• Tidak ada hasil yang ditemukan

Puri Badung Konstelasi dan Perubahan Sosial Politik dalam Pemerintahan di Bali dari 1950 hingga 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Puri Badung Konstelasi dan Perubahan Sosial Politik dalam Pemerintahan di Bali dari 1950 hingga 2014."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Hibah Penelitian Unggulan Udayana Kode 591/Ilmu Politik

USULAN PENELITIAN

HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

PURI BADUNG:

KONSTELASI DAN PERUBAHAN SOSIAL - POLITIK DALAM PEMERINTAHAN DI BALI

DARI TAHUN 1950 HINGGA 2014

TIM PENGUSUL:

Dr. Piers Andreas Noak, S.H., M.Si (Ketua/0017026304) Ni Wayan Radita Novi Puspitasari, S.S., M.A. (Anggota/9908419490)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

(2)

Jurnal Sinastek Oktober 2015

Abstrak Puri Badung:

Konstelasi dan Perubahan Sosial - Politik dalam Pemerintahan di Bali dari 1950 hingga 2014

(3)

P

uri Badung:

Constellation and Social Change - Politics in Government in Bali from 1950 to 2014

Piers Andreas Noak

Castle in the elite role in the arena of politics have a significant impact for the government and local communities. This study focuses on the role of Badung castle in the constellation and the socio-political changes in the government of Bali with the problem of how the political constellation in the historical aspect castle Bali Badung with government, the relationship between the government of Badung castle contemporary period. The theoretical perspective Balinese Castle in Historical Perspective: The Role of Puri Satria and Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali 1906 - 1950 (1993). Changes in the political situation and the role of the elite in Puri Satria, Puri Pamacutan and castle Kasiman, and Clifford Geertz in the State: The Theatre State in Ninteenth-Century Bali (1980) gave a great contribution to academics and people of Bali can be used as an analytical identification of the development of the castle in Bali in local politics, one that is still felt today is the role of institutions such as the castle feudal oligarchy with political figures. Then the castle can not be separated from political contestation and power. New Order era, the castle with breeds (descendants) and his supporters also play a role in managing and maintaining a strong state power, wrap traditional feudalism to modern feudalism. This condition has become the color that dominates on all the castle, including Badung Puri. Affiliate persona castle on a particular political party more political bargaining coloring puri support certain candidates who could be considered the interests Puri Pemecutan (Golkar) and Puri Satria (PDIP). Even if modernity, several prominent castle states only change, however his condition, including the emergence of modernity that has dominated public life, a figure Puri is towed by a certain figure always will find is a factor equal before the castle includes all the territory of the castle is the identification of all have bergaining politics the underlying power structures in society caste in Bali. So that the results of this study can provide depth feedback on the identification of the power of the castle as well, academics, and the people of Bali.

(4)

Puri Badung:

Konstelasi Perubahan Sosial - Politik

Pemerintahan di Bali dari Tahun 1950 hingga 2014 Piers Andreas Noak1, Ni Wayan Radita Novi Puspitasari2

Universitas Udayana, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmiu Politik, Prodi Ilmu Politik, Jln. P.B. Sudirman, Denpasar 80223. Telp 0361355278/081337020303

Andreas.noak@yahoo.com

1. Latar Belakang

Puri (istana) dalam stratifikasi kekuasaan tradisonal di Bali, sejak pertengahan abab XIX menurut Anak Agung Gde Agung sejak mangkatnya Raja Kesiman II, jabatan Raja Badung lepas dari Puri Kesiman, diserahkan pada Puri Pemecutan atau Puri Denpasar, sesuai dengan urutan garis ibunya yang menjabat sebagai penguasa tertinggi di kerajaan Badung adalah raja dari puri pemecutan namun karena sudah tua dan sakit sakitan maka diserahkan kepada puri Denpasar, saat itu yang berkuasa adalah I Gusti Gde Ngurah Denpasar atau I gusti Ngurah Made Agung yang menggantikan kakanya Gusti Alit Ngurah Pemecutan (Agung, 1989:503).

Hingga memasuki Abad XXI Pemerintahan Badung yang diwarisi dari kekuasaan Raja I Gusti Ngurah Agung yang peran politiknya sangat dominan dalam pemerintahan dengan masih kuatnya peranan para elit dari ketiga puri atau negara utama (Pamacutan, Satria, dan Kasiman) di dalam sistem pemerintahan di Bali. Namun, jika dilihat dari aspek sejarah, Badung merupakan bagian dari kekuasaan Mengwi pada tahun 1700, walaupun terdapat juga pembagian di daerah Bali Timur dengan kekuasaan berpusat pada Karangasem dan Bali Utara terpusat di Buleleng. Pada tahun inilah, puri Badung dan puri-puri lainnya mulai mendapatkan kekuasaan politiknya, karena otoritas Raja Dewa Agung di Klungkung yang dianggap sebagai pimpinan politik hanya dianggap sebagai pimpinan religius3. Sedangkan puri-puri lainnya telah memberikan sumbangsih yang sangat banyak bagi masyarakat Badung, tidak hanya dari aspek sosial tetapi juga aspek politik4.

(5)

menjadi golongan para Tuan Tanah (Land Lord). Namun masih terdapat pengaruh yang kuat antara para elit puri dengan masyarakatnya dalam hubungan yang menyangkut upacara keagamaan (yadnya) dan perkumpulan masyarakat (banjar). Maka telah terjadi perubahan adat tradisional menuju tingkat modernitas yang menggeruskan budaya feodal yang telah ditaati oleh masyarakat Bali. Aspek pariwisata pun mendukung terjadinya proses modernisasi di dalam masyarakat Bali, khususnya di wilayah Badung Selatan (Kuta dan Nusa Dua).

Persoalannya adalah pertama: bagaimana konstelasi politik dalam aspek kesejarahan antara puri Badung dengan puri-puri dari kabupaten lainnya? Kedua: Apa sajakah faktor yang mendukung terjalinnya pengaruh yang kuat antara puri Badung dengan pemerintahan Bali? Ketiga: Bagaimana hubungan antara puri Badung dengan pemerintah dan masyarakat pada masa kontemporer? Permasalahan inilah yang akan dikaji untuk mendapatkan pemahaman tentang aspek historis dan politik yang dapat dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah pada saat ini.

Dari permasalahan diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pengaruh para elit puri di dalam pemerintahan maupun terhadap masyarakat Bali sendiri. Hal ini juga memberikan pandangan tentang bagaimana pengaruh elit puri tersebut di masa kini, yang telah mendapatkan perubahan-perubahan besar dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi sehingga patut untuk diteliti pula pengaruh yang dimiliki oleh para elit puri, mengidentifikasi semua perkembangan peran elite puri khususnya puri Badung.

2. Kajian Teoritis yang melandasi pengaruh politik Puri

Perubahan kekuasaan dalam puri pun telah dibahas di dalam buku yang dikarang oleh I Wayan Ardika, I Gde Parimartha dan AA Bagus Wirawan, Sejarah Bali: Dari Prasejarah hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press, 2013. Dengan menyatakan bahwa setelah didapatkannya kemerdekaan dan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka terbentuklah pemerintah-pemerintah daerah dimana pemerintahan di Bali sangat gencar melakukan perubahan sosial yang tidak memandang kasta seseorang. Masyarakat pun terbagi dalam sistem kasta, yang dimana telah membawa pengaruh kuat dalam sistem sosial masyarakat Bali. Hal ini juga dibahas dalam salah satu bab yang ditulis oleh H.A. Van Den Broek dengan judul Pribumi Ningrat dalam Adrian Vickers, Bali Tempoe Doeloe. Depok: Komunitas Bambu, 2012, yang melihat perbedaan kasta dari pakaian para elite dan kekuasaan elit puri yang mereka kenakan.

(6)

Dalam analisanya, Mosca semata-mata hanya memperhatikan faktor-faktor psikologis, faktor struktural dan faktor organisasional, disamping memperhatikan juga faktor karakteristik personal. Menurut Mosca, kelompok elit dapat tetap lestari berkuasa karena memiliki kelebihan, relatif terorganisir, dan kontak dengan jaringan antar mereka terpelihara dengan baik. Sehingga dari uraian Mosca ada tiga elemen yang menyertai eksistensi kelompok elit yakni (1) organisasi, (2) atribut personal, (3) kekuatan-kekuatan sosial. Elemen tersebut berkombinasi sedemikian rupa sehingga membuat kelompok elit terus menerus berada di puncak hierarkhis. Ada satu lagi elemen yang menurut Mosca membuat kelompok elit mampu memelihara dan mempertahankan kekuasaannya yakni ideologi yang disebutnya political formula.

Meskipun political formula ini merupakan ideologi yang dipergunakan untuk melestarikan dominasi elit, eksistensinya dalam masyarakat tidak dipaksakan. Sebaliknya, justru ideologi tersebut merupakan kebutuhan nyata, yang diyakini memiliki fungsi positif bagi upaya memelihara struktur dan distribusi kekuasaan (Mosca dalam Merger, 1987:55). Melengkapi uraian Mosca, perlu disimak pendapat Guido Dorso (1978) yang mengatakan bahwa dalam masyarakat terdapat suatu dikotomi, yakni terdapat sekelompok anggota masyarakat yang melakukan peran sebagai kelas yang memerintah dan kelompok masyarakat lainnya yang jumlah lebih sedikit sebagai kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah (the ruling class) terbagi menjadi beberapa sub-kelas yang satunya adalahthe political classyang merupakantechnical instrumentdari kelas yang sedang memerintah tadi.

The political class menurut Dorso dapat dipilah lebih lanjut menjadi the government political class yang juga disebut sebagai the Ins dan the oppositions political class yang sering disebut denngan istilah the outs. Menurut penulis, pendapat Dorso ini tidak menyebutkan sebutan bagi mereka yang termasuk dalam the ruling class tetapi tidak tergolong dalam kelompokthe political class. Dorso malah memilah mereka yang merupakan government political classdengan mereka yang merupakanthe opposition political class.

Secara garis besar pendapat yang dikemukakan oleh teorisi elit dalam model elitis Pareto, Mosca, Dorso atau teorisi elit lainnya lebih memilah masyarakat menjadi dua kelompok yaitu mereka yang memiliki keunggulan dan mereka yang tidak memilikinya. Mereka yang memiliki keunggulan pada akhirnya akan menggenggam kekuasaan yang dapat dipergunakan untuk memerintah mereka yang tidak memiliki keunggulan apapun. Hal tersebut juga paralel dengan apa yang dikemukakkan oleh Robert Michels (dalam Amal, 1986). Ia menyatakan bahwa tidak akan ada masyarakat yang tanpa suatu kelas dominan atau kelas politik. Selanjutnya, Michels menyatakan bahwa pemerintah tidak lain adalah organisasi bagi kelompok minoritas yang dominan.

(7)

kelompok kasta-kasta di Puri. Jadi, kelompok ini pada dasarnya juga bisa membangun elitnya sendiri, walau untuk kondisi sekarang elit ini bisa mencari dukungan kekuasaan dari masyarakat dan kelas berkuasa. Dengan demikian, teori elit kekuasaan memang dapat diperbandingkan dengan teori kelas sosial dan kasta dengan harapan kelak akan ada keseimbangan struktur kekuasaan.

Selain dilihat dari teori elit, elit juga dapat dipahami dari pendekatan yang menjelaskan masyarakat dan kasta. Dua perspektif yang lebih dominan dalam melihat perkembangan kelas dan kasta adalah perspektif primordialist dan instrumentalist (Kuper dan Kuper, 2000: 309; Hale, 2004:459). Pendekatan primordialist dikembangkan oleh Geertz, Van Berghe dan Edward Shills sementara instrumentalist dikembangkan oleh Enloe dan daniel Bell. Dalam pendekatan primordialist, elit menerima apa adanya kebudayaan suatu etnis tertentu; sementara dalam pendekatan instrumentalist, elit aktif menggerakkan etnik dalam arena-arena tertentu.

(8)

4. Hubungan Antara Puri Badung dengan Pemerintah dan Masyarakat Pada Masa Kontemporer? Perspektif Aspek Historis dan Politik.

Peran politik elite puri pada masa Orde Baru bisa dilihat dari strategi kooptasi pemerintah Soeharto dimana puri sebagai kekuasaan sentral kekuatan Golkar dan birokrasi negara, seperti pada tokoh Tjokorda Pemecutan (Puri Pemecutan, Tjokorda Budi Suryawan (Puri Ubud), I Gusti Ngurah Alit Yuda (Puri Carangsari Putra), I Gusti Ngurah Ray (Pahlawan nasional) (Putu Gede Suwitha, dalam Jurnal kajian Bali, 2015). Disamping Golkar juga PDIP juga bergabung dengan elite puri dan berpusat pada Puri Satria. Tokoh PDIP seperti A.A. Oka Ratmadi (Puri Satria) berbeda pandangan politik dengan saudaranya Cokorda Pemecutan sebagai tokoh Golkar, hingga masa kini beberapa puri telah menunjukkan identitas sebagai kekuatan partai tertentu di Bali.

Di Bali, Partai Golkar menjadi ancaman serius bagai gerak langkah PDIP merebut dukungan massa. Dalam Pemilu 2004, Partai Golkar selalu membayangi ketat perolehan suara PDIP. Pemilu 2004 masih menjadi milik PDIP dan Megawati di Bali. Sebagian besar dalam Pemilu legislative, caleg-caleg dari PDIP melenggang mulus ke gedung wakil rakyat. Sementara dalam pemilihan presiden, meskipun orientasi politik manusia Bali sedikit banyak mengarah pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati masih menang tipis di Bali. Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) di Denpasar Juni 2005 nanti dengan jelas menunjukkan bagaimana salah satunya pertarungan puri dalam perebutan kekuasaan. Puri yang bertarung mempunyai catatan sejarah dalam perebutan kekuasaan di Denpasar yaitu Puri Pemecutan (Golkar) dan Puri Satria (PDIP). Calon yang bertarung nanti dari kedua partai politik salah satunya memainkan kekuatan dan sentimen dukungan dari kedua puri ini.

Suatu hal yang harus disadari untuk bisa memahami relasi-relasi kekuasaan di dalam puri puri yang ada di Bali terkandung dalam geguritan, bahwa I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) menulis karyanya itu pada tahun 1903, sebelum dia terpilih sebagai Raja Badung (1904) atau setelah setahun (1902) diangkat sebagai raja di Puri Denpasar menggantikan kakaknya. Sementara ini, pengetahuan sejarah umum menyebutkan karya-karya itu dan sejumlah karya lainnya ditulis saat dirinya sudah menjadi Raja Badung (orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Kerajaan Badung). Tampak sangat tidak masuk akal, seorang raja bisa dengan tenang dan tekun menulis karya-karya sastra dalam situasi negara yang sedang kacau.

(9)

belakang Pura Penglipuran, juga di Pura Besakih yang mengempon tidak bisa disepelekan. Ketika ada tokoh politik muncul berpasangan dengan Puspayoga maka yang ditonjolkan dan disoroti adalah Puri dengan Puri sebagai feodalisme baru. Padahal kelemahan justru menjai kekuatan dimana pointnya terletak pada kultur masyarakat dan patron dari Puri tidak diperhitungkan secara utuh. Peran Puri dimanapun di Bali masih banyak mendominasi. Seperti buktinya di Gianyar. Figur yang terpilih dari luar puri hanya selama dua kali masa tahun pilkada 1965 non Puri. Setelah itu Puri terus menjadi Kepala Daerah. Ketika Puri dicalonkan, non Puri tidak menonjol, ada perasaan apa / apakah kelemahan atau kekuatan.

Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan untuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.

Dari beberapa pandangan FDG dengan tokoh puri dan non puri, bahwa sistem kekuasaan dan otoritas tradisional masih melekat kuat pada masyarakat Puri di bali dilihat dari kedekatan dukungan ideology dan loyalitas politik pada partai pemegang kekuasaan masih dominan dan mengerakkan masyarakat pendukung untuk loyah atas keputusan ideology partai yang membendung kekuasaan yang dibangun dari Puri, seperti kekuatan baru menandingi kekuasaan foedal yang selama ini memberikan pergeseran pemahaman dari ongkos politik dalam mobolisasi dari pada money politik, karena itu tokoh puri memeiliki kewajiban moral melalui simakrama pada semua lapisan banjar, desa pekraman, seka sebagai symbol kekuasaan bukan kekerasan politik. Karena itu sebagian puri masih menjaga kesician kehormatan terhadap budaya karena dianggap suatu warisan yang patut dipertahankan.

1. Penutup

(10)

mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, DR. MR. Ide Anak Agung Gde, 1989. Bali Pada Abad XIX Perjuangan Rakyat Dan Raja Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808 1908. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Agung, Ida Cokorda Ngurah, 1994.Cikal Bakal Raja Raja Badung: Denpasar: Puri Agung Denpasar.

Ardana, I Ketut, 1994.Bali Dalam Kilasan Sejarah. Dalam Buku:Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post

Abd. Halim, Politik Lokal: Pola, Aktor & Alur Dramatikalnya (Perspektif Teori Powercube, Modal dan Panggung). Yogyakarta: LP2B, 2014.

A.A Bagus Wirawan, 2011, Sejarah Kota Denpasar : Dari Kota Keraton Menjadi Kota ( 1788 2010 ), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( Bappeda ) Kota Denpasar dan Universitas Udayana

Adrian Vickers,Bali A Paradise Created. Jakarta: Periplus, 1996. __________,Bali Tempoe Doeloe. Depok: Komunitas Bambu, 2012.

Darta, A A Gde, dkk, 1996. Babad Arya Tabanan Dan Ratu Tabanan. Denpasar: Upada Sastra.

Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Ninteenth-Century Bali. New Jersey: Princeston University Press, 1980.

I Ketut Ardhana, Balinese Puri in Historical Perspective: The Role of Puri Satria and Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali 1906 1950 , Thesis S-2 Master of Arts in History, Faculty of Asian Studies, The Australian National University, 1993.

__________, Bali in Reformation: Religious Change and Socio-Political Transformation in Teori-teori Imperialisme Dalam Konteks Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Tradisional di bali pada Awal Abad ke-20 , makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional oleh The Society for Balinese Studies dan Kajian Budaya Universitas Udayana, 2000.

__________,F.X. Soenaryo, Sulandjari, dan I Putu Gede Suwitha, Komodifikasi Identitas Bali Kontemporer. Denpasar: Pustaka Larasan, 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian tentang pembelajaran di atas dapat dipahami bahwa pada saat ini, madrasah diniyah takmiliyah telah sangat dimungkinkan menerapkan strategi dan metode

Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh F-statistik sebesar 31,88918 dengan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,000000 < 0,05 yang berarti bahwa terdapat pengaruh secara

B SMA Negeri 16 Padang Bimbingan dan Konseling (Konselor) Kota Padang Mitra_Arena_Bkt.. RIADI SMA Negeri 6 padang Geografi Kota

Prioritas tersebut adalah proses service level management dan arahan IT Blueprint IPDN yang memuat proses service design yaitu merancang manajemen level layanan TI

Peserta dapat melakukan pembayaran biaya registrasi symposium & workshop melalui setoran tunai atau transfer ATM via Bank Mandiri ke Rekening Panitia. Bukti pembayaran

tanah yang dikupas dengan 1 ton batubara yang dihasilkan, naik di kuartal ketiga 2008 dan per September 2008 telah sesuai yang diproyeksikan, dengan melakukan pengerukan dari

Agens hayati meliputi setiap organisme yang meliputi spesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta

Data yang menunjukkan jumlah pulau yang belum bernama mencapai 9.634 adalah kurang tepat sebab menurut keterangan beberapa pihak yang melakukan penelitian