• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN AKAD RAHN TASJILY PADA JAMINAN FIDUSIA PEMBIAYAAN BSI OTO DI BANK SYARIAH INDONESIA CABANG BENDUNGAN HILIR JAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN AKAD RAHN TASJILY PADA JAMINAN FIDUSIA PEMBIAYAAN BSI OTO DI BANK SYARIAH INDONESIA CABANG BENDUNGAN HILIR JAKARTA."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN AKAD RAHN TASJILY PADA JAMINAN FIDUSIA PEMBIAYAAN BSI OTO DI BANK SYARIAH INDONESIA CABANG

BENDUNGAN HILIR JAKARTA Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Muhammad Irwansyah 11170490000002

HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

PENERAPAN AKAD RAHN TASJILY PADA JAMINAN FIDUSIA PEMBIAYAAN BSI OTO DI BANK SYARIAH INDONESIA CABANG

BENDUNGAN HILIR JAKARTA Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Muhammad Irwansyah 11170490000002

Pembimbing

M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H. NUPN. 9920112985

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii Abstrak

Muhammad Irwansyah NIM 11170790000002. PENERAPAN AKAD RAHN TASJILY PADA JAMINAN FIDUSIA PEMBIAYAAN BSI OTO DI BANK SYARIAH INDONESIA (Studi Pada Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui praktik penerapan akad rahn tasjily pada pembiayaan BSI Oto akad murabahah dan akibat hukum dari praktik penerapan akad rahn tasjily pada pembiayaan BSI Oto akad murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir

Penulisan karya tulis ini menggunakan metode normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan melihat kesesuaian mekanisme dan akibat hukum terhadap praktik rahn tasjily pada jaminan fidusia pada pembiayaan akad Murabahah BSI Oto.

(4)

iii

syaratnya masih diragukan sudah dipenuhi atau tidak serta perlindungan hukum terhadap nasabah yang terikat dalam kontrak pembiayaan tersebut.

Kata Kunci : Jaminan Fidusia, Akad Murabahah, Akad Rahn tasjily Dosen Pembimbing : M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H.

(5)

iv

مي ِحهرلا ِنَمْحهرلا ِ هاللَّ ِمْسِب

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENERAPAN AKAD RAHN TASJILY PADA JAMINAN FIDUSIA PEMBIAYAAN BSI OTO DI BANK SYARIAH INDONESIA CABANG BENDUNGAN HILIR JAKARTA ”. Sholawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari Zaman kegelapan menuju Zaman yang penuh dengan kenikmatan.

Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk merahih gelar S.H di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan atas kelancaran dan kemudahan yang telah Allah SWT berikan. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak A.M Hasan Ali, M.A selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.

3. Bapak M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang sangat berperan dalam memberikan bimbingan, arahan, koreksi, saran dan meluangkan waktu kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan dan kesehatan kepada bapak. Aamiin

(6)

v

dukungan dan kelancaran akademik selama penulis menjalankan masa perkuliahan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan dan kesehatan kepada bapak. Aamiin

5. Kepada yang terhormat Orang tua penulis, Bapak AA. Nurjaman dan Nirmawati, beserta adik yang penulis cintai, Amellia yang senantiasa selalu memberikan doa, dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga pencapaian ini memberikan kebanggaan tersendiri dan keluarga.

6. Siti Marwah, Staff Financing Operations Supervisor Bank Syariah Indonesia KC Bendungan Hilir & Muchlasin, Staff Branch Operations Service Manager Bank Syariah Indonesia KC Bendungan Hilir yang senantiasa sudah membantu penulis dalam melengkapi skripsi ini.

7. Kepada teman baik penulis Aiman, Arsyad, Rio, Khalid, Habibi, Doni, Muhasa, Fakhri, Esty, Tebe, Afif, Kevin, Rehan, Dody, Krisna yang senantiasa memberikan dukungan dan doa kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Kepada teman baik Riski Firmansyah yang selalu memberikan masukan, saran serta dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Kepada teman-teman Hukum Ekonomi Syariah Angkatan 2016, teman-teman SELSMIT , teman-teman GIBEI UIN JKT berserta teman-teman KKN-DR 93 yang sudah memberikan wadah untuk pengalaman yang paling berkesan.

10. Kepada seluruh pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan, tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan atas sebaga yang telah kalian berikan. Amiin

Depok, Juli 2021

(7)
(8)
(9)

viii

Daftar Isi

BAB 1 PENDAHALUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

1. Jenis Penelitian ... 7

2. Pendekatan Penelitian ... 7

3. Sumber Data... 7

4. Teknik Pengumpulan Data ... 9

5. Teknik Analisis Penelitian ... 9

6. Teknik Penulisan Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM JAMINAN FIDUSIA DAN AKAD MURABAHAH .12 A. Kerangka Konseptual... 12

B. Kerangka Teori ... 16

1. Teori Kedudukan Jaminan ... 16

2. Teori Jaminan Fidusia ... 21

3. Teori Rahn tasjily ... 24

4. Teori Akad Murabahah ... 30

C. Review Penelitian Terdahulu ... 35

BAB III PROFIL BANK SYARIAH INDONESIA Tbk ... 43

A. Profil Bank Syariah Indonesia ... 43

1. Latar Belakang dan Sejarah Perusahaan ... 43

2. Visi dan Misi Perusahaan... 44

3. Struktur Organisasi ... 45

(10)

ix

5. Kedudukan BNI Syariah Pasca Penggabungan menjadi Bank Syariah

Indonesia ... 52

B. Praktik Pelaksanaan Akad Murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta (Eks BNI Syariah) ... 54

BAB IV PRAKTIK AKAD RAHN TASJLY PADA PEMBIAYAAN BSI OTO AKAD MURABAHAH ... 57

A. Kesesuaian Praktik Akad Rahn tasjily Pada Pembiayaan BSI Oto Akad Murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta ... 57

B. Akibat Hukum Dari Praktik Penerapan Akad Rahn tasjily Pada Pembiayaan BSI Oto Akad Murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta.67 BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 74

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memberikan pelayanan funding dan financing. Oleh karena itu perbankan menjadi lembaga yang memberikan lalu lintas baik pembiayaan dan penghimpunan dana masyarakat. Hal ini mengingat semakin tingginya lalu lintas pembiayaan yang diberikan perbankan maka harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan. Undang-undang nomor 21 tahun 2008 disebutkan mengenai perbankan dan prinsip kehati-hatian.

Salah satu pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Syariah Indonesia yaitu produk jual beli. Pembiayaan produk jual beli telah menjadi salah satu pembiayaan yang memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dalam Laporan Tahunan Bank Syariah Indonesia Tahun 2020 yang dinyatakan dalam miliar rupiah sebagai berikut:1

No. Keterangan 2019 2020 Pertumbuhan

Nominal %

1 Murabahah 19.193,84 20.247,34 1.053,50 5,49%

Data diatas, menunjukkan bahwa pembiayaan murabahah menjadi pembiayaan dengan konsep jual beli yang paling banyak mendatangkan keuntungan dan selalu mengalami jumlah peningkatan keutungan tiap tahunnya. Hal tersebut memberikan gambaran indikasi bahwa akad murabahah lebih mendominasi di Bank Syariah Indonesia dibandingkan dengan akad-akad lain.

Terdapat empat produk pembiayaan Bank Syariah Indonesia yaitu BSI Mitra Beragun Emas (Non Qardh), BSI Oto, BSI Multiguna Hasanah, BSI Cash Collateral. Akad murabahah yang paling banyak memberikan rasa kepercayaan kepada nasabah

(12)

dalam melakukan fasilitas pembiayaan. Hal tersebut dibuktikan dengan 4 produk pembiayaan, diantaranya menggunakan akad murabahah.2

Dalam praktiknya pembiayaan dengan produk jual beli murabahah yang dilakukan secara umum ada dua kelompok yang dibiayai yaitu murabahah yang objeknya benda bergerak dan murabahah pemilikan rumah (KPR). Untuk pembiayaan murabahah yang objeknya adalah benda bergerak, pengikatan dilakukan dengan jaminan fidusia, sedangkan, pembiayaan murabahah yang objeknya merupakan benda tidak bergerak misalnya dalam pembelian tanah beserta rumah yang ada di atasnya, dilakukan dengan pengikatan hak tanggungan.3

Dalam skema akad jual beli murabahah jenis pembiayaan yang digunakan adalah pembiayaan konsumtif. Pembiayaan konsumtif adalah pembiayaan untuk membeli barang – barang konsumsi, meliputi; mobil, sepeda motor dan jenis barang konsumsi lainnya.4 Pembiayaan murabahah sebagaimana lazimnya pembiayaan lain senantiasa disertai pengikatan jaminan. Dalam hal ini jenis jaminan yang umum digunakan adalah fidusia. Hampir seluruh pengikatan jaminan dalam pembiayaan murabahah dilakukan secara fidusia sepanjang mengenai benda bergerak.5 Berdasarkan Undang-undang

2 Produk Pembiayaan Bank Syariah Indonesia, https://www.bankbsi.co.id, Pembiayaan.

3 Halimatus Sa’diyah, “Kedudukan Fidusia Sebagai Jaminan Akad Pembiayaan Murabahah Pada

Bank Syariah (studi kasus pada BPRS Bahkti Sumeker sumenep)”, Misykat Al-Anwar kajian Islam dan

Masyarakat, 29, 2 (2018), h. 29.

4 Ratna Fitri Andini, ”Implementasi Jaminan Fidusia Atas Pembiayaan Murabahah di BPR (Bank

Pembiayaan Rakyat) Syariah Mandiri Mitra Sukses Gresik”, Maqasid, 3, 2 (2014), h. 7.

5 Halimatus Sa’diyah, “Kedudukan Fidusia Sebagai Jaminan Akad Pembiayaan Murabahah Pada

Bank Syariah (studi kasus pada BPRS Bahkti Sumeker sumenep)”, Misykat Al-Anwar kajian Islam dan

Masyarakat, 29, 2 (2018), h. 75.

Jenis Produk Pembiayaan Akad yang digunakan

BSI Oto Murabahah

BSI Mitra Beragun Emas (Non Qardh) Murabahah, Musyarakah Mutanaqishah

BSI Multiguna Hasanah Murabahah

(13)

nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah boleh dilakukan dengan prinsip syariah dan adanya agunan sebagai jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas. 6

Adapun akad-akad yang digunakan dalam produk jual beli murabahah antara lain akad rahn tasjily, akad ijarah dalam penetapan suatu jaminan. Akad rahn tasjily sebagai jaminan fidusia mempunyai arti jaminan dalam bentuk barang atau hutang tetapi barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada murtahin. Rahn tasjily sendiri dalam mekanismenya di lembaga keuangan syariah menggunakan akad tambahan yaitu akad Ijarah guna memperoleh ujrah. Akad Ijarah dibebankan kepada nasabah atau rahin sebagai biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun atau barang (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat).

Pengikatan jaminan rahn tasjily yang dilakukan bank syariah dalam penetapan biaya pemeliharaan pada marhun telah diatur dalam DSN-MUI Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn tasjily. Didalamnya terdapat keterangan bahwa besaran pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan.

Dalam melakukan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Regulasi ini telah disahkan dan menjadi pedoman untuk lembaga keuangan syariah yang memberikan lalu lintas pembiayaan.

Dengan demikian ada beberapa perbedaan diantaranya biaya pemeliharaan terhadap ketentuan jaminan dan teknis pelaksanaan rahn tasjily antara fatwa DSN-MUI

6 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Penjelasan pasal 1 ayat 26,

(14)

Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn tasjily dan Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Kedua landasan tersebut memunculkan isu hukum yaitu dalam memberikan penjelasan penerapan prinsip rahn tasjily salah satunya teknis pelaksanaan terhadap jaminan. Sementara itu, kedua regulasi tersebut memiliki kedudukan yang seimbang dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan operasional kegiatan perbankan syariah.

Pada pelaksanaannya Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir dalam pembiayaan yang disertai jaminan masih terdapat proses yang diindikasi tidak sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang berlaku. Terdapat beberapa permasalahan terkait dengan pembiayaan yang disertai jaminan pada akad murabahah yang bersinggungan dengan SEOJK dan Fatwa DSN-MUI. Berdasarkan hasil wawancara pendahuluan yang saya peroleh bahwasannya saya menemukan adanya permasalahan antara lain :

1. Dalam penetapan biaya pemeliharaan terhadap dokumen akta fidusianya pada pembiayaan murabahah produk BSI Oto (dimana belum dijelaskan secara detail dan rinci mengenai biaya pemeliharaan).

2. Pada esekusi jaminan terkait tidak ada kejelasan mengenai esekusi jaminan. Tidak membedakan antara yg wanprestasi sama non wanprestasi. Jadi yang tidak wanprestasi itu harusnya ada upaya pemulihan tetapi dari hasil wawancara pendahuluan yang dilakukan menyebutkan secara langsung dieksekusi karena untuk mengurangi biaya yang timbul.7

Berdasarkan data dan penjabaran diatas penelitian ini merasa perlu untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut dengan objek yang berbeda dan tentunya subjek lebih dipersempit karena hanya akan meneliti mengenai penerapan pembiayaan murabahah yang disertai jaminan fidusia. Jadi penelitian yang akan dilakukan adalah untuk

7 Muchlasin, Staff Branch Operations Service Manager Bank Syariah Indonesia KC Bendungan

(15)

melanjutkan penelitian Masriani Mahyudin dengan judul: “Penerapan Akad Rahn Tasjily Pada Jaminan Fidusia Pembiayaan BSI Oto Cabang Bendungan Hilir Jakarta”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah a. Identfikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas maka permasalahan yang terindentifikasi berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut :

1. Masyarakat atau sebagian nasabah belum memahami tentang jaminan secara syariah yang dilakukan oleh Bank Syariah.

2. Minimnya penjelasan dan edukasi dari pihak bank kepada nasabah terkait dengan jaminan syariah yang akan dibebankan kepada nasabah dan bagaimana konsekuensinya apabali esekusi jaminan berdasarkan prinsip syariah.

3. Dalam pratiknya pembiayaan murabahah yang terdapat pada produk BSI Oto terdapat ketidaksesuaian dalam pelaksanaan penetapan jaminan fidusia dan esekusi jaminan fidusia dalam pembiayaan BSI Oto dengan akad murabahah antara ketentuan yang ada didalam Fatwa DSN-MUI Nomor 68 tahun 2008, SEOJK Nomor 36/SEOJK.03/2015.

b. Pembatasan Masalah

Agar mempermudah dalam pembahasan maka penulis membuat pembatasan masalah sehingga pembahasannya lebih terarah dan tidak terlalu luas, maka penulis membatasi lingkup penelitian mekanisme jaminan syariah (rahn tasjily) dan konsekuensinya terhadap eseskusi jaminan terkhusus pada akad murabahah yang hanya dipraktikkan di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta.

c. Perumusan Masalah

(16)

1. Bagaimana Pelaksanaan Akad Rahn tasjily Pada Jaminan Fidusia Pembiayaan BSI Oto Akad Murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta ?

2. Bagaimana Akibat Hukum Pelaksanaan Rahn tasjily Pada Pembiayaan BSI Oto di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

1. Untuk Menganalisis Penerapan Akad Rahn Tasjily Pada Jaminan Fidusia Pembiayaan BSI Oto Akad Murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta.

2. Untuk Menganalisis Akibat Hukum Praktik Rahn Tasjily Pada Jaminan Fidusia Pembiayaan BSI Oto Akad Murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta.

b. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademik :

a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan menambah wawasan keilmuwan yang berguna bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya dalam bidang Ekonomi Syariah.

b) Diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan mengembangkan pemikiran serta memperluas informasi tentang jaminan fidusia dalam perspektif syariah.

c) Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis :

(17)

dalam peraturan yang dibentuk oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu pendekatan hukum normatif yaitu pendekatan hukum untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.8

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan ini dilakukan dengan cara meneliti terlebih dahulu peraturan perundang-undangan (statue approach)9 yang relevan dan terkait dengan penelitian yang dilakukan atau melihat dengan hukum normatif. Adapun spesifikasi penelitian yang digunakan yaitu deskriptif analitis, yaitu dengan cara menggambarkan terlebih dahulu permasalahan hukum terkait dengan penerapan akad rahn tasjily pada jaminan fidusia pembiayaan BSI Oto akad murabahah dan akibat hukum pelaksanaan metode tersebut pada Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta. Sedangkan analitis dalam arti bahwa hasil yang diperoleh dengan melakukan analisa terhadap data-data yang dikumpulkan.

3. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Data primer yang didapat oleh penulis melalui hasil data-data yang berasal dari Bank Syariah Indonesia Cabang Bedungan Hilir Jakarta. Penulis

(18)

menggunakan metode wawancara langsung oleh pegawai serta dokumen yang diperoleh memalui Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta. b. Sumber Data Sekunder

Bersumber pada dokumen-dokumen tertulis tentang pembiayaan murabahah disalah satu produk BSI Oto di Bank Syariah Indonesia, Jurnal-jurnal ilmiah, Dokumen-dokumen, Buku-buku, Peraturan perundang-undangan, Fatwa DSN-MUI, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, dan berbagai referensi dengan masalah penelitian. Data sekunder diperoleh dengan beberapa bahan hukum antara lain :

1) Bahan Hukum Primer

a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. b) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. c) Perma No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.

e) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24 tahun 2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

f) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36 tahun 2015 Tentang Kondifikasi Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

g) Fatwa DSN-MUI Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai Rahn.

(19)

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder bersumber pada dokumen-dokumen tertulis. Hasil penelitian dan penemuan ilmiah yang berkaitan dengan mekanisme penerapan rahn tasjily pada jaminan fidusia serta akibat hukumnya. 3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu bahan yang menunjukkan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa bahan pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Penulis akan melakukan wawancara secara terbuka untuk mencari informasi terkait dengan penelitian mengenai penerapan akad rahn tasjily pada jaminan fidusia pembiayaan BSI Oto akad murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta. Penulis melakukan wawancara dengan :

1) Muchlasin Staff Branch Operations Service Manager Bank Syariah Indonesia KC Bendungan Hilir Jakarta.

2) Siti Marwah Staff Financing Operations Supervisor Bank Syariah Indonesia KC Bendungan Hilir Jakarta.

b. Studi terhadap dokumen-dokumen

(20)

5. Teknik Analisis Penelitian

Setelah data dikumpulkan, selanjutnya data tersebut diidentifkasi dan di analisis, kemudian disusun dengan menggunakan metode pendekatan analisis kualitatif. Sesuai dengan sifat penelitian ini yang menggunakan deskriptif analitis, maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukan pengumpulan data yang sesuai dengan kategori yang sudah ditentukan. Adapun dalam menentukan penelusuran data dalam penelitian ini dari ketentuan peranturan perundang-undangan mengenai jaminan fidusia pada perbankan syariah, termasuk mengenai data lapangan dalam pelaksanaanya. Data kemudian dikaji dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Teknik Penulisan Penelitian

Dalam Penulisan dan penyusunan proposal skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulis skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan penelitian penulis ini menjadi lebih dan sistematis, maka penulis melakukan perincian sistematika pembahasan sebagai berikut :

Pada Bagian Pertama yaitu bab Pendahuluan. Bab ini berisi gambaran secara umum mengenai permasalahan yang ingin diteliti oleh peneliti yang meliputi latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

(21)

Kemudian pada bagian ketiga berisikan bab tinjauan umum mengenai Bank Syariah Indonesia. Bab ini berisi mengenai profil gambaran umum Bank Syariah Indonesia, visi dan misi, serta produk dalam pembiayaan di Bank Syariah Indonesia.

Dibagian keempat merupakan Analisis dan Pembahasan berisi tentang analisis mengenai praktik dan akibat hukum ketidaksesusaian praktik penerapan akad rahn tasjily pada jaminan fidusia pembiayaan BSI Oto akad murabahah di Bank Syariah Indonesia Cabang Bendungan Hilir Jakarta.

(22)

12

BAB II

TINJAUAN UMUM JAMINAN FIDUSIA DAN AKAD MURABAHAH

A. Kerangka Konseptual 1. Jaminan

Kata jaminan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima (agunan).10

Adapun yang dimaksud dengan jaminan dalam penelitian skripsi ini adalah jaminan pada pembiayaan murabahah khususnya pada produk BSI Oto yang dilakukan antara Bank Syariah Indonesia sebagai penerima jaminan dengan nasabah sebagai pemberi jaminan.

2. Akad Murabahah

Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad jual beli murabahah. Akad bai’ al murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.11

Adapun yang dimaksud dengan akad murabahah dalam penelitian skripsi ini adalah akad jual beli yang digunakan dalam sebuah perjanjian yang dilakukan pembebanan jaminan antara Bank Syariah Indonesia sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur.

3. Akad Rahn Tasjily

Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 68/DSN-MUI/III2008 tentang Rahn Tajsily, dijelaskan bahwa rahn tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik

10 Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui https;//kbbi.kemendikbud.go.id/,

28 Mei 2021.

(23)

barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).12

Adapun yang dimaksud dengan akad rahn tasjily dalam penelitian skripsi ini adalah akad jaminan secara syariah hampir sama dengan jaminan fidusia yang digunakan dalam lembaga keuangan syariah.

4. Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia adalah jaminan tambahan atau agunan. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dijelaskan bahawa jaminan fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.13

Adapun yang dimaksud dengan jaminan fidusia dalam penelitian skripsi ini adalah jaminan yang digunakan untuk memberikan fasilitas pembiayaan yang bersifat konsumtif yang disepakati antara Nasabah dan Bank Syariah Indonesia.

5. Penetapan Jaminan Fidusia

Makna penetapan dalam KKBI yaitu proses pelaksanaan.14 Adapun yang dimaksud dengan penetapan jaminan fidusia dalam penelitian skripsi ini adalah proses atau tahapan dalam pengikatan jaminan fidusia harus dilaksanakan oleh pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian dimana pengikatan jaminannya menggunakan jaminan fidusia sebagaimana tertuang dalam pembiayaan murabahah oleh nasabah dan Bank Syariah Indonesia. Adapun tahap-tahap pembebanan jaminan fidusia sebagai berikut :

a. Tahapan pertama merupakan tahap dimana dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit.

12 Fatwa DSN-MUI Nomor 68/DSN-MUI/III2008 Tentang Rahn Tajsily.

13 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Pasal 1 ayat (1).

14 Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui

(24)

b. Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan fidusia yang ditandai dengan pembuatan akta jaminan fidusia. Dalam akta penjaminan fidusia memuat antara lain hari, tanggal dan waktu pembuatan : identitas para pihak, data perjanjian pokok fidusia, uraian objek fidusia, nilai penjaminan, dan nilai objek jaminan fidusia.

c. Tahap ketiga merupakan tahap pendaftaran akta jaminan fidusia di kantor pendaftaran fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia kemudian menerbitkan sertifikat Jaminan Fidusia yang diserahkan kepada kreditur sebagai penerapan fidusia.15

6. Pelaksanaan Perjanjian

Makna pelaksanaan menurut KBBI adalah perbuatan melaksanakan16. Adapun yang dimaksud dengan kalimat pelaksanaan perjanjian dalam penelitian skripsi ini adalah suatu perbuatan untuk melaksanakan apa yang sudah tertuang dalam sebuah perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis dan sepakati secara bersama sebagaimana tertuang dalam akad murabahah oleh nasabah dan Bank Syariah Indonesia.

7. Akad

Akad berasal dari lafal arab al-aqd yang secara etimoogi berarti perikatan, perjanjian, permufakatan.17 Menurut Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang dimaksud dengan akad adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah dengan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.18

15 YLBHI & PSHK, Pedoman Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta, Sentralisme Production,

2006,), Cet.1, h. 146.

16Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui

https;//kbbi.kemendikbud.go.id/, 28 Mei 2021.

(25)

Adapun yang dimaksud dengan akad dalam penelitian ini adalah sebuah perjanjian (akad) jual beli dengan menggunakan akad murabahah antara pihak nasabah dengan pihak Bank Syariah Indonesia.

8. Pembiayaan Murabahah

Pembiayaan adalah penyedian dana atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah atau pihak lain yang mewajibkan pihak lain yang dibiayai atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.19

Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan murabahah dalam penelitian skripsi ini adalah fasilitas pembiayaan konsumtif dengan menggunakan akad murabahah yang diberikan oleh nasabah (penerima fasilitas pembiayaan) dengan Bank Syariah Indonesia (pemberi fasilitas pembiayaan).

9. Bank Syariah Indonesia

Bank Syariah Indonesia adalah bank yang terbentuk dari 3 bank syariah BUMN yaitu BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah. Dalam hal ini kegiatan bank syariah tentu menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka yang dimaksud dengan judul skripsi “Penerapan Akad Rahn tasjily Pada Jaminan Fidusia Pembiayaan BSI Oto Di Bank Syariah Indonesia” adalah untuk mengetahui secara detail mekanisme dalam pengikatan jaminan fidusia yang dilakukan antara nasabah dengan pihak Bank BSI yang dikhususkan pada pembiayaan murabahah atau jual beli sampai dengan esekusi jaminn fidusia.

(26)

B. Kerangka Teori

1. Kedudukan Jaminan

a. Jaminan Utang Piutang Kredit Secara Konvensional

Menurut J. Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitor. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang.20Menurut Salim HS hukum jaminan diartikan keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. Salah satu unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah adanya fasilitas kredit yang dimaksud pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank.21 Mekanisme jaminan atau agunan juga tertuang dalam UU Perbankan pasal 1 angka 23 menyebutkan “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.22

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam pemberiaan fasilitas kredit yang dilakukan oleh perbankan perlu adanya jaminan sebagai langkah untuk memitigasi resiko apabila debitur tidak melunasi angsutan kreditnya. Dalam operasional perbankan selain jaminan atas kepercayaan dan kemampuan debitur dalam melunasi angsuran kredit, tentu bank harus menetapkan agunan dalam pemberian fasilitas kredit sesuai dengan UU tentang perbankan.

Unsur esensial dari kredit adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur, kepercayaan tersebut

20 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996), h.. 4.

21 Putri Ayi Winarsasi, Hukum Jaminan di Indonesia (Perkembangan Pendaftaran Jaminan

Secara Elektronik ,(Surabaya, Jakad Media Publishing,2020), h. 6.

(27)

timbul karna dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur antara lain: jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan.23Ada beberapa aspek yang perlu dianalisa oleh perbankan untuk mengetahui dan menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit atau pembiayaan dengan menggunakan instrumen yang dikenal dengan the fives of credits atau 5C, yakni:

a) Character (watak)

Pertimbangan utama dalam proses kredit atau pembiayaan, meskipun analisa dari berbagai aspek baik tetapi watak seorang pemohon jelek maka resiko pembiayaan akan menjadi besar.

b) Capital (modal)

Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Pemohon pembiayaan yang berbentuk badan usaha, besarnya modal yang dimiliki pemohon kredit atau pembiayaan ini dapat dicermati dari laporan keuangan. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki maka menunjukkan perusahaan tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban membayar hutangnya.

c) Capacity (kemampuan)

Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran debitur harus memiliki kemampuan memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika debitur perorangan atau pendapatan perusahaan bila berbentuk badan usaha.

d) Collateral (jaminan)

Berfungsi memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang- barang jaminan tersebut bilamana debitur tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian.

23 Chatarmarrasjid, Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada

(28)

e) Condition of Economy (kondisi ekonomi)

Kondisi dan situasi ekonomi yang berkatan erat dengan usaha yang dijalankan oleh nasabah baik dalam skala mikro maupun makro.24

Selain penerapan 5C, penerapan 5P juga diperlukan yang diantaranya adalah: a) Party (golongan) adalah mencoba menggolongkan calon nasabah kredit atau

pembiayaan kedalam kelompok tertentu menurut character, capacity dan capitalnya.

b) Purpose (tujuan) adalah penggunaan kredit atau pembiayaan yang diajukan sesuai dengan tujuan yang sebenarnya.

c) Payment adalah kemampuan dan kekuatan calon nasabah kredit atau pembiayaan untuk membayar kembali pembiayaan yang diberikan sekaligus cara dan jangka waktu pembiayaannya.

d) Profitability atau kemampuan mendapatkan keuntungan ; yang dimaksud adalah bukan hanya keuntungan yang diperoleh nasabah dari usahanya melainkan juga keuntungan yang akan didapatkan oleh bank apabila nasabah tersebut menggunakan fasilitas lain di bank tersebut.

e) Protection yaitu perlindungan terhadap kredit atau pembiayaan dengan meminta jaminan dan asuransi.25

b. Jaminan Pembiayaan Secara Syariah

Menurut Imam Syafi’i nilai harta yang terdapat pada objek agunan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak kreditur karena marhūn hanya menjadi objek untuk merecovery nilai hutang yang telah dipinjam debitur. kecuali pemanfaatan harta oleh kreditur tersebut tidak merugikan pihak debitur. Pendapat ulama Ḥanābilah

24 Nonie Afrianty, “Kedudukan Jaminan dan Denda Pada Pembiayaan Bank Syariah”, AL-INTAJ,

4, 2, (September 2018), h. 226.

25 Nonie Afrianty, “Kedudukan Jaminan dan Denda Pada Pembiayaan Bank Syariah”, AL-INTAJ,

(29)

hampir sama dengan pendapat ulama Syafi’iyah yaitu jaminan utang bisa dijadikan sebagai alat untuk membayar utang tersebut ketika pihak debitur tidak mampu untuk membayar utangnya, tetapi ulama Ḥanābilah tidak menetapkan dalam hal pemanfaatan barang jaminan. Menurut Ulama Mālikiyyah sistem jaminan ar-rahn menyerahkan barang yang berbentuk harta dan memiliki nilai sebagai jaminan utang debitur yang sudah jelas bentuk utangnya dan sudah mengikat atau yang akan mengikat kedua belah pihak. Jumhur ulama telah sepakat menyatakan bahwa kriteria marhūn (barang jaminan) yaitu barang yang memiliki nilai ekonomis dan mudah dijual, diketahui dengan jelas dan pasti, bisa untuk diserahkan, bisa dipegang, bisa dikuasai, tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan marhūn, terpisah dan teridentifikasi baik itu harta bergerak maupun harta tidak bergerak, baik itu harta mithly maupun qîmy.26

Maka dapat disimpulkan bahwa jaminan yang dilakukan pada pembiayaan perbankan syariah diperbolehkan oleh jumhur ulama sebagai solusi untuk merecovery nilai hutang debitur atau nasabah. Agunan tersebut harus bersifat ekonomi sehingga agunan dapat dengan mudah untuk dijual atau dilelang ketika nasabah tidak mampu membayar seluruh atau sebagian hutang nasabah.

Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan27 Mekanisme pembiayaan tertuang dalam UU Perbankan syariah pasal 1 ayat (25) menyebutkan ”Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: 1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, 2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk

26 Muhammad Maulana, “Jaminan Dalam Pembiyaan pada Perbankan Syariah”, Jurnal Ilmiah

Islam Futura, 14, 1, (Agustus 2014), h. 77.

27 Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta, Unit Penerbit & Percetakan

(30)

ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, 3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna, 4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, 5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa”. Pembiayaan dalam lembaga keuangan syariah memiliki beberapa bentuk, yaitu berupa pembiayaan modal, pembiayaan barang, dan pembiayaan jasa. Perbedaan model pembiayaan tersebut didasarkan atas bentuk kontrak (akad) yang membangunnya. Berbeda dengan kontrak Islam (akad), kontrak pembiayaan dalam lembaga keuangan konvensional didasarkan pada satu bentuk yaitu pembiayaan kredit. Perbedaan model tersebut berakibat pada perbedaan pendapatan atau keuntungan yang didapat oleh lembaga keuangan. Dalam kontrak Islam, pendapatan diraih dalam bentuk bagi hasil, upah, atau untung sedangkan dalam kontrak konvensional, pendapatan didapatkan dari bunga pinjaman.28

Pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah merupakan salah satu fasilitas yang diberikan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan konsumer. Dalam kegiataanya bank syariah tidak boleh menetapkan adanya jaminan, namun dalam praktiknya banyak nasabah yang lalai dan tidak mampu membayar angsuran, maka bank syariah menetapkan jaminan sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Ada beberapa akad pembiayaan yang melakukan pembebanan jaminan seperti pada pembiayaan murabahah “jaminan dalam murabahah diperbolehkan. Agar nasabah serius dalam pemesanannya”, Pada dasarnya jaminan yang dilakukan pada perbankan syariah sebagai jaminan tambahan atau accesoir. Adanya perjanjian pokok menjadi syarat mutlak dalam pembebanan jaminan sebagai agunan untuk melihat keseriusan nasabah dan sebagai prudential banking dalam memberikan fasilitas pembiayaan.

28 Muhammad Maksum, “Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak Pembiayaan

(31)

Kedudukan jaminan atau collateral bagi pembiayaan memiliki karakteristik khusus. Tidak semua properti atau harta dapat dijadikan jaminan pembiayaan, melainkan harus memenuhi unsur MAST, yaitu:

a) Marketability yakni adanya pasar yang cukup luas bagi jaminan sehingga tidak sampai melakukan banting harga.

b) Ascertainably of value yakni jaminan harus memiliki standar harga tertentu.

c) Stability of value yakni harta yang dijadikan jaminan stabil dalam harga atau tidak menurun nilainya.

d) Transferability yakni harta yang dijaminkan mudah dipindah tangankan baik secara fisik maupun yuridis.

e) Secured yakni barang yang dijaminkan dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku apabila apabila terjadi wanprestasi.29

2. Teori Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia menurut Tan kamelo adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda dengan hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.30 Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1131 dinyatakan bahwa semua benda atau kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk semua hutang-hutangnya, namun sering orang tidak puas dengan jaminan secara umum ini. Kemudian kreditur biasanya meminta supaya suatu benda tertentu untuk digunakan sebagai jaminan atau tanggungan.31 Sedangkan menurut A. Hamzah dan Senjun Manulang sebagaimana dikutip oleh Salim HS, fidusia adalah Suatu cara pengoperan hak milik dari

29 Nonie Afrianty, “Kedudukan Jaminan dan Denda Pada Pembiayaan Bank Syariah”, AL-INTAJ,

4, 2, (September 2018), h. 231.

30 H. Zaeni Ashadie, S.H.,M.Hum dan Rahma Kusumawati, S.H., M.H., Hukum Jaminan di

Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2018, Cet. Pertama), h., 158.

31 Abdul Ghofur Ashori, Gadai Syariah di Indonesia Konsep Implementasi dan Institusionalisasi,

(32)

pemiliknya (debitur dalam perjanjian pokok) berdasarkan perjanjian utang piutang kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-leverin dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur, tetapi bukan sebagai eigenar maupun sebagai bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder dan atas nama kreditur-eigenar.32

Dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia adalah bentuk jaminan yang dilakukan antara satu orang atau lebih, dimana para pihak memilik hak dan kewajiban untuk mengikatkan suatu barang atau benda. Akan tetapi benda yang akan menjadi objek jaminan tetap dalam penguasaan debitur (penerima fasilitas) dan kreditur (pemberi fasilitas) hanya memegang bukti kepemilikan terhadap benda tersebut. Dalam hal ini pegikatan jaminan fidusia tentu sangat diperlukan dalam memitigisi resiko terhadap sektor pembiayaan, industri dll.

Didalam jaminan fidusia terdapat beberapa unsur-unsur yaitu pembebanan, dan subtansi jaminan fidusia yang tercantum didalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Pembebana jamina fidusia dibuat oleh Akta Notaris dalam bahasa Indonesia. Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-undang Jaminan Fidusia yang berbunyai “Pembebanan benda jaminan fidusia dibuat oleh akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia”. Dalam Akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat :

1. Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia. 2. Data perkanjian pokok yang dijamin fidusia.

3. Uraian mengenai benda menjadi objek jaminan fidusia. 4. Nilai penjaminan.

32 Benny Krestian Heriawanto, “Pelaksanaan Esekusi Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Title

(33)

5. Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia (pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 1999).

Sedangkan subtansi akta pembebenan jamina fidusia memuat sebagai berikut :

1. Tanggal dibuatnya akta pembebanan jaminan fidusia. 2. Para pihak yaitu pemberi dan penerima fidusia. 3. Objek fidusia ini tetap berada pada pemberi fidusia. 4. Asuransi objek fidusia.

5. Perselisihan.

6. Biaya pembuatan akta. 7. Saksi-saksi.

8. Tanda tangan para pihak.33

Menurut Tan Kamelo, bahwa asas-asas jaminan sebagaimana terdapat dalam UUJF sebagai berikut :34

1. Bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya.

2. Bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada.

3. Bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas assesoritas.

4. Bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. 5. Bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan pada benda yang akan ada.

6. Bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan pada bangunan/ rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain.

33 H. Zaeni Ashadie, S.H.,M.Hum dan Rahma Kusumawati, S.H., M.H., Hukum Jaminan di

Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2018, Cet. Pertama), h., 172.

34 M. Yasir, “Aspek Hukum Jaminan Fidusia”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, Vol 3 No.1, h.

(34)

7. Bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subyek dan obyek jaminan fidusia.

8. Bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas obyek jaminan fidusia.

9. Bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

10. Bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia.

11. Bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu ke kantor fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan.

12. Bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai iktikad baik.

13. Bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.

3. Teori Rahn Tasjily

a. Pengerrtian Rahn Tasjily

Menurut Al - Subki berpendapat bahwa rahn yaitu menjadikan sesuatu aset sebagai jaminan kepada pembiayaan atau pinjaman, agar pembiayaan atau pinjaman tersebut dapat dilunasi dengan nilai aset pembiayaan atau jaminan tersebut tatkala penerima biaya atau peminjam tidak mampu melunaskan obligasinya.35

Menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab mughni dan Abu Zakaria Al-Anshary dalam kitabnya Fathul Wahul sebagaimana dikutib oleh Sudarsono (2004: 157) menitikberatkan rahn adalah suatu benda yang dijadikan

35 Tri Hidayati, dkk, “Mekanisme Pengunaan Jaminan Kebendaan,Nurani”, 18, 1, (Juni 2018), h.

(35)

kepercayaan dari suatu barang yang dapat dibayarkan dari harta benda itu apabila utang tidak dibayar.36

Menurut Sudarsono menjelaskan bahwa rahn terbagi menjadi 2 macam, yaitu rahn takmini (benda tetap) atau rahn tasjily (benda bergerak), dan rahn hiyazi. Rahn takmini atau rahn tasjily merupakan bentuk gadai dengan hanya memindahkan bukti hak kepemilikan benda jaminan seperti sertifikat tanah (benda tidak bergerak), Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor/BPKB (benda bergerak) dan lainnya, namun bendanya sendiri berada pada penguasaan pihak pemberi jaminan. Jaminan fidusia dan Hak Tanggungan yang digunakan pada Bank Syariah di Indonesia lebih dekat kesamaannya dengan jaminan dalam bentuk rahn takmini atau rahn tasjily tersebut. Adapun rahn hiyazi lebih mirip dengan konsep gadai yang berlaku pada hukum adat dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) di Indonesia, dimana benda gadai berada pada penguasaan pihak penerima gadai (murtahin/kreditur).37

Mekanisme rahn juga tertuang dalam UU Perbankan Syariah Pasal 1 angka 26 yang disebut dengan agunan, yakni “jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS), guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas”.

Berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 menjelaskan bahwa rahn tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).38

36 Tri Hidayati, dkk, “Mekanisme Pengunaan Jaminan Kebendaan,Nurani”, 18, 1, (Juni 2018), h.

165.

37 Tri Hidayati, dkk, “Mekanisme Pengunaan Jaminan Kebendaan,Nurani”, 18, 1, (Juni 2018), h.

166.

38 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah

(36)

Maka dapat disimpulkan bahwa rahn tasjily adalah salah satu jaminan syariah yang hampir sama dengan jamina fidusia. Dalam mekanismenya dimana adanya kesepakatan bahwa yang akan dijaminkan terhadap objeknya hanya bukti kepemilikannya saja dan objek (marhun) tetap berada dalam pengusaaan dan pemanfaatan pemberi pinjaman (debitur). Terdapat 2 model praktik rahn : 1. Rahn sebagai accessoir

Rahn sebagai accessoir (Pelengkap) adalah rahn atau jaminan yang dilakukan atas dasar hutang piuntang secara tidak tunai. Dalam praktiknya seperti rahn tasjily yang hampir mirip dengan jamina fidusia sebagai jaminan tambahan atas pembiayaan pokok dimana dalam pembiayaan tersebut menimbulkan hutang piutang. Dalam praktiknya rahn sebagai accessoir tertuang didalam fatwa DSN MUI Nomor 68/DSN-MUI/III2008 Tentang Rahn tasjily.

2. Rahn sebagai produk

Rahn sebagai produk adalah bentuk rahn yang dimana menjadi satu kesatuan ketentuan rahn dengan produk yang ada dalam LKS seperti pegadaian syariah yang mempunyai produk tersendiri yaitu gadai emas. Ketentuan yang didalam rahn akan dijelaskan secara detail terkait dengan pelaksaan produk gadai emas yang harus sesuai dengan ketentuan fatwa tentang Rahn.

b. Landasan Hukum Rahn Tasjily a) Al-Qur’an

….

ۗ ۗ ٌةَض ْوُبْقهم ٌنٰه ِرَف اًبِتاَك ا ْوُد ِجَت ْمَل هو ٍرَفَس ىٰلَع ْمُتْنُك ْنِا َو

“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ...”. (QS. Al-Baqarah (2): 283).

(37)

melakukan suatu transkasi baik dalam transaksi mumalah dan pembiayaan syariah mutlak diperlukannya jaminan sebagai langkah untuk memitigasi resiko baik dalam kegiatan muamalah atau pembiayaan syariah.

b) Hadits

ِدَح ْنِم اًع ْرِد ُهَنَهَر َو ٍلَجَأ ىَلِإ ٍٍّيِدوُهَي ْنِم اًماَعَط ىَرَتْشا َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ ىهلَص هيِبهنلا هنَأ ٍدي

“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut memberikan gambaran bahwa ketika orang yang berhutang tidak dapat melunasinya hutangnya maka si pemberi hutang boleh melakukan jaminan atas hutang tersebut. Adapun relevansinya terhadap akad rahn tasjily yaitu jaminan boleh dilakukan atas dasar pokok pembiayaan dalam praktik di LKS. Jaminan merupakan langkah yang diperbolehkan dalam pembiayaan syariah untuk menyakinkan kepada pihak kreditur atau LKS dalam memberikan fasilitas pembiayaan.

c) Ijma

Menurut wahbah al-zuhaili dalam kitab alFiqh al-Islami wa Adillatuhu menyebutkan bahwa akad rahn di perbolehkan berdasrkan konsensus para ulama.39

d) Kaidah Fiqh

ُلْصَلأا اَهِمْي ِرْحَت ىَلَع ٌلْيِل َد هلُدَي ْنَأ هلاإ ُةَحاَبِلإا ِةَلَم اَعُملا ىِف

(38)

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.40

Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa kegiatan bertransaksi secara bermualah boleh dilakukan dengan prinsip-prinsip syariah sesuai dengan akad-akad syariah dalam bermuamalah. Relevansi terhadap akad-akad rahn tasjily terletak bentuk jaminan yang dilakukan dengan menahan bukti kepemilikannya saja dan objek barang tetap dalam penguasaan debitur atau rahin dipebolehkan sesuai dengan kaidah tersebut dan tertuang dalam dalam aturan Fatwa DSN-MUI tentang rahn tasjily.

c. Rukun dan Syarat Rahn

Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan dilakukan. Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara lain :41

Rukun Rahn :

a) Akad dan ijab Kabul.

b) Aqid, yaitu yang menggadaikan dan yang menerima gadai.

c) Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.

40 Abdurrauf, “Modul Ujian Komprehensif Program Studi Hukum Ekonomi Syariah”, (UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).

41 Mohamad Hilal Nu’man, “Implementasi Akad Rahn tasjily Dalam Lembaga Pembiayaan

(39)

Syarat Rahn :

a) Rahin dan Murtahin, tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh. b) Sighat, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam Rahn tidak boleh

memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab Rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan Rahn tetap sah.

c) Marhun bih (utang), menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.42

d. Ketentuan Rahn Tasjily

Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn tasjily dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

1 Rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada murtahin.

2 Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke murtahin. Dan apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya, Marhun dapat dijual paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain sesuai prinsip syariah.

42 Mohamad Hilal Nu’man, “Implementasi Akad Rahn tasjily Dalam Lembaga Pembiayaan

(40)

3 Rahin memberikan wewenang kepada murtahin untuk mengeksekusi barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya. 4 Pemanfaatan barang marhun oleh rahin harus dalam batas kewajaran sesuai

kesepakatan.

5 Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang ditanggung oleh rahin.

6 Besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan.

7 Besaran biaya didasarkan pada pengeluaran yang riil dan beban lainnya berdasarkan akad ijarah.

8 Biaya asuransi pembiayaan Rahn tasjily ditanggung oleh Rahin.43

4. Teori Akad Murabahah

a. Pengertian Murabahah

Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah Murabahah adalah jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah keuntungan satu dirham pada setiap sepuluh dinar. Atau semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui harga pokok.44

Menurut Firdaus Furywardana Murabahah adalah menjual barang dengan harga jual sebesar harga perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga perolehan barang tersebut kepada pembeli.45

43 Mohamad Hilal Nu’man, “Implementasi Akad Rahn tasjily Dalam Lembaga Pembiayaan

Syari’ah”, Aktualita, I, 2, (Desember, 2018), h. 619.

44 Muhammad Farid, “Murabahah Dalam Perspektif Fikih Empat Mazhab”, Epistemé, 8, 1 (Juni

2013), h. 119.

45 Sri Dewi Anggadini, Penerapan Margiin Pembiayaan Murabahah pada BMT As-Salam Pacet

(41)

Menurut Ascarya Murabahah adalah istilah dalam fiqih islam yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan46

Dapat disimpulkan bahwa akad murabahah adalah pembiayaan jual beli dalam pembayarannya dilakukan secara tidak tunai sehingga menimbulkan hutang piutang. Dalam akad murabahah ini saling menguntungkan yang dilakukan oleh Shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tidak tunai atau angsur.

b. Landasan Hukum Akad Murabahah a) Al-Qur’an ْنَع ًة َراَجِت َن ْوُكَت ْنَا ٰٓ هلاِا ِلِطاَبْلاِب ْمُكَنْيَب ْمُكَلا َوْمَا ا ْٰٓوُلُكْأَت َلا ا ْوُنَمٰا َنْيِذهلا اَهُّيَآٰٰي ۗ ْمُكَسُفْنَا ا ْٰٓوُلُتْقَت َلا َو ۗ ْمُكْنٍِّم ٍضاَرَت َٰاللَّ هنِا ًمْي ِحَر ْمُكِب َناَك ا

"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu..." Q.S. al-Nisa' (4): 29.

Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa dalam setiap transaksi yang dilakukan pada kegiatan muamalah sebaiknya tidak dilakukan dengan jalan yang batil, dan melakukan dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaranya. Ayat ini memiliki relevansi terhadap akad murabahah dimana merupakan transaksi jual beli, dalam transaksinya harus dilakukan bukan atas dasar paksaan tetapi atas dasar sukarela dan tidak melakukan cara jual beli dengan jalan yang batil.

46 Sri Dewi Anggadini, Penerapan Margiin Pembiayaan Murabahah pada BMT As-Salam Pacet

(42)

b) Hadits

ْيَلَع ُالله ىهلَص هيِبهنلا هنَأ ٍِّرُبْلا ُطْلَخ َو ،ُةَضَراَقُمْلا َو ،ٍلَجَأ ىَلِإ ُعْيَبْلَا :ُةَكَرَبْلا هنِهْيِف ٌثَلاَث :َلاَق َمهلَس َو ِهِلآ َو ِه

)بيهص نع هجام نبا هاور( ِعْيَبْلِل َلا ِتْيَبْلِل ِرْيِعهشلاِب

Nabi bersabda : ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Hadits tersebut memberikan gambaran bahwa keberkahan dalam bertransaksi muamalah seperti jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah). Hadits ini memiliki relevansi terhadap akan murabahah dimana akad murabahah salah satu akad jual beli yang termasuk ketiga unsur yang mengandung berkah dalam bertransaksi muamalah. Sehingga memberikan penjelasan bahwa akad murabahah ketika dipraktikan menjadi berkah apabila sejalan dengan prinsip syariah.

c) Ijma

Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid menyebutkan konssensus ulama membolehkan jual beli dengan cara Murabahah.47

d) Kaidah Fiqh

اَهِمْي ِرْحَت ىَلَع ٌلْيِل َد هلُدَي ْنَأ هلاإ ُةَحاَبِلإا ِةَلَم اَعُملا ىِف ُلْصَلأا

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.48

Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa kegiatan bertransaksi secara bermualah boleh dilakukan dengan prinsip-prinsip syariah sesuai dengan

akad-47 Ibnu Rusyd & al-Kasani , “Bidayah al-Mujtahid & Bada'i as-Shana'i,”, Juz 2 & Juz 5, h. 161

& h. 220-222).

48 Abdurrauf, “Modul Ujian Komprehensif Program Studi Hukum Ekonomi Syariah”, (UIN

(43)

akad syariah dalam bermuamalah. Relevansi terhadap akad murabahah terletak suatu kontrak atau akad yang dilakukan dalam bertransaksi, adanya kaidah tersebut mengindikasikan bahwa apabila akad murabahah dibangun dengan akad atau kontrak yang sesuai dengan syariah maka diperbolehkan, sehingga ada pengecualian terhadap isi akad atau kontrak yang diharamkan atau tidak sesuai dengan syariah.

c. Rukun dan Syarat Murabahah

Untuk menentukan sah atau tidaknya akad pembiayaan murabahah, terlebih dahulu harus memenuhi rukun dan syarat tertentu sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu pembiayaan murabahah ini menggunakan akad jual beli, maka dalam pembiayaan murabahah ini harus ada rukun dan syarat jual beli sebagai berikut :

Rukun Murabahah :

a. Ba’i atau penjual, penjual disini adalah orang yang mempunyai barang dagangan atau orang yang menawari suatu barang.

b. Musytari atau pembeli, adalah orang yang melakukan permintaan terhadap suatu barang yang ditawarkan oleh penjual.

c. Mabi’ atau barang, adalah komoditi, benda, objek yang diperjualbelikan d. Tsaman atau harga jual, adalah sebagai alat ukur untuk menentukan nilai

suatu barang.

e. Ijab dan Qabul yang dituangkan dalam akad. Syarat Murabahah :

a. Pihak yang berakad (penjual dan pembeli) yaitu para pihak harus Cakap hukum, Suka rela atau ridha, tidak dalam keadaan terpaksa atau dibawah tekanan.

(44)

c. Akad atau Sighat (Ijab dan Qabul) yaitu Harus jelas dan disebutkan secara spesifikasi dengan siapa berakad.

d. Harga yaitu Harga jual adalah harga beli ditambah keuntungan dan Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian.49

d. Jaminan dalam akad murabahah

Berdasarkan standar produk perbankan syariah murabahah bahwa akad murabahah boleh dilakukan jaminan sebagai mitigasi resiko adapun yang menjadi standar untuk menetapkan agunan atau jaminan sebagai berikut :

1. Jaminan pokok atas pembiayaan murabahah adalah keyakinan Bank atas kesanggupan Nasabah untuk melunasi pembiayaannya sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Agunan merupakan “secondary source repayment” atau sumber terakhir bagi pelunasan pembiayaan murabahah apabila Nasabah sungguh-sungguh tidak bisa lagi memenuhi kewajiban pembayaran atas pembiayaan yang diterimanya.

3. Dalam hal Bank meminta pembebanan Hak Tanggungan, Hak Gadai atau Hak Jaminan atas obyek pembiayaan, Surat Kuasa dibuat dalam format dokumen yang terpisah dari perjanjian pokok sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

4. Obyek pembiayaan yang dibiayai oleh Bank dalam kontrak ini bersifat boleh dijadikan obyek agunan. Jika obyek pembiayaan belum memenuhi syarat agunan; seperti belum memiliki sertifikat atau belum dapat diikat sempurna secara notariil, maka nasabah dapat memberikan agunan sementara. Saat obyek pembiayaan telah memenuhi syarat agunan dan dapat diikat sempurna, maka Nasabah bisa melakukan tukar jaminan.

49 Yenti Afridajebi, Anlisis Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi dan

(45)

5. Bank wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar kualitas aktiva (Produktif dan Aktiva Non Produktif) senantiasa dalam keadaan lancar.

6. Untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal dan mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah yang diikat dengan hak tanggungan; pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; serta resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang, paling tinggi sebesar:

a. 70% (tujuh puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.

b. 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir.

c. 30% (tiga puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.

d. 0% (nol persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.50

C. Review Penelitian Terdahulu

Sebelum penulis melakukan penelitian ini, sudah ada beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan pembahasan yang serupa dengan penelitian penulis. Namun terdapat beberapa persamaan dan perbedaan meliputi :

1. Pada Penelitian yang dilakukan oleh Witra Yosi, Aidil Alfin, dkk membahas Mengenai perbandingan Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan

50 Otoritas Jasa Keuangan, Seri Standar Produk Perbankan Syariah, Standar Produk Murabahah,

(46)

fidusia dengan fatwa nomor 68/DSN-MUI/III2008 tentang rahn tasjily. Konsep antara jaminan fidusia dengan rahn tasjily ini disamping mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan. Jaminan fidusia dengan rahn tasjily ini tidak dapat berdiri sendiri, mereka ada dikarenakan perjanjian pokok yaitu hutang piutang. Oleh karena itu perjanjian ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok, yang dikenal juga dengan istilah accesoir (ikutan). Kedua produk ini merupakan produk pembiayaan yang dapat diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam dengan menjaminkan suatu benda. Perlu diketahui bahwasanya rahn tasjily dengan jaminan fidusia ini yang dijaminkan adalah hak kepemilikan bendanya saja, sedangkan bendanya tetap berada dalam penguasaan pemiliknya.51

Dalam penelitiannya, untuk menghindari riba, rahn tasjily dalam mekanisme praktiknya di perbankan syariah menggunakan akad tambahan yaitu akad ijarah guna memperoleh margin. Akad ijarah ini dibebankan kepada rahin sebagai biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) atau biasa juga disebut dengan save deposit box (SDB). Besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan. Cara ini dipraktikkan dalam perbankan syariah agar terhindar dari riba guna memperoleh margin. Konsep itu terlihat dalam hal mekanisme praktiknya di lembaga perbankan. Meskipun demikian, jaminan fidusia ini bisa juga diterapkan di lembaga perbankan syariah dengan cara menghilangkan sistem bunga dan menggantinya dengan akad ijarah terhadap penyewaan safe deposit box dalam memperoleh margin atau keuntungan. Perbedannya jika di dalam jurnal tersebut tidak membahas konsep mekanisme penerapan prinsip rahn tasjily secara detail seperti akad pada pembiayaan yang disertai rahn dan hanya membahas terkait ujrah dan pemeliharaan baran pada akad

51 Witra Yosi, Aidil Alfin & Basri Na’ali, “Perbandingan Undang-undang Nomor 42 tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia Dengan Fatwa Nomor 68/DSN-MUI/III2008 Tentang Rahn Tasjily”, Kajian

Referensi

Dokumen terkait