yaitu bahasa Melayu yang telah mengalami proses islamisasi dan karenanya sangat berbeda dari bahasa Melayu Sriwijaya yang telah digunakan sejak abad ke-7 M. Akan tetapi akibat serbuan Majapahit pada paruh terakhir abad ke-14 M dan munculnya Malaka pada awal abad ke-15M sebagai pusat perdagangan internasional baru di Selat Malaka, Pasai mengalami kemunduran hingga kemudian terpecah belah ke dalam kerajaan-kerajaan kecil yang lemah pada akhir abad ke-15M.

Selanjutnya pada tahun 1511 M Malaka direbut oleh Potugis, dan setelah itu muncullah kesultanan Aceh Darussalam yang menggantikan peran Pasai maupun Malaka, sebagai pusat perdagangan internasional dan kegiatan intelektual agama.

Menurut Bustanussalatin karya Nuruddin Ar-Raniri sultan pertama yang mendiami Aceh dengan sebutan Kerajaan Aceh Darussalam ialah Sultan Ali Mughayat Shah atau Raja Ibrahim yang kurang lebih memerintah pada tahun 1514-1528 M. Awal terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam dalam buku Amirul

Hadi Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi adalah gabungan dari kerajaan lamuri

dengan Kerajaan Aceh. Saat itu raja Lamuri menikahkan Ali Mughayat Shah dengan puteri dari Raja Aceh, sehingga mpenggabungan kedua kerajaan tersebut di beri nama kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh sultan pertama yaitu Sultan Ali Mughayat Shah.5

5

(13)

Disebutkan dalam buku Dedi Supriyadi bahwa Sultan Ali Mughayat Shah sudah meletakkan Islam sebagai asas negara, dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam.6

Dalam judul skripsi“Kesultanan Aceh Darussalam Pada Akhir Kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Shah Sampai Pada Sultan Ali Riayat Shah (1603-1607 M)”, penulis akan membahas peran bagaimana Sultan Riayat Shah hingga menjadi Sultan dari kerajaan Aceh Darussalam.

Penulis akan menjelaskan tentang kronologis bagaimana Sultan Riayat Shah menjatuhkan ayahnya, memerangi adiknya dan memusuhi keponakannya sehingga dapat menjadi Sultan kerajaan Aceh Darussalam, walau dikatakan kepemerintahannya hanya sebentar. Selanjutnya penelitian ini akan mengulas tentang kondisi Sultan sebelum Sultan Riayat Shah berkuasa dan setelah Sultan Riayat Shah mangkat dari jabatannya.

Jika dikatakan bahwa setelah Sultan Iskandar Tani kerajaan Aceh Darussalam mengalami kemunduran, itu bukan hanya satu kali terjadi melainkan siklus kemuduran kerajaan Aceh Darussalam pernah ternjadi dalam beberapa Sultan yang pernah menjabat sebelum atau sesudah Sultan Iskandar Tani. Beberapa ahli mengatakan seperti Ibnu Kaldun, bahwa suatu kerajaan mempunyai siklus yaitu masa perebutan kekuasaan, masa kejayaan lalu masa kehancuran. Bisa dikatakan Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai siklus yang naik turun dari biasanya, satu kesultanan mempunyai masa keemasan dilain halnya satu kesultanan lagi mengalami kemuduran. Seperti ketika perebutan kekuasaan yang

6

(14)

dilakukan Sultan Riayat Shah kemudian mengalami kejayaan yaitu mendapatkan kekuasaan lalu mengalami kemunduran ketika kekuasaannya terancam.

Fokus pembahasan dari skripsi ini, peneliti mengumpulkan dari berbagai buku yang terkait dengan Kesultanan Kerajaan Aceh Darussalam. Belum ada buku yang memfokuskan penjelasan Sultan Ali Riayat Shah, oleh karena itu pentingnya masalah ini untuk di teliti.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Rumusan masalah dilakukan agar permasalahan tetap berada pada lingkup yang sesuai serta terarah. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pergantian dan pengangkatan Kesultanan Aceh Darussalam hingga Sultan Ali Riayat Shah?

2. Bagaimana kondisi politik, ekonomi, budaya dan agama pada akhir masa sultan Alauddin Riayat Shah?

3. Bagaimana kepemerintahan Sultan Ali Riayat Shah di Kerajaan Aceh Darussalam?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah yang penulis paparkan di atas, penulis memiliki sebuah tujuan dari hasil penelitian. Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui siapakah Sultan Ali Riayat Shah

(15)

3. Untuk mengetahui pengangkatan dan akhir kekuasaan Alauddin Riayat Shah sampai pergantian penguasa kerajaan Aceh Darussalam yang baru.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan diatas penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman yang lebih mendalam, maka penelitian ini dapat memberikan arti guna pada kazanah keilmuan.

Adapun hal-hal yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat: 1. Berguna sebagai catatan sejarah, terutama di perpustakaan Fakultas Adab 2. Berguna bagi umat islam khususnya bagi penulis guna mengetahui informasi

ilmiah mengenai kerajaan Aceh Darussalam

3. Untuk menambah literatur atau bahan pustaka khususnya di perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya

4. Untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar S1 di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan historis yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang terjadi di masa lampau,7melalui pendekatan historis ini diharapkan bisa menguak bagaimana proses Sultan Riayat Shah dalam merebutkan kedudukan sebagai sultan di Kerajaan Aceh Darussalam. Selain menggunakan pendekatan historis, penulis juga menggunakan penedekatan politik. Pendekatakn politik merupakan tulang punggung sejarah, hal itu dikarenakan kegiatannya berhubungan dengan masalah pemerintahan dan

7

(16)

kenagaraan.8Pendekatan ini digunakan karena penelitian ini membahas kepemerintahan sultan pada akhir kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Shah dan pada masa Sultan Ali Riayat Shah.

Teori yang digunakan adalah teori kekuasaan. Kekuasaan menurut Thomas Hobbes yaitu pada dasarnya manusia itu mementingkan diri sendiri dan bersifat rasional. Oleh karena itu, secara alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesamannya. Sifat mementingkan diri sendiri tampak dalam persaingan memperebutkan untuk memperolehan kekayaan, ketidak beranian demi keselamatan dan kemuliaan dan demi reputasi.9 Sultan Ali Riayat Shah adalah tokoh yang mempunyai keegoisan untuk memenangkan suatu kedudukan untuk menjadi raja di Kerajaan Aceh Darussalam, tetapi dapat disimpulkan dalam beberapa buku yang menjadi referensi bahwa sultan pada saat itu bersiteru untuk memenangkan jabatan sebagai Sultan yang berkuasa. Hal ini, sama dengan keadaan saat Sultan Ali Riayat Shah menginginkan jabatan sebagai sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan memenjarakan ayahnya sendiri yaitu Sultan Alauddin Riayat Shah. Pada tahun 1588 M ketika ayahnya yaitu Sultan Alauddin Riayat Shah menjabat sebagai sultan ketika itu juga menggunakan cara untuk menjadikan dia sebagai raja dengan menggait beberapa orang yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk menjadi seorang sultan yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam.

8

Kuntowijoyo,Metodelogi Sejarah(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 174-176.

9

(17)

F. Penelitian Terdahulu

Pembahasan mengenai masalah tentang “Kesultanan Aceh Darussalam Pada Akhir Kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Shah Sampai Pada Sultan Ali Riayat Shah Tahun 1604-1607 M.” belum banyak dilakukan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh para penulis sampai saat ini sebagai berikut:

1. Skripsi oleh Musonifah berjudul “Aceh Darussalam Masa Pemerintahan

Sultan Iskandar Muda”, sebuah skripsi Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel

Surabaya: 1993. Pembahasannya meliputi sejarah berdirinya Kesultanan Aceh, kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda serta sebagai dampak pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kesultanan Aceh dalam berbagai bidang politik, ekonomi, militer dan budaya.

2. Skripsi oleh Lailatul Izzah berjudul “Sejarah Pengangkatan Sultanah Safiyyatuddin Shah Di Kesultanan Aceh Darussalam Tahun 1641 M”, sebuah skripsi Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya: 2015. Pembahasannya meliputi polemik kepemimpinan perempuan pertama di Kerajaan Aceh Darussalam.

(18)

4. Dalam buku Dien Madjid yaitu “Catatan Pinggiran Sejarah Aceh:

Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat”, dalam buku ini

menjelaskan hikayat Kerajaan Aceh yang pada bab ketiga yaitu berdirinya Aceh Darussalam serta membahas kronologis urutan kesultanan Aceh.

5. Dalam buku Denys Lombard yaitu “Kerajaan Aceh” yang diterjemahkan oleh Winarsih Arifin. Dalam buku ini, sedikit banyak sudah membahas karya-karya intelektual pada abad ke 16, salah satunya yaitu Tajussalatin. Sejarah Aceh, asal mula Aceh, dan beberapa politik-politik yang dilakukakan oleh Sultan kerajaan Aceh Darussalam.

6. Dalam buku Mohammad Said yaitu “Aceh Sepanjang Abad jilid 1”, struktur purbakala dalam wilayah Aceh hingga terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam dijelaskan dalam buku ini, salah satunya yaitu menjelaskan bagaimana Sultan Ali Riayat Shah mengalami pertengkaran untuk merebutkan kekuasaan.

7. Dalam buku Raden Hoesein Djajadiningrat yaitu “Kesultanan Aceh” yang sudah diterjemahkan oleh Teuku Hamid, didalam buku ini banyak membahas bagaimana dari sultan diangkat menjadi sultan yang mnemerintah Kerjaan Aceh Darussalam hingga pergantian sultan itu turun tahtah.

8. Dalam buku Zainuddin yaitu “Tarich Atjeh”, didalam buku ini banyak membahas keturunan-keturunan dari raja kesultanan Aceh Darusslam. Serta membahas sejarah kerajaan-kerajaan yang berada di Aceh.

(19)

tersebut tidak memiliki ruang yang signifikan dalam membahas peran kesultanan Sultan Ali Riayat Shah dalam perebutan kekuasaan yang tidak mengikuti anjuran dari kitabTajussalatin.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini memegang peranan penting dalam mencapai tujuan dalam suatu penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah dengan metode yang di lakukan adalah metode sejarah yaitu meliputi tentang analisis, gagasan pada masa lampau untuk merumuskan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan dan kebenaran sejarah.10

Metode dalam penelitian sejarah akan membahas tentang penelitian sumber, kritik sumber, sintesis sampai kepada penyajian hasil penelitian. Semua kegiatan atau proses ini harus mengikuti metode dan aturan yang benar. Dengan demikian motode sejarah adalah seperangkat aturan atau prinsip-prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, penilaian secara kritis dan menyajikan sintesa dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan. Adapun langkah-langkah praktis yang harus dilalui oleh peneli yaitu, Heuristik, Kritik sumber, Intrepretasi atau penafsiran, Historiografi.11 Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh adalah sebagai berikut:

Langkah pertama dalam melakukan penelitian sejarah adalah pemilihan topik terlebih dahulu. Pemilihan topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual.12 Penulis memilih kedekatan emosional

10

Kuntowijoyo,Metodologi Sejarah(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 36.

11

Lilik Zulaicha, Laporan Penelitian Metodelogi Sejarah 1(Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), 16-17.

12

(20)

karena buku yang banyak di baca oleh penulis adalah buku mengenai kerajaan dan kesultanan Aceh.

Dalam hal ini, penulis tertarik untuk membahas mengenai peran salah satu sultan yang memerintan kerajaan Aceh Darussalam yaitu Sultan Riayat Shah. Seperti yang banyak didengar bahwa nama Ali Riayat Shah begitu banyak dalam pemerintahan Aceh Darussalam, tetapi yang saya bahas adalah Sultan Ali Riayat Shah yang bergelar Sultan Moeda yang memerintah sebelum Sultan Iskandar muda.

1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik berasal dari bahasa Yunani, yaitu Heuriskein yang berarti memperoleh atau menemukan.13Pengumpulan data sebagai sumber. Pengumpulan sumber disini adalah pengumpulkan sumber yang sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Data penulisan ini diperoleh melalui sumber primer, yakni mengambil data dari berbagai sumber yang ada hubungannya dengan Sultan Ali Riayat Shah.

Adapun sumber primer yang penulis dapatkan berdasarkan dalam bentuk tertulis adalah:

a. Berupa salinan manuskrip Tajussalatin yang didapatkan di Museum Sonobudoyo Jogjakarta. Penulis tidak dapat memfotocopy satu manuskripfull tetapi hanya dapat memfotocopy 8 halaman dari manuskrip asliTajussalatin.

Adapun sumber primer yang penulis dapatkan berdasarkan dalam bentuk peninggalan adalah:

13

(21)

a. Berupa foto Mata Uang Kerjaan Aceh ditemukan di Jakarta pada tahun 1984 M, yaitu disimpan di Museum Mpu Tantular Sidoarjo.

b. Berupa keterangan makam Sultan Ali Riayat Shah yang berada di komplek makam Kandang XII. Penulis mendapatkannya melalui sosial media facebook yaitu grup MAPESA (masyarakat peduli sejarah Aceh). Foto makam tidak dapat didapatkan karena tegusur oleh tsunami pada tahun 2004. c. Berupa foto scan Struktur atau keturunan Sultan, penulis memperolehnya

dari buku Husein Djajadiningrat.

d. Berupa foto scan bagan atau peta dari bangunan lokasi kesultanan Aceh Darussalam. Penulis memperoleh dari foto scan buku Panggung Sejarah. Didalam buku tersebut ditulis keterangan foto tersebut diambil dari naskah Dom Joao Ribeiro Gaio.

e. Berupa foto scan benteng-benteng Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1600 M. Penulis memperolehnya dari buku Panggung Sejarah. Didalam buku tersebut ditulis keterangan sumber foto tersebut diambil dari Manuel Godinho de Eradia peta Achem (perpustakaan Nasional Rio de Janeiro).

Adapun sumber sekunder yang penulis dapatkan berdasarkan dalam bentuk tertulis adalah:

(22)

b. Berupa buku Tarich Aceh yang di karang oleh Zainuddin yang diterbitkan pada tahun 1961, buku tersebut masih menggunakan ejaan lama. Penulis mendapatkannya daridownloaddi internet yaitu berupa buku berformat PDF. c. Berupa buku Raden Hoesein Djajadiningrat yaitu “Kesultanan Aceh” yang

diterbitkan pada tahun 1982-1983, buku tersebut di alih bahasakan oleh Teuku Hamid. Penulis memperoleh buku tersebut dari Museum Mpu Tantular Sidoarjo.

2. Verifikasi

Verifikasi (kritik sejarah/ keabsahan sumber), yaitu untuk membuktikan apakah sumber-sumber tersebut memang yang dibutuhkan atau tidak. Dalam hal ini penelitian melakukan kritik terhadap sumber. Supaya dapat menilai bagaimana sumber tersebut betul-betul sesuai yang diperlukan, karena tidak semua sumber yang penulis dapatkan tersebut sesuai dengan kebutuhan penulis untuk menyusun skripsi.

3. Interpretasi

Intrepetasi atau penafsiran sejarah. Analisis sering kali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sejarah berarti menguraikan data-data sejarah setelah datanya terkumpul kemudian dibandingkan kemudian dikumpulkan untuk ditafsirkan.14

14

(23)

4. Penulisan (Historiografi)

Akhir dari metode sejarah adalah historiografi. Historiografi cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang dilakukan. Tahap ini dilakukan penyusunan fakta-fakta sejarah, setelah melakukan pencarian sumber, penelaian sumber, panafsiran yang kemudian dituangkan menjadi suatu kisah sejarah yang dalam bentuk tulisan.

Layaknya laporan-laporan penelitian ilmiah, penulis mencoba menuangkan penelitian sejarah kedalam suatu karya skripsi yang berjudul “Peralihan Kekuasaan Dari Sultan Alauddin Riayat Shah (1589-1604) ke Sultan Ali Riayat Shah (1603-1607 M) Dalam Kerajaan Aceh Darussalam”.

H. Sistematika Bahasan

Dalam penulisan proposal ini, penulis akan memberikan suatu sistematika pembahasan yang tediri dari lima bab. Sistematika pembahasan ini merupakan suatu kesatuan yang utuh, sehingga dapat memudahkan bagi penulis sendiri dalam melakukan penulisan skripsi dan memberikan kemudahan bagi pembaca untuk lebih paham dalam proposal ini. Kelima bab sistematika pembahasan tersebut antara lain:

Bab I: Merupakan pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penlitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

(24)

memimpin hingga sultan Ali Riayat Shah memimpin serta struktur kepemimpinan yang berada di Kerajaan Aceh Darussalam, seperti perdana menteri dan lembaga-lembaga yang membantu Sultan pada waktu itu.

Bab III: Berisikan tentang Akhir Kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Shah. Menjelaskan bagaimana kondisi masyarakat Kerajaan Aceh Darussalam pada saat di pimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Shah serta menjelaskan bagaimana runtuhnya kekuasaan yang dipegang oleh Sultan Alauddin Riayat Shah.

Bab IV: Kepemimpinan Sultan Ali Riayat Shah Menerangkan biografi Sultan Ali Riayat Shah serta kepemerintahan Sultan Ali Riayat Shah ketika menjabat di Aceh.

(25)

KESULTANAN ACEH DARUSSALAM

A. Perpindahan Kekuasaan Kesultanan Kerajaan Aceh Darussalam

Wilayah paling Barat di kepulauan Nusantara adalah daerah yang pertama kali menerima ajaran agama Islam, salah satunya yaitu Aceh. Sebelum menjadi Kesultanan Aceh, sebelumnya yaitu Kesultanan Perlak yang pertama di Nusantara. Kesultanan Perlak adalah Kesultanan pertama di Nusantara yang berkuasa pada tahun 840-1292 M, di sekitar wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah tersebut masuk dalam wilayah Aceh Timur, provinsi Nangroe Aceh Darussalam.1

Banda Aceh merupakan ibukota Kesultanan Aceh Darussalam, sekitar abad ke- 14. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).2

Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh tidak lepas dari Kerajaan Islam Lamuri. Akhir abad ke 15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana

1

Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradapan Islam: Prefektif Historis (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), 253.

2

(26)

Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam. Lokasi istana Meukuta Alam berada di wilayah Banda Aceh.

Kerajaan Darussalam awalnya bernama Kerajaan Indra Purba yang berada di Aceh, beribu kota di Lamuri. Ketika tahun 450-460 H (1059-1069 M) tentara Cina yang telah menduduki Kerjaan Indra Jaya yang sekarang disebut dengan daerah Leupung, saat itu tentara Cina menyerang Kerajaan Indra Purba yang pada masa itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti.

Saat peperangan Kerajaan Islam Peureulak mengirim 300 orang di bawah kepemimpinan Syekh Abdullah Kan’an yang bergelar “Syiah Hudan” keturunan

Arab dari Kan’an. Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang bernama

Meurah Johan putra dari Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yaitu Raja dari Negeri Lingga.3

Ketika tentara Cina dikalahkan, maka seluruh rakyat dan Kerajaan Indra Pura membalas jasa dengan Maharaja Indra Sakti untuk masuk islam kemudian mengawinkan anaknya yang bernama Putri Blieng Indra Kesumawati dengan

Meurah Johan.

Setelah Raja Maharaja Indra Sakti meninggal dunia, maka diangkatlah menantunya yaitu Meurah Johan menjadi Raja yang bergelar Sultan Alaiddin Johan Shah. Kemudian Kerajaan Indra Purba dijadikan Kerajaan Islam dengan nama Kerajaan Darussalam yang beribu kota di Tei sungai Kuala Naga (Krueng Aceh) dan dinamai Bandar Darussalam.

3

(27)

Dalam buku Hasjmy Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, bahwa Sultan Aliddin Ali Mughayat Shah adalah sultan ke 11 yang menjabat pada tahun 916-936 H (1511-1530 M). Beliau adalah sultan Kerajaan Islam Aceh terakhir dan membangun Kerajaan Aceh Darussalam yang meliputi seluruh kerajaan kecil-kecil, sejak dari Aru hingga ke Jaya. Jadi, pemimpin pertama kerajaan Aceh Darussalam mempunyai tahapan kedua yaitu pertama ketika bernama kerajaan Darussalam yaitu dipimpin oleh Sultan Johan Shah kemudian, ketika sudah menjadi kerajaan yang bernama Kerajaan Aceh Darussalam sultan pertama yang memimpin adalah Sultan Ali Mughayat Shah. Saat itu sudah dijadikan satu kerajaa-kerajaan kecil yang ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam.

Penguasa pertama dalam Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Shah. Pada awalnya, wilayah Kesultanan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh Syamsu Shah, ayah dari Sultan Ali Mughayat Shah. Ketika orang-orang Portugis mulai datang ke Malaka, status politik Aceh masih merupakan suatu Kesultanan takluk dari Kesultanan yang di Sumatera Utara yaitu Pedir, akan tetapi Aceh kemudian melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Pedir berkat seorang tokoh yang kuat menjadi penguasa Aceh pada saat itu yaitu Sultan Ali Mughayat Shah.4

Setelah meninggalnya Sultan Ali Mughayat Shah, digantikan oleh anaknya yaitu Sultan Salah ad-Din pada tahun 1528-1537 M. Dari buku Kesultanan Aceh pengarang Hoesein Djajadiningrat menjelaskan bahwa Sultan Ali Mughayat Shah

4

(28)

mempunyai anak dua yaitu Sultan ad-Din dan Sultan Alauddin atau biasa disebut dengan Sultan Kahhar. Sultan Riayat Shah atau disebut dengan Sultan Moeda adalah sultan yang ke-11.5 Dari beberapa nama sultan di kerajaan Aceh mempunyai kesamaan tetapi dalam kesamaan tersebut terdapat nama gelar yang membedakan nama sultan tersebut.

Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kesultanan-kesultanan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir Timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Potugis. Ali Mughayat Shah dikenal sangat anti kepada Potugis, oleh karena itu untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ditaklukkannya dan dimasukkan ke dalam wilayah Kesultanannya.6 Sejak saat itu Kesultanan Aceh menjadi Kesultanan yang lebih besar dan lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari panaklukkan Kesultanan-kesultanan kecil yang berada di wilayah Aceh.7

Kemajuan Aceh pada saat itu sangat terpengaruh oleh kemunduran Kesultanan Malaka yang jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis maka daerah-daerah pengaruhnya yang terdapat di Sumatera mulai melepaskan diri dari Malaka. Ketika Malaka mulai mundur memberi kesempatan pada Aceh untuk berkembang.8

5

Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh. Terj. Teuku Hamid (Aceh: Departemen Pendidikan dan Budayaan Proyek Pengembangan Pemuseuman, 1982/1983), 81-85.

6

Hajmy,Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia, 16-17.

7

Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1(Medan: Waspada, 1981), 145.

8

(29)

Setelah sultan Ali Mughayat Shah wafat yaitu pada tahun 12 Dzulhijjah (7 Agustus 1530 M), Kerajaan Islam Aceh Darussalam dipimpin oleh sultan Salahuddin pada tahun 1530-1539 M. Dalam catatan sejarah, setelah mengalami berbagai kemajuan dalam militer pada saat Sultan Ali Mughayat Shah memimpin pemerintahan salah satunya melawan kebijakan yang Portugis buat, karena pada kekuasaan beliau tidak ingin Portugis menguasai kerajaan Aceh Darussalam. Setelah meninggal, pada masa pemerintahan Sultan Ala ad-Din Riayat Shah anak dari Sultan Ali Mughayat Shah serangan untuk melawan Malaka, pertama mengalami kegagalan dengan 3000 tentara, serangan kedua dengan kekuatan 60 kapan dan 5000 personil militer berhasil mendaraat di Malaka dan menduduki Upeh, membakar kapal-kapal Portugis. Meskipun serangan dari Kerajaan Aceh Darussalam pada waktu itu tidak memancing orang Portugsi keluar dari bentengnya. Disebutkan dalam buku Amirul Hadi dalam judul Aceh, Sejarah

Budaya dan Tradisi bahwa Portugis tetap memenangkan penyerangan karena

mendapat bantuan dari Johor, Perak dan Pahang yang pada saat itu memusuhi Aceh, karena Portugis membantu mengentikan blokade yang dilakukan oleh Aceh.9

Setelah Sultan Alauddin Riayat Shah wafat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Ali Riayat Shah atau Hosein pada tahun 1568-1575 M.10Pada masa pemerintahnya Sultan Husen, penyerangan terhadap Malaka terus berlanjut. Pada bulan Oktober 1573 M, didukung oleh 7000 personel dan 90 kapal, pasukan Aceh kembali membombardir Malaka dan membakar suburban 9

Amirul Hadi, Aceh Sejarah Budaya dan Tradisi(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010), 421-42.

10

(30)

bagian Selatan. Disebutkan dalam buku Hoesein Djajadiningrat bahwa sultan Husen atau Sultan Husain Ali Riayat Shah III pada tahun 1573 M dan Tahun 1575 M sia-sia menyerang Malaka.

Kemudian sultan yang menggantikan sultan Husen yaitu Sultan Moeda anak dari Sultan Husein. Sultan Moeda ini berumur 4 bulan, 7 tahun kemudian ia meninggal setelah menjabat sebagai sultan. Tetapi dalam buku Hasjmy yang berjudul Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia menyebutkan bahwa sultan ke lima dalam kerajaan Aceh Darussalam berusia Tujuh bulan dan hanya menjabat 28 hari karena meninggal.11Tetapi dalam buku Akhwan Mukkarom yang berjudul

Sejarah Islam Indonesia I, mengutip pada Harun Tucer dalam Osmanlinin

Gelgesyide Biz Uzakdogu Deobet Ace (Camlica: 2010) halaman 99 mengatakan

bahwa sultan ini tidak di cantumkan pada struktur sultan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam.12 Disebutkan bahwa, sutan Ali Riayat Shah berada pada nomer ke 10 kesultanan. Dikarenakan yang hanya menjadi sultan bayangan karena hanya memerintah selama beberapa bulan.

Kesultanan selanjutnya digantikan oleh Sultan Sri Alam yaitu anak dari Sultan Alauddin Riayat Shah al-kahhar. Disebutkan bahwa sultan ini sangat kejam, beliau dibunuh setelah dua bulan memerintah dalam waktu yang singkat yaitu pada tahun 1576 M.13Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia

11

Ibid,. 83

12

Akhwan Mukarrom,Sejarah Islam Indonesia I Dari Awal Islamisasi Sampai Periode Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara(Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 130.

13

(31)

yang dikarang oleh Hasjmy silsilah raja-raja kerajaan Aceh Darussalam berbeda dengan silsilah Raja-raja Kerajaan Darussalam.

Kerajaan Aceh Darussalam selanjutnya di pimpin oleh sultan Zein al-abidin dikenal sangat kejam dalam buku Kesultanan Aceh karangan Hoesein Djajadiningrat. Ia juga disebut sebagai Sultan Mansur Shah, meninggal karena dibunuh pada tahun 1577 M.14Ketika Aceh menyerang Johor pada tahun 1582 M, kerajaan Aceh Darussalam sudah dipimpin oleh Sultan Alauddin dari Perak atau disebut juga dengan Sultan Mansur Sjah yaitu anak dari Sultan Ahmad.15Dalam buku karangan Hasjmy, mengatakan bahwa sultan Zein al-abidin memerintah pada tahun 1579-1580 M sedangkan pada waktu itu Aceh menyerang Johor pada tahun 1580 M tidak memungkinkan jika hanya beberapa bulan setelah turun tahta hingga digantikan oleh sultan Ala ad-din kerajaan Aceh Darusssalam sudah mampu untuk menyerang Johor. Karena sebelum tahun 1580 M Aceh mengalami krisis Dinasti dan pada waktu itu juga bangsa Portugis menghancurkan armada Aceh di depan Kedah.16

Ketika sultan Alaiddin Mansur Shah meninggal karena di bunuh oleh Ulubalangnya namannya yaitu Sri Pada.17 Sultan Ali Riayat Shah atau Raja Bujung, beliau naik tahtah pada tahun 1586 M. Pada tahun 1587 M percobaan Johor dan Aceh untuk bersekutu dan pada tahun yang sama Armada Dom Paulo de Lyma menangkap sebuah kapal Aceh dan membebaskan lintasan lewat

selat-14

Djajadiningrat,Kesultanan Aceh,81-85.

15

Denys Lombard., Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636)(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 260.

16

Ibid,. 261.

17

(32)

selat.18Pada 28 juni tahun 1589 M/ 977 H Sultan Bujung wafat, seketika itu tahun yang sama Sultan Alauddin Riayat Shah yaitu kakek dari Iskandar Muda menjabat untuk menggantikan Sultan Buyung. Pada tahun kekuasaan kakek dari Iskandar Muda ini terdapat banyak pengarang yang menerbitkan karya sastra Melayu diantaranya yaitu pada tahun 1601 M Syams ud-Din mengarang Mirat al-Muminin dan pada tahun 1603 M Mahkota Raja-raja dikarang oleh Bukhari Al-Johari. Beliau dikenal dengan nama Sajjid al-Moekammal.

Sultan Ali Riayat Shah atau sultan Moeda yang kemudian menggantikan ayahnya yaitu Sultan Alauddin Riayat Shah. Banyak sekali kejadian yang tidak bagus bagi kekuasaan sultan Ali Riayat Shah ini, salah satunya sebelum dua tahun genap menjabat sabagai penguasa di Aceh mengalami kelaparan pada tahum 1605 M. Ketika Johor dengan bangsa Belanda melakukan perjanjian persekutuan melawan Malaka pada tahun 1606 M, pada 29 juni bangsa Portugis menyerang Aceh yaitu dengan armada Martin Affonse. Wafatnya sultan Muda pada tahun 1607 M langsung digantikan oleh Iskandar Muda yaitu sepupu dari beliau.

Menurut Beaulieu, kekuasaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan bagian yang paling menguntungkan. Di sebelah Timur beliau menguasai Pedir, Pasai sampai Deli dan Aru, di sebelah barat meliputi Dya, Labu, Singkel, Barus, Bataham, Pasaman, Tiku, Priaman dan Padang. Serta negara-negara vassal di Semenanjung Melayu yaitu Johor, Kedah, Pahang dan Perak.19

18

Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda,258.

19

(33)

Sultan iskandar muda memerintah sekitar 29 tahun dan dijuluki dengan Marhorm Mahkota Alam. Selanjutnya digantikan oleh Sultan Iskandar Thani Ala ad-din Moeghayar Shah pada tahun 1636 M, lalu Sultan Ahmad, Sultan Tadj al-alam Safiat Alauddin Shah atau Putri Sri Alam, Sultan Noer al-al-alam Nakiat ad-din Sjah, Sultan Inayat Shah Zakiat ad-din atau Putri Radjah Setia pada tahun 1678 M- 1688 M, Sultan Kamalat Shah pada tahun 1688-1699 M, Sultan Badr al-alam Syafir Hasjim Djamal Alauddin pada tahun 1699M-1702 M, Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtoei ibn Syarif Ibrahim pada tahun 1702 M-1703 M, Sultan Djaman al-alam Badr al-Moenir pada tahun 1703 M- 1726 M. Sultan Djauhar al-al-alam Ama ad-din Shah yang meninggal 20 hari setelah penobatannya, Sultan Shams al-alam atau Wandi Tebing, Sultan Alauddin Ahmad Shah atau Maharaja Lela Melajo pada tahun 1727 M- 1735 M, Sultan Ala ad-din Johan Shah atau Poejoe Aoek pada tahun 1735 M- 1760 M, Sultan Mahmud Shah atau Tuanku Raja pada tahun 1760 M- 1781 M, Sultan Alauddin Muhammad Shah atau Tuanku Mohammad pad tahun 1781 M- 1795 M, Sultan Alauddin Jauhar al-alam Shah pada tahun 1795 M- 1824 M, Sultan Muhammad Shah atau Tuanku Darid juga dinamai dengan Sultan Boejang pad tahun 1824 M- 1836 M.

(34)

DalamTajussalatinpasal ke 17 mengatakan peri segala syarat kerajaan tak dapat tidak bagi segala raja-raja hendaklah memelihara segala syarat.20

1. Hendaklah raja menyamakan aturan hukum yang diberikan kepada rakyat dengan raja serta pengurus raja lainnya.

2. Seorang raja harus terbuka jika terdapat rakyat yang mengadu akan ketidak kedholiman, maka haja harus menghukum dnegan sedail-adilnya.

3. Raja harus mempunyai sikap adil dan beriman.

4. Ketika raja menghukum seorang rakyat maka harus menggunakan kata sopan dan lemah lembut, sehingga tidak menyakiti hati rakyat tersebut.

5. Raja dilarang keluar dari hukum syariat Allah, dan harus takut akan murka Allah.

6. Seorang raja harus bekerja dengan baik supaya mendapatkan pahala yang sebanding.

7. Dengan orang alim, raja harus saling mendengarkan dan bermusyawarah.

Kerajaan Aceh Darussalam menetapkan Rukun Kerajaan yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu:

a. Pedang keadilan. Jika tidak ada pedang, maka tidak ada kerajaan. b. Qalam, jika tidak ada kitab undang-undang maka tidak ada Kerajaan.

c. Ilmu, jika tidak mengetahui ilmu dunia-akhirat, tidak bias mengatur Kerajaan d. Kalam, jika tidak ada bahasam maka tidak bisa berdiri Kerajaan.

20

(35)

Untuk dapat melaksanakan ke empat rukun tersebut, maka dalam Kerajaan Aceh Darussalam memerlukan juga ilmu yang bisa memegang pedang, ilmu yang bisa menulis ilmu yang bisa mengetahui mengatur dan menyusun negeri serta ilmu bahasa.

Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai satu Negara hukum seperti yang tercantum dalam Qanun Meukuta Alam.21 “Bahwa Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah, dan rakyat bukan patung yang terdiri di tengah pedang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagu besar matanya lagi panjang sampai ke timur dan ke barat”. SebagaiNegara hukum maka semua pejabat dalam kerajaan sejak Sultan, para menteri dan pejabat lainnya diwajibkan tunduk kepada hukum yang berlaku. Demikianlah Qanun Meukuta Alam ditetapkan bahwa sultan Qadli Malikul Adil, para menteri, para panglima angkatan perang, para pejabat sipil (ulubalang), dan pejabat-pejabat lainnya diwajibkan tunduk ke bawah Qanun yaitu undang-undang hukum di negeri Aceh.

Segala hukum yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam didasarkan kepada ajaran Islam, yaitu segalanya tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam. Mengenai dengan sumber hukum, juga dalam Qanun Meukuta Alam disebut dengan jelas yaitu:

1. Al-Quran 2. Al- Hadis

21

(36)

3. Ijma’ Ulama Ahlussnnah Wal Jamaah 4. Qias

Adapun hukum yang bersumber kepada empat sumber di atas yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam, ada empat macam yaitu, hukum, adat, reusam dan qanun.

Yang dimaksud dengan hukum yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah-masalah keagamaan. Adat yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah kenegaraan dan dibuat oleh Sultan atau oleh penguasa dibawahnya. reusam yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah keprotokolan kemasyarakatan. Qanun yaitu perundang-undangan yang dibuat oleh Balai Majlis Mahkamah Rakyat (sekarang disebut dengan DPR).

Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam menganut asas permusyawaratan. Pada masa al-Qahhar, penduduk dibagi berdasarkansukeeatau kaom. Warga asli Batak merupakansukeeataukaom lhe reutoih(kaum tiga ratus), dan penduduk pendatang disebut kaom tok bate. Pembagian seperti itu

menunjukkan bahwa setiap kaum memiliki peranan penting.

(37)

Untuk menjadi Sultan Qanun menetapkan 21 syarat yaitu:22Islam, merdeka, seboleh-bolehnya laki-laki, akhir baligh, keturunan baik-baik, berani dan tiada khianat, adil mengerjakan hukum Allah dan Rasul, memelihara perintah agama Islam, membela rakyat dengan insaf, kasih sayang orang yang teraniaya, sanggup memelihara negeri, sanggup melengkapi laskar, sanggup menjaga para menteri, hulubalang, para perwira dan saudagar atau pengusaha agar jangan menyeleweng dari rel Qanun, sanggup mengumpulkan zakat fitra, sanggup memelihara harta baitul mal, sanggup menghukum segala orang yang bersalah atau melanggar hukum, sanggup menyelesaikan perkara-perkara silang-sengketa antara rakyat, harus sanggup menerima sanksi dalam perkara-perkara, sanggup memelihara anak laki-laki dan perempuan yang tiada walinya, sanggup membagikan harta ghaminah kepada yang mustahak, sanggup menyelidiki pekerjaan para menteri dan pejabat-pejabat lainnya.

Syarat menjadi menteri atau Wasir Qanun yaitu: mengetahui ilmu dunia dan ilmu akhirat, umurnya sudah cukup tua, bisa memegang amanah dan kepercayaan rakyat, tidak berkhianat dan dhalim, setia kepada rakat, tidak tamak kepada harta sehingga dapat menyengsarakan rakyat, tidak dengki, keras ingatan, jernih akal pikiran serta rajin mennulis tiap-tiap urusan kerajaan, budiman dan arif serta bijaksana, tidak mengikuti nafsu jahat dan menerima resekinya dengan keridhoan Allah di atas tanah yang diberikan oleh kerajaan masing-masing menurut kadarnya.23

22

Ibid., 107.

23

(38)

C. Struktur Kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam

Bentuk dan struktur Kerajaan, dalam Qanun Meukuta Alam dengan pasti ditetapkan bagaimana bentuk struktur kerajaan. Dengan ringkasan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Negara berbentuk kerajaan, dimana kepala negara bergelar Sultan yang diangkat turun menurun. Dalam keadaan dari turunan tertentu tidak ada yang memenuhi syarat-syarat, maka boleh diangkat dan yang bukan turunan raja. 2. Kerajaan bernama Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota negara Banda

Aceh Darussalam dan terdiri dari pemerintah pusat (Kerajaan), pemerintahan Daerah (Keulelbalangan dan Kemukiman) dan pemerintah Desa (kampung). Di daerah Aceh Besar ada tiga federasi yang terdiri dari beberapa buah pemerintahan daerah yang dinamakanSangoe.

3. Kepala negara bergelar Sultan Imam Adil sebagai orang pertama dalam kerajaan, dimana menjalankan tata usaha negara dibantu oleh sekretaris negara yang bergelar Rama Seutia Keureukon Katibul Muluk.

(39)

5. Untuk membantu Sultan dalam menjalankan pemerintahan, Qanun menetapkan beberapa pejabat tinggal yang bergetar Wazir (perdana menteri dan menteri-menteri).24

Qanun mengatur atau menetapkan adanya beberapa lembaga negara pada tingkat pemerintahan pusat yaitu:

1. Balai Rong Sari, yaitu Majelis Kerajaan yang beranggotakan menteri-menteri inti yang bergelar “Hulubalang Empat” dan “Ulama Tujuh”.

2. Balai Gading, yaitu Majelis Perdana Mnteri yang beranggotakan menteri-menteri kabinet yang bergelar “Hulubalang Delapan” dan Ulama Tujuh”.

3. Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yaitu semacam Dewan Perwakilan Rakyat yang beranggotakan 73 orang, masing-masing mewakili satu mukim dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

4. Balai Furdhah yaitu Departemen Perdagangan atau Perniagaan dalam dan luar negeri, di bawah pimpinan Wazir Urusan Perniagaan (Menteri Perdagangan). 5. Balai Laksamana yaitu kantor pusat balatentara laut dan darat, atau

Departemen Pertahanan di bawah pimpinan Laksamana Amirul Harb (Menteri Pertahanan).

6. Balai Majelis Mahkamah, yaitu kantor mahkamah tertinggi Departemen Kehakiman yang beranggotakan 10 orang ulama fiqh (Fuqaha Ahli Hukum) di bawah pimpinan Wazir Mizan (Menteri Kehakiman).

24

(40)

7. Balai Baitul Mal, yaitu kantor pusat perbendaharaan negara Departemen Kehakiman di bawah pimpinan Bendahara Raja Wazir Deham (Menteri Keuangan).

Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Sayid Abdullah Jamulul lail berdasarkan buku al-Qanun Tadzkirat Tsabitah as-Sultan Mahkota Alam, bahwa dalam kerajaan Aceh ada tiga balai permusyawaratan yaitu: Balairung Sari tempat perundinganmya Hulubalang empat dan ulama tujuh serta para menteri, balai gading, tempat perundingannya Hulubalang delapan, ulama tujuh dan para menteri, Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 173 orang wakil rakyat dan 73 wakil mukim berunding.25

Dalam penyelenggaraan pemerintahan eksekutif, Sultan dibantu oleh sebuah kebinet yang dipimpin oleh Mangkubumi (perdana menteri). Di samping kabinet, Sultan didampingi pula oleh sebuah dewan pertimbangan beranggotakan empat orang shaykh ka’bah yang diberi gelar mufti Shaykh al-Islam, semua keputusan

negara termuat dalam sarakata dengan dibubuhi stempel cap sikureung.26

25

Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-Jeram Peradapan Muslim(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 314-315.

26

(41)

AKHIR KEKUASAAN SULTAN ALAUDDIN RIAYAT SHAH (1589- 1604

M)

A. Kondisi Kesultanan Aceh Darussalam Saat Dipimpin Oleh Sultan Alauddin

Riayat Shah (997-1011 H/1589-1604 M)

Sultan Alauddin Riayat Shah Said Mukammal Ibnu Sultan Firman Shah yang bergelar Sultan Alauddin Riayat Shah IV adalah ayah dari Sultan Muda Ali Riayat Shah V (1011-1015 H/ 1604-1607 M). Beliau termasuk salah satu sultan yang lama dalam menjabat sebagai sultan di kerajan Aceh Darussalam. Menurut Beureuh, Sultan Alauddin Riayat Shah di angkat pada tahun 1589 M hingga tahun 1604 M.1

Dalam buku Hoesen Djajadiningrat dijelaskan bahwa sultan Alauddin Riayat Shah adalah sultan ke sepuluh dari Kesultanan Aceh Darussalam. Beliau menjabat selama kurang lebih 15 tahun, setelah masa Al-Mukammal Sultan Buyung memerintah pada tahun 1587 M- 1589 M. Sultan Buyung tersebut memiliki gelar Sultan Ali Riayat Shah. Hasjym mengatakan bahwa sultan yang bergelar Ali Riayat Shah ada tiga, yaitu Sultan Husein, Sultan Buyung dan Sultan Muda.2Dalam kesultanan kerajaan Aceh Darussalam ada beberapa raja yang diangkat akan tetapi bukan dari keturunan raja atau sultan terdahulu, salah satunya yaitu Sultan Buyung yang dikatakan dalam buku Muhammad Said yaitu yang

1

Hasjmy,Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 20.

2

(42)

berjudul Aceh Sepanjang Abad Jilid 1, bahwa Sultan Buyung putra dari Sultan Munawar Shah yaitu raja di Indra Pura.

Setelah meninggalnya Sultan Buyung karena di bunuh maka di angkatlah sultan Ala Ad-Din Riayat Shah Said Mukamal ibnu Sultan Firman Shah sebagai sultan selanjutnya di kerajaan Aceh Darussalam. Beliau adalah kakek dari Sultan Iskandar Muda.3 Bisa dikatakan bahwa pada saat itu Sultan Iskandar Muda usianya masih belia.

John Davis mencatat dalam perjalanan pertamanya ke Aceh (1599 M), dalam catatan tersebut ia menjelaskan bahwa sultan Aceh pada waktu itu adalah

“Alauddin” yang telah sangat tua. Pada mulanya ia adalah seorang pelayan dalam

beberapa peperangan di bawah pemerintahan sebelumnya. Kariernya sangat menonjol sehingga dia diangkat menjadi seorang laksamana dan dapat memperistrikan salah seorang keluarga dekat sultan. Sultan saat itu tiba-tiba meninggal dunia dan hanya meninggalkan cucu yang masih kecil usianya dan belum cukup umur jika menjadi penerus sultan selanjutnya. Laksamana kemudian merasa kasihan melihat anak kecil tersebut dan membawanya untuk dilindungi dari tindakan pembesar-pembesar negeri yang diantaranya banyak yang berusaha menyelapkannya. Tapi kemudian anak itupun disingkirkannya dan ia menobatkan dirinya sendiri sebagai raja Aceh.4

Seorang Perancis yang mengunjungi Aceh pada tahun 1602 M, membuat penjelasan yang hampir mirip dengan John Davis. Ia menjelaskan bahwa sultan

3

Lombard,Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).Terj. Winarsih Arifin, 263.

4

(43)

pada waktu itu sudah lama memegang pemerintahan dan umurnya sudah lanjut. Kutipan dari seorang nelayan karena keberaniannya, ia diangkat oleh sultan sebelumnya dan kemudian membunuh orang yang telah baik kepadanya untuk dapat memperoleh kekuasaan bagi dirinya sendiri.

Pendapat yang berbeda dari Beaulieu. Menurut Beaulieu Kenaikan tahta Sultan Alauddin Riayat Shah, karena disebabkan Sultan Alauddin Riayat Shah adalah orang yang bijaksana dan cerdas, beliau termasuk pada golongan keluarga yang mulia.5 Hoesen Djajadiningrat mengutip dari Boestan as-salatin bahwa Sultan Alauddin Riayat Shah sangat saleh dan adil.

Pengangkatan beliau berawal dari pertikaian kekuasaan pada tahun 1579 M, pada waktu itu beberapa orang kaya bermusyawarah dan menginginkan Sultan Alauddin Riayat Shah untuk menjadi Sultan menggantikan Sultan Buyung. Ketika itu sultan Alauddin Riayat Shah berumur 70 tahun keluarga beliau termasuk dalam daftar keluarga yang terpandang.

Pada situasi tersebut Sultan Ala Ad-din Riayat Shah memang tidak menginginkan menjabat sebagai sultan Aceh Darussalam. Beliau tidak ingin mengurusi urusan dunia saja, beliau menolak tetapi pihak orang kaya (kaum bangsawan) dan masyarakat mengancam jika tidak menyetujuinya dan akan membunuhnya. Jika menyetujui untuk menjadi sultan maka akan menuruti perintahnya dan sangat berterimakasih karena beliau dapat meredahkan situasi

5

(44)

pada saat itu.6 Setelah tiga kali bujukan maka Sultan Alauddin Riayat Shah menerima untuk memimpin, hanya saja beliau megatakan untuk menganggap dirinya sebagai ayah dan mereka adalah anak-anakanya, jika terdapat hukuman maka mereka harus menganggap itu sebuat hukuman dari seorang ayah untuk anak-anaknya.

Mengenai Pendapat Beaulieu ini diperkuat dengan beberapa persamaan yang terdapat pada kronik yang ditulis sesudah pemerintahan Mansur Shah. Didalam kronik tersebut dikatakan bahwa sesudah kemangkatan sultan sebelumnya tahun 1588 M para pembesar negara memutuskan untuk memilih sultan Alauddin anak sultan Firman Shah cucu sultan Inajat Shah dari Al-akmal musuh sultan Moethaffar Shah dari mahkota alam sebagai penggantinya.

Sultan yang baru dipilih itu pada mulanya merasa senggan dan berterimakasih untuk kehormatan tersebut, karena menurut penglihatannya ada orang lain yang lebih berhak yaitu Mansur Shah. Akan tetapi ia terlalu muda dan tidak pantas untuk itu, sehingga alasan itulah yang membuatnya menerima tawaran dari pembesar-pembesar negeri. Adapun kondisi-kondisi saat akhir kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Shah adalah sebagai berikut:

1. Politik

Dalam kondisi politik, Sultan Alauddin Riayat Shah ditandai dengan kenyamanan dalam memerintah, dibuktikan bahwa selama lebih dari lima belas tahun beliau menjabat tidak ada gejolak dari masyarakat untuk mengkudeta. Di

6

(45)

samping pemilihan sultan yaitu dengan cara musyawarah atau pengangkatan atas dasar keturunan tetapi masyarakat turut andil dalam pemilihan sultan yang akan menjabat. Salah satu bukti bahwa masyarakat ikut andil dalam pemerilihan suatu sultan yaitu dengan dirikannya lembaga yang mengurus tatacara masyarakat berkomunikasi dengan pihak kerajaan.

2. Ekonomi

Dalam ekonomi Kerajaan Aceh Darussalam sudah menggunakan koin emas yang dinamakan Dirham. Pelabuhan Aceh tidak langsung berhubungan dagang dengan Malaka. Meskipun demikian tidak diragukan kalau hasil-hasil produksi dari negeri-negeri tersebut seperti kamper dari Barus yang dibeli orang-orang Keling diperdagangkan di pasarana Malaka melalui pedagang-pedagang perantara.

Pedagang-pedagang dari kota-kota pelabuhan di Jawa seperti Banten, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik berhubungan dengan pasar Malaka. Tetapi sebaliknya dari Jawa, mereka mendatangi Bali, Maluku, Makasar, Banjarmasin dengan barang-barang hasil produksi daerahnya masing-masing. Dari pelabuhan Kelapa sejak zaman Pajajaran banyak diexport lada yang setiap tahunya 1000 bahar dan bahan makanan produksi pedalanam Sunda,diexportpula ke Malaka.7

Dari pasaran Pasai, Pedir dan Aceh, lada banyakdiexport dari Jambi dan Palembang juga diexport barang-barang hasil produksi seperti: beras, bawang,

7

(46)

daging, tuak, produksi hutan seperti rotan, madu, lilin, dan kemenyan, juga kapas dan sedikit emas, besi.

Pejabat yang mengurusi para Shah Bandar adalah tumengung yang berkuasa atas seluruh kota dan pelabuhan (Malaka). Dalam urusan dagang kedudukannya sangat penting karena ialah yang harus menerima bea masuk dan

beaexport dari barang yang diperdagangkan, dan ialah yang mengadili

perkara-perkara yang menyangkut orang-orang asing yang hampir semua terdiri dari orang pedagang. Sedangkan kapal-kapal kerajaan (armada kapal perang) beserta awaknya berada di bawah perintah laksamana. Pada waktu perang, peranan laksamana lebih menonjol ke depan.

Perdagangan Malaka meliputi daerah Sumatera, mengambil alih tranportasi perdagangan, hanya wilayah Kerajaan Aceh Darussalam yang pada saat itu sulit untuk dikuasai. Kerajaan Aceh Darussalam, mengalami kemajuan ditandai dengan beralihny abeberapa pedagang yang awalnya melewati selat Malaka berpindah melewati pelabuhan kepunyaaan Kerajaan Aceh Darussalam. Beberapa pedagang yang berpindah dikarenakan pajak atau upeti dalam pelabuhan di Malaka sangat mahal. Keinginan Malaka untuk menguasai Aceh sangat besar dan beberapa serangan sempat dilakukan oleh Malaka, keinginan untuk menguasai pelabukan Kerajaan Aceh Darussalam adalah salah satunya untuk menguasai seluruh jalur perdagangan yang berada di Sumatera.8

Hubungan perdagangan kerajaan Aceh Darussalam dengan beberapa bangsa seperti Cina, bangsa Jawa, Bangsa Siam, Bangsa India, Bangsa Turki,

8

(47)

Bangsa Peringgi atau Perancis, Bangsa Inggris. Ketika Sultan Alauddin Riayat Shah bertahta, begitu banyak kerjasama oleh beberapa orang barat, walau ketika itu Portugis, Belanda menjadi musuh yang menguasai Indonesia tetapi dengan digunakannya perjanjian-perjanjian yang mengatur untuk memajukan pelabuhan perdagangan laut hal itu disepakati oleh beliau.

Salah satu keuntuntungan dari kerjasama dengan beberapa bengsa yaitu dai pihak kerajaan yang ada di Aceh sangat menguntungkan terutama tentang sistem perdagangann yang modern ukuran waktu itu, dan alat-alat transportasi serta pembaharusn dibidang teknologi. Sedangan di pihak asing keuntungannya adalah dapat membawa hasil rempah-rempah atau hasil bumi ke negara asal mereka guna diolah untuk menjadi makanan dan obat-obatan.9

Masyarakat Aceh menggunakan pola ekonomi agraris tradisional, dalam hal sistem mawah (bagi hasil), faktor kejujuran dan kerajinan sangat menentukan untuk mendapat kepercayaan masyarakat, terutama para pemilik alat-alat produksi, seperti pemilik tanah, ternak dan uang.10

3. Budaya

Masyarakat Aceh sesungguhnya berasal dari percampuran tiga elemen suku bangsa yaitu Arab, Persia, dan Turki.11 Dalam buku Amirul Hadi yang berjudul Aceh Sejarah, Budaya dan Tradisi, disebutkan bahwa budaya yang dianut Aceh pada awal abad ke 16 M yaitu Budaya pluralistik yang diadopsi oleh negara-negara Islam seperti Arab Persia dan Turki. Kata Pluralistik yaitu yang

9

Rani Usman, Sejarah Peradapan Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 22.

10

Ibid, 71.

11

(48)

berarti kata banyak atau sifat dan kualitas. Dikatakan bahwa Aceh menggunakan budaya Pluralistik yaitu karena sikap toleransi dalam beragama dan berbudaya, walau mayoritas masyarakat Aceh sudah menjadi muslim tetapi dalam agama lain masyarakatnya sangat dewasa dalam menangani perbedaannya. Disebut dengan

“perjanjian niaga” antara inggris dengan Aceh pada tahun 1092M.

Dalam budaya masyarakat Aceh biasanya mepunyai kebudayaan seperti seni tari seperti tari Cut Meutia, seni satra yang bisa disebut juga dengan hikayat dan pantun-pantun yang menceritakan kisah tentang raja-raja atau jiwa pahlawan pada masa lampau, adat-adat ketika ada orang yang melahirkan atau orang yang mengamai musibah. Dari berbagai adat dan tradisi yang lakukan oleh masyarakat, hampir tidak satupun yang keluar dari unsur Islam.

4. Agama

Menurut boestan as-salatin sultan Alauddin sangat saleh dan adil, rakyatnya diperintahkan untuk hidup menurut ketentuan hukum Allah. Para ulubalang diperintahkannya untuk berpakaian seperti orang arab dihadapannya dan orang-orang alim sangat dikasihinya. Aceh dikunjungi oleh banyak ulama dimasa pemerintahannya.12

Dalam agama ketika Kerajaan Aceh Darussalam di pimpimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Shah, keadaan pada saat itu Islam sangat berpengaruh. Islam tidak hanya menjadi inspirator bagi pembangunan dan kemadjuan di Aceh dalam berbagai bidang, ia juga berperan sebagai motor utama dalam resistensi yang kuat terhadap Portugis di Malaka, pada paruh pertama abad ke-16, dan Belanda pada

12

(49)

akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Islam juga menjadi pilar utama dalam mewujudkan ukhuwwah islamiyyah dalam suatu kerajaan yang berada di Aceh.13 Sehingga keadaan Islam pada pemerintahan Sultan siapapun sebelum Sultan Alauddin Riayat Shah memimpin sudah memilik kedudukan yang sangat berpengaruh dalam segi struktur bangunan hingga strategi dalam perang.

B. Akhir Kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Shah Sampai Menjelang

Pemerintahan Sultan Ali Riayat Shah.

Pada tanggal 21 Juni 1599 M dua kapal bangsa Belanda di bawah pimpinan Cornelis De Houtman untuk pertama kali tiba di pelabuhan ibukota kerajaan Aceh.14 Pada mulanya kedatangan mereka ini mendapat sambutan baik dari sultan Alauddin Riayat Shah karena dengan adanya pedagang-pedagang Belanda di Aceh, pasaran hasil-hasil bumi di Aceh khususnya lada menjadi bertambah ramai.

Pedagang-pedagang Belanda oleh sultan Alauddin Riayat Shah diberi kesempatan untuk membeli sejumlah lada.15 Para pedagang dari Portugis yang sudah berada di Aceh sebelumnya merasa tidak senang melihat para pedagang Belanda yang ikut berdagang di sana. Mereka yang dekat dengan istana Aceh mengadakan hasutan kepada sultan Alauddin Riayat Shah. Akibatnya pedagang-pedagang Belanda yang berada dikapalnya mendapatkan serangan tiba-tiba dari tentara kerajaan Aceh.

13

Amirul Hadi,Sejarah, Budaya dan Tradisi, 278-279.

14

lombard, Kerajaan Aceh, 254.

15

(50)

Cornelis De Houtman yang memimpin mereka, mati terbunuh atas penyerangan itu dan saudaranya yakni Federick De Houtman dapat ditawan oleh tentara Aceh, ia berada dalam penjara kurang lebih selama dua tahun.

Pelabuhan-pelabuhan di kerajaan Aceh ramai didatangi oleh Pedagang dari luar, antara lain dari Cina, Benggala, Pegu, Jawa, Gujarat, Arab dan dari Rumos. Pedagang-pedagang ini merupakan pedagang keliling. Mereka berdagang dari pelabuhan ke pelabuhan lainnya di Asia Tenggara, dengan membawa barang-barang dagangan dari daerahnya atau mereka ambil dari daerah lain dan kemudian memperdagangkannya ke pelabuhan-pelabuhan lain pula. Pada saat rombongan pedagang dari Inggris di bawah pimpinan James Lancaster tiba di pelabuhan Aceh untuk pertama kali, mereka menjumpai 16 sampai 18 buah kapal dari bermacam-macam negeri yang berada di sana.

Beberapa dari Benggala, yang lainnya dari Kalikut, Malabar, Gujarat, Pegu dan Patani. Semua kegiatan kerajaan Aceh dipusatkan di ibukota kerajaan, sehingga kota Bandar Aceh Dar as Salam menjadi ramai melebihi semua kota pelabuhan lainnya di pantai bagian timur dan barat pulau Sumatera. Di bagian timur pantai Sumatera terdapat pelabuhan-pelabuhan Pedir, Pase dan Aru (Deli).

(51)

Kerajaan-kerajaan yang di takluk ini memberi upeti kepada Sultan Aceh. Pada kota-kota pelabuhan, lada milik kerajaan dijual oleh Sultan Aceh atau oleh para pejabatnya, seperti orang kaya dan Shah bandar. Selain itu juga ada lada yang diperdagangkan oleh pedagang pedagang asing seperti pedagang dari Gujarat, Arab dan Cina. Rakyat biasa ada juga yang ikut ambil bagian dalam perdagangan lada ini, tetapi lada-lada yang mereka perdagangkan adalah kepunyaan majikan mereka.

Kerajaan Aceh, ketika datangnya pedagang-pedagang Belanda dan Inggris, diperintah oleh seorang Sultan dengan bantuan 5 orang pembesar yang terkemuka, yaitu Bendahara dan empat orang Sjah bandar. Bendahara ini berfungsi sebagai penulis atau sekretaris kerajaan. John Davis dalam laporan perjalannya menyetnitkan Bendahara ini sebagai "penulis rahasia" dari kerajaan Aceh. Para Shah bandar di kerajaan Aceh berfungsi sebagai pembantu Sultan dalam mengurusi dan mengepalai perdagangan di kota-kota pelabuhan. Sultan merupakan penguasa mutlak dan sebagai majikan atas barang-barang milik bawahan-bawahannya.

(52)

Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal perang. Tiap kapal dapat memuat 400-500 orang penumpang. Salah seorang yang memimpin armada laut adalah laksamananya adalah seorang wanita.16Sultan Aceh juga mempunyai banyak meriam besar yang dibuat dari baja dan sepasukan angkatan laut yang terdiri dari barisan-barisan gajah.

Sebagian besar mata pencahariaan rakyat Aceh pada waktu itu adalah berdagang dan bercocok tanam. Hasil pertanian utama adalah beras dan lada. Beras digunakan untuk konsumsi sendiri sebagai bahan makanan pokok, sedangkan lada untuk diperdagangkan kepada pedagang-pedagang asing. Ada juga rakyat yang bekerja sebagai ahli-ahli pertukangan, seperti emas, tukang periok, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang tenun dan pembuat berbagai rupa minuman keras dan beras.

Dalam hal mata uang, kerajaan Aceh pada waktu itu telah mengalami beberapa mata uang. Di antara mata uang yang beredar di kerajaan Aceh adalah

Derham, Keuh, Kupang, Pardu dan Tahil. John Davis dalam laporan perjalanan

ke Aceh menyebutkan ada 2 jenis mata uang utama yang beredar di kerajaan Aceh, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang dari timah yang disebut Cashes (keuh). Nilai 1600 Caches sama dengan 1 uang emas. 400 Caches adalah 1Kupang, 4 Kupang 1 uang emas. 5 buah emas sama dengan 4 Schelling/SIC/Inggris, 1 uang emas sama dengan 1 Pardu sama dengan 1Tahil.

16

(53)

Jual beli di kerajaan Aceh di daerah-daerah takluknya dilakukan dengan suatu takaran yang disebutbahar.Satubaharbertanya sama dengan 360Pounddi Inggris, atau ± 170 kg. Harga lada per bahar pada waktu itu adalah 35 Gulden Belanda, atau 8tahil mata uang Aceh. PaoundInggrios di Aceh dinamakanKati dan ini beratnya sama dengan 21 ons Inggris.

Pada tanggal 26 November 1602 M kapal "Susanne" yang telah berada di pantai barat Sumatera, telah mendapatkan lada sebanyak 600 bahar dan cengkeh

66 bahar. Rupa-rupanya dalam perjalanan ke Aceh ini, James Lancaster merasa

(54)

Sultan Aceh tidak hanya menolak permintaan tersebut, tetapi juga amat merasa tersinggung karena diajukan dengan amat angkuh oleh orang-orang Portugis. Sejak saat itulah Sultan Aceh mulai berprasangka kepada orang-orang Portugis yang berada di Aceh dan sekaligus ia mulai merubah kembali sikapnya terhadap mereka. Maka mulai saat itu pula terjadi lagi hubungan yang tidak baik antara kerajaan Aceh dengan pihak Portugis.

Menurut Vitre, Alauddin Riayat Shah mempunyai empat orang anak, dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-lakinya tertua diangkat sebagai wakilnya, akan tetapi tidak mempunyai kekuasaan apa-apa jika ayahnya masih dalam posisi raja dan anak laki-laki yang bungsu menjadi raja di kerajaan Perdir.17

Dalam tahun 1603 M, Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Mukammil yang telah mencapai usia amat lanjut, menempatkan anak laki-lakinya yang tertua di antara yang masih hidup untuk mendampingi dia di atas tahta kerajaan Aceh. Rupa-rupanya puteranya ini berambisi hendak menjadi Sultan penuh. Maka ia menyingkirkan ayahnya dari kedudukan Sultan dan kemudian dia sendiri naik tahta memerintah sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ali Riayat Shah (1604-1607 M).

Peristiwa penaklukkan sultan yang tua oleh anaknya di perkuat dalam

Boestan As-salatin yang ditulis hanya 34 tahun sesudah itu, Sultan Alauddin

Riayat Shah setelah memerintah kurang lebih 15 tahun, dalam usia lanjut pada bulan April taun 1604 M diturunkan oleh anaknya sultan muda yang baru saja

17

(55)

diangkat menjadi wakilnya dan ia masih hidup setahun setelah penurunan tahta. Didalam riwayat lain ia tetap dikenal dengan nama Sajjid Al-Mukammal.18

Tahun-tahun pertama dari pemerintahan Sultan yang baru ini, ditandai dengan adanya bencana-bencana besar yang menimpa kerajaan Aceh, yaitu adanya suatu musim kemarau yang luar biasa yang telah menimbulkan bahaya kelaparan dan berjangkitnya suatu wabah penyakit yang menimbulkan banyak kematian di kalangan penduduknya. Sultan ini tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dan ini masih ditambah lagi dengan adanya suatu pertikaian berdarah dengan saudaranya yang menjabat sebagai Sultan di Pedir. Meskipun untuk beberapa lama Sultan Ali Riayat Shah masih menduduki jabatan Sultan, tetapi kerajaannya pada waktu itu merupakan kancah peramgokkan, pembunuhan dan ketidak aturan yang sangat menyedihkan. Mengenai pedagang-pedagang Belanda yang telah berhasil mengadakan suatu perdamaian dengan Aceh, mereka bebas berdagang di Aceh.

Kapal-kapal mereka yang memasuki kepulauan Indonesia maupun yang meneruskan pelayarannya ke Indo-Cina, Tiongkok dan Jepang dapat singgah secara leluasa di pelabuhan Aceh. Di antaranya ialah kapal yang dipimpin oleh De Meert, van Waerwijk, van Heemskerk, van Splibergen dan van der Hagen. Yang tersebut terakhir adalah yang memimpin kapal yang membawa pulang kembali utusan Aceh dari negeri Belanda, mereka tiba di pelabuhan Aceh tahun 1604 M.

Pada tanggal 17 Januari 1607 M, suatu perjanjian mengenai perdagangan dan hal-hal lain telah ditanda tangani antara Kompeni Belanda yang diwakili oleh

18

(56)

Laksanakan Muda Oliver van de Vivere dengan Sultan Aceh, yakni Sultan Sultan Ali Riayat Shah. Ada sebelas ketetapan yang telah dirumuskan dalam perjanjian itu. Isi perjanjian tersebut secara garis besar yaitu, Sultan Aceh membebaskan pajak-pajak yang seharusnya kepada pedagang-pedagang Belanda selama mereka berada di Aceh. Selain itu juga Sultan Aceh bersedia memberikan izin untuk membangun sendiri suatu tempat tinggal yang tetap bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Aceh. Di tempat itu bila perlu orang-orang Belanda diperkenankan pula membawa pula para ahli dan para keluarga mereka dari negerinya. Orang-orang berbangsa Eropa lainnya, tanpa izin dari pihak Belanda tidak diperbolehkan berada di tempat itu.

Menurut J.K.J. De Jonge, perjanjian 17 Januari 1607 M antara pihak Kompeni Belanda dengan Sultan Aceh merupakan suatu perjanjian yang sangat menguntungkan pihak Kompeni Belanda. Perjanjian seperti itu tidak pernah dijumpai di tempat-tempat lain di Indonesia pada waktu itu.

Selanjutnya De Jonge menyebutkan bahwa, seandainya perjanjian tersebut benar-benar terlaksana, maka pusat kedudukan Belanda di India Timur (Indonesia) mungkin tidak pernah didirikan di Batavia.

(57)
(58)

SULTAN ALI RIAYAT SHAH (1604-1607 M)

A. Biografi Sultan Ali Riayat Shah

Dien Madjid, dalam bukunya yang berjudul Catatan Pinggiran Sejarah

Aceh Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat mengatakan bahwa,

Sultan Ali Riayat Shah adalah raja Pedir yang pada saat itu memerintah Kerajaan Aceh Darussalam setelah melengserkan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat Shah. Siultan Ali Riayat Shah memerintah hanya empat tahun, lengser karena ditikam saat melakukan perebutan kekuasaan dengan saudara laki-lakinya yaitu Raja Pedir. Sultan Muda atau yang lebih dikenal dengan Sultan Ali Riayat Shah ini termasuk dalam golongan al-Mukammal, yaitu berbeda kakek dari Sultan pertama yakni Sultan Ali Mughayat Shah.1

Dalam buku

Referensi

Dokumen terkait