• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE

FOREST HEALTH MONITORING (FHM)

ASRI BULIYANSIH E 14201020

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

(2)

RINGKASAN

Kebakaran hutan merupakan peristiwa yang telah berulangkali terjadi di Indonesia dan sampai saat ini belum tertanggulangi dengan baik. Frekuensi dan luasan hutan yang terbakar cenderung meningkat. Pada tahun 1998 luasan hutan yang terbakar mencapai angka 10 juta ha. Salah satu penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah penggunaan api dalam penyiapan lahan terutama untuk pertanian.

Salah satu dampak kebakaran hutan yang terjadi adalah kerusakan tanah sebagai habitat bagi makhluk hidup di hutan. Binatang tanah merupakan organisme yang hidup di tanah dan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanahnya, sehingga kebakaran hutan akan sangat berdampak terhadap binatang tanah.

Dampak kebakaran hutan terhadap binatang tanah dapat berupa berkurang, hilang atau bertambahnya jenis binatang tanah.

Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terutama terhadap binatang tanah dapat dilakukan pemantauan terhadap kesehatan hutan dengan menggunakan metode Forest Health Monitoring (FHM). Adanya FHM diharapkan informasi yang akurat tentang biodiversitas binatang tanah setelah terbakar dapat diperoleh, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengelolaan hutan bekas terbakar tersebut.

Hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) menunjukkan bahwa pada plot terbakar terdapat 1018 individu dari 14 ordo dan 23 famili yang didominasi oleh Formicidae (semut) dan Lumbricidae (cacing tanah). Pada plot tidak terbakar terdapat 672 individu dari 17 ordo dan 30 famili yang didominasi oleh Lumbricidae. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran di HPGW ini menyebabkan penurunan jumlah famili sebesar 23.33%, penurunan jumlah ordo sebesar 17,65% dan kenaikan jumlah individu sebesar 51,49%.

Asri Buliyansih. E14201020. Penilaian Dampak Kebakaran Terhadap Sifat Biologi Tanah dengan Metode Forest Health Monitoring (FHM). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina,M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda,M.Si.

(3)

Analisis nilai kelimpahan, Richness, Diversity dan Evenness Indices rata-rata pada kedua plot untuk tanah dan serasah menunjukkan bahwa richness index antara kedua plot berbeda nyata, dan Evenness index untuk serasah pada kedua plot berbeda sangat nyata, sementara nilai rata-rata indeks lainnya tidak berbeda nyata. Nilai Richness rata-rata dan Evenness indices pada plot tidak terbakar lebih besar daripada plot terbakar. Hal ini merupakan dampak kebakaran yang menyebabkan hilangnya beberapa famili/ordo akibat pemanasan pada tanah dan serasah yang mematikan makrofauna tanah dan merusak habitat hidupnya.

Kebakaran hutan yang terjadi termasuk fire low severity terlihat dari kondisi tegkan yang cukup baik. Berdasarkan definisi hutan yang sehat maka secara umum tegakan hutan bekas terbakar masih dapat menjalankan fungsinya sehingga dapat dikatakan sehat.

(4)

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE

FOREST HEALTH MONITORING (FHM)

Skripsi

Sebagai Salah satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

ASRI BULIYANSIH E 14201020

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Penilaian Dampak Kebakaran Terhadap Makrofauna Tanah Dengan Metode Forest Health Monitoring ( FHM )

Nama mahasiswa : Asri Buliyansih Nomor Pokok : E14201020

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.Ir.Lailan Syaufina, M.Sc Dr.Ir.Noor Farikhah Haneda, M.Si NIP. 131849392 NIP. 131902368

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131430799

Tanggal Lulus :

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Muara Kibul, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi pada tanggal 04Oktober 1983 yang merupakan anak pertama dari pasangan Ahmad Sigli dan Rabiah.

Penulis menyelesaikan sekolah Dasar (SD) di SD Negeri No.23 Rantau Panjang pada tahun 1995, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri No.883 Rantau Panjang pada tahun 1998 dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Negeri 1 Kotamadya Jambi pada tahun 2001.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Fakultas kehutanan, Departemen Manajemen Hutan dengan Program Studi Budidaya Hutan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB ( USMI ). Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Dewan Keluarga Mushola (DKM) Al Hurriyyah, DKM Ibaadurrahmaan, dan Forest Student Management Club (FMSC). Selain itu, penulis juga pernah menjadi Senior Residence (SR) di Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) - IPB.

Saat ini penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir Departemen Manajemen Hutan, program studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) di Fakultas Kehutanan IPB.

(7)

KATA PENGANTAR

Kebakaran hutan dan lahan yang semakin meningkat beberapa waktu belakangan ini telah menimbulkan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Dampak yang terlihat jelas adalah terhadap ekosistem pada hutan dan lahan yang terbakar.

Terpengaruhnya kondisi ekosistem ini juga menyebabkan perubahan terhadap makhluk hidup seperti binatang tanah yang ada pada areal terbakar tersebut.

Penelitian yang berjudul “Penilaian Dampak Kebakaran Terhadap sifat Biologi Tanah Dengan Metode Forest Health Monitoring ( FHM )” ini dilakukan di areal hutan bekas terbakar di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data yang akurat dan terbaru tentang kondisi hutan bekas terbakar terutama kondisi biologi tanahnya serta monitoring terhadap kesehatan hutannya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang aktual dan berguna dalam perencanaan pengelolaan hutan khususnya di HPGW sendiri dan sebagai masukan bagi pengelolaan hutan bekas terbakar di Indonesia.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi yang membacanya dan dapat menjadi acuan untuk penelitian-penelitian yang serupa.

Penulis

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan sehingga penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan ini bisa selesai dengan baik. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah mendukung saya, oleh karena itu saya ucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua saya (Amak dan Ayah), adik-adik saya (Abang, Dodi dan Juli) serta seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan dorongannya pada saya

2. Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda,M.Si atas bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.

3. Penguji ujian komprehensif saya, Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Rachmad Hermawan, M.ScF wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

4. Pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian. Pak Wardana, Bu Ely, dan Bu Atikah atas semua bantuan dan kemudahan peminjaman peralatan penelitian.

5. Teman-teman satu bimbingan, BDH 38 dan khususnya saudari- saudariku yang dipertemukan karena Allah atas semua dukungan dan bantuannya.

6. Keluarga besar DKM Ibaadurrahmaan yang telah memberikan perhatian dan rasa kekeluargaan yang begitu mandalam, semoga ukhuwah kita tetap terjaga.

(9)

7. Teman-teman seperjuangan di Wisma Arofah yang telah banyak menghibur dan memberikan motivasi serta kenyamanan sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar.

8. Proyek Penelitian Hibah Bersaing XII, Dirjen DIKTI, DEPDIKNAS, atas dukungan finansialnya pada sebagian dari penelitian ini

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi yang membacanya.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...i

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR...iv

DAFTAR LAMPIRAN ...v

I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang...1

B.Tujuan...3

II. TINJAUAN PUSTAKA ...4

A. Kebakaran Hutan ...4

B. Sifat Biologi Tanah...7

C. Dampak Kebakaran...11

D. Forest Health Monitoring ( FHM )...19

III. METODOLOGI PENELITIAN ...23

A. Waktu dan Lokasi Penelitian...23

B. Bahan dan Alat ...23

C. Metode Penelitian ...23

V. KONDISI UMUM LOKASI ...32

A. Letak dan Luas ...32

B. Geologi dan Tanah...33

C. Topografi...34

D. Iklim dan Curah Hujan...34

E. Flora dan Fauna...36

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN...37

A. Kejadian Kebakaran ...37

B. Analisis Sifat Fisik Tanah...38

C. Dampak Kebakaran Terhadap Makrofauna tanah ...39

(11)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...59

A. Kesimpulan ...59

B. Saran ...60

DAFTAR PUSTAKA ...61

LAMPIRAN ...63

DAFTAR TABEL

(12)

No halaman

1. Aktivitas masing-masing biota tanah dalam

. siklus nutrien dan pembentukan struktur tanah... ...11

2. Kelas tekstur tanah dengan metode rabaan ...27

3. Data curah hujan dan hari hujan rata-rata tahun 2000 – 2002 . ...36

4. Data curah hujan dan hari hujan rata-rata tahun 2003 – 2005 . ...36

5. Analisis tanah dan suhu ... ...39

6. Parameter yang berpengaruh terhadap makrofauna tanah ... ...40

7. Kelimpahan makrofauna tanah pada plot pengamatan... ...41

8. Kelimpahan makrofauna tanah pada serasah ... ...45

DAFTAR GAMBAR

(13)

No halaman

1. Segitiga api...4

2. Bentuk klaster FHM (USDA Forest Servis, 1997 dalam Supriyanto et al, 2001) ...30

3. Ekstraksi makrofauna tanah dengan metode corong Barlese ...31

4. Kelimpahan Makrofauna tanah...42

5. Kelimpahan Makrofauna tanah Pada Serasah...46

6. Nilai Kelimpahan Rata-rata Makrofauna tanah ...48

7. Nilai Richness Index Rata-rata Makrofauna tanah ...51

8. Nilai Diversity Index Rata-rata Makrofauna tanah...53

9. Nilai Evenness Index Rata-rata Makrofauna tanah...57

10. Kelimpahan Makrofauna Tanah pada Masing-Masing Plot ...58

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No halaman

1...Reka pitulasi Makrofauna tanah...63 2...Data

Analisis Makrofauna tanah ...65 3...Data

Analisis Uji T ...73 4...Gam

bar-gambar Makrofauna tanah ...77

(15)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan bukanlah suatu hal yang baru terjadi di hutan- hutan di Indonesia. Bukti ilmiah pendataan karbon radioaktif dari endapan arang di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan dataran rendah telah berulangkali terbakar paling sedikit 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode glasial kuarter (Goldammer, 1990) dalam (FWI, 2001). Tetapi, kebakaran yang terjadi tentu saja berbeda dengan kebakaran hutan saat ini.

Penggunaan api secara intensif terutama dalam kegiatan konversi lahan menyebabkan semakin meluasnya kebakaran yang terjadi di Indonesia. Sejak November 1982-April 1983, Agustus 1990, Juni-Oktober 1991, Agustus- Oktober 1994 dan September-November 1997 ( Februari-Mei 1998 )

kebakaran hutan dan lahan semakin luas dan menyebar. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan dampak seperti gangguan kesehatan, tercemarnya lingkungan, terganggunya aktivitas ekonomi serta hilangnya biodiversiti.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997/1998 (data World Bank, 2001) disebabkan oleh konversi lahan dalam skala besar (34%),

perladangan berpindah (25%), pertanian menetap (17%), konflik sosial dengan masyarakat setempat (14%), transmigrasi (8%) dan penyebab alami (1%).

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat besar karena sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tergantung pada pertanian dan cara paling mudah dalam penyiapan lahannya adalah dengan menggunakan api. Selain itu pembukaan lahan dalam skala besar dengan menggunakan api untuk penyiapan lahan masih berlangsung seperti pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit.

Di atas telah disebutkan beberapa dampak dari kebakaran hutan dan lahan itu sendiri. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah hilangnya biodiversiti dan rusaknya habitat makhluk hidup. Kerusakan tanah merupakan contoh

kerusakan habitat yang terjadi. Hal ini berdampak pada keberadaan makhluk hidup di permukaan ataupun di bawah permukaan tanah. Kebakaran

permukaan menyebabkan hilangnya vegetasi yang menutupi tanah, jika suhu yang dihasilkan tinggi atau cukup tinggi untuk memanaskan tanah sampai ke bawah permukaannya dalam jangka waktu tertentu maka akan sangat

berpengaruh pada sifat biologi tanah khususnya organisme tanah seperti serangga tanahnya. Suhu kebakaran yang melebihi suhu letal serangga-

(16)

serangga tanah tersebut akan menyebabkan kematian. Hal ini dapat menyebabkan berkurang atau bahkan menghilangkan jenis-jenis serangga tanah tertentu.

Hilangnya serangga-serangga tanah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Manfaat serangga-serangga tanah seperti pendekomposisi bahan organik, berperan dalam siklus nitrogen termasuk mineralisasi, denitrifikasi dan fiksasi N serta pengambilan nutrien seperti simbiosis mikoriza dengan akar tumbuhan yang membantu pengambilan P dan nutrien yang lain (DeBano et al.1998). Jika serangga-serangga tanah ini

terganggu sehingga berkurang atau hilang maka manfaat-manfaatnya pun akan hilang dan akan berdampak terhadap vegetasi sendiri.

Dampak pada vegetasi hutan yaitu terganggunya siklus hara sehingga tidak dapat tumbuh secara optimal, sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara terganggunya organisme tanah dengan kerusakan hutan. Untuk mengetahui sejauh mana gangguan yang terjadi terhadap hutan maka perlu ada monitoring terhadap kesehatan hutan.

Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan Forest Health

Monitoring ( FHM ) dengan kerusakan terhadap sifat biologi tanah (organisme- organisme tanah) sebagai salah satu indikator kesehatan hutan. Pemantauan kondisi hutan dengan metode FHM ini sangat penting untuk dilakukan terutama pada areal hutan dan lahan bekas terbakar.

Sampai saat ini penelitian dengan metode FHM pada areal hutan dan lahan bekas terbakar masih sangat sedikit dilakukan terbukti dengan kurangya informasi-informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi di areal bekas terbakar tersebut, baik kondisi lahannya maupun biodiversitasnya. Hal ini sangat memprihatinkan karena tahun 1998 kebakaran hutan yang terjadi mepunyai luasan ±10 juta Ha dan belum ada pemantauan secara kontinyu terhadap kondisi hutan tersebut, apakah hutan tersebut masih dapat

menjalankan fungsi-fungsinya atau tidak. Informasi-informasi tentang kondisi hutan bekas terbakar ini sangat penting untuk pengelolaan hutan selanjutnya.

Pentingnya penelitian dengan metode FHM ini juga disebabkan oleh hutan-hutan Indonesia yang mempunyai kondisi ekosistem berbeda sehingga pemantauan tidak cukup dilakukan di satu daerah saja. Perbedaan ekosistem akan menyebabkan perbedaan kondisi alam, biodiversitas serta responnya terhadap kebakaran. Metode FHM ini diharapkan mampu memantau kondisi hutan dari waktu ke waktu.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mempelajari pengaruh kebakaran hutan yang terjadi terhadap makrofauna tanah dengan metode Forest Health Monitoring ( FHM ).

(17)

2. Memperoleh informasi yang akurat tentang jenis-jenis organisme-organisme tanah yang hilang, berkurang atau bertambah di suatu areal akibat kebakaran yang terjadi di areal tersebut.

3. Mempelajari sifat fisik tanah (tekstur dan bulk density) yang dapat mempengaruhi keberadaan makrofauna tanah

III. TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan

Proses kebakaran

Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas, mengkonsumsi bahan bakar alami hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon (Brown and Davis, 1973).

Ada 3 komponen penting untuk terjadinya kebakaran. Pertama, tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar. Kedua, panas yang dapat

meningkatkan temperatur bahan bakar sehingga mencapai titik nyala, dan ketiga

(18)

suplai oksigen (O2) yang cukup untuk menjaga kelangsungan proses pembakaran.

Ketiga komponen diatas membentuk segitiga api. Setiap komponen tersebut harus tersedia dalam waktu yang bersamaan, jika tidak maka tidak ada api (DeBano et al., 1998).

Oksigen (O2)

Bahan Bakar Sumber panas Gambar 1. Segitiga api

Menurut Brown dan Davis (1973), proses kebakaran secara kimia merupakan kebalikan dari proses fotosintesis.

♣ Reaksi fotosintesis : CO2 + H2O + sinar matahari → (C6H12O5)n + O2

♣ Reaksi pembakaran : (C6H12O5)n + O2 + suhu penyalaan → CO2 + H2O + panas

Ada 5 fase yang terjadi selama proses pembakaran berlangsung, yaitu : Preignition (pra penyalaan)

Bahan bakar mulai terpanaskan sehingga mengalami dehidrasi dan terjadi pelepasan uap air serta pelepasan gas-gas yang mudah terbakar (methane dan hydrogen) yang berasal dari dekomposisi termal hemiselulosa, selulosa dan lignin. Reaksinya berubah dari memerlukan panas (eksotermik) menjadi pemanasan sendiri ( endotermik).

Flaming (penyalaan)

Proses pirolisis (pelepasan uap air dan gas-gas yang mudah terbakar) semakin meningkat.

3) Smoldering (Pembaraan)

(19)

Pada kebakaran bawah smoldering berjalan lambat Pada fase ini laju penjalaran api mulai menurun demikian pula panas yang dilepaskan serta suhu yang dihasilkan.

4) Glowing (Pemijaran)

Merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap menghilang. Fase ini menghasilkan CO dan CO2.

5) Extinction

Proses pembakaran terhenti dan semua bahan bakar sudah dikonsumsi.

Penyebab Kebakaran

Kebakaran di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, dan sebagian besar adalah karena ulah manusia terutama kebakaran pada tahun 1998. Penyebab- penyebab tersebut antara lain :

a) Konversi lahan skala besar, dimana lahan hutan dikonversi menjadi perkebunan (kebun kelapa sawit, kebun karet) ataupun menjadi lahan non hutan lainnya (pemukiman). Sebagian besar land clearing dilakukan dengan pembakaran.

b) Aktivitas pembalakan (logging) yang tidak beraturan. Pembalakan ini menyebabkan terbukanya tajuk hutan sehingga akses sinar matahari sangat besar. Pada musim kemarau menyebabkan pengeringan terhadap bahan bakar dan suhu tinggi dapat mempermudah terjadinya kebakaran hutan.

c) Perladangan berpindah yang sampai saat ini masih menggunakan api (pembakaran) dalam penyiapan lahannya sehingga kemungkinan untuk terjadinya kebakaran cukup besar terutama jika tidak dilakukan oleh masyarakat lokal.

d) Konflik sosial dengan masyarakat lokal. Untuk penyelesaian konflik terkadang masyarakat membakar lahan yang disengketakan.

e) Transmigrasi yang membutuhkan lahan yang luas, sehingga pembangunan fasilitas bagi trnsmigran dilakukan pembakaran untuk pembersihan lahan.

f) Pertanian menetap, pembakaran dilakukan untuk memperbaiki kondisi tanah.

(20)

g) Natural causes, dimana kebakaran terjadi karena peristiwa alam seperti petir, perubahan lingkungan yang spontan dan lava gunung api.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebakaran menurut Whelan (1995) adalah :

a) Muatan bahan bakar

Muatan bahan bakar menentukan energi maksimum yang tersedia dalam kebakaran; susunan bahan bakar mempengaruhi aerasi (ketebalan bahan bakar), penyebaran vertikal (penyebaran pada kanopi) dan penyebaran horizontal (pada bahan bakar bawah). Distribusi ukuran bahan bakar sangat mungkin mempengaruhi pada ignition awal. Kandungan kimia bahan bakar dapat meningkatkan penyalaan (resin dan minyak) atau menurunkannya (kandungan mineral).

b) Iklim keseluruhan

Menentukan produktivitas tumbuhan dan juga akumulasi bahan bakar rata-rata c) Curah hujan dan kelembaban

Meningkatkan kelembaban bahan bakar, kombinasi dengan kelembaban relatif yang tinggi menurunkan kemungkinan adanya ignition, pembakaran rata-rata dan penyebaran api rata-rata.

d) Angin

Menyebabkan pengeringan bahan bakar, meningkatkan ketersediaan oksigen dalam pembakaran dan perubahan arah angin dapat meningkatkan muka api.

e) Topografi

Menyebabkan variasi pada iklim lokal (kelembaban bahan bakar, kelembaban relatif dan interaksi dengan angin), penyalaan api yang berasal dari atas bukit dapat menyebabkan sekat bakar alami.

f) Waktu

Siang hari : Kelembaban rendah, temperatur tinggi, angin kencang Malam hari : Kelembaban tinggi, temperatur rendah, angin lebih tenang Sementara, faktor-faktor yang mempengaruhi transfer panas pada tanah mineral adalah kelembaban tanah; sebagaimana serasah maka jumlah air pada

(21)

tanah dapat mempengaruhi transfer panas. Bahan kimia dan fisika tanah ; jumlah bahan organik, termasuk akar-akar, suplai O2 yang cukup, menentukan besarnya pembakaran terjadi di bawah lapisan serasah. Konduktivitas termal, pemanasan spesifik dan bulk density menentukan rata-rata aliran panas pada tanah mineral.

Material induk tanah, porositas, kandungan air, gradien temperatur, konduktivitas hidrolik dan faktor lainnya secara tidak langsung mempengaruhi aliran panas rata- rata (DeBano et al., 1998).

Sifat Biologi Tanah

1. Pengertian dan responnya terhadap kebakaran

Menurut DeBano et al.(1998) sifat biologi tanah dianggap menggambarkan suatu cakupan yang luas dari organisme hidup yang

mendiami tanah dan berkontribusi secara langsung terhadap produktivitas dan sutainabilitas ekosistem darat secara keseluruhan. Organisme-organisme yang hidup di tanah ini terdiri dari kumpulan flora dan fauna, dengan ragam ukuran mulai dari bakteri dan fungi yang mikroskopis sampai vertebrata kecil yang terdapat di bawah permukaan tanah dalam seluruh atau sebagian daur hidupnya. Serangga termasuk organisme biologi yang penting. Komponen biologi yang lain adalah akar dan biji-biji tumbuhan (DeBano et al.1998).

Sifat biologi tanah sangat sensitif terhadap pemanasan tanah, dengan temperatur letal untuk sebagian besar organisme-organisme hidup adalah di bawah 100°C. Mikroorganisme tanah terkonsentrasi pada permukaan lapisan serasah dan lapisan duff karena lapisan ini mengandung sebagian besar bahan organik dan bagian yang aktif dalam dekomposisi dan proses mikrobial lainnya.

Invertebrata terkonsentrasi pada horizon tanah bagian atas (DeBano et al., 1998).

Karena organisme-organisme tanah ini terdapat permukaan atau bagian yang dekat dengan permukaan tanah maka akan sangat mudah terkena pemanasan saat terjadi kebakaran di permukaan.

Kebakaran yang cukup besar dapat mematikan seluruh organisme pada lapisan serasah dan lapisan duff, sementara organisme yang terdapat pada lapisan yang lebih dalam dan terisolasi dari panas ada kemungkinan untuk dapat bertahan (DeBano et al., 1998). Tingkat kebakaran yang rendah pun dapat merusak organisme-organisme yang berada di permukaan atau dekat permukaan tanah ini

(22)

karena temperatur letalnya rendah, selain itu perubahan fisik dan kimia tanah selama kebakaran juga mempengaruhi keberadaan organisme-organisme tanah tersebut.

2. Pengaruh faktor-faktor tanah terhadap serangga tanah

Faktor-faktor tanah yang dapat mempengaruhi keberadaan serangga- serangga tanah adalah (Szujecki, 1987) :

a) Sifat fisik tanah (struktur dan mekanik tanah, kelembaban, kondisi termal, udara dan kandungan humus )

♣ Struktur dan mekanik tanah

Struktur tanah mempengaruhi penetrasi dan pergerakan serangga tanah.

Tanah yang keras lebih jarang dihuni oleh serangga akar dibandingkan tanah pasir atau berpasir pada areal yang sama.

♣ Kelembaban

Kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi sebaran serangga tanah, karena kelembaban tanah menentukan perkembangan serangga dalam satu atau lebih fase hidupnya (contoh : telur Melolontha atau larva Elateridae) semenjak mereka menyerap air dari tanah melalui kulitnya. Di sisi lain, kelembaban tinggi, tanah basah menyebabkan tertutupnya tubuh serangga sehingga tidak dapat bernafas dan dapat menyebabkan kematian.

♣ Kondisi termal

Temperatur yang tinggi sepanjang hari berhubungan dengan turunnya kelembaban yang menyebabkan serangga sulit untuk masuk ke lapisan yang lebih dalam, sementara udara sejuk pada malam hari memungkinkan serangga untuk kembali ke lapisan yang lebih dangkal.

♣ Cahaya

Cahaya masuk ke dalam tanah pada kedalaman 1-2 cm. Aktivitas fauna tanah akan terhambat dengan cahaya yang berlebihan terutama sinar ultra violet.

(23)

Kandungan pigmen serangga yang rendah pada kutikula menyebabkan rentan terhadap pengaruh cahaya.

♣ Udara

Ketersediaan udara di dalam tanah menentukan keberadaan serangga tanah karena sangat diperlukan dalam respirasi. Ketersediaan O2 tergantung dari kedalaman tanah, semakin dalam tanah akan semakin sedikit jumlah O2 yang ada.

♣ Kandungan humus

Kandungan humus mempengaruhi frekuensi organisme pada tanah.

Kandungan humus pada tanah hutan dan sirkulasi nitrogen menentukan ketersediaan dan biomassa saprofage.

Sifat kimia tanah (keasaman, salinitas dan kandungan kalsium)

Makrofauna tanah akan lebih sedikit dijumpai pada daerah dengan keasaman tinggi dibandingkan dengan tanah yang netral. Salinitas mempengaruhi water balance pada serangga tanah dengan perubahan tekanan osmotik dan kimia dan biasanya bersifat racun. Organisme atau serangga yang dapat bertahan pada tanah dengan salinitas tinggi disebut halofilik. Mineral-mineral seperti pospat, garam potassium, nitrat dan kalsium mempengaruhi komposisi fauna tanah.

Secara tidak langsung mineral-mineral tersebut mempengaruhi ketersediaan, kesuburan dan pertumbuhan makanan serangga pada tajuk pohon yang menjadi makanan serangga.

4. Peranan organisme tanah

Biota tanah adalah komponen jasad hidup yang menjadikan tubuh tanah sebagai ruang untuk menjalankan sebagian atau seluruh kegiatan ekofisiologisnya.

Biota tanah dipilah menjadi tiga bangsa , yaitu bangsa tumbuhan, bangsa asosiasi, dan bangsa binatang (Lutz dan Chandler, 1965) dalam Purwowidodo (2004).

Bangsa makrofauna tanah sering dipilah secara non-taksonomis antara lain berdasarkan :

(24)

• Lama menghuni tanah, terdiri dari kelompok binatang penghuni tanah untuk seluruh daur hidupnya ( binatang geobion ) dan untuk sebagian daur hidupnya ( binatang geofil )

• Mintakat hunian, terdiri dari kelompok binatang penghuni serasah (binatang epedaphon), penghuni serasah membusuk (binatang

hemiedaphon), dan binatang penghuni bahan mineral anorganik

• Cara mempengaruhi tanah, terdiri dari kelompok binatang endopedonik dan eksopedonik

• Perilaku makan, terdiri dari kelompok binatang pemakan tumbuhan segar (binatang filofaga), pemakan sampah (binatang saprofaga), pemakan jasad renik (binatang mikrofitik) dan pemakan aneka jenis dan keadaan pakan (binatang miselanias)

• Ukuran tubuh, terdiri dari mikrobiota, mesobiota dan makrobiota.

Mikrobiota berukuran < 100 µm, mesobiota berukuran 100 µm-2 mm dan makrobiota berukuran 2-20 mm (De Bano et al., 1998)

Masing-masing organisme tersebut mempunyai peranan utama dalam memperbaiki struktur tanah dan siklus nutrien, dengan fungsi khusus pada setiap kelompok. Peranan-peranan organisme tanah tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Aktivitas masing-masing biota tanah dalam siklus nutrien dan pembentukan struktur tanah

Siklus nutrien Struktur tanah Mikrobiota

Mesobiota

Katabolis bahan organik, mengubah pergantian nutrien, mengatur populasi fungi dan bakteri

Mengatur populasi fungi dan mikrofauna, mengubah pertukaran nutrien, menghancurkan sisa-sisa

Menghasilkan bahan oraganik agregat, menjerat partikel hifa dalam agregat, memungkinkan untuk mempengaruhi struktur agregat melalui interaksi antara mikrofauna dan mikroflora Menghasilkan butiran feses, membuat biopora, dan meningkatkan humifikasi

(25)

Makrobiota tumbuhan

Menghancurkan sisa-sisa tumbuhan dan menstimulasi aktivitas mikrobial

Mencampurkan partikel organik dan mineral,

redistribusi bahan organik dan mikroorganisme, membuat biopora, meningkatkan humifikasi, menghasilkan butiran feses.

Dampak Kebakaran Hutan

1. Dampak kebakaran terhadap tanah

Tanah adalah tubuh alam yang berkembang akibat adanya saling tindak antara bahan induk, bentang alam, iklim dan jasad hidup dalam rentang waktu tertentu dengan melibatkan serangkaian proses pembentukan tanah (proses-proses pedogenik) (Purwowidodo,1998). Tanah hutan adalah sumberdaya tanah yang berada di suatu kawasan hutan. Tanah hutan merupakan sebutan yang dikaitkan dengan gatra keberadaannya dan tidak menunjuk pada ada atau tidak adanya keterkaitan genetis dengan tipe masyarakat tumbuhan berwujud di kawasan itu.

Fungsi-fungsi dasar tanah hutan adalah : a) penyedia ruang berjangkar dan berkembang akar tumbuhan, b) penyedia oksigen, air dan hara, c) sebagai media yang memungkinkan tumbuh-tumbuhan bersaling tindak dengan jasad tanah (Purwowidodo,1998).

Profil tanah terdiri dari akumulasi bahan organik (lapisan serasah, fermentasi, humus) dan horizon tanah (horizon A, E, B, C dan R). Lapisan Fermentasi dan humus dikenal juga dengan lapisan Duff (D). Horison A mengandung banyak mineral dan terletak di bawah lapisan litter (L), Fermentation (F) dan Humus (H).

Horison B terdapat setelah horizon A (jika ada) atau di bawah horizon E. Horison C dan R terdapat setelah horison B. Akar-akar tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme dapat dijumpai pada semua horizon A, E, B dan C. Akar-akar

(26)

tanaman yang dangkal ditemukan pada lapisan H atau setelahnya sehingga sangat mudah terkena dampak kebakaran yang terjadi di lapisan L dan D.

Lapisan L, F, dan H sangat penting dalam membicarakan efek kebakaran terhadap tanah karena lapisan-lapisan ini terkena dampak langsung pemanasan dari kebakaran permukaan dan lapisan ini juga mengandung sebagian besar bahan organic yang terdapat di tanah. Ada beberapa hal yang menentukan dampak kebakaran terhadap tanah yaitu (Brown dan Davis, 1973) :

a) Frekuensi kebakaran

Kebakaran yang terjadi hanya sekali mungkin akan berdampak kecil pada tanah dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi dua kali atau berulangkali pada tempat yang sama, sehingga periodisitas dan waktu kebakaran harus diidentifikasi dengan teliti dalam menilai dampak kebakaran terhadap tanah.

b) Durasi dan intensitas panas

Kebakaran dengan intensitas panas yang rendah dalam waktu yang lama dapat terjadi pada kebakaran duff dan gambut. Kebakaran tersebut mungkin tidak akan berdampak besar tetapi ketersediaan bahan bakar seperti sisa-sisa konifer yang kering dapat menyebabkan kebakaran yang tidak lama tapi menghasilkan panas yang tinggi.

c) Lantai hutan

Ada atau tidaknya lapisan duff, humus dan bahan organik lainnya pada lantai hutan dan jumlahnya yang terbakar adalah kunci penting dalam menilai dampak terhadap tanah. Pada kebanyakan tipe hutan khususnya konifer, bagian tumbuhan yang hancur membentuk lapisan yang terkadang satu kaki atau lebih dalam. Suatu kebakaran permukaan pada bagian atas lapisan ini tidak menyebabkan dampak langsung terhadap tanah meskipun dampak tidak langsungnya seperti matinya pohon-pohon yang menyebabkan perubahan kondisi hutan. Kebakaran bawah pada areal yang sama akan menyebabkan terbakarnya lapisan organik ini sehingga mineral tanah menjadi terbuka dan menyebabkan dampak langsung terhadap tanah. Perubahan pada lapisan organik ini juga akan berdampak pada bahan kimia yang masuk ke dalam tanah.

d) Karakteristik tanah

(27)

Ukuran partikel, tekstur dan struktur tanah akan menentukan dampak kebakaran terhadap tanah tersebut misalnya dengan kelembaban tanah dan kandungan organiknya. Tanah berpasir atau liat berpasir mempunyai perbedaan yang besar dalam struktur, tekstur, kelembaban dan karakteristik fisika dan kimia seperti konduktivitas termal dan struktur koloid. Tanah Mull akan mempertahankan permeabilitasnya meskipun lapisan humus pada permukaannya hilang, sementara jenis tanah yang lain tidak dapat melakukannya.

Dampak-dampak kebakaran terhadap tanah dapat dilihat melalui dampak kebakaran terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah.

2. Dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah

Sifat fisik tanah adalah karakteristik, proses atau reaksi pada tanah yang dapat disebabkan oleh kekuatan fisik, dapat digambarkan atau diekspresikan dalam bentuk fisik atau persamaan (Soil Science of America 1997) dalam De Bano et al.(1998). Sifat-sifat fisik tanah yang penting yaitu tekstur, kandungan liat, bulk density, porositas, struktur, rataan infiltrasi, temperatur tanah dan repelensi air (DeBano et al., 1998).

Pertanian dan penebangan hutan yang buruk juga akan menyebabkan terbukanya hutan sehingga kebakaran akan lebih sering terjadi serta erosi dan aliran permukaan yang berlebihan. Terbukanya tanah akan memudahkan pemadatan tanah sehingga dapat mengurangi infiltrasi dan menyebabkan turunnya kelembaban tanah. Turunnya kelembaban tanah akan memudahkan terjadinya kebakaran, selain itu juga akan menurunkan simpanan air tanah, permukaan air tanah dan aliran sungai. Tanah yang lebih padat atau keras akan menyebabkan partikel tanah dalam ukuran yang lebih besar dan berubahnya struktur koloid.

3. Dampak kebakaran terhadap sifat kimia tanah

Sifat kimia tanah adalah karakteristik, proses, atau reaksi dari badan kimia, sifat kimia dan reaksi kimia yang terjadi pada tanah. Sifat kimia tanah yang terkena dampak kabakaran adalah bahan organik, kapasitas tukar kation (KTK),

(28)

pH, buffer dan proses nutrien (temasuk spesies, ketersediaan, keluaran dan siklus) (DeBano et al., 1998). Dampak kimia karena kebakaran pada tanah terjadi melalui pelepasan mineral saat terbakar dan meninggalkan abu serta perubahan kondisi mikroklimat yang mengikuti kebakaran.

Dampak-dampak kebakaran terhadap kimia tanah antara lain pelepasan mineral yang tercuci ke dalam tanah dan turunnya keasaman tanah. Menurut Giovannini et al. (1998) dalam DeBano et al. (1998) pemanasan diatas 460°C menguapkan kelompok hidroxyl (OH) dari liat dan merusak struktur karbonat.

Perubahan tidak dapat balik ini menghasilkan tanah yang kurang porous, kurang plastis, kurang elastis dan bereridibel tinggi (DeBano et al., 1998). Kebakaran juga akan menyebabkan meningkatnya bahan organik pada lapisan permukaan tanah.

5. Dampak kebakaran terhadap sifat biologi tanah

Seperti yang telah dijelaskan di atas sifat biologi tanah dianggap menggambarkan suatu cakupan yang luas dari organisme hidup yang

mendiami tanah dan berkontribusi secara langsung terhadap produktivitas dan sutainabilitas ekosistem darat secara keseluruhan, menurut DeBano et al.

(1998).

Organisme-organisme yang hidup di tanah ini terdiri dari kumpulan binatang- binatang dan tumbuhan-tumbuhan, dengan ragam ukuran mulai dari bakteri dan fungi yang mikroskopis sampai vertebrata-vertebrata kecil yang terdapat di bawah permukaan tanah dalam seluruh atau sebagian daur hidupnya. Serangga- serangga termasuk organisme biologi yang penting. Komponen biologi yang lain adalah akar tanaman dan biji-biji tumbuhan (DeBano et a.,1998).

Organisme-organisme tanah ini sangat terpengaruh dengan adanya kebakaran.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan matinya organisme tanah terutama makrofauna tanah karena kebakaran yaitu denaturasi protein, inaktivasi termal enzim yang lebih cepat daripada yang dapat dibentuk, suplai oksigen yang tidak cukup, efek temperatur yang berbeda pada reaksi metabolis yang saling terkait dan efek temperatur terhadap struktur membran (Whelan,1995).

Dampak kebakaran terhadap organisme tanah ini secara langsung adalah merusak dan membunuh organisme tanah ini terutama yang berada di permukaan atau dekat dengan permukaan tanah. Dampak tidak langsungnya adalah melalui suksesi tumbuhan, transformasi bahan organik tanah dan mikroklimat (DeBano et al., 1998) serta perubahan kimia tanah yang dapat menstimulasi aktivitas biologis.

a) Dampak Langsung

(29)

Kebakaran secara langsung mempengaruhi sebagian besar mikroorganisme yang membantu proses siklus nutrien. Suatu komponen penting pada sistem biologi tanah yang dapat dipengaruhi oleh pemanasan tanah adalah

rhizosphere. Energi tersimpan dalam eksudat dan sekresi yang kaya C

dihasilkan oleh rhizosphere untuk mendukung populasi bakteri pengikat N dan pelepas enzim, peningkatan hormon, antibiotik, atau chelating compound.

Rhizosphere juga termasuk mycorrizae yang meningkatkan pengambilan nutrien oleh tumbuhan dan berkontribusi langsung terhadap produktivitas ekosistem darat.

Pemanasan tanah membunuh organisme-organisme tanah, terutama mikrobiota, secara langsung atau dengan mengubah kapasitas reproduksinya (DeBano et al., 1998). Dampak langsung terhadap mikroorganisme juga berhubungan dengan perubahan kondisi tanah. Sebagai contoh, bakteri heterotropik dapat dipengaruhi dengan hilangnya sumber energinya selama pamanasan terhadap bahan organik, (DeBano et al., 1998). Keasaman tanah juga menurun setelah kebakaran pada tumbuhan sehingga mempengaruhi organisme yang rentan terhadap perubahan ini.

b) Dampak tidak langsung

Dampak tidak langsung kebakaran terhadap organisme tanah lebih kompleks dibandingkan dampak langsungnya dan dapat merubah proses ekosistem selama bertahun-tahun. Gangguan yang mematikan atau merusak tumbuhan berdampak pada organisme-organisme yang tergantung pada produk tumbuhan tersebut untuk energi, nutrien, dan habitat, khususnya fungi

micorrhizae dan organisme-organisme yang termasuk rhizosphere. Demikian pula kebakaran terhadap sisa-sisa kayu yang besar, lapisan duff pada lantai hutan dan bahan organik tanah dapat menimbulkan efek dalam waktu yang lama pada produktivitas lahan, aggregasi tanah dan air dalam tanah (DeBano et al,.1998).

Kebakaran dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi

makrofauna tanah terutama invertebrata. Efek kebakaran terhadap invertebrata sebagaimana halnya organisme lainnya sangat tergantung pada tingkat

kebakaran yang terjadi. Menurut DeBano et al.(1998) efek kebakaran terhadap invertebrata dapat sebentar ataupun dalam waktu yang lama. Secara umum invertebrata berkurang setelah kebakaran terjadi karena organisme tersebut atau telurnya mati oleh nyala api atau suhu tanah yang letal atau karena

terganggunya suplai makanan dan habitatnya. Di sisi lain ada invertebrata yang mmeningkat setelah kebakaran karena pohon yang rusak atau mati menjadi habitat yang lebih sesuai untuk perkembangannya.

Makroinvertebrata yang berada pada lapisan tanah yang lebih dalam akan terlindung dari kebakaran yang besar. Suatu studi di Afrika Selatan

menunjukkan bahwa sebagian besar invertebrata pada kedalaman tanah 2,5 cm dapat bertahan pada kebakaran yang relatif rendah (DeBano et al., 1998). Tapi di Australia, berkurangnya lapisan litter menyebabkan turunnya jumlah dan kerapatan spesies invertebrata pada tanah dan permukaan.

Tiga kelompok invertebrata permukaaan bisa dibedakan berdasarkan perbedaan reaksi, yaitu perubahan kelimpahan, pada kebakaran di lahan bekas

(30)

tebangan hutan pinus dan spruce. Kelompok pertama, termasuk berbagai Coleoptera, jumlah yang tersisa sedikit setelah kebakaran, meskipun yang dewasa dapat bertahan pada daerah yang tersembunyi. Pengurangan stok makanan pada daerah tersebut setelah kebakaran menyebabkan turunnya jumlah larva serangga ini. Kelompok kedua terdiri dari spesies yang

kelimpahannya menunjukan osilasi yang luas pada lahan terbakar, seperti pada Collembola. Kelompok ketiga termasuk serangga seperti larva Diptera yang pasti menurun setelah kebakaran dan setelah beberapa tahun kembali pada jumlah seperti saat hutan belum terbakar ( Szujecki, 1987).

Dampak kebakaran terhadap beberapa jenis invertebrata pada tanah dapat dilihat berikut ini :

1) Semut

Menurut Anderson et al.(1989) dalam DeBano et al.(1998) kebakaran dapat meningkatkan populasi semut. Suatu studi di Australia terhadap vegetasi sclerophyllous menunjukkan bahwa semut menkonsumsi biji yang banyak dihasilkan pada awal suksesi tanaman setelah kebakaran.

2) Belalang

Kebakaran di padang rumput Illionois menurunkan jumlah fauna tanah dan populasi serangga permukaan termasuk belalang (DeBano et al., 1998).

Kerapatan belalang dewasa dan nimpa di Arizona selatan menurun lebih dari 60% pada plot yang dibakar dibandingkan dengan plot yang tidak terbakar pada tahun pertama setelah kebakaran, menurut Bock (1991) dalam DeBano et al.(1998). Perbedaan ini hilang setelah tahun kedua.

3) Cacing tanah

Cacing tanah sejak lama sudah dikenal sebagai salah satu invertebrata yang penting pada komponen tanah. Cacing tanah berperan dalam dekomposisi serasah, mineralisasi C pada tanah dan lapisan permukaan. Efek pemanasan tanah pada cacing tanah tidak diketahui secara pasti. Satu studi di padang rumput yang cukup tinggi menunjukkan dampak tidak langsung dari kebakaran kemungkinan lebih penting daripada dampak langsung terhadap populasi cacing tanah (DeBano et al., 1998).

Peningkatan aktivitas cacing tanah berasal dari perbedaan produktivitas tanaman setelah kebakaran, dengan tanah pada lahan terbakar benar-benar dipenetrasi oleh akar dan rhizoma tumbuhan. Cacing tanah ditemukan pada 10-20 cm di bawah permukaan tanah, jadi kemungkinan cacing tanah terhindar dari efek langsung kebakaran atau pemanasan tanah, kecuali pada kasus dimana kebakaran yang cukup parah terjadi dalam waktu yang lama pada bagian bawah log atau sisa tanaman.

6. Fire Severity

(31)

Menurut Simard (1991) dalam De Bano et al.(998) Fire severity adalah suatu penilaian yang menggambarkan respon ekosistem terhadap kebakaran, dapat digunakan untuk mendeskripsikan efek kebakaran pada sistem air dan tanah, ekosistem flora dan fauna, atmosfer dan manusia. Fire severity sangat tergantung pada bahan bakar alami yang tersedia dan perilaku api saat bahan bakar dibakar.

Fire severity dapat diklasifikasikan berdasarkan hal-hal di bawah ini (De Bano et al., 1998):

a. Dimensi vertikal dan horizontal kebakaran :

- Low fire severity : Pemanasan tanah rendah terjadi jika permukaan terbakar tapi serasah yang tersisa banyak/utuh. Mineral tanah tidak berubah

Moderate fire severity : Terjadi dimana permukaan hutan terbakar dan serasah terbakar dalam tetapi mineral tanah di bawah permukaan tidak terlihat perubahan. Terdapat abu yang berwarna terang. Sebagian besar sisa-sisa kayu terbakar kecuali log-log yang yang terbakar dalam. Pada semak atau rumput, terdapat abu berwarna abu-abu atau putih dan hangus terlihat pada kedalaman

>1 cm pada mineral tanah, tetapi tanahnya tidak berubah. Temperatur tanah pada kedalaman 1 cm dapat mencapai 100-200°C. Suhu letal bagi organisme tanah terjadi pada kedalaman kurang dari 3-5 cm.

- High fire severity : Terjadi dimana serasah seluruhnys terbakar dan mineral tanah bagian atas terlihat kemerahan/orange pada lahan yang terbakar parah.

Warna tanah pada kedalaman 1 cm lebih hitam daripada bahan organic.

Lapisan yang hangus dapat mencapai kedalaman ≥10 cm. Log-log terbakar atau terbakar dalam. Tekstur tanah pada lapisan permukaan berubah dan melebur, ditandai adanya arang yang dapat diamati secara lokal. Semua batang semak terbakar dan terlihat sisa-sisa yang mengarang dalam jumlah besar.

Temperatur tanah 1 cm lebih dari 250°C. Temperatur letal untuk organisme tanah terjadi pada kedalaman ≤ 9-16 cm.

b. Persentase dari total areal yang terbakar :

- Low- severity burn : < 2% areal terbakar berat, <15% terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar.

- Moderate-severity burn : <10% areal terbakar berat, tapi >15% areal terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar.

(32)

- High-severity burn : >10% mempunyai titik-titik yang terbakar sangat parah,

>80% terbakar berat atau sedang dan sisanya terbakar ringan.

c. Kerusakan pada pohon yang teramati :

- Low fire severity : Minimal 50% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat,dengan sisa kebakaran berupa terbakarnya tajuk,matinya tunas (bagian atas mati tapi berkecambah), atau matinya akar, >80% pohon-pohon yang rusak/ terbakar dapat bertahan.

- Moderate fire severity : 20-50% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran; 40-80% pohon-pohon yang rusak /terbakar dapat bertahan.

- High fire severity : <20% Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, sisa kebakaran sebagian besar berupa kematian akar, <40% Pohon- pohon yang rusak/ terbakar dapat bertahan.

Forest Health Monitoring (FHM)

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ( UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ) dalam Nuhamara (2004).

Menurut Helans (1998) dalam Nuhamara (2004) hutan adalah ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang agak rapat dan luas, sering terdiri dari tegakan yang memiliki berbagai karakteristik seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, serta proses-proses terkait dan umumnya meliputi pula padang rumput, perairan ikan dan satwa liar.

Sebagai suatu ekosistem yang luas maka hutan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi hutan seperti konservasi tanah dan air, habitat makhluk hidup, sumber makanan, carbon storage dan sebagainya sangat diperlukan untuk menjaga lingkungan hidup.

Selama suatu areal hutan dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik maka hutan tersebut bisa dikatakan ‘sehat’. Secara umum, hutan yang sehat memperlihatkan keseimbangan antara pertumbuhan, kematian dan regenerasi;

(33)

diversity biologi; dan kemampuan untuk bertahan dan pulih dari dampak yang ditimbulkan oleh gangguan yang bervariasi, seperti serangga atau penyakit, iklim yang tidak mendukung dan polusi udara (NASF 2002a) dalam Putra (2004).

Parameter yang dapat digunakan dalam pengukuran kesehatan hutan adalah luasan total hutan, luas tiap bagian hutan, laju pertumbuhan pohon dan tanaman lainnya, jumlah pohon yang mati alami setiap tahunnya, kondisi dan diversitas tanaman di bawah lapisan kanopi hutan, dan jumlah spesies hewan yang didukung oleh ekosistem. Parameter pengukuran lain melibatkan transparansi tajuk, persentase mati pucuk pada tajuk pohon dan kerapatan tajuk (MDNR-FS 2002) dalam Putra (2004).

Informasi tentang sehat atau tidaknya kondisi hutan sangat diperlukan di Indonesia sebagai dasar yang kuat dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikatakan sudah rusak. Forest Health Monitoring (FHM) merupakan salah satu cara yang berusaha diterapkan di Indonesia untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi hutan secara kontinyu. FHM/Pemantauan Kesehatan Hutan ini terutama dikembangkan dengan kegiatannya adalah pengembangan program, pengelolaan program, pelatihan, membangun plot, pengumpulan data dan analisis, pelaporan penaksiran dan pengembangan indikator (Nuhamara,2004).

1. Tujuan FHM

Tujuan program FHM (di Amerika Serikat) antara lain (Nuhamara , 2004):

Membuat perkiraan dengan cara yang dapat dipercaya mengenai status, perubahan, dan kecenderungan indikator-indikator terpilih mengenai kondisi ekosistem hutan berdasarkan wilayah.

Menyediakan informasi mengenai kesehatan ekosistem hutan dalam bentuk ringkasan statistik tahunan dan laporan-laporan interpretasi periodik untuk keperluan pengambilan kebijakan dan pengelolaan.

Memperbaiki keefektifan dan keefisienan pemantauan kesehatan hutan melalui penelitian langsung

(34)

Komponen Forest Health Monitoring (FHM)

Menurut Berg (2002) dalam Putra (2004) program FHM melakukan pendekatan melalui tiga komponen yang saling berkaitan : koleksi data, analisa data, dan pelaporan informasi mengenai kondisi kesehatan dari seluruh hutan yang terdapat di Amerika Serikat secara detail. Ketiga komponen tersebuat adalah:

Detection Monitoring ( Apa, dimana, kapan) : merekam kondisi ekosistem hutan, melakukan estimasi pada kondisi saat ini, dan mendeteksi perubahan yang terjadi.

b. Evaluation Monitoring ( Bagaimana ) : menjelaskan fenomena khusus perubahan yang terdeteksi dan jika memungkinkan menjelaskan penyebab perubahan tersebut, dan menyediakan dasar bagi tindakan-tindakan perbaikan yang perlu dilakukan

c. Intensive Site Ecosystem Monitoring (Mengapa) : menyediakan informasi yang detil dan berkualitas tinggi yang memungkinkan dialukannya pendugaan yang cermat pada hubungan sebab akibat proses-proses yang membentuk ekosistem hutan, dan mendukung penelitian eksperimental pada lokasi-lokasi tertentu yang mewakili ekosistem hutan yang penting.

d. Research on Monitoring Technique (ROMT) : Penelitian aspek biologi, statistik, dan analisis FHM, merupakan aktivitas keempat yang mendukung keselruhan tiga komponen yang lain.

(35)
(36)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan bulan Juli 2005 di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada areal bekas terbakar dan areal tidak terbakar. Ekstraksi dan identifikasi makrofauna tanah dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Untuk mengidentifikasi makrofauna tanah digunakan beberapa buku seperti Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et.al, 1996), Acarology, Mites And Human Welfare (Woolley, 1988) dan The pests of Crops In Indonesia (Kalshoven,1981). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah, alkohol 70%, air, kantung plastik transparan dan kertas label.

Alat-alat yang akan digunakan adalah timbangan O Hauss, termometer, kompas, Hygrometer, corong Berlis, oven, parang, pisau, meteran, cangkul, palu, ring, gelas ukur, tabung film bekas, kain kasa, botol aqua, penggaris, alat tulis dan kamera.

(37)

C. Metode Penelitian

1. Penentuan petak pengamatan

Penentuan petak pengamatan dalam Forest Health Monitoring ( FHM ) dilakukan dengan membuat desain plot sampling. Desain plot sampling yang digunakan dalam INDO-FHM disebut Desain Cluster Plot. Desain Cluster Plot berdasarkan pada Monitoring Kesehatan Hutan : Field Methods Guide. Pada setiap cluster plot terdiri dari 4 annular plots dengan jari-jari 17,95 m dan di dalamnya terdapat sub plot dengan jari-jari 7,32 m. Di dalam sub plot dibuat mikro plot dengan jari-jari 2,07 m yang titik tengahnya terletak pada 3,66 m dari pusat sub plot dengan azimut 90º ke arah timur. Pengamatan dilakukan pada hole yang terletak pada pertengahan garis yang menghubungkan antara annular plot dengan jarak dari pusat annular plot 18,3 m. Petak pengamatan biota tanah dibuat dengan ukuran 0,5 x 0,5 m. Pengamatan dilakukan pada permukaan tanah dan tingkat kedalaman 0 –5 cm pada lahan yang tidak terbakar dan lahan yang terbakar.

Binatang-makrofauna tanah yang dijumpai dan yang dapat ditangkap dimasukkan ke dalam tabung-tabung plastik berisi alkohol 70% yang telah diberi label berdasarkan petak pengamatan dan tingkat kedalamannya. Pengamatan dilakukan pada areal satu tahun setelah terbakar. Pengamatan pada areal yang tidak terbakar terletak pada 150,1 m dengan azimut 150º dari titik ikat, sedangkan areal terbakar terletak pada 91,5 m dengan azimut 140º dari titik ikat.

2. Ekstraksi makrofauna tanah

Untuk mengekstraksi makrofauna tanah digunakan metode corong Barlese-Tullgren. Alat ini dapat digunakan untuk mengekstraksi Arthtropoda tanah seperti Acarina, Collembola, Isopoda, Coleoptera dari contoh tanah atau serasah. Contoh tanah yang telah diambil di lapangan diletakkan dalam corong.

Pada alat ekstraktor ini ada sumber panas yang berguna untuk memaksa hewan

(38)

tanah turun dan jatuh ke dalam botol koleksi yang terletak di bagian bawah corong. Biasanya sumber panas itu berupa lampu listrik. Di botol koleksi hewan tanah itu terdapat zat kimia tertentu untuk mengawetkan makrofauna tanah yang masuk ke dalamnya. Zat kimia tersebut bisa berupa alkohol 76% atau asam pikrat jenuh (Suin, 1989). Pada bagian leher corong diletakkan kain kasa yang berfungsi untuk menyaring hewan tanah dan menahan tanah agar tidak jatuh ke dalam botol koleksi.

3. Analisis data

Analisis keragaman, kekayaan dan kemerataan jenis dilakukan pengamatan pada lahan yang terbakar dan lahan yang tidak terbakar. Uji T digunakan untuk membedakan variabel di plot yang terbakar dan tidak terbakar.

3.1. Nilai Kekayaan Jenis (Richness Index)

Nilai kekayaan jenis digunakan untuk menegtahui keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem. Indeks yang digunakan adalah indeks kekayaan jenis Margalef :

DMg = (S – 1) ln N Keterangan :

DMg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef S = jumlah jenis yang ditemukan N = jumlah individu seluruh jenis

3.2. Nilai Keragaman Jenis (Diversity Index)

(39)

Keragaman jenis berdasarkan kelimpahan individu diketahui dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener :

H’ = - Ó Pi ln Pi Pi = ni/N

Keterangan : H’ = indeks keragaman jenis Shannon-Wiener ni = jumlah individu jenis ke-I

N = jumlah total individu

Jumlah individu jenis ke-i (ni) diperoleh dengan memperhitungkan nilai frekuensi kemunculan jenis tersebut dari seluruh petak pengamatan disetiap ekosistem.

ni = Frekuensi x jumlah individu yang tertangkap Frekuensi = Ó Petak ditemukan jenis ke-i

Seluruh petak yang diamati

Nilai H’ berkisar antara 1,5 – 3,5. Nilai <1,5 menunjukkan keragaman rendah, nilai 1,5 – 3,5 menunjukkan keragaman sedang dan nilai > 3,5

menunjukkan keragaman tinggi (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005).

3.3. Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index)

Indeks ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan setiap jenis.

Rumus yang digunakan adalah nilai Evennes : E = H’/ ln S

Keterangan :

E = indeks kemerataan jenis

H’ = indeks kelimpahan individu jenis Shannon-Wiener S = jumlah jenis yang ditemukan

Nilai E berkisar antara 0 – 1. Nilai 1 menunjukkan seluruh jenis ada dengan kelimpahan yang sama (Magurran, 1998) dalam Abidin (2005).

4. Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat-sifat tanah

(40)

Analisis sifat fisik tanah berupa bobot isi tanah digunakan contoh tanah utuh yang diambil dengan menggunakan tabung silindris sedangkan untuk mengetahui tekstur tanah digunakan contoh tanah komposit yang diambil dari lahan yang terbakar dan lahan yang tidak terbakar. Sifat fisika tanah yang dianalisis meliputi tekstur dan bobot isi tanah.

4.1. Analisis tekstur tanah dengan metode rabaan

Tekstur tanah adalah perbandingan nisbi aneka kelompok ukuran jarah/pisahan tanah yang menyusun massa tanah pada suatu tubuh tanah. Pisahan tanah yang dikaji adalah : pasir, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.2 – 2.0 mm, debu, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.02 – 0.2 mm, dan lempung, yaitu jarah-jarah tanah dengan kisaran ukuran Ø 0.02 mm (Purwowidodo, 2004).

Kelas tekstur tanah yang digunakan untuk analisis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel. 2. Kelas tekstur tanah dengan metode rabaan No Kelas Tekstur Rasa dan sifat tanah 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Pasir

Pasir berlempung Lempung berpasir Lempung berdebu Lempung

Debu

Lempung berliat

Lempung liat berpasir

Lempung liat berdebu

Terasa kasar, tidak dapat dibentuk menjadi pola, gulungan dan tidak melekat

Terasa kasar, dapat dibentuk menjadi bola tetapi mudah hancur, sedikit melekat Agak kasar, membentuk bola agak keras, mudah hancur dan melekat

Terasa licin, dapat membentuk bola, pita, dan melekat

Tidak kasar dan tidak licin; dapat membentuk bola teguh, dapat digulung dan permukaannya mengkilat, melekat

Terasa licin sekali, dapat membentuk bola teguh, dapat digulung dan permukaannya mengkilat, agak melekat

Terasa agak kasar, dapat membentuk bola agak teguh, dapat dibentuk menjadi gulungan jika dipijit, gulungan mudah hancur, melekat Terasa agak kasar, dapat dibentuk menjadi bola agak teguh, membentuk gulungan jika dipijit, gulungan mudah hancur dan melekat Terasa licin dengan jelas, dapat membentuk bola teguh, dapat membentuk gulungan

(41)

10.

11.

12.

13.

Liat berpasir

Liat berdebu

Liat Liat berat

berkilat dan melekat

Terasa licin agak kasar, membentuk bola, dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung dan melekat

Rasa agak licin, membentuk bola, dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung dan sangat melekat

Terasa berat, dapat membentuk bola yang baik dan melekat sekali

Terasa berat sekali, dapat membentuk bola dengan baik dan sangat melekat.

Penentuan tekstur tanah di lapangan dapat dilakukan dengan cara membasahi tanah kemudian dipijat-pijat dengan ibu jari dan telunjuk. Sambil dirasa-rasakan dibentuk bola lembab, digulung-gulung dan dilihat daya tahannya terhadap tekanan dan kelekatannya sewaktu jari telunjuk dan ibu jari dipisahkan.

Dari hasil pembentukan bola, gulungan kelekatan, dan rasa licin/kasar dapat ditentukan tekstur tanahnya (Suin, 1989).

4.2. Penentuan bobot isi tanah dengan metode tabung silindris

Penentuan bobot isi tanah dengan menggunakan metode tabung silindris dapat dilakukan dengan cara berikut (Purwowidodo, 2004) :

♣ Menetapkan titik pengambilan contoh tanah dan membersihkan permukaannya dari serasah, batu kecil dan atau tumbuhan bawah yang menutupimya.

♣ Meletakkan tabung silindris berarah cacak terhadap permukaan tanah dengan ujung yang tajam berada di bawah

♣ Menempatkan alas papan di permukaan atas tabung dan memukulnya dengan palu, berselang teratur, hingga tabung silindrisnya menerobos tubuh tanah sampai tiga perempat bagian tinggi. Kemudian ditempatkan tabung silindris kedua di atas tabung silindris pertama dengan perlakuan serupa.

♣ Menggali tanah di sekitarnya untuk mengambil kedua tabung tersebut secara rampatan dan tetap menyatu. Kedua tabung dipisahkan dengan mengiris massa tanah yang menghubungkan dan menutupinya.

(42)

♣ Menimbang contoh tanah dalam tabung silindris tanpa tutupnya ( = a g ) untuk mengetahui berat tanah keadaan lapangan dengan tabungnya atau di oven selama 24 jam pada suhu 105• C kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering oven dengan tabungnya ( = b g )

♣ Mengukur tinggi tabung (t) dan Ø tabung sisi dalam (d) untuk menetapkan volume tabung sisi dalam (Vd) dengan persamaan : Vd = ¼ ëd2t

♣ Membuang contoh tanah dalam tabung silindris dan menimbang tabungnya ( = c g )

♣ Menetapkan besaran bobot isi tanah pada keadaan kering lapangan dengan persamaan : bobot isi kering lapangan (g/cc) = (a-c) / Vd

♣ Menetapkan besaran bobot isi tanah pada keadaan kering oven dengan persamaan : bobot isi kering oven (g/cc) = (b-c) / Vd

4. Pengukuran suhu dan kelembaban udara

Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan pada contoh di lapangan. Suhu tanah diukur dengan menggunakan termometer tanah. Suhu udara diukur dengan menggunakan termometer udara dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan Hygrometer.

(43)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan bukanlah suatu hal yang baru terjadi di hutan- hutan di Indonesia. Bukti ilmiah pendataan karbon radioaktif dari endapan arang di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan dataran rendah telah berulangkali terbakar paling sedikit 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode glasial kuarter (Goldammer, 1990) dalam (FWI, 2001). Tetapi, kebakaran yang terjadi tentu saja berbeda dengan kebakaran hutan saat ini.

Penggunaan api secara intensif terutama dalam kegiatan konversi lahan menyebabkan semakin meluasnya kebakaran yang terjadi di Indonesia. Sejak November 1982-April 1983, Agustus 1990, Juni-Oktober 1991, Agustus- Oktober 1994 dan September-November 1997 ( Februari-Mei 1998 )

kebakaran hutan dan lahan semakin luas dan menyebar. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan dampak seperti gangguan kesehatan, tercemarnya lingkungan, terganggunya aktivitas ekonomi serta hilangnya biodiversiti.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997/1998 (data World Bank, 2001) disebabkan oleh konversi lahan dalam skala besar (34%),

perladangan berpindah (25%), pertanian menetap (17%), konflik sosial dengan masyarakat setempat (14%), transmigrasi (8%) dan penyebab alami (1%).

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat besar karena sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tergantung pada pertanian dan cara paling mudah dalam penyiapan lahannya adalah dengan menggunakan api. Selain itu pembukaan lahan dalam skala besar dengan menggunakan api untuk penyiapan lahan masih berlangsung seperti pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit.

Di atas telah disebutkan beberapa dampak dari kebakaran hutan dan lahan itu sendiri. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah hilangnya biodiversiti dan rusaknya habitat makhluk hidup. Kerusakan tanah merupakan contoh

kerusakan habitat yang terjadi. Hal ini berdampak pada keberadaan makhluk hidup di permukaan ataupun di bawah permukaan tanah. Kebakaran

permukaan menyebabkan hilangnya vegetasi yang menutupi tanah, jika suhu yang dihasilkan tinggi atau cukup tinggi untuk memanaskan tanah sampai ke bawah permukaannya dalam jangka waktu tertentu maka akan sangat

berpengaruh pada sifat biologi tanah khususnya organisme tanah seperti serangga tanahnya. Suhu kebakaran yang melebihi suhu letal serangga- serangga tanah tersebut akan menyebabkan kematian. Hal ini dapat menyebabkan berkurang atau bahkan menghilangkan jenis-jenis serangga tanah tertentu.

Hilangnya serangga-serangga tanah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Manfaat serangga-serangga tanah seperti pendekomposisi bahan organik, berperan dalam siklus nitrogen termasuk

(44)

mineralisasi, denitrifikasi dan fiksasi N serta pengambilan nutrien seperti simbiosis mikoriza dengan akar tumbuhan yang membantu pengambilan P dan nutrien yang lain (DeBano et al.1998). Jika serangga-serangga tanah ini

terganggu sehingga berkurang atau hilang maka manfaat-manfaatnya pun akan hilang dan akan berdampak terhadap vegetasi sendiri.

Dampak pada vegetasi hutan yaitu terganggunya siklus hara sehingga tidak dapat tumbuh secara optimal, sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara terganggunya organisme tanah dengan kerusakan hutan. Untuk mengetahui sejauh mana gangguan yang terjadi terhadap hutan maka perlu ada monitoring terhadap kesehatan hutan.

Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan Forest Health

Monitoring ( FHM ) dengan kerusakan terhadap sifat biologi tanah (organisme- organisme tanah) sebagai salah satu indikator kesehatan hutan. Pemantauan kondisi hutan dengan metode FHM ini sangat penting untuk dilakukan terutama pada areal hutan dan lahan bekas terbakar.

Sampai saat ini penelitian dengan metode FHM pada areal hutan dan lahan bekas terbakar masih sangat sedikit dilakukan terbukti dengan kurangya informasi-informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi di areal bekas terbakar tersebut, baik kondisi lahannya maupun biodiversitasnya. Hal ini sangat memprihatinkan karena tahun 1998 kebakaran hutan yang terjadi mepunyai luasan ±10 juta Ha dan belum ada pemantauan secara kontinyu terhadap kondisi hutan tersebut, apakah hutan tersebut masih dapat

menjalankan fungsi-fungsinya atau tidak. Informasi-informasi tentang kondisi hutan bekas terbakar ini sangat penting untuk pengelolaan hutan selanjutnya.

Pentingnya penelitian dengan metode FHM ini juga disebabkan oleh hutan-hutan Indonesia yang mempunyai kondisi ekosistem berbeda sehingga pemantauan tidak cukup dilakukan di satu daerah saja. Perbedaan ekosistem akan menyebabkan perbedaan kondisi alam, biodiversitas serta responnya terhadap kebakaran. Metode FHM ini diharapkan mampu memantau kondisi hutan dari waktu ke waktu.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

7. Mempelajari pengaruh kebakaran hutan yang terjadi terhadap makrofauna tanah dengan metode Forest Health Monitoring ( FHM ).

8. Memperoleh informasi yang akurat tentang jenis-jenis organisme-organisme tanah yang hilang, berkurang atau bertambah di suatu areal akibat kebakaran yang terjadi di areal tersebut.

9. Mempelajari sifat fisik tanah (tekstur dan bulk density) yang dapat mempengaruhi keberadaan makrofauna tanah

(45)

III. TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan

Proses kebakaran

Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas, mengkonsumsi bahan bakar alami hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon (Brown and Davis, 1973).

Ada 3 komponen penting untuk terjadinya kebakaran. Pertama, tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar. Kedua, panas yang dapat

meningkatkan temperatur bahan bakar sehingga mencapai titik nyala, dan ketiga suplai oksigen (O2) yang cukup untuk menjaga kelangsungan proses pembakaran.

Ketiga komponen diatas membentuk segitiga api. Setiap komponen tersebut harus tersedia dalam waktu yang bersamaan, jika tidak maka tidak ada api (DeBano et al., 1998).

(46)

Oksigen (O2)

Bahan Bakar Sumber panas Gambar 1. Segitiga api

Menurut Brown dan Davis (1973), proses kebakaran secara kimia merupakan kebalikan dari proses fotosintesis.

♣ Reaksi fotosintesis : CO2 + H2O + sinar matahari → (C6H12O5)n + O2

♣ Reaksi pembakaran : (C6H12O5)n + O2 + suhu penyalaan → CO2 + H2O + panas

Ada 5 fase yang terjadi selama proses pembakaran berlangsung, yaitu : Preignition (pra penyalaan)

Bahan bakar mulai terpanaskan sehingga mengalami dehidrasi dan terjadi pelepasan uap air serta pelepasan gas-gas yang mudah terbakar (methane dan hydrogen) yang berasal dari dekomposisi termal hemiselulosa, selulosa dan lignin. Reaksinya berubah dari memerlukan panas (eksotermik) menjadi pemanasan sendiri ( endotermik).

Flaming (penyalaan)

Proses pirolisis (pelepasan uap air dan gas-gas yang mudah terbakar) semakin meningkat.

3) Smoldering (Pembaraan)

Pada kebakaran bawah smoldering berjalan lambat Pada fase ini laju penjalaran api mulai menurun demikian pula panas yang dilepaskan serta suhu yang dihasilkan.

4) Glowing (Pemijaran)

Referensi

Dokumen terkait

Indeks harga saham gabungan sebagai indikator perkembangan pasar modal Indonesia yang sekarang bernama Bursa Efek Indonesia (BEI) membuktikan bahwa kondisi makroekonomi dan

• Hipertensi yang muncul dan resisten terhadap ultrafiltrasi yang terjadi selama hemodialisis atau segera setelah hemodialisis..

Coklat (kabel diurut dari sebelah kiri, gagang pengait konektor ada dibawah).. Mengevaluasi situasi dengan metoda yang logis dan efisien untuk mengidentifikasi penyebab

Hal ini terjadi apabila LDR meningkat berarti terjadi peningkatan total kredit dengan persentase lebih besar dibandingkan dengan persentase peningkatan dari Dana

Selain itu pengaruh kebijakan dan strategi organisasi adalah faktor – faktor lingkungan baik didalam maupun diluar organisasi mengakibatkan ketidakpastian lingkungan

Bagi investor, hasil riset dapat digunakan sebagai pertimbangan mengambil keputusan untuk berinvestasi di pasar modal, khususnya pada saham syariah yang termasuk Jakarta

Apakah terdapat perbedaan kualitas pelaporan keuangan meliputi ketelitian, ketepatan, dan kecepatan dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen Daerah secara

Figure C, D and E pancreatic tissue of therapy rats that received treatment extract of black soybean showed necrosis, but also show improvement when be compared