• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI HISTOPATOLOGI HATI IKAN BELANAK (Mugil cephalus ) DI MUARA SUNGAI ALOO SIDOARJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI HISTOPATOLOGI HATI IKAN BELANAK (Mugil cephalus ) DI MUARA SUNGAI ALOO SIDOARJO"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI HISTOPATOLOGI HATI IKAN BELANAK (Mugil cephalus ) DI MUARA SUNGAI ALOO SIDOARJO

Adhelia Setyowati*, Dewi Hidayati1, Awik P.D.N, Nurlita Abdulgani1 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ABSTRAK

Penelitian tentang studi histopatologi hati Ikan Belanak (Mugil cephalus) bertujuan untuk mengetahui histopatologi hati ikan belanak (Mugil cephalus) di muara sungai Aloo Sidoarjo. Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan set gill net pada tiga stasiun yang berbeda dengan perahu nelayan. Metode yang digunakan dalam analisa data berdasarkan penilaian Histology Activity Index (Knodell et al.,1981) dalam Fransiscus (2007). Hasil menunjukkan terjadinya perubahan histologi hati yang menimbulkan gejala patologis. Kerusakan yang ditemukan antara lain bridging nekrosis, fokal nekrosis, peradangan dan degenerasi intralobular serta fibrosis. Tingkat kategori kerusakan tergolong ringan pada stasiun 1 dan 2 sedangkan stasiun 3 tergolong kategori sedikit dan ringan. Berdasarkan jumlah rata-rata nilai kerusakan tertinggi terjadi pada stasiun 2 sebesar 23,1. Hal ini juga didukung dengan kandungan logam berat Cd dan Cr yang tinggi.

Kata kunci : Ikan Belanak (Mugil cephalus), histopatologi, hati dan HAI ABSTRACT

The research about liver histopathological study of Mullets (Mugil cephalus) was conducted to identify liver histopathology mullets (Mugil cephalus) in the Aloo estuary Sidoarjo. Fish sampling using sets gill net at three different stations with fishermens boat. The method that use in data analysis based on histology t Activity Index (Knodell et al., 1981) in Franciscus (2007). The results showed a change in liver histology that cause pathological symptoms. The damage that found are bridging necrosis, focal necrosis, degeneration intralobular, inflammation and fibrosis. The categories level of damage relatively mild at station 1and 2 while at stations 3 were small and lightweight. Based on average value of the highest damage occurred at stations 2 of 23.1. It also supported by heavy metal content of high Cd and Cr.

Keyword : mullets (Mugil cephalus L.), liver, histopathology and HAI

*Corresponding author Phone : 085648206076

e-mail : lia.fukada88@gmail.com

1

Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

I PENDAHULUAN

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau

Lumpur Lapindo merupakan peristiwa

menyemburnya lumpur panas di lokasi

pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas ini telah menggenangi lahan pertanian (sawah), industri, permukiman penduduk, fasilitas umum, lahan kosong dan lahan lainnya. Secara ekonomi,

keberadaan lumpur panas telah mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang mengakibatkan produksi tambak mengalami kegagalan panen sehingga berpengaruh terhadap

aktivitas perekonomian di Jawa Timur

(Anonim, 2009).

Menurut Gunradi (2007), lumpur

sidoarjo menunjukkan kandungan logam berat di atas ambang batas yang dipersyaratkan, unsur Cd 10,45 ppm, Cr 105,44 ppm, As 0,99 ppm, dan Hg 1,96 ppm dengan pH Lumpur 9,18. Selain itu,

(2)

hasil penelitian WALHI yang dilakukan sejak September 2007 sampai dengan Januari 2008 menyatakan bahwa lumpur lapindo mengandung Cd 0,3063 ppm, Pb 7,2876 ppm, dan air sungai Porong mengandung Cd 0,0271 ppm, Pb 0,6949 ppm. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Hidayati (2009) yang menyebutkan bahwa air Lumpur Lapindo mengandung logam berat non esensial antara lain Cd 0,05 ppm dan Cr 0,65 ppm. Padahal menurut Kep. Menkes. No. 907/2002 mengenai kadar maksimal logam berat di air hanya diperbolehkan untuk Cd 0,003 ppm, Cu 1 ppm, Pb 0,05 ppm dan Cr 0,05 ppm. Selama ini pembuangan lumpur dialirkan ke laut melalui Sungai Porong. Namun sejak akhir tahun 2009 sampai sekarang ini pembuangan lumpur dilakukan di sungai Aloo sehingga diduga akan mencemari kelestarian ekosistem terutama didaerah penangkapan ikan di muara. Pembuangan lumpur ke sungai ini sangat membahayakan kelestarian ekosistem.

Estuaria merupakan tempat pertemuan antara perairan laut dan perairan darat. Bahan pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar dan akan mengalami proses pengendapan, sehingga terjadi penyebaran zat pencemar yang dapat menimbulkan dampak

pencemaran. Menurut Gesamp (1986),

pencemaran perairan didefinisikan sebagai

dampak negatif, pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan ekosistem perairan serta kesehatan manusia yang disebabkan secara langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan manusia atau industri. Menurut Dahuri dan Arumsyah (1994) menjelaskan masuknya bahan pencemar ke dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi ambang batas, maka daya dukung lingkungan akan menurun.

Menurut Geonarso, 1988 dalam

Chahaya, 2003 untuk mengetahui efek toksik dari beberapa polutan kimia dalam suatu lingkungan dapat di uji dengan menggunakan

spesies yang terdapat pada lingkungan

tersebut,salah satunya adalah ikan. Ikan sebagai salah satu biota air dapat dijadikan sebagai salah satu indikator pencemaran yang terjadi di dalam perairan. Bahan pencemar masuk kedalam tubuh

organisme dapat melalui rantai makanan

sehingga menyebabkan terakumulasinya bahan pencemar dalam jaringan terutama di hati. Ikan belanak merupakan salah satu jenis ikan yang termasuk dalam kelompok ikan pelagis kecil

yang hidup di perairan pantai dangkal dan muara-muara sungai. Sehingga ikan belanak ini merupakan salah satu ikan tangkap dan bernilai ekonomis yang banyak ditemukan di perairan muara Sungai Aloo.

Analisa histopatologi dapat digunakan sebagai biomarker untuk mengetahui kondisi kesehatan ikan melalui perubahan struktur yang terjadi pada organ-organ yang menjadi sasaran utama dari bahan pencemar seperti insang, hati, ginjal dan sebagainya (Dutta, 1996). Selain itu,

penggunaan biomarker histopatologi dapat

digunakan dalam memonitoring lingkungan dengan mengamati organ-organ tersebut yang memiliki fungsi penting dalam metabolisme

tubuh sehingga dapat digunakan sebagai

diagnosis awal terjadinya gangguan kesehatan pada suatu organisme (Martinez and Marina, 2007).

Hati merupakan organ vital yang

berfungsi sebagai detoksifikasi dan

mensekresikan bahan kimia yang digunakan untuk proses pencernaan. Hati berperan penting dalam proses metabolisme dan transformasi bahan pencemar dari lingkungan. Dengan demikian hati merupakan organ yang paling banyak mengakumulasi zat toksik sehingga mudah terkena efek toksik. Sebagian zat toksik yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati, sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan. (Loomis, 1978). Dengan adanya zat toksik maka dapat mempengaruhi struktur histologi hati sehingga dapat mengakibatkan patologis hati seperti pembengkakan sel, rangkaian nekrosis atau bridging necrosis, degenarasi intralobular dan fokal nekrosis, fibrosis, dan cirrhosis. Penelitian mengenai histopatologi hati ini pernah dilakukan oleh Hidayati, dkk (2009) dengan uji skala laboratorium menggunakan ikan bandeng (Chanos chanos) yang dipelihara dalam air yang

mengandung lumpur Sidoarjo. Hasil

menunjukkan ikan bandeng (Chanos chanos)

mengalami gejala histopatologis berupa

pembengkakan sel, kehilangan integritas

pembuluh darah kapiler (sinusoid) yang

merupakan percabangan dari vena porta dan arteri hepatica dan nekrosis. Oleh karena itulah, organ hati sangat rentan terhadap pengaruh kontaminan sehingga perlu adanya penelitian lanjutan dalam skala lapangan di perairan muara sungai Aloo yang terpapar air lumpur Sidoarjo. 1.2 Permasalahan

(3)

Sungai aloo termasuk salah satu sungai

yang digunakan sebagai tempat aliran

pembuangan lumpur sidoarjo. Sehingga dengan adanya penambahan lumpur di sungai Aloo dapat berpotensi mencemari perairan serta fisiologi biota perairan di muara termasuk ikan belanak

(Mugil cephalus). Kondisi ini akan

mempengaruhi histologi hati ikan belanak (Mugil cephalus) sehingga timbul permasalahan bagaimanakah histopatologi hati ikan belanak yang terjadi di muara sungai Aloo.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui histopatologi hati ikan belanak

(Mugil cephalus) menggunakan analisis

penilaian Histology Activity Index (Knodell et al., 1981) dalam Fransiscus (2007) di muara sungai Aloo.

II METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei 2010 di laboratorium Zoologi Program Studi Biologi ITS. Pengambilan sampel ikan belanak dilakukan di muara sungai Aloo Sidoarjo.

Pengambilan Sampel Ikan (Mugil cephalus.)

Pengambilan sampel ikan belanak

dilakukan pada 3 titik yaitu :

1. Stasiun 1: mulut muara sungai Aloo (07º

29’ 34,2” S dan 112º 49’ 32,7” E)

2. Stasiun 2: 1 km dari mulut muara sungai

Aloo menuju ke arah laut (07º 29’48,13” S dan 112º 50’0,71” E)

3. Stasiun 3: 2 km dari mulut muara sungai

Aloo menuju ke arah laut (07º 29’ 33,7” S dan 112º50’22,7”E)

Penentuan titik sampling berdasarkan daerah yang mewakili persebaran ikan belanak dan diduga masih terpengaruh endapan buangan lumpur Sidoarjo. Ikan belanak dewasa di muara dan memijah didekat laut. Penentuan titik ini dimulai dari muara sampai ke arah laut.

Pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan perahu nelayan. Penangkapan ikan menggunakan jaring insang tetap dan proses pengambilan dibantu nelayan setempat. Pada tiap titik dilakukan tiga kali pengulangan. Jumlah ikan yang diambil pada masing-masing titik sebanyak 3 ekor sebagai ulangan. Menurut Wahyuni, 2002 Ikan yang diambil pada masing-masing stasiun merupakan ikan dengan ukuran dewasa muda (15-25 cm). Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel air untuk pengukuran

parameter kualitas air meliputi parameter kimia yaitu BOD, DO, Cr, Cd, salinitas dan pH. Sedangkan parameter fisiknya meliputi suhu dan kekeruhan. Selanjutnya, ikan belanak yang tertangkap dimasukkan ke ice box agar ikan masih tetap segar kemudian sampel dibawa ke laboratorium Zoologi, Program Studi Biologi FMIPA ITS. Selanjutnya dilakukan pembedahan untuk pengambilan organ hati.

Pembuatan Preparat Histologi Hati

Pengamatan biota ikan yang terkena bahan pencemar, dilakukan pengamatan dengan menggunakan metode mikroteknik, yaitu dengan cara membuat preparat histologis. Preparat histologis yang dibuat adalah hati ikan. Untuk mempresentasikan keseluruhan organ hati, maka tiap sampel organ hati dibedah menjadi 3 yaitu bagian frontal, median dan distal. Adapun prosedur dalam pembuatan preparat histologis adalah:

• Ikan dibedah dan diambil bagian hatinya

• Diawetkan dengan formalin 4 % selama

24 jam.

• Fiksasi, memindahkan hati ke dalam

larutan FAA selama 24 jam.

• Dehidrasi, dilakukan secara bertingkat

dengan alkohol 70%, 80%, 90%, 95 %, serta alkohol masing-masing 1 jam.

• Clearing, dilakukan selama 1 jam yaitu

dimasukkan ke dalam larutan alkohol-xilol, lalu memasukkannya ke dalam xilol murni I, II, III masing-masing selama 20 menit.

• Infiltrasi, menggunakan paraffin. Hati

dimasukkan kedalam xylol : parafin (1:1)

cair selama 20 menit, kemudian

memasukkan parafin cair I, II, III masing-masing selam 20 menit di dalam oven dengan suhu 60˚C.

• Embedding, tahapan menanam jaringan

atau sampel yang digunakan. Paraffin cair dituangkan ke dalam cetakan sampai penuh

kemudian membenamkan potongan organ ke

dalam parafin tersebut. Jaringan diletakkan pada

posisi dasar tengah dengan posisi melintang.

• Sectioning, sampel dipotong

menggunakan microtome dengan ketebalan 6-10 mikron.

• Affixing, perekatan dengan

menggunakan albumin dan gliserin dengan perbandingan 1:1, disimpan dalam kotak sediaan selama 1 hari.

(4)

• Deparafinisasi, untuk menghilangkan parafin, sediaan dimasukkan ke dalam xylol selama 10 menit.

• Staining atau pewarnaan, proses

pewarnaan dengan menggunakan hematoxylin

dan eosin dengan langkah sebagai berikut :

a. Sediaan histologis dihisap xylolnya

dengan menggunakan kertas saring. Kemudian berturut-turut dimasukkan ke alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40 % dan 30 % masing-masing selama 5 menit lalu ke aquades selama 5 menit. Dicuci dengan air mengalir kurang lebih 2 menit

b. Dimasukkan ke dalam haemotoxylin

selama 4 menit

c. Dicuci dengan air mengalir selama

10 menit.

d. Dimasukkan ke dalam aquades dan

alkohol 50%, 60%, 70%, 80%, 90%,

96% masing-masing beberapa

celupan.

e. Dimasukkan ke dalam eosin selama

1,5 menit.

f. Dimasukkan ke dalam alkohol 70 %,

80%, 90%, 95%.

g. Preparat dikering-anginkan dan

dimasukkan ke xylol selama 15 menit

h. Sediaan histologi ditetesi dengan

canada balsam lalu ditutup dengan cover glass.

• Mounting (Penutupan) dan Labelling

(Pemberian Label) yaitu Penutupan preparat dengan menggunakan kaca penutup dan memberi identitas pada preparat.

Pengamatan di Laboratorium

Pengamatan preparat dilakukan

mengguankan mikroskop compound dengan perbesaran 40-1000x.

Penilaian Menggunakan Histological Activity Index (HAI) (Knodell et al., 1981 dalam Rahn, 2001)

Preparat hati yang telah dibuat diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui seberapa besar kerusakan hati, kemudian dilakukan penilaian kerusakan hati dengan menggunakan tabel penilaian kerusakan hati berdasarkan Histology Activity Index (HAI) menurut Knodell et al., 1981 dalam Rahn, 2001.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN Data Pengamatan

Berdasarkan hasil pengamatan histologis hati ikan belanak ( M.cephalus) di Muara Sungai Aloo Sidoarjo yang diambil di tiga stasiun ditemukan beberapa jenis kerusakan diantaranya

bridging nekrosis, fokal nekrosis, dan

peradangan. Data hasil pengamatan ditunjukkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Tabel Pengamatan Kerusakan Hati ikan Mugil cephalus

Ket : frontal (f), median (d) dan distal (d) 4.2 Pembahasan

4.2.1 Kerusakan Hati Ikan Belanak (M. cephalus) di Stasiun 1

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 4.1) kategori tingkat kerusakan hati yang terjadi di stasiun 1 tergolong ringan dengan jumlah rata-rata kerusakan sebesar 21. Hal ini kemungkinan dikarenakan logam berat Cr ditemukan dengan konsentrasi diambang batas sebesar 0,06 mg/L. Sedangkan logam berat Cd masih dibawah ambang batas. Padahal menurut KepMen Negara LH No. 51 Tahun 2004, tentang baku mutu air laut (biota air laut) diperbolehkan logam Cr sebesar 0,005 - 0.002 mg/L dan Cd sebesar 0,001 - 0.015 mg/L. logam berat dengan konsentrasi tinggi di perairan dapat membuat perubahan kualitas perairan sehingga dapat mengganggu fisiologis biota perairan yang dapat menimbulkan kerusakan organ. Kerusakan yang ditemukan antara lain bridging nekrosis, fokal nekrosis dan

(5)

degenerasi intralobular, peradangan dan

pembengkakan bagian portal. Kerusakan

bridging nekrosis ditunjukkan pada gambar (4.1).

Bridging nekrosis merupakan nekrosis yang membentuk suatu rangkaian yang terjadi dibagian periportal akibat sel-sel hepatosit menjalar ke daerah pembuluh (portal-portal, portal-sentral, dan sentral-sentral). Gambar 4.1-B menunjukkan rangkaian nekrosis terjadi pada bagian portal. Nekrosis ditandai dengan adanya piknotik, karyohexis dan karyolisis seperti pada gambar (4.2).

Gambar 4.2-B piknotik ditandai dengan pengerutan inti sel, karyohexis ditandai dengan inti hancur dan pecahan-pecahan kromatinnya tersebar dalam sel dan karyolisis dicirikan dengan inti sel kehilangan kemampuan untuk diwarnai (pucat) atau tampak samar-samar berongga dan menghilang. Bridging nekrosis terjadi karena pembengkakan sel yang terus berlanjut karena zat toksik yang terakumulasi dalam tubuh orgnisme. Pembengkakan sel ditunjukkan pada gambar (4.3).

Pembengkakan sel hati (gambar 4.3-B) ditandai dengan adanya vakuola (ruang-rusng kosong) akibat hepatosit membengkak yang menyebakan sinusoid menyempit, sitoplasma tampak keruh. Hal tersebut sangat berbeda dengan struktur jaringan hati yang normal (gambar 4.3-A) yang menunjukkan hepatosit terlihat jelas, inti bulat letaknya sentralis dan sinusoid tampak jelas, dan vena sentralis sebagai pusat lobulus tampak berbentuk bulat dan kosong. Pembengkakan sel terjadi karena muatan elektolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak setimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na+ keluar dari sel menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler kedalam sel sehingga sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup.

Hal ini akan menyebabkan sel

membengkak sehingga sel akan kehilangan integritas membrannya. Sel akan mengeluarkan materi sel keluar dari kemudian akan terjadi kematian sel (nekrosis). Pembengkakan sel atau degenerasi vakuola bersifat reversibel sehingga apabila paparan zat toksik tidak berlanjut maka sel dapat kembali normal. Namun jika pengaruh zat toksik berlangsung lama maka sel tidak dapat mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh zat toksik tersebut. Hal tersebut juga didukung oleh Hinton dan Lauren, 1990 dalam penelitian Patung et al (2008) yang melaporkan bahwa

dengan terpaparnya cadmium maka

menyebabkan terjadinya pembengkakan

hepatosit sebagai akibat langsung dari zat toksik yang berpengaruh langsung pada mekanisme transpor ion. Kematian sel yang terus berlanjut akan menyebabkan bridging nekrosis (Gambar 4.1) dan fokal nekrosis yang ditunjukkan pada gambar 4.4.

(6)

Fokal nekrosis ditandai dengan hilangnya struktur jaringan, daerah nekrosis dikelilingi oleh zona hemoragik yaitu adanya bintik pendarahan Menurut Robert (1989) menjelaskan bahwa histologi hati ikan berbeda

dengan mamalia. Pada mamalia, bentuk

lobulusnya lebih terlihat jelas daripada lobulus hati ikan. Hal ini dikarenakan sinusoid yang

tersebar tidak merata diantara polygonal

disebabkan sinusoid berjumlah sedikit dan hanya dibatasi oleh sel endothelial. Sehingga dalam pengamatan fokal nekrosis hati ikan belanak berdasarkan pada populasi sel nekrosis pada bagian vena centralis dan tidak mengacu pada

batasan lobuli. Adanya nekrosis maka

menyebabkan respon peradangan pada jaringan yang masih hidup disekitar daerah nekrosis. Respon peradangan ditunjukkan pada gambar (4.5)

Gambar 4.5-B peradangan ditandai dengan adanya jendolan-jendolan darah serta jaringan berwarna merah karena banyak didapati eritrosit yang keluar dari pembuluh darah.

Respon peradangan ini bertujuan untuk

pemulihan jaringan serta menekan agen

penyebab nekrosis. Hal ini dikarenakan sel-sel yang mengalami nekrosis tidak mampu di absorbsi oleh sel fagosit sehingga dapat melarutkan unsur-unsur sel sehingga dapat mengeluarkan enzim litik. Respon peradangan

dilakukan dengan cara regenerasi sel-sel hilang, pembentukan jaringan ikat serta terjadi emigrasi leukosit ke daerah nekrosis (Robbine dan Kumar, 1992). Akan tetapi, apabila zat toksik terus menerus terpapar maka akan menyebabkan sel

kehilangan kemampuan dalam regenerasi

sehingga akan memicu terjadinya fibrosis. Kerusakan fibrosis ditunjukkan pada gambar (4.6)

Fibrosis ditemukan pada beberapa ikan di semua lokasi pengambilan sampel. Fibrosis ini terjadi karena akibat dari peradangan akut karena sel kehilangan kemampuan dalam regenerasi

yang menyebabkan terjadinya proliferasi

fibroblast sehingga serabut kolagen yang berlebih (Anderson, 1994). Fibrosis (Gambar 4.6) ditandai dengan kolagen lebih tebal, dimana serabut halus kolagen ini berperan untuk menyokong sinusoid dan hepatosit. Jika fibrosis ini meluas kesemua bagian hati maka akan terjadi sirosis (pemadatan organ hati) yang menyebabkan kegagalan fungsi hati sehingga

dapat menyebabkan kematian. Hal ini

dikarenakan terjadinya hipertensi vena porta yang dapat mengganggu aliran darah sehingga akan menghambat suplai nutrien dan pertukaran oksigen. Fibrosis juga ditemukan pada ikan Poecilia sphenops yang terpapar Pb (Tekken et al., 2009).

Kerusakan Hati Ikan Belanak (M. cephalus) di Stasiun 2

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 4.1) kategori tingkat kerusakan hati yang terjadi di stasiun 2 tergolong ringan dengan jumlah rata-rata kerusakan sebesar 23,1. Kerusakan yang terjadi di stasiun 2 lebih besar dari stasiun 1 sebesar 21 dan stasiun 2 sebesar 15,66. Hal ini dikarenakan stasiun 2 kualitas perairan lebih buruk daripada stasiun 1 dan 3. Hasil pengukuran kualitas perairan (lampiran 3) seperti kekeruhan, logam Cd dan Cr yang terukur berada dalam konsentrasi paling tinggi diantara stasiun lain serta melebihi ambang batas dari KepMen Negara LH No. 51 Tahun 2004, tentang baku mutu air laut (biota air laut). Logam Cd di stasiun 2 ditemukan dengan konsentrasi sebesar

(7)

0,03 mg/L dan Cr sebesar 0,14 mg/L. Hal ini kemungkinan dikarenakan bahan pencemar tidak hanya berasal dari lumpur Sidoarjo. Sehingga

diduga limbah domestic dari masyarakat

disekitar sungai, dan bahan pencemar dari laut ikut mencemari perairan di muara. Adanya pertemuan arus dari sungai dan arus laut yang mengandung bahan pencemar mengakibatkan terjadinya pengadukan sedimen atau lumpur lebih banyak di stasiun 2. Bahan pencemar tersebut akan mengalami proses pengendapan

dan penyebaran zat pencemar sehingga

terakumulasi dalam jumlah dan konsentrasi yang cukup besar pada stasiun 2 di tengah muara. Selain itu, diduga faktor pasang surut dan arus

mempengaruhi proses pembilasan bahan

pencemar yang terjadi di estuaria. Hal ini menyebabkan kerusakan yang terjadi lebih besar di stasiun 2. Kerusakan yang ditemukan di stasiun 2 antara lain bridging nekrosis (Gambar 4.1), fokal nekrosis dan degenerasi intralobular (Gambar 4.4), peradangan dan pembengkakan bagian portal (Gambar 4.5), serta fibrosis (Gambar 4.6).

Kerusakan Hati Ikan Belanak (M. cephalus) di Stasiun 3

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 4.1) kategori tingkat kerusakan hati pada beberapa ikan belanak yang terjadi di stasiun 3 tergolong sedikit dan ringan dengan jumlah

rata-rata kerusakan sebesar 15,66. Hal ini

menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi tidak seberapa parah jika dibandingkan dengan stasiun 1 dan 2. Hal ini dikarenakan bahan pencemar sudah terencerkan karena stasiun 3 berada didekat laut. Sehingga, logam berat yang terukur hanya logam Cr dengan konsentrasi 0,10 mg/L melebihi ambang batas dari menurut KepMen Negara LH No. 51 Tahun 2004, tentang baku mutu air laut (biota air laut). Logam Cr bersifat karsinogen bila terakumulasi dalam tubuh. Kerusakan yang ditemukan di stasiun 3 antara lain bridging nekrosis (Gambar 4.1), fokal nekrosis dan degenerasi intralobular (Gambar 4.4), peradangan dan pembengkakan bagian portal (Gambar 4.5), serta fibrosis (Gambar 4.6).

Berdasarkan penelitian Damar (2004) yang menyebutkan bahwa hati ikan yang tercemar logam timbal (Pb), kadmium (Cd), krom (Cr), merkuri (Hg) mengalami kerusakan berupa pembendungan, hemoragi dan degenerasi vakuola. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Pantung et al (2008) menyebutkan bahwa ikan yang terpapar oleh cadmium

menyebabkan terjadinya kongesti dan

pembengkakan hepatosit. Menurut Darmono (1995), kerusakan hati dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis. Sedangkan kerusakan hati yang ditemukan pada ikan belanak (Mugil cephalus) di muara sungai Aloo adalah pembengkakan sel, bridging nekrosis, fokal nekrosis, inflamasi dan fibrosis sehingga diduga logam berat termasuk salah satu bahan yang menyebabkan kerusakan hepatosit pada ikan.

IV KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan

menunjukkan bahwa tingkat kerusakan hati ikan Belanak (Mugil cephalus L.) berdasarkan penilaian Histology Activity Index (Knodel et al., 1981) dalam Fransiscus (2007) sebagai berikut :

• Tipe kerusakan yang ditemukan

adalah bridging nekrosis, fokal nekrosis, degenerasi intralobular dan peradangan serta fibrosis

• Kerusakan terbesar terjadi pada ikan

di stasiun 2 dengan kategori tingkat kerusakan ringan

Saran

Studi lebih lanjut dapat dilakukan melalui penelitian secara in vitro menggunakan salah satu jenis zat kimia atau logam berat yang terkandung dalam lumpur Sidoarjo, sehingga dapat diketahui jenis kerusakan hati secara spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

American Publich Health Assosiation, 1980. Standard Methods For The Examination Of Water and Waste Water. American Water Works Assosiation dan Water Pollution Control Federation. APHS, AWWA, WPCF. 15 th eds :388-399.

Anand, S.J.S., 1978. Determination Of

Mercury, Arsenic, And Cadmium In Fish By Neutron Activation. Jounal of Radioanalytical Chemistry, 44 -101.

Anderson, P.S.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa:

(8)

Peter Anugerah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran.

Anonim, 2004. Liver Histology. Diakses pada tanggal 30 Februari 2010, pukul 13.30 WIB.

Anonim, 2009. Bencana Baru di Kali Porong. Diakses pada tanggal 21 Januari 2009, pukul 22.05 WIB.

Aziz, S. H. A, dan Ghazaly N.E.L, 2006. Effect Of Pollutants in Coastal Water Of Jeddah on 2-The Histological Structure Of Liver Of The Fish Saiganus rivulatus.Saudi Arabia. Egyptian Journal Of Aquatic Research 1687-4285 Vol. 32 No.1, 2006:316-333.

Bengen, D. G. 2004. Ekosistem dan

Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian

Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut

Pertanian Bogor.

Benli et al., 2008. Sublethal ammonia exposure of Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.): Effects on gill, liver and kidney histology. Ankara, Turkey.

Bryan, G.W. 1976. Heavy Metal

Contamination in the Sea dalam R. Johson (Ed). Marine Pollution. London Academic Press. B. Velmurugan et al., 2007. Histopathology of lambda-cyhalothrin on tissues (gill, kidney, liver

and intestine) of Cirrhinus mrigala.

Environmental Toxicology and Pharmacology vol 24 (286–291), 7 july 2007.

Cahaya, Ir. Indra, M.Si. 2009. Ikan Sebagai Alat Monitor Pencemaran. Makalah Bagian Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Clark, R. B. 1986. Marine Pollution. Claredon Press. Oxford.

Collin, Mark R. 1985. Species Profiles: Life Histories and Environmental Requirements of Coastal Fishes and Invertebrates (South Florida), Striped Mullet. Departement of Zoology University of Florida Gainesville, FL 32611. Biological Report 82(11.34) TR EL-2-4, April 1985.

Connel, D.W and. G. J. Miller. 1995. Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. 520 p.

Dahuri, R. 1998. Pengaruh Pencemaran Limbah Industri Terhadap Potensi Sumberdaya Laut. Makalah Pada Seminar Teknologi Pengolahan Limbah Industri Dan Pencemaran Laut. Agustus 1998. SPPT Jakarta. Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta. 140 p.

Duffus, H. J. 1980. Environment Toxicologi. Department of brewing and Biological Science. Hariot-Watt. University Edinberg.

Effendie, Moch. Ichsan. 2002. Biologi

Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara: Yogyakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 p.

Fransiscus, A. 2007. HCV Diagnostic Tools : Grading & Staging a Liver Biopsy. Hepatitis Suport Project, Diakses pada tanggal 15 Maret 2010, pukul 11.30 WIB.

Frida Alifia dan M.Iqbal Djawad, 2000. Kondisi Histologi Insang dan Organ Dalam Juvenil Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) Yan Tercemar Logam Berat (Pb). Unhas Tamalanrea. Makassar.

Ganong ,W.F. 1979. Fisiologi Kedokteran. CV AGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta .

(9)

Geonarso, D. 1988. Perubahan faal ikan sebagai Indikator kehadiran insektisida dan Detergen dalam air. Disertasi. ITB. Bandung. Group Expert on Scientific Aspect of Marine Pollution. 1986. Report of The Seven Session. WHO (World Health Organization).

Gunradi, R. dan S. J. Suprapto, 2007. “Penelitian Endapan Lumpur di Daerah Porong Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur”. Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan Pusat Sumber Daya Geologi. Handayani, A. Puji. 2003. Pengaruh Dosis dan Lama Waktu Pemberian Amfetamin Terhadap Gambaran Histologi Hati Mencit (Mus musculus). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Airlangga.

Harahap. S. 1991. Tingkat Pencemaran Air Kali Cakung Ditinjau dari Sifat Fisika-Kimia

Khususnya Logam Berat dan

Keanekaragaman Jenis Hewan Benthos Makro. IPB. 167 hal.

Hariyadi, Sigid. 2004. BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air Limbah. Pengantar Falsafah Sains. Sekolah Pascasarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor .

Hidayati, Dewi. 2009. Aplikasi Fitoremediasi Polutan dengan Kiambang (Salvinia molesta) dan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) pada Air Tercemar Lumpur Lapindo dan Uji Biologis Sebagai Media Pemeliharaan Bandeng (Chanos chanos). Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. ITS.

Hiemanan, S. 1973. Patologi. Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Hinton DE, Lauren DJ. 1990. Integrative histopathological effects of environmental stressors on fishes. American Fisheries Society Symposium; 8: 51–66.

Hutagalung, H.P., D. Setiapermana., SH. Riyono. 1997. Metode Analisa Air Laut, Sediment Dan Biota. Buku kedua. Jakarta P30-LIPI. 182: 59-77. Peminat dan Ahli kehutanan.

Junqueira, L.U dan Carneiro. 1980. Histologi Dasar. (Alih bahasa: Adji Dharma) Jakarta: CV EGC. Penerbit Buku Kedokteran.

Junquiera, L.D. Carneiro, J., Kelley, R. O. 1995. Histologi Dasar. Edisi ke-8. Terjemahan Tambayong . Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Kinne, O. 1964. Marine ecology. A

Comprehensive Integrated Treatise On Life In Oceans And Coastal Water. Willey Interscience. John Willey and Sons Ltd. London, New York, Sydney, Toronto.

Kumar et al., 2007. Basic Pathology 8 th Edition. Saunders Elsevier Inc., Philadelphia.

Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar.

Penerjemah Donatus. Semarang: IKIP Semarang Press.

Lu, C.F. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mark, Jr.H.B. 1981. Water Quality

Measurement The Modern Analytical Techniques. Departments of Chemistry of Cincinate. Ohio.

Marina M. P. Camargo and Cláudia B. R. Martinez. 2007. Histopathology of gills, kidney

(10)

and liver of a Neotropical fish caged in an urban stream. Laboratory of Animal Ecophysiology, Department of Physiological Sciences State University of Londrina (UEL). Neotropical Ichthyology, 5(3):327-336

Mason, C.F. 1980. Biological pf FreshWater Pollution. London. New York.

Maulida Detiany, 2007. Pengaruh Pemberian Merkuri Klorida Terhadap Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Mas. Universitas Negeri Semarang.

Nontji, A. 1984. Laut Nusantara. Jembatan. Jakarta.

Nuntiya Pantung, Kerstin G. Helander , Herbert F. Helander , and Voravit Cheevaporna. 2008. Histopathological Alterations of Hybrid Walking Catfish (Clarias macrocephalus x Clarias gariepinus) in Acute and Subacute Cadmium Exposure. Faculty of Science, Burapha University, Chonburi 20131, Thailand. EnvironmentAsia 1 (2008) 22-27.

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. W.B Saunders Company. Philadelphia.

Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi dan Logam Berat. Rineka Cipta Jakarta. 152 hlm.

Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.

Musadad, Anwar. 2006. Laporan Survei Cepat Dampak Semburan Lumpur Panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen

Gambar

Tabel  4.1  Tabel  Pengamatan  Kerusakan  Hati   ikan Mugil cephalus
Gambar  4.2-B  piknotik  ditandai  dengan  pengerutan  inti  sel,  karyohexis  ditandai  dengan  inti  hancur  dan  pecahan-pecahan  kromatinnya  tersebar  dalam  sel  dan  karyolisis  dicirikan  dengan  inti  sel  kehilangan  kemampuan  untuk  diwarnai  (
Gambar  4.5-B  peradangan  ditandai  dengan  adanya  jendolan-jendolan  darah  serta  jaringan berwarna merah karena banyak didapati  eritrosit  yang  keluar  dari  pembuluh  darah

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan hasil identifikasi preparat ikan lele pada organ insang mengalami kerusakan hiperplasia, pada hati mengalami kerusakan degenerasi dan hemoragi, serta pada

Lama pemeliharaan ikan bandeng pada tambak yang tercemar limbah Pb dan Cd memberikan peningkatan terhadap nilai skoring kerusakan atrophy dan Hiyalinisasi

KERUSAKAN HATI DAN OTOT IKAN NILA Oreochromis niloticus AKIBAT AKUMULASI LOGAM BERAT Cr DARI AIR DAN SEDIMEN SUNGAI GAJAH WONG DI KOTAGEDE YOGYAKARTA Erma Faradella Hakim

Grafik kurvatur pertumbuhan panjang ikan belanak jantan (lingkaran terbuka) dan betina (ling- karan tertutup) pada setiap tahun di Muara Sungai Opak. Kurva hasil tangkapan