• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN RISIKO DAN PERENCANAAN PROGRAM INSPEKSI PADA PRESSURE VESSEL DENGAN MENGGUNAKAN METODE RISK BASED INSPECTION (RBI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENILAIAN RISIKO DAN PERENCANAAN PROGRAM INSPEKSI PADA PRESSURE VESSEL DENGAN MENGGUNAKAN METODE RISK BASED INSPECTION (RBI)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN RISIKO DAN PERENCANAAN PROGRAM INSPEKSI PADA PRESSURE VESSEL DENGAN

MENGGUNAKAN METODE RISK BASED INSPECTION (RBI)

Intan Karismwati*, Ir.Dwi Priyanta, M.SE**, Raja Oloan Saut Gurning S.T, M.Sc, Ph.D.***

Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, Sepuluh Nopember Institute of Technology *email : [email protected]

**email : [email protected] ***email : [email protected]

ABSTRACT

Based on Government Regulation No. 17 of 1974 on the Implementation Monitoring Exploration and Exploitation of Oil and Gas In Offshore Regional Chapter I of Article 10 requires the government to safeguard workers and the environment from workplace hazards that may arise in case of an accident. Risk Based Inspection (RBI) is one method of decision making to do the inspection. RBI provide an analysis of the damage mechanisms in an integrated manner to give the idea of a more effective and efficient inspection. Probability of failure is determined by analyzing the thinning damage mechanism, while the consequence of failure is determined by the size of the affected area. Pressure vessel inspection program is related to the type of inspection and the inspection interval. RBI inspection interval is determined by the remaining life and inspection time limits based on API RP 510 Pressure Vessel Inspection. This study analyzes the risk level of the pressure vessel which are LP Separator, Glycol Contactor, and the Scrubber Glycol. The risk level will be the basis for decision-making in determining inspection program and evaluating cost. Parts of the pressure vessel which analyzed are shell and head. As a result, the risk level for all pressure vessel is low risk (acceptable). Moreover, life remaining of the LP Separator shell is 13 years while the head was 10 years old, the Glycol Contactor shell for 143 years while the head is 114 years old, and the Glycol Scrubber shell is 307 years old while the head is 107 years old. Based on the maximum limit, all the pressure vessel has inspection interval of 10-years for internal inspections and on-stream inspections, while the external inspection interval is 5 years. Scenario cost analysis with a term of 15 years prove that the inspection cost with the variable of man-power and man-hours using RBI is more efficient than SKPP. The company will save 18 years of hours power money equivalent and 88 man-hours money equivalent when using the RBI inspection.

KEY WORDS: Risk, Program Inspection, Pressure Vessel, Risk Based Inspection (RBI).

PENDAHULUAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor: 17 tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi Di Daerah Lepas Pantai bab I pasal 10 kewajiban-kewajiban pengusaha melindungi para pekerja serta lingkungan dari bahaya kerja yang mungkin timbul dan melakukan tindakan penyelamatan dan pengamanan yang sebaik-baiknya apabila terjadi kecelakaan. Mengacu pada peraturan tersebut, Badan Usaha harus menjamin keselamatan kerja dan kesehatan kerja. Berdasarkan hal tersebut, Badan Usaha harus mencegah terjadinya kecelakaan dengan menjaga kondisi peralatan tidak mengalami kerusakan. Preventive maintenance merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mencegah hal tersebut. Namun dengan preventive maintenance yang masih konvensional dimana inspeksi yang dilakukan masih berdasarkan condition monitorinng, masih bersifat statis dan tidak

dinamis maka akan banyak mengeluarkan biaya untuk hal-hal yang mungkin belum tentu dilakukan inspeksi atau pun penggantian. Risk Based Inspection (RBI) merupakan salah satu alat pengambilan keputusan untuk melakukan inspeksi. Alat pengambilan keputusan ini berdasarkan analisa risiko yaitu mengenai analisa besarnya kemungkinan munculnya suatu kegagalan dan besarnya efek risiko yang muncul akibat kegagalan tersebut.

RBI diharapkan dapat memberikan analisa damage mechanism secara terpusat sehingga dapat diketahui akibat lebih lanjut yang harus diwaspadai dan dicegah, serta memberikan gagasan inspeksi yang lebih efektif dan efesien. RBI memungkinkan untuk merevisi jadwal dan interval inspeksi sehingga lebih efesien sesuai dengan kebutuhan dan tentunya hal ini akan lebih menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk inspeksi (Zaidun, 2010).

TINJAUAN PUSTAKA

RISIKO

Gambar 1 Gambaran konsep risiko (Sumber: Priyanta, 2012)

Konsep risiko secara utuh dapat dilihat dari Gambar 2.1. Risiko akan terjadi apabila source of risk bertemu dengan cause of risk. Dimana source of risk bersifat inherent atau berasal dari dalam sistem sedangkan cause of risk dan seberapa sering itu terjadi (probability) merupakan penyebab yang dapat membuat risiko itu terjadi dan berasal dari luar sistem. Sehingga apabila source of risk bertemu dengan cause of risk maka risiko itu akan terjadi. Apabila risiko telah terjadi maka akan timbul konsekuensi dimana konsekuensi merupakan dampak setelah risiko itu terjadi (Priyanta, 2012).

ANALISA RISIKO

Analisa risiko terdiri atas tiga komponen utama, yaitu risk assessment, risk management, dan risk communication. Risk assessment merupakan penilaian terhadap risiko suatu sistem atau komponen sehingga bila terjadi hal-hal yang memungkinkan terjadinya bahaya, dapat segera dilakukan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan atau biasa dikenal tindakan mitigasi termasuk

Source of Risk

Cause of Risk

LIKELIHOOD

(2)

dalam risk management. Setelah sistem atau komponen yang berisiko diatur sedemikian rupa sehingga mencegah suatu bahaya terjadi, tindakan penilaian risiko serta penanganan wajib disampaikan kepada pihak-pihak terkait seperti staf, pekerja, maupun penduduk sekitar. Tindakan tersebut dinamakan risk communication.

Model tersebut dibatasi dengan peraturan nasional dan internasional yang menyatakan bahwa risk assessment dan risk management merupakan dua pokok bahasan dengan proses yang berbeda. Pemisahan antara risk assessment dan risk management sangat penting untuk membedakan dengan jelas evaluasi dari risiko tersebut berdasarkan bukti ilmiah dari penilaian terhadap konteks yang lebih luas dan menentukan tindakan yang sesuai dengan kondisi tersebut. Namun, diakui bahwa risk analysis merupakan suatu proses berulang-ulang dan interaksi antara risk assessment dan risk management sangatlah penting untuk aplikasi praktis di lapangan. PENILAIAN RISIKO

Proses penilaian terhadap risiko dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh kemungkinan buruk yang mungkin dapat membahayakan kesehatan manusia, lingkungan, proses produksi, maupun peralatan karena aktivitas manusia dan teknologi.

Langkah awal dari risk assessment adalah identifikasi bahaya dan dampak dari bahaya tersebut. Siapa saja atau apa saja yang akan terkena dampak dari bahaya tersebut. Langkah berikutnya adalah menentukan frekuensi kejadian atau kemungkinan terjadinya bahaya tersebut. Seberapa sering kejadian tersebut dapat terjadi, karena risiko adalah kombinasi dari consequence dan probability.

Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian risiko adalah metode kuantitatif dan metode kualitatif atau metode semi kuantitatif. Pada metode kuantitatif, pendekatan yang dilakukan lebih kepada pendekatan nilai (angka). Sedangkan pada metode semi kuantitatif pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pada metode ini, data sangat berperan dalam mengevaluasi damage mechanism dan model statistik digunakan untuk mengevaluasi probabilitas kegagalan. Hasil penilaian risiko digambarkan dengan risk matriks (Santos, 2008). RISK BASED INSPECTION (RBI)

RBI merupakan metode yang sering digunakan di dalam dunia industri untuk menganalisa risiko berdasarkan inspeksi dari peralatan seperti pressure vessel, piping dan tankage. Karena metode ini menggunakan metode semi kuantitatif dan semi kualitatif yang hasilnya lebih akurat dari pada menggunakan metode yang lain. Sehingga metode RBI ini sangat cocok digunakan dalam melakukan penilaian terhadap integritas dari peralatan.

Perhitungan risiko dalam metode Risk Based Inspection (RBI) melibatkan penentuan probality of failure dikombinasikan dengan consequence of failure. Failure dalam API RBI didefinisikan sebagai hilangnya hilangnya penahanan dari batas tekanan yang mengakibatkan kebocoran ke atmosfer atau pecahnya komponen bertekanan. Seperti kerusakan terakumulasi dalam komponen bertekanan selama dalam proses operasi sehingga meningkatkan risiko kegagalan. Tindakan inspeksi itu sendiri tidak mengurangi risiko akan tetapi dapat mengurangi ketidakpastian adanya kerusakan sehingga memungkinkan lebih baik dalam penentuan dari kerusakan yang dapat muncul dalam komponen tersebut.

Dalam konsep API RBI probability of failure dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini

MS f f

t

gff

D

t

F

P

(

)

=

.

(

).

(1) Dimana:

Pf (t) : product of a generic failure frequency

gff : damage factor

Df (t) : management systems factor

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa ada 3 penyebab yang dapat mempengaruhi probability of failure yaitu generic failure frequency, damage factor, dan management systems factor.

Penelitian ini menganalisa pressure vessel yang menggunakan Consequence of Area API 581 RBI. Oleh karena itu, tabel kategori yang digunakan adalah Tabel 4.1 pada API RBI dan langkah – langkah pengerjaan yaitu sebagai berikut ini:

1. Mengidentifikasi damage mechanism melalui riwayat maintenance maupun menggunakan pertanyaan – pertanyaan penyaringan kriteria damage mechanism.

2. Menentukan damage mechanism yang berpengaruh terhadap pressure vessel tersebut dari hasil screening apabila semua jawaban pada pertanyaan tersebut “Ya”.

3. Menghitung nilai probability dengan menggunakan nilai Df total atau damage factor total.

4. Df total dapat dihitung dengan menggunakan tahapan – tahapan perhitungan dalam API RBI 581.

PERHITUNGAN PROBABILITY: Thinning Damage Factor Efektifitas Inspeksi

Inspeksi yang diurutkan tingkatannya berdasarkan efektifitas dugaan saat mendeteksi thinning dan akurat memprediksikan laju dari korosi thinning. Efektifitas inspeksi ini bergantung pada karakteristikjenis korosinya yaitu apakah berupa general atau localized. Inspeksi kategori ditentukan dengan cara mengetahui contoh jenis atau teknik inspeki yang diterapkan pada proses inspeksi baik berupa teknik intrusive maupun teknik nonintrusive. Sehingga dapat diketahui seberapa efektif inspeksi yang dilakukan pada pressure vessels tersebut.

Usia Inspeksi

Menghitung usia atau waktu sejak terakhir inspeksi sampai inspeksi saat ini. Usia inspeksi ini dibutuhkan untuk membantu dalam menghitung laju korosi yang terjadi pada pressure vessels. Cara menghitung usia (age) dengan menggunakan persamaan berikut ini: 𝑎𝑔𝑒 = 𝑐𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑖𝑛𝑠𝑝𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑒 − 𝑝𝑟𝑒𝑣𝑖𝑜𝑢𝑠 𝑖𝑛𝑠𝑝𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑒 (2) Laju Korosi

Corrosion rate merupakan laju korosi pada damage mechanism tersebut. Laju korosi ini mempunyai dua bagian yaitu:

1. Laju korosi untuk base metal

Untuk dapat menghitung corrosion rate ini melalui persamaan di bawah ini:

𝐶𝑜𝑟𝑟𝑜𝑠𝑖𝑜𝑛 𝑟𝑎𝑡𝑒 = 𝑡𝑝𝑟𝑒𝑣𝑖𝑜𝑢𝑠−𝑡𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙

𝑡𝑖𝑚𝑒 𝑏𝑒𝑡𝑤𝑒𝑒𝑛 𝑡𝑝𝑟𝑒𝑣𝑖𝑜𝑢𝑠 𝑎𝑛𝑑 𝑡𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 (𝑦𝑒𝑎𝑟𝑠) (3)

Dimana:

𝑡𝑝𝑟𝑒𝑣𝑖𝑜𝑢𝑠= ketebalan pada inspeksi sebelumnya, inch.

𝑡𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 = ketebalan pada inspeksi saat ini, inch

Corrosion rate = laju korosi, inch/years

Laju korosi ini berfungsi untuk menentukan remaining life dari suatu pressure vessel.

2. Laju korosi untuk pelapisan atau biasanya disebut cladding.

Karena pressure vessel tersebut tidak mempunyai cladding maka tidak perlu untuk menghitung laju korosi ini.

Minimum Required Wallthickness(tmin)

Minimum required wall thickness (tmin) untuk pressure vessel

menggunakan Code ASME VIII Divisi I. Untuk bagian pressure vessel shell dan head mempunyai persamaan sendiri untuk menghitung ketebalan minimumnya.

(3)

a. Shell

1. Circumferential Stress (Longitudinal Joint)

Ketebalan minimum pada daerah sambungan membujur memiliki ketegangan secara melingkar. Kalkulasi ketebalan minimum berdasarkan ketegangan secara melingkar adalah persamaan berikut ini:

𝑡1=𝑆.𝐸−0,6.𝑃𝑃.𝑅 + 𝐶𝐴 (4)

2. Longitudinal Stress (Circumferential Joint)

Ketebalan minimum pada daerah sambungan melingkar memiliki ketegangan secara membujur. Kalkulasi ketebalan minimum berdasarkan ketegangan secara membujur adalah persamaan berikut ini:

𝑡2=2.𝑆.𝐸+0,4.𝑃𝑃.𝑅 + 𝐶𝐴 (5)

3. Minimum requirement wall thickness(tmin)

Ketebalan minimum (tmin) diambil ketebalan paling kecil

dari salah satu perhitungan ketebalan minimum di atas.

b. Head

Ketebalan minimum untuk head berdasarkan ASME VIII Divisi I, perhitungannya mengikuti persamaan berikut ini:

𝑡 =2.𝑆.𝐸−0,2.𝑃𝑃.𝐷 + 𝐶𝐴 (6)

Perlu dilakukan pengecekan kembali dengan menggunakan persamaan 7. Apabila ketebalan actual atau tekanannya sesuai dengan persamaan di atas maka dapat diambil ketebalan minimum untuk perhitungan ini.

𝑡𝑎𝑐𝑡< 0,5. R atau P < 0,385. 𝑆. 𝐸 (7)

Dimana;

t1 = ketebalan minimum pada circumferential stress, inc

t2 = ketebalan minimum pada longitudinal stress, inch

t = ketebalan minimum, inc tact = ketebalan saat ini, inc

P = design pressure (MAWP), psig D = inside diameter, inch

R = inside radius, inch

S = allowable stress in material, psig E = weld joint coefficient

CA = corrosion allowance, inch Parameter Faktor Kerusakan

Parameter faktor kerusakan berfungsi dalam menentukan faktor kerusakan thinning. Persamaan berikut ini merupakan persamaan untuk komponen tanpa cladding atau pelapisan.

𝐴𝑟𝑡= 𝑚𝑎𝑥 ��1 −𝑡𝑟𝑑−𝐶𝑡 𝑟,𝑏𝑚∙𝑎𝑔𝑒

𝑚𝑖𝑛+𝐶𝐴 � , 0� (8)

Dimana:

Art = parameter faktor kerusakan

trd = ketebalan yang dibaca saat inspeksi saat ini, inc

Cr,bm = corrosion rate base metal, inc/years

age = usia antara inspeksi sekarang dengan sebelumnya, years tmin = ketebalan minimum / minimum requirement wallthickness,

inc.

CA = corrosion allowance, inc.

Dalam penelitian ini, pressure vessels tidak memiliki cladding atau pelapisan sehingga menggunakan persamaan seperti yang di atas. Faktor Kerusakan Thinning

Faktor kerusakan untuk thinning dapat ditentukan dengan menggunakan parameter berikut ini dalam penentuan faktor kerusakan thinning tersebut:

1. Jumlah inspeksi 2. Kategori inspeksi

3. Parameter faktor kerusakan. Faktor – Faktor Tambahan

Dalam perhitungan probability berdasarkan thinning damage factor membutuhkan faktor – faktor tambahan. Faktor – faktor tambahannya antara lain berikut ini:

1. Injection point/mix point (FIP)

Faktor tambahan injeksi atau titik campuran ini didefinisikan sebagai titik campuran dimana senyawa kimia (termasuk air) ditambahkan ke dalam aliran utama. Titik campuran korosif didefinisikan sebagai campuran antara gas dengan aliran liquid dimana penguapan liquid dapat terjadi dalam aliran, air muncul dalam masing – masing aliran, atau temperatur aliran campuran berada di bawah titik cair air aliran kombinasi.

• Jika sirkuit pipa berisi injeksi atau titik campuran maka faktor tambahan injection point(FIP) = 3.

Jika efektifitas inspeksinya adalah highly effective inspection khususnya untuk korosi injection/mix point dengan sirkuit injection point (berdasarkan API 570) dilakukan maka faktor tambahan injection point(FIP) = 1

2. Dead Legs (FDL)

Faktor tambahan dead legs didefinisikan sebagai sebuah bagian dari pipa atau jalur pipa yang hanya digunakan kadang-kadang beroperasi misalnya saja saat start up, shutdown, atau regeneration cycle daripada operasi secara terus menerus. Apabila jalur pipa terdapat sebuah deadlegs maka faktor

tambahan deadlegs (FDL) = 3.

Jika efektifitas inspeksinya adalah highly effective inspection digunakan untuk menunjukkan potensial korosi localized pada deadlegs maka faktor tambahan yang tidak biasa atau deadlegs (FDL) = 1.

3. Welded Construction (FWD)

Faktor tambahan konstruksi pengelasan hanya dapat diaplikasikan untuk atmospheric storage tank.

• Apabila komponen dilas (tidak terpaku) maka faktor tambahan konstruksi pengelasan FWD=1.

• Sebaliknya apabila komponen tidak dilas (terpaku) maka faktor tambahan konstruksi pengelasan FWD=10.

4. Tank Maintenance per API 653 (FAM)

Faktor maintenance berhubungan dengan API 653, hanya dapat diaplikasikan untuk atmospheric storage tank.

• Apabila tanki dirawat sesuai dengan API 653 maka faktor tambahan maintenance tank FAM =1.

• Sebaliknya apabila tanki tidak dirawat sesuai dengan API 653 maka faktor tambahan maintenance tank FAM =5.

5. Settlement (FSM)

Faktor tambahan settlement ini hanya dapat diaplikasikan untuk atmospheric storage tank bottom. Ditentukan oleh beberapa criteria seperti berikut ini:

Recorded settlement exceeds API 653- FSM = 2

Recorded settlement meets API 653- FSM = 1

Settlement never evaluated- FSM =1,5

Concrete foundation , no settlement- FSM =1

6. Online Monitoring (FOM)

Faktor tambahan on-line monitoring, on-line monitoring korosi (atau key process variable affecting corrosion) biasanya digunakan dalam banyak proses untuk mencegah terjadinya kegagalan akibat korosi. Keuntungan on-line monitoring adalah dapat mengetahui atau mendeteksi lebih awal perubahan laju korosi daripada menggunakan inspeksi berkala yang biasanya. Pendeteksian lebih awal ini sangat diijinkan untuk dilakukan karena seharusnya dapat menurunkan peluang terjadinya kegagalan (probability of failure). Jenis – jenis metode yang digunakan dalam pemeriksaan korosi contohnya adalah corrosion coupons dan monitoring of key process variables. Apabila menggunakan on-line monitoring seharusnya mempunyai kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk dapat memprediksikan laju korosi thinning secara tepat. Akan tetapi, metode – metode pada on-line monitoring mempunyai tingkat kesuksesan atau lebih efektif penggunaan jenis on-line monitoring apabila sesuai dengan jenis spesifik thinning mecahnismnya.

Menentukan on-line monitoring melalui tabel pada API 581.

(4)

Apabila tidak menggunakan on-line monitoring maka faktor tambahan on-line monitoring(FOM)=1.

Damage Factor Thinning Total

Menentukan faktor kerusakan thinning total yang terjadi pada pressure vessel tersebut adalah dengan menggunakan persamaan berikut ini: 𝐷𝑓𝑡ℎ𝑖𝑛=𝐷𝑓𝐵 𝑡ℎ𝑖𝑛∙𝐹 𝐼𝑃∙𝐹𝐷𝐿∙𝐹𝑊𝐷∙𝐹𝐴𝑀∙𝐹𝑆𝑀 𝐹𝑂𝑀 (9) PERHITUNGAN CONSEQUENCE

Konsekuensi dalam penilaian API RBI digunakan untuk membantu dalam membuat ranking equipment berdasarkan risiko dan juga untuk menetapkan prioritas untuk program inspeksi. Metode analisa konsekuensi yang tersedia ada 2 yaitu level 1 dan level 2. Analisa konsekuensi level 1 dimaksudkan untuk menjadi metode workbook yang sederhana terbatas untuk sejumlah fluida. Sedangkan analisa konsekuensi level 2 dimaksudkan untuk lebih spesifik jenis fluida yang lebih berbahaya lainnya selain pada fluida yang ada pada analisa konsekuensi level 1.

Untuk dapat menentukan kategori konsekuensi yang akan digunakan adalah dengan cara menganalisa bahaya dari produk yang ada di dalam pressure vessel tersebut. Identifikasi bahaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Produk dan Modeling Konsekuensi No Produk dan Karakteristik

Hazard Hazard Nature Dominant Hazard Model 1. Flammable gas (methane,etc) Thermal

Jet fire, thermal radiation 2. Flammable liquid (gasoline,

etc) Thermal and contaminant Pool fire, contaminant 3.

Highly Volatile Liquids (propane, butane, ethylen, etc)

Thermal and blast

Vapor Cloud, jet fire,

overpressure (blast) event 4. Relatively nonflamable

liquid (diesel, fuel oil, etc) Contaminant Contaminant 5. Toxic gas (chlorine, H2S,

etc) Toxicity Vapor Cloud

(Sumber : Muhlbauer,2004)

Berdasarkan Tabel 1 kategori konsekuensi dianalisa dengan teknik yang berbeda, yakni berdasarkan hal berikut ini:

• Flammable and explosive consequence

Dilakukan perhitungan dengan menggunakan event tree analysis untuk menentukan kemungkinan terjadinya berbagai kegagalan baik pool fires, flash fires, vapor cloud explosion. Konsekuensi area ditentukan berdasarkan kecelakaan pada personil dan kerusakan komponen akibat radiasi suhu dan ledakan. Kerugian finansial juga ditentukan berdasarkan area yang terkena dampak keluaran fluida tersebut.

• Toxic consequence

Dilakukan perhitungan dengan menggunakan modelling untuk menentukan besarnya area konsekuensi sebagai hasil dari luasan area vapor cloud yang mengandung konsentrasi beracun yang terlepas keluar ke personil dan ke lingkungan.

• Non-flammable, non toxic releases

Konsekuensi ini dipertimbangkan karena dapat menyebabkan luka parah terhadap personil maupun dapat merusak komponen dari percikan bahan kimia dan pembakaran uap dengan suhu yang tinggi serta ledakan dan BLEVEs.

Hazard model pada API RBI 581 dapat berupa pool fires, flash fire, fireballs, jet fires, dan vapor cloud explosion tergantung dari radiasi suhu dan tekanan berlebih yang terjadi pada peralatan dan pekerja. Event tree juga digunakan untuk menentukan kemungkinan

terjadinya tiap variasi outcomes sebagai hasil dari keluarnya suatu fluida ke atmosfir.

Terdapat 3 kemungkinan yang tergambar pada event tree analisa keluaran gas pada Gambar 2 yaitu: tidak terjadi pembakaran, pembakaran langsung (early atau immediate ignition), dan pembakaran yang tertunda (late atau delayed ignition). Secara umum, variasi outcomes tergantung pada jenis keluaran, continuous atau instantaneous, dan material itu sendiri. Kemungkinan pembakaran ditemukan sebagai fungsi dari parameter fluida, di antaranya:

a) Auto Ignition Temperature (AIT) b) Flash temperature

c) NFPA Flammability Index

d) Flammability Range (perbedaan antara lebih tinggi atau rendah batas tingkat mudah terbakarnya suatu fluida)

Hazard model untuk gas adalah vapor cloud explosion (VCE), flash fire, fireballs dan jet fires pada Gambar 2 akan dijelaskan seperti berikut ini (HSP Academy, 2012):

1. Vapor Cloud Explosion (VCE) merupakan salah satu jenis ledakan yang bahan bakarnya berasal dari "Awan" Gas Hidrokarbon yang terdirpersi/tersebar dan bercampur dengan oksigen di area terbuka (mungkin juga di dalam bangunan/ruang tertutup). VCE ini akan terjadi apabila sejumlah gas hidrokarbon yang terlepas ke udara dan tidak segera terbakar maka akan membentuk awan. Kemudian awan tersebut tersulut oleh sumber panas dan terbakar dengan sangat cepat biasanya berlangsung dalam waktu singkat. Jenis api ini akan mengeluarkan energi panas tinggi yang mencapai 0,1 – 0,3 psi sehingga dapat menghanguskan benda atau orang yang berada di dekatnya. 2. Flash Fire

Jika pelepasan gas yang mudah terbakar tidak dinyalakan segera maka kepulan uap akan terbentuk. Hal ini akan melayang dan tersebar oleh angin lingkungan atau ventilasi alami. Jika gas dinyalakan pada saat ini, tetapi tidak meledak maka akan menimbulkan kebakaran flash, dimana seluruh vapor cloud membakar dengan sangat cepat. Flash fire tidak sampai mengakibatkan fatality atau kematian namun dapat merusak struktur baja.

3. Fireball

Biasanya terjadi akibat gas bertekanan dalam suatu wadah yang tiba-tiba bocor akibat pecah mengakibatkan gas mengembang dengan cepat ke udara dan tiba-tiba terbakar. Salah satu penyebab terjadinya bola api adalah peristiwa BLEVE (Boiling Liquid Expanding Vapor Explosion) dan juga dapat diakibatkan oleh kandungan konsentrasi uap yang berada di atas batas terendah gas mudah terbakar. Bola api dapat memancarkan panas dalam jumlah sangat besar yang dapat menyebabkan kerusakan material, cedera, atau kematian pada area yang lebih besar dari radius api.

4. Jet Fire

Jet fire merupakan sebuah aliran bertekanan dari gas yang mudah terbakar. Jika terjadi pelepasan dan kemudian dinyalakan segera setelah itu terjadi, (dalam waktu 2-3 menit), hasilnya adalah continuous jet fire. Salah satu penyebab lain terjadinya api jet adalah kandungan konsentrasi uap yang berada di atas batas terendah gas mudah terbakar. Api jet ini stabil ke titik yang dekat dengan sumber pelepasan, sampai pelepasannya berhenti. Jet fire biasanya terjadi sangat lokal, tetapi sangat merusak semua yang ada di dekatnya.

Penelitian ini menganalisa pressure vessel yang mendistribusikan gas alam dengan kandungan methane 96,711% mol. Oleh karena itu, bahasan selanjutnya akan dititikberatkan pada Consequence of Area Level 1 API 581 RBI dengan obyek yang dialirkan adalah gas.

(5)

Gambar 2 Event Tree Analisa Keluaran Gas Level 1 Langkah – langkah dalam analisa konsekuensi berdasarkan API RBI adalah sebagai berikut:

1. Determine the released fluid and its properties, including the release phase.

• Menentukan representative fluids. Reprentative fluids yang telah diatur oleh konsekuensi dengan level 1 karakteristik yang dimiliki fluida.

• Menentukan store fluid properties.

Karakteristik fluida yang dianalisa level 1 tergantung pada fase yang dimiliki fluida tersebut, cair ataukah gas. Fase gas akan menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

1. Normal Boiling Point , NBP 2. Molecular Weight, MW

3. Ideal Gas Specific Heat Capacity Ratio, k 4. Constant Pressure Specific Heat, Cp

5. Auto-Ignition Temperature, AIT

Berdasarkan Tabel 2, fase akhir dari fluida yang dianalisa dapat ditentukan dengan mempertimbangkan fase fluida pada kondisi normal dalam storage dan fase saat fluida berhubungan langsung dengan kondisi lingkungan atau udara luar (ambient). Hal ini diperlukan sebagai acuan dalam perhitungan-perhitungan selanjutnya.

Tabel 2 Level 1 Consequence Analysis Guidelines for Determining the Phase of a Fluid

Phase of Fluid at Normal Operating (Storage) Conditions Phase of Fluid at Ambient (after release) Conditions

API RBI Determination of Final Phase for

Consequence Calculation

Gas Gas model as gas

Gas Liquid model as gas

Liquid Gas

model as gas unless the fluid boiling point at ambient conditions is greater than 80°F, then

model as a liquid

Liquid Liquid model as liquid

2. Select a set of release hole sizes to determine the possible range of consequences in the risk calculation.

• Menentukan lubang kebocoran

Release hole size yang diberikan oleh Level 1 merepresentasikan kasus kebocoran dengan diameter kecil, medium, besar, hingga pecah. Pengaturan ini telah dibuat berdasarkan distribusi ukuran kegagalan yang telah diamati pada pipa dan bejana bertekanan. Pengaturan ini dibedakan sesuai jenis komponen (pipa, bejana bertekanan, pompa, atau kompresor) dan dimensi dari komponen tersebut.

Bejana bertekanan / pressure vessel menggunakan empat standar dengan nilai maksimum 16 inchi. Klasifikasi ukuran diameter release hole size pada pressure vessel ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Release Hole Size Diameter Release hole number Release hole size Range of Hole Diameters (inch) Release Hole Diameter, dn (inch) 1 Small 0 – ¼ d1 = 0.25 2 Medium > ¼ – 2 d2 = 1 3 Large > 2 – 6 d3 = 4

4 Rupture > 6 inches d4 = min [ D, 16] • Menentukan nilai generic failure frequency, gffn, untuk

masing-masing release hole size. 3. Calculate the theoretical release rate.

Release rate tergantung pada properti fisik dari material, initial phase, kondisi pada proses pengoperasian, dan release hole size yang telah ditentukan. Initial phase material merupakan fase dari fluida yang dialirkan sebelum mengalami kontak dengan udara luar atau lingkungan.

• Menentukan fase awal fluida.

• Menghitung release rate dengan menggunakan perhitungan untuk jenis fluida gas.

Pada gas release rate, terdapat dua jenis aliran gas atau vapor yang melalui orifice, yaitu sonic (choked) untuk keadaan dimana tekanan di dalam storage lebih besar dibandingkan tekanan transisi dan subsonic untuk keadaan dimana tekanan di dalam storage bernilai lebih kecil dari tekanan transisi (103, 4 kPa [15 psig] atau kurang dari nilai tersebut). Selanjutnya, vapor release rate dihitung melalui dua tahapan. Pertama, menentukan jenis aliran gas pada pipa dengan cara menghitung tekanan transisi dari aliran dengan kecepatan sonic ke aliran dengan kecepatan subsonic dengan rumus berikut:

𝑃𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠= 𝑃𝑎𝑡𝑚+ �𝑘+12

𝑘

𝑘−1 (10)

1.

Jika tekanan penyimpanan, PS, dalam peralatan lebih besar daripada tekanan transisi, Ptrans. Menggunakan formula berikut ini:

𝑊𝑛=CCd2. An. Ps. ��k.MW.gR.Ts c� �k+12 �

k+1 k−1

(11)

2.

Jika tekanan penyimpanan, PS, dalam peralatan kurang dari atau sama dengan tekanan transisi, Ptrans. Menggunakan formula berikut ini:

𝑊𝑛=CCd2. An. Ps. ��MW.gR.Tsc� �k+12 � �PatmPs � 2 k�1 − �Patm Ps � k−1 k� (12) Dimana:

Cd : discharge coefficient untuk aliran gas turbulen dari sudut lancip dari orifice bernilai sekitar 0.85 ≤ Cd ≤ 1.0. Nilai yang direkomendasikan adalah 0.9.

(6)

C2 : customary convertion factors (API RBI Annex 3B Table 3.B.2.1 page 3.B-4)

An : release hole size area (inch2) dari masing-masing release hole size dengan rumus:

An=πdn

2

4 (13)

Ps : operating pressure, psi Patm : tekanan atmosfir, psi gc : kecepatan gravitasi, ft/s2

Ts : operating temperature, oR

4. Estimate the total amount of fluid available for release. • Menentukan fluid inventory

Daftar fluid inventories yang dapat digunakan untuk menentukan depenelitian equipment, tipe komponen.

• Menghitung massa grup inventory atau banyak fluida yang mungkin keluar saat terjadi kebocoran. Pada konsekuensi model Level 1 tidak mempertimbangkan kondisi fluida hidrolik, termasuk sudut elevasi pada pressure vessel. Apabila sebuah peralatan dievaluasi, inventorinya digabungkan dengan peralatan lainnya yang akan memberikan kontribusi terhadap massa fluida yang mengalami kebocoran. Total dari massa fluida tersebut disebut sebagai inventory group.

Parameter yang digunakan untuk mengestimasi massa gas yang akan keluar apabila terjadi kebocoran adalah :

a. Massa gas dalam komponen yang dievaluasi ditambahkan dengan massa yang bisa menambah jumlahnya massa gas pada komponen tersebut dalam waktu 3 menit. Komponen tersebut diasumsikan memiliki flow rate yang sama dengan peralatan yang mengalami kebocoran. Namun, estimasi massa gas ini berlaku hanya pada kebocoran dengan maksimum diameter sebesar 8 inchi pada kasus pipa pecah.

b. Massa total fluida di inventory group tergabung dalam komponen yang dievaluasi.

Inventory pada sistem gas ditentukan oleh flow rate yang melalui sistem dalam waktu satu jam. Perhitungan tersebut akan menghasilkan estimasi volum gas pada komponen yang diasumsikan sebagai maksimum volum gas yang dapat keluar dari kebocoran komponen tersebut.

5. Determine the type of release, continuous or instantaneous, to determine the method used for modeling the dispersion and consequence.

Gas yang keluar akibat adanya kebocoran dimodelkan menjadi: a) Instantaneous release merupakan keluaran terjadi dengan

sangat cepat dan fluida menyebar dalam bentuk sebuah awan besar.

b) Continuous release merupakan keluaran yang terjadi dalam periode waktu yang lebih lama dan sebaran fluida berbentuk elips memanjang (tergantung pada kondisi musim).

Beriku ini pertimbangan yang menentukan jenis keluaran pada suatu kebocoran. Release type dikatakan continuous bila: a) Ukuran lubang sebesar 6.35 mm (0.25 inchi) atau kurang

dari ukuran tersebut.

b) 𝑡𝑛 ≥180 𝑠𝑒𝑐 atau release mass lebih besar dari 4.536 kgs

(10.000 lbs)

Nilai 𝑡𝑛 merupakan waktu yang dibutuhkan untuk merilis massa 4.536 kgs (10.000 lbs) dari fluida. 𝑡𝑛 dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini:

𝑡𝑛=WC3n (14)

6. Estimate the impact of detection and isolation systems on release magnitude.

• Menentukan tipe detection system sesuai dengan Tabel 5.5 pada API RP 581 Chapter 3 hal 56.

• Menentukan tipe isolation system sesuai dengan Tabel 5.5 pada API RP 581 Chapter 3 hal 56.

• Menentukan release reduction factor, factdi sesuai dengan

Tabel 5.6 pada API RP 581 Chapter 3 hal 57.

• Menentukan Total waktu kebocoran, ldmax,n, sesuai dengan

Tabel 5.7 pada API RP 581 Chapter 3 hal 57. Total waktu kebocoran ini merupakan penjumlahan dari: a) Waktu mendeteksi kebocoran yang terjadi pada pressure

vessel.

b) Waktu menganalisa insiden kebocoran tersebut serta menentukan corrective action yang harus dilakukan untuk menangani kebocoran tersebut.

c) Waktu untuk menyelesaikan corrective action yang telah dianalisa menurut penyebab terjadinya kebocoran pada tahap kedua di atas.

7. Determine the Release Rate and Mass for the Consequence Analysis.

Untuk tahapan ini, release rate dan release mass dihitung ulang dengan mempertimbangkan faktor sistem deteksi yang ada. Hal ini dipengaruhi pula oleh jenis sebaran gas yang diakibatkan. Bila sebaran gas berjenis continuous, maka yang diperhitungkan adalah besar release rate, begitupun sebaliknya.

Untuk continuous release, release rate digunakan sebagai input dari analisa konsekuensi. Release rate yang digunakan menggunakan rumus berikut ini.

𝑟𝑎𝑡𝑒𝑛= 𝑊𝑛(1 − 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑑𝑖) (15)

Untuk instantaneous release, release mass digunakan untuk menampilkan analisa konsekuensi. Available release mass dari masing-masing hole size yang sempat disebutkan di pembahasan sebelumnya digunakan sebagai nilai tertinggi dari release mass yang mungkin keluar saat kebocoran terjadi.

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑛= min�{𝑟𝑎𝑡𝑒𝑛. 𝑙𝑑𝑛}, 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎𝑣𝑎𝑖𝑙,𝑛� (16) Faktor ldn yang merupakan durasi kebocoran yang terjadi di

atas, tidak boleh melampaui nilai ldmax,n atau total leak duration

yang diperhitungkan sebelumnya, maka:

𝑙𝑑𝑛= 𝑚𝑖𝑛 ��𝑚𝑎𝑠𝑠𝑟𝑎𝑡𝑒𝑎𝑣𝑎𝑖𝑙,𝑛𝑛 � , �60. 𝑙𝑑𝑚𝑎𝑥,𝑛�� (17) 8. Calculate Flammable/Explosive Consequences.

Langkah – langkah perhitungan konsekuensi area akibat faktor material yang mudah terbakar, sebagai berikut:

1. Memilih nilai consequence area reduction faktor berdasarkan tabel.

2. Menghitung energy efficiency correction faktor, eneffn, untuk masing-masing release hole size.

3. Menentukan tipe fluida (TYPE 0 atau TYPE 1).

4. Menghitung component damage consequence areas for Auto-ignition Not Likely, Continuous Release (AINL-CONT), 𝐶𝐴𝑐𝑚𝑑,𝑛𝐴𝐼𝑁𝐿−𝐶𝑂𝑁𝑇 untuk masing-masing relaease hole size.

5. Menghitung component damage consequence areas for Auto-ignition Likely, Continuous Release (AIL-CONT),

𝐶𝐴𝑐𝑚𝑑,𝑛𝐴𝐼𝐿−𝐶𝑂𝑁𝑇 untuk masing-masing relaease hole size.

6. Menghitung component damage consequence areas for Auto-ignition Not Likely, Instantaneous Release (AINL-INST), 𝐶𝐴𝑐𝑚𝑑,𝑛𝐴𝐼𝑁𝐿−𝐼𝑁𝑆𝑇 untuk masing-masing release hole.

(7)

7. Menghitung component damage consequence areas for Auto-ignition Likely, Instantaneous Release (AIL-INST),

𝐶𝐴𝑐𝑚𝑑,𝑛𝐴𝐼𝐿−𝐼𝑁𝑆𝑇 untuk masing-masing relaease hole size.

8. Menghitung personnel injury consequence areas for Auto-ignition Not Likely, Continuous Release (AINL-CONT),

𝐶𝐴𝑖𝑛𝑗,𝑛𝐴𝐼𝑁𝐿−𝐶𝑂𝑁𝑇 untuk masing-masing relaease hole size.

9. Menghitung personnel injury consequence areas for Auto-ignition Likely, Continuous Release (AIL-CONT),

𝐶𝐴𝑖𝑛𝑗,𝑛𝐴𝐼𝐿−𝐶𝑂𝑁𝑇 untuk masing-masing relaease hole size.

10. Menghitung personnel injury consequence areas for Auto-ignition Not Likely, Instantaneous Release (AINL-INST),

𝐶𝐴𝑖𝑛𝑗,𝑛𝐴𝐼𝑁𝐿−𝐼𝑁𝑆𝑇 untuk masing-masing release hole size.

11. Menghitung personnel injury consequence areas for Auto-ignition Likely, Instantaneous Release (AIL-INST),

𝐶𝐴𝑖𝑛𝑗,𝑛𝐴𝐼𝐿−𝐼𝑁𝑆𝑇 untuk masing-masing relaease hole size.

12. Menghitung instantaneous / continuous blending faktor, 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑛𝐼𝐶.

13. Menghitung AIT blending faktor, factAIT .

14. Menghitung continuous/instantaneous blended consequence areas untuk komponen.

15. Menghitung AIT blended consequence area untuk komponen.

16. Menentukan konsekuensi area akhir untuk kerusakan komponen dan kecelakaan personil.

9. Calculate Toxic Consequences

10. Calculate Non-flammable, non-toxic consequences

11. Determine the final probability weighted component damage and personnel injury consequence areas

Sesuai dengan konsekuensi Level 1, mengikuti persamaan yang digunakan untuk menentukan konsekuensi area akibat kebakaran (flammbable consequence areas) untuk kerusakan komponen dan kecelakaan personil, yaitu dengan menggunakan persamaan berikut ini:

a. Continous release

𝐶𝐴𝑛𝐶𝑂𝑁= 𝑎(𝑟𝑎𝑡𝑒𝑛)𝑏 (18)

b. Instantaneous release

𝐶𝐴𝑛𝐼𝑁𝑆𝑇= 𝑎(𝑚𝑎𝑠𝑠𝑛)𝑏 (19) 12. Calculate Financial Consequences

Pada langkah – langkah tersebut ada beberapa langkah yang tidak dilakukan karena dibatasi oleh analisa konsekuensi berdasarkan area, langkah no.11 dan 12 tidak dilakukan. Untuk langkah no. 8, 9 dan 10 tersebut dipilih salah satu sesuai dengan sifat fluida yang ada pada pressure vessel tersebut. Misalkan apabila jenis fluida tersebut merupakan produk yang mudah terbakar. Sehingga dapat dihitung dengan menggunakan langkah – langkah seperti pada no.8 di atas. Sehingga dari sana dapat diketahui konsekuensi area nya berapa inch2.

Dengan menggunakan Tabel 4.1M pada API RP 581 Chapter 1 hal 19 dapat ditentukan kategori konsekuensi berdasarkan analisa konsekuensi area. Pada langkah – langkah tersebut ada beberapa langkah yang tidak dilakukan karena dibatasi oleh analisa konsekuensi berdasarkan area, langkah no.11 dan 12 tidak dilakukan. Untuk langkah no. 8, 9 dan 10 tersebut dipilih salah satu sesuai dengan sifat fluida yang ada pada pressure vessel tersebut.

Mitigasi merupakan tindakan pencegahan terhadap suatu bahaya. Langkah mitigasi dilakukan dengan cara mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya tersebut atau dengan memanajemen konsekuensi agar angka korban yang terkena dampak bahaya menjadi semakin berkurang. Sistem mitigasi yang mengurangi luas konsekuensi area tersebut juga menetapkan nilai consequence area reduction factor, fact mit.

LEVEL RISIKO

Menentukan Risiko dengan menggunakan matriks risiko pada API

RP 581. Plot matrik risiko dapat dilihat pada Gambar 3. Matrik risiko ini berdasarkan probability of failure dan consequence of failure.

Gambar 3 Matrik Risiko

Matriks risiko ini didapatkan dari API RP 581 yang berfungsi untuk dapat mengetahui tingkat risiko pada suatu peralatan. Matriks ini menggunakan matriks 5 x 5. Dengan kondisi untuk bagian horisontal menunjukkan kategori konsekuensi sedangkan pada bagian vertikal menunjukkan kategori probability. Semakin tinggi kategori peluang kegagalan (probability) maka semakin sering terjadi kegagalan pada peralatan tersebut dan sebaliknya. Sama halnya dengan kategori konsekuensi, semakin ke kanan maka semakin besar dampak dari kegagalan yang terjadi. Setelah diketahui kategori probability dan consequence dapat ditentukan level risikonya yaitu berada pada tingkat risiko :

1. Low Risk 2. Medium Risk 3. Medium High Risk 4. High Risk

Acceptable level risiko berdasarkan perusahaan / Badan Usaha Oil and Gas. Apabila Badan Usaha tersebut belum menetapkan acceptable level risiko maka ditentukan level risiko berada pada level low risk atau medium risk.

PROGRAM INSPEKSI

Inspection planning tidak dapat memitigasi atau menurunkan damage mechanism tetapi hanya untuk mengukur, mengidentifikasi, dan memonitor saja. Aplikasi inspeksi yang benar akan dapat meningkatkan kemampuan user untuk memprediksi damage mechanisms dan laju dari damage mechanisms. Sehingga dapat dilakukan maintenance planning untuk equipment tersebut.

Inspection planning dikembangkan dari analisis beberapa sumber data. Pemeriksaan atau inspeksi harus dijadwalkan pada interval dengan mempertimbangkan hal – hal berikut ini (API RP 510,2006) : a. Tipe kerusakan (type of damage)

Tipe kerusakan dapat dilihat pada API 581 berdasarkan damage factor dan mempertimbangkan juga API 571 untuk karakteristik damage mechanism.

b. Corrosion rate

Corrosion rate merupakan laju korosi pada damage mechanism tersebut. Untuk dapat menghitung corrosion rate ini melalui persamaan 3.

c. Toleransi equipment terhadap jenis kerusakannya (Remining life). Remining life dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:

𝑅𝑒𝑚𝑎𝑖𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑙𝑖𝑓𝑒 =𝑡𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙−𝑡𝑟𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑

𝑐𝑜𝑟𝑟𝑜𝑠𝑖𝑜𝑛 𝑟𝑎𝑡𝑒 (𝑦𝑒𝑎𝑟𝑠) (20)

Dimana:

𝑡𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 = ketebalan pada inspeksi saat ini, inch (mm).

𝑡𝑟𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑= ketebalan minimum yang seharusnya dimiliki oleh

pressure vessels dihitung dengan menggunakan formula desain vessel dan tidak termasuk corrosion allowance, inch.

d. Peluang metode NDE untuk mengidentifikasi kerusakan.

e. Interval maksimum seperti yang ditetapkan pada Code dan Standards.

(8)

Berdasarkan Code API RP 510, interval maksimum untuk melakukan inspeksi internal, on-stream dan eksternal. Penjelasan untuk masing – masing jenis inspeksi tersebut adalah sebagai berikut:

• Inspeksi internal adalah inspeksi yang dilakukan dari dalam sebuah pressure vessel menggunakan cara secara visual dan / atau teknik NDE (Nondestructive Examination).

• Inspeski on-stream adalah inspeksi yang dilakukan dari luar pressure vessel ketika sedang dalam kondisi beroperasi seperti biasa (on-stream) dengan menggunakan prosedur NDE untuk menetapkan kesesuaian batas tekanan untuk melanjutkan pekerjaan.

• Inspeksi eksternal adalah sebuah inspeksi visual yang dilakukan dari luar pressure vessel untuk menemukan kondisi yang dapat mempengaruhi kemampuan vessel untuk menjaga integritas atau kondisi yang membahayakan integritas struktur pendukung vessel, misalnya tangga dan platform. Pemeriksaan ini dapat dilakukan baik saat vessel tersebut beroperasi atau saat vessel tersebut sedang dalam perbaikan (out of service).

Batas interval inspeksi pada jenis inspeksi internal dan on-stream batas maksimumnya adalah tidak kurang dari 10 tahun atau 1,5 kali dari waktu remaining lifenya. Sedangkan untuk jenis inspeksi eksternal adalah tidak kurang dan tidak lebih dari 5 tahun.

BIAYA INSPEKSI

Setelah dilakukan inspection planning yang diketahui hasilnya berupa jadwal inspeksi dan tipe inspeksi yang akan dilakukan. Biaya inspeksi pada masing – masing Perusahaan Jasa Inspeksi Teknis) sangat berbeda – beda oleh karena itu dalam penelitian ini tidak dicantumkan harga dalam penentuan biaya inspeksi ini.

Biaya inspeksi antara existing dengan RBI dapat dianalisa dengan menggunakan pertimbangan – pertimbangan biaya – biaya apa saja yang dibutuhkan dalam proses inspeksi. Misalnya saja seperti berikut ini (dikutip dari penjelasan karyawan salah satu PJIT, Abdul Aziz Arfi.2013)

1. Personnel yang berkualifikasi khusus,

2. Penggunaan peralatan inspeksi yang sangat bergantung dengan tingkat pengujian,

3. Lokasi, yang berkaitan dengan akses transportasi dan akomodasi.

METODOLOGI

Studi Literatur

Melakukan studi literatur dengan tujuan untuk merangkum teori-teori dasar, acuan secara umum dan khusus, serta untuk memperoleh berbagai informasi pendukung lainnya yang berhubungan dengan pengerjaan penelitian ini. Studi literatur ini dapat diperoleh dari buku, Penelitian, thesis atau dari internet yang mendukung bahasan dari penelitian ini. Selain itu bisa juga dengan melakukan tanya jawab dengan pihak yang berkepentingan dan berkompeten pada bahasan ini. Gambar 4 menunjukkan flow chart penelitian ini. Pengumpulan Data

Assessment RBI dilakukan pada kondisi operasi normal. Berdasarkan batasan peralatan yang telah ditentukan yaitu pressure vessel yang berupa LP Separator, Glycol Scrubber, dan Glycol Contactor maka data dapat diseleksi sesuai dengan batasan tersebut sehingga diperoleh data yang sesuai dengan kebutuhan. Berikut ini data yang harus diperoleh dalam melakukan assessment RBI:

• Tipe peralatan • Material konstruksi

• Laporan inspeksi, perbaikan dan penggantian • Komposisi fluida

• Inventory of fluid • Kondisi operasi • Safety system

Gambar 4. Flow Chart Penelitian • Sistem deteksi

• Coating, cladding, dan data isolasi

• Mekanisme kerusakan, laju kerusakan dan tingkat keparahan Evaluasi Existing Inspection

Laporan inspeksi yang dibutuhkan untuk dapat mengevaluasi inspeksi yang sudah ada adalah:

• Jadwal dan frekuensi

• Jumlah dan tipe inspeksi biasanya berupa matrik inspeksi monitoring dalam bentuk workbook berisi tentang tipe inspeksi, tujuan inspeksi, parameter yang diukur, kriteria yang diterima, metode yang digunakan, bagaimana proses inspeksinya, dan code yang digunakan.

• Repair dan alteration.

• PMI (Project Management Institute) records • Hasil inspeksi

Identifikasi dan Penentuan Damage Mechanism

Mengidentifikasi jenis – jenis damage mechanism yang ada pada pressure vessel dapat dilakukan dengan menggunakan hasil evaluasi inspeksi existing. Jenis – jenis damage mechanism yang dipilih adalah damage mechanism yang mempunyai risiko paling tinggi penyebab terjadinya disintegritas pada peralatan tersebut.

Analisa Probability

Analisa probability dilakukan berdasarkan dari hasil identifikasi dan penentuan damage mechanism. Karena menentukan perhitungan selanjutnya. Damage mechanism yang di bahas pada penelitian ini adalah thinning damage factor. Langkah – langkah perhitungannya adalah sebagai berikut ini:

(9)

2. Menentukan usia inspeksi 3. Menghitung laju korosi

4. Menhitung minimum required wall thickness 5. Menentukan parameter faktor kerusakan 6. Menentukan faktor – faktor tambahan 7. Menghitung total damage factor thinning Analisa Konsekuensi

Analisis konsekuensi berkaitan langsung pada luas hazard zone. Analisis ini menggunakan API RBI 581 tentang konsekuensi area. Perhitungan ini akan membantu dalam mengetahui berapa luas area kebakaran yang mungkin terkena bahaya kebocoran pressure vessel. Level Risiko

Setelah diketahui probability of failure dan consequence of failure dari pressure vessel maka akan dapat ditentukan level risikonya dengan menggunakan risk matrix. Level Risiko yang didapatkan dapat berada pada tingkat risiko berikut ini:

1. Low Risk 2. Medium Risk 3. Medium High Risk 4. High Risk

Level risiko dapat diterima atau tidak ditentukan oleh perusahaan. Apabila level risiko belum ditentukan maka diambil level risiko yang low risk atau medium risk. Sehingga aset akan beroperasi di daerah risiko yang dapat diterima atau acceptable atau low risk, ALARP (As Low As Reasonably Practicable) , atau di daerah high risk yang risikonya tidak dapat ditoleransi lagi.

Inspection Planning

Inspection planning dikembangkan dari analisis beberapa sumber data. Pemeriksaan atau inspeksi harus dijadwalkan pada interval dengan mempertimbangkan hal – hal berikut ini (API RP 510,2006) : a. Tipe kerusakan (type of damage)

b. Corrosion rate

c. Toleransi equipment terhadap jenis kerusakannya (Remining life). d. Peluang metode NDE untuk mengidentifikasi kerusakan.

e. Interval maksimum seperti yang ditetapkan pada Code dan Standards.

Berdasarkan Code API RP 510, interval untuk melakukan jenis inspeksi internal dan on-stream batas maksimumnya adalah tidak kurang dari 10 tahun atau 1,5 kali dari waktu remaining lifenya. Sedangkan untuk jenis inspeksi eksternal adalah tidak kurang dan tidak lebih dari 5 tahun.

Analisa Biaya

Biaya inspeksi antara existing dengan RBI dapat dianalisa dengan menggunakan pertimbangan – pertimbangan biaya – biaya apa saja yang dibutuhkan dalam proses inspeksi. Misalnya saja seperti berikut ini (dikutip dari penjelasan karyawan salah satu PJIT, Arfi,2013) 1. Personnel yang berkualifikasi khusus,

2. Penggunaan peralatan inspeksi yang sangat bergantung dengan tingkat pengujian,

3. Lokasi, yang berkaitan dengan akses transportasi dan akomodasi.

Kesimpulan dan Saran

Langkah terakhir adalah membuat kesimpulan dari keseluruhan proses yang telah dilakukan sebelumnya serta memberikan jawaban atas permasalahan yang ada.

ANALISA DATA

DATA PROSES PRODUKSI GAS

Produksi gas ini berada di daerah Sidoarjo Jawa Timur dengan jumlah sumur sekitar 20 sumur, beberapa sumur memproduksi minyak atau crude sedangkan yang lainnya memproduksi gas. Produksi gas ini dilakukan di daerah Wunut Gas Plant di Perusahaan

tersebut, sedangkan untuk produksi minyak dibuatkan plant minyak kecil yang berada di daerah Tanggulangin Sidoarjo. Seperti yang ada pada batasan masalah yaitu plant yang digunakan dalam penelitian ini adalah gas plant.

Di gas plant, gas alam diproses sedemikian rupa hingga siap untuk dijual. Pemrosesan ini diperlukan supaya gas yang diperoleh dari sumur memiliki kemurnian yang tinggi tanpa adanya campuran zat atau gas lain ( pengotor ) dan siap dijual, dalam hal ini konsumennya adalah Perusahaan Gas Negara dan BUMD Sidoarjo.

Gas mentah dari sumur adalah gas thermogenic dan kering dengan kandungan methane lebih dari 96% tanpa H2S dan sedikit CO2.

Karena gas mentah tidak mengandung H2S, maka pemrosesan gas

lebih sederhana dibandingkan dengan gas mentah yang mengandung H2S. Pemrosesan gas dimulai dari sumur yang mengirimkan gas ke plant diolah menggunakan separator dan treatment dengan Glycol Dehydration Unit sampai ke metering system yang kemudian mengirimkan gas ke Perusahaan Gas Negara dan BUMD Sidoarjo. DATA PRESSURE VESSEL

Dalam perencanaan sebuah pressure vessel harus menggunakan standar khusus. Standar yang digunakan misalnya ASME atau DNV. Dalam studi kasus ini, standar desain yang digunakan adalah ASME VIII Div 1 yaitu untuk desain dan kontruksi Pressure Vessel. Sesuai dengan standar tersebut data yang diperoleh merupakan data spesifikasi peralatan. Data tersebut akan disesuaikan dengan data dasar komponen yang dibutuhkan untuk analisa pada API RP 581. Pressure Vessel yang akan dianalisa adalah LP Separator, Glycol Contactor dan Glycol Scrubber. Tabel 4 menunjukkan data dari LP Separator, Tabel 5 Data Pressure Vessel Glycol Contactor dan Tabel 6 Data Pressure Vessel Glycol Scrubber

Tabel 4 Data Pressure Vessel LP Separator EQUIPMENT DATA

Equipment Name : LP Separator

Currently Tag. No. : V-110 B

Serial No. : PV-4001

Size : 1676 mm ID x 6706 mm

S/S

Start Date : 2004

Shell Nominal Thickness, inch

: 30 mm = 1,181 inch Head Nominal Thickness,

inch

: 29 mm = 1,1417 inch Corrosion Allowance, inch : 3,175 mm = 0,125 inch Design Temperature, oF : 150 oF

Design Pressure, psi : 600 psig

Operating Temperature, oF : 92 oF

Operating Pressure, psi : 43 psi

MAWP, psi : 612 psi

Hydrostatic Test(Shop Test) : 795,6 psi

Design Code : ASME VIII Div I

Equipment Type : Vessel/FinFan

Component Type : Drum

Length (S to S) : 264 inch

Diameter (ID) : 66 inch

Shell Material : SA 516 Grade 70

Head Material : SA 516 Grade 70

Major-to-Minor Axis Ratio : 2:1

Cladding : No

Coating : Painting

Heat Tracing : No

(10)

Tabel 5 Data Pressure Vessel Glycol Contactor EQUIPMENT DATA

Equipment Name : Glycol Contactor

Currently Tag. No. : V-210

Serial No. : 9392831904-01

Size : 56,0 mm T x 1828,8 mm

(ID) x 7162,8 mm S/S

Start Date : June 1977

Shell Nominal Thickness, inch

: 57,15 mm = 2,187 inch Head Nominal Thickness,

inch

: 63,5 mm = 2,5 inch Corrosion Allowance, inch : 0,0625 inch Design Temperature, oF : 150 oF

Design Pressure, psi : 1000 psig

Operating Temperature, oF : 103 oF

Operating Pressure, psi : 342 psi

MAWP, psi : 980 psi

Hydrostatic Test(Shop Test) : 1470 psi

Design Code : ASME VIII Div I

Equipment Type : Vessel/FinFan

Component Type : Drum

Length (S to S) : 282 inch

Diameter (ID) : 72 inch

Shell Material : SA 516 Grade 70

Head Material : SA 516 Grade 70

Major-to-Minor Axis Ratio : 2:1

Cladding : No

Coating : Painting

Heat Tracing : No

Weld Joint Efficiency : 1

Tabel 6 Data Pressure Vessel Glycol Scrubber EQUIPMENT DATA

Equipment Name : Glycol Scrubber

Currently Tag. No. : V-220

Serial No. : 551-08-01-01

Size : 22,13 mm T x 609,6 OD x

3657,6 mm S/S

Start Date : 1976

Shell Nominal Thickness, inch

: 0,875 inch Head Nominal Thickness,

inch

: 0,875 inch

Corrosion Allowance, inch : 0,0625 inch

Design Temperature, oF : 150 oF

Design Pressure, psi : 1000 psig

Operating Temperature, oF : 100 oF

Operating Pressure, psi : 341 psi

MAWP, psi : 1000 psi

Hydrostatic Test(Shop Test) : 1500 psi

Design Code : ASME VIII Div I

Equipment Type : Vessel/FinFan

Component Type : Drum

Length (S to S) : 144 inch

Diameter (ID) : 22,25 inch

Diameter (OD) : 24 inch

Shell Material : SA 515 Grade 70

Head Material : SA 515 Grade 70

Major-to-Minor Axis Ratio : 2:1

Cladding : No

Coating : Painting

EQUIPMENT DATA

Heat Tracing : No

Weld Joint Efficiency : 1

DATA GAS

Fluida yang dialirkan merupakan gas alam yang diambil dari beberapa sumur, dialirkan melalui pipa flowline, yang kemudian diteruskan ke gas plant melalui pipa trunkline dari pig launcher ke pig receiver. Laporan hasil uji gas menjelaskan bahwa kandungan terbesar pada fluida yang dianalisa adalah methane sebesar 96,711% mol, sebagaimana data di bawah ini:

Nitrogen : 2,039% mole Carbon dioxide : 0,342% mole

Methane : 96,711% mole Ethane : 0,494% mole Propane : 0,196% mole I-Butane : 0,047% mole N-Butane : 0,043% mole I-Pentane : 0,018% mole N-Pentane : 0,006% mole Hexane Plus : 0,104

Dari sifat – sifat atau karakteristik gas methane tersebut dapat dianalisa bahwa gas methane :

1. Memiliki struktur material karbon (C1-C2). 2. Merupakan gas yang mudah terbakar. 3. Bahaya yang ditimbulkan adalah panas.

4. Model bahaya yang dominan adalah berupa Jet Fire dan radiasi panas (Muhlbauer, W. K., 2004).

5. Mudah meledak di dalam pressure vessel.

6. Berdasarkan event tree analisa keluaran gas pada API RP 581 model kebakaran yang terjadi dapat berupa VCE, Flash Fire, Fireball, atau Jet Fire.

7. Apabila pressure vessel tersebut mengalami kebocoran maka akan sulit untuk mendeteksi terjadinya kebocoran tersebut dikarenakan sifat gas yang tidak berbau.

DATA KOMPOSISI FLUIDA

Data Komposisi fluida untuk masing – masing pressure vessel tidak ada sehingga diambil beberapa sumber data yang dapat mewakili yaitu data komposisi gas yang diproduksi dan data kandungan fluida yang terdapat di pembuangan (evaporation pond) sesuai dengan yang ditunjukkan pada Tabel 7. Data – data tersebut kemudian akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan failure mode yang dapat terjadi pada semua pressure vessel tersebut.

Tabel 7 Komposisi Fluida pada Evaporation Pond pada Bulan Mei 2013

Component Value Satuan

Water 943.8984 barrel/day

Sulfida (H2S) <0.02 gram

Amonia (NH3-N) 0.84 gram

Condensate 56.1016 barrel/day

pH 8,2

Bahan pertimbangan untuk menentukan failure mode atau damage mechanism yang akan dianalisa melalui pertanyaan – pertanyaan penyaringan. Penyaringan dengan menggunakan pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik masing – masing damage mechanism. Penyaringan ini dianalisa pada bagian “Identifikasi Damage Mechanism”.

(11)

DATA MATERIAL & KOMPOSISI KIMIA

Dalam melakukan identifikasi failure mode pada pressure vessel dibutuhkan data komposisi kimia material, operating pressure, operating temperature, dan komposisi fluida yang ada pada pressure vessels. Bagian pressure vessel yang akan dianalisa adalah Shell dan Head. Data pertama yang dibutuhkan adalah jenis material pressure vessel. Setelah diketahui jenis materialnya maka dapat diketahui komposisi kimianya yang dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Komposisi Kimia Material SA 515 Gr 70

Composition Percentage % C 0.30-0.35 Mn 1,3 P 0,035 S 0,035 Si 0.13-0.45

Tabel 9 Komposisi Kimia Material SA 516 Gr 70

Composition Percentage % C 0.10/ 0.22 Si 0,6 Mn 1/ 1.7 P 0,03 S 0,03 Al 0,02 Cr 0,3 Cu 0,3 Ni 0,3 Mo 0,08 Nb 0,01 Ti 0,03 V 0,02

Bahan pertimbangan untuk menentukan failure mode atau damage mechanism yang akan dianalisa melalui pertanyaan–pertanyaan penyaringan. Penyaringan dengan menggunakan pertanyaan– pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik masing – masing damage mechanism. Penyaringan ini dianalisa pada bagian “Identifikasi Damage Mechanism”. Dan juga sebagai salah satu parameter dalam perhitungan ketebalan minimun yang dibutuhkan sesuai dengan standar ASME VIII Div I. Parameter tersebut digunakan pada analisa perhitungan probability of failure.

Pada bagian “Identifikasi Damage Mechanism” yang akan digunakan adalah komposisi kimianya. Komposisi kimia berupa kromium (Cr), karbon(C), dan molibdenum (Mo). Apabila komponen memiliki campuran Cr-Mo dan C-0,5Mo maka hal – hal tersebut yang merupakan penyebab terjadinya failure mode high temperature hydrogen attack (HTHA) damage factor. Failure mode ini biasanya terjadi pada bagian material yang dilas. Sedangkan apabila materialnya merupakan campuran baja 1.25Cr - 0.5Mo, 2.25Cr - 0.5Mo, atau 3Cr - 1Mo, materialnya juga merupakan material yang memiliki kandungan kromium yang tinggi yaitu 0,3% maka dapat menyebabkan terjadinya failure mode embrittlement damage factor. DATA INSPEKSI

Data inspeksi ini dibutuhkan dalam proses perhitungan probability of failure. Data ini terdiri dari waktu pelaksanaan inspeksi yang pernah dilakukan, bagian dari pressure vessel yang diinspeksi, jenis inspeksi yang dilakukan dan output dari inspeksi tersebut.

Bagian dari pressure vessel yang diinspeksi yaitu shell dan head. Jenis inspeksi yang dilakukan saat inspeksi berupa inspeksi visual. Inspeksi visual ini adalah inspeksi eksternal yaitu melakukan inspeksi dari luar pressure vessel. Dikarenakan hasilnya berupa data ketebalan maka inspeksi ini menggunakan alat ukur yaitu ultrasonic

wall thickness yang digunakan untuk mengukur ketebalan material. Interval inspeksi yang dilakukan selama ini adalah tiap 3 tahun sekali karena perusahaan ini mengikuti aturan MIGAS untuk melakukan inspeksi pada saat Sertifkat Kelayakan Penggunaan Peralatan (SKPP). Namun dikarenakan pengelolaan data sertifikasi yang kurang sistematis dalam manajemen di perusahaan tersebut sehingga terdapat data yang diperoleh untuk interval inspeksi 3 – 5 tahun. Data tanggal inspeksi ini berhubungan dengan usia inspeksi yang dilakukan yang nantinya akan berpengaruh terhadap laju korosi, remaining life dan interval waktu.

Grafik pada Gambar 5 tersebut menunjukkan inspeksi pertama sampai yang ke tiga mempunyai ketebalan yang berbeda – beda, ketebalan shell dan Gambar 6 ketebalan head pada semua pressure vessel cenderung selalu turun kecuali pada LP Separator. Kecenderungan untuk turun ini disebabkan karena adanya penipisan pada dinding material vessel. Penipisan ini disebabkan karena adanya korosi atau yang biasanya disebut damage mechanism.

Untuk Shell LP Separator, pada inspeksi pertama wallthicknessnya 1,181 inch sedangkan pada inspeksi yang ke dua 1,228 inch. Sedangkan untuk head LP Separator pada inspeksi pertama wallthicknessnya 1,1417 inch dan pada inspeksi yang ke dua 1,332 inch. Perbedaan ketebalan ini disebabkan karena kurangnya data adanya perbaikan atau penambahan cladding pada pressure vessel sehingga ketebalannya lebih tinggi dari pengukuran inspeksi sebelumnya. Seharusnya data cenderung lebih turun daripada ketebalan pada inspeksi sebelumnya. Sehingga untuk mendapatkan data yang akurat dibutuhkan manajemen data yang lebih baik lagi.

Gambar 5 Grafik Perbandingan antara Wallthickness dengan waktu inspeksi pada Shell.

Gambar 6 Grafik Perbandingan antara Wallthickness dengan waktu inspeksi pada Head.

DATA ISOLASI & SISTEM DETEKSI

Perusahaan ini memiliki sistem control yang terintegrasi di control room. Operator mengontrol semua proses mulai dari sumur, jalur

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa distribusi laju korosi-erosi yang terjadi pada dinding dalam elbow section bersesuaian dengan distribusi laju aliran fluida