• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF RUN PADA SUB DAS NGROWO JURNAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF RUN PADA SUB DAS NGROWO JURNAL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF

RUN PADA SUB DAS NGROWO

JURNAL

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik

Disusun oleh :

ADYANSAH PRATAMA

NIM. 0910640020-64

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS TEKNIK

MALANG

(2)

ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF

RUN PADA SUB DAS NGROWO

JURNAL

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik

Disusun oleh: ADYANSAH PRATAMA NIM. 0910640020-64 Dosen Pembimbing I Dr.Ery Suhartanto, ST. MT. NIP. 19730305 199903 1 002 Dosen Pembimbing II

Dr. Eng. Donny Harisuseno, ST. MT. NIP. 19750227 199903 1 001

(3)

ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF

RUN PADA SUB DAS NGROWO

Adyansah Pratama1, Ery Suhartanto2, Donny Harisuseno2

1

Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya 2

Dosen Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya e-mail: adyans_p@yahoo.com

ABSTRAK

Masalah kekeringan merupakan salah satu masalah rutin yang selalu terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, dengan penanganan untuk pencegahan dan penanggulangan yang lamban maka hal tersebut menjadi masalah berkepanjangan yang tidak terselesaikan. Terjadinya pergeseran musim dapat mengakibatkan kemarau panjang sehingga terjadi kekeringan. Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisa untuk mengetahui tingkat kekeringan dan durasi kekeringan yang dapat terjadi di suatu daerah, sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh.

Salah satu metode untuk analisa kekeringan adalah menggunakan metode theory of run. Metode ini bertujuan untuk melakukan penghitungan kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah kekeringan terbesar pada lokasi stasiun hujan yang tersebar di suatu wilayah. Data hujan yang digunakan adalah data hujan bulanan selama 20 tahun (1993-2012) dari 18 stasiun hujan. Setelah melakukan analisa kekeringan menggunakan metode theory of run dibuat peta kekeringan dengan bantuan metode interpolasi kriging pada software Arc GIS.

Hasil studi menunjukkan bahwa durasi kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998, untuk jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Dari hasil analisa juga disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Selain itu kekeringan meteorologi yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI (Southern Oscillation Index) yang merupakan indikator terjadinya El Nino.

Kata Kunci: analisa kekeringan, theory of run, peta sebaran kekeringan, kriging

ABSTRACT

The drought was one routine problems that always occur in some areas in Indonesia, with the slowly treatment for the prevention and control it becomes prolongedproblems were not solved. The change of seasons comes can affected long dry season which can change to be a drought. The purpose of this study was to analyze and determine the drought level and drought duration in an area that can be used as an early warning tool (warning system).

One of method drought analysis was the theory of run method. This method has purposed to determine the longest drought duration and biggest drought severety amount in every rainfall station which spread in some location. The data used were the monthly rainfall data for 20 years (1993-2012) of 18 rainfall stations. After drought analysis, the distribution maps can be obtained by kriging interpolation method in the ArcGIS software.

The results of the study showed that, the longest drought occurred 17 months in 1998, for biggest drought severety amount -2303 mm occurred in 1998. After drought analisis can be concluded that meteorological drought have relation with hidrological drought. In other side meteoroligcal drought also have relation with SOI (Southern Oscillation Index) value which this value is indicator for El Nino phenomena.

Keywords: drought analysis, theory of run, drought distribution map, kriging

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Masalah kekeringan menjadi hal rutin yang terjadi di Indonesia, tetapi pena-nganan untuk pencegahan dan penang-gulangan sangat lamban sehingga menja-di masalah berkepanjangan yang tidak

terselesaikan. Bahkan terus berulang dan semakin menyebar ke daerah-daerah yang tadinya tidak berpotensi terjadi ke-keringan. Terjadinya pergeseran musim dapat mengakibatkan kemarau panjang sehingga terjadi kekeringan. Pada tahun 2009 Balai Besar Wilayah Sungai

(4)

Bran-tas mengeluarkan peta rawan Kekeringan di Wilayah Sungai Brantas, Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung termasuk lokasi yang rawan kekeringan. Selain itu Badan Nasional Penang-gulangan Bencana juga menyatakan Wi-layah Kabupaten Trenggalek dan Kabu-paten Tulungangung memiliki tingkat resiko kekeringan yang tinggi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisa untuk mengetahui tingkat keke-ringan dan durasi kekekeke-ringan yang terjadi pada Sub DAS Ngrowo sehingga bisa di-jadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh.

2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan

Kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim, kejadian ini adalah keke-ringan meteorologis yang merupakan tanda awal dari terjadinya kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah berku-rangnya kondisi air tanah yang menye-babkan terjadinya stress pada tanaman (disebut kekeringan pertanian), Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan paso-kan air permukaan dan air tanah yang ditandai menurunya tinggi muka air sungai ataupun danau (disebut keke-ringan hidrologis). Kekekeke-ringan dibagi menjadi 3 jenis yaitu:

a) Kekeringan Meteorologi (Meteorology

Drought)

Didefiniskan sebagai kekurangan hujan dari yang normal atau diharapkan selama periode waktu tertentu. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis meru-pakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.

b.) Kekeringan Pertanian (Agricultural

Drought)

Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteo-rologis. Kekeringan ini berhubungan de-ngan berkurangnya kandude-ngan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tidak

mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Dicirikan dengan kekurangan lengas ta-nah, parameter yang menentukan potensi produksi tanaman.

c) Kekeringan Hidrologi (Hydrological

Drought)

Didefinisikan sebagai kekurangan pa-sokan air permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air sungai, waduk, danau dan air tanah.

2.2 Metode Analisa Indeks Keke-ringan

Kekeringan meteorologis merupakan indikasi awal dalam terjadinya keke-ringan, sehingga perlu dilakukan analisa untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi. Hasil analisa tersebut dapat digunakan sebagai peringatan awal akan terjadinya kekeringan yang lebih jauh. Adapun macam-macam analisa indeks kekeringan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

a) Percent of Normal b) Desil

c) Standardized Precipitation Index

(SPI)

d) Palmer Drought Severity Index

(PDSI)

e) Theory of Run

(Adidarma, 2010:31)

2.3 Metode Theory of Run

Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Yjevich pada Agusutus 1967, pada tahun 2004 Departemen Pekerjaan Umum membuat pedoman perhitungan indeks kekeringan menggunakan teori

run. Metode ini bertujuan untuk

me-lakukan penghitungan indeks kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah kekeringan terbesar pada lokasi stasiun hujan yang tersebar di suatu wilayah.

Pengertian teori Run adalah perban-dingan panjang defisit air dan jumlah defisit air. Prinsip perhitungan teori Run

(5)

mengikuti proses peubah tunggal (uni-variate).

3. METODOLOGI 3.1 Data Hujan

Di dalam analisa kekeringan meng-gunakan metode theory of run untuk suatu lokasi, dibutuhkan data curah hujan bulanan dengan periode waktu yang cukup panjang. Dalam studi ini digu-nakan data curah hujan bulanan tahun 1993-2012 di 18 stasiun hujan seperti pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Stasiun Hujan

di Sub DAS Ngrowo

3.2 Analisa Hidrologi

Data dapat dikatakan valid jika memenuhi beberapa kriteria (Soemarto, 1987), yaitu bahwa data itu berada dalam range, tidak mempunyai trend, homogen dan bersifat acak. Pada studi ini analisa hidrologi yang digunakan adalah:

a) Pengisian data hilang b) Uji homogenitas data hujan c) Uji konsistensi

d) Uji inlier-outlier

Analisa hidrologi yang dilakukan bertu-juan untuk mendapatkan data hujan yang layak untuk digunakan.

3.3 Perhitungan durasi kekeringan dan jumlah kekeringan

Langkah analisa kekeringan mengguna-kan teori run yang dilakumengguna-kan adalah sebagai berikut:

a) Analisa Parameter Statistik Curah Hujan, dengan menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, koefisien ke-pencengan dari masing-masing bu-lan selama 20 tahun.

b) Menghitung nilai surplus dan defisit run dengan mengurangkan data asli tiap-tiap bulan setiap tahunnya de-ngan rata-rata dari seluruh data pada bulan tersebut seperti pada persamaan berikut:

Jika Y (m) < X (t,m), maka

D(t,m) = X (t,m) – Y (m) (3-1) c) Melakukan perhitungan durasi kekeringan, dengan menggunakan persamaan:

(3-2)

Bila perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan negatif akan diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan, maka jumlahkan nilai satu tersebut sampai dipisahkan kembali oleh nilai nol, untuk kemudian menghitung dari awal lagi. Langkah ini dilakukan dari data tahun pertama berurutan terus sampai data tahun terakhir.

d) Melakukan perhitungan jumlah keke-ringan, dengan menggunakan persa-maan:

(3-3) Proses ini hampir sama dengan cara menghitung nilai durasi kekeringan. Jika durasi kekeringan berurutan dan lebih dari satu maka pada bulan selanjutnya merupakan nilai kumu-latifnya, demikian pula halnya ngan jumlah kekeringan. Jumlah de-fisitnya akan dikumulatifkan dengan acuan apakah nilainya surplus atau defisit. Jika bernilai positif maka di-beri nilai nol (0), jika bernilai negatif maka diberi nilai sesuai dengan nilai tersebut. Ketika terjadi nilai negatif yang berurutan maka nilainya diko-mulatifkan di bulan selanjutnya dan berhenti ketika bertemu nilai positif atau nol.

𝐿𝑛 = 𝑖 𝐴(𝑡, 𝑚)

𝑚=1

𝐷𝑛 = 𝑖 𝐷 𝑡, 𝑚 𝐴(𝑡, 𝑚) 𝑚=1

(6)

e) Klasifikasi tingkat kekeringan bertu-juan untuk mengetahui tingkat keke-ringan yang terjadi di setiap stasiun hujan. Klasifikasi dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:

Tabel 3.1 Klasifikasi Tingkat Kekeringan

Curah Hujan dari Kondisi Normal Tingkat Kekeringan 70-85% Kering 50-70% Sangat kering <50% Amat sangat kering Sumber: Sonjaya (2007:2)

Untuk klasifikasi kekeringan diper-lukan juga menghitung jumlah curah hujan normal. Curah hujan normal adalah nilai rata-rata hujan suatu bu-lan di seluruh tahun pengamatan. Se-lain curah hujan normal dihitung juga jumlah curah hujan bulan-bulan ke-ring, dilakukan dengan cara menjum-lahkan curah hujan bulan-bulan ke-ring yang berurutan. Jumlah curah hujan bulan-bulan kering dibanding-kan dengan jumlah curah hujan nor-mal maka didapatkan klasifikasi ting-kat kekeringan.

f) Setelah perhitungan dilakukan pada seluruh stasiun hujan selama 20 ta-hun, dilakukan rekapitulasi untuk ni-lai durasi kekeringan, jumlah keke-ringan dan kriteria kekekeke-ringan. Jika kita menggunakan kurun waktu T = 5 tahun maka kita dapat mengetahui ni-lai maksimal setiap 5 tahun penga-matan.

3.4 Analisis Spasial Durasi Kekering-an dKekering-an Kriteria KekeringKekering-an

Peta sebaran hasil kekeringan dibuat dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Proses interpolasi dilakukan dengan metode Kriging. Interpolasi Kriging adalah suatu metode dalam melakukan estimasi suatu nilai dari sebuah titik pada tiap-tiap grid dengan memperhatikan nilai dari sebuah titik yang memiliki nilai yang sebenarnya. Metode ini ditemukan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan nilai dari bahan tambang. (Harto, 1993:

63). Metode ini menggunakan semiva-riogram yang mere-presentasikan perbe-daan spasial dan nilai diantara semua pasangan sampel data. Semivariogram juga menunjukkan bobot (weight) yang digunakan dalam interpolasi. Pada studi ini digunakan tipe Ordinary Kriging. Setelah diperoleh nilai durasi kekeringan dan kriteria kekeringan untuk masing-masing stasiun hujan, maka dilakukan analisa spasial dengan membuat peta se-baran kekeringan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sebaran kekeringan meteorologis di wilayah kajian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Durasi Kekeringan dan

Kriteria Kekeringan

Berdasarkan analisa kekeringan meng-gunakan metode theory of run durasi kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998 di stasiun hujan Pule. Kekeringan tersebut meru-pakan lanjutan dari tahun sebelumnya ya-itu tahun 1997. Dimulai pada bulan Janu-ari 1997 hingga Mei 1998.

Jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada stasiun hujan Pule yang terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Kekeringan tersebut meru-pakan kumulatif dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1997. Dimulai pada bulan Januari 1997 hingga Mei 1998.

4.2 Analisa Peta Sebaran Keke-ringan

Berdasarkan hasil pembuatan peta sebaran kekeringan, tahun paling kering terjadi pada tahun 1997, sedangkan tahun paling basah terjadi pada tahun 2010. Dapat dilihat pada gambar berikut:

(7)

a) b)

c) d)

Gambar 4.1 Peta Sebaran Kekeringan pada Sub DAS Widas

(a) Tahun Terkering 1997, (b) Durasi Kekeringan Terbesar 1997, (c) Tahun Terbasah 2010 (d) Durasi Kekeringan Terkecil 2010

(8)

Gambar 4.2 Grafik Hasil Perbandingan Nilai Surplus Defisit Run dan Data Debit Pos

Duga Air Kali Keser Sumber: Hasil Perhitungan

4.3 Hasil Survey di Lapangan

Pada studi ini kekeringan dihitung berdasarkan besaran curah hujan yang terjadi, yang berarti merupakan kekering-an meteorologis. Untuk mengetahui ke-terkaitan kekeringan meteorologis de-ngan kekeride-ngan pertanian dan hidro-logis, maka dilakukan survey/verifikasi di lapangan.

Survey lapangan dilakukan ke BPBD dan

Dinas Pertanian Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek yang dilak-sanakan pada tanggal 27 Maret 2014 dan 14 April 2014. Data tercatat yang dida-patkan terbatas hanya 2 tahun. Menurut BPBD Kabupaten Trenggalek dan Tu-lungagung, daerah yang kerap meng-alami kekeringan adalah kecamatan Pa-gerwojo, Karangrejo, Tanggunggunung, Kauman, Sendang, Pucanglaban, Ban-dung, Pakel, Panggul, Karangan, Dong-ko, Suruh, Pule, Kampak, Munjungan, Watulimo, Tugu, Bendungan, Trengga-lek, Pogalan, Durenan. Sedangkan data dari dinas pertanian Kabupaten Tulung-agung Kecamatan yang sering meng-alami kekeringan pertanian adalah Ke-camatan Karangrejo, Kauman, Pucang-laban, Bandung, Pakel.

Berdasarkan hasil perhitungan, kekering-an ykekering-ang terjadi selama 20 tahun

penga-matan Kecapenga-matan yang sering meng-alami kekeringan adalah Kecamatan Kauman dan Kalidawir. Jika diban-dingkan dengan data kejadian kekeringan yang didapat dari BPBD dan Dinas Pertanian hanya 1 Kecamatan saja yang sesuai yaitu Kecamatan Kauman, sedangkan Kecamatan yang lain tidak sesuai.

Sedangkan kekeringan hidrologi dapat dilihat dengan melakukan pengamatan pada debit sungai atau muka air sungai, pada studi ini perbandingan dilakukan dengan membandingkan hasil perhi-tungan dan data AWLR pada Pos Duga Air Kali Keser. Karena keterbatasan data yang didapat analisa hanya dilakukan pada tahun yang terdapat pencatatan data debitnya, yaitu tahun 1997, 1998, 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008. Pos duga air Kali Keser terletak pada Kali Keser, maka analisa kekeringan yang dilakukan pada stasiun-stasiun hujan yang terletak pada hulu Kali Keser yaitu K.D.PU.AIR, Boyo-langu, Ngantru, dan Gandekan. Grafik hasil perbandingan nilai surplus defisit run dan data debit Pos Duga Air Kali Keser dapat dilihat pada gambar 4.2.

(9)

Gambar 4.3 Grafik Hasil Perbandingan Nilai SOI dan Nilai Surplus Defisit Run

Sumber: Hasil Perhitungan Dari gambar 4.2 terlihat bahwa ada

hubungan antara nilai surplus dan defisit terhadap data debit. Ketika terjadi nilai defisit maka debit air pun juga meng-alami penurunan, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka debit mengalami peningkatan.

Kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997 di mana terjadi nilai defisit di se-panjang tahun diikuti juga dengan debit hampir bernilai 0 m3/detik. Pada tahun 1998 terjadi nilai surplus hampir sepan-jang tahun, hal tersebut diikuti juga dengan peningkatan debit air pada pos duga air Kali Keser.

Pada tahun 2002 terjadi nilai defisit hanya beberapa bulan, hal tersebut hanya mengakibatkan penurunan debit namun tidak sampai bernilai 0 m3/detik seperti tahun 1997. Debit kembali naik pada awal 2003 diikuti dengan nilai surplus. Untuk membandingkan apakah keke-ringan yang terjadi di Sub DAS Ngrowo dipengaruhi juga oleh faktor peristiwa ENSO, maka perbandingan yang dila-kukan adalah dengan membandingkan nilai surplus dan defisit run untuk satu DAS terhadap data ENSO berupa nilai indeks osilasi selatan/southern oscillation index (SOI) yang bersumber dari

Australian Government Bureau of Meteorology. Hasil perbandingan dapat

dilihat pada gambar 4.3.

Dari gambar 4.3 terlihat bahwa ada hubungan antara nilai surplus dan defisit terhadap data SOI. Ketika terjadi nilai defisit maka SOI bernilai negatif, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka SOI bernilai positif.

Kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997, di mana nilai defisit terjadi sepan-jang tahun begitu juga nilai SOI negatif sepanjang tahun. Pada tahun 1998 ketika nilai SOI berubah menjadi positif diikuti juga dengan perubahan nilai run dari de-fisit menjadi surplus.

Sedangkan tahun terbasah adalah tahun 2010 di mana nilai surplus terjadi se-panjang tahun diikuti dengan nilai SOI yang positif juga sepanjang tahun.

4.4 Trend Kejadian Kekeringan

Kekeringan dengan kriteria kering dan agak kering dengan durasi > 6 bulan terjadi 3-5 tahun sekali. Yaitu tahun 1994, 1997, 2002, 2006. Namun pada tahun-tahun selanjutnya tidak terjadi kekeringan dengan kriteria kering atau agak kering, trend yang terjadi cenderung menjadi tahun sedang, agak basah dan basah.

(10)

5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan

a) Berdasarkan analisa kekeringan menggunakan metode theory of run durasi kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998 di stasiun hujan Pule. Keke-ringan tersebut merupakan lanjutan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1997. Dimulai pada bulan Januari 1997 hingga Mei 1998.

b) Jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada stasiun hujan Pule yang terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Kekeringan terse-but merupakan kumulatif dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1997. Di-mulai pada bulan Januari 1997 hingga Mei 1998.

c) Berdasarkan hasil pembuatan peta sebaran kekeringan dengan menggu-nakan bantuan metode kriging pada

software Arc GIS, tahun paling kering

terjadi pada tahun 1997, sedangkan tahun paling basah terjadi pada tahun 2010.

d) Pada studi ini belum terlihat hubungan antara kekeringan meteo-rologi dengan kekeringan pertanian, hal tersebut disebabkan data keke-ringan pertanian yang didapatkan ti-dak mencukupi. Berdasarkan perban-dingan antara hasil analisa kekeringan terhadap data debit Kali Keser dapat disimpulkan bahwa kekeringan me-teorologi berhubungan dengan keke-ringan hidrologi. Terlihat bahwa ada hubungan antara nilai surplus dan defisit terhadap data debit. Ketika terjadi nilai defisit maka debit air pun juga mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka debit mengalami pe-ningkatan. Selain itu kekeringan me-teorologi yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI. Ketika terjadi nilai defisit maka SOI bernilai negatif, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka SOI bernilai positif. SOI tersebut merupakan

in-dikator terjadinya El Nino, semakin kecil nilai SOI maka akan terjadi El Nino yang kuat hal tersebut me-nyebabkan terjadinya kekeringan yang panjang.

5.2 Saran

a) Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat diperlukan data hujan yang pan-jang, karena semakin panjang data hujan yang dimiliki maka kita dapat melihat trend kekeringan yang terjadi. Kualitas data hujan juga harus diper-hatikan, apakah data hujan yang didapatkan tidak terdapat banyak data kosong.

b) Analisa kekeringan menggunakan metode theory of run perlu dibandingkan dengan analisa kekeringan menggunakan metode yang lain, sebagai pembanding apakah hasil dari analisa masing-masing metode terjadi perbedaan atau tidak. c) Dalam pembuatan peta kekeringan perlu

juga dibandingkan dengan metode inter-polasi yang lain, dengan tujuan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan atau tidak pada peta yang dihasilkan. d) Ketersediaan data pendukung lainnya

seperti data kekeringan dari dinas perta-nian, BPBD, data pencatatan debit juga dibutuhkan untuk verifikasi apakah hasil analisa kekeringan benar-benar terjadi di lapangan.

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Adidarma, W., 2010, Diktat Pelatihan

Kekeringan, Balai Hita, Puslitbang SDA,

Bandung.

2. Departemen Pekerjaaan Umum. 2004.

Perhitungan Indeks Kekeringan

Menggunakan Teori Run. Bandung:

Departemen Pekerjaaan Umum.

3. Harto Br, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 4. Soemarto, C.D. 1987. Hidrologi Teknik.

Surabaya: Usaha Nasional.

5. Sonjaya, Irman. 2007. Analisa Standardized

Precipitation Index (SPI) di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Stasiun Klimatologi

Banjarbaru.

6. Ersyidarfia, N., Fauzi, M. & Sujatmoko, B. 2012. Perhitungan Indeks Kekeringan

Menggunakan Teori Run pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri. Riau:

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau.

Gambar

Gambar 3.1 Peta Lokasi Stasiun Hujan  di Sub DAS Ngrowo
Tabel 3.1 Klasifikasi Tingkat Kekeringan  Curah Hujan dari
Gambar 4.2 Grafik Hasil Perbandingan Nilai Surplus Defisit Run dan Data Debit Pos  Duga Air Kali Keser
Gambar 4.3 Grafik Hasil Perbandingan Nilai SOI dan Nilai Surplus Defisit Run     Sumber: Hasil Perhitungan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ponorogo terdapat 5 kecamatan yang setiap tahun mengalamai kekeringan, sedangkan data dari

Analisis data curah hujan bulanan pada pos pengamatan hujan yang dilakukan dengan menggunakan metode Theory of Run, selain bisa mendapatkan nilai defisit hujan

Analisis korelasi dan keruangan melihat dari hubungan antara kerugian yang di derita akibat bencana dengan pernah terjadi kekeringan, analisis deskriptif digunakan

Dengan menggunakan perbandingan nilai NDVI dari tahun yang mengalami kekeringan (1997) dengan tahun yang tidak mengalami kekeringan (1998) menunjukkan nilai NDVI 0,28 data

(variance between group). Dalam menentukan status kekeringan di setiap periode defisit maka diperlukan perhitungan untuk setiap periode defisit yang akan di

Uji kepanggahan data yang dilakukan dengan perhitungan korelasi dan kurva massa ganda menunjukkan bahwa hanya 8 stasiun hujan yang ada di Sub DAS Bengawan Solo Hulu

Jika dilihat pada gambar 3 (a), kejadian kekeringan yang terjadi selama tahun 1999, seolah terpotong-potong dengan beberapa debit yang melampaui ambang batas karena

Nilai indeks kekeringan SPI 3 bulanan ekstrim di Kabupaten Pelalawan dengan kondisi terparah terjadi pada bulan Juni tahun 2015 yang terletak di Kecamatan Kuala Kampar dengan nilai SPI