• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

ANDIKA SEPTIAWAN

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Bio-Teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2009 Andika Septiawan

(3)

ANDIKA SEPTIAWAN. C44051021. Kajian Bio-teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh DINIAH.

Muroami merupakan salah satu alat penangkap ikan yang efektif dalam menangkap ikan karang. Di sisi lain ikan hasil tangkapan muroami di Perairan Kepulauan Seribu semakin mengecil ukurannya. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah habitat ikan karang yang telah mengalami kerusakan serius sehingga tidak mampu menunjang kebutuhan hidup ikan karang dengan baik. Pengoperasian muroami terindikasi berperan dalam kerusakan terumbu karang tersebut. Pengamatan terhadap desain, konstruksi dan metode pengoperasian muroami diharapkan dapat menemukan akar permasalahan sekaligus solusi terhadap permasalahan tersebut. Selain itu, pengamatan terhadap panjang dan bobot ikan ekor kuning (Caesio cuning) diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap seberapa jauh pengaruh kerusakan yang ditimbulkan muroami terhadap populasi ikan ekor kuning. Jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan muroami adalah ikan ekor kuning dengan persentase 46,97% dari total hasil tangkapan tahun 2008. Rata-rata produksi ikan ekor kuning oleh alat tangkap muroami adalah 14,65 ton per bulan dengan produktivitas 1,80 ton per unit. Dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox, maka diperoleh nilai effort lestari (EMSY) sebesar 70 trip per bulan

dan nilai hasil tangkapan lestari (hMSY) sebesar 21,49 ton per bulan. Dari 300

sampel ikan ekor kuning yang diamati, 44,33% merupakan ikan dengan ukuran belum layak tangkap. Dari segi konstruksi, ukuran mata jaring muroami rata-rata 1-3 inch menyebabkan ikan karang yang berukuran kecil pun dapat tertangkap oleh muroami, hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan hidup populasi ikan karang karena ikan tersebut sudah tertangkap sebelum sempat bereproduksi. Dari segi metode pengoperasian, penggiringan ikan yang dilakukan nelayan muroami dengan menginjak-injak terumbu karang merupakan salah satu penyebab kerusakan terumbu karang yang terjadi di Perairan Kepulauan Seribu.

(4)

ANDIKA SEPTIAWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

NIM : C44051021

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Ir. Diniah, M.Si. NIP: 19610924 198602 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 001

(6)

Skripsi ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sejumlah pihak menyangkut ukuran ikan ekor kuning hasil tangkapan muroami yang semakin mengecil. Apakah hal ini disebabkan oleh faktor teknik dari unit penangkapan muroami, atau disebabkan oleh faktor lain.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Diniah, M.Si. selaku pembimbing yang telah membantu penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, akan tetapi berkat bantuan dari semua pihak, kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Desember 2009 Andika Septiawan

(7)

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1) Kedua orangtua yang telah memberikan semangat dan dorongan selama masa studi di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan baik berupa moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

2) Ir. Diniah, M.Si., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

3) Dr. Mohammad Imron, M.Si., selaku komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik; 4) Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS dan Ir. Ronny Irawan Wahyu, M.Phil., selaku

penguji tamu yang telah memberikan masukan dan saran, sehingga isi skripsi ini menjadi lebih sempurna;

5) Kepala Seksi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Bapak Sugeng beserta staff, khususnya Om Nelson, Pak Sairan (Abah), Pak Apen, Pak Satibi, Pak Firdy, Pak Mukmin, Mas Guntur, dan Oman yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung;

6) Kepala Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu, Dr.Ir. Liliek Litasari, MM beserta staff, khususnya Pak H. Sadeli, Pak Erwin dan Romlah yang telah banyak membantu penulis selama penelitian;

7) Teman-teman seperjuangan Nano, Desi, Astri, Olva, Herry, Avie, Ebith, Fajar, Wawan, Hasbi, Dayu dan Bagus yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung;

8) Bapak dan Ibu Abdullah beserta keluarga, Pak H. Sabilal beserta crew, Pak Entong beserta crew, Dio dan Kapten yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung;

9) Teman-teman PSP khususnya angkatan 42 yang saya sayangi, atas segala dukungan dan bantuan selama penyusunan skripsi ini berlangsung;

(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 September 1987 dari Bapak Sidin dan Ibu Meti. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis lulus SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Depatemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor setelah lulus dari Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2006.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Alat Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2007/2008, 2008/2009 dan 2009/2010, mata kuliah Dasar-dasat Perikanan Tangkap pada tahun ajaran 2007/2008, 2008/2009 dan 2009/2010, serta mata kuliah Praktek Laut Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2009/2010.

Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian untuk menyusun skripsi dengan judul “Kajian Bio-teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu”. Penulis dinyatakan lulus dalam sidang Skripsi yang diselenggarakan oleh Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 01 Desember 2009.

(9)

Halaman

DAFTAR GAMBAR ………..…… v

DAFTAR TABEL ……….. vi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. vii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1 1.2 Perumusan Masalah ……… 2 1.2 Tujuan Penelitian ……… 2 1.3 Manfaat Penelitian ……….. 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning ………..……. 4

2.2 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Muroami ……..……….. 5

2.2.1 Definisi dan klasifikasi ……….. 5

2.2.2 Alat tangkap ……….. 6

2.2.3 Kapal ………. 7

2.2.4 Nelayan ……….. 7

2.3 Metode Pengoperasian Muroami ……… 8

2.4 Daerah Pengoperasian dan Ekosistem Terumbu Karang …………... 9

2.5 Hasil Tangkapan Muroami ……….……… 10

2.6 Sumberdaya Ikan Karang ………... 11

2.7 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan …………... 12

2.8 Analisis Teknik ……….…. 13

2.9 Analisis Biologi ……….. 14

2.10 Analisis Bio-teknik ………. 15

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ………. 21

3.2 Peralatan ……….. 21

3.3 Metode Penelitian ……… 21

3.4 Sumber Data ………..……….. 22

3.5 Metode Analisis Data ……….. 22

3.5.1 Analisis teknik ……… 22

3.5.2 Analisis biologi ……….. 23

3.5.3 Analisis bio-teknik ………. 23

3.5.4 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu ………... 25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Kepulauan Seribu ………. 26

4.1.1 Letak geografis ……….. 26

4.1.2 Tofografi ……… 26

4.1.3 Iklim ……….. 27

4.1.4 Hidro-oseanografi ………..… 28

(10)

4.2.3 Nelayan ……….…. 32

4.4.4 Daerah penangkapan ikan ……….….… 33

4.3 Aktivitas Pengoperasian Muroami ……….……. 35

4.3.1 Sejarah perkembangan muroami di Kepulauan Seribu ….….… 35 4.3.2 Deskripsi unit penangkapan muroami ..………...….. 36

4.3.3 Metode pengoperasian muroami ………..….. 44

4.3.4 Daerah dan musim penangkapan ………..…. 47

4.3.5 Komposisi hasil tangkapan ……….... 48

4.3.6 Analisis biologi ikan ekor kuning ……….………. 48

4.3.7 Analisis bio-teknik ikan ekor kuning ……….………… 51

4.3.8 Evaluasi teknis kegiatan pengoperasian muroami ….…..…….. 57

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……….. 62

5.2 Saran ……… 63

DAFTAR PUSTAKA ……….. 64

(11)

Halaman 1 Formula perhitungan pengelolaan sumberdaya ikan pada kondisi

optimal ……… 25

2 Jumlah pulau dan luas wilayah di Kepulauan Seribu ………... 27

3 Kepadatan penduduk di wilayah Kepulauan Seribu ………... 30

4 Jumlah alat tangkap menurut jenis di Kepulauan Seribu ………... 31

5 Jumlah armada perikanan di Kepulauan Seribu …………..………... 32

6 Jumlah nelayan menurut lama melaut di Kepulauan Seribu ……….. 33

7 Perbandingan antara muroami lama dengan muroami baru ………... 36

8 Spesifikasi kapal utama dan sampan muroami ………... 43

9 Pembagian tugas nelayan muroami ……….………... 44

(12)

Halaman

1 Ikan ekor kuning………. 4

2 Muroami saat dioperasikan ... 6

3 Kurva pertumbuhan logistik ... 16

4 Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok ... 17

5 Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve) ………. 18

6 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin ……… 29

7 Peta zonasi wilayah dan daerah penangkapan ikan di Kepulauan Seribu ………. 34

8 Konstruksi jaring kantong muroami .………. 37

9 Konstruksi jaring darat ……….. 38

10 Konstruksi jaring tengah ……… 39

11 Alat bantu penangkapan (Kecrik) ……….. 40

12 Kapal utama dan sampan muroami ………... 41

13 Konstruksi kapal utama dan sampan muroami tampak atas ………. 42

14 Ilustrasi jaring muroami saat pengoperasian ……… 46

15 Komposisi hasil tangkapan muroami pada tahun 2008 ………. 48

16 Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning ………. 49

17 Panjang aktual ikan ekor kuning yang tertangkap dan panjang pertama kali matang gonad (Lm) ………..…….. 49

18 Hubungan antara panjang dan bobot ikan ekor kuning ………….……… 50

19 Perkembangan produksi ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009 ……….. 51

20 Perkembangan upaya penangkapan ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009 ..……… 52

21 Perkembangan produktivitas muroami di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009 ……….. 52

22 Nilai CPUE unit penangkapan muroami periode Mei 2007 – April 2009 ……….. 53

23 Hubungan CPUE dengan Effort unit penangkapan muroami ………….... 54

24 Kurva produksi lestari ……….... 55

(13)

Halaman 1 Peta lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan di perairan

Kepulauan Seribu ………...………… 68

2 Jaring kantong muroami ………...…….………. 69

3 Jaring sayap muroami ………..…….………. 70

4 Alat bantu penangkapan ……… 71

5 Perlengkapan penunjang dalam kegiatan penangkapan ikan ……… 72

6 Alat bantu selam yang digunakan nelayan muroami di Kepulauan Seribu ……… 73

7 Perlengkapan selam ………... 74

8 Pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu .………. 75

9 Ikan hasil tangkapan dominan muroami ……… 77

10 Data panjang dan bobot ikan ekor kuning ………. 78

11 Perhitungan nilai CPUE ……….………... 82

12 Hasil regresi dengan menggunakan model Schaefer ………..…... 83

13 Perhitungan nilai K, q dan r menggunakan model Algoritma Fox ……… 84

14 Perhitungan nilai hMSY, EMSY dan xMSY ……… 87

15 Perkembangan volume produksi muroami menurut jenis ikan tahun 2008 ...… 88

(14)

1.1 Latar Belakang

Ikan karang adalah salah satu kelompok ikan yang cukup sulit untuk di tangkap, terutama dalam jumlah yang besar. Hal tersebut dikarenakan sifat ikan karang yang suka bersembunyi pada celah-celah di terumbu karang yang merupakan habitatnya. Oleh karena itu, bermunculan metode penangkapan ikan karang yang dapat merusak lingkungan di sekitarnya, misalnya menangkap ikan menggunakan bom ikan dan potassium.

Muroami adalah salah satu unit penangkapan ikan berbentuk kantong, terbuat dari jaring dan digunakan untuk menangkap ikan karang secara “aman” atau ramah lingkungan. Alat penangkap ikan yang ramah lingkungan lainnya adalah pancing dan bubu. Muroami pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh nelayan Jepang kira-kira pada tahun 1925, tetapi nelayan di Kepulauan Seribu baru ikut ambil bagian dalam perikanan muroami pada tahun 1933 (Subani dan Barus 1989).

Pada kenyataannya ikan hasil tangkapan muroami di Perairan Kepulauan Seribu semakin mengecil ukurannya. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah faktor lingkungan, yaitu habitat ikan karang telah mengalami kerusakan serius, sehingga tidak mampu menunjang kebutuhan hidup ikan karang dengan baik. Pengoperasian muroami terindikasi berperan juga dalam kerusakan terumbu karang tersebut. Oleh karena itu pengkajian aspek bio-teknik unit penangkapan muroami ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selanjutnya penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui desain, konstruksi, metode pengoperasian dan komposisi hasil tangkapan. Penulis juga mencoba membuat gambaran tentang pola pertumbuhan ikan ekor kuning, serta mengetahui nilai produksi lestari dan effort optimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Hal ini dilakukan dalam kaitannya dengan pengaruh pengoperasian muroami terhadap lingkungan terumbu karang sebagai habitat ikan karang yang menjadi target tangkapan utama muroami.

(15)

1.2 Perumusan Masalah

Dalam pengelolaan sumberdaya ikan terdapat permasalahan unum yang sering dihadapi, salah satunya adalah permasalahan biologi dan ekologi. Permasalahan biologi yang dimaksud adalah terancamnya kelestarian stok sumberdaya ikan akibat terjadinya overfishing dan rusaknya habitat ikan akibat pengoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu cara yang dilakukan oleh para ahli perikanan dengan mengendalikan intensitas upaya penangkapan ikan dan melarang penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat tidak ramah lingkungan.

Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan hasil tangkapan utama dari alat tangkap muroami di Perairan Kepulauan Seribu yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Semakin meningkatnya permintaan terhadap komoditas ini mengakibatkan semakin meningkat pula upaya penangkapan terhadap sumberdaya ikan karang ini. Dalam jangka panjang kondisi ini akan mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan dan bahkan dapat punah apabila tidak dikelola dengan baik. Dilain pihak, pengoperasian muroami yang tergolong ramah lingkungan, dalam kenyataannya di lapangan, alat tangkap ini terindikasi berperan dalam kerusakan terumbu karang. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dipecahkan adalah

1) Apakah pada pengoperasianya muroami merusak terumbu karang yang merupakan habitat dari berbagai jenis ikan karang?

2) Apakah pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu telah optimal?

3) Bagaimana pengaruh pemanfaatan ikan ekor kuning terhadap kondisi biologis ikan tersebut?

1.3 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1) Mendeskripsikan keragaan teknik unit penangkapan muroami, meliputi desain dan konstruksi, metode pengoperasian unit penangkapan muroami serta pengaruhnya terhadap habitat ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu;

(16)

2) Menentukan komposisi hasil tangkapan unit penangkapan muroami, menghitung nilai produksi lestari dan effort optimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu;

3) Menentukan pola pertumbuhan jenis hasil tangkapan unit penangkapan muroami yang dominan di Perairan Kepulauan Seribu;

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1) Bagi penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2) Bagi nelayan setempat sebagai informasi tentang dampak pengoperasian unit penangkapan muroami terhadap habitat ikan karang dalam kaitannya dengan produktivitas unit penangkapan ikan.

3) Bagi pemerintah daerah maupun Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu serta Taman Nasional Kepulauan Seribu sebagai informasi tentang dampak pengoperasian unit penangkapan muroami terhadap habitat ikan karang dalam kaitannya dengan kelestarian terumbu dan ikan karang, serta bahan pertimbangan dalam pengembangan unit penangkapan ikan muroami. 4) Bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan informasi tentang unit penangkapan

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Ekor Kuning

Ikan ekor kuning (Caesio cuning) atau redbelly yellowtail fusilier biasanya hanya dapat ditemukan di perairan tropis (31°LU - 22°LS dan 76°BT - 172°BT), perairan dengan hamparan terumbu karang merupakan habitat dari ikan ini. Distribusi ikan ekor kuning tersebar di daerah Indo-Pasifik barat dari Sri Lanka hingga Vanuatu serta selatan Jepang hingga utara Australia (www.fishbase.com 2009).

Gambar 1 Ikan ekor kuning. (www.fishbase.com 2009)

Klasifikasi ikan ekor kuning menurut Bloch (1791) adalah sebagai berikut (www.zipcodezoo.com 2009): Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Infraphylum : Gnathostomata Superclass : Osteichthyes Class : Actinopterygii Subclass : Actinopterygii Infraclass : Actinopteri Cohort : Clupeocephala Superorder : Acanthopterygii Order : Perciformes Suborder : Percoidei Family : Caesionidae Genus : Caesio

(18)

Ikan ekor kuning memiliki bentuk badan memanjang, melebar dan gepeng. Dua gigi taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras 10 dan 15 jari-jari lemah pada sirip punggung. Tiga jari-jari keras dan 11 jari-jari lemah pada sirip dubur. Ikan ini memiliki sisik tipis dan terdapat 52-58 pada garis rusuknya. Sisik-sisik kasar di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala mulai dari mata.

Menurut Allen et al. (2007), ikan ekor kuning dapat mencapai panjang hingga 50 cm. Ikan ekor kuning biasanya membentuk scooling yang besar dan dapat ditemui di kedalaman 1 - 60 meter. Makanan utama ikan ekor kuning merupakan zooplankton. Dari seluruh family caesionidae, spesies ini merupakan jenis yang paling toleran terhadap perairan yang keruh.

2.2 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Muroami 2.2.1 Definisi dan klasifikasi

Menurut Subani dan Barus (1989), muroami berasal dari kata “muro” yang merupakan ikan jenis Carangidae dan “ami” yang berarti jaring. Muroami sendiri merupakan salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang.

Jika dilihat dari metode pengoperasiannya, muroami dapat digolongkan ke dalam drive-in-net atau alat tangkap dengan penggiring. Menurut Subani dan Barus (1989), drive-in-net adalah suatu usaha penangkapan yang dalam pengoperasiannya dilakukan sedemikian rupa dengan “menggiring” ikan target penangkapan agar masuk ke dalam jaring yang telah dipasang sebelumnya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.

Drive-in-net termasuk golongan alat penangkap ikan yang bersifat pasif. Arti pasif yang dimaksud bukanlah dikarenakan alat tangkap tersebut tidak bergerak atau statis, melainkan dilihat dari „kerelaan‟ ikan masuk ke dalam alat tangkap. Jika ikan secara sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dikatakan bersifat pasif. Jika ikan tertangkap secara „paksa‟ atau ikan secara tidak sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dapat dikatakan bersifat aktif (von Brandt 2005).

(19)

Gambar 2 Muroami saat dioperasikan. (www.wcsmarine-indonesia.org 2003)

2.2.2 Alat tangkap

Menurut Subani dan Barus (1989), satu unit alat tangkap muroami terdiri atas beberapa bagian, yaitu:

1) Bagian jaring, yang terdiri atas kaki panjang, kaki pendek dan kantong; 2) Pelampung, terdiri atas pelampung yang terdapat pada tali ris atas dan tali ris

bawah. Di bagian tertentu pada tali ris atas, diikatkan pelampung-pelampung kecil yang merupakan pelampung tetap. Pelampung tetap juga dipasang pada bagian atas mulut kantong. Selain itu, di atas mulut kantong dipasang pelampung dari bola gelas dan bambu. Kedua pelampung ini hanya dipasang pada waktu operasi penangkapan berlangsung;

3) Pemberat, terbuat dari batu diletakkan pada bagian ris bawah dan pada bagian bawah mulut kantong. Selain itu, pada saat operasional alat di bagian depan kaki panjang dan kaki pendek dilengkapi dengan jangkar;

4) Penggiring atau scare line terbuat dari tali sepanjang ± 25 meter. Pada salah satu ujungnya diikatkan pelampung bambu, sedangkan pada ujung yang lainnya diikatkan alat yang menghasilkan bunyi-bunyian dari gelang-gelang besi. Pada sepanjang tali penggiring dilengkapi dengan daun-daun nyiur atau terkadang kain putih. Jumlah alat pengusir disesuaikan dengan jumlah orang yang bertugas sebagai penggiring.

(20)

2.2.3 Kapal

Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang di maksud dengan kapal perikanan adalah adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian (eksplorasi) perikanan. Perahu atau kapal penangkapan ikan di laut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori sebagai berikut (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008): 1) Perahu tanpa motor, yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin

sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan kapal.

2) Perahu motor tempel adalah perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu.

3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di dalam kapal.

Operasi penangkapan ikan menggunakan muroami memerlukan 3-5 buah perahu. Sebuah perahu diantaranya diperuntukkan membawa kantong, dua perahu lainnya masing-masing untuk memuat sebuah sayap atau kaki jaring. Dua perahu sisanya digunakan untuk membawa atau mengantar tenaga-tenaga penggiring atau penghalau ikan (Subani dan Barus 1989).

2.2.4 Nelayan

Menurut Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan, yang di maksud dengan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan menjadi (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008):

1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.

2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain

(21)

nelayan sebagai pekerjaan utama, pada kategori ini nelayan tersebut juga mempuyai pekerjaan lain.

3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain.

Biasanya jumlah nelayan yang diperlukan dalam pengoperasian alat tangkap muroami bergantung pada ukuran alat tangkap tersebut. Pada umumnya berjumlah antara 20-40 orang (Subani dan Barus 1989).

2.3 Metode Pengoperasian Muroami

Menurut Subani dan Barus (1989), untuk pengoperasian muroami diperlukan sekitar 3-5 buah berahu, yaitu satu perahu bertugas membawa kantong, dua perahu untuk memuat masing-masing sayap atau kaki jaring dan perahu lainnya digunakan untuk membawa tenaga penggiring ikan ke tempat ikan berada. Tempat pengoperasian alat dilakukan diperairan karang dengan kedalaman 10-25 meter dengan dasar yang tidak terlalu miring.

Secara sederhana proses pengoperasian muroami memiliki tahap-tahap sebagai berikut (Subani dan Barus 1989):

1) Memperkirakan densitas kawanan ikan terlebih dahulu sebelum setting alat tangkap, dengan cara pengamatan langsung atau menyelam;

2) Mengetahui kecepatan dan arah arus untuk kelancaran operasional alat tangkap. Arus yang tidak terlalu kencang paling baik untuk pelaksanaan setting jaring;

3) Pemasangan jaring dilakukan sedemikian rupa, sehingga membentuk huruf V dan harus memperhatikan letak ujung depan kaki yang pendek berada di perairan yang lebih dangkal dimana karang berada, sedangkan ujung kaki yang panjang diletakkan di perairan yang lebih dalam;

4) Penggiringan ikan segera dilakukan setelah pemasangan kantong, yaitu dengan mengambil tempat antara ¼-⅓ dari bagian ujung kaki yang belakang.

(22)

2.4 Daerah Pengoperasian dan Ekosistem Terumbu Karang

Muroami adalah alat tangkap yang di desain khusus untuk dapat beroperasi di perairan karang yang dasarnya tidak rata. Biasanya pengoperasian muroami dilakukan di perairan karang dengan kedalaman 10-25 meter dan dasar perairan tidak terlalu miring (Subani dan Barus 1989).

Terumbu karang diperkirakan meliputi minimal 600.000 km2 wilayah bumi kita. Di Indonesia, lebih dari 95% atau sekitar 85.707 km2 wilayah Indonesia dikelilingi oleh terumbu karang. Luas tersebut mewakili 18% dari total luas terumbu karang yang ada di dunia (Dahuri 2003). Menurut Moll dan Suharsono (1986) diacu dalam Dahuri (2003), di Kepulauan Seribu terdapat 193 jenis koral dari 56 genera yang telah teridentifikasi sampai tahun 1986.

Menurut Dawes (1981) diacu dalam Supriharyono (2007), terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang, yang hidup di dasar perairan dangkal berupa batuan kapur (CaCO3) dan mempunyai kemampuan

yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut. Binatang-binatang karang tersebut umumnya mempunyai kerangka kapur, demikian pula algae yang berasosiasi di ekosistem ini banyak diantaranya juga mengandung kapur.

Ada dua tipe kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu (reef) dan karang ahermatifik yang tidak dapat menghasilkan terumbu. Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik, sel-sel tumbuhan ini dinamakan Zooxanthellae. Karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan terumbu karang hanya ditemukan di perairan tropis (Dahuri 2003).

Berdasarkan hubungannya dengan daratan, terumbu karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar (Dahuri 2003), yaitu:

1) Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Di Indonesia luas terumbu tepi diperkirakan mencapai 14.542 km2.

(23)

2) Atol (atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan di tengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Perairan Indonesia memiliki luas atol diperkirakan mencapai 19.540 km2. 3) Terumbu penghalang (barrier reef), serupa dengan karang tepi, perbedaanya

adalah pada terumbu karang penghalang jarak antara terumbu karang dengan garis pantai cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Di Indonesia terumbu penghalang diperkirakan seluas 50.223 km2.

Pertumbuhan dan distribusi suatu ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa parameter fisika, diantaranya kecerahan. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dangan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang, di lokasi yang intensitas cahaya mataharinya menembus perairan masih cukup untuk proses fotosintesis. Selain kecerahan, parameter lainnya yang menyokong pertumbuhan terumbu karang adalah temperatur dan salinitas, terumbu karang dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan rata-rata tahunan antara 25 dan 29 0C dengan salinitas antara 30 sampai 35 ppt (Dahuri 2003).

Hasil pengamatan para ahli menyebutkan bahwa kecepatan tumbuh terumbu karang berkisar antara 2 cm per tahun untuk “brain corals” yang massive dan sekitar 20 cm per tahun untuk karang ranting. Pada kondisi terganggunya lingkungan bisa menyebabkan kecepatan tumbuh karang menurun dan kegagalan mekanisme reproduksi, yang pada kondisi ekstrem dapat menyebabkan kematian seluruh koloni karang (Wibisono 2005).

Laporan dari BPPT menyebutkan bahwa ± 61% dari luas areal terumbu karang di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak, 15% di antaranya dalam kondisi sangat kritis. Berarti hanya sekitar 39% saja terumbu karang yang masih dalam keadaan baik (Wibisono 2005). Hal tersebut diperparah dengan tindakan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan maupun potassium.

2.5 Hasil Tangkapan Muroami

Menurut Subani dan Barus (1989), hasil tangkapan utama muroami adalah berbagai jenis ikan karang, diantaranya adalah ekor kuning (Caesio cuning), pisang-pisang biru (Caesio caerulaurea), triger motor (Pterocaesio lativittata), Kakak tua nonong (Chlorurus microrhinus), samba biru (Caranx lugubris), kuwe

(24)

lilin (Carangoides gymnostethus), penjalu (Caesio coerulaureus), Pisang-pisang (Caesio chrysonortus), Sunglir (Elagatis bipinnulatus), Selar kuning (Caranx leptolepis), kuwe macan (Caranx spp).

2.6 Sumberdaya Ikan Karang

Ikan karang merupakan ikan yang hidup di daerah terumbu karang sejak masa juvenil sampai dewasa (Sale 1991 diacu dalam Arami 2006). Perairan tropis dihuni oleh lebih banyak jenis ikan jika dibandingkan dengan daerah beriklim sedang, tetapi pada umumnya setiap jenis ikan jumlahnya sedikit (Romimohtarto dan Juwana 2005).

Diperkirakan dari 12.000 jenis ikan laut, 7.000 jenis diantaranya hidup di perairan karang. Angka tersebut dapat mencerminkan secara langsung jumlah yang sangat besar dari habitat spesies yang dapat didukung oleh lingkungan terumbu karang (Suharti 2006). Menurut struktur trofik, ikan karang dapat dibedakan menjadi enam grup trofik, yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacea dan ikan, piscivora dan pemakan lain-lain (Gladfelter and Gladfelter 1978 diacu dalam Lowe RH and McConnel 1987).

Berdasarkan waktu aktivitasnya, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar (Suharti 2006), yaitu:

1) Diurnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari. Kurang lebih 75% dari ikan yang hidup di perairan karang termasuk ikan yang bersifat diurnal. Sebagian dari ikan ini berwarna sangat menarik, contohnya adalah ikan cina-cina (Labridae), ikan betok (Pomacentridae), ikan nona manis (Serranidae), ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), ikan enjil (Pomacanthidae), dan lain-lain.

2) Nocturnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Sekitar 10% dari ikan karang bersifat nocturnal. Ikan yang bersifat nocturnal biasanya bersembunyi di celah-celah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Contoh dari jenis ikan nocturnal adalah ikan beseng (Apogonidae), ikan swanggi (Holocentridae) dan lain-lain.

(25)

Berkaitan dengan migrasi atau perpindahan ikan karang, Mawardi (1998) mengelompokkan pergerakan ikan karang menjadi tiga macam, yaitu:

1) Pergerakan vertikal pada kolom air, merupakan tipikal ikan pemakan plankton (planktivorus fishes). Pergerakannya bertujuan mencari makan di kolom air dan istirahat pada terumbu karang.

2) Pergerakan antara struktur karang, biasanya ikan bergerak dari tempat istirahat ke tempat mencari makan pada bagian terumbu karang. Pada ikan tertentu waktu dan rute pergerakan ini dapat diperkirakan.

3) Pergerakan meninggalkan terumbu karang, biasanya adalah ikan yang tampak pada terumbu karang saat tidak aktif mencari makan dan pergi menjauh saat aktif mencari makan. Semua ikan dalam kelompok ini termasuk ikan yang bersifat nocturnal dan predator.

Ikan karang pada umumnya hidup menetap atau relatif tidak berpindah dari habitat asalnya dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Hal tersebut dapat dikarenakan banyak ikan karang yang bersifat teritorial. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berkembang biak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lain sebagainya (Romimohtarto dan Juwana 2005).

2.7 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan

Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya ikan secara berkesinambungan dalam meningkatkan kualitas hasil tangkapan tanpa mengganggu atau merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan perlu diarahkan agar dapat menunjang pembangunan perikanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kriteria-kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, serta pengawasan atas penerapan kriteria-kriteria tersebut di lapangan (Martasuganda 2002).

Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2002) antara lain adalah:

(26)

1) mengutamakan keselamatan awak kapal di atas segala-galanya, baik pada waktu operasi penangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan; 2) melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak tangkap pada habitat

perairan yang dilindungi;

3) menjaga lingkungan sekitar di mana kita berada.

Dalam mendukung teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, diperlukan juga alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan merupakan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. Suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi sembilan kriteria, antara lain (Baskoro 2006):

1) Memiliki selektivitas yang tinggi;

2) Tidak merusak habitat ikan target penangkapan; 3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi;

4) Tidak membahayakan nelayan saat pengoperasian alat; 5) Hasil tangkapan aman dikonsumsi;

6) By-catch rendah;

7) Dampak ke biodiversity rendah;

8) Tidak membahayakan ikan yang dilindungi; 9) Diterima secara sosial.

2.8 Analisis Teknik

Analisis teknik terhadap unit penangkapan muroami dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi kelestarian alam, terutama terumbu karang dan sumber daya ikan karang, yaitu desain, konstruksi, metode penangkapan dan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) atau CPUE alat tangkap muroami. Penilaian aspek teknik dilakukan terhadap (Sparre and Venema 1999):

1) Komposisi hasil tangkapan per tahun; 2) Upaya penangkapan (effort);

(27)

2.9 Analisis Biologi

1) Hubungan panjang-bobot

Analisis hubungan panjang-bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Effendie (1997) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb (W = bobot, L = panjang, a dan b adalah suatu konstanta). Nilai b berfluktuasi antara 2,5 dan 4,0 tetapi kebanyakan mendekati 3,0 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan.

Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b = 3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (Ricker 1975). Nilai b ≠ 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b < 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya. Jika b > 3 menunjukkan pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya (Effendie 1997).

Hubungan panjang-bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan alometrik (Effendie 1997). Untuk kedua pola ini berlaku persamaan:

Jika dilinearkan melalui transformasi logaritma, maka diperoleh persamaan:

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi linier sederhana dengan Log W sebagai ‟y‟ dan Log L sebagai ‟x‟.

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t, dengan hipotesis : H0 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik

(28)

2.10 Analisis Bio-teknik

Analisis bio-teknik digunakan untuk menduga stok atau potensi sumberdaya ikan, serta untuk mengetahui kondisi optimum dari tingkat upaya penangkapan. Metode yang digunakan adalah metode surplus produksi. Metode ini bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari (maksimum suistainale yield) tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Hasil tangkapan maksimum lestari dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) (Fauzi 2006).

Perubahan stok ikan pada periode tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Jika pertumbuhan populasi ikan (x) pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Maka secara matematik, hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi 2006):

atau dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai:

Fungsi pertumbuhan pada persamaan diatas disebut sebagai density dependent growth. Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006):

Keterangan:

= laju pertumbuhan

r = laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate) x = stok ikan

K = daya dukung lingkungan (carrying capacity)

Gambar 3 memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan. Pada kondisi keseimbangan (laju pertumbuhan sama dengan nol), tingkat populasi akan sama dengan daya dukung lingkungan. Sedangkan

(29)

pertumbuhan maksimum akan terjadi pada kondisi setengah dari daya dukung lingkungan tersebut (½ K). Tingkat ini disebut juga sebagai maximum sustainable yield (MSY).

Gambar 3 Kurva pertumbuhan logistik (Fauzi 2006)

Kurva pertumbuhan ikan tersebut dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana yang merupakan faktor masukan. Faktor tersebut biasa disebut sebagai upaya atau effort dalam litelatur perikanan. Upaya (effort) adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap dan lain sebagainya, yang diperlukan untuk suatu aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan produksi (h) yang merupakan output dari upaya, dapat diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis, hubungan fungsional tersebut ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006):

Keterangan: h = produksi

q = koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) x = stok ikan

E = Upaya penangkapan (effort)

Kegiatan penangkapan menyebabkan terjadinya pengurangan stok populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi ikan untuk meningkatkan pertumbuhan, survival dan rekruitment. Pertumbuhan populasi tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil

x

½ K K

0

(30)

tangkapan. Dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi, persamaan (3) akan menjadi (Fauzi 2006):

Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar tersebut terlihat beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama, saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah

tangkapan sebesar h1. Kemudian jika upaya dinaikkan sebesar E2 (E 2 > E1), hasil

tangkapan akan meningkat sebesar h2 (h2 > h1). Tetapi jika upaya terus dinaikkan,

misalnya sebesar E3 (E3 > E2 > E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di

mana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (h3 < h2).

Dari Gambar 4 dapat disimpulkan bahwa eksploitasi tersebut tidak efisien secara ekonomi, karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar.

Gambar 4 Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok (Fauzi 2006)

Menurut Fauzi (2006), Model Gordon-Schaefer dikembangkan berdasarkan produksi lestari di mana kurva pertumbuhan dalam kondisi keseimbangan jangka

x h = qxE2 h = qxE1 h = qxE3 F(x) h3 h2 h1

(31)

panjang (long run equilibrium) atau . Dengan demikian, dalam kondisi keseimbangan, persamaan (5) berubah menjadi:

Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (6) ke dalam persamaan (4) maka akan diperoleh fungsi tangkapan atau produksi lestari yang ditulis dalam bentuk persamaan:

Dari Gambar 5 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort = 0), maka produksi juga akan bernilai nol. Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik EMSY akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik ini disebut

sebagai titik maximum sustainable yield (MSY). Karena sifat dari kurva yield-effort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya yang terus-menerus setelah melewati titik EMSY tidak akan diiringi dengan peningkatan produksi. Produksi

akan turun kembali, bahkan mencapai nol pada titik upaya maksimum (Emax).

Gambar 5 Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve) (Fauzi 2006)

Effort

EMSY Emax

hMSY h(E)

(32)

Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari (persamaan 7) dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut:

jika nilai

maka:

Keterangan:

U = catch per unit effort (CPUE) α = nilai intersep

β = koefisien regresi

E = upaya penangkapan (effort)

nilai MSY diperoleh dengan menurunkan kurva yield-effort terhadap effort (E) atau :

dengan mensubstitusikan persamaan (10) ke dalam persamaan (9), maka diperoleh:

Stok ikan dalam keadaan keseimbangan (xMSY) dapat dihitung dengan

(33)

Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q dan K tersembunyi dalam nilai α dan β. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dimodifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan K) dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox. Para meter biologi (r, q dan K) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut:

(34)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta.

3.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan saat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berukut:

1) Alat pengukur panjang untuk mengukur dimensi utama jaring muroami dan kapal muroami, yaitu berupa roll meter dengan ketelitian 1 cm. Panjang ikan hasil tangkapan di ukur menggunakan mistar dengan ketelitian 1 mm;

2) Alat pengukur bobot untuk mengukur bobot hasil tangkapan, yaitu berupa timbangan biasa dengan ketelitian 1 gram;

3) Peralatan selam (wet suit, masker, fin, Buoyancy Compensator Device, regulator, tabung oksigen, dan weight belt) untuk pengamatan metode penangkapan muroami di dalam perairan;

4) Alat dokumentasi berupa kamera digital, underwater camera dan underwater handycam;

5) Data sheet, untuk pencatatan data hasil penelitian; 6) Kuesioner.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Sebagai satuan kasusnya adalah aktivitas penangkapan ikan menggunakan unit penangkapan muroami di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Studi kasus adalah penelitian tentang status objek penelitian yang berkenaan dengan sesuatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Studi kasus memiliki tujuan untuk memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat

(35)

serta karakter-karakter dari suatu kejadian yang ada pada waktu penelitian dilakukan (Nazir 1988).

3.4 Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapang mengenai seluruh kegiatan unit penangkapan muroami. Peneliti mengikuti kegiatan pengoperasian unit penangkapan muroami secara langsung untuk mendapatkan data mengenai rancang bangun, metode pengoperasian, hasil tangkapan, serta lokasi pengoperasian alat tangkap muroami.

Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain: 1) Unit penangkapan muroami, meliputi data:

a. Desain, konstruksi dan alat bantu pengoperasiannya;

b. Jumlah dan pembagian tugas nelayan dalam satu unit alat tangkap; c. Ukuran kapal dan penataan ruang.

2) Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis dan jumlah. 3) Karakteristik lokasi pengoperasian unit penangkapan muroami.

Data sekunder dikumpulkan dari Dinas Perikanan dan Kelautan setempat. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu:

1) Jumlah unit penangkapan muroami untuk 2 tahun terakhir; 2) Produksi unit penangkapan muroami untuk 2 tahun terakhir; 3) Jumlah effort (trip) muroami untuk 2 tahun terakhir;

4) Daerah pengoperasian unit penangkapan muroami.

3.5 Metode Analisis Data

Analisis data yang dilakukan secara garis besar terbagi atas tiga jenis, yaitu analisis teknik, analisis biologi serta analisis bio-teknik ikan ekor kuning.

3.5.1 Analisis teknik

Analisis teknik dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi produksi unit penangkapan muroami. Penilaian terhadap aspek teknik yang dilakukan antara lain:

(36)

1) Kecenderungan perkembangan produksi unit penangkapan muroami selama 2 tahun terakhir (periode 2007- 2009);

2) Kecenderungan perkembangan effort (trip) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan karang menggunakan muroami selama 2 tahun terakhir (periode 2007- 2009);

3) Produktivitas unit penangkapan muroami per tahun, dihitung menggunakan rumus:

3.5.2 Analisis biologi

1) Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning

Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning yang tertangkap dicari menggunakan persamaan (Effendie 1997):

dimana:

W = bobot ikan L = panjang ikan

b = koefisien regresi dari dari L a = suatu konstanta

Apabila nilai koefisien b sama dengan 3 (b = 3), maka pola pertumbuhan isometrik. Nilai koefisien b tidak sama dengan 3 (b ≠ 3), maka pola pertumbuhan alometrik, jika b < 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya. Jika b > 3 menunjukkan pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya.

3.5.3 Analisis bio-teknik

Analisis bio-teknik dimaksudkan untuk mencari nilai effort maksimum dan angka hasil tangkapan maksimum lestari. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan di daerah penelitian. Dari hasil yang diperoleh diharapkan pihak yang terkait dapat menindaklanjuti kondisi tersebut

(37)

agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa mengesampingkan kelestariannya.

Metode yang digunakan adalah metode surplus produksi. Metode ini bertujuan untuk menentukan tingkat upaya (effort) optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang.

Model produksi Schaefer yang menghubungkan antara upaya penangkapan (E) dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE), diperoleh dari hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan (h) yang kedua sisinya dibagi dengan upaya penangkapan. Secara matematik dapat dituliskan menjadi:

atau

Keterangan:

U = catch per unit effort (CPUE) h = hasil tangkapan (yield) E = upaya penangkapan (effort) a = nilai intersep

b = kemiringan garis regresi (slope)

Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q dan K tersembunyi dalam nilai α dan β. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dimodifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan K) dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox. Para meter biologi (r, q dan K) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut:

(38)

dengan nilai x, y dan z dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Dengan diperolehnya nilai parameter biologi dan teknik, yaitu r, q dan K, maka solusi pengelolaan sumberdaya ikan pada kondisi optimal melalui pendekatan bio-teknik dapat dihitung menggunakan rumus pada Tabel 1.

Tabel 1 Formula perhitungan pengelolaan sumberdaya ikan pada kondisi optimal.

Variabel Kondisi optimal

Effort (E)

Catch (h)

Biomassa (x)

3.5.4 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu

Pendugaan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat diketahui dengan cara mempresentasekan jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu terhadap nilai Maximum Sustainable Yield (MSY). Rumus yang digunakan adalah:

Keterangan:

TP = Tingkat pemanfaatan (%) C = Hasil tangkapan (ton)

(39)

4.1 Keadaan Umum Kepulauan Seribu 4.1.1 Letak geografis

Secara geografis wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak pada 106° 19‟ 30” - 106° 44‟ 50” Bujur Timur dan 05° 10‟ 00” - 05° 57‟ 00” Lintang Selatan. Secara fisik wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dibatasi oleh:

- Sebelah Utara : Laut Jawa dan Selat Sunda - Sebelah Timur : Laut Jawa

- Sebelah Selatan : Kecamatan Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Tanggerang (Banten) - Sebelah Barat : Laut Jawa dan Selat Sunda

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki luas wilayah 8,70 km² terdiri atas 110 pulau, 92 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 4,376 hektar. Secara administrasi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki 79 pulau dan terbagi menjadi Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Panggang. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki 31 pulau dan terbagi menjadi Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Pada Tabel 2 disajikan jumlah pulau dan luas wilayah di Kepulauan Seribu.

4.1.2 Topografi

Ditinjau dari segi topografi, sebagian besar daerah Kepulauan Seribu merupakan dataran rendah yang landai dengan kemiringan 0-5% serta ketinggian 0-2 meter di atas permukaan laut. Jenis tanah di daratan Kepulauan Seribu berupa pasir koral yang merupakan hasil pelapukan dari batu gamping terumbu koral dengan ketebalan kurang dari 1 meter pada umumnya dan dapat mencapai ketebalan 5 meter di beberapa tempat.

(40)

Secara umum kedalaman laut di wilayah Kepulauan Seribu berbeda-beda, yaitu berkisar antara 0-40 meter. Hanya ada dua tempat yamg memiliki kedalaman lebih dari 40 meter, yaitu perairan di sekitar Pulau Payung dan Pulau Pari.

Tabel 2 Jumlah pulau dan luas wilayah di Kepulauan Seribu

Wilayah / Daerah Jumlah Pulau Luas Wilayah (Km²)

Kelurahan Pulau Kelapa 36 2,58

Kelurahan Pulau Harapan 30 2,45

Kelurahan Pulau Panggang 13 0,62

Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 79 5,65

Kelurahan Pulau Tidung 6 1,07

Kelurahan Pulau Pari 10 0,95

Kelurahan Pulau Untung Jawa 15 1,03

Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 31 3,05

Kepulauan Seribu 110 8,7

Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008

4.1.3 Iklim

Kepulauan Seribu memiliki suhu rata-rata 28,3°C dengan kelembaban udara antara 48-91%. Musim hujan di Kepulaun Seribu biasanya terjadi antara Bulan November sampai dengan Bulan April, dengan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 169,4 mm. Curah hujan terbesar terjadi pada Bulan Januari dan terkecil terjadi pada Bulan Agustus.

Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin moonson, angin musim barat terjadi antara Bulan Desember hingga Bulan Maret dan angin musim timur terjadi antara Bulan Juni hingga Bulan September. Musim peralihan terjadi antara Bulan April-Mei dan Oktober-November yang lebih dikenal dengan musim pancaroba. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot, sedangkan pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot yang bertiup dari arah Timur Laut sampai ke arah Tenggara.

(41)

Keberadaan musim barat dan musim timur sangat mempengaruhi kehidupan penduduk sekitar, terutama kegiatan penangkapan ikan. Pada musim barat intensitas curah hujan tinggi disertai angin yang sangat kencang sehingga menyebabkan ombak yang besar. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tidak melaut untuk menangkap ikan terkait faktor keamanan di laut. Oleh karena itu pada musim barat hasil tangkapan nelayan sangat sedikti, musim barat sering pula disebut musim paceklik.

Pada musim timur keadaan perairan biasanya tenang karena curah hujan yang rendah dan angin yang tidak kencang, sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar. Musim timur merupakan musim puncak produksi ikan.

4.1.4 Hidro-oseanografi

Perairan Kepulauan Seribu memiliki kisaran pasang-surut sampai 80 cm dengan jenis pasang-surut tipe campuran cenderung diurnal. Gelombang di perairan Kepulauan Seribu memiliki arah penjalaran yang spesifik bergantung pada kondisi angin, sedangkam tinggi geombang sangat bervariasi antara 0,5-1,5 meter.

Kecepatan arus permukaan di Kepulauan Seribu tergolong lemah, kecuali di daerah antar pulau, akibat massa air melewati bagian yang relatif lebih sempit. Arah arus di Kepulauan Seribu secara umum dominan dari Timur Laut sampai Tenggara, hal tersebut diakibatkan oleh pola angin yang terjadi. Salinitas di Perairan Kepulauan Seribu, baik secara horizontal maupun vertikal, relatif kecil variasinya. Salinitas rata-rata di perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 32 – 33‰. Kedalaman yang bervariasi pada gugusan pulau di Kepulauan Seribu menyebabkan adanya vasiasi temperatur perairan, rata-rata temperatur perairan di Kepulauan Seribu berkisar antara 28 – 30°C.

4.1.5 Demografi

Berdasarkan hasil estimasi Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, jumlah penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 20.026 jiwa dengan sex ratio sebesar 101,02. Terdiri atas 9.962 jiwa perempuan dan 10.064 jiwa

(42)

laki-laki. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kelurahan Pulau Kelapa dengan jumlah 5.337 jiwa, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kelurahan Pulau Untung Jawa sebanyak 1.899 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di wilayah Kepulauan Seribu tersaji pada Gambar 6.

Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008

Gambar 6 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin.

Jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk usia sepuluh tahun ke atas adalah pada jenjang Akademi/Universitas sebanyak 3,51%, jenjang SLTA/Sederajat sebesar 15,54%, jenjang SLTP/Sederajat sebesar 19,17% dan jenjang SD/Sederajat sebesar 36,77%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di Kepulauan Seribu masih tergolong rendah dan mencerminkan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia untuk pembangunan di daerah ini. Penduduk dengan usia 15 tahun ke atas dapat dibedakan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pada tahun 2007 jumlah angkatan kerja sebesar 7.727 orang dan bukan angkatan kerja sebesar 5.350 orang. Dari jumlah angkatan kerja, sebanyak 6.796 orang (87,95%) bekerja dan 931 orang (12,05%) mencari pekerjaan, jadi Angka Partisipasi Angkatan Kerja (APAK) di Kepulauan Seribu adalah 59,09%. Mayoritas pekerja bekerja di bidang Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, yaitu sebesar 45,07%.

Kel. P. Kelapa Kel. P. Harapan Kel. P. Panggang Kel. P. Tidung Kel. P. Pari Kel. P. Untung Jawa Perempuan 2617 958 2241 2158 1051 937 Laki-laki 2720 1002 2299 2042 1039 962 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 Ji wa

(43)

Dengan luas wilayah 8,70 km², berarti tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mencapai 2.302 jiwa/km². Kelurahan Pulau Panggang merupakan wilayah terpadat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan kepadatan 7323 jiwa/km². Pada Tabel 3 disajikan kepadatan penduduk di wilayah Kepulauan Seribu.

Tabel 3 Kepadatan penduduk di wilayah Kepulauan Seribu

Wilayah / Daerah Luas daerah (km²) Jumlah Penduduk (orang) Kepadatan (Jiwa/km²) Kel. P. Kelapa 2,58 5.337 2.069 Kel. P. Harapan 2,45 1.960 800 Kel. P. Panggang 0,62 4.540 7.323

Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 5,65 11.837 2.095

Kel. P. Tidung 1,07 4.200 3.925

Kel. P. Pari 0,95 2.090 2.200

Kel. P. Untung Jawa 1,03 1.899 1.844

Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 3,05 8.189 2.685

Kepulauan Seribu 8,7 20.026 2.302

Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008

4.2 Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Kepulauan Seribu 4.2.1 Alat tangkap

Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan di Kepulauan Seribu cukup beragam, mulai dari pancing, payang, muroami, bubu, bagan dan lain-lain. Jumlah keseluruhan alat penangkap ikan yang digunakan di perairan Kepulauan Seribu pada tahun 2004 adalah 4.348 unit alat tangkap. Alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah bubu tambun 28,98%, bubu besar 27,25% dan pancing 24,49% dari keseluruhan jumlah alat tangkap. Pada Tabel 4 disajikan jumlah alat tangkap menurut jenisnya di Kepulauan seribu.

(44)

Tabel 4 Jumlah alat tangkap menurut jenis di Kepulauan Seribu tahun 2004

Pulau Jenis Alat (unit) Jml

(unit) Pc Py JG JRm JRa MB MM BT BB BaT BaA JIH

P. Panggang 190 79 25 10 - - 15 215 50 - 4 85 673 P. Pramuka 75 20 15 3 - - 12 180 - - 2 15 322 P. Kelapa 130 50 20 4 - 3 7 240 100 - 30 - 584 P. Kelapa Dua 25 62 2 1 - - - 2 - 92 P. Harapan 85 6 15 2 - 3 8 100 210 - 2 - 431 P. Sebira 15 60 1 1 2 - - - 79

Kec. Kep. Seribu Utara 520 277 78 21 2 6 42 735 360 0 40 100 2181

P. Tidung 80 - 15 2 1 - 1 120 10 - - - 229 P. Payung 125 - 4 65 - 5 10 200 - - 3 - 412 P. Pari 50 6 8 6 2 - - 85 15 - - - 172 P. Lancang 20 - 6 7 35 - - 120 - 90 3 - 281 P. Untung Jawa 270 - 2 1 - - - - 800 - - - 1073

Kec. Kep. Seribu Selatan 545 6 35 81 38 5 11 525 825 90 6 0 2167

Kep. Seribu 1065 283 113 102 40 11 53 1260 1185 90 46 100 4348

Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008

Ket : Pc (Pancing), Py (Payang), JG (Jaring Gebur), JRm (Jaring Rampus), JRa (Jaring Rajungan), MB (Muroami Besar), MM (Muroami Mini), BT (Bubu Tambun), BB (Bubu Besar) BaT (Bagan Tancap), BaA (Bagan Apung), JIH (Jaring Ikan Hias).

4.2.2 Kapal ikan

Kapal ikan yang terdapat di perairan Kepulauan Seribu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kapal motor, perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Kapal motor adalah kapal yang mesin penggeraknya diletakkan di dalam badan kapal atau lebih dikenal dengan istilah mesin inboard. Di Kepulauan Seribu kapal motor merupakan kapal yang paling banyak digunakan, yaitu berjumlah 899 kapal atau 70,84% dari jumlah keseluruhan armada perikanan di Kepulauan Seribu.

Perahu motor tempel adalah kapal yang mesin penggeraknya diletakkan atau ditempelkan pada badan belakang kapal atau buritan, lebih dikenal dengan istilah mesin outboard. Perahu motor tempel paling jarang digunakan, karena harganya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kapal motor. Di Kepulauan Seribu hanya terdapat 27 perahu motor tempel atau hanya sekitar 2,13% jumlah keseluruhan armada perikanan di Kepulauan Seribu. Perahu tanpa motor adalah kapal yang tidak menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak, melainkan

(45)

menggunakan dayung atau layar sebagai alat untuk menggerakkan kapal. Jumlah armada perikanan di wilayah Kepulauan Seribu tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah armada perikanan di Kepulauan Seribu tahun 2004

Pulau

Jenis Armada (unit)

Jumlah (unit) Kapal Motor Motor Tempel Perahu Layar Sampan /Jukung P. Panggang 147 - 4 20 171 P. Pramuka 81 1 2 17 101 P. Kelapa 158 3 4 20 185 P. Kelapa Dua 58 1 2 7 68 P. Harapan 65 1 4 15 85 P. Sebira 55 2 1 6 64

Kec. Kep. Seribu Utara 564 8 17 85 674

P. Tidung 142 3 3 50 198 P. Payung 25 - 3 23 51 P. Pari 34 1 2 80 117 P. Lancang 46 12 1 70 129 P. Untung Jawa 88 3 2 7 100

Kec. Kep. Seribu Selatan 335 19 11 230 595

Kep. Seribu 899 27 28 315 1.269

Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008

4.2.3 Nelayan

Nelayan di Kepulauan Seribu berjumlah 10.402 orang, diklasifikasikan menjadi nelayan harian, nelayan mingguan dan nelayan bulanan. Kelompok nelayan terbanyak di Kepulauan Seribu adalah nelayan harian yaitu sebesar 58,51%. Nelayan harian adalah nelayan yang melakukan one day fishing atau nelayan yang melakukan operasi penangkapan per hari. Pada Tabel 6 tersaji jumlah nelayan di wilayah Kepulauan Seribu menurut lama waktu melaut.

(46)

Tabel 6 Jumlah nelayan menurut lama melaut di Kepulauan Seribu

Pulau Lama waktu melaut (orang) Jumlah

(orang) Harian Mingguan Bulanan

P. Panggang 1.118 317 110 1.545 P. Pramuka 722 185 50 957 P. Kelapa 1.093 257 815 2.165 P. Kelapa Dua 432 163 - 595 P. Harapan 397 109 339 845 P. Sebira 238 97 - 335

Kec. Kep. Seribu Utara 4.000 1.128 1.314 6.442

P. Tidung 716 176 1.008 1.900 P. Payung 190 10 - 200 P. Pari 370 10 - 380 P. Lancang 655 20 - 675 P. Untung Jawa 155 650 - 805

Kec. Kep. Seribu Selatan 2.086 866 1.008 3.960

Kep. Seribu 6.086 1.994 2.322 10.402

Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008

4.2.4 Daerah penangkapan ikan

Hampir semua wilayah perairan di Kepulauan Seribu merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan sekitar, akan tetapi terdapat dua wilayah perairan di Kepulauan Seribu yang terlarang untuk melakukan operasi penangkapan ikan di daerah itu (Gambar 7). Daerah pertama adalah Zona Inti Taman Nasional, yaitu bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona Inti memiliki luas sekitar 4.449 hektar, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Zona Inti I seluas 1.389 hektar yang meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang Rengat, Zona Inti II seluas 2.490 hektar yang meliputi daratan dan perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur, dan perairan sekitar Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton, dan Gosong Penjaliran serta Zona Inti III seluas 570 hektar yang meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda dan bagian utara Pulau Bira Besar.

Daerah yang kedua adalah Zona Perlindungan Taman Nasional yaitu bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman

(47)

nasional. Zona Perlindungan memiliki luas sekitar 26.284, 50 hektar yang meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Gosong Sebaru Besar, Rengit, dan Karang Mayang.

Gambar 7 Peta zonasi wilayah dan daerah penangkapan ikan di Kepulauan Seribu.

Gambar

Gambar 2  Muroami saat dioperasikan.
Gambar 4  Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok  (Fauzi 2006)
Gambar 5  Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve)  (Fauzi 2006)
Tabel 1  Formula perhitungan pengelolaan sumberdaya ikan pada kondisi optimal.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang melingkupi belum optimalnya Pelayanan Kebersihan Oleh Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemadam Kebakaran Kabupaten Sintang dari aspek teknis administratif

Hak dan kewajiban warga negara juga tidak dapat dipisahkan karena bagaimanapun dari kewajiban itulah muncul hak dan begitupun sebaliknya. Akan tetapi, sering terjadi

didapatkan kopra yang berkualitas (tidak tengik, berwarna putih) dan tidak terserang jamur. Pengeringan dilakukan selama 5 hari dengan kadar air sebesar 5-6 %. Dengan tingkat kadar

Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.675, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kuat antara variabel harga (X1), pelayanan

Pada umumnya kesalahan belajar merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan –hambatan dalam kegiatan mencapai tujuan sehingga memerlukan

Badan Pusat Statistik (2012) menyebutkan bahwa sebagian besar angkatan kerja pada tahun Februari 2012 sebesar 49,21% adalah berpendidikan dasar ke bawah, sedangkan

Penelitian aplikasi search engine berbasis semantic web menggunakan algoritma Rabin Karp pada tanaman di Indonesia ini memberikan kemudahan untuk penggunanya, yaitu dengan

terpelihara dan terjaga dengan baik, maka tiga komponen itu akan saling mendukung keberadaannya. Pengelolaaan dan pemanfaatan yang tidak mengikuti kaidah dasar ekosistem gambut,