commit to user
PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.)
VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE
CANGKOK PUCUK
Oleh :
RATSIO WIBISONO
H0106022
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE
CANGKOK PUCUK
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan / Program Studi Agronomi
Disusun oleh :
RATSIO WIBISONO
H0106022
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
HALAMAN PENGESAHAN
PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE
CANGKOK PUCUK
yang dipersiapkan dan disusun oleh
RATSIO WIBISONO H0106022
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 24 Januari 2011
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji
Surakarta, Januari 2011
Universitas Sebelas Maret Surakarta Fakultas Pertanian
Dekan
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 19551217.198203.1.003 Ketua
Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MS NIP. 19591205.198503.2.001
Anggota I
Ir. Trijono D.S., MP NIP. 19560616.198403.1.002
Anggota II
commit to user KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya kepada
penulis sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Perbanyakan Belimbing
Manis (Averrhoa carambola L.) Varietas Dewi Secara Vegetatif dengan
Metode Cangkok Pucuk” dapat diselesaikan dengan baik tanpa halangan yang
berarti.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidaklah lepas
dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besar kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Ir. Wartoyo S.P., MS selaku Ketua Jurusan Program Studi Agronomi FP UNS.
3. Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MS selaku Dosen Pembimbing Utama
Skripsi atas segala bimbingan, saran, masukan, dan pengarahan demi lebih
baiknya skripsi ini.
4. Ir. Trijono D.S., MP selaku Dosen Pembimbing Pendamping Skripsi atas
bimbingan, pengarahan saat penelitian, saran, dan masukannya.
5. Ir. Pratignja Sunu, MP selaku Dosen Pembahas Skripsi yang telah
memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
6. Ir. Sumijati, MP selaku Dosen Pembimbing Akademik.
7. Bapak dan Ibu dosen serta karyawan-karyawan Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
8. Pak Ndang selaku penjaga kebun yang telah membantu dalam penelitian di
lapangan beserta keluarga atas suguhan dan ramah-tamah yang telah
diberikan.
9. Keluargaku tercinta : Ibu, Bapak, Kak Dito, dan Adikku Anis yang selalu
memberi dukungan semangat dan doa yang tidak pernah putus.
10. Teman-teman Agronomi angkatan 2006 (IMAGO 06), kakak-kakak dan
adik-adik tingkat FP UNS yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan
commit to user
11. Teman-teman Kurcaci (Aco, Bimo, Tami, Lita, Riska, dan Ocha), Tifa, Olga,
Chika dan teman-teman Bajaj semua sebagai saudara se-kampung dari Jakarta
serta Indun, Dina, Lia, Dani, dan Dimas yang selalu mendukung, memberikan
motivasi, dan pengalaman tak terlupakan.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Demikian, semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Januari 2011
commit to user DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
RINGKASAN ... ix
SUMMARY ... x
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 2
C. Tujuan Penelitian ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.) ... 4
B. Cangkok Pucuk ... 5
C. Media Tanam ... 7
D. Zat Pengatur Tumbuh IBA ... 8
E. Hipotesis... 9
III.METODE PENELITIAN ... 10
A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 10
B. Bahan dan Alat Penelitian ... 10
C. Cara Kerja Penelitian ... 10
1. Rancangan Penelitian ... 10
2. Pelaksanaan Penelitian ... 11
3. Variabel Pengamatan ... 12
4. Analisis Data ... 13
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14
A. Persentase Cangkok Hidup ... 14
commit to user
1. ... Saat
Muncul Kalus (pada bidang sayatan) ... 15
2. ... Saat Muncul Kalus (di luar bidang sayatan) ... 17
3. ... Perse ntase Pertumbuhan Kalus (di luar bidang sayatan) ... 21
C. Akar ... 22
1. ... Perse ntase Cangkok Tumbuh Akar ... 22
2. ... Juml ah Akar ... 23
3. ... Panja ng Akar ... 25
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 27
A. Kesimpulan ... 27
B. Saran ... 27
DAFTAR PUSTAKA ... 28
commit to user DAFTAR GAMBAR
No Judul Hal
1 Histogram saat muncul kalus pada bidang sayatan (%) dengan
berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 16
2 Histogram saat muncul kalus di luar bidang sayatan (%) dengan
berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 19
3 Histogram kemunculan kalus di luar bidang sayatan (%) pada umur
8 MST dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 20
4 Grafik pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan (%) dengan
berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 22
5 Histogram jumlah akar (unit) pada umur 8 MST dengan berbagai
macam media dan konsentrasi IBA ... 24
6 Histogram rata-rata panjang akar (mm) pada umur 8 MST dengan
commit to user DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Hal
1 Persentase cangkok hidup dan tumbuh akar ... 32
2 Jumlah akar (unit) dan rata-rata panjang akar (mm) pada umur 8 MST ... 33
3 Macam media tanam ... 34
4 Denah letak tanaman induk dan perlakuan cangkok pucuk ... 35
5 Teknik pembuatan cangkok pucuk ... 36
commit to user
PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE
CANGKOK PUCUK
RATSIO WIBISONO H0106022
RINGKASAN
Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) varietas Dewi merupakan
tanaman buah unggulan lokal kota Depok, Jawa Barat. Guna menghasilkan buah
yang berkualitas dan kuantitas yang tinggi, serta menambah jumlah tanaman yang
lebih produktif, dapat dilakukan upaya perbanyakan dengan metode cangkok
pucuk, sehingga permintaan akan buah belimbing dapat terpenuhi. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan media tanam dan konsentrasi IBA yang tepat untuk
pembentukan akar pada cangkok belimbing.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011
di Desa Tajurhalang, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor perlakuan dan
4 ulangan. Faktor pertama adalah macam media, yaitu spagnum I, spagnum II,
dan moss. Faktor kedua adalah konsentrasi IBA, yaitu 100 ppm, 150 ppm, dan
200 ppm. Variabel pengamatan meliputi persentase cangkok hidup, saat muncul
kalus (pada bidang sayatan), saat muncul kalus (di luar bidang sayatan),
persentase pertumbuhan kalus (di luar bidang sayatan), persentase cangkok
tumbuh akar, jumlah akar, dan panjang akar. Data yang diperoleh dianalisis secara
commit to user
Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan dengan media spagnum I
memberikan hasil yang lebih baik daripada media spagnum II dan moss pada
kemunculan kalus di luar bidang sayatan pada umur 8 MST sebesar 73,75% dan
mampu meningkatkan pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan. Perlakuan
penambahan IBA dengan konsentrasi 100 ppm mampu menginduksi kalus (pada
bidang sayatan) pada minggu pertama. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya
interaksi antara penggunaan macam media dan berbagai konsentrasi IBA.
PROPAGATION IN VEGETATIVE WAY WITH APICAL LAYERED METHOD
OF STARFRUIT (Averrhoa carambola L.) DEWI’S VARIETY
RATSIO WIBISONO H0106022
SUMMARY
Starfruit (Averrhoa carambola L.) one of them is Dewi’s variety has been
declared as the most sweetest localized fruit that has not been intensively
cultivated. So the method of vegetative propagation is needed for increasing the
number of starfruit trees with the best quality and quantity product of fruits. The
new method of its is apical layered that require the high precision. The success of
aipcal layered are determined by microclimate and media application. The aim of
research is to find out the kind of media and the level of IBA concentration for
inducing root of apical layered.
The research was conducted on October 2010 until January 2011 at
Tajurhalang, Bogor and was arranged by Completely Randomized Design with
two treatment factors. There were media (spagnum I, spagnum II, and moss) and
IBA concentration (100 ppm, 150 ppm, and 200 ppm). So there were nine
treatment combinations and each of them was replicated 4 times. The observation
variables were consisted of layered grow percentage, the time of callus emerge
(on the slide of slice and out of slice), callus grow percentage (out of slice), root
grow percentage, the number of roots, and length of roots. The data were analyzed
commit to user
and moss for the time of callus emerge (out of slice) at 73,75% and can be used
for improving the callus growth, 2) 100 ppm of IBA can be used for inducing the
callus growth, and 3) there are no interaction beetwen kind of media and IBA
concentration.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) merupakan anggota famili
Oxalidaceae yang termasuk ke dalam komoditas tanaman buah asli Indonesia.
Banyak ahli sepakat bahwa tanaman ini adalah tanaman buah yang berasal
dari Indonesia dan sampai saat ini telah banyak ditemukan varietas dari
komoditi tersebut, seperti demak kapur, demak kunir, paris, dewi, wulan, dan
lain-lain. Salah satu varietas yang menjadi belimbing manis unggulan adalah
belimbing dewi. Belimbing dewi merupakan tanaman buah yang menjadi
unggulan lokal kota Depok, Jawa Barat, dengan bentuk buah yang sempurna,
kulit mengkilap, berwarna kuning bercampur jingga cerah, dan memiliki
ukuran buah yang cukup besar.
Belimbing dewi ini mempunyai daya saing yang dapat disejajarkan
dengan buah-buah lainnya bahkan berpotensi untuk di ekspor ke negara lain.
Namun, keberadaan buah belimbing tersebut sangat terbatas di pasaran karena
ketersediaan tanaman induk yang tidak banyak sehingga perlu dikembangkan
agar tercipta tanaman-tanaman baru yang nantinya dapat menghasilkan buah
berkuantitas maupun berkualitas tinggi.
Perkembangbiakan belimbing manis dapat dilakukan baik secara
generatif melalui biji maupun secara vegetatif melalui cangkok (Prahasta,
2009). Pembiakan melalui biji dapat dilakukan dalam jumlah yang cukup
banyak namun sifat yang diturunkan dari tanaman induk kepada tanaman baru
commit to user
menghasilkan buah. Pembiakan secara vegetatif dengan metode cangkok
merupakan perbanyakan tanaman yang akan menghasilkan tanaman baru
dengan sifat yang sama dengan tanaman induk serta jumlah tanaman yang
lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat. Namun, menurut para
penggemar tanaman buah yang melakukan cangkok, belimbing termasuk
tanaman yang cukup sulit untuk dicangkok.
Penggunaan media tanam dan zat pengatur tumbuh dilakukan sebagai
cara untuk mengatasi kendala yang muncul dalam perbanyakan belimbing
manis akibat kesulitan pada metode cangkok tersebut. Agar ketepatan
penggunaan jenis media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh dapat
ditentukan, maka perlu dilakukan penelitian pada perbanyakan vegetatif
dengan tujuan menemukan jenis media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh
yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan akar cangkok pucuk.
Media yang digunakan dalam cangkok adalah media yang mampu
menjaga kelembapan, mempunyai aerasi yang baik, dan ringan. Keadaan yang
gelap dan lembab akan menyebabkan akar dapat tumbuh lebih cepat (Ashari,
1995). Hindari penggunaan tanah yang masih mentah saat pemilihan media
tanam karena tanah mudah kering dan mengeras serta dapat mematahkan
cabang. Media yang dapat digunakan antara lain adalah moss, bubuk sabut
kelapa, lumut (spagnum), pakis, sekam, dan sebagainya (Hakim, 2009). Jenis
media tersebut dapat menentukan hasil pencangkokan karena mampu menjaga
kelembapan.
Beberapa zat pengatur tumbuh yang sering digunakan diantaranya
adalah auksin, sitokinin, giberelin, dan etilen. Auksin berperan dalam inisiasi
akar dan pembesaran sel sedangkan sitokinin berperan dalam pembelahan sel
dan inisiasi tunas (Kyte dan Kleyn, 1990). Auksin sintetik seperti IBA dan
NAA lebih sering digunakan untuk merangsang pengakaran dan terbukti
memberikan hasil yang lebih baik (Herlina dan Benny, 2000). IBA
kemungkinan bahan yang terbaik karena tidak menimbulkan keracunan pada
commit to user
Butyric Acid) yang tepat diharapkan dapat meningkatkan pembentukan akar
pada cangkok belimbing manis.
B. Perumusan Masalah
Perbanyakan belimbing secara generatif memerlukan waktu yang lama
dan seringkali mengalami segregasi sehingga tidak sama dengan induk.
Karena itu, perbanyakan secara vegetatif yang diantaranya adalah dengan
metode cangkok pucuk merupakan terobosan baru untuk menghasilkan
tanaman yang memiliki sifat sama dengan induknya dalam waktu relatif
singkat. Mengingat bahwa permintaan buah belimbing cukup tinggi maka
perbanyakan vegetatif secara cangkok pucuk diharapkan dapat menghasilkan
buah belimbing yang berkualitas dan memiliki kuantitas yang tinggi, serta
menambah jumlah tanaman belimbing manis yang lebih produktif, sehingga
permintaan akan buah belimbing dapat terpenuhi.
Penggunaan media dan penambahan zat pengatur tumbuh IBA
menentukan keberhasilan dalam kemunculan dan pertumbuhan akar pada
cangkok belimbing. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh
macam media dan berbagai konsentrasi IBA terhadap pembentukan akar pada
cangkok belimbing.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini dapat
dirumuskan beberapa masalah yaitu:
1. Media apakah yang tepat untuk pembentukan akar pada cangkok
belimbing ?
2. Berapakah konsentrasi IBA yang tepat untuk pembentukan akar pada
cangkok belimbing ?
3. Adakah interaksi penggunaan media dan konsentrasi IBA pada
pembentukan akar cangkok belimbing ?
C. Tujuan Penelitian
commit to user
1. Mendapatkan media yang tepat untuk pembentukan akar pada cangkok
belimbing.
2. Mendapatkan konsentrasi IBA yang tepat untuk pembentukan akar pada
cangkok belimbing.
3. Mengetahui adanya interaksi antara macam media dan berbagai
commit to user II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.)
Belimbing dibagi menjadi dua jenis, yaitu belimbing manis (Averrhoa
carambola L.) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Banyak ahli
sepakat bahwa tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia dan Malaysia.
Sewaktu muda buahnya berwarna hijau muda dan berubah kuning sampai
kemerahan setelah tua. Belimbing manis memiliki nilai ekonomis yang lebih
tinggi sehingga lebih banyak dibudidayakan (Prahasta, 2009). Belimbing
manis mempunyai klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Famili : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa carambola L. (Anonim, 2010d)
Tumbuhan ini berukuran kecil dengan tinggi 5 – 12 m. Memiliki daun
majemuk dan bunga kecil berwarna merah muda yang harum. Buahnya besar,
berwarna kuning dengan permukaan licin seperti lilin, berlekuk-lekuk, dan
penampang melintang buahnya berbentuk bintang. Belimbing sangat umum
terdapat didataran rendah sampai pada ketinggian 500 mdpl, dapat tumbuh
dengan baik tanpa perawatan yang sungguh-sungguh, menyukai tanah yang
masam, dan tahan terhadap kompetisi hara dengan tumbuhan lain seperti
gulma dan sebagainya (Sastrapraja, 1990). Indikator bahwa suatu daerah baik
untuk tanaman belimbing ini adalah tumbuhnya pohon jati disekitar daerah
tersebut (Ashari, 1995)
commit to user
Kandungan gizi yang terdapat dalam 100 g buah belimbing manis
hanya memberikan sedikit energi (35 Kal), protein 0,5 g, lemak 0,7 g,
karbohidrat 7,7 g, serat 0,9 g. Belimbing manis merupakan sumber vitamin C
yang baik, juga zat besi dan zat kapur. Kadar vitamin A, B1, B2, C dan niasin
berturut-turut 18 RE, 0,03 mg, 0,02 mg, 33 mg dan 0,4 g. Kadar kalsium,
fosfor dan besi berturut-turut 8 mg, 22 mg dan 0,80 mg. Di Indonesia buah ini
sudah banyak dikenal sebagai obat tradisional. Buah belimbing digunakan
untuk pencegahan bahkan terapi berbagai macam penyakit, antara lain
menurunkan tekanan darah, anti kanker, memperlancar pencernaan,
menurunkan kolesterol, dan membersihkan usus. Belimbing juga kaya anti
oksidan yang berfungsi mencegah pembentukan radikal bebas pemicu
pembentukan sel kanker (Anin, 2010).
Belimbing manis mempunyai varietas yang cukup banyak, diantaranya
adalah demak kapur, demak kunir, pasar minggu, dewi, wulan, bangkok,
sembiring, dan lain-lain. Varietas-varietas ini merupakan seleksi yang tumbuh
secara alamiah dan beberapa diantaranya adalah hasil pemuliaan melalui
persilangan (Prahasta, 2009). Belimbing dewi merupakan salah satu tanaman
buah varietas unggul nasional dan menjadi tanaman unggulan dari kota
Depok. Bentuk buah bulat agak lonjong dengan panjang 15 cm dan diameter
10 cm. Warna buah kuning agak kemerahan dan mengkilap. Keunggulan
belimbing ini terletak pada rasa buahnya yang lebih manis dan kandungan
airnya lebih banyak dibanding dengan belimbing manis lainnya. Karena kadar
airnya yang tinggi, buah belimbing dewi memiliki bobot yang lebih berat,
yaitu satu buah belimbing dewi bisa mencapai 250 – 500 g (Anonim, 2010c).
B. Cangkok Pucuk
Perbanyakan tanaman berarti pengulangan dan penggandaan jenis yang
diwujudkan pada terciptanya generasi baru. Tanaman dapat diperbanyak
dengan dua cara, yaitu secara generatif dan vegetatif. Perbedaan dua metode
tersebut terletak pada bahan yang dipergunakan untuk perbanyakan.
commit to user
tanam. Sedangkan perbanyakan tanaman secara vegetatif menggunakan bahan
tanam selain biji (Sumeru, 1995). Perbanyakan vegetatif dilakukan
menggunakan bagian-bagian tanaman seperti cabang, ranting, pucuk, daun,
umbi, dan akar. Prinsipnya adalah merangsang tunas adventif yang terdapat
pada bagian tersebut agar berkembang menjadi tanaman sempurna yang
memiliki akar, batang, dan daun sekaligus (Anonim, 2007).
Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu cutting (setek), layering (cangkok dan runduk), budding
(okulasi), dan grafting (sambungan) (Soerianegara dan Djamhuri, 1979 cit
Rioderiza, 2010). Menurut Rochiman dan Harjadi (1974) stimulasi buatan dari
akar dan tunas adventif perlu dilakukan agar bagian vegetatif tanaman mampu
berkembang menjadi suatu tanaman yang sempurna. Proses kejadian ini
disebut layerage (cangkok) atau bumbun bila stimulasi akar / tunas baru
tersebut dilakukan pada saat bagian vegetatif masih bersatu dengan tanaman;
dan disebut cuttage atau setek bila stimulasi dilakukan setelah bagian vegetatif
dipisahkan dari tanaman asalnya. Keunggulan tanaman hasil cangkok yaitu
memiliki sifat yang sama dengan tanaman induknya, namun kelemahan
tanaman hasil cangkok yaitu sistem perakaran yang tidak kuat karena tidak
memiliki akar tunggang (Anonim, 2007).
Perbanyakan vegetatif yang dilakukan dengan metode cangkok pucuk
ini merupakan sebuah metode baru yang diperkenalkan oleh Ir. Trijono D.S.,
MP selaku dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Cangkok konvensional yang biasa dilakukan yaitu dengan mengerat lingkar
batang / dahan tanaman pada jarak 3 – 4 cm, kemudian melepaskan kulit kayu
antara keratan. Lalu luka dibersihkan dari lendirnya dan ditutup dengan media
serta selalu dijaga kelembapannya (Ashari, 1995). Namun, cara yang
dilakukan pada cangkok pucuk ini mempunyai sedikit perbedaan yaitu dengan
cara menyayat batang secara miring dari bagian pangkal ke ujung batang
hingga ¾ bagian, namun batang yang disayat tersebut tidak sampai putus. Lalu
commit to user
Cabang yang akan dicangkok dipilih yang kuat dan sehat. Cabang
cangkok berasal dari pohon buah-buahan yang sehat dan kuat serta telah
memiliki sifat yang menguntungkan seperti buah lebat, lezat, daging buah
tebal, sedikit biji, dan sebagainya (Ashari, 1995). Waktu yang baik untuk
mencangkok adalah saat permulaan musim hujan. Cangkok yang telah cukup
berakar dapat dipotong dari pohon induk dan ditanam dalam bedeng sampai
permulaan musim hujan berikutnya. Kemudian hasil cangkok tersebut dapat
dipindah tanam ke kebun yang tetap (Anonim, 1981).
C. Media Tanam
Media tanam merupakan komponen utama ketika akan bercocok
tanam. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis
tanaman yang ingin ditanam. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga
kelembapan daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat
menahan ketersediaan unsur hara. Beberapa media tanam yang biasa
digunakan yaitu spagnum, moss, cocopeat, sekam, pakis, dan sebagainya
(Anonim, 2010a).
Spagnum adalah media tanaman dari semacam lumut yang biasanya
berada di hutan-hutan. Spagnum merupakan salah satu jenis tumbuhan lumut
bermanfaat yang termasuk kedalam lumut Bryophyta dengan bentuk mirip
paku selaginela, media yang kering bentuknya seperti remah dan sangat ringan
seperti kapas. Spagnum lebih mengikat air dibandingkan pakis, tetapi lebih
lancar dalam drainese dan aerasi udara. Media ini biasanya digunakan sebagai
media cangkokan atau sebagai pengganti tanah untuk tanaman yang akan
dikirim ke tempat jauh karena sifatnya yang ringan dan tidak kotor (Anonim,
2010b). Sel daun dan bongkolnya yang kosong banyak mengandung air. Oleh
karena itu, spagnum digunakan untuk membungkus tanaman sebagai sumber
pengembunan dan selama pengapalan. Spagnum yang telah diuraikan sebagian
berupa abu organik juga masih dapat mengandung uap air sehingga saat
ditambahkan ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur tanah dan
commit to user
Moss yang dijadikan sebagai media tanam berasal dari akar
paku-pakuan, atau kadaka yang banyak dijumpai di hutan-hutan. Moss sering
digunakan sebagai media tanam untuk masa penyemaian sampai dengan masa
pembungaan. Media ini mempunyai banyak rongga sehingga memungkinkan
akar tanaman tumbuh dan berkembang dengan leluasa. Menurut sifatnya,
media moss mampu mengikat air dengan baik serta memiliki sistem drainase
dan aerasi yang lancar (Anonim, 2010a).
D. Zat Pengatur Tumbuh IBA
ZPT pada tanaman (plant regulator) adalah senyawa organik yang
bukan hara (nutrient), yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),
menghambat (inhibit), dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan.
Sedangkan hormon tumbuh (plant hormone) adalah zat organik yang
dihasilkan oleh tanaman, yang dalam kosentrasi rendah dapat mengatur proses
fisiologis (Abidin, 1989). Diketahui bahwa hormon di dalam tanaman
merupakan produk metabolit, sehingga kandungan hormon endogen di dalam
tanaman akan berbeda jika umur tanaman berbeda (Kaufman et al, 1991). Ahli
biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama golongan ZPT yaitu
auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat, etilen. Auksin terbagi menjadi
beberapa jenis yaitu IAA (Indole Acetik Acid), IBA (Indole Butyric Acid),
NAA (Naphtalene Acetic Acid) dan 2,4 D (2,4 D – Dichlorophenoxy Acetic
Acid) (Wudianto, 1998).
Penggunaan auksin di antaranya adalah untuk merangsang
perkecambahan dan pertumbuhan biji, merangsang perakaran setek, cangkok,
dan bagian tanaman lainnya dalam usaha perbanyakan tanaman secara
vegetatif; merangsang pertumbuhan bibit sambung pucuk (grafting),
merangsang pertumbuhan buah-buahan, menghambat pertumbuhan tunas
tanaman dan gulma (Rismunandar, 1995). Menurut Salisbury dan Ross (1995)
terdapat bukti yang kuat bahwa auksin dari batang sangat berpengaruh pada
awal pertumbuhan akar. Bila daun muda dan kuncup (yang kaya auksin)
commit to user
organ tersebut diganti dengan auksin, kemampuan pembentukan akar sering
menjadi pulih kembali. Auksin juga memacu perkembangan awal akar pada
setek batang. Pada stadium pertumbuhan vegetatif, auksin merangsang
pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel serta merangsang aliran
protoplasma (Noogle dan Fritz, 1979).
Senyawa-senyawa indole yaitu IPA (Indole-3-Propionic Acid) maupun
IBA (Indole-3-Butyric Acid) terbukti baik digunakan sebagai ZPT perakaran.
IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan efektif dari pada IAA dan NAA.
Dengan demikian IBA paling cocok untuk merangsang aktifitas perakaran,
karena kandungan kimianya lebih stabil dan daya kerjanya lebih lama. IAA
biasanya mudah menyebar ke bagian lain sehingga menghambat
perkembangan serta petumbuhan tunas dan NAA dalam mempergunakannya
harus benar-benar tahu konsentrasi yang tepat yang di perlukan oleh suatu
jenis tanaman, bila tidak tepat akan memperkecil batas konsentrasi optimum
perakaran (Wudianto, 1998).
Auksin jenis IBA ini mempunyai aktivitas auksin yang lemah, tetapi
pada tingkat konsentrasi tinggi IBA menyebabkan sel mengalami kematian.
Sifatnya persisten, artinya penguraian oleh enzim-enzim tanaman dapat
dikatakan sangat lambat. Demikian juga translokasi (pengangkutan ke bagian
lain) IBA berjalan lambat, sehingga IBA tetap berada disekitar tempat
aplikasinya. Ketiga sifat tersebut menyebabkan IBA efektif dalam induksi
perakaran (Harjadi, 2009).
E. Hipotesis
1. Penggunaan media spagnum I merupakan media yang tepat untuk
pembentukan akar pada cangkok belimbing.
2. Penambahan ZPT IBA konsentrasi 200 ppm merupakan konsentrasi IBA
yang tepat untuk pembentukan akar pada cangkok belimbing.
3. Terjadi interaksi antara macam media dan berbagai konsentrasi IBA
commit to user
III.METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Januari
2011 di Desa Tajurhalang, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, dengan
ketinggian tempat 300 m dpl.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tanaman induk
belimbing manis varietas Dewi, media tanam (spagnum I, spagnum II, dan
moss) (lampiran 3), dan zat pengatur tumbuh IBA (konsentrasi 100 ppm, 150
ppm, dan 200 ppm). Alat yang digunakan meliputi silet/pisau, plastik, busa,
tali rafia, label nama, dan alat tulis.
C. Cara Kerja Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri atas dua faktor perlakuan sebagai berikut :
a. Faktor pertama yaitu macam media dengan tiga taraf, yaitu :
M1 : Media spagnum I
M2 : Media spagnum II
M3 : Media moss
b. Faktor kedua yaitu konsentrasi IBA dengan tiga taraf, yaitu :
H1 : Perlakuan dengan penambahan IBA 100 ppm
H2 : Perlakuan dengan penambahan IBA 150 ppm
H3 : Perlakuan dengan penambahan IBA 200 ppm
Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan, yaitu :
M1H1 : Media spagnum I dan IBA 100 ppm
M1H2 : Media spagnum I dan IBA 150 ppm
M1H3 : Media spagnum I dan IBA 200 ppm
M2H1 : Media spagnum II dan IBA 100 ppm
commit to user
M2H2 : Media spagnum II dan IBA 150 ppm
M2H3 : Media spagnum II dan IBA 200 ppm
M3H1 : Media moss dan IBA 100 ppm
M3H2 : Media moss dan IBA 150 ppm
M3H3 : Media moss dan IBA 200 ppm
Kemudian masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 4
ulangan.
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Pembuatan larutan IBA
Bahan pelarut yang dipakai adalah NaOH 1 N. Konsentrasi 100
ppm artinya setiap 1 liter larutan mengandung 100 mg IBA. Begitu
pula dengan konsentrasi 150 ppm dan 200 ppm. Langkah pembuatan
larutan IBA adalah sebagai berikut :
1) IBA ditimbang sesuai dengan kebutuhan masing-masing perlakuan
yaitu 100, 150, dan 200 mg.
2) IBA yang telah ditimbang ditambahkan dengan NaOH sebanyak 5
– 10 tetes sampai IBA larut. NaOH berguna sebagai pelarut dari
bentuk serbuk menjadi larutan.
3) Larutan IBA ditambahkan aquadest hingga volume larutan menjadi
1 liter kemudian diaduk sampai rata.
4) IBA siap digunakan sesuai dengan perlakuan masing-masing
konsentrasi.
b. Penyiapan media cangkok
Menaruh masing-masing media cangkok yang akan digunakan
pada sebuah wadah kemudian merendam media tersebut pada larutan
IBA yang telah dibuat sesuai dengan perlakuan selama 3 jam.
Perendaman dapat disesuaikan dengan konsentrasi larutan yang
commit to user
c. Pemilihan tanaman induk
Melakukan pemilihan tanaman induk yang akan digunakan.
Tanaman induk yang dipilih yaitu tanaman yang kuat, sehat, dan subur.
d. Pemilihan batang cangkok
Memilih batang cangkok pada bagian pucuk batang tanaman induk.
Bagian batang yang digunakan untuk cangkok diambil pada buku
(nodus) ke-20 dari bagian pucuk.
e. Pencangkokan
Pencangkokan dilakukan dengan langkah sebagai berikut :
1) Memilih batang cangkok yang sehat sebagai bahan tanam.
Cangkok dilakukan pada buku (nodus) ke-20 dari bagian pucuk.
2) Melakukan penyayatan pada batang secara miring dari bagian
pangkal ke ujung batang hingga ¾ bagian, namun jangan sampai
batang terputus.
3) Bagian batang bawah yang telah disayat, ditutupi dengan plastik
dan ditengah-tengah sayatan tersebut diberi sedikit media.
4) Meletakkan media pada batang yang telah dicangkok hingga
menutupi bagian tersebut kemudian diatas media tersebut dibalut
dengan busa lalu membungkusnya dengan plastik (lampiran 5).
f. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman pada
tanaman induk dan cangkokan agar kelembapan pada media cangkok
dapat tetap terjaga.
3. Variabel Pengamatan
a. Persentase cangkok hidup
Persentase cangkok yang hidup dihitung pada saat umur cangkok
8 MST (Minggu Setelah Tanam) atau pada akhir pengamatan.
%
commit to user
Pengamatan kemunculan kalus dilakukan pada saat umur cangkok
1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali pada
bidang sayatan.
c. Saat muncul kalus (di luar bidang sayatan)
Pengamatan kemunculan kalus dilakukan pada saat umur cangkok
1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali di
luar bidang sayatan.
d. Persentase pertumbuhan kalus (di luar bidang sayatan)
Persentase kalus yang terbentuk dihitung pada saat umur cangkok
1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali di
luar bidang sayatan.
e. Persentase cangkok tumbuh akar
Persentase cangkok tumbuh akar dihitung pada saat umur cangkok
8 MST atau pada akhir pengamatan.
%
Jumlah akar diamati pada saat umur cangkok 1 MST hingga akhir
pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali.
g. Panjang akar
Panjang akar diamati pada saat umur cangkok 1 MST hingga akhir
pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara
commit to user
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan
faktor macam media dan konsentrasi IBA. Variabel yang diamati pada penelitian
ini yaitu persentase cangkok hidup, saat muncul kalus (pada bidang sayatan), saat
muncul kalus (di luar bidang sayatan), persentase pertumbuhan kalus (di luar
bidang sayatan), persentase cangkok tumbuh akar, jumlah akar, dan panjang akar.
Hasil dan pembahasan dari masing-masing variabel pengamatan dapat dijelaskan
sebagai berikut.
A. Persentase Cangkok Hidup
Persentase cangkok hidup dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan
dalam perbanyakan vegetatif dengan metode cangkok. Persentase keberhasilan
cangkok hidup adalah sebesar 50% yaitu berjumlah 18 unit cangkok dari 36
unit (lampiran 1). Indikator bahwa cangkok tersebut hidup adalah pucuk
cabang cangkok masih terdapat daun dan terlihat segar hingga akhir
pengamatan. Cangkok yang mati disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
lingkungan, kelembapan, genetik, dan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Pengamatan penelitian ini dilakukan setiap satu minggu sekali dan
dalam setiap pengamatan dilakukan pembukaan pada media cangkok untuk
mengetahui kemunculan kalus dan akar, pembukaan media mempengaruhi
kondisi lingkungan cangkok sehingga jaringan yang luka pada sayatan belum
mampu memperbaiki luka tersebut atau terkontaminasi, namun kondisi
lingkungan terus berubah pada setiap minggunya dan menyebabkan kematian
pada cangkok. Cangkok pucuk pada penelitian ini berbeda dengan cangkok
konvensional yang biasa digunakan pada pembiakan vegetatif yaitu dengan
mengerat lingkar batang dan membuang kulitnya. Cangkok pucuk dilakukan
dengan menyayat batang secara miring hingga ¾ bagian dan pada bagian
tersebut rentan terhadap perubahan posisi sehingga pada beberapa perlakuan,
hal ini menyebabkan batang cangkok patah dan mati.
commit to user
Kelembapan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan pada
perbanyakan vegetatif dengan metode cangkok pucuk. Ashari (1995)
menyebutkan bahwa keadaan yang gelap dan lembap akan menyebabkan akar
dapat tumbuh dengan cepat. Namun, hal ini akan berakibat sebaliknya jika
kelembapan yang diperlukan untuk cangkok tumbuh optimal sangat tinggi.
Kelembapan yang tinggi menyebabkan kebusukan pada bagian sayatan atau
pelukaan sehingga cangkok akan mudah mati.
Faktor genetik atau karakteristik dari belimbing manis (Averrhoa
carambola L.) menjadi salah satu faktor kematian cangkok. Karakteristik pada
batang belimbing dengan kulit tipis memungkinkan kambium yang terdapat di
dalam batang menjadi mudah kering saat terjadi luka dan hal ini menyebabkan
kematian cangkok. Keberadaan OPT seperti jamur pada batang cangkok dapat
mematikan cangkok tersebut bahkan jika tidak dikendalikan dengan segera
dapat menyebabkan kematian pada tanaman induk.
B. Kalus
1. Saat Muncul Kalus (pada bidang sayatan)
Kalus merupakan kumpulan sel-sel parenkim yang laju
pertumbuhannya tidak seragam (Sumeru, 1995). Kalus juga dapat
didefinisikan sebagai suatu jaringan hidup hasil dari suatu petumbuhan
yang terdiri dari massa yang tidak teratur (Wetherell, 1982).
Saat muncul kalus diamati satu kali dalam setiap minggu dan
dihitung persentasenya. Pengamatan berfungsi untuk mengetahui waktu
kemunculan kalus dibidang sayatan pada cangkok pucuk belimbing manis
setiap minggunya. Perlakuan yang mampu menginduksi kalus pada
minggu pertama adalah spagnum I dan IBA 100 ppm, spagnum II dan IBA
100 ppm, dan moss dan IBA 100 ppm. Namun, pada perlakuan spagnum I
dan IBA 150 ppm kemunculan kalus baru terlihat pada umur 6 MST,
sedangkan perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm sampai pada akhir
pengamatan belum menunjukkan kemunculan kalus pada bidang sayatan
commit to user
M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3
Perlakuan
Gambar 1. Histogram saat muncul kalus pada bidang sayatan (%) dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kalus tidak muncul
pada bidang sayatan yaitu adanya perubahan kondisi lingkungan dan
kontaminasi pada bidang sayatan. Perubahan kondisi lingkungan dapat
terjadi pada saat pengamatan dilakukan dengan cara membuka media
tanam sehingga kemunculan maupun pertumbuhan kalus pada bidang
sayatan menjadi terganggu, bahkan dapat menyebabkan kalus yang telah
muncul mengalami stagnasi dan kematian. Hal ini juga menyebabkan
penurunan persentase kalus yang muncul pada umur tanam setelahnya,
seperti pada perlakuan moss dan IBA 100 ppm saat umur tanam 3 MST
yang telah mampu menumbuhkan kalus hingga mencapai persentase
sebesar 100%, namun pada umur tanam 4 MST persentase kalus menurun
hingga 50%. Faktor lain ialah terkontaminasinya bidang sayatan pada
cangkok. Fowler (1983) menyatakan bahwa terbentuknya kalus
disebabkan karena adanya rangsangan luka pada bagian tanaman, namun
apabila terjadi kontaminasi pada bidang sayatan atau luka, kalus tidak akan
commit to user
Penambahan zat pengatur tumbuh IBA kurang mempengaruhi
waktu kemunculan kalus pada setiap perlakuan dari cangkok tersebut
karena adanya perbedaan respon yang diterima pada masing-masing
perlakuan. Waktu kemunculan kalus mulai efektif terlihat saat tanaman
berumur 4 MST (gambar 1). Menurut Widyarso (2010) perbedaan waktu
saat muncul kalus tersebut akibat adanya perbedaan tanggapan (respon)
sel-sel atau jaringan tanaman terhadap ketersedian auksin endogen dan
eksogen. Penjelasan tersebut diperkuat oleh pendapat Bhaskaran dan
Smith (1990) bahwa efektifitas zat pengatur tumbuh auksin eksogen
bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman.
2. Saat Muncul Kalus (di luar bidang sayatan)
Kemunculan kalus pada setiap perlakuan cangkok pucuk ini tidak
hanya terdapat pada bidang sayatan atau bidang yang terluka, namun kalus
juga terlihat berkembang pada bidang di luar sayatan. Kemunculan kalus
di luar bidang sayatan dapat tumbuh dan berkembang karena bidang
tersebut tertutupi oleh media (kondisi gelap) dan kelembapan menjadi
salah satu faktor yang memungkinkan munculnya kalus serta adanya
pelukaan atau sayatan pada batang cangkok. Menurut Ashari (1995)
keadaan yang gelap dan lembap akan menyebabkan akar dapat tumbuh
dengan cepat dan Fowler (1983) menjelaskan bahwa terbentuknya kalus
disebabkan karena adanya rangsangan luka pada bagian tanaman dan
rangsangan tersebut menyebabkan kesetimbangan pada dinding sel
berubah arah, sebagian protoplas mengalir keluar sehingga mulai terbentuk
kalus.
Pembentukan akar pada cangkok terjadi karena penumpukan
zat-zat makanan yang berasal dari daun-daun dibagian atas sayatan yang tidak
dapat bergerak menuju bagian bawah sayatan tersebut. Sehingga pada
bagian tersebut, kulit batang akan mengembung akibat adanya
penumpukan auksin dan karbohidrat, dan dengan adanya media tanam
commit to user
(Rochiman dan Harjadi, 1974). Pembentukan kalus dilanjutkan dengan
pembentukan akar pada setek merupakan akibat dari kegiatan suatu jenis
hormon tanaman. Beberapa macam hormon mempunyai pengaruh yang
berbeda-beda, baik pada banyak akar maupun kualitas akar yang
dihasilkan. IBA biasanya menghasilkan sedikit akar yang cepat menjadi
panjang dan membentuk akar serabut yang kuat (Kusumo, 1984).
Pembentukan kalus di luar bidang sayatan pada tanaman belimbing
terlihat efektif pada minggu pertama hingga minggu keempat setelah
tanam (gambar 2). Keberadaan kalus pada bidang di luar sayatan
disebabkan oleh kontaminasi yang terjadi pada bidang sayatan.
Penumpukan auksin, karbohidrat, zat-zat makanan, dan senyawa lainnya
pada bidang sayatan memaksa jaringan meristem pada bagian tersebut
menginduksi kalus, namun kontaminasi menghalangi penginduksian
tersebut, maka pada bidang di luar sayatan terbentuk kalus dan
pembentukan kalus terjadi karena pada bidang di atas luka atau sayatan
masih terdapat kambium. Penjelasan tersebut diperkuat oleh pendapat
Gunawan (1987) bahwa kalus dapat terbentuk pada bagian yang
berkambium. Kalus tersebut dapat tumbuh pada jaringan kambium dan
dapat tumbuh dari sel korteks atau galih (rongga gabus) yang kemudian
commit to user
M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3
Perlakuan dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA
Persentase kemunculan kalus di luar bidang sayatan pada
perlakuan spagnum I dan IBA 150 ppm merupakan hasil yang tertinggi
dengan nilai sebesar 73,75% dan diikuti dengan perlakuan spagnum I dan
IBA 100 ppm yang mempunyai nilai persentase sebesar 70% (gambar 3).
Penggunaan media spagnum memberikan pengaruh yang cukup baik
terhadap cangkok. Menurut Santoso (2004) spagnum termasuk dalam
salah satu jenis tumbuhan lumut yang bermanfaat. Sel daun dan
bongkolnya yang kosong banyak mengandung air. Spagnum lebih
mengikat air dibandingkan pakis, tetapi lebih lancar dalam drainese dan
aerasi udara. Media ini biasanya digunakan sebagai media cangkok
(Anonim, 2010b). Selain pengaruh media, penambahan zat pengatur
tumbuh (ZPT) IBA berperan dalam menginduksi kalus.
Perlakuan moss dan IBA 100 ppm, moss dan IBA 150 ppm, dan
moss dan IBA 200 ppm persentase kemunculan kalus masing-masing yaitu
sebesar 5%, 1,25%, dan 3,75%. Moss yang dijadikan sebagai media tanam
commit to user
hutan-hutan. Moss sering digunakan sebagai media tanam untuk masa
penyemaian sampai dengan masa pembungaan. Menurut sifatnya, media
moss mampu mengikat air dengan baik serta memiliki sistem drainase dan
aerasi yang lancar (Anonim, 2010a). Rendahnya persentase kalus yang
muncul karena penggunaan media moss yang digunakan pada penelitian
kurang cocok sebagai media tanam cangkok dan kurang mampu untuk
menginduksi kalus jika dibandingkan dengan media lainnya yaitu
spagnum I dan spagnum II yang lebih baik dalam pertumbuhan kalus. Hal
ini dijelaskan oleh Santoso (2004) bahwa spagnum yang telah diuraikan
sebagian berupa abu organik juga masih dapat mengandung uap air
sehingga saat ditambahkan ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur
tanah dan mempertahankan kapasitas air dalam tanah. Perlakuan spagnum
II dan IBA 150 ppm memperlihatkan nilai persentase terendah yaitu 0%,
karena tanaman pada seluruh ulangan mati (gambar 3).
70 73,75
M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3
commit to user
Bhaskaran dan Smith (1990) berpendapat bahwa efektifitas zat
pengatur tumbuh auksin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon
endogen dalam jaringan tanaman. Penambahan hormon IBA pada
masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang kurang efektif pada rerata
kemunculan kalus, pendugaan terjadi karena adanya perbedaan tingkat
konsentrasi pada batang yang digunakan sebagai bahan cangkok pada
setiap perlakuan.
3. Persentase Pertumbuhan Kalus (di luar bidang sayatan)
Salah satu indikator adanya pertumbuhan dalam cangkok adalah
munculnya kalus pada cangkok. Kalus pertama kali muncul dari bagian
jaringan tertentu yang selanjutnya berkembang membentuk gumpalan
jaringan yang belum mengalami diferensiasi (Widyarso, 2010).
Pengamatan pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan dilakukan setiap
satu minggu sekali, lalu dihitung persentasenya.
Persentase pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan pada
perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm, spagnum I dan IBA 150 ppm,
spagnum I dan IBA 200 ppm, dan spagnum II dan IBA 200 ppm
mengalami peningkatan pada setiap minggu. Peningkatan persentase
pertumbuhan kalus tersebut berhubungan dengan penggunaan media
spagnum I (lampiran 3) yang mampu menjaga kelembapan dengan baik
sehingga pertumbuhan kalus mengalami peningkatan hingga 8 MST.
Perlakuan spagnum II dan IBA 100 ppm menunjukkan peningkatan
persentase pertumbuhan kalus tetapi pada minggu ke-7 mengalami
penurunan. Perlakuan spagnum II dan IBA 150 ppm, moss dan IBA 100
ppm, moss dan IBA 150 ppm, dan moss dan IBA 200 ppm belum
menunjukkan peningkatan perkembangan kalus (gambar 4). Penambahan
hormon IBA pada seluruh konsentrasi memberikan peran positif dalam
pertumbuhan dan perkembangan kalus. Hal ini ditunjukkan bahwa setiap
perlakuan dapat menumbuhkan kalus, walaupun pada beberapa perlakuan
commit to user
batang cangkok yang akibat pengaruh hormon endogen dalam tanaman
induk. Efektifitas zat pengatur tumbuh auksin eksogen bergantung pada
konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman (Bhaskaran dan
Smith, 1990). berbagai macam media dan konsentrasi IBA
C. Akar
1.
Persentase Cangkok Tumbuh AkarAkar merupakan organ vegetatif utama yang menyuplai air,
mineral, dan bahan-bahan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Pertumbuhan akar akan sangat menentukan pertumbuhan
tanaman secara keseluruhan (Gardner et al., 1991). Masalah pembentukan
akar merupakan masalah pokok dan sebagai ukuran keberhasilan dari
perbanyakan vegetatif terutama untuk cara cangkok. Jika masalah
pembentukan akar tersebut sudah terpecahkan, maka cara perbanyakan
dengan cangkok pucuk ini merupakan cara yang dapat diterapkan pada
commit to user
menunjukkan persentase sangat rendah. Cangkok yang berhasil
mengeluarkan akar berjumlah 2 dari keseluruhan jumlah cangkok (36),
sehingga persentase keberhasilan cangkok pucuk tersebut sebesar 5,6%
(lampiran 1).
Persentase cangkok tumbuh akar yang rendah dipengaruhi oleh
fase pertumbuhan dari tanaman induk yang digunakan, bahwa tanaman
induk belimbing manis yang digunakan sebagai bahan cangkok pucuk
tersebut sedang memasuki fase pertumbuhan generatif karena pada saat
penelitian berlangsung, tanaman sedang membentuk bunga sehingga
penggunaan fotosintat atau zat-zat makanan untuk pembentukan akar
cangkok dipergunakan oleh tanaman untuk melaksanakan fase generatif
yaitu untuk membentuk bunga dan buah. Akibatnya diferensiasi akar
menjadi terhambat bahkan pada beberapa perlakuan akar belum muncul
hingga akhir penelitian. Cangkok yang dilakukan pada fase pertumbuhan
vegetatif, dimungkinkan akan lebih efektif dan cepat dalam pertumbuhan
dan perkembangan dari akar cangkok.
Persentase cangkok tumbuh akar yang rendah tidak menjadikan
penelitian ini mengalami kegagalan, tetapi penelitian ini membuktikan
bahwa tanaman belimbing manis dapat diperbanyak secara vegetatif
dengan metode cangkok dan hal ini dapat digunakan untuk mengatasi
kesulitan dalam perbanyakan secara vegetatif cangkok belimbing manis
(A. carambola L.) yang jarang dilakukan karena kesulitan dalam
menumbuhkan akar.
2.
Jumlah AkarPeranan akar sangat penting dalam membantu metabolisme
tanaman terutama dalam penyerapan unsur hara baik unsur hara makro
maupun mikro. Banyaknya akar yang tumbuh tergantung pada adanya air,
udara, dan zat hara pada horizon tanah. Tanaman yang berada pada kondisi
relatif sedikit air dan unsur hara cenderung membentuk akar lebih banyak
commit to user
Jumlah akar cangkok tersebut dihitung pada akhir pengamatan saat
tanaman berumur 8 MST. Kemunculan akar pada penelitian ini hanya
terdapat pada perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm dan spagnum I dan
IBA 200 ppm dengan jumlah akar masing-masing yaitu 2 dan 3 unit
(gambar 5). Tanaman induk belimbing manis yang digunakan pada saat
penelitian sedang memasuki fase pertumbuhan generatif, hal ini dapat
diketahui karena pada cabang-cabang produktif tanaman induk tumbuh
bunga dan telah berkembang menjadi bakal buah, sehingga hasil fotosintat
berupa karbohidrat dan energi digunakan tanaman untuk membentuk
bunga dan buah yang berakibat cangkok kurang mendapat pasokan zat
M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3
Perlakuan berbagai macam media dan konsentrasi IBA
Menurut Santi dan Kusumo (1992) pertumbuhan vegetatif tanaman
selain ditentukan oleh pemupukan yang tepat dan intensif juga ditentukan
oleh media tumbuh yang cocok untuk menunjang pertumbuhannya.
commit to user
pada penelitian ini menggunakan media spagnum yang cocok digunakan
sebagai media cangkok karena dapat menjaga kelembapan dengan baik
sehingga merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar. Penggunaan
NAA, IAA, dan IBA untuk merangsang pembentukan akar pada setek
telah banyak dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Penggunaan
hormon dengan konsentrasi 100 ppm NAA dapat meningkatkan jumlah
dan panjang akar setek tunas kubis (Simatupang, 1995). Penambahan ZPT
berupa IBA terbukti mampu menginduksi terbentuknya akar pada tanaman
belimbing manis. Perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm dengan
konsentrasi IBA sebesar 200 ppm (part per million) mampu
mendeferensiasi akar cangkok dan memberikan jumlah akar terbanyak
yaitu 3 unit. Hal ini diharapkan pada umur tanam yang lebih lama dari 8
MST dengan perlakuan penambahan hormon yang sama dapat
menginduksi jumlah akar lebih banyak.
3.
Panjang AkarAkar yang tumbuh secara optimal akan tumbuh dengan panjang,
karena akar yang panjang akan meningkatkan kemampuan dalam
menyerap nutrisi. Dwijoseputro (1990) menyebutkan bahwa panjang akar
merupakan hasil perpanjangan sel-sel dibelakang meristem ujung akar dan
meristem ini mempunyai posisi dibelakang karena selain membentuk
sel-sel yang memanjang juga menghasilkan sejumlah sel-sel kearah meristem
ujung yang membentuk tudung akar. Penghitungan panjang akar dilakukan
pada akhir pengamatan yaitu saat tanaman berumur 8 MST.
Rata-rata panjang akar belimbing manis (A. carambola) dengan
metode cangkok pucuk pada perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm
merupakan hasil terpanjang pada penelitian ini dengan panjang akar
mencapai panjang 2,25 mm dan pada perlakuan spagnum I dan IBA 100
ppm memiliki panjang akar dengan panjang 0,875 mm (gambar 6).
Pemberian ZPT IBA dengan konsentrasi 200 ppm pada perlakuan
commit to user
cangkok. Auksin biasanya memiliki pengaruh pada peningkatan jumlah
dan panjang akar (Wilkins, 1989). Asnawi et al. (1989) juga menjelaskan
bahwa perkembangan akar utama yang dinyatakan dalam panjang dan
kerimbunan akar dipengaruhi oleh imbangan zat pengatur tumbuh, bahan
tanam, senyawa-senyawa pembangun seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin B dan C, serta mineral.
0,875
M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3
Perlakuan dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA
Menurut Hartman dan Kester (1983) salah satu cara meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah dengan menggunakan zat
pengatur tumbuh, yaitu auksin. Perlakuan menggunakan auksin pada setek
bertujuan untuk meningkatkan setek berakar, meningkatkan jumlah dan
kualitas akar per setek, mempercepat pertumbuhan akar, dan
meningkatkan keseragaman perakaran. Selain itu auksin dapat
meningkatkan pemanjangan perakaran. Hal ini disebabkan karena auksin
berpengaruh dalam pembelahan dan pembesaran sel ke arah longitudional
commit to user
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perlakuan dengan media spagnum I memberikan hasil yang lebih baik
daripada media spagnum II dan moss pada kemunculan kalus di luar
bidang sayatan pada umur 8 MST sebesar 73,75% dan mampu
meningkatkan pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan.
2. Perlakuan penambahan IBA dengan konsentrasi 100 ppm mampu
menginduksi kalus (pada bidang sayatan) pada minggu pertama.
3. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya interaksi antara penggunaan
macam media dan berbagai konsentrasi IBA.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penggunaan zat pengatur
tumbuh IBA dengan konsentrasi 0 – 100 ppm agar diketahui tingkat
efektifitas dan keracunan (toxic) pada cangkok.
2. Berdasarkan penelitian, waktu pengamatan sebaiknya dilakukan lebih dari
2 bulan untuk melihat pertumbuhan optimal akar cangkok.
3. Sampel yang digunakan sebaiknya disediakan sampel destruktif agar
kemunculan kalus dapat teramati dengan baik.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknik cangkok pucuk
sehingga dapat diketahui lebih banyak informasi tentang teknik cangkok
pucuk yang digunakan.
commit to user DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1989. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh.
Angkasa. Bandung.
Anderson, G.A. and W.J. Carpenter. 1974. High Intensity Suplementary Lighting
of Chrysanthenum Stock Plants. Hort. Sci. 1 : 58 – 60.
Anin. 2010. Belimbing Manis (Averrhoa carambola).
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/1805190-belimbing-manis-averrhoa-carambola/. Diakses pada tanggal 20
Agustus 2010.
Anonim. 1981. Bertanam Pohon Buah-buahan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
. 2007. Kunci Sukses Memperbanyak Tanaman. PT. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
. 2010a. Ragam Media Tanam. www.kebonkembang.com. Diakses pada
tanggal 20 Agustus 2010.
. 2010b. Media Tanam Anggrek.
http://blog.beswandjarum.com/muhanugrah/2009/09/03/media-tanam-anggrek/. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.
. 2010c. Tabulampot Belimbing Manis.
http://tabulampot.hostzi.com/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=20&Itemid=60. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.
. 2010d. Belimbing Manis.
http://www.plantamor.com/index.php?plant=165. Diakses pada tanggal
20 Agustus 2010.
Ashari. 1995. Biologi 3 SMA/MA Kelas XII. Jakarta. Yudhistira.
Asnawi, R., M.P. Yufdi, dan M.T. Soemantri. 1989. Pengaruh Air Kelapa
Terhadap Pertumbuhan Setek Panili. Pemb. Littri. 15 (2) : 79 – 83.
Bhaskaran, S. and R.H. Smith. 1990. Regeneration in Cereal Tissue Culture. A
Review Crop Science. 30 : 1328 – 1336.
Darmawijaya, M.I. 1992. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
commit to user
Dwijoseputro. 1990. Pengantar Fisologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta.
Fowler, M.W. 1983. Commercial Application and Economic Aspects of Mass
Plant Cell Culture. In Mantell, S.H., Smith, H. (Eds). Plant
Biotechnology. Cambridge Unversity Press. London. 3 – 38.
Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchel. 1991. The Physiology Field Crops.
Penerjemah : Herawati Susilo (Fisiologi Tanaman Budidaya). UI Press. Jakarta.
Gunawan, L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. IPB. Bogor.
Hakim, G. 2009. Mencangkok.
http://www.gilang-blog.co.cc/2009/06/mencangkok.html. Diakses pada tanggal 3 Mei 2010.
Harjadi, S. S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hartman, H.T and D.E. Kester. 1983. Plant Propagation : Principles and Practise
Third Ed. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Herlina, D. dan Benny O. T. 2000. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada
Tanaman Hias dan Bunga. Buletin Forum Florikultura Indonesia. 3 :
1-6.
Kaufman, P.B., L.J. Csehe, S. Warber, J.A. Duke, and H.L. Brielman. 1991.
Natural Products from Plants. CRC Press. Washington DC.
Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Yasaguna. Bogor.
Kyte, L. Dan J. Kleyn. 1990. Plant from Test Tube An Introduction to
Micropropagation. Timber Press. Inc. Portland.
Noggle, J.J and G.S. Fritz. 1979. Introductory Plant Physiology. Prentice Hall Inc.
New Jersey.
Prahasta, A. 2009. Agribisnis Belimbing. Pustaka Grafika. Bandung.
Rismunandar. 1995. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Riodevriza. 2010. Pengaruh Umur Pohon Induk Terhadap Keberhasilan Stek dan
Sambungan Shorea selanica BI. Skripsi S1 Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Rochiman, K., dan S. S. Harjadi. 1974. Pembiakan Vegetatif Pengantar Agronomi.
commit to user
Salisbury, F.B. dan C.W. Roos. 1995. Plant Physiology, Third Ed. Penerjemah :
Diah R. Lukman dan Sumaryono (Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3). ITB. Bandung.
Santi, A. dan Kusumo. 1992. Pupuk Daun dan Sitokinin untuk Pertumbuhan Vegetatif Anggrek Mukora Chark Kuan pada Media Arang dan Sabut
Kelapa. J. Hortikultura. 2 (2) : 33 – 35.
Santoso, I. 2004. Biologi dan Kecakapan Hidup, Jilid 1B. Ganeca Exact. Jakarta.
Sastrapraja, S. 1990. Buah-buahan. Balai Pustaka. Jakarta.
Simatupang, S. 1995. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Perakaran,
Pertumbuhan, dan Hasil Beberapa Setek Kubis. J. Hortikultura. 5 (3) :
16 – 19.
Sumeru. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta.
Wetherell, D.F. 1982. Introduction to In Vitro Propagation. A Very Publishing
Ground Inc. New Jersey.
Wilkins, M.B. 1989. Physiology of Plant Growth. Penerjemah : Mulyani
(Fisiologi Tanaman). Bumi Aksara. Jakarta.
Widyarso, M. 2010. Kajian Penggunaan BAP dan IBA untuk Merangsang
Pembentukan Tunas Lengkeng (Domocarpus longan Lour) Varietas
Pingpong secara In Vitro. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS.
Surakarta.
Wudianto, R. 1998. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. Penebar Swadaya.