Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur
OLEH :
TEDDY FAJAR MAHARDHIKA
NPM. 0643010162
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
Lagu ”Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)
Disusun Oleh :
TEDDY FAJAR MAHARDHIKA NPM. 0643010162
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui, Pembimbing
Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2 00 1
Mengetahui, DEKAN
Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2 00 1
TEDDY FAJAR MAHARDHIKA NPM. 0643010162
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada 21 Mei 2010
Menyetujui, Pembimbing Utama
Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2 00 1
Tim Penguji : 1. Ketua
Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2 00 1 2. Sekretaris
Drs. Kusnarto, MSi NIP. 19580801 198402 1 00 1
3. Anggota
Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 3 6601 94 0027 1
Mengetahui, D E K A N
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat
dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang
berjudul : REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji”
dipopulerkan oleh Agnes Monica).
Penulis menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari usaha
dan bantuan dari Ibu Dra. Sumardjijati, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan dorongan dalam pengerjaan laporan skripsi ini.
Serta atas dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu dan
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sehingga terselesaikannya laporan skripsi
ini. Tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi
ini, karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Dra. Sumardjijati, MSi, dosen pembimbing penulis yang selalu dengan
sabar meluangkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis.
3. Bapak Juwito, S. Sos, MSi, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
v
4. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, MSi, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Bapak dan Ibu dosen pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
6. Kedua orang tua ku (Papa dan Mama) dan 2 kakak ku (Yenni dan Lenny),
terima kasih yang tidak terhingga untuk semua doa, semangat dan
pengorbanan yang telah diberikan.
7. My One Special, yang selalu memberikan dukungan, semangat dan
perhatiannya.
8. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan penulis (Dedek, Icha Tarra,
Momo, Pika Jegeg, Ry. Poernomo, Mbak La, Kista, Rina Ribeth, Rizka,
Mamiek “Manohanna”, Cik Linda, Fauka, Dila, Atika, Mbak Evie) terima
kasih atas dukungan dan semangatnya. Maaf kalau ada yang tidak
disebutkan.
9. Sahabat penulis : Allen (thanks udah nyari’in video klipnya), Selvy
(thanks atas informasinya), dan semuanya terima kasih atas motivasinya.
10.Dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dan kelemahan dalam menyusun skripsi ini, untuk itu kritik dan saran
membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi
ini
Surabaya, April 2010
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii
KATA PENGANTAR………...………... iv
DAFTAR ISI ……….………... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN………..….………... x
ABSTRAKSI... xi
BAB I PENDAHULUAN………..….………... 1
1.1. Latar Belakang Masalah………...……….…… 1
1.2. Perumusan Masalah...……...……….. 12
1.3. Tujuan Penelitian...………....……...….. 12
1.4. Manfaat Penelitian...………... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………...……….………... 14
2.1. Landasan Teori...….…….……...……. 14
2.1.1. Video Klip Musik Sebagai Alat Promosi... 14
2.1.2. Video Klip dan Film...……...………..………... 16
2.1.3. Kekerasan...…...…………... 17
2.1.3.1. Pengertian Kekerasan... 17
2.1.3.2. Jenis-Jenis Kekerasan... 19
2.1.3.3. Faktor Pendorong Tindakan Kekerasan... 21
2.1.3.4. Teori-Teori Kekerasan... 22
2.1.6. Semiotika... 35
2.1.7. Semiotika Roland Barthes... 37
2.1.8. Pendekatan Semiotik Dalam Film... 42
2.2. Kerangka Berpikir... 48
BAB III METODE PENELITIAN... 50
3.1. Metode Penelitian...……...………….... 50
3.2. Kerangka Konseptual...……….…...………. 51
3.2.1. Corpus...…….……...……….... 51
3.2.2. Definisi Operasional...……...……...……….……….... 52
3.2.2.1. Representasi... 52
3.2.2.2. Kekerasan... 52
3.2.2.3. Kategori Kekerasan... 53
3.2.2.4. Video Klip... 54
3.3. Unit Analisis... 55
3.4. Teknik Pengumpulan Data... 55
3.5 Teknik Analisis Data... 56
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 58
4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data...………. 58
4.1.1. Gambaran Umum Objek...…….……...……….... 58
4.1.2. Penyajian Data...……...……….……….... 60
4.1.3. Hasil Analisis Data... 62
viii
4.2.1.2. Setting... 74
4.2.1.3. Dialog... 77
4.2.2. Pada Level Representasi...……...………..………... 82
4.2.2.1. Teknik Kamera... 83
4.2.2.2. Pencahayaan... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....…………..….………... 91
5.1. Kesimpulan...………...……….…… 91
5.2. Saran...……...……….. 94
DAFTAR PUSTAKA………...………... 96
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar Peta Tanda Roland Barthes………... 40
Gambar 4.1 Kostum dan Penampilan Pemain... 69
Gambar 4.2 Kamar Tidur……….. 74
Gambar 4.3 Dialog yang Memicu Kekerasan………... 77
Gambar 4.4 Laki-Laki yang terjatuh ke lantai……….. 83
Gambar 4.5 Kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki…………. 85
Gambar 4.6 Ekspresi kesakitan laki-laki……… 87
Gambar 4.7 Ekspresi kesakitan laki-laki……… 88
Gambar 4.8 Kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki…………. 88
Gambar 4.9 Laki-Laki terluka secara fisik……… 89
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Gambar Penggalan Scene Video Klip... 99
Lampiran 2. Dialog yang Memicu Aksi Kekerasan... 102
Lampiran 3. Lirik Lagu Janji Janji... 104
LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)
Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah kekerasan yang terdapat pada video klip “Janji Janji”. Kekerasan yang dimaksud berupa kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal berupa perkataan, olokan, umpatan, kata-kata yang membuat lawan bicara menjadi tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan kekerasan non verbal berupa intonasi, kecepatan suara, tindakan, fisik, body language yang membuat seseorang menjadi putus asa, marah dan tersinggung. Secara tidak langsung kekerasan verbal dan non verbal di video klip ini terjadi juga kekerasan lainnya seperti kekerasan fisik (pemukulan, menampar, menonjok, menendang, menarik paksa, dan lain-lain). Kekerasan psikis terlihat dimana kekerasan tersebut mengakibatkan seseorang menjadi tidak berdaya, takut, trauma, tersinggung, emosi dan marah. Dalam hal ini, peneliti akan merepresentasikan kekerasan terhadap laki-laki yang ada pada video klip tersebut.
Metode yang digunakan adalah analisis semiotik yang termasuk dalam penelitian kualitatif dengan cara merepresentasikan tanda-tanda di video klip “Janji Janji”. Semiotik film adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada film. Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah video klip yang merupakan salah satu bentuk dari jenis film lain, yakni yang menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus, serta disajikan dengan musik. Data yang dianalisis menggunakan satuan pembacaan atau leksia dengan menggunakan lima kode pembacaan Roland Barthes yaitu kode Hermeneutik, kode Semik, kode Simbolik, kode Proaretik, dan kode Gnomik, kemudian dibagi lagi melalui penjelasan peta tanda Roland Barthes. Analisis tersebut digunakan untuk menunjukkan adanya perilaku kekerasan dalam video klip “Janji Janji” ini. Penggunaan pendekatan semiotik dalam film yang dikemukakan oleh John Fiske digunakan untuk membantu penjelasan analisis leksia dengan tampilan scene yang memiliki relevansi dengan perilaku kekerasan. Analisis ini dibagi menjadi level realitas (reality) dan level representasi (representation). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi dan pengamatan secara langsung terhadap beberapa scene dalam video klip “Janji Janji” yang mengandung unsur kekerasan terhadap laki-laki.
Kesimpulan dalam penelitian ini tentang kekerasan terhadap laki-laki yang terdapat dalam video klip “Janji Janji” adalah menyadarkan kepada masyarakat bahwa sesungguhnya laki-laki dapat menjadi korban kekerasan dari perempuan. Hal ini dikarenakan adanya kesetaraan gender yang mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam posisi yang sama dan keduanya saling mendominasi. Dengan demikian pada dasarnya kekerasan dapat dilakukan dan menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam penelitian ini kekerasan dilakukan oleh perempuan dan menimpa laki-laki, kekerasan inipun tidak terjadi begitu saja ada beberapa faktor perempuan melakukan kekerasan salah satunya dikarenakan laki-laki dalam video klip mengkhianati perempuan dengan berselingkuh pada perempuan lainnya hingga memicu kemarahan perempuan. Selain itu, video klip ini mampu merepresentasikan kekerasan terhadap laki-laki sesuai dengan fenomena yang tengah terjadi didalam masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Ketika kita membayangkan seorang laki-laki maka yang akan muncul
dalam benak kita adalah sifat-sifat maskulinitas seorang laki-laki seperti : jantan,
kuat, tampan, berbadan kekar, tinggi, dan sebagainya. Secara tidak sadar kita akan
selalu mengasosiasikan bahwa laki-laki yang ideal adalah laki-laki yang memiliki
sifat maskulin. Dan bila ada seorang laki-laki yang mempunyai sifat feminin
seperti : sensitif, emosional, lemah lembut, akan tidak dianggap sebagai laki-laki,
karena sifat tersebut sewajarnya dimiliki oleh perempuan. Perbedaan peran,
fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan seperti ini telah
melekat dalam masyarakat yang juga dikonstruksi berdasarkan kepercayaan,
tradisi, bahkan budaya yang ada pada masyarakat. Peran maskulin dan feminin
seperti ini menurut Wijaya (1991 : 156) disebut juga dengan stereotipe gender.
Istilah gender diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki dan perempuan. Sedangkan sex (jenis kelamin) merupakan pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Alat-alat tersebut secara
biologis melekat pada manusia, baik laki-laki dan perempuan tanpa bisa
dipertukarkan atau bisa dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan). Sebaliknya,
menurut Mansour Fakih (1999 : 9) dalam konsep gender menunjuk pada suatu
ciri-ciri dan sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang
lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dan sifat tersebut merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Sehingga ada saja laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan,
sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa.
Istilah maskulinitas selalu dipertentangkan dengan feminitas dan tidak
dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai perbedaan gender (gender
differences). Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar dari orang
tua atau orang-orang disekitar lingkungan kita bahwa “perempuan itu harus
pandai memasak dan mengurus anak” atau “seorang laki-laki tidak boleh
menangis”. Ini merupakan contoh sederhana dari apa yang kita sebut sebagai
perbedaan gender (genderdifferences) (Fakih, 1999 : 9).
Maskulinitas dan feminitas merupakan stereotipe yang didasarkan atas
perbedaan biologis, tapi itu tidak melekat sejak lahir, ini dibuat oleh masyarakat
sendiri. Stereotipe laki-laki sebagai kaum yang agresif, rasional, terbuka, aktif,
dan dinamis. Sedangkan, perempuan sebagai kaum yang lebih irasional atau
mendahulukan pertimbangan emosi, permisif dan pasif, serta lebih tertutup. Hasil
dari konstruksi sosial budaya tersebut menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda sehingga menyebabkan perempuan tertinggal dan laki-laki selalu
terdepan. Sehingga, setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan dengan stereotipe. Seperti pendapat Mansour Fakih (1999 : 16) yang
menyatakan :
ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang diletakkan kepada mereka”.
Ketidakadilan gender merupakan hal yang menarik sehingga
memunculkan berbagai teori dan penelitian. Berbagai penelitian dilakukan untuk
membuka kesadaran masyarakat atas kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan
memiliki posisi yang sama dalam struktur sosial. Akan tetapi dalam kehidupan di
masyarakat menurut beberapa teori dan perspektif seringkali kedudukan tersebut
dipahami sebagaimana layaknya kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan yang
lain.
Kelas sosial menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi terhadap
laki-laki. Tatanan kelas sosial yang demikian ditandai dengan kesenjangan
kekuasaan dibidang ekonomi, sosial, kesenjangan politik. Laki-laki cenderung
memperoleh akses lebih besar daripada perempuan pada sumber-sumber ekonomi,
sosial, dan politik karena mereka berada pada puncak hierarki dalam sebuah kelas
sosial di masyarakat (Bainar, 1998 : 41).
Meski banyak teori dan penelitian bermunculan dalam kaitannya dengan
masalah gender, namun kuatnya budaya patriarki yang ada dalam masyarakat kita
yang menganggap bahwa kelas sosial laki-laki lebih berkuasa daripada kelas
sosial perempuan, meskipun diantara mereka saling membutuhkan dan saling
melengkapi. Hal ini mengakibatkan laki-laki masih mendominasi dalam setiap
sisi kehidupan dan masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah
Seringkali kita mendengar, membaca, dan juga menemukan di media
massa mengenai berita tentang tindak kekerasan yang dialami seorang perempuan
yang dilakukan oleh laki-laki. Mulai dari sekedar kekerasan yang dilakukan oleh
orang dekat (orang tua, suami, saudara, teman, pacar) sampai yang dilakukan oleh
orang jauh atau tak dikenal sekalipun. Dari semua itu, peneliti melihat sangat
mudah sosok laki-laki mendapatkan citra sebagai pihak yang selalu banyak
melakukan kekerasan dan menjadi pihak yang lebih sebagai penyebab, sedangkan
perempuan selalu digambarkan sebagai korban atau objek kekerasan saja.
Fenomena diatas ditenggarai karena pengaruh konstruksi gender secara
sosial dan kultural dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, yang
membedakan peran perempuan dan laki-laki secara tegas. Di sisi lain, budaya
patriarki yang dianut oleh masyarakat sudah mengakar kuat dan cukup memiliki
peranan sentral. Seperti pendapat Mansour Fakih yang menyatakan bahwa posisi
subordinasi, stereotipe ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan
kultural patriarki, yakni ideologi kelaki-lakian (Fakih, 1999 : 151).
Adanya stereotipe bahwa laki-laki itu lebih berkuasa, perkasa, dominan di
dalam lingkungan rumah tangga, menjadikan laki-laki adalah pihak yang biasanya
mencari nafkah sehingga secara ekonomis atau finansial lebih superior, dan oleh
karena stereotipe yang sudah tertanam dalam benak masyarakat yang
mengakibatkan perempuan menjadi subordinat dari laki-laki. Maka pelecehan dan
kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan akan lebih mudah
Seiring dengan perkembangan jaman saat ini laki-laki tidak selalu
mendominasi kaum perempuan, adanya kesetaraan gender mengakibatkan
laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama dan keduanya mempunyai
potensi untuk mendominasi. Sehingga anggapan masyarakat tentang keharusan
bagi laki-laki maskulin dan perempuan feminin menjadi semakin rancu. Seiring
dengan perkembangan pandangan masyarakat yang lebih permisif tersebut, maka
sangat mungkin bagi seorang laki-laki menjadi feminin.
Dengan demikian laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan
perempuan. Hanya karena yang sering muncul dalam media itu lebih sering
perempuan yang menjadi objek kekerasan dan dilecehkan oleh laki-laki. Tapi
ternyata laki-laki juga bisa mendapatkan kekerasan dari perempuan. Hal itu,
karena data laki-laki sebagai korban tidak ada berbeda halnya dengan banyaknya
data yang tersedia yang menyebutkan perempuan sebagai korban
(http://www.multiply.com diakses 20 Januari 2010, 14:00 WIB). Sepertinya
masyarakat harus sedikit memperbaiki pemahaman soal kekuatan, kekuasaan,
superioritas, machoisme, dan kata-kata sifat lain yang biasa menjadi atribut
laki-laki.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat
atau hal yang keras, kekuatan, dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan,
desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan
tekanan (Poerwadarminta, 1999 : 102). Sedangkan dalam Bahasa Inggris,
kekerasan (violence) berarti sebagai suatu serangan/invasi fisik ataupun integritas
Kekerasan sering dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang dianggap
lebih kuat atau yang lebih dominan dan memiliki otoritas tertentu. Mereka yang
memiliki wewenang lebih itu cenderung akan melakukan kekerasan bila merasa
wewenang mereka ada yang melanggar dan tidak dipatuhi. Dengan kata lain,
sesungguhnya kekerasan itu dapat dilakukan dan menimpa siapapun tanpa melihat
dari stasus sosial, pendidikan, profesi maupun jenis kelaminnya. Hal ini
disebabkan, pola relasi di antara kedua belah pihak menunjukkan adanya
ketidakseimbangan, yang satu memiliki otoritas yang lebih besar daripada yang
lainnya. Kekerasan itu pada dasarnya merupakan setiap tindakan yang
dimaksudkan untuk melukai orang lain secara fisik. Selain itu, kekerasan juga
dapat dilakukan sebagai bentuk balas dendam atau membela diri dari sebuah
serangan.
Selama ini memang banyak kekerasan yang dialami oleh perempuan
karena perempuan selalu dianggap sebagai kaum yang lemah. Tetapi ada juga
kekerasan yang dialami oleh laki-laki yang tidak terungkapkan karena ada rasa
malu dan tidak etis apabila dibicarakan dan diketahui oleh banyak orang, karena
ini merupakan aib bagi laki-laki. Hal tersebut bisa saja terjadi dalam konteks
hubungan pertemanan, percintaan, persaudaraan, dan juga hubungan suami istri.
Salah satu kasus kekerasan terhadap laki-laki yang terjadi dan diduga pelakunya
perempuan adalah peristiwa ditemukannya potongan tubuh pria bertato kepala
macan (Hasan Basri) 2 tahun yang lalu, di dalam kantong plastik merah yang
ditemukan di dalam bus Mayasari Bakti dan ditenggarai pelakunya adalah seorang
(http://www.kompas.com diakses 28 Januari 2010, 10:32 WIB). Selain itu, kasus
kekerasan dalam lingkungan rumah tangga adalah peristiwa istri (Siyah)
membacok suami (Asmat Hasan) hingga ususnya terburai yang terjadi di Dusun
Krajan, Desa Sindetlami, Besuk, Kabupaten Probolinggo alasan terjadinya
kekerasan tersebut ditenggarai karena istrinya menolak untuk dimadu (Jawa Pos,
Senin 15 Februari 2010). Berdasarkan fenomena tersebut membuktikan bahwa
ternyata laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan perempuan. Karena sejak
kecil ia sudah dididik untuk menjadi penakluk, tegar, jantan, kuat, tidak cengeng,
dan sebagainya. Maka ketika mengalami kekerasan, laki-laki tidak mempunyai
keberanian untuk melaporkannya. Karena khawatir ditertawakan banyak orang,
dimana seharusnya hal ini menjadi haknya sebagai korban. Adanya fenomena ini
sangat perlu untuk disampaikan pada masyarakat bahwa laki-laki bisa juga
menjadi korban kekerasan dari perempuan.
Kebanyakan kekerasan media difokuskan pada televisi, tetapi kekerasan
semakin bertambah di media lain, seperti film, video klip, musik rock maupun
video game. Dan media ini juga berpotensi dalam meningkatkan kekerasan.
Kekerasan di media bukan kondisi yang cukup untuk menghasilkan perilaku
agresif, dan bukan kondisi yang niscaya. Perilaku agresif dipengaruhi banyak
faktor, dan kekerasan media adalah salah satunya saja. Akan tetapi, jelas bahwa
kekerasan media dapat memberi kontribusi pada beberapa tindakan agresif pada
beberapa individu (Bushman & Anderson, 2001), baik laki-laki maupun
Video klip tidak dapat dipisahkan dari musik dan lagu yang merupakan
salah satu kegiatan komunikasi, karena didalamnya terdapat proses penyampaian
pesan dari pembuat video klip (video clipper) kepada khalayak sebagai penikmat
musik. Pesan yang terkandung dalam sebuah video klip merupakan representasi
dari pikiran atau perasaan dari pembuat video klip (video clipper) sebagai orang
yang mengirim pesan. Pesan yang disampaikan biasanya bersumber dari latar
belakang pengetahuan ( frame of reference) dan pengalaman ( field of experience).
Sebagai salah satu hal terpenting dalam sebuah lagu adalah aktualisasinya
ke layar lebar dalam bentuk video klip, karena melalui video klip, pembuat video
klip (video clipper) dapat menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian
dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, dimana
dia berinteraksi didalamnya. Video klip dapat digunakan sebagai sarana promosi
untuk mengenalkan dan memasarkan produk (lagu) agar masyarakat dapat
mengenal dan selanjutnya membeli kaset, CD, dan DVD (Effendy, Heru, 2002 :
14). Selain itu, sebuah video klip juga dapat menjadi sarana atau media
komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat.
Karena itu, ketika sebuah video klip ditampilkan kepada khalayak juga
mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebarluasnya sebuah keyakinan,
nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu.
Dari beragamnya tema video klip di Indonesia yang akhir-akhir ini ada,
muncul video klip bertema kekerasan yang menjadikan sosok laki-laki sebagai
objek atau korban dan perempuan sebagai pelaku kekerasan. Oleh karena itu,
kepada masyarakat dan salah satu media massa yang bisa digunakan adalah video
klip.
Seperti dalam video klip Agnes Monica dari album “Sacredly Agnezious”
yang berjudul “Janji Janji”, dimana Agnes Monica menjadi pelaku kekerasan.
Video klip ini ternyata memiliki 2 versi : Pertama, dalam video klip menampilkan
banyak sekali adegan kekerasan tanpa sensor. Kedua, versi editan yang agak
dikurangi adegan kekerasannya, namun tetap saja ada adegan pukul-pukulan, dan
darah yang mengalir dari kepala aktor laki-lakinya setelah dipukul dengan linggis
oleh Agnes. (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2628855 diakses 11
Februari 2010, 09:00 WIB).
Dalam penelitian kali ini, peneliti menggunakan video klip Agnes Monica
“Janji Janji” yang versi kedua (editan). Isi video klip ini menceritakan tentang
kemarahan seorang perempuan karena terus-menerus diberi janji-janji palsu
(dibohongi) dan dikhianati oleh laki-laki sehingga menimbulkan pemberontakan
sebagai bentuk dari sebuah kekerasan. Dalam video klip ini juga menampilkan
adegan perkelahian antara perempuan dan laki-laki. Perkelahian ini dilakukan
sebagai salah satu bentuk perlawanan dari penindasan dan ketidakadilan yang
diperbuat laki-laki. Adegan perkelahian dalam video klip ini ditampilkan secara
jelas, bahkan terkesan sedikit vulgar dan tidak pantas untuk ditampilkan, dimana
sosok perempuan melakukan kekerasan dengan cara menendang, mendorong,
memukul dengan menggunakan senjata (bangku dan linggis), dan meninju sampai
Inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengambil objek penelitian
ini karena dalam video klip ini laki-laki mendapatkan kekerasan fisik yang
cenderung eksplisit, berlebihan, dan vulgar. Dimana, lembaga penyiaran melarang
adanya klip video musik yang mengandung muatan pesan menggelorakan atau
mendorong kekerasan yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 tentang penyiaran pasal 36 ayat 5, yang berbunyi : “Isi siaran dilarang : (a)
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong; (b) menonjolkan unsur
kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau (c)
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
Selain itu, tema video klip ini juga menyadarkan pada masyarakat bahwa
ternyata seorang laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan dari perempuan.
Tanpa melihat sifat maskulinitas dari laki-laki, karena dalam video klip ini sosok
laki-laki memiliki sifat-sifat maskulinitas tapi tetap saja menjadi korban kekerasan
dari perempuan. Hal ini, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu
bagaimana kekerasan terhadap laki-laki direpresentasikan dalam video klip lagu
“Janji Janji”.
Representasi sendiri adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial
pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film,
fotografi, dan sebagainya (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses
28 Januari 2010, 12:15 WIB). Video klip merupakan bagian dari jenis film yang
terdiri atas kode-kode yang beraneka ragam, meliputi verbal dan non verbal
pendekatan semiotika. Disini peneliti ingin mengekplorasi makna dari
bentuk-bentuk visual yang tampak dalam video klip tersebut.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda
dan makna (Sobur, 2006 : 15). Sebuah tanda menunjuk pada sesuatu selain dirinya
sendiri yang mewakili barang atau sesuatu yang lain itu, dan sebuah makna
merupakan penghubung antara suatu objek dengan suatu tanda (Hartoko &
Rahmanto, 1986 : 131). Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat
diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk
mendukung kesatuan penampilan film serta mengetahui hubungan antara jumlah
muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan film.
Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan film,
disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda
dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal
akan didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan.
Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara
ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom
estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara
terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara yang satu dengan
lainnya.
Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin memaknai video klip “Janji Janji”,
oleh karena itu yang sesuai adalah dengan menggunakan metode semiotik yang
memungkinkan peneliti untuk mengetahui dan melihat lebih jelas bagaimana
sebuah pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.
Penelitian ini mengambil judul REPRESENTASI KEKERASAN
TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi
Semiotik tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip
Lagu “Janji Janji” dipopulerkan oleh Agnes Monica).
1. 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah repesentasi kekerasan
terhadap laki-laki dalam video klip lagu “Janji Janji” yang dipopulerkan oleh
Agnes Monica dalam album Sacredly Agnezious.
1. 3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuandalam penelitian ini adalahuntuk mengetahui
bagaimanakah kekerasan terhadap laki-laki direpresentasikan dalam video klip
lagu “Janji Janji” yang dipopulerkan oleh Agnes Monica dalam album Sacredly
1. 4. Manfaat Penelitian
Manfaat Akademis
1. Menambah literatur penelitian kualitatif dan diharapkan dapat memberikan
sumbangan landasan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai studi
analisis semiotik Roland Barthes.
2. Pemahaman ilmiah bahwa video klip musik sebagai media komunikasi
akan dipahami secara berbeda sesuai konteks budaya masing-masing
individu.
3. Memperkaya wawasan tentang perspektif kekerasan dalam tema video
klip di Indonesia.
Manfaat Praktis
1. Memberikan pemahaman tentang representasi kekerasan terhadap laki-laki
dalam video klip lagu “Janji Janji” yang dipopulerkan oleh Agnes Monica.
2. Sebagai masukan dan evaluasi bagi tim produksi video klip lagu “Janji
Janji”, guna menjaga keseimbangan antara kreatifitas seni dan tanggung
jawab sosial.
3. Sebagai bahan referensi atas keterkaitan penelitian ini dengan larangan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada pasal 36 ayat 5 tentang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2. 1. Landasan Teori
2. 1. 1. Video Klip Musik Sebagai Alat Promosi
Video klip musik merupakan suatu perekaman lagu populer dalam sebuah
video, yang pada umumnya ditemani oleh penari atau suatu cerita yang tidak
lengkap atau terpisah-pisah dan kadang-kadang memanfaatkan sebuah konser
yang dilakukan penyanyi lagu tersebut. Umumnya dibuat berdurasi selama 3
hingga 5 menit, video musik sering terdiri dari potongan-potongan berdurasi
cepat, diatur, fantastis dan sering juga diumpamakan erotis, serta menggunakan
grafik komputer (Columbia Encyclopedia,
http://www.answers.com/topic/music-video?cat=entertainment diakses 4 Februari 2010, 12:00 WIB).
Di Indonesia video musik lebih populer dengan sebutan video klip, video
(1) Picture portion of an electronic visual system. (2) All-inclusive term for
electronic visual reproduction, cablevision, corporate media, and video
recording. Yang artinya bahwa video adalah (1) Porsi gambar dari sebuah sistem
visual elektronik. (2) Mencakup seluruh istilah untuk sistem praproduksi hasil
visual elektronik, termasuk televisi, saluran televisi kabel, badan media dan video
rekaman.
The term video can refer to a three-to five minute popular song with
accompanying visual on a videotape or a CD-ROM. Yang artinya adalah, video
3 – 5 menit, yang disertai dengan gambar visual, dalam bentuk kaset video atau
CD-ROM. Video klip adalah sarana promosi bagi produser musik untuk
mengenalkan dan memasarkan produk (lagu) lewat medium televisi, sehingga
group band ataupun penyanyi yang sedang membawakan lagu tersebut bisa lebih
dikenal masyarakat, dan diharapkan masyarakat selanjutnya membeli kaset, CD,
dan DVD dari group band atau penyanyi tersebut (Effendy, Heru, 2002 : 14).
Video klip sendiri adalah bagian dari Program Acara Televisi Nondrama
yang paling mudah untuk diingat. Hampir semua televisi mempunyai Acara
Musik dengan format Repacking Video yang menggunakan materi video klip
sebagai pengisi acara (Naratama, 2004 : 193).
Istilah “video musik” pertama kali populer pada awal 1980-an melalui
saluran televisi MTV. Kemudian, klip tersebut telah dideskripsikan oleh berbagai
terminologi yang mencakup “film promosional” atau “klip promosional”. Video
Musik sering disebut sebagai video promo atau hanya sebagai promosi, dalam
kaitan dengan fakta bahwa mereka selalu merupakan alat promosional.
Kadang-kadang, video musik dimasukkan dalam bentuk film pendek atau video yang
mendampingi alunan musik, umumnya sebuah lagu. Video musik modern
berfungsi sebagai alat pemasaran untuk mempromosikan sebuah album rekaman
(http://www.wikipedia.com/videomusik diakses 4 Februari 2010, 13:00 WIB).
Video klip musik populer disebut dengan ‘klip promo’, ‘gambaran musik’,
atau hanya sesederhana ‘sebuah video’, adalah suatu dampak substansiil atas
kesadaran banyak orang atau masyarakat sepanjang awal 1980-an. Sebagai suatu
dalam beberapa menit dengan peluncuran film untuk menemani lagu tersebut,
sebagai pengganti berlangsungnya berbagai jenis program video seperti konser,
pendokumentasian, rekapitulasi penampilan film atau televisi (Toward,
http://www.shsu.edu/~lis_fwh/book/other_notable_genres/Video%20Clips2.htm
diakses 4 Febuari 2010, 14:15 WIB).
2. 1. 2. Video Klip dan Film
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Christina Tilmann dan telah
dipublikasikan dalam harian ’Tagespiegel’ tanggal 19 April 2006, Apakah
sejatinya ada ’seni video’? Apa bedanya seni video dengan film pendek atau klip
musik, dengan film televisi atau film dokumenter?
Bagi kami tidak ada definisi yang sempit, tapi bidang yang luas, hingga Beckett atau Bob Wilson ada dalam edisi kami. Bruce Naumann dan Catherin David misalnya sangat tertarik pada karya Beckett. Pada proses pembuatannya tidak ada yang bilang itu karya seni video atau seni televisi. Tapi pengaruhnya sangat besar. Ada banyak hubungannya dengan televisi, misalnya permainan televisi atau film. Membiarkan kamera secara pelan merekam berbagai kenyataan seperti yang ditunjukkan Corinna Schnitt, adalah seni video, tapi karya ini juga diikutsertakan pada ajang pekan film pendek di Oberhausen. Dimana batasannya? Kami lebih suka melampaui batasannya. (http://www.goethe.de/ins/id/lp/prj/art/ksd/med/id2062514.htm diakses 4 Februari 2010, 14:25 WIB).
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu
merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan
memproyeksikannya ke dalam layar. Tapi Turner menolak perpektif yang melihat
film sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai representasi dari realitas
masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari
realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah realitas ke layar
membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,
konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya (Irawanto dalam Sobur, 2004 :
127-128).
2. 1. 3. Kekerasan
2. 1. 3. 1. Pengertian Kekerasan
Saat ini semakin banyak kekerasan yang dimunculkan dalam berbagai
media, seperti halnya kekerasan naratif, agresivitas, kekerasan virtual, pornografi,
kekerasan simbolik, dan kekerasan lembut yang manipulatif. Kekerasan memiliki
berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Menurut P.
Lardellier, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang mendasarkan diri pada
kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan (P. Lardellier, 2003 : 18).
Sedangkan menurut S. Jehel :
”Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi pihak lain dalam berbagai bentuknya : fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Penggunaan kekuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan ungkapan nyata kekerasan. Logika kekerasan merupakan logika kematian karena bisa melukai tubuh, melukai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman terhadap integritas pribadi”. (S. Jehel, 2003 : 123)
Definisi lain kekerasan menurut Francois Chirpaz :
”Kekerasan adalah kekuatan yang sedekimian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai bagi jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan entah dengan memisahkan orang dari kehidupannya atau dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan kepada orang lain”. (Francois Chirpaz, 2000 : 226)
Sedangkan Robert Baron (dalam Koswara, 1988) menyatakan bahwa
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut. Definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu :
tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu
yang menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si
pelaku.
Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi apabila manusia dipengaruhi
sedemikian rupa sehingga jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya. Kata-kata kunci yang perlu diterangkan yaitu aktual (nyata) dan
potensial (mungkin), dibiarkan serta dibatasi tanpa disingkirkan.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat
atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan,
desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan
tekanan (Poerwadarminta, 1999 : 102). Sedangkan dalam Bahasa Inggris,
kekerasan (violence) berarti sebagai suatu serangan/invasi fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang (Englander dalam Saraswati, 2006 : 13).
Ada dua jenis kekerasan menurut Kompas (1993) dalam penelitian Paul
Joseph I. R (1996 : 37) yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal
adalah kekerasan yang berbentuk kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi
umpatan, olok-olok, hinaan dan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara
tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan, kekerasan non verbal adalah
2. 1. 3. 2. Jenis-Jenis Kekerasan
Kekerasan (violence) secara sederhana dapat dimaknai sebagai serangan
(assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan
terhadap sesama manusia, pada dasarnya berasal dari berbagai sumber
penyebabnya. Salah satunya kekerasan bisa terjadi karena stress (frustasi) yang
bisa menimpa siapa saja mulai dari anak, orang tua maupun situasi tertentu. Stress
(frustasi disertai stimulus pendukung) merupakan keadaan tidak tercapainya
tujuan perilaku yang mampu menciptakan suatu motif untuk agresi, biasanya
terjadi karena ada kelainan fisik, mental, dan psikologis pada orang yang
bersangkutan situasi tertentu seperti adanya pemutusan hubungan kerja,
pengangguran, perpindahan ke tempat tinggal baru dan ketidakharmonisan dalam
keluarga juga bisa memicu terjadinya kekerasan. Kekerasan tidak hanya bisa
mengakibatkan cedera fisik namun juga bisa menimbulkan trauma, serta
gangguan psikologis yang sulit dipulihkan.
Menurut pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dibagi menjadi beberapa
jenis (Fokusmedia, 2004 : 5-6), dalam penelitian Ariani, Skripsi Semiotika pada
Novel ”Genting” :
1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat.
2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya respon, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
3. Kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk
paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan
penyiksaan atau bertindak sadis.
4. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan
kerugian dan penghinaan secara ekonomi, terlantarnya anggota kelompok
dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,
pemerkosaan, pemukulan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan
untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas
tertentu kepada binatang dan harta-benda. Istilah ”kekerasan” juga berkonotasi
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan
sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak
terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak, seperti yang terjadi dalam perang
(yakni kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme.
Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian
meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari
segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman
langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk
Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena
kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan
yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan
menjadi urusan masyarakat pada umumnya. Transkulturasi, karena teknologi
modern, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya
berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan
”antikekerasan” internasional telah semakin dikenal dan diakui peranan.
Kekerasan sering kita jumpai, yang kita lihat secara telanjang ternyata
hanyalah satu bagian dari kekerasan itu sendiri. Galtung memisahkan menjadi tiga
bentuk kekerasan. Kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan
kultural. Pembedaan akan tiga hal ini digambarkan seperti gempa. Gempa,
retakan bumi dan pergeseran lempeng. Gempa adalah peristiwa, sesuatu yang
terjadi langsung. Retakan bumi adalah proses, dan pergerakan adalah sesuatu
yang permanen (kultural). (http://www.wikipedia.org/kekerasan diakses 8
Februari 2010, 17:45 WIB).
2. 1. 3. 3. Faktor Pendorong Tindakan Kekerasan
Tindakan kekerasan tidak terjadi begitu saja akan tetapi terdapat beberapa
faktor individu/kelompok melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan secara
verbal ataupun non verbal. Beberapa faktor individual/kelompok dalam
melakukan tindak kekerasan antara lain :
a. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang dianggap
cenderung akan melakukan kekerasan bila merasa wewenang mereka ada
yang melanggar dan tidak dipatuhi.
b. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang memiliki
kekuasaan dan kedudukan. Mereka cenderung melakukan kekerasan
apabila kekuasaan mereka ada yang mengancam atau ingin merebut
kekuasaan dan kedudukan mereka.
c. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga dengan alasan
penegakan disiplin.
d. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang
dikarenakan perbedaan status sosial dan ekonomi.
e. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga dengan alasan
pembelaan dan usaha penyelamatan diri.
f. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga berdasarkan
karakter agresifitas yang dimiliki dan pengalaman masa lalu.
g. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang memang
sengaja melakukan kekerasan dengan alasan balas dendam dan kepuasan.
h. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang
dikarenakan pengaruh oleh media massa.
2. 1. 3. 4. Teori-Teori Kekerasan 1. Teori Katharsis
Katharsis dalam bahasa Yunani berarti ”pencucian” atau ”pembersihan”.
Para pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan
film memberikan efek positif bagi penonton. Ketika penonton melihat tayangan
tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan yang dialami
para tokoh di dalam TV/film, penonton ikut terlibat berjuang. Dengan ”happy
ending”, penonton puas, rasa takut yang ada di bawah sadar penonton hilang
berubah menjadi berani. Dengan demikian kekerasan yang ditayangkan dalam
TV/film memberikan efek positif pada tingkah laku real penonton. Jadi, menurut
teori ini, kekerasan dalam TV/film tidak membawa efek negatif (merusak),
sebaliknya justru membawa efek positif bagi penonton.
2. Teori Imitasi
Pengikut teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam TV/film
mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru. Bantingan tipuan seperti dalam
Smack Down, tindakan sadis oleh para tokoh pujaan, pembunuhan, dan lain-lain,
akan menjadi pendorong bagi penontonnya untuk melakukan tindakan yang sama
dalam kehidupan real sehari-hari. Padahal di dalam film hanyalah fiksi. Sebagai
contoh, apabila para aktor Smack Down menjadi idola anak/remaja, ada
kecenderungan anak/remaja terdorong untuk mengimitasikan diri seperti tokoh
mereka, ingin bermainan Smack Down, meniru gerakan para aktor tersebut.
Anak-anak paling suka berlaku seperti itu. Dan penampilan itu tentu saja sangat
berbahaya. Bahaya lain, menurut teori imitasi adalah bahwa seringkali dalam film
laga ditampilkan kekerasan dan pembunuhan sebagai jalan untuk menyelesaikan
masalah. Happy endingnya adalah tokoh idola akhirnya tampil sebagai pemenang
setelah berjuang sedemikian berat. Ia tampil sebagai pahlawan. Cara penyelesaian
(tidak jarang juga bagi orang tua) dalam penyelesaian masalah. Tawuran antar
pelajar bukan tidak mungkin dipicu oleh keinginan tampil sebagai hero membela
almamater atau teman, seperti tindakan heroik pada tokoh film yang dijadikan
idola bagi anak/remaja.
3. Teori Kekerasan Struktural
Teori “kekerasan struktural” dari Johan Galtung, seorang kriminolog dari
Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan
yang paling menarik. Teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori
kekerasan “sobural”. Dengan “sobural” berarti suatu akronim dari (nilai-nilai)
sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat).
Teori “kekerasan struktural” jika diimplementasikan secara empirik
realistik, telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde Baru) melalui
Angkatan Bersenjata dan organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur Jawa.
Secara singkat, Soeharto bisa dibanding dengan Ken Arok, hanya zaman dan
teknologi (bersenjata) yang berbeda (dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Arok
Dedes, Hasta Mitra, Jakarta, 2002). Kekerasan struktural sesungguhnya bukan
barang kemasan baru dari abad ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui
kekerasan struktural terhadap kekerasan. Yargon awam tentang kekerasan bahwa
kekerasan identik dengan (perbuatan) fisik, sesungguhnya tidak selalu harus
berarti demikian. Perbuatan kekerasan apalagi yang struktural tidak harus selalu
dengan menggunakan secara fisik. Bisa berupa sesuatu yang non fisik, yang
psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan
psikis, sampai pada yang bersifat naratif seperti berita-berita pers mengenai
Sadam dan Kadafi (Turpin dan Kurtz, 1997 : 91). Bahkan, secara logika mungkin
sulit diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat
mata bukan kekerasan, pada asasnya menurut yargon awam, ujung-ujungnya
adalah “kekerasan”. Suatu kekerasan struktural yang sangat “naif” dan
terselubung dengan maksud-maksud yang tidak etis.
Paling tidak ada empat pendekatan yang biasanya digunakan baik oleh
peneliti Indonesia maupun peneliti dari luar, yaitu :
a. Pertama, esensialisme, yaitu anggapan bahwa konflik disebabkan oleh
adanya permusuhan antara dua kelompok (etnik) yang berbeda. Teori ini
menegaskan adanya perbedaan esensial diantara tiap-tiap kelompok etnik.
Biasanya, penelitian yang menggunakan pendekatan ini cenderung
mencari kekuatan intrinsik dari dan kelompok-kelompok yang berbeda.
b. Kedua, instrumentalisme, yaitu pendekatan yang lebih melihat pada
peranan elit dalam menggunakan identitas etnik untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Pendekatan ini berusaha
mencari aktor-aktor (elit) yang ada dibalik terjadinya suatu konflik
kekerasan. Konflik, dengan demikian, dipandang sebagai produk dari
konflik antar elit yang menggunakan identitas etnik untuk memobilisasi
dukungan bagi kepentingannya.
c. Ketiga, konstruktivisme, yaitu anggapan bahwa modernitas telah merubah
makna identitas dengan membawa massa ke dalam kerangka kesadaran
menjadi lebih luas dan terinstitusional. Sebagian peneliti menyebut bahwa
konflik yang terjadi di beberapa negara berkembang merupakan akibat
dari kolonialisme. Penelitian seperti ini biasanya berusaha menjawab
pertanyaan mengapa beberapa sistem politik justru menimbulkan konflik
sedangkan sistem yang lain tidak.
d. Keempat, institusionalisme, yaitu anggapan bahwa konflik terjadi karena
tidak adanya lembaga-lembaga/institusi-institusi yang bekerja secara baik
untuk mengakomodasi segala bentuk kepentingan antar elit atau
kelompok.
Akiko menggunakan berbagai pendekatan, yaitu : Pertama, psychological
theory of violence (teori psikologi tentang kekerasan) yang mendiskusikan teori
frustasi dan agresi, teori relative deprivation, dan social identity theory. Sebagian
peneliti menganggap bahwa konflik kekerasan merupakan respon dari
kekecewaan (rasa kecewa atau deprivasi), baik yang absolut (alasan material)
maupun relative (alasan psikologis). Karena itu, beberapa individu berjuang untuk
membentuk identitas dirinya dan identitas kelompok.
Kedua, human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan
penelitian untuk melihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil
bekerja, termasuk apakah ada perlindungan terhadap individu, kelompok atau
komunitas dari ancaman dari luar. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada
kehidupan masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal
Ketiga, social movement theory, yang berupaya untuk menjelaskan
gerakan massa dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan
yaitu collective behaviour dari Durkheim, grievance and frustration model yang
dikembangkan dari teori deprivasinya Ted Gurr, rational choice dari Olson, dan
resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori-teori tersebut digunakan
untuk melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi.
(http://www.google.co.id/kekerasan diakses 16 Februari 2010, 18:36 WIB).
2. 1. 3. 5. Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber ataupun alasan
yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan ideologi
gender. Salah satu penyebab timbulnya kekerasan adalah karena adanya ideologi
gender, kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan
gender-relatif violence (Saraswati, 2006 : 16).
Untuk memahami ideologi atau keyakinan gender, terlebih dahulu harus
dipahami pengertian gender dengan kata sex (jenis kelamin). Secara bahasa, kata
gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Women’s
Studies Encyclopedia, dikutip oleh Mufidah Ch (2003 : 3), dijelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hilary M. Lips dalam
bukunya yang terkenal Sex and Gender : an Introduction mengartikan gender
Pengertian lain tentang gender menurut Mansour Fakih (1999 : 9) adalah
suatu ciri-ciri dan sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya : bahwa perempuan
dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dan sifat tersebut merupakan
sifat-sifat yang dapat dipertukarkan dan mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Jadi, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara
itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari
sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang
lain.
Sedangkan sex (jenis kelamin) merupakan pembagian jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki
dan perempuan secara permanen tanpa bisa dipertukarkan atau bisa dikatakan
sebagai kodrat (ketentuan Tuhan) (Fakih, 1999 : 8).
Organ biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan
dengan organ tubuh yang dimiliki dikonstruksikan oleh budaya untuk memiliki
sifat yang halus, penyabar, penyayang, lemah lembut, dan sejenisnya. Sifat inilah
yang sering disebut dengan feminim. Sementara laki-laki dengan perangkat
fisiknya diberi atribut sifat yang maskulin yaitu sifat kuat, perkasa, jantan bahkan
kasar. Dengan demikian gender merupakan konsep sosial yang harus diperankan
oleh kaum laki-laki atau perempuan sesuai dengan ekspektasi-ekspektasi
melahirkan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan sebagai peran gender
(Ridwan, 2006 : 17-19).
Sejarah perbedaan gender (gender difference) antara manusia jenis
kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh
karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan banyak hal,
diantaranya dibentuk, disosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial
dan kultural, baik melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses
panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap ketentuan Tuhan
seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi sehingga perbedaan gender
dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih,
1999 : 9).
Perbedaan gender prinsip dasarnya adalah sesuatu yang wajar dan
merupakan sunnatullah sebagai sebuah fenomena kebudayaan. Perbedaan gender
tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender
inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama
terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe
atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih
banyak (burden) (Fakih, 1999 : 12).
Kekerasan apapun yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya
baik perseorangan maupun kelompok terhadap pihak lain yang disebabkan oleh
anggapan ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat. Pihak yang tertindas
disudutkan pada posisi yang membuat mereka berada dalam ketakutan melalui
cara penampakan kekuatan secara periodik (College dalam Ridwan, 2006 : 49).
Seiring dengan perkembangan jaman saat ini laki-laki tidak selalu
mendominasi kaum perempuan, adanya kesetaraan gender mengakibatkan
laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama dan keduanya mempunyai
potensi untuk mendominasi. Sehingga anggapan masyarakat tentang keharusan
bagi laki-laki maskulin dan perempuan feminin menjadi semakin rancu. Seiring
dengan perkembangan pandangan masyarakat yang lebih permisif tersebut, maka
sangat mungkin bagi seorang laki-laki menjadi feminin dan perempuan menjadi
maskulin.
Dengan demikian laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan
perempuan. Hanya karena yang sering muncul dalam media itu lebih sering
perempuan yang menjadi objek kekerasan dan dilecehkan oleh laki-laki. Tapi
ternyata laki-laki juga bisa mendapatkan kekerasan dari perempuan. Hal itu,
karena data laki-laki sebagai korban tidak ada berbeda halnya dengan banyaknya
data yang tersedia yang menyebutkan perempuan sebagai korban
(http://www.multiply.com diakses 20 Januari 2010, 14:00 WIB).
2. 1. 4. Representasi
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan
ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Representasi adalah
konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan
yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara
ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15
WIB).
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting
yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat
luas, kebudayaan menyangkut 'pengalaman berbagi'. Seseorang dikatakan berasal
dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi
pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara
dalam 'bahasa' yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15
WIB).
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi
mental. Yaitu konsep tentang 'sesuatu' yang ada di kepala kita masing-masing
(peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak.
Kedua, 'bahasa', yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep
abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam 'bahasa' yang
lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu
dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat
rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang
berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara
'sesuatu', ‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi
makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara
bersama-sama itulah yang kita namakan representasi.
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan
pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah:
makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,
diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.
Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15
WIB).
Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya (circuit of
culture). Melalui representasi, maka makna (meaning) dapat berfungsi dan pada
akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda-tanda (signs).
Tanda-tanda (signs) tersebut seperti bunyi, kata-kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian,
dan sebagainya merupakan bagian dari dunia material kita (Hall, 1997).
Tanda-tanda tersebut merupakan media yang membawa makna-makna tertentu dan
merepresentasikan ‘meaning’ tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh
kita. Melalui tanda-tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan,
dan tindakan kita. Pembacaan terhadap tanda-tanda tersebut tentu saja dapat
(http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task=view&item
id=43 diakses 28 Januari 2010, 12:45 WIB).
Representasi berasumsi bahwa praktik pemaknaan berbentuk menjelaskan
atau menguraikan objek atau praktik lain di dunia nyata. Representasi membangun
kebudayaan, makna, dan pengetahuan (Barker, Chris, 2004 : 414). Bagaimana
dunia dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh individu.
Mengharuskan adanya ekplorasi pembentukan makna tekstual. Serta menhendaki
penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks.
Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti,
objek, citra, buku, majalah dan program televisi. Representasi diproduksi,
ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu (Barker, Chris,
2004 : 9).
Dalam penelitian ini, representasi menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda
verbal yang terdapat pada video klip lagu “Janji Janji” dengan mengacu pada
pendekatan atau konsep kekerasan, ideologi laki-laki yang mengalami kekerasan
dalam hidupnya dan simbol-simbol yang terdapat dalam video klip “Janji Janji”.
2. 1. 5. Respon Psikologi Warna
Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna
juga boleh dianggap sebagai suatu fenomena psikologi. Respon psikologi dari
masing-masing warna (http://www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.html
1. Merah
Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya. Warna merah
jika dikombinasikan dengan putih akan mempunyai arti ’bahagia’ di
budaya Oriental.
2. Biru
Kepercayaan, konservatif, keamanan, tekhnologi, kebersihan, dan
keteraturan.
3. Hijau
Alami, sehat, keberuntungan, pembaharuan.
4. Kuning
Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran, pengecut (untuk budaya
barat), pengkhianatan.
5. Unggu atau Jingga
Spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekerasan, keangkuhan.
6. Orange
Energi, keseimbangan, kehangatan.
7. Coklat
Tanah atau bumi, reliability, comfort, daya tahan.
8. Abu-abu
Intelek, masa depan (seperti warna milenium), kesederhanaan,
kesedihan.
9. Putih
10.Hitam
Power, seksualitas, kecanggihan, kematian, misteri, ketakutan,
kesedihan, keanggunan.
Warna dan artinya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
sesuatu yang dilekatinya. Warna juga memberi arti terhadap suatu objek, hampir
semua bangsa didunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini dapat dilihat
pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual lainnya yang
sering dilambangkan dengan warna-warni (Cangara, 2005 : 109).
2. 1. 6. Semiotika
Secara etimologis, istilah Semiotik berasal dari kata Yunani Semeion
yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain (Eco, 1979 : 16 dalam Alex Sobur, 2002 : 95).
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda (Eco, 1976 : 6 dalam Alex Sobur, 2002 : 95). Pengertian lain yang
dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan
segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan
kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya”.
Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda
sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu
sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982 : ix dan
Budiman, 2004 : 3).
Di dalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua induk yang
memiliki dua tradisi dasar yang berbeda. Pertama, Charles Sanders Peirce,
seorang filsuf Amerika yang hidup di peralihan abad yang lalu (1839-1914).
Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak untuk menyelidiki apa
dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Peirce tentang tanda dilandasi oleh
tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa
semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005 :
33).
Logika, secara umum, adalah (…) sekedar nama lain dari semiotika (…), suatu doktrin formal atau quasinecessary tentang tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai “quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter-karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari pengamatan tadi (…) kita arahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya (Peirce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34).
Di sisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun
berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857-1913), sebagai
seorang sarjana linguistik di Perancis.
2. 1. 7. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama : eksponen penerapan
strukturalisme dan semiotika pada studi Sastra. Bertens (2001 : 208) menyebutnya
sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun
1960-an d1960-an 70-1960-an (Sobur, 2001 : 63).
Barthes mengatakan suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi
belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka seseorang harus melakukan
rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu
sendiri. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah
teks atau wacana naratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah
terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut
dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendek bervariasi. Sebuah
leksia dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat,
sebuah paragraf, atau beberapa paragraf (Kurniawan, 2001 : 93).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam
memaknai sebuah “teks”, pembaca mempunyai kekuasaan absolut untuk
memberikan makna dan penafsiran terhadap suatu hasil karya sastra (novel) yang
dilihatnya – bahkan tidak harus sama dengan maksud sang pengarang. Pembaca