• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah Orang-Orang Ditikungan Jalan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Naskah Orang-Orang Ditikungan Jalan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

NASKAH TEATER

“ORANG-ORANG DI TIKUNGAN

JALAN”

OLEH : W. S. RENDRA

Naskah Latihan Teater Semut Unsada Untuk Menuju Festival Teater Jakarta.

Dramatik Personal : Pelaku Penting :

1. Djoko, Si Pemuda

2. Botak, Yang bertopi lucu 3. Sri, Si Jalang

4. Surya, si Pemabuk 5. Surati, Si Gadis

6. Tarjo, Si Lelaki Separuh Baya 7. Narko, Si Pemuda Gila

Pelaku Pelengkap :

8. Penjual Wedang Kacang

9. Lelaki

10. Perempuan

11.Seno, Si Pemuda Pandu 12.Si Buta Pelaku Pelalu : 13.Lelaki 14.Perempuan 15.Lelaki 16.Perempuan 17.Lelaki 18.Perempuan

}

Yang Bertengkar

}

Pelalu 1

}

Pelalu 2

}

Pelalu 3

(2)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

NASKAH TEATER

“ORANG-ORANG DI TIKUNGAN JALAN”

OLEH: W. S. RENDRA Waktu malam. Larut malam.

Pada sebuah tikungan jalan kecil yang diterangi oleh lampu listrik, tampak seorang lelaki termenung sendiri dengan rokok yang menyala dimulutnya. Dari jauh terdengar suara harmonika yang melagukan La Paloma.

Dari kiri jalan lewatlah sepasang lelaki perempuan bergandengan rapat. Jalannya amat perlahan-lahan. Si perempuan bertanya pada si lelaki :

Perempuan : Kau sudah beristeri, mas ?

Lelaki : Apa bedanya sudah atau belum ?

Perempuan itu tertawa. Demikian pula lelaki itu. Dan keduanya terus lewat, lenyap kesebelah kanan. Lelaki yang satu tadi masih

termenung juga. Sebentar kemudian muncullah pasangan yang lain dari sebelah kanan. Keduanya juga bergandegan rapat. Si lelaki terlalu kuat menggandeng pada pinggang perempuan itu, sehingga perempuan itu mengeluh.

Perempuan: Aaii, jangan kau patahkan rusukku.

Lelaki : Bukankah kau tadi biang kedinginan ? terlalu keraskah aku memelukmu ?.

Perempuan: (sambil menguap) Apakah tidak lebih baik kita lekas pergi

tidur ?.

Lelaki : Alangkah bijaksananya engkau.

Lalu keduanya lenyap kesebelah kiri. Lelaki satu tadi masih juga berdiri menunggu. Pandangnya menunjam ke tanah Rokoknya masih menyala.

Dari kanan mucullah seorang perempuan dengan rok biru laut. Di mulut perempuan itu menepel sebatang sigaret yang belumnya. Ia mendekati lelaki itu dan menegur dengan genit.

Perempuan: Ada api ?

Lelaki itu tidak menjawab. Rokoknya yang menyala itu diselipkan ke mulutnya. Lalu mulutnya itu didekatkan ke mulut perempuan yang di tempelkan rokok yang belum berapi itu. Si perempuan tidak segera menyalakan rokoknya.

Perempuan: Tak ada korek ? Lelaki : Tak ada korek.

(3)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

Setelah itu baru kemudian perempuan itu menyalakan rokoknya dengan menempelkan rokoknya ke rokok berapi yang terselip di mulut lelaki tadi. Lalu sesudah rokoknya menyala perempuan itu berkata.

Perempuan: Terima Kasih.

Lelaki : Lalu apalagi yang kita kerjakan?

Perempuan: Aku tak tahu maksudmu.

Lelaki : Bukankah maksudmu tidak hanya hendak minta api saja ? Bukankah masih

ada maksudmu selanjutnya ?

Perempuan:Lalu?

Lelaki : itulah yang kutanyakan.

Perempuan: Kau tak tahu? Lelaki : Tidak.

Perempuan: Akupun tidak.

Keduanya lalu berdiam diri sambil terus merokok. Tiba-tiba perempuan itu berkata lagi.

Perempuan: Biasanya lelaki yang memulai.

Lelaki : Malam ini aku tak tahu apa-apa.

Perempuan: Mengapa ?

Lelaki : Sebab aku berpikir.

Perempuan: Aneh. --- Berpikir memang sulit. Tetapi kita akan menunggu

samapi hal itu

reda. Malam akan panjang. Kita tak usah tergesa-gesa, bukan ?

Lelaki : Ya. --- Siapa namamu ?

Perempuan: (Malah Bertanya) Siapa namamu ?

Lelaki : Djoko.--- He, kau sendiri belum menjawab, siapa namamu ?

Perempuan: Sebaiknya hal itu tak usah kau tanyakan. Apa gunanya kau

ketahui sekarang,

lalu akan kau lupakan besok pagi ?

Djoko : Apakah namamu samahal itu benar untuk didengar ?

Perempuan: Namaku Sri.

Djoko : Sri, Parasmu manis.

Sri : Lalu?

Djoko : Tsubuhmu baik.

Sri : Lalu?

Djoko : Aku tak keberatan menghabiskan malam ini bersamamu.

Sri : Kapan kita mulai?

Djoko : Mengapa tergesa-gesa? Bukankah malam masih panjang?

Sri : Ya, betul. --- Kau masih berpikir, bukan?

Djoko :Saya selalu berpikir.

Sri : Berpikir memang berat, Tetapi teruskanlah.

Djoko : ada kini yang ingin kuketahui dari kau.

Sri : Cerita? Tentang apa ?

Djoko : Tentang dirimu, umpamanya . --- Tentang dirimu dan sejarahmu.

Sri : (tertawa kecil) Apakah aku akan kau ambil istri ?

(4)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

Sri : Ah, kau mesti anak manja. Apakah lebih baik saya ceritakan dongeng kancil

saja? Djoko :Ah, Kau.

Lalu keduanya tertawa-tawa. Dari kanan muncullah penjual wedang kacang sambil menjajankan jualannya.

Penjual : Wedang kacang! Wedang kacang!

Kemudian penjual itu berhenti di tepi jalan, lalu mengatur

pikulannya dan memasang bangku panjang disisi pikulannya. Ia sendiri duduk pada sebuah bangku kecil. Sesudah itu ia berkata pada Djoko dan Sri.

Penjual : Wedang Kacang, den ?

Djoko : (kepada sri) Kau suka ?

Sri : Tentu saja.

Djoko : (kepada penjual) Ya, wedang kacang dua!

Keduannya lalu duduk dibangku panjang. Sambil menantikan si Penjual mengatur pelayanannya. Dari jauh terdengar lebih keras suara harmonika melagukan La paloma. Djoko bertanya kepada penjual itu.

Djoko : Siapa berlagu di tengah malam ini ?

Penjual : Seorang pemuda. Ia gila. Selalu saja menyeru bapaknya. Ada seorang yang

mengaku bapaknya. Tetapi pemuda itu tidak percaya. Sri : Ibunya dulu menjalang. Ia teman saya. Tetapi sekarang sudah meninggal.

Djoko : Kau tahu ceritanya, sri?

Sri : Ah, terlalu panjang.

Djoko : Biarlah, ceritakan!

Sri : Lain kali saja. Tidak malam ini.

Djoko : O, Mengapa?

Sri : Sebab saya tak suka.

Djoko : Ah, kau!

Kemudian diam. Keduanya terus minum wedang kacang, sesendok demi sesendok. Sementara itu datanglah seorang lelaki dari sebelah kiri, yang amat ringan langkahnya. Parasnya lucu dan tampak tersenyum. Ia memakai topi yang lucu bentuknya. Begitu ia duduk, begitu ia membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang berirama riang.

Orang itu : (Kepada Penjual) Wedang kacang satu!

Penjual itupun melayaninya. Sementara itu ia menyapa Djoko dan Sri.

Orang itu : Hallo, apa kabar?

(5)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

Orang itu : Malam indah, Bukan?

Djoko : Ya. --- He, baiknya kita berkenalan saja. (lalu ia mengulurkan tangannya

pada orang itu). Djoko!

Orang itu menjabat tanggan Djoko dengan ramahnya, tetapi ia tidak menyebutkan namanya sendiri. Sri pun berbuat seperti Djoko, menjabat tangan orang itu.

Sri : (sambil berjabatan tangan). Sri!

Kembali orang itu setelah berjabat tangan dengan sri tiada juga menyebutkan namanya. Maka, Djoko lalu bertanya kepadanya.

Djoko : Siapa nama saudara?

Orang itu : Ah, nama saya kurang menarik.

Djoko : Kurang menarik?

Orang itu : Saudara akan menjadi jengkel kalau mendengar namaku.

Djoko : Jadi siapa nama saudara ?

Orang itu : Panggil saja aku Botak! Aku terkenal dengan nama itu.

Djoko : Botak?

Orang itu : Ya, Botak (Orang itu membuka topinya yang layu itu). Lihat kepalaku!

Botak bukan? Nah karena itu aku dipanggil botak, jadi jangan khawatir hal itu akan menyakiti hatiku.

Sri : Djoko selalu tertarik kepada soal nama. Tadi waktu kami mula-mula

berjumpa ia juga sangat ingin tahu namaku. Djoko : Apakah itu suatu kebiasaan yang buruk?

Ketiganya tertawa terbahak-bahak. Tetapi penjual wedang kacang itu tidak tertawa. Ia asyik menggulung rokok daun nipah.

Botak : Apa nama daerah ini?

Djoko : Jalan Puspa! --- Kau belum tahu?

Botak : Belum. --- Aku orang asing di sini. Aku datang dari lain kota. Tiba-tiba dari sebelah kiri terdengar keributan. Seorang lelaki

bertengkar dengan seorang perempuan. Lelaki itu muncul dari sebelah kiri dengan diiringi oleh seorang perempuan yang menangis.

Perempuan: Kau tadi berjanji akan memberi Rp.10, mengapa sekarang

hanya memberi

Rp.5? kau penipu! Lelaki : Tutup mulut!

Perempuan: Aku akan tambah berteriak! Kau penipu!

Lelaki itu berhenti sebentar, merogoh sakunya lalu melemparkan ringgitan kepada perempuan itu sambil membentak.

(6)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

Perempuan: Kurang. Ini kurang!

Tiba-tiba laki-laki itu jadi gemas. Pipi perempuan itu ditamparnya. Lalu sambil memaki meninggalkannya pergi.

Lelaki : Kau lebih tua dari yang kusangka. Engkau lebih penipu lagi!

Sesudah itu laki-laki itu lenyap ke sebelah kanan. Perempuan itu menagis tersedu-sedu.

Perempuan: Ia kata aku sudah tua! Oo! Ia kata aku sudah tua! Oo! Ia

kata aku sudah tua!

Melihat kejadian itu, botak bangkit dari duduknya, menghampiri perempuan itu.

Botak : Diamlah! --- Mari duduk bersama saya. --- Sudahlah jangan

menangis.

---Engkau mau minum wedang kacang?

Perempuan itu tidak menjawab tapi kembali meraung.

Perempuan : Ia kata aku sudah tua! Oo! aku sudah tua! aku sudah tua!

Mendengar ini Botak jadi kehilangan akal. Ia menggagapi kantong baju dua-duanya, lalu kantong celanan dua-duanya, lalu kantong celana yang dibelakang, dan akhirnya menjumpai sehelai uang kertas, yang lalu diberikan pada perempuan itu.

Botak : Terimalah ini! --- Cukup. Jangan menangis lagi!

Perempuan itu mau menerima uang yang diberikan kepadanya, tetapi tidak mau menghentikan tangisnya, sambil pergi ia masih meraung-raung juga.

Perempuan : Oo! aku sudah tua! Oo! aku perempuan tua!

Dengan kelakuan yang menyedihkan, akhirnya perempuan itu lenyao ke sebelah kiri. Dari jauh masih terdengar raungannya : “Oo! aku sudah tua! Oo! aku sudah tua!” tetapi lama kelamaan ranugan itu lenyap juga.

Botak : Daerah ini tak begitu romantis sebenarnya, bukan? Djoko : Dahsyat sebenarnya.

Sri : Aku termasuk salah satu dari pada mereka. Djoko : Aku terharu, Sri.

Sri : Sebetulnya kami minta lebih dari keterharuan itu. --- Aku tak

ingin berakhir

seperti dia! Djoko : Siapa namanya?

(7)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

Sri : Iyeng. Djoko : Iyeng? Sri : Iya, Iyeng.

Djoko : Namanya lebih muda dari orangnya.

Sri : Jangan kita perbincangkan lagi hal umur! --- Aku tak mau

berakhir seperti

dia!

Botak : Mengapa engkau menjadi seperti sekarang ini?

Sri : Aku tak berayah ibu lagi. Ibuku mati karena terkejut oleh

bom yang

pertama-tama jatuh di desaku, dijaman revolusi. Ayahku disembelih Belanda. Rumahku dibakar sendiri oleh rakyat, --- dibumihangus, kata mereka. ( Selama bercerita itu suaranya datar saja). Kemudian aku mengungsi. Waktu itu aku masih gadis muda. Mula-mula kalau lapar, aku mencuri. Tetapi kemudian banyak tentara-tentara muda yang berbaik hati kepadaku. --- Selebihnya kalian bisa menggambarkan sendiri. --- Mulai saat itu aku menjadi manusia tingkatan rendah. Aku tak bisa membantah kemauan orang banyak. Jadi dengan begitu aku tetap tinggal di lapisan bawah dan tak bisa naik keatas lagi. Aku sangat iri hati melihat wanita-wanita yang mendapat kesempatan betata susila. Sebegitu iri hati, hingga terkadang aku malah jadi membeci tata susila itu.

Djoko : Jangan berkata begitu!

Sri : Mengapa tidak? --- Ada seorang temanku wanita

keadaannya juga seperti

aku. Tetapi ia cerdik lagi. Ia dapat menabung uang dan mendirikan sebuah toko yang diurusnya sendiri.

Djoko : Siapa nama wanita itu ? Sri : Netty!

Djoko : Netty?

Sri : Ya! --- Meskipun Netty sudah bermaksud kembali ke jalan

yang baik,

setelah punya toko itu, tatpi orang banyak tak bisa menerimanya. Tetangganya masih selalu membencinya sebagai seorang pelacur. Akhirnya Netty jadi mata gelap. Tokonya ditutup, lalu mendirikan rumah penginapan kotor. --- Netty membutuhkan kepercayaan, tetapi orang banyak tidak mau memberikannya.

Mereka lalu berdiam diri. Dari jauh arah sebelah kanan terdengar teriak seorang anak lelaki :

“ Pak! Bapak! Dimanakah kau? Kepalaku sakit, pak!” Suara itu kemudian mati pula. Djoko bertanya kepada sri.

Djoko : Siapakah itu?

Sri : Pemuda gila yang mencari ayahnya tadi.

(8)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

Sesudah itu mereka berdiam diri lagi. Jauh mendatang dari sebelah kanan, terdengar suara harmonika La Paloma. Kemudian dari sebelah kiri terdengar serak, suara seorang lelaki mengucapkan sajak.

Sekali lagi kuisi piala

Kureguk sekering-keringnya

Lalu menyanyi hingga bulan menyerak cahaya Menerang kelam dilangit mega

Jika tiada bisa lagi bernyanyi Kembali tidur, tidurlah lagi Peduli apa musim cuaca

Biar kumabuk, semabuk-mabuknya.

Ketika mengucapkan baris yang penghabisan itu, orang yang bersuara serak itu muncul dengan terhoyong-hoyong sedikit. Di tanggan tergenggam sebuah botol minuman keras. Ketika ia melihat Sri dan orang-orang itu, segera ia menghampiri mereka. Dan mulai mengacau mereka dengan tingkah lakunya yang kegila-gilaan.

Orang itu : Hallo, Sri. --- Belum dapat teman? (Lalu ia menghapiri

Botak) Ha, manusia kau teman Sri, bukan? Kau dengar bagaimana aku mengucapkan sajak tadi?

Botak : (dingin) Ya!

Orang itu : Li Tai Po yang membikinnya. Botak : Aku tahu.

Orang itu : Suatu hal yang hebat. Mungkin kau senansib dengan saya.

Kau menyukainya?

Botak : Sajak itu menarik. Tetapi saya tidak menyukainya. Orang itu : Mengapa?

Botak : pernah juga aku seperti halmu, tetapi aku sudah dapat

mengatasinya. Aku tak mau mabuk lagi sekarang. Sebab itulah aku tak suka sajak itu.

Orang itu : Jadi engkau orang kuat kalau begitu. Tetapi aku lain halnya.

(lalu ia mengulangi mengucapkan sabagian dari sajak itu) Jika tiada bisa lagi bernyanyi

Kembali tidur, tidurlah lagi Peduli apa musim cuaca

Biar kumabuk, semabuk-mabuknya.

(lalu dihiruonya minuman kereas dari botolnya, setelah itu ia tertawa keras- keras) hahaha, sajak itu tepat untuk saya. Bukankah tepat bagi kepongahan orang berduka? Haha! Aku berharap pengarang itu hidup lagi di dunia ini dan akan saya ajak bersama-sama menghabiskan minuman ini.

Botak : Duka citamu berat, kawan?

Orang itu : Tidak tertahan lagi. (kemudian ia bertanya kepada Djoko)

He, manusia, kau dengar lagu itu ?

Dalam pada itu masih terdengar lagu harmonika La Paloma, Djoko termenung sebentar lalu menjawab.

(9)

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

TEATER SEMUT

Djoko : Ya! Kau kenal yang melagukannya ? Orang itu : Ia anakku.

Djoko : Apa ? Anakmu? Tetapi Pemuda

itu---Orang itu : Rupanya kau pun juga telash mendengar cerita mereka. ---

Benar, ia gila. Kalau bukan ia yang gila, akulah yang gila. Ia tak tahu bahwa aku bapaknya.

Referensi

Dokumen terkait