• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MINIMALISASI BIAYA TARGET CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA (TCIA) SEVOFLURAN DAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA PASIEN OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI DI RSUP SANGLAH DENPASAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS MINIMALISASI BIAYA TARGET CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA (TCIA) SEVOFLURAN DAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA PASIEN OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI DI RSUP SANGLAH DENPASAR."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

ANALISIS MINIMALISASI BIAYA

TARGET

CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA

(TCIA)

SEVOFLURAN DAN

TARGET CONTROLLED

INFUSION

(TCI) PROPOFOL PADA PASIEN

OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI

DI RSUP SANGLAH DENPASAR

GEDE SEMARAWIMA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

i

CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA

(TCIA)

SEVOFLURAN DAN

TARGET CONTROLLED

INFUSION

(TCI) PROPOFOL PADA PASIEN

OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI

DI RSUP SANGLAH DENPASAR

GEDE SEMARAWIMA NIM 1114108203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

ANALISIS MINIMALISASI BIAYA

TARGET

CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA

(TCIA)

SEVOFLURAN DAN

TARGET CONTROLLED

INFUSION

(TCI) PROPOFOL PADA PASIEN

OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI

DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

GEDE SEMARAWIMA NIM 1114108203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 20 APRIL 2016

Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO NIP. 19540504 198103 1 004

Pembimbing II,

dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR NIP. 19761003 201012 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP. 19580521 198503 1 002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

(5)

iv

Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 19 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1600/UN14.4/HK/2016 Tanggal 15 April 2016

Ketua : Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO

Anggota : 1. dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An, KAR

2. Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, M.Kes, KMN, KNA 3. dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, M.Kes, KAR

(6)
(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO dan dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR selaku pembimbing tesis, dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku pembimbing statistik, atas bimbingan, dukungan, tuntunan dan saran dengan penuh kesabaran dan perhatian dalam penyusunan tesis ini.

Kepada dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH selaku pembimbing akademis, penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan, dukungan semangat, pengajaran, pencerahan rohani, dan masukan saran selama menjalani proses pendidikan.

(8)

vii

Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Unud; dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar; dr. Ida Bagus Gde Sujana, Sp.An, M.Si selaku Sekretaris Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar; Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO selaku Ketua Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud; dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, KAR, M.Kes selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud.

Kepada seluruh Guru: dr. I Wayan Sukra, Sp.An, KIC; dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH; dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An, KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC; dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN; Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, KMN, KNA, M.Kes; dr. I Putu Agus Surya Panji, Sp.An, KIC; dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An, KIC; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, Sp.An; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR; dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan, Sp.An, MARS; dr. Pontisomaya Parami, Sp.An, MARS; dr. I Putu Kurniyanta, Sp.An; dr. Kadek Agus Heryana Putra, Sp.An; dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An, MARS; dr. I Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Sp.An, M.Kes; dr. Tjahya Aryasa E. M., Sp.An; penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan penghargaan atas bimbingan, tuntunan selama mengikuti pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.

(9)

viii

Kepada seluruh teman sejawat residen anestesi FK Unud, terutama rekan seperjuangan dr. Anak Agung Gde Putra Semara Jaya, dr. Peregrinus Prajogi, dr. Happy Rosyalynda, dr. Marilaeta Cindryani, dr. Elisma Nainggolan, dan dr. Andi Kusuma Wijaya, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kebersamaan yang telah kita jalani.

Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian/SMF dan Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialias ini, kepada segenap penata anestesi, paramedis dan semua karyawan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini.

(10)

ix

Serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pasien yang menjadi

“sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama proses pendidikan dan penyusunan tesis ini.

(11)

x

ABSTRAK

ANALISIS MINIMALISASI BIAYA TARGET CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA (TCIA) SEVOFLURAN DAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA PASIEN OPERASI

BEDAH MAYOR ONKOLOGI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Analisis minimalisasi biaya merupakan kajian farmakoekonomi yang digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa atau setara. Dengan terbatasnya anggaran biaya untuk jaminan kesehatan dalam penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun 2015, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat menjadi salah satu hal penting yang mendapatkan perhatian. Sehingga penerapan hasil kajian farmakoekonomi dalam pemilihan dan penggunaan obat secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan. Tujuan penelitian ini mengetahui analisis minimalisasi biaya TCIA sevofluran dan TCI propofol pada pasien yang menjalani operasi bedah mayor onkologi di RSUP Sanglah.

Enam puluh pasien ASA I-II yang akan menjalani operasi bedah mayor onkologi dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A menggunakan anestesi umum TCIA sevofluran dan kelompok B menggunakan anestesi umum TCI propofol dengan monitor bispektral indek untuk memantau kedalaman anestesi. Uji statistik menggunakan uji Shapiro-Wilk, uji Lavene, uji Mann-Whitney U dan uji t tidak berpasangan (dengan derajat kemaknaan < 0,05). Analisis data menggunakan program Statistical Package for Social Sciences for Windows (SPSS Inc. Chicago, Illionis, USA), versi 20.

Pada penelitian ini didapatkan rasio penggunaan obat persatuan waktu kelompok A 0,12 (±0,03) ml per menit dan kelompok B 7,25 (±0,98) mg per menit. Biaya obat anestesi umum pada kelompok A Rp. 598,43 (IQR 112,47) per menit. Pada kelompok B Rp. 703,27 (IQR 156,73) per menit (p > 0,05).

Disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari analisis minimalisi biaya obat anestesi umum pada operasi bedah mayor onkologi menggunakan TCIA sevofluran dan TCI propofol.

(12)

xi

ABSTRACT

COST MINIMIZATION ANALYSIS OF TARGET CONTROLLED INHALATION ANESTHESIA (TCIA) SEVOFLURANE AND TARGET

CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL MAJOR SURGERY ONCOLOGY PATIENTS at SANGLAH HOSPITAL

Cost minimization analysis is a pharmaco-economic study used to compare two or more health interventions that have been shown to have the same effect, similar or equivalent. With limited health insurance budget from the National Social Security System implementation in 2015, the quality control and drugs cost are two important things that need to be focused. The application of pharmaco-economic study results in the selection and use of drugs more effectively and efficiently. The purpose of this study is to determine cost minimization analysis TCIA general anesthetic sevoflurane and propofol TCI in patients underwent major surgical oncology at Sanglah Hospital.

Sixty ASA I-II patients underwent major oncologic surgery were divided into two groups. Group A was using general anesthetic sevoflurane TCIA and group B using a general anesthetic propofol TCI with bispectral index monitor to monitor the depth of anesthesia. Statistical test using the Shapiro-Wilk test, Lavene test, Mann-Whitney U test and unpaired t-test (with significance level < 0.05). The data analysis used the Statistical Package for Social Sciences for Windows (SPSS Inc., Chicago, Illinois, USA) version 20.

In this study, the rate of drug used per unit time in group A was 0.12 (± 0.03) ml per minute and the group B was7.25 (±0.98) mg per minute. Total cost of general anesthetics in group A was Rp. 598.43 (IQR 112.47) per minute. In group B was Rp. 703.27 (IQR 156.73) per minute (p > 0.05).

It was concluded that there was no significant difference from the analysis of drug cost minimization general anesthesia in major oncologic surgery using TCIA sevoflurane and propofol TCI.

(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... …. 1

1.2 Rumusan Masalah ... ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... ... 5

(14)

xiii BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Farmakoekonomi... 10

2.1.1 Analisis Minimalisasi Biaya ... 12

2.2 Anestesi Inhalasi ... 13

2.3 Target Controlled Inhalational Anesthesia (TCIA) ... 18

2.3.1 Mekanisme Dari TCIA. ... ... 23

2.3.2 Anestesi Dengan Fresh Gas Flow Yang Rendah ... 26

2.3.3 Farmakoekonomi TCIA ... 28

2.4 Anestesia Intravena ... 33

2.4.1 Mekanisme Kerja Propofol. ... ... 37

2.4.2 Strutur Bangun dan Karakteristik Propofol... 37

2.4.3 Farmakokinetik Propofol ... 38

2.4.4 Farmakodinamik Propofol ... 40

2.4.5 Efek Samping Propofol ... 44

2.4.6 Kontra Indikasi Propofol ... 46

2.4.7 Propofol Related Infusion Syndrome (PRIS) ... 46

2.5 Target Controlled Infusion (TCI) Propofol ... 48

2.5.1 Model Marsh. ... ... 54

2.5.2 Model Schnider ... 55

2.5.3 Target Konsentrasi Plasma Dan Konsentrasi Effect Site Propofol Target Controlled Infusion ... 56

2.5.4 Farmakoekonomi Target Controlled Infusion Propofol ... 57

(15)

xiv

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir ... 66

3.2 Kerangka Konsep ... 68

3.3 Hipotesis Penelitian ... 68

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 69

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 70

4.3 Penentuan Sumber Data ... 70

4.3.1 Populasi Sampel ... 70

4.3.2 Sampel Penelitian ... 70

4.3.3 Kriteria Eligibilitas ... 71

4.3.4 Tehnik Pengambilan Sampel ... 72

4.3.5 Perhitungan Besar Sampel ... 72

4.4 Variabel Penelitian ... 73

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 74

4.6 Instrumen Penelitian ... 77

4.7 Prosedur Penelitian ... 77

4.7.1 Persiapan Penelitian ... 77

4.7.2 Penapisan Pasien ... 78

4.7.3 Pelaksanaan Penelitian ... 78

4.8 Cara Kerja ... 78

4.9 Analisis Data ... 85

(16)

xv BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 87

5.2 Perbandingan Lama Operasi, Anestesi, Total Penggunaan Obat ... 89

5.3 Perbandingan Stabilitas Hemodinamik ... 90

5.4 Perbandingan Waktu Pulih Sadar... 95

5.5 Analisis Minimalisasi Biaya TCIA Menggunakan Sevofluran dan Biaya TCI Menggunakan Propofol ... 97

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 101

6.2 Perbandingan Lama Operasi, Anestesi, Total Penggunaan Obat ... 102

6.3 Perbandingan Stabilitas Hemodinamik ... 104

6.4 Perbandingan Waktu Pulih Sadar... 108

6.5 Analisis Minimalisasi Biaya TCIA Menggunakan Sevofluran dan Biaya TCI Menggunakan Propofol ... 109

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 113

7.1 Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115

(17)

i

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Harga Obat dan Harga per-satuan per-Desember 2015 (sumber : Instalasi Farmasi RSUP Sanglah Denpasar) ... 59 Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Kelompok

Perlakuan ... 89 Tabel 5.2 Perbandingan Lama Operasi, Lama Amestesi dan Total

Penggunaan Obat Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 90 Tabel 5.3.1 Perbandingan Tekanan Arteri Rerata Basal, Pascainduksi dan

Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 91 Tabel 5.3.2 Perbandingan Laju Nadi Basal, Pascainduksi dan

Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 93 Tabel 5.3.3 Perbandingan Kejadian Hipotensi Pascainduksi Berdasarkan

Kelompok Perlakuan ... 95 Tabel 5.4 Perbandingan Waktu Pulih Sadar Berdasarkan Kelompok

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

2.1 (a) Skema Diagram dari Sistem Sirkuit Pernafasan Anestesi Tradisional (b) Skema Diagram Sirkuit Pernafasan Anestesi dengan End Tidal Control. (Dikutif dari GE Healthcare

2014)... 22

2.2 Foto Mesin Anestesi Drager Zeus® Infinity® Empowered... 24

2.3 Foto Mesin Anestesi AISYS Carestation.. ... 24

2.4 Foto Mesin Anestesi Drager Primus® .. ... 25

2.5 Foto Layar Monitor End Tidal Control pada Mesin Anestesi Drager Primus (Dikutif dari Drager Werk AG & Co. KGaA, 2015)…... 25

2.6 Three Compartment Model (Dikutif dari Naidoo, 2011) ... 54

2.7 Skema Three Compartment Pharmacokinetic Model (Dikutip dari Naidoo, 2011) ... 54

2.8 Foto Mesin TCI Perfusor Space dari B. Braun yang dimiliki Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar ... 55

(19)

xviii

2.10 Pola Umum dari Perubahan EEG yang Diobservasi Selama Peningkatan Dosis dari Anestesi dengan Peningkatan Efek Anestesi, Frekuensi EEG Menunjukkan Penurunan Menghasilkan Pola Transisi Frekuensi Bergantung Kelas: Beta, Alfa, Theta, Delta

(Dikutif dari Billard dkk, 2001) ... ... 62

2.11 Panduan Skala BIS Indek Bispektral Indek adalah Skala dari 100 (Terjaga, Respon Terhadap Suara Normal) sampai 0 (Menunjukkan Keadaan Isoelektrik, Garis Flat EEG) (Dikutip dari Billard dkk, 2001) ... 64

3.1 Bagan Kerangka Konsep ... 68

4.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 69

4.2 Bagan Alur Penelitian ... 82

4.3 Bagan Alur Penelitian Kelompok TCIA Sevofluran ... 83

4.4 Bagan Alur Penelitian Kelompok TCI Propofol ... 84

5.1 Perbandingan Tekanan Arteri Rerata Basal, Pascainduksi, dan Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 92

5.2 Perbandingan Laju Nadi Basal, Pascainduksi, dan Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 94

5.3 Perbandingan Waktu Pulih Sadar ... 96

(20)

xix

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG Α : Alfa

AMiB : Analisis minimalisasi biaya AEB : Analisis efektivitas biaya AUB : Analisis utilitas biaya AMB : Analisis manfaat biaya

ASA : American Society of Anesthesiology BA : Bioavaibilitas

BB : Berat badan BE : Bioekuivalen BIS : Bispectral index

CACI : Computer assisted continuous infusion CATIA : Computer assisted total intravenous system Ce : Effect site concentration

Cp : Concentration in plasma DEPKES : Departemen Kesehatan dL : Desiliter

ECMO : Extra corporeal membrane oxygenation EEG : Electroencephalogram

ET : End tidal

FDA : Food and Drug Administration FGF : Fresh gas flow

(21)

xx

gr : Gram

HET : Harga eceran tertinggi IBS : Instalasi bedah sentral im : Intramuscular

IMT : Indek massa tubuh iv : Intravena

Kg : Kilogram

kg/m2 : Kilogram per meter persegi kgBB : Kilogram berat badan KTP : Kartu tanda penduduk L : Liter

NMDA : N-methyl-D-aspartate N2O : Nitrous oxide

NSAID : Non steroid anti inflammatory drug MAC : Minimum alveolar concentration MAP : Mean arterial pressure

MCI : Manually controlled infusion mcg : Microgram

mg : Miligram mL : Milliliter

(22)

xxi

O2 : Oksigen

ODC : One day care

OGB : Obat generik berlogo

PaCO2 : Tekanan parsial karbon dioksida arteri

PIC : Patient interface cable

PONV : Post operative nausea vomiting PRIS : Propofol related infusion syndrome QALYs : Quality adjusted life years

RL : Ringer lactate

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SD : Standar deviasi

SIM : Surat ijin mengemudi

SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional SSP : Susunan saraf pusat

SVR : Sistemic vascular resistence TAR : Tekanan arteri rerata

TB : Tinggi badan

TCA : Target controlled anesthesia TCI : Target controlled infusion

TCIA : Target controlled inhalational anesthesia TEE : Tranesophageal echocardiography TD : Tekanan darah

(23)

xxii 0

C : Derajat celcius µ : Miu

% : Persen

› : lebih dari

(24)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

(25)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era reformasi kesehatan, kemampuan untuk menunjukkan angka ekonomis dari suatu teknologi yang baru adalah penting. Reformasi pelayanan kesehatan memberikan tekanan lebih bagi dokter ahli anestesi untuk menentukan dampak biaya dari strategi anestesia, obat baru, dan teknologi baru. Biaya dari anestesia terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Langkah awal perhitungan biaya yang tepat adalah dengan menghitung semua biaya langsung untuk teknik anestesi yang digunakan.

(26)

diasumsikan sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011).

Secara umum di Indonesia ilmu farmakoekonomi sudah mulai digunakan juga untuk pengambilan keputusan penggunaan obat. Dalam penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tahun 2015, termasuk untuk jaminan kesehatan, dengan terbatasnya anggaran yang tersedia, maka aspek pengendalian mutu dan penggunaan obat secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan, bukan hanya oleh pemerintah, namun juga bagi industri, pendidikan, dan lain-lain.

Studi farmakoekonomi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah belum banyak dilakukan. Biaya obat anestesi yang besar selalu menjadi permasalahan di bidang manajemen. Seperti kita ketahui bersama bahwa pelayanan anestesi umum inhalasi maupun intravena merupakan standar baku yang dikerjakan di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUP Sanglah. Seiring kemajuan farmakologi dan teknologi maka terdapat berbagai perkembangan tehnik anestesi serta alat monitor kedalaman anestesi yang dapat membantu ahli anestesi dalam menentukan pemakaian obat dan dosis yang sesuai bagi pasien. Pengembangan dari sistem komputerisasi dan tersedianya obat anestesi yang bersifat short acting seperti propofol dan sufentanyl, menjadikan target controlled infusion (TCI) adalah suatu metode yang semakin sering digunakan untuk

(27)

3

tersedia di mesin anestesi yang baru. Ini adalah modalitas sistem penghantar gas anestesi, di mana mesin otomatis menyesuaikan konsentrasi agen anestesi untuk mencapai tingkat target yang diinginkan yang ditetapkan oleh penggunanya. Masalah tingginya biaya dan polusi lingkungan sering dikaitkan dengan anestesi umum, low flow anesthesia adalah salah satu tehnik atau upaya untuk mengurangi permasalahan tersebut (Potdar dkk, 2014). Di RSUP Sanglah generasi mesin anestesi yang bisa menerapkan tehnik TCIA dan low flow anesthesia sudah tersedia yaitu mesin anestesi merek Drager Primus. Demikian juga teknologi monitor kedalamam anestesi juga semakin berkembang, Bispektral Indek (BIS) merupakan salah satu alat monitor kedalaman anestesi yang telah mendapatkan persetujuan penggunaanya secara klinis oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika sejak Oktober 1996 (Johansen dkk, 2000). Wong J dkk, meneliti pada 68 operasi ortopedi berumur lebih dari 60 tahun dengan anestesi umum sevofluran, monitor BIS memfasilitasi penurunan 30% penggunaan sevofluran dan penurunan 26% dari waktu pulih (Absalon dkk, 2002). Tentu saja hal ini membuat biaya penggunaan obat anestesi yang makin ekonomis.

(28)

bermakna pada biaya anestesi periode intraoperatif baik dari total biaya, biaya per-pasien maupun biaya per-menit anestesi, dimana tehnik TCI propofol lebih ekonomis dibandingkan tehnik anestesi inhalasi sevofluran. Kejadian hipotensi, waktu pulih sadar, dan kejadian mual muntah paska operasi pada kelompok TCI propofol juga didapatkan rendah dibandingkan dengan kelompok inhalasi sevofluran, dimana faktor-faktor di atas memiliki peranan pula dalam menentukan biaya anestesi intraoperatif (Iswahyudi dkk, 2013). Penelitian tentang analisis minimalisasi biaya low fresh gas flow balanced anesthesia dengan TCI pada operasi laparaskopi kolesistektomi didapatkan biaya yang lebih murah di grup low fresh gas flow balanced anesthesia dengan inhalasi sevoflurane dibandingkan

dengan grup TCI propofol (Stevanovic dkk, 2008)

Berdasarkan uraian diatas, maka kami terdorong untuk melakukan penelitian mengenai analisis minimalisasi biaya anestesi umum TCIA manual controlled dengan sevofluran dan TCI dengan propofol di RSUP Sanglah tahun

2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan seperti telah disebutkan diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

(29)

5

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis minimalisasi biaya obat anestesi umum target controlled inhalational anesthesia sevofluran dengan target controlled infusion propofol pada pasien yang menjalani operasi bedah mayor onkologi di RSUP Sanglah.

1.3.1 Tujuan khusus

Untuk membandingkan biaya obat anestesi umum pada pasien ASA I dan ASA II yang menjalani operasi bedah mayor onkologi dengan tehnik anestesi umum target controlled inhalational anesthesia sevofluran dengan target controlled infusion propofol.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia kedokteran khususnya anestesi dalam penerapan teknik anestesi umum pada operasi bedah onkologi mayor untuk menekan biaya anestesi, menjaga kestabilan hemodinamik dan mempersingkat waktu pulih sadar.

1.4.2 Manfaat praktis

(30)
(31)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Rumah sakit sebagai organisasi publik diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat. Namun disisi lain rumah sakit secara umum dihadapkan pada masalah pembiayaan, dalam arti alokasi anggaran yang tidak memadai sedangkan pendapatan dari penerimaan masih rendah dan tidak boleh digunakan secara langsung.Kondisi ini akan memberikan dampak serius bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit karena sebagai organisasi yang beroperasi setiap hari, likuiditas keuangan merupakan hal utama dan dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasionalnya (Yudianto dkk, 2009).

(32)

lain terjadinya inflasi menyebabkan semakin tingginya biaya obat-obatan, biaya komponen medik dan non medik pelayanan kesehatan yang canggih seperti air conditioner (AC), karpet, telepon, televisi dan lain-lainnya. Anestesi sebagai salah

(33)

9

(34)

2.1 Farmakoekonomi

Farmakoekonomi merupakan salah satu cabang dalam bidang farmakologi yang mempelajari mengenai pembiayaan pelayanan kesehatan, dimana pembiayaan dalam hal ini mencakup bagaimana mendapatkan terapi yang efektif, bagaimana dapat menghemat pembiayaan, dan bagaimana dapat meningkatkan kualitas hidup. Farmakoekonomi adalah suatu metoda baru untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi efektif dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik (cost effective with best clinical outcome) (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk,

2011). Kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis. Empat metode analisis ini tidak hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya. Metode analisis dalam kajian farmakoekonomi meliputi :

- Analisis minimalisasi biaya (AMiB) dengan karakteristik analisis efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/biaya dalam rupiah

(35)

11

- Analisis utilitas biaya (AUB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality-adjusted life years, valuasi/biaya dalam rupiah.

- Analisis mamfaat biaya (AMB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah (McGregor, 2003)

(36)

(jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, secara teoritis AUB dapatdigunakan untuk membandingkan dua area pengobatan yang berbeda. Analisis manfaat biaya digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda. Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit) diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter. Namun

demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun masih jarang sekali dilakukan. Pada penelitian ini akan memfokuskan bahasan pada medote yang sederhana yaitu analisis minimalisasi biaya (Walley dkk, 1991).

2.1.1 Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB)

(37)

13

adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk:

1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas bioekuivalen (BA/BE). Jikatidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak untuk digunakan.

2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara. Dalam hal ini, peneliti akan membandingkan agen inhalasi sevofluran yang standar digunakan dengan TCI propofol.

Setiap perspektif analisis memiliki banyak jenis biaya yang harus dimasukkan. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan ketelitian (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011).

2.2 Anestesi Inhalasi

(38)

digunakan hingga sekarang. Dalam perkembangannya, ditemukan kemudian gas berhalogenasi yang dipercaya lebih aman, lebih stabil, dan lebih poten anestesinya. Tenaga anestesi pada akhir tahun 1800-an menggunakan N2O, diethyl

(39)

15

Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit dan masih merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi (Latief dkk, 2002).Anestesi inhalasi bekerja pada berbagai level sistem saraf pusat. Mengacaukan transmisi sinaptik normal dengan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter dari ujung saraf presinaptik (menekan eksitatori atau meningkatkan transmisi inhibitori), atau mengganggu re-uptake neurotransmitter, atau dengan mengubah ikatan neurotransmitter pada reseptor post sinaptik. Keduanya, baik itu efek pre dan postsinaptik dapat terjadi. Interaksi langsung dengan membran plasma neuronal lebih sering terjadi,tetapi selain itu kerja tidak langsung melalui second messenger juga memungkinkan. Adanya hubungan yang kuat antara kelarutan dalam lemak dan potensi anestesi menunjukkan agen anestesi inhalasi memiliki kerja pada sisi hidrofobik juga. Postulat hipotesis reseptor protein mengatakan bahwa susunan saraf pusat berperan terhadap kerjanya agen anestesi inhalasi. Bagaimanapun, masih belumjelas apakah agen inhalasi mengganggu aliran ion melalui saluran membran dengan cara kerja tidak langsungnya pada membran lipid melalui perantara seccond messenger. Atau secara langsung dan spesifik mengikat saluran protein.

Teori lain menjabarkan mengenai aktivasi dari Gamma Aminobutyric Acid (GABA) reseptor oleh gen anestesi inhalasi. Agen volatile mengaktifkan GABA channel dan menghiperpolarisasikan membran sel. Sebagai tambahan, agen ini

(40)

Sevofluran adalah fluorinated methyl isopropyl ether. Koefisien partisi darah gas sevofluran adalah 0,69 yang secara teoritis memungkinkan obat ini menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan yang cepat pula setelah obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isofluran, pemulihan dengan sevofluran bisa lebih cepat 3 sampai 4 menit. Minimum alveolar concentration (MAC) pada suku kamar 37ºC, pada tekanan 760 mmHg, usia 30-35 tahun adalah 1,8-2,0% (Aranake dkk, 2005; Eger dkk, 1965; Eger, 2002). Minimum alveolar concentration sevoflurane akan menurun sesuai dengan bertambahnya umur,

pemberian N2O, opioid, barbiturat, benzodiazepine, alkohol, temperatur, obat

(41)

17

(42)

2.3 Target Controlled Inhalational Anesthesia (TCIA)

Target controlled inhalational anesthesia yang juga disebut end tidal

control adalah sebuah sistem pemberian anestesi yang terdapat pada mesin

anestesi generasi yang baru seperti mesin anestesi Drager Zeus (Dräger Zeus® Infinity® Empowered Anesthesia Workstation), mesin anestesi AISYS Carestation

(WiproGE healtcare Pvt, Ltd 881), mesin anestesi Drager Primus® (Sinclair dkk, 2014; Hinz dkk, 2012). Target controlled inhalational anesthesia merupakan modalitas sistem pemberian anestesi dimana mesin menyesuaikan secara otomatis kadar agen anestesi untuk mencapai target level yang diinginkan oleh pengguna. Beberapa mesin mulai dikeluarkan dengan teknologi sirkuit pernafasan semi tertutup ataupun tertutup secara otomatis untuk mengontrol kadar end tidal (ET) dari agen anestesi volatil, oksigen dan nitrous oxide (N2O). Penggunaan agen

anestesi inhalasi pada sirkuit semi tertutup ataupun tertutup membuat agen volatil anestesi bisa dihirup kembali. Hal ini membuat perbedaan pada agen anestesi volatil yang diberikan dan yang di inspirasi tergantung pada fresh gas flow (FGF). Sehingga FGF yang tinggi dibutuhkan pada permulaan anestesi agar bisa mendapatkan kontrol yang cepat terhadap kadar ET anestesi. Kondisi tersebut membuat aliran gas yang lebih besar dan meningkatkan biaya serta polusi lingkungan. Fresh gas flow yang rendah dapat digunakan ketika kadar konsentrasi ET anestesi yang stabil untuk periode waktu tertentu. Tehnik yang memamfaatkan aliran FGF yang kurang dari ventilasi alveolar dapat diklasifikasikan sebagai low flow anesthesia didefinisikan sebagai tehnik dimana setidaknya 50% gas ekspirasi

(43)

19

Low flow anesthesia adalah suatu tehnik yang benar-benar sangat berarti dalam

penghantaran aliran gas kurang dari 2 liter per menit yang digunakan untuk memberikan agen anestesi kepada pasien (Potdar dkk, 2014; Baum, 1994). Kontrol gas anestesi secara otomatis untuk mewujudkan keamanan pasien yang lebih baik dan pengoperasian yang lebih sederhana. Penggunan kontrol anestesi yang tepat melalui dosis agen anestesi yang tepat adalah sangat penting untuk keamanan pasien. Dengan mesin anestesi generasi terbaru yang telah menerapkan sistem target controlled anesthesia (TCA) memungkinkan dapat secara akurat mengontrol otomatis penggunaan oksigen, gas pembawa, anestesi volatil, dan juga kontrol manual dosis fresh gas. (Singaravelu dkk, 2012; Olympio, 2015). Sistem TCA ini memungkinkan dokter anestesi dapat menentukan target nilai. Fungsi TCA memastikan bahwa target nilai ini tercapai dan dapat dipertahankan dengan baik. Kontrol secara otomatis akan dapat memberikan secara tepat jumlah gas anestesi yang diberikan, dan tidak hanya membuat induksi dan pemulihan anestesi yang cepat namun juga dapat memberikan kedalaman anestesi yang stabil. Target controlled anesthesia dapat membantu menentukan target efek dari anesthesi

(44)

aplikasi pemberian anestesi yang semuanya secara otomatis. Agen anestesi yang digunakan secara langsung diaplikasikan pada sirkuit pernafasan, hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk anestesi menjadi lebih optimal, tidak tergantung pada suplai fresh gas (Singaravelu dkk, 2012; Tay, 2013; Weich dkk, 1991).

(45)

21

menurun, FGF secara otomatis akan ditingkatkan sebaliknya jika tekanan naik FGF akan diturunkan. Sehingga pada kondisi yang stabil hanya sedikit atau tidak ada gas yang terbuang, inilah yang merupakan ciri sistem tertutup. Sebagai konsekuensi dari sistem tertutup ini dengan konsentrasi oksigen yang stabil oksigen yang mengalir ke dalam sistem dapat dianggap sebagai oksigen yang dikonsumsi oleh pasien. Anestesi volatil diberikan dengan cara injeksi sehingga untuk meningkatkan konsentrasi anestesi volatil tanpa meningkatkan FGF. Jumlah yang diberikan dikalibrasi untuk mencapai konsentrasi ET yang diinginkan dalam waktu kurang dari tiga menit tanpa overshooot, berdasarkan farmakokinetik yang meliputi fungsional residual kapasitas yang dihitung berdasarkan berat badan dan tinggi badan pasien (Ponsonnard dkk, 2014; Patil dkk, 2013; Baxter 1997). Untuk keamanan konsentrasi agen volatil dalam sirkuit dibatasi agar level inspirasi menjadi tidak lebih tinggi dari pada yang diperoleh dengan vaporiser tradisional. Sistem keamanan menggunakan sensor sidestream yang berdiri sendiri untuk mengukur volatil agen dan konsentrasi oksigen yg diinspirasi. Target controlled anesthesia diharapkan dapat:

1. Meminimalisasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ET anestesi yg diinginkan.

2. Mengurangi overshoot dan fluktuasi 3. Mengurangi konsumsi gas dan penguapan

(46)

Target controlled anesthesia dapat mencapai keseimbangan sama cepat

dengan pemberian secara manual (konvensional) dengan FGF yang tinggi tetapi sistem ini tanpa menimbulkan overshoot, dan secara signifikan akan mengurangi konsumsi volatil agen. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Lockwood dkk, 2001; Loke dkk, 1993).

Gambar 2.1

(a) Skema Diagram dari Sistem Sirkuit Pernafasan Anestesi Tradisional (b) Skema Diagram Sirkuit Pernafasan Anestesi dengan End Tidal Control.

(47)

23

2.3.1 Mekanisme Dari Target Controlled Inhalational Anesthesia

Target controlled inhalational anesthesia adalah sebuah mekanisme dalam

sistem pernafasan, dimana nilai gas yang diinginkan ditentukan secara komputerisasi, untuk mencapai target pemberian gas. Sirkuit pernafasan anestesi di dalam mesin ini meliputi pencampur gas yang mengatur jumlah oksigen dan udara atau N2O yang diberikan kepada pasien tergantung pada pengaturanya.

Selector valve akan terbuka sesuai dengan mode yang dipilih. Sensor secara terus

menerus akan memantau proses pencampuaran gas. Gas yang tercampur keluar dari pencampur dan mengalir ke vaporiser elektronik, dimana proses penguapan agen terjadi menggunakan aliran by pass konvensional dan prinsip penguapan bebas. Dari sini gas akan mengalir melalui katup inflow dan outflow. Meskipun begitu pengiriman agen yang sesungguhnya di kontrol oleh vaporiser elektronik. Alat ini mengatur aliran by pass dan juga mengontrol katup inflow dan out flow untuk mencapai aliran keluaran gas yang diinginkan. Multipel sensor dalam jalur perjalanan gas secara konstan memantau aliran dan tekanan untuk memastikan konsentrasi gas yang diinginkan dalam FGF, bahkan pada FGF yang minimal. Konsumsi dari berbagai gas inhalasi secara otomatis dihitung oleh perangkat lunak komputer di dalam mesin. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Nugroho dkk, 2012; Cooman dkk, 2009).

Mesin anestesi yang bisa menerapkan sistem TCIA secara manual controlled di RSUP Sanglah Denpasar adalah mesin anestesi Drager Primus.

(48)

penelitian ini hanya akan menggunakan TCIA sevofluran. Obat ini dipilih demi kemudahan secara teknis karena obat ini tersedia di RSUP Sanglah.

Gambar 2.2

Foto Mesin Anestesi Dräger Zeus® Infinity® Empowered

Gambar 2.3

(49)

25

Gambar 2.4

Foto Mesin Anestesi Dräger Primus®

Gambar 2.5

(50)

2.3.2 Anestesi Dengan Fresh Gas Glow Yang rendah

(51)

27

menurunkan biaya tahunan anestetik volatil. Penurunan FGF dari 3 L/menit menjadi 1 L/menit menghasilkan penghematan sekitar 50% konsumsi total anestetik volatil. Anestesi aliran tinggi juga menyebabkan polusi lingkungan. Sebagai contoh, N2O diperkirakan bertanggung jawab terhadap10% efek rumah

kaca. Halothan, enfluran, dan isofluran mengandung chlorine, yang diyakini mempunyai potensi merusak lapisan ozon. Sedangkan desfluran dan sevofluran tidak mengandung chlorine dan tampaknya tidak mempunyai efek gas rumah kaca (Nunn, 2008; Baum, 2001; Coetzee dkk, 2002). Penurunan FGF menyebabkan pelepasan anestetik yang lebih sedikit ke lingkungan dan menyebabkan lebih sedikit polusi atmosfer. Gas yang dihantarkan dengan FGF tinggi biasanya kering dan dingin, sedangkan penurunan FGF membuat gas yang di-resirkulasi hangat dan lembab. Lebih banyak gas yang disirkulasi melalui CO2 absorber, lebih

banyak panas dan kelembaban yang dihasilkan melalui proses absorpsi CO2.

Menghirup gas yang hangat dan lembab selama anestesi bermanfaat untuk pasien karena beberapa alasan:

- Gas yang hangat dapat mempertahankan suhu tubuh. Di beberapa negara atau di praktek pediatrik, di mana alat pertukaran panas dan kelembaban tidak digunakan secara rutin, konservasi panas dan kelembaban dalam sistem pernapasan dibantu dengan penggunaan FGF rendah.

(52)

- Humidifikasi gas pernapasan akan menurunkan kehilangan air dari jalan napasdan mencegah pengeringan jalan napas dan bronkus selama intubasi endotrakeal (Nunn, 2008; Bratwall dkk, 2012; Baum, 1995).

2.3.3 Farmakoekonomi Target Controlled Inhalational Anesthesia

Analisis terhadap penggunaan sumber daya dan biaya yang efektif telah menjadi prioritas dalam mengelola suatu layanan kesehatan. Ini menyediakan tantangan untuk penyedia layanan anestesi yang menginginkan memberikan layanan berkualitas yang aman tapi ekonomis. Dalam anestesi, penggunaan volatil/gas anestesi menyumbang hingga 20-25% dari biaya total anestesi secara keseluruhan. Biaya penggunaan gas anestesi bervariasi pada setiap institusi dan lokasi. Tantangan terbesar untuk farmasi rumah sakit adalah menganggarkan biaya obat. Merancang anggaran untuk obat intravena jauh lebih mudah daripada gas anestesi karena ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diterima dan dimasukkan. Menghitung biaya obat gas anestesi dibuat berdasar metode penyampaian. Gas anestesi dibeli dalam bentuk cair dan dimasukkan melalui vaporizer, membuatnya menjadi sulit untuk mengukur secara langsung berapa gas

(53)

29

Minimum alveolar concentration, (3) Model empat kompartemen, (4) Persamaan

volume persen, (5)Pengukuran volume,(6) Formula Dion, dan (7) Formula Loke. Sudah ditentukan bahwa formula Dion merupakan metode yang lebih diandalkan untuk tenaga anestesi profesional untuk menentukan biaya gas anestesi. Menghitung jumlah gas yang digunakan menggunakan formula Dion dapat mempermudah dalam melakukan kalkulasi biaya. Untuk menentukan total biaya gas anestesi, adalah penting untuk menentukan persen konsentrasi, jumlah FGF, densitas, dan berat molekul dari gas tersebut. Eger menyatakan bahwa meskipun biaya per-satuan/unit cost sevofluran lebih mahal daripada desfluran, di mana dibutuhkan kira-kira tiga kali jumlah desfluran untuk menciptakan kedalaman anestesi seperti pada sevofluran pada flow rate yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedan dalam hal potensiasi, di mana untuk mencapai satu MAC dibutuhkan kurang lebih 2% sevofluran dan 6% desfluran. Minimum alveolar concentration didefinisikan sebagai konsentrasi minimum alveolar dari gas anestesi inhalasi yang menghasilkan immobilisasi dari 50% populasi yang dilakukan insisi surgikal (Eger, 2010). Frank Aroh mengklaim bahwa meski sevofluran lebih mahal per mL, namun MAC desfluran yang tiga kali lebih tinggi dibanding MAC sevofluran, membuat sevofluran gas yang lebih murah untuk digunakan. Aroh menyimpulkan hal di atas berdasarkan kalkulasinya hanya dengan dua variabel, MAC dan unit biaya. Aroh mengklaim bahwa Montefiore Medical Center dapat menghemat $100,000 selama satu tahun dengan

(54)

anestesi yang disinggung dan tidak ada analisis biaya yang dibuat. Lockwood dan White pada tahun 2001 memasukkan sistem kompartemen empat model dari Weiskopf dan Eger untuk menciptakan model komputer guna membandingkan langsung biaya isofluran, desfluran, dansevofluran pada sistem terbuka dan tertutup. Model komputer empat kompartemen memperhitungkan kelarutan, penyerapan, dan penghapusan gas anestesi dalam tubuh. Biaya dari gas volatil anestesi dapat ditentukan dengan menggunakan harga pasar, potensi, jumlah uap yang dihasilkan, dan aliran FGF. (Odin dkk, 2005). Peter Dion (1992) menyatakan formula untuk langsung mengukur biaya gas anestesi menggabungkan hukum gas ideal hukum. Biaya agen anestesi dapat dihitung dari konsentrasi (%) gas yang telah dikirimkan, FGF (L/ menit) , durasi pengiriman anestesi inhalasi (menit), berat molekul (molecul weight/ MW dalam gram) , biaya per ml (dalam dolar), faktor 2412 untuk memperhitungkan volume molar gas pada 21° C (24,12 L), dan kepadatan (D dalam gr/mL).

Rumus dari Formula Dion adalah sebagai berikut :

BIAYA ( $ ) = [ (Konsentrasi) (FGF) (Durasi) (MW) (Biaya / mL) ] [ (2412) (D) ]

(55)

31

universal, satu mol dari gas ideal pada tekanan satu atmosfir pada suhu 21o C akan menjadi 24,12 liter cairan. Formula Dion tidak mengambil jumlah distribusi dan uptake secara spesifik tapi lebih kepada jumlah gas anestesi inhalasi. Jumlah vapor yang digunakan menetukan biaya,membuat formula Dion metode yang dapat dipercaya untuk perhitungan biaya dan menunjukkan sevofluran sebagai gas anestesi yang paling ekonomis dibandingkan desfluran. Loke dan Shearer mempertanyakan penggunaan rumus Dion di agents volatil baru mereka menggunakan rumus asli Dion dan memasukkan hukum gas ideal langsung menjadi rumus daripada menggunakan faktor konversi 2.412 untuk 24.12 Liter, yang menggambarkan volume molar gas pada satu atmosfer di 21º C. Loke lalu memformulasikan untuk menggantikan konstanta 2412 dengan suhu atmosfer dalam pascal, hukum gas ideal konstan 8.314, dan temperatur di Kelvin. Loke dan Shearer juga memasukan biaya gas pembawa nitrous oxide dan oksigen dan dibandingkan halotan, enfluran, dan isofluran (Loke dkk, 1993). Saat publikasi tersebut, desfluran dan sevofluran belum tersedia di Australia.

(56)
(57)

33

semakin mudah (Crozier, 1999). Pada mesin anestesi Drager Primus jumlah (ml) obat anestesi volatil yang digunakan dapat dilihat dengan menekan tombol logbook pada layar monitor mesin setelah berakhirnya proses anestesi dikerjakan,

maka akan keluar jumlah obat anestesi yang dipakai selama proses anestesi berlangsung. Demikian juga jumlah (dalam satuan liter) oksigen dan compressed air dan N2O yang terpakai selama proses anestesi dapat diketahui dengan mudah

hanya dengan menekan tombol logbook dilayar monitor setelah proses anestesi berakhir. Sediaan agen volatil sevofluran yang terdapat di IBS RSUP Sanglah Denpasar beserta harga yang dibebankan kepada pasien (harga jual dari instalasi farmasi RSUP Sanglah) saat ini adalah : Sevofluran SOJOURN produksi Minrad inc. 250 ml/botol dengan harga Rp. 1.465.000,- (HET Rp. 3.813.350,-). Jika dibagi volume per botol sebanyak 250 ml maka didapatkan harga per-ml volume Sevofluran Sojourn sebesar Rp. 5.860,-/ml.

2.4 Anestesi Intravena

(58)

pusat seperti sebelum pembiusan. Karena tidak ada obat tunggal yang sempurna maka pada praktiknya, obat anestesi sering diberikan berupa kombinasi.

(59)

35

(60)
(61)

37

2.4.1 Mekanisme Kerja Propofol

Propofol adalah modulator selektif reseptor GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA

diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel sinap dan inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA (Butterworth dkk, 2013)

2.4.2 Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol

Propofol adalah bagian dari grup alkylphenol yang memiliki kemampuan hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6-diisophropyl-phenol) terdiri dari cincin phenol dengan dua gugus isoprophyl. Karakteristik potensi, kecepatan induksi dan waktu pemulihan sangat dipengaruhi oleh panjangnya rantai alkilphenol ini. Propofol tidak larut dalam air tetapi merupakan suatu emulsi minyak dan air. Alkilphenol menjadi minyak dalam temperatur kamar dan tidak larut dalam larutan air, namun propofol sangat larut lemak. Formulasi yang ada sekarang mengandung 1% propofol, 10% soy bean oil (minyak kedelai), 2,25% glycerol (gliserol), dan 1,2% egg fosfatide (fosfatida telur murni) atau lecitin

(62)

timbul saat penyuntikan oleh karena formula yang beredar memiliki keasaman pH sekitar 7. Formula propofol di atas sangat mudah menjadi media tumbuh bakteri, sehingga tehnik seril sangat diperlukan dalam penggunaan propofol dan sebaiknya tidak melebihi 6 jam dari saat pertama kali membuka ampul obat. Saat ini propofol sudah mengandung 0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme walaupun hal ini belumlah memenuhi standar pharmacopie Amerika Serikat. Semua formula yang tersedia secara komersial stabil pada suhu kamar dan tidak sensitif terhadap cahaya. Jika diperlukan dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam larutan, sebaiknya dilarutkan dalam dextrose 5% air (D5W) secara teori larutan ini akan

mengakibatkan sedikit perubahan pada farmakokinetik, pemecahan emulsi, degradasi spontan propofol dan kemungkian perubahan efek farmakologi (Butterworth dkk, 2013).

2.4.3 Farmakokinetik Propofol a. Absorpsi

Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai berat.

b. Distribusi

(63)

39

Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit (Katzung, 2004). Banyak peneliti yang mempunyai pendapat yang sama bahwa waktu pemulihan propofol lebih cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk dibandingkan obat lain (methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini menyebabkan propofol menjadi pilihan untuk anestesi rawat jalan (one day care). Sehubungan dengan volume distribusi yang lebih rendah pada orang dewasa maka kebutuhan dosis induksi lebih rendah dan perempuan memerlukan dosis yang lebih besar dibanding laki-laki juga waktu bangun pada perempuan lebih cepat. Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3 kompartemen, dimana pada pemberian bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan menurun dengan cepat akibat adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi awal dari propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan waktu paruh eliminasi 4-23,5 jam. Waktu paruh yang panjang diakibatkan oleh karena adanya kompartemen dengan perfusi terbatas.Context sensitive half time untuk infus propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol

(64)

c. Biotransformasi

Tingginya tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10 kali lipat dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah pemberian infus kontinyu.

d. Ekskresi

Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol.

2.4.4.Farmakodinamik Propofol a. Susunan Saraf Pusat

Mekanisme kerja dari propofol adalah dengan meningkatkan aliran γ -amino butyric acid induced chloride melalui ikatan pada subunit β dari

reseptor GABA. Propofol melalui aksinya pada reseptor GABA di hippokampus menghambat pelepasan asetilkolin di hipokampus dan korteks

prefrontal. Sistem α2-adrenoreseptor juga tampaknya memainkan peran tidak

(65)

41

(66)

b. Kardiovaskular

(67)

43

propofol dengan fentanil adalah stimulus utama yang ampuh untuk hipotensi. Selama pemeliharaan anestesi dengan infus propofol, tekanan darah sistolik arteri juga menurun menjadi 20% sampai 30%. Pada pemberian dosis pemeliharaanpropofol 100 µg/kgbb/menit terjadi penurunan yang signifikan dalam resistensi pembuluh darah sistemik (30%), tetapi curah jantung dan volume sekuncup tidak berubah. Efek penekanan pada pembuluh darah (vasodilatasi), konsumsi oksigen dan penekanan pada otot jantung jauh lebih jelas terjadi pada saat induksi dibandingkan pada pemeliharaan anestesi. Efek lain propofol adalah tidak meningkatkan blokade neuromuskuler yang dihasilkan oleh obat pelumpuh otot (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006).

c. Respirasi

(68)

penurunan 40% pada tidal volume dan peningkatan 20% pada frekuensi pernapasan, dengan perubahan tak terduga dalam ventilasi semenit. Menggandakan laju infus dari 100 ke 200 mcg/kgbb/menit menyebabkan penurunan lebih lanjut volume tidal (455-380 ml), tetapi tidak ada perubahan dalam frekuensi pernapasan. Selama infus pemeliharaan propofol (54 µg/kgbb/menit), PaCO2 cukup meningkat 39-52 mmHg. Penggandaan laju

infus tidak mengakibatkan peningkatan lebih lanjut dalam PaCO2. Propofol (50-120 µ g/kgbb/menit) juga menekan respon ventilasi terhadap hipoksia, akibat kerja langsung pada kemoreseptor badan karotid. Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis. Dalam model hewan percobaan dengan endotoksemia septik, propofol (10 mg/kgbb/jam) secara nyata mengurangi mediasi radikal bebas dan katalis siklooksigenase peroksidasi lemak. Manfaat ini belum dikonfirmasi pada manusia. Propofol pada konsentrasi terapeutik juga melindungi makrofag tikus dari nitrat oksida-induced apoptosis (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006).

2.4.5 Efek Samping Propofol

(69)

45

(70)

bahwa penyuntikan dengan larutan yang mempunyai pH < 4 atau pH >11 dapat menyebabkan nyeri. (Nathansondkk, 1996)

2.4.6 Kontra Indikasi Propofol

Propofol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi propofol dan putih susu. Pasien dengan kelainan jantung yang diberikan obat propofol, harus dimonitor secara ketat hemodinamik maupun respirasinya, serta pemberian propofol dititrasi sesuai respon kardiovaskular pasien (Stoelting dkk, 1999).

2.4.7 Propofol Related Infusion Syndrome (PRIS)

Propofol related infusion syndrome (PRIS) adalah merupakan kumpulan

(71)

47

(72)

penggunaan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) juga sukses pada beberapa kasus (Leigh, M., 2010). Selain PRIS pada pemberian propofol dengan konsentrasi di dalam plasma lebih dari 20 µg/ml akan dapat menyebabkan adanya kejadian glutamate excitotoxicity yang berperanan sangat penting dalam terjadinya iskemia dan rusaknya sel saraf di otak. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya patologi epilepsi dan trauma otak (Zhu dkk, 1997).

2.5 Target Controlled Infusion (TCI ) Propofol

Penggunaan obat obatan intravena membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang mencakup karakteristik obat, onset dan durasi kerja, serta metabolisme dan ekskresi obat. Penggunaan obat obatan intravena dapat menggunakan bolus intermiten ataupun infus kontinyu. Kelebihan dari infus kontinyu dibandingkan bolus intermiten adalah menghindari kelebihan dosis obat, dan menjaga kadar plasma darah tetap pada level yang diinginkan sehingga anestesi yang dihasilkan tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal. Penggunaan infus kontinyu pada awalnya menggunakan Computer Assisted Continuous Infusion (CACI) yang berupa syringe pump yang terhubung dengan monitor dan menggunakan program

(73)

49

(74)

tahun 1998 sebagai metode administrasi propofol untuk anestesi umum, dimana obat disuntikan untuk mencapai suatu target konsentrasi obat dalam darah yang diprediksi secara spesifik. Sejak itu TCI lalu menjadi metode yang paling sering digunakan dalam melakukan anestesi intravena di Amerika dan Eropa. Selain aplikasi klinis dalam anestesi, sistem ini juga berperan untuk pemberian obat sebagai sedatif dan analgesik selama tindakan endoskopi, radio diagnostik (CT-Scan, MRI), dan atau radioterapi. Dengan TCI, obat anestesi intravena diberikan berdasarkan farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang digabungkan dengan teknologi komputer modern. TCI mempertahankan konsentrasi target yang diinginkan dan dapat disesuaikan dengan dapatan klinis pasien. Pada dasarnya TCI adalah menetapkan konsentrasi tertentu yang harus dicapai dan dipertahankan oleh alat baik di plasma (Cp) maupun effect site concentration (Ce). Konsentrasi target diatur sejak awal oleh ahli anestesi untuk mendapat luaran klinis yang diperlukan. Perubahan konsentrasi target yang diatur oleh ahli anestesi akan terlihat pada effect site compartment setelah waktu tertentu karena terdapat jarak waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang dituju atau obat berefek. Diprifusor adalah sistem mikroprosesor terkontrol pertama yang tersedia secara komersial pada tahun 1996. Target controlled infusion yang dikendalikan oleh Diprifusor hanya bisa menggunakan propofol yang menggunakan jarum suntik

(75)

51

context-sensitivity decrement time. Model kompartemen farmakokinetik

merupakan model yang digunakan untuk menggambarkan nasib obat dalam tubuh. Model ini berdasarkan analisis matematika terhadap hubungan konsentrasi plasma terhadap waktu dan keadaan plasma sendiri yang merupakan kompartemen sentral dalam model yang dimaksud. Hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik paling baik dijelaskan oleh konsentrasi plasma. Namun, setelah terjadi perpindahan di sawar darah otak, obat anestesi beraksi di sistem saraf pusat yang menunjukkan the effect site sehingga konsentrasi effect site yang menentukan efek obat terhadap organ. Walaupun waktu tercapainya keseimbangan antara darah dan effect site termasuk singkat, hal ini tidak dapat terjadi secara instan. Setelah bolus obat intravena terdapat jarak waktu antara konsentrasi darah tercapai dan efek sentral karena waktu ekuilibrasi darah/effect site. Jarak waktu ini dapat diperkirakan dari efek sentral yang diperlihatkan seperti

(76)

menyesuaikan antara konsentrasi obat dengan efek klinis yang diinginkan dengan lebih baik dimana hal ini merupakan yang paling diinginkan dalam mengelola anestesi terutama saat induksi dan prediksi pemulihan. Tehnik ini memungkinkan titrasi obat yang lebih tepat berdasarkan peningkatan konsentrasi bertahap dimana variasi antar individu dalam hal farmakokinetik dan farmakodinamik diperkirakan sekitar 30% (Ruetsch, 1998).

Target controlled infusion adalah infus yang dikontrol dengan tujuan untuk mencapai konsentrasi tertentu obat pada kompartemen tubuh. Dengan menggunakan teknik ini ahli anestesi dapat mengatur dan mengganti konsentrasi yang diinginkan sesuai dengan observasi klinis pada pasien. Target controlled infusion dikembangkan untuk memberikan kenyamanan dan kontrol selama

(77)

53

(78)

adalah sufentanil (model Bovil dan Gepts), alfentanil (model Maitre), remifentanil (model Minto).

Gambar 2.6

Three Compartment Model (Dikutip dari Naidoo, 2011)

Gambar 2.7

Skema Three Compartment Pharmacokinetic Model (Dikutip dari Naidoo, 2011)

2.5.1 Model Marsh

(79)

55

dapat digunakan untuk umur dibawah 16 tahun. Hal ini menjadi sumber bias dan ketidakakuratan sistim Marsh (Naidoo, 2011).

Gambar 2.8

Foto Mesin TCI Perfusor® Space dari B. Braun yang dimiliki Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.

2.5.2 Model Schnider

(80)

schnider waktu pulihnya lebih cepat dibanding Marsh. Untuk tujuan induksi model schnider akan lebih lambat dibandingkan model Marsh (Naidoo, 2011).

2.5.3 Target Konsentrasi Plasma dan Konsentrasi effect site Propofol TCI

Pasien usia muda target konsentrasi plasma propofol untuk induksi adalah 6-8 µg/ml, hati-hati pada saat induksi orang tua atau pasien sakit berat, dosis perlu disesuiakan dengan menurunkan konsentrasi induksi. Saat konsentrasi induksi tercapai harus dipertimbangkan untuk menurunkan dosis konsentrasi plasma sesuai dengan estimasi konsentrasi effect site. Konsentrasi disesuaikan dengan respon klinis pasien dan pengaruh dari obat penyerta lainnya seperti ketamine, opioid, benzodiazepine. Saat stimuli pembedahan berkurang target konsentrasi juga dikurangi bertahap sehingga waktu pemulihan makin cepat. Pada prakteknya konsentrasi plasma yang diperlukan untuk induksi adalah 5-6 µg/ml dan bisa ditingkatkan sampai 8 µg/ml pada pasien dewasa muda yang sehat. Pada pasien yang telah mendapatkan premedikasi terlebih dahulu konsentrasi plasma bisa dikurangi 4-5 µ g/ml. Dengan target effect-site, tidak diperlukan tekanan yang tinggi untuk meningkatkan konsentrasi obat, karena mesin TCI akan bekerja secara otomatis. Jika ada penundaan dari induksi, target konsentrasi rendah dapat dimulai pada 0,5 mcg/ml untuk mendapatkan efek anxiolitik dan menilai sensitifitas pasien terhadap propofol. Kemudian setelah itu ahli anestesi harus menilai pada level berapa akan terjadi hilangnya kesadaran. Ketika konsentrasi effect-site dicapai, efek klinis dinilai dan target dapat dinaikkan atau diturunkan

(81)

57

sesuai level dari stimulus bedah. Saat ini tidak ada bukti yang menganjurkan model target apa yang lebih baik, namun direkomendasikan untuk menggunakan model marsh pada model target konsentrasi plasma dan model Schnider menggunakan mode effect-site. Pengguna TCI harus berhati-hati saat mengubah model target plasma menjadi konsentrasi effect-site atau sebaliknya, jumlah propofol yang bervariasi akan dimasukkan ke dalam sirkulasi pasien pada model model yang berbeda dan akan menimbulkan efek klinis yang tidak diduga. Seperti halnya anestesi inhalasi, penyesuaian dosis harus dilakukan berdasarkan respon klinis (Naidoo,2011). Keuntungan penggunaan TCI secara umum adalah: dapat memfasilitasi titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan, memudahkan perhitungan dosis obat dan pemberiannya, diperolehnya informasi tambahan mengenai obat yang diberikan seperti jumlah obat yang diberikan, durasi pemberian, konsentrasi dan lain-lain, pemberian dosis obat dengan memperhitungkan usia dan karakteristik pasien lainnya, konsentrasi obat yang dicapai lebih stabil, dapat terhindar dari kelebihan dosis dan masa pulih yang lebih cepat (Kennedy, 2005).

2.5.4 Farmakoekonomi TCI propofol

(82)

intraoperatif dari kedua kelompok. Biaya anestesi intraoperatif pada kelompok anestesi intravena total dengan TCI dengan rata-rata Rp. 957.870, - dan simpang baku Rp. 73.910,-. Sedangkan pada kelompok kontrol biaya anestesi intraoperatif dengan rata-rata 1.318.130 dengan simpang baku Rp. 155.238,-. Berdasarkan statistik dengan uji t didapatkan bahwa kedua kelompok memiliki perbedaan signifikan (p = 0,001). Berdasarkan rerata biaya anestesi intraoperatif, juga didapatkan biaya anestesi per-pasien yaitu sebesar Rp. 957.870,- untuk kelompok TCI Propofol danRp. 1.318.130,- untuk kelompok sevofluran. Sedangkan jika berdasarkan menit anestesi, didapatkan rata-rata biaya anestesi intraoperatif sebesar Rp. 5.999,- untuk per menit anestesi pada kelompok TCI propofol serta Rp. 8.170,- untuk permenit anestesi pada kelompok sevofluran (Iswahyudi dkk, 2013). Analisis minimalisasi biaya anestesi umum propofol TCI dan anestesi inhalasi dengan isofluran pada operasi bedah onkologi, pada penelitian ini didapatkan rasio penggunaan obat persatuan waktu kelompok A 8,54 mg (±2,04 mg) per menit dan kelompok B 0,42 ml (±0,09 ml) per menit. Biaya obat anestesi umum pada kelompok A Rp. 800,85 (±Rp. 127,99) per menit. Pada kelompok B Rp. 1.266,32 (± Rp. 248,26) per menit (p < 0,001). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis minimalisasi biaya obat anestesi umum menggunakan TCI propofol secara signifikan berbeda bermakna menghasilkan beban biaya yang lebih murah dibandingkan anestesi inhalasi isofluran (Adi dkk, 2014)

(83)

59

Denpasar beserta harga yang dibebankan kepada pasien (harga jual dari instalasi farmasi RSUP Sanglah) saat ini adalah propofol merk FRESOFOL dengan harga Rp. 20.782,- (HET Rp. 99.000,-) per ampul 20 ml dengan kandungan propofol 200 mg. Daftar harga obat-obatan dan perlengkapan lainya dicantumkan dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1

Daftar Harga Obat dan Harga per-satuan per-Desember 2015 (sumber : Instalasi Farmasi RSUP Sanglah Denpasar)

NAMA OBAT DAN ALAT HARGA

SEVOFLORAN SOJOURN Minrad inc. 250 ml/botol Rp. 1.465.000 PROPOFOL FRESOFOL ampul 10 mg/ ml; 20 ml/amp Rp. 20.782 LIDOCAINE ampul 40 mg/ml ; 2 ml/amp. Rp. 1.074 MIDAZOLAM ampul 1 mg/ml ; 5 ml/amp. Rp. 7.040 ONDANCETRON ampul 2 mg/ml ; sediaan 2 ml/amp. Rp. 3.071 KETOROLAC ampul 30 mg/ml; 1 ml/amp. Rp. 2.944 FENTANYL ampul 50 mcg/ml; 2 ml/amp. Rp. 43.409 MORFINA ampul 10 mg/ ml; 1 ml/amp Rp. 10.752 NOTRIXUM (Atracurium) ampul 10 mg/ml; 2.5 ml/amp Rp. 16.896 ECRON (Vecuronium) vial 10 mg; serbuk Rp. 213.305 DEXAMETHASONE amp 5 mg/ml; 2 ml/amp Rp. 1.792 AQUABIDEST pro injeksi sterile water 50 ml Rp. 2.598

Extension Tube Rp. 44.800

Three-way ekor Rp. 41.151

Gambar

Gambar 2.1 (a) Skema Diagram dari Sistem Sirkuit Pernafasan Anestesi Tradisional
Foto Mesin Anestesi Dräger ZeusGambar 2.2 ® Infinity® Empowered
Foto Mesin Anestesi  Dräger PrimusGambar 2.4 ®
Three Compartment Model Gambar 2.6 (Dikutip dari Naidoo, 2011)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari kedua faktor ini, rigiditas (atau morfologi) mempunyai pengaruh yang lebih besar, dari pada kandungan gugus -SO 3 H, pada sifat konduktivitas ionik membran PEMFC berbasis sPS

menunjukkan elemen peltier yang sedang dialiri arus listrik dan menimbulkan perbedaan suhu pada kedua interkoneksi. Interkoneksi yang dialiri arus dari n ke tipe-p akan

dihasilkan dalam rantai transport electron (ETC) setelah 90% oksigen dikonsumsi oleh tubuh dengan menghasilkan air dalam mitokondria, selain itu SOR juga dihasilkan

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2OO5 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OOS Nomor L4O, Tambahan Lembaran Negara

Kemudian masyarakat Ndalem Mangkubumen juga memahami apa makna tradisi Megengan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sehingga dalam melaksanakannya mereka mengetahui

dan fungsi implikatur ungkapan kalembo ade dalam bahasa Bima. Berdasarkan tujuan tersebut, fokus masalah dalam penelitian ini yaitu 1) bagaimanakah bentuk implikatur

Kalau sistem tidak mempunyai sasaran, maka operasi sistem dinilai tidak memberikan nilai untuk aktivitas organisasi. 4) Karakteristik sistem informasi di perguruan tinggi

terlampau cukup jauh adalah jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan dinding bata ringan jauh lebih sedikit ketimbang penggunaan pekerja dengan menggunakan