• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TAHAPAN PERANCANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TAHAPAN PERANCANGAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB III

TAHAPAN PERANCANGAN

3.1 Pra Produksi

Dari kerangka pikir perancangan karya film dokumenter di atas, penulis menjabarkan serangkaian tahapan perancangan, yang kemudian akan dijadikan acuan dalam pembuatan film ini. Tahap ini merancang konsep film dokumenter yang akan dibuat, termasuk juga menyusun seluruh persiapan dan aktivitas sebelum melakukan produksi.

3.1.1 Sumber Informasi

Sumber informasi mula-mula yang penulis dapatkan dalam proses ini adalah rujukan internet mengenai pengolahan ampas kopi dari periode waktu yang diteliti, yaitu dari mulainya era kopi gelombang ketiga (third wave coffee) pada awal dekade kedua (2010) hingga tahun 2018 ini.9 Selain itu,

penulis juga menggunakan sumber buku, arsip, dan kliping media massa. Selain sumber pustaka, penulis juga mendapat informasi dari beberapa narasumber primer pada film ini seperti Wahyu Menyink sebagai petani urban di Salatiga, Probo Gozali sebagai pebisnis ampas kopi di Jakarta, dan Nugraheni Widyawati sebagai pengamat manajemen sampah di Salatiga. 3.1.2 Riset Pengantar

Riset pengantar yang dilakukan oleh penulis dilakukan sesuai dengan standar-standar metodologi penelusuran kepustakaan, terutama pustaka yang ada di internet, dan juga observasi lapangan. Tujuan riset pengantar adalah untuk menemukan petunjuk awal yang bisa digunakan untuk penulisan storyline serta penentuan lokasi dan sumber-sumber pustaka lain yang dibutuhkan.

9 “5 Langkah Memulai Bisnis Olah Ampas Kopi”. Diakses pada 6 September 2019. https://majalah.ottencoffee.co.id/5-langkah-memulai-bisnis-olah-ampas-kopi/

(2)

14

Sumber-sumber pustaka terkait pengolahan ampas kopi yang bisa diandalkan untuk riset pengantar adalah:

No. Penulis Judul Tahun Terbit Penerbit/Sumber

1. Nugraheni Widyawati Urban Farming – Gaya Bertani Spesifik Kota 2013 Lily Publisher, Yogyakarta 2. Amanda Cameron dan Sean O’Malley. “Coffee Ground Recovery Program” dalam Planet Ark Summary Report, Januari 2016. Hlm 3-7. Coffee Ground Recovery Program

Januari 2016 Planet Ark Summary Report,

planetark.org

Tabel 3.1. Daftar Pustaka Riset Pengantar 3.1.3 Desain Produksi

Desain produksi film dokumenter “Emas itu Ampas” meliputi beberapa rincian yaitu:

a. Kategori : Non-Fiksi b. Format : .MP4 Video c. Judul : Emas itu Ampas

d. Tema : Potensi dan Peluang Bisnis Olah Ampas Kopi e. Rumah Produksi : Personal (Rumah Film Kombang)

f. Sasaran : Pebisnis Kopi

(3)

15

h. Tujuan : Menyusun film dokumenter yang komprehensif mengenai peluang pengolahan ampas kopi, sehingga pebisnis kopi bisa memahami model ekonomi hijau, sekaligus mendorong para pebisnis kopi untuk memberi perhatian lebih terhadap masalah sekaligus peluang ini.

i. Dimensi dan Durasi : 1920x1080, Widescreen 16:9, dengan durasi 20 menit

3.1.4 Latar Belakang Judul

Judul “Emas itu Ampas” diambil sebagai bentuk refleksi terhadap limbah ampas kopi yang sebenarnya masih bisa dialihfungsikan menjadi barang lebih berguna dan bernilai ekonomi. Frasa ‘emas’ diambil oleh penulis, sebagai simbolisasi akan sesuatu yang berharga dan bernilai. Penulis ingin menekankan bahwa ‘emas’ tidak selalu berwujud logam emas yang dijual sebagai perhiasan, melainkan nilai ‘emas’ itu juga ada dalam ampas kopi sekalipun.

3.1.5 Latar Belakang Sasaran

Secara spesifik, film dokumenter ini akan menyasar penonton dengan pembagian segmentasi berdasarkan 3 hal berikut:

a. Segmentasi Geografis

Pebisnis kopi yang berada di Salatiga. Alasan penulis memilih Salatiga sebagai salah satu kota yang akan diteliti karena asas kedekatan (proximity) dengan lokasi penulis berada.

b. Segmentasi Demografis

Jenis Kelamin : Laki-laki dan Perempuan

Usia : 18-35 tahun

Status Ekonomi Sosial : Menengah ke atas c. Segmentasi Psikografis

Pebisnis kopi di Salatiga, baik perempuan dan laki-laki di usia 18-35 tahun yang menyukai kegiatan nongkrong dan

(4)

16

minum kopi di kedai kopi, karena pebisnis kopi di Salatiga, terutama yang terhimpun dalam Kopi Lovers Salatiga (KOPLO), mempunyai agenda tidak terstruktur untuk mengunjungi dari satu kedai ke kedai kopi lainnya.

3.1.6 Penjadwalan Proses Pembuatan Film

No. Kegiatan Waktu Target

Pra Produksi

1. Riset pengantar 2 minggu Mendapatkan data untuk mendukung perancangan produksi

2. Perencanaan Produksi

3 minggu ● Manajemen kru dan peralatan ● Budgeting

● Menghasilkan naskah film yang didasarkan dari hasil riset, termasuk verifikasi informasi.

● Menentukan narasumber, lokasi, dan jadwal shooting

Produksi

3. Shooting 1,5 bulan  Mengumpulkan materi hasil wawancara dengan narasumber

Mengumpulkan stock footage berdasarkan shot list

Pasca Produksi

4. Editing 3 minggu -

5. Promosi 1 minggu Menjalin kerjasama screening dengan komunitas kopi di Salatiga

6. Screening 1 hari Nonton bareng, Diskusi, Sebar Kuisioner Tabel 3.2.Rencana Jadwal Produksi

(5)

17 3.1.7 Estimasi Biaya

Pra Produksi Unit Rate (Rp) Amount (Rp)

Administrasi (ATK, Kertas, dll) 1 100.000,- 100.000,-

Pembuatan Proposal 1 50.000,- 50.000,-

Subtotal 150.000,-

Pembelian Peralatan Unit Rate (Rp) Amount (Rp)

Boya MY-M1 Lavalier Mic 1 150.000,- 150.000,-

Tas Kamera KEE 1 150.000,- 150.000,-

Hardisk WD 2TB 1 1.100.000,- 1.100.000,-

Subtotal 1.400.000,-

Operasional Unit/Day Rate (Rp) Amount (Rp)

Tiket kereta PP Semarang-Jakarta 1 435.000,- 435.000,- Transport dalam Kota 1/5 50.000,- 250.000,-

Sewa Komputer 1/7 10.000,- 70.000,-

Subtotal 705.000,-

Pasca Produksi Unit Rate (Rp) Amount (Rp)

Copy Master 3 20.000,- 60.000,-

Pembuatan Laporan TA 3 25.000,- 75.000,-

Publikasi Acara 1 100.000,- 100.000,-

Screening Film dan Uji Publik 200.000,- 200.000,-

Subtotal 435.000,-

TOTAL 2.690.000

Tabel 3.3. Estimasi Biaya 3.1.8 Sinopsis

Wahyu Menyink sudah lama tinggal di Salatiga, sekitar 5 tahun. Namun baru 3 tahun terakhir ini, ia mulai punya ketertarikan di bidang pertanian urban. Berbekal lahan seluas 25m persegi di Salatiga, ia memulai kebun kecilnya.

(6)

18

Sama seperti tanah manapun, tanah kebunnya juga membutuhkan nutrisi. Melihat bisnis kopi sedang melonjak di Salatiga—karena jumlah kedai kopinya yang terus bertambah—ia akhirnya mempunyai inisiatif memanfaatkan ampas kopi usai seduh yang biasanya dibuang begitu saja.

Rupanya Salatiga memang belum punya satu usaha atau komunitas yang khusus bergerak pada bidang pengolahan ampas kopi. Mereka bekerja secara sporadis dan cenderung tidak berdampak satu sama lain. Pun, pengolahan ampas kopi ini memang belum jadi hal yang populer dalam dunia perkopian di Indonesia. Padahal, persoalan sampah makin menumpuk dan seolah menemui jalan buntunya.

3.1.9 Daftar Narasumber

Film dokumenter ini akan melibatkan sejumlah narasumber yang akan diwawancara. Para narasumber ini selain sebagai informan, tetapi juga bertindak sekaligus sebagai tokoh dalam film ini:

1) Wahyu Menyink, Petani Urban Skala Rumahan di Salatiga, Jawa Tengah

2) Probo Gozali, Co-Founder Rebrew Lifestyle, Perusahaan Pengolah Ampas Kopi menjadi Produk Kecantikan seperti coffee cleansing oil, di Jakarta Barat

3) Nugraheni Widyawati, Pengamat Pertanian Perkotaan dan Manajemen Sampah Organik, Dosen UKSW, di Salatiga 4) Edi Purwanto, pebisnis kedai kopi Sendja di Salatiga

5) Widie Arie Nugroho, pebisnis kedai kopi Frame Coffee House di Salatiga, dan

6) Munadi Cahyono, pebisnis kedai kopi Logos di Salatiga, sekaligus pengolah ampas kopi menjadi pot tanaman 3.1.10 Penulisan Shooting Script

No Sequence Visual Audio Keterangan

1. Opening 1. Logo Rumah Produksi “KOMBANG”

2. CU: Biji kopi dalam toples

1. SFX: Bunyi anjing makan

(7)

19 3. Fade in text “Film ini

dibuat supaya saya segera lulus dari UKSW” 4. CU: Ceret di atas kompor

yang sedang dinyalakan 5. CU: Air mendidih

dituangkan ke dalam pour over

6. Fade in text “FILM DOKUMENTER KARYA ARYA ADIKRISTYA” 7. CU: biji kopi dituangkan

ke wadah kecil di atas timbangan digital

8. Fade in text “TIM RISET” 9. CU: Corong mesin

penggiling biji kopi 10. CU: jarum thermometer

pour over bergerak ke arah 90 derajat celcius

11. CU: bubuk kopi halus dalam gelas diseduh 12. MS: barista mengantar

kopi dari meja bar hingga ke meja pelanggan 13. Fade in text judul “EMAS

ITU AMPAS” (DIP TO BLACK)

pelan piano

3. SFX: Bunyi air dituangkan ke dalam pour over

4. SFX: Bunyi biji kopi dituangkan ke wadah 5. SFX: Bunyi mesin penggiling biji 6. SFX: Bunyi air menyeduh

7. Musik fade out 2. Introduction (Persoalan Sampah Ampas Kopi) (FADE IN) 1. MS: Siluet rumah Wahyu Menyink 2. Perpaduan shot eksterior rumah Menyink 3. WS: Dimensi ruang dapur Menyink, diikuti menyink masuk 4. Perpaduan shot

1. MUSIC: instrument semangat pagi

(8)

20 Menyink sedang beraktivitas memasak di dapur 5. MS: Interview Wahyu Menyink 6. Fade in text “SALATIGA”

7. Fade in text “WAHYU MENYINK, PETANI URBAN”

8. Kembali ke shot-shot aktivitas dapur sebagai insight 9. Following camera Menyink menelusuri kebunnya 10. MS: Interview Wahyu Menyink 11. MS: Aktivitas Menyink di kebun halaman rumahnya 12. WS: Usai mengambil beberapa bahan masakan dari kebunnya, Menyink lanjut memasak di daput

13. CU: masakan ikan tuna 14. Timelapse: Aktivitas menyink memasak di dapur 2. Bunyi aktivitas Menyink di dapur (Musik memelan) 3. MENYINK: “Awalnya itu nyoba hidroponik yang sistem sumbu”. Menyink bercerita mengenai awal mula dia bercocoktanam dan menggunakan hidroponik, namun gagal. (Musik Mengeras) 4. MENYINK: “Karna di sekitaran rumah masih ada halaman yang bisa dialihfungsikan…” Di sini dia bercerita mengenai alternative bercocoktanam lainnya yang dicoba pasca hidroponik (Musik Fade out)

5. Menyink masih bercerita mengenai tanaman apa saja yang ditanamnya mula-mula (Musik semangat pagi masuk lagi sebentar, lalu memelan menjadi

(9)

21 (CUT TO) 15. MS: Interview Nugraheni Widyawati 16. Fade in text “NUGRAHENI WIDYAWATI, PETANI URBAN” 17. Combined shots dari

kegiatan Nug di Green House 18. Following camera: Kembali ke aktivitas dapur Menyink membawa limbah dapurnya ke sebuah kotak di belakang rumahnya

19. WS dan CU: Menyink sedang browsing di depan layar komputernya mengenai vermicomposting 20. MS: Interview Menyink (CUT TO) latar) 6. MENYINK: “Kayaknya kalo dibikin konsep yang lebih menarik, seru juga…” Di sini dia bercerita mengenai pemikirannya untuk membuat kebunnya menjadi kebun yang berkelanjutan dan memulai mengolah limbah dapurnya sendiri (Musik masih mengalun) 7. NUG: “Limbah dapur itu tidak harus dibuang jauh-jauh…” Nug bercerita mengenai sampah organic yang sebenarnya masih bisa kita olah sendiri, daripada menumpuk di TPA. (Musik nyaring)

(10)

22

8. MENYINK: “Waktu itu nemu artikel di web ttg vermicomposting.” (Musik selesai) 3. Peluang-peluang Pengolahan Ampas Kopi dan Siapa saja Pegiatnya 1. Black screen (Fade out) 2. MS: Menyink sedang mengecek sebuah kresek berisi cacing tanah yang baru dibelinya 3. CU: Menyink

memperlihatkan cacing tanahnya

4. WS: Menyink berpisah dengan penjua cacing, lalu masuk ke dalam rumah

(Dip to black) 5. Menyink membuka

bungkus dan mulai menyebar cacingnya ke kotak-kotak komposnya 6. Combined shots: Menyink mengolah limbah organik, mengaduk-aduk di dalam kotak komposnya 7. CU: Cacing tanah 8. CU, MS, WS: Menyink membuat kotak (Fade in) 1. Ambience suasana depan rumah Menyink dan dialog antara Menyink dengan penjual cacing 2. Dialog antara Menyink dengan Tim Riset Gulmakultur 3. MENYINK: “Dalam konsep vermicomposting yang diutamakan adalah budidaya kotoran cacingnya, bukan cacingnya.” Pada bagian ini Menyink menceritakan tentang konsep dasar

vermicomposting dan apa bedanya dengan sistem composting yang lainnya.

(11)

23 kompos cacing tanah 9. CU Timelapse:

pergerakan cacing tanah dalam waktu 30 menit sejak disebar

10. WS: Menyink berinteraksi dengan pemilik kedai kopi

11. Interview: Nugraheni (MS)

12. WS, MS: kondisi sekitar TPA di Salatiga dan orang-orang yang bekerja di TPA tsb 13. WS: Menyink 4. MENYINK: “Yang menjadi kendala, ini sumber makanan untuk cacingnya mulai berkurang. Dan saya harus cari alternatif lain.” Pada bagian ini Menyink bercerita mengenai

pikirannya untuk memanfaatkan ampas kopi untuk sumber pangan cacingnya.

5. NUG: “Yang menjadi masalah itu sebenarnya, kalau orang kota itu kan dia kepengen apa-apa itu bersih lingkungannya, sehingga pendauran sampahnya ada di luar lingkungannya dia. Alias di TPS” Pada bagian ini Nug bercerita bahwa imbas dari pendauran di luar, maka masyarakat kota menjadi gagap dalam mengatur sampahnya sendiri. 6. MUSIC: Instumen

(12)

24 mengeluarkan motor dari rumah

14. Following camera: Menyink nyetir motor menuju sebuah kafe, lalu parkir

15. CU: Logo Sendja 16. Following camera:

Menyink masuk ke dalam kafe, lalu saling sapa dengan Pemilik Kafe.

17. Interview: Menyink (MS)

18. Following camera: Menyink masuk ke dalam kafe lagi di hari yang berbeda, lalu memindahkan ampas kopi ke wadah kosong yang baru dibawanya. 19. CU & Timelapse Plakat

Sendja Koffie dari sore hingga malam

20. Fade in para pelanggan Sendja Koffie sedang saling berinterasi (kombinasi MS dan WS footage) 21. WS: Edi Purwanto,

pemilik Sendja Koffie, sedang berinteraksi dengan pelanggan di bar 22. MS Interview Edi Purwanto, Pebisnis akustik (Musik menjadi latar) 7. MENYINK: “Selama ini aku bekerja sama dengan salah satu kafe namanya Sendja Koffie.” Pada bagian ini Menyink bercerita mengenai

rutinitasnya mengambil ampas kopi di Sendja (Musik yang sama masih mengalun dan makin nyaring)

(13)

25 Kopi.

23. CU: Ampas kopi yang menjamur karena tidak diolah

(CUT TO)

24. WS: Pintu depan Logos Cafe

25. WS: interior Logos 26. WS: Munadi turun dari

tangga, menuju ke meja bar

27. MS: Interview Munadi

28. WS: kegiatan sehari-hari di Logos 29. CU: ampas kopi

(Musik jadi latar)

8. EDI: “Kalau kemarin ampas kopi tidak diambil, biasanya aku kumpulin, Soalnya kata temen bisa buat kontrol semut menyerang

taneman.” Pada bagian ini Edi bercerita ttg ampas kopi yang dia gunakan untuk beberapa keperluan kafenya, namun secara tidak langsung dia juga terjebak

monotonitas dan tidak ada inovasi. (musik mengeras lagi)

(musik memelan) 9. MUNADI:

“Mengolah sesuatu, pasti ada limbah-limbah produk kita.” Pada bagian ini Munadi membicarakan tentang pengalamannya berbisnis kopi sambil mengolah ampas kopi di

(14)

26 30. Kombinasi WS, MS,

CU slow motion exterior dan interior Frame Coffee House, sampai ke proses pembuatan kopinya

31. Track shot: barista Frame Coffeehouse mengantar pesanan ke meja pelanggan

32. MS: Tumpukan ampas kopi dalam kemasan kantong kresek.

33. MS: Interview Munadi

34. MS: Interview Menyink

kafenya menjadi pot tanaman hias. (musik selesai) 10. MUNADI: “Paling

banyak limbah di sini adalah ampas kopi.”

11. MUSIC: meditative instrumen

12. WIDI: “Sampah ampas kopi belum tau mau saya apakan. Belum ada gambaran bisa diolah seperti apa.” Pada bagian ini Widi menceritakan tentang pengalamannya memperlakukan sampah ampas kopi.

13. WIDI: “Saya juga sebenarnya

fokusnya juga pada operasional kafe. Sehingga tidak punya tenaga lagi untuk memikirkan pengolahan ampas kopi” 14. MUNADI: “Sebenarnya bisa meluangkan waktu satu dua jam per hari untuk mengolah limbah kita sendiri. Kalau kegiatan kafe terus, kita akan jenuh.”

(15)

27 35. WS, MS, CU Menyink

mengolah ampas kopi menjadi pupuk cacing.

(DIP BLACK TO)

36. WS: Salah satu peron di stasiun Semarang Tawang

37. CU: Papan jadwal keberangkatan 38. Kombinasi WS, MS, CU di dalam gerbong kereta. Untuk menekankan kesan perjalanan. 39. WS: Stasiun Pasar Senen

40. Suasana Local Market di Jakarta with text “JAKARTA”

41. WS, CU: Stand Rebrew di Local Market, Jakarta, bersama dengan timnya. 42. MS: Interview Probo Gozali 15. MENYINK: “Kenapa aku pilih ampas kopi karena itu hal terdekat dari rumah.” Menyink mengemukakan bahwa efisiensi pengolahan ampas kopi juga terletak dari ketersediaan limbah terdekat.

16. MENYINK: “Keuntungan yang aku beri ke mereka, belum secara finansial. Tapi paling tidak aku bisa ngasih tau ke mereka bahwa ampas kopinya bisa dibuat menjadi sesuatu.” (musik selesai) 17. AMBIENCE: stasiun semarang tawang 18. MUSIC: Travelling Midnight music (Musik memelan) 19. PROBO: “ReBrew

(16)

28 43. MS: Interaksi tim

rebrew dengan para pengunjung di Local Market itu startingnya 2017.” Pada bagian ini Probo memperkenalkan apa itu Rebrew dan model bisnis ampas kopi seperti apa yang dilakukannya.

(Musik selesai) 4. Ending 1. Interview: Probo

Gozali 2. MS: Anomali Coffee exterior 3. Interior Anomali 4. Interview: Probo Gozali 5. Interview: Wahyu menyink 6. Interview: Edi Purwanto 7. Interview: Munadi Cahyono 1. MUSIC: Meditative Ambience 2. PROBO: “Untuk mendapatkan ampas kopi yang berkualitas, kami bekerjasama dengan anomali coffee.”

3. MENYINK: “Aku kira tidak ada tempat usaha yang kalo ampas kopinya diminta akan berkeberatan.” 4. EDI: “Misalnya

besok-besok ada batu bata yang terbuat dari ampas kopi, pasti bakalan tak sambi jualan sambil sortir ampasku sendiri.” 5. MUNADI: “Kalo

saya jenis orangnya penasaran. Punya ide apa, ya tak praktekkan. Nanti masalah hasil belakangan.”

(17)

29 8. Interview: Widi Arie 9. Insert: Deutsche Welle

news about coffee cup made from coffee waste

10. CU: Produk olahan ampas kopi dari Rebrew

11. MS: Toples-toples kopi 12. CU: Biji kopi

ditimbang

13. CU: Edi membuat kopi manual brew V60 14. Interview: Menyink 15. MS: Menyink mengisi

kotak cacingnya dengan ampas kopi yang baru didapat dari kafe

16. Interview: Edi

17. Interview: Nugraheni

18. Interview: Menyink

6. WIDI: ”Aku sendiri baru ngerti lho ada aspal dan cangkir dari ampas kopi. Ya mungkin karena selama ini pebisnis kopi hanya fokus pada hasil akhir di cangkir akhirnya potensi di limbah ini terabaikan.” (Musik mengeras)

7. MENYINK: “Semoga ini bisa memacu temen2 kreatif lainnya untuk mengeksplor potensi ampas kopi di sekitarnya.” 8. EDI: “Misalnya

besok-besok ada batu bata yang terbuat dari ampas kopi, pasti bakalan tak sambi jualan sambil sortir ampasku sendiri.”

9. NUG: “Pangan itu kan sangat penting ya. Bukannya keindahan dan kenyamanan hidup saja. Percuma bersih kalo tidak ada pangan. 10. MENYINK:

(18)

30 19. Logo Rumah Film

Kombang 20. Credit

“Mereka sebagai pekerja bisnis kopi akan sadar dampak yang mereka lakukan.”

(Musik fade out sampai selesai)

Tabel 3.4.Shooting Script 3.2 Produksi

Untuk memberi sentuhan estetika pada film dokumenter, ada empat topik utama yang menjadi pedoman pematangan ide dan konsep yaitu pendekatan, gaya, bentuk, dan struktur. Keempat konsentrasi ini berguna bagi dokumentaris dalam memberi sentuhan estetika, sehingga film yang dibuat akan lebih persuasif bagi target penonton. (Ayawaila, 2008)

3.2.1 Pendekatan, Gaya, Bentuk, dan Struktur

Titiktolak pendekatan film dokumenter secara umum ada dua jenis, yakni naratif dan esai. Namun secara khusus, penulis akan menggunakan pendekatan esai dalam film dokumenter ini. Pendekatan esai adalah sebuah teknik mengantarkan cerita kepada penonton tidak menggunakan narasi atau voice-over. Dengan kata lain, pendekatan esai akan menggunakan subyek-subyek atau narasumber di dalam film yang akan menjadi pentutur ceritanya masing-masing dengan sudut pandang yang variatif pula.

Dalam gaya, penulis akan menggunakan gaya semi-serius dan observatif (observational documentary), seperti yang diaplikasikan dalam film Searching for Sugarman karya Malik Bendjelloul. Gaya ini adalah turunan dari pendekatan esai yang mana tidak menggunakan voice-over.

Sedangkan untuk bentuk penuturan, penulis akan menggunakan bentuk laporan perjalanan karena pengolahan ampas masih belum begitu populer di Salatiga, maka penulis harus

(19)

31

berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengumpulkan informasi mengenai upaya-upaya pengolahan ampas kopi yang masih sporadis ini.

Terakhir, penulis akan menggunakan struktur paling dasar dalam pembuatan karya film dokumenter, yakni struktur tiga babak: bagian awal cerita (pengenalan), bagian tengah (proses konflik), bagian akhir (klimaks/kesimpulan). Ketiga bagian ini akan disampaikan kepada penonton secara tematis, yaitu struktur penuturan yang memiliki kemampuan merangkum penggalan-penggalan cerita yang tidak berkesinambungan dan tidak kronologis, yang ternyata dapat dirangkai menjadi suatu kesatuan bingkai cerita. (Ayawaila, 2008:93)

3.2.2 Teknis Perekaman Audio-Visual

Dalam pembuatan film dokumenter ini, sistem pengambilan materi visual dan audio akan dilakukan secara langsung, dengan kata lain, tidak ada perekaman khusus di dalam studio. Hal ini menjadi pertimbangan penulis karena tidak ada kru tetap selain penulis sendiri, keterbatasan alat, dan biaya.

Alat-alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut: a. Canon G7X Mark II

Gambar 3.1. Canon G7X Mark II (Sumber: google.com) Kamera ini adalah kamera saku (pocket camera) yang memang disegmentasikan untuk

(20)

low-32

budget filmmaker. Penulis memilih kamera ini karena fiturnya cukup lengkap dan adaptif untuk syuting di latar ruangan terang maupun gelap. Selain itu, bokeh dari besarnya diafragma lensa bawaan kamera ini juga membantu penulis untuk membawa kesan fokus pada satu titik ketika syuting dilakukan.

b. Boya MY-M1 Lavalier Microphone

Gambar 3.2. Boya Microphone (Sumber: google.com)

Untuk memastikan kualitas audio saat wawancara dengan narasumber jelas dan tidak kalah dengan noise di sekitar, penulis menggunakan lavalier microphone dari Boya. Mikrofon klip ini juga terjangkau secara harga, namun kualitas audio yang dihasilkan sudah high-resolution. Selain itu, mikrofon ini juga mempunyai fitur omnidirectional, yang artinya mikrofon tidak hanya menangkap suara searah dengan kepala mikrofon, melainkan menangkap sekitar beberapa centimeter di sekitarnya juga. Fitur ini berguna bagi penulis, ketika mewawancara narasumber yang

(21)

33

pergerakannya banyak, atau melakukan wawancara in action.

c. iPhone SE

Gambar 3.3. iPhone SE (Sumber: google.com)

Penulis mencantumkan alat ini, karena telepon selular ini bisa menjadi perlengkapan cadangan atau backup, baik untuk perekaman video maupun audio. Untuk video, penulis akan menggunakannya di resolusi 4K 30fps dan audio menggunakan aplikasi Rode Microphone yang bisa dikombinasikan dengan mikrofon Boya.

d. Zoom F1 + Shotgun Mic

Gambar 3.4. Zoom F1 Field Recorder+Shotgun Mic (Sumber: google.com)

Alat ini adalah sound recorder untuk kondisi yang dinamis dan banyak pergerakan, namun dibutuhkan untuk tetap mendapat kualitas audio

(22)

34

yang jernih. Format audio yang akan digunakan oleh penulis adalah .WAV dengan input gelombang sekitar -6db sampai dengan -12db, sehingga gelombang bunyi atau suara yang masuk tidak terlalu kecil maupun terlalu keras.

e. Tripod Velbon

Gambar 3.5. Tripod Velbon (Sumber: google.com)

Tripod digunakan sebagai kaki kamera, ketika penulis sedang mewawancara narasumber. Tidak ada spesifikasi khusus untuk tripod.

3.2.3 Teknik Wawancara

Secara umum, wawancara dalam film dokumenter dibagi menjadi dua jenis. Pertama, wawancara atau dengan kata lain, si pembuat berada di luar frame kamera; kedua, adegan wawancara yang mana mengharuskan si pembuat film berada di dalam frame untuk mewawancarai narasumber terkait. Meski keduanya berbeda, namun secara prinsip sama, yakni menggali informasi secara langsung dari narasumber sebagai bahan audio-visual dalam film. (Ayawaila, 2008:96)

Film dokumenter ini akan menggunakan teknik wawancara di luar frame kamera. Adapun alasan penulis untuk tidak

(23)

35

menggunakan teknik adegan dikarenakan pengerjaan tidak menggunakan kru tambahan untuk mengoperasikan kamera, ketika penulis melakukan dialog dengan narasumber. Seluruh data yang dihimpun dari wawancara penulis dengan para narasumber, nantinya akan dirangkai secara tematis, tanpa ada voice over. 3.3 Pasca Produksi

Tahap ini adalah tahap terakhir dalam proses pembuatan film dokumenter, sebelum karya film dokumenter dipublikasikan. Secara umum, ada tiga sub-tahapan dalam pasca produksi yang meliputi editing, mixing, dan rendering.

3.3.1 Editing

Proses penyuntingan dibagi menjadi dua: offline editing dan online editing. Kedua sub-tahapan proses ini membantu penulis untuk menghimpun materi video maupun audio secara terorganisir, sehingga memudahkan penulis untuk menyunting video. Selain itu, penulis menggunakan software Adobe Premiere Pro CC 2015 untuk melakukan penyuntingan.

Secara prinsip, offline editing adalah proses tahap di mana penyunting melihat kembali seluruh hasil syuting (master shot) dengan memperhatikan secara selektif serta mencatat shot-shot mana saja yang dianggap penting. Selain itu, daftar shot yang sudah ditandai tadi dapat langsung dipotong dan diambil bagian yang paling representatif dengan rancangan yang sebelumnya, lalu karakter warna setiap shot juga dibuat senada. Pada tahapan ini pula musik sudah mulai disiapkan, agar pada tahapan berikutnya pengerjaan penyuntingan bisa lebih efisien. (Ayawaila, 2008:133)

Online editing adalah tahap di mana penyunting dengan sutradara biasanya akan meninjau ulang hasil suntingan pada tahap offline. Setelah meninjau ulang, tahap ini akan lebih fokus kepada proses-proses yang meliputi struktur cerita, tempo, irama, alur

(24)

36

penuturan, serta durasi film. Gambaran yang lebih spesifik mengenai awal, pertengahan, klimaks, hingga credit title akan terlihat di tahap ini.

3.3.2 Mixing

Setelah penggabungan seluruh scene, tahap ini adalah tahap penyelarasan antara materi video dengan audio (baik itu meliputi suara dari materi video langsung atau ilustrasi musik).

3.3.3 Rendering

Proses ini merupakan babak paling terakhir dalam penyuntingan film dokumenter. Proses ini ialah proses di mana seluruh materi (shot, ilustrasi, musik, audio master) yang sebelumnya terdiri dari pecahan-pecahan file, selanjutnya dimatangkan menjadi satu file utuh. Setelah proses rendering, maka proses pasca produksi artinya sudah selesai.

Gambar

Tabel 3.1.  Daftar Pustaka Riset Pengantar
Tabel 3.2.Rencana Jadwal Produksi
Tabel 3.3. Estimasi Biaya
Tabel 3.4.Shooting Script
+5

Referensi

Dokumen terkait

Laporan tugas akhir ini disusun sebagai syarat kelulusan pendidikan tinggi Program Strata-1 di Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya

Oleh karena itu, pelanggaran atas norma tersebut akan dapat berakibat diberikan sanksi yang tegas, meskipun bukan dalam hukuman pidana, karena pelanggaran tersebut

Ahmad Syarif Hidayat 41207010013 Fasilitas Komunitas Kawasaki Motor Sport 9 Ada komunitas motor yang mengharuskan anggotanya menggunakan satu merek pabrikan saja,

Perbedaan kerapatan populasi telur, pupa dan imago yang ditemukan pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang pada saat buah berukuran ±10 cm diduga karena di lapangan

Dari sekian banyaknya persaingan bisnis ini, kedai kopi yang mampu bertahan adalah kedai kopi yang paling baik dalam memberikan keputusan pembelian, baik itu

1) Timbangan telah terealisasi dibuat sesuai dengan perencanaan dan perancangan alat dengan menggunakan satu sensor Load Cell dengan kapasitas maksimal beban 10 kg.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh

Penelitian yang berjudul Makna Halal Kedai Kopi Bagi Konsumen Berhijab: Studi FDGnografi di Kedai Kopi XYZ ini melihat banyaknya umat muslim terutama di