• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV LARANGAN PERKAWINAN MANYUNDUTI DI DESA NAHULA JULU MENURUT HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV LARANGAN PERKAWINAN MANYUNDUTI DI DESA NAHULA JULU MENURUT HUKUM ISLAM"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

LARANGAN PERKAWINAN MANYUNDUTI DI

DESA NAHULA JULU MENURUT HUKUM ISLAM

1. Filosofi Laragan Perkawinan Manyunduti di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara

Dalam masyarakat Desa Nahula Julu perkawinan merupakan hal yang sangat penting karena berhubungan erat dengan sistem kekerabatan dan garis keturunan bapak. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara mempelai laki-laki dan mempelai wanita tetapi juga antara kedua keluarga. Perkawinan masyarakat Desa Nahula Julu tidak terlepas dari adat Desa Nahula Julu itu sendiri. Dalam masyarakat Desa Nahula yang menjadi syarat dari perkawinan adalah, kedua calon mempelai harus beragama Islam, kedua calon mempelai tidak sedarah, tidak berasal dari marga yang sama, kedua calon mempelai haruslah saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak, dan calon suami harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya nanti.

Perkawinan adalah suatu alat untuk membentuk hubungan sosial, yang amanah setiap manusia tidak akan dapat hidup tanpa adanya orang lain karena manusia hidup saling membutuhkan dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Adapun faktor yang mendorong terbentuknya hubungan soaial diantaranya untuk mengembangkan keturunan, memenuhi kebutuhan hidup dalam pergaulan dan untuk mempertahankan hidup serta guna untuk berkomunikasi dengan sesama. Sedangkan tujuan di bentuknya hubungan soaial tersebut adalah untuk menjalin hubungan usaha, persahabatan dan kerja sama. Seperti halnya perkawinan yang dilarang di Desa Nahula Julu adalah perkawinan manyunduti,

(2)

mengenai aturan ini adalah orang tua yang memberikan larangan kepada anaknya untuk tidak kawin dengan boru tulang, karena masyarakat dan tokoh adat beranggapan bahwa apabila nanti anak laki-laki kawin dengan anak perempuan dari sauadara kandungnya akan mengakibatkan pertengkaran dikemudian hari karena tidak selamanya perkawinan itu berjalan dangan baik, dan apabila suatu saat keluarga itu bercerai maka kedua keluarga akan menjadi hancur dan akan bermusuhan yaitu antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan (Kumpul 2017).

Masyarakat Desa Nahula Julu termasuk dalam kategori masyarakat yang masih melestarikan budaya nenek moyang baik dalam tindakan-tindakan sosial maupun dalam persoalan agama. Seperti halnya mengenai perkawinan yang berlaku tentang larangan perkawinan manyunduti di Desa Nahula julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara. Yang pada intinya proses perkawinan di Desa Nahula Julu berlaku larangan terhadap perkawinan manyunduti yang dilarang oleh orang tua (Naga 2017).

Dalam adat larangan perkawinan manyunduti terhadap laki-laki yang ingin mengawini anak perempuan saudara kandung ibunya belum ada sejak terdahulu, akan tetapi adat larangan perkawinan manyunduti di sekitar kurang lebih tahun 2000, karena melihat kondisi sebelumnya yang telah banyak terjadi perceraian diantara orang yang telah melakukan manyunduti yang mengakibatkan terjadinya pertengkaran atau memisahkan hubungan keluarga pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan. Maka dalam kejadian dan akibat yang telah terjadi karena perkawinan manyunduti para tokoh adat membuat adat larangan perkawinan manyunduti terhadap anak laki-laki yang ingin menikahi anak saudara kandung ibunya dan masyarakat setuju terhadap adat larangan manyunduti,

(3)

walaupun dalam kenyataannya yang telah penulis teliti ada sebagin yang tidak setuju terhadap larangangan perkawinan manyunduti (Kumpul 2017).

Dalam filosofi larangan perkawinan manyunduti di Desa Nahula Julu, yang melatar belakangi adanya larangan tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Yaitu diakibatkan orang yang kawin manyunduti banyak terjadi perceraian dan percerain tersebut mengakibatkan hubungan kelurga antara pihak laki-laki dan pihak keluarga perempuan pecah atau hubungan keluarga tersebut putus karena pertengkaran suami isteri yang melakukan perkawinan manyunduti. Dari pemafaran di atas para tokoh adat menjadikan larangan manyundut yang dapat sebagai faktor-faktor larangan

perkawinan manyunduti. Pertama, memperluas hubungan

kekeluargaan, kedua memelihara hubungan keluarga, ketiga, untuk mengurangi perceraian, yang akan penulis jelaskan.

2. Faktor-Faktor Dilarangnya Perkawinan Manyunduti

Setiap perilaku baik itu sengaja atau pun ketidak sengajaan pasti mempunyai konskuensi, akan tetapi di balik konskuensi tersebut pasti ada sebab sesuatu untuk melakukannya, baik itu perseorangan maupun induvidu, dari hal tersebut seperti kasus yang telah terjadi di Desa Nahula Julu, Kec. Dolok Sigompulan tentang larangan perkawinan manyunduti. Maka penulis untuk melihat hukum terhadap kasus tersebut perlu melihat bagaimana faktor-faktor dilarangnya perkawinan manyunduti. Seperti wawancara penulis dengan salah satu tokoh adat bapak Kumpul Ritonga menjelaskan bahwa terhadap dilarangnya perkawinan manyunduti ada beberapa faktor membuat suatu adat terhadap pelarangan perkawinan manyunduti, seperti (Kumpul 2017):

(4)

3.1. Memperluas Hubungan Kekeluargaan

Terjadinya suatu adat dilarangnya pernikahan manyunduti dalam wawancara penulis dengan bapak Kumpul Ritongan mengatakatan karena selama dari masa ke masa anak remaja yang menikah dahulu kebanyakan mengawini anak saudara ibu kandungnya, dari hal tersebut membuat hubungan kekeluargaan tidak bertambah, karena jika pernikahan manyunduti itu terus berlanjut kemungkinan besar kekeluargaan tidak akan bertambah, karena di luar Desa masih banyak yang bersaudara di Desa Nahula Julu, Kec. Dolok Sigompulan, maka orang tua melarang anaknya mengawini dari anak perempuan saudara kandungnya, karena larangan tersebut manjadi kebiasaan bagi masyarakat, sedangkan kebiasaan adalah adat, maka larangan pernikahan manyunduti menjadi adat, yang menjadi sekarang adat yang diadatkan (Kumpul 2017).

Sedangkan wawancara penulis dengan salah satu masyarakat Desa Nahula Julu, Kec. Dolok Sigompulan yang bernama ibu Jahrona juga menjelaskan bahwa adat larangan tersebut sudah terjadi sudah lama, dikarenakan kelurganya hanya melakukan perkawinan manyunduti, yang membuat keluarga tidak bertambah, walaupun keturunan yang bertambah, tetapi jika menikah dengan orang lain keluarga si perempuan akan jadi keluarganya, sedangkan jika menikah manyunduti orang lain tersebut tidak akan pernah menjadi keluarganya, dari penjelasan di atas tersebut ibu Jahrona melarang anak laki-lakinya kawin dengan anak perempuan saudara kandungnya ( Jahrona 2017 ).

3.2. Memelihara Hubungan Keluarga

Keluarga adalah tempat seseorang berteduh, mengadu maupun berkeluh kesah dari hal tersebut dalam wawancara penulis dengan bapak Kumpul Ritongan mengatakan sangat penting menjaga

(5)

hubungan keluarga dari turun temurun dari kakek moyang sampai sampai ke cucu, sebagaiman tersebut untuk menjaga hubungan keluarga agar tidak saling membenci, karena sudah sering terjadi apabila seorang pemuda menikah manyunduti, setelah tidak ada kecocokan setelah pernikahan lalu mereka bercerai, dalam hal tersebut keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan akan saling membenci, karena untuk saling menutupi keburukan pihaknya, dari kebiasaan tersebut itu juga larangan bagi pemuda menikah manyunduti. Maka lebih baik bagi orang tua melarang anaknya menikah manyunduti, untuk menjaga kerukunan hubungan keluarga (Kumpul 2017).

Melihat betapa pentingnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat Desa Nahula Julu menjadi hal yang harus dipertahankan oleh masyarakat Desa Nahulu Julu karena jika melangsungkan perkawinan dengan cara manyunduti apabila terjadi pertengkaran maka hubungan kekeluargaan yang telah terjalin sejak dulunya akan terputus begitu saja, karena pertimbangan inilah orang tua melarang anaknya melakukan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara kandung Ibunya.

3.3. Untuk Mengurangi Perceraian.

Semenjak larangan yang ditetapkan oleh Adat kepada penduduk masyarakat dapat terlihat bahwa filosofinya adalah untuk memelihara agar dari kalangan masyarakat yang kawin dengan boru tulang (anak perempuan dari saudara kandung ibu), tidak terulang kembali, jika dilihat dari kaca mata kemanfaatannya hal ini dilarang semata demi kebaikan masyarakat Desa Nahula Julu dan menjaga anak-anak agar tidak merasakan dampak yang terjadi akibat peceraian dari orang tuanya.

Seperti wawancara penulis dengan Bapak Dame Kebanyakan dari orang yang melakukan perkawinan dengan cara mayunduti

(6)

sangat sering sekali terjadi perceraian diantara keduanya diakibatkan antara laki-laki dan perempuan tersebut sudah saling kenal satu sama lain mulai dari waktu kecil hingga dewasa bahkan sampai mereka melakukan perkawinan, oleh karena itu apabila di antara mereka terjadi selisih pendapat maka saling menyebutkan kekurangan satu sama lain, sehinga perceraianpun akan mudah diambang pintu. Karena dilihat dari kebiasaan dalam perkawinan manyunduti antara calon laki-laki dengan calon wanita sudah saling kenal, baik sifat dan prilaku di antara mereka dalam prilaku hal buruk, karena dilihat tidak ada rasa ingin mengenal lagi, karena sudah saling mengenal dari umur anak-anak, maka akan mengurangi rasa kasih sayang diantara mereka, dari itu akan lebih mudah ingin bercerai bercerai (Dame 2017).

4. Respon Masyarakat Terhadap Larangan Perkawinan Manyunduti Di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan wawasan seorang tentu akan menyebabkan pola pikir dan tata sosial yang tidak lagi sama karena dengan adanya ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas menjadikan berbedanya seseorang dalam menilai sesuatu baik dari segi pemahaman atau dari segi pendapat hal ini dapat dilihat dengan adanya masyarakat yang setuju dan ada juga yang menentang adanya larangan perkawinan manyunduti, karena setiap orang berbeda dalam cara pandangnya, khususnya perkawinan manyunduti dengan berbagai alasan dan pandangan mereka menyimpulkan dengan adanya larangan perkawinan manyunduti dengan berbeda-beda pendapat seperti dibawah ini. Mengenai respon masyarakat tentang adanya larangan perkawinan manyunduti dapat dikategorikan kepada: pertama, ada yang setuju dan yang kedua ada yang tidak setuju, seperti yang terlihat di bawah ini.

(7)

Secara umum setiap Desa memiliki larangan tentang perkawinan yang berbeda- beda seperti halnya larangan perkawinan manyunduti di desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara. Adanya larangan tersebut karena orang tua takut terjadi hal yang tidak dinginkan dalam dua

keluarganya. Sebagaimana tanggapan masyarakat tentang

perkawinan manyunduti, masyarakat yang setuju dengan adanya larangan tersebut.

Adapun masyarakat yang sebagian memberikan pandangan positif terhadap larangan perkawinan manyunduti, seperti wawancara penulis yang di uraikan di bawah ini:

Dalam wawancara penulis dengan bapak Jansen mengatakan dalam larangan perkawinan manyunduti itu sudah kesepekatan dalam masyarakat, karena perkawinan manyunduti terlalu negatif dalam pandangan masyarakat, karena dalam hubungan kekerababatan dalam adat mereka masih dikatakan saudara, walaupun dalam hukum Islam halal dalam perkawinan manyunduti. Akan tetapi selain itu juga bapak Jansen mengatakan bahwa dalam perkawina manyunduti itu lebih mudah perceraian, karena mereka sudah saling kenal akan keburukan masing-masing, biasanya mereka akan saling mencaci hanya karena masalah kecil terhadap keburukan masa sebelum perkawinan (Jansen 2017).

Selain itu juga bapak Manap mengatakan dalam responnya terhadap perkawinan manyunduti tersebut, bahwa dalam perkawinan manyunduti itu sangat rentang terhadap hubungun perkawinan antara suami isteri, selain itu juga berpengaruh terhadap hubungan keluarga pihak laki-laki dengan pihak perempuan disebabkan antara laki-laki dengan perempuan akan saling memburuk-burukkan diantara mereka, sedangkan hubungan orangtua laki-laki dengan

(8)

orangtua perempuan bersaudara, karena perkawinan manyunduti itu membuat keluarga besar mereka akan retak. Selain itu juga bapak manap mengatakan dalam larangan perkawinan manyunduti untuk memperluas hubungan keluarga dengan orang yang lain yang belum ada hubungan dengan keluarga, karena jika terus-terusan perkawinan manyunduti di perbolehkan hubungan keluarga akan semakin erat, akan tetapi tidak akan bertambah atau semakin luas keluarga, apalagi yang di luar daerah Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara (Manap 2017).

Sedangkan masyarakat yang memberikan pandangan negatif terhadap larangan perkawinan menyunduti, seperti wawancara penulis yang diuraikan di bawah ini:

Wawancara penulis dengan bapak Tappil mengatakan bahwa dalam larangan perkawinan manyunduti memang sangat bagus dalam hubungan keluarga dan memperluaskan hubungan kekeluargaan, akan tetapi dari larangan perkawinan manyunduti itu banyak anak remaja yang melakukan kawin lari dengan anak saudara ibu kandungnya. Karena larangan tersebut membuat pernikahan tidak resmi dalam dimasa sekarang. Dari larangan perkawinan manyunduti banyak anak remaja membangkang terhadap orangtua, karena mereka menganggap hubungan suami isteri mereka yang menentukan bukan orangtua apalagi adat (Tappil 2017).

Ungkapan yang senada juga dikatakan oleh Masnuri salah seorang masyarakat Desa Nahula Julu yang menguatkan apa yang dikatakan Tappil yang menyatakan; Dengan adanya larangan tersebut sebenarnya juga mendatangkan hal negatif bagi masyarakat Desa Nahula Julu, seperti ada dari masyarakat yang nikah dengan cara kawin lari karena tidak direstui dikampung tersebut dan ada juga mereka yang menentang orang tuanya karena orang tua menghalangi

(9)

perkawinan mereka tersebut. selain itu juga ada sebagian melakukan perzinaan dengan anak saudara ibu kandungnya untuk bisa melakukan perkawinan manyunduti, karena bagaimanapun dari pada mereka melakukan perzinaan lebih baik larangam perkawinan manyunduti tersebut ditiadakan (Masnuri 2017).

Dari beberapa wawancara penulis dengan beberapa masyarakat Desa Nahula Julu yang sudah penulis jelaskan, maka penulis akan menjelaskan bagaimana pandangan para tokoh adat dan tokoh agama terhadap larangan perkawinan manyunduti tersebut.

Dalam wawancara penulis dengan bapak Anuar mengatakan, dalam larangan perkawinan manyunduti tersebut memang sudah ada sejak zaman dahulu, karana melihat kejadian dan akibat yang sudah penulis jelaskan sebulumnya para tokoh adat membuat adat larangan perkawinan manyunduti dalam melaksanakan adat dalam perkawinan di Desa Nahula Julu, dan menyakini itu adalah yang terbaik kepada masyarakat, walaupun sebenarnya ada hal yang tidak di inginkan terjadi, seperti ada orang yang kawin lari maupun sampai melakukan perzinaan terhadap anak saudara ibu kandungnya karena dia ingin menikahi boru tulangnya (anak saudara ibu kandung). Akan tetapi karena suatu adat maka harus di laksanakan dan selama ini larangan perkawinan manyunduti sangat baik untuk menjaga hubungan keluarga maupun perselisihan di antara mereka dalam keluarga besar yang selama ini terjalin rukun (Anuar 2017).

Sedangkan wawancara penulis dengan beberapa tokoh agama yang bernama bapak Mukhsin menjelaskan bahwa dalam larangan perkawinan manyunduti ini memang tidak ada larangan bagi seorang laki-laki ingin menikahi boru tulangnya (anak saudara ibu kandung) akan tetapi selama ini adat terhadap larangan perkawinan manyunduti memberikan hal yang baik bagi keluarga mereka yang

(10)

ingin kawin dengan boru tulangnya (anak saudara ibu kandung). Walaupun terkadang ada yang terjadi hal yang buruk kepada anak remaja sekarang disebabkan larangan perkawinan manyunduti tersebut (Mukhsin 2017).

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa, sebagian masyarakat menerima secara loyalitas tentang diberlakukannya larangan perkawinan manyunduti tersebut namun ada juga sebagian masyarakat Desa Nahula Julu yang tidak setuju dengan adanya larangan perkawinan tersebut bahkan dari kalangan ulama dan pemerintahan tersebut ada yang bersipat ambigu. Ambigu disini maksudnya adalah mereka tidak menentang akan adanya larangan tersebut. Meski demikian mayoritas masyarakat Desa Nahula Julu setuju tentang larangan tersebut meski ada beberapa masyarakat yang tidak setuju dengan adanya larangan perkawinan manyunduti tersebut namun pada kenyataannya sampai saat ini aturan tersebut masih diberlakukan di Desa Nahula Julu.

Bagi masyarakat Desa Nahula Julu menjaga keseimbangan alam dan keseimbangan struktur ditengah masyarakat itu suatu hal yang wajib dilakukan karena tanpa adanya keseimbangan dalam suatu masyarakat kehidupan bermasyarakat yang tentrampun tidak akan didapatkan, serta hubungan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain akan menjadi baik jika keseimbangannya terjaga dan begitu juga sebaliknya.

5. Tinjaun Hukum Islam Tentang Larangan Perawinan Manyunduti di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara.

Dalam hukum Islam khususnya dalam fiqh al-munakahat telah diatur secara rinci dan komperensif tentang ketentuan-ketentuan

(11)

yang mencakup seluruh perkawinan, dari mulai syarat, rukun, lamaran (khitbah), aqad maupun larangan-larangan perkawinan. Tujuan dari ketentuan-ketentuan itu adalah terwujudnya suatu perawinan dan terhindar dari perpecahan keluarga.

Dalam analisis penulis sistem perkawinan di Desa Nahula Julu pada dasarnya praktek atau sistem perkawinan maupun ketentuan proses perkawinan yang berlaku pada masyarakat Desa Nahula Julu telah sesuai dengan hukum perkawinan Islam, mulai dari lamaran (khitbah), syarat rukun dan aqad perkawinan tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam. Karena dilihat dari sistem perkawinan yang sudah dijelaskan di atas sudah sesuai dengan syariat Islam, walaupun ada hal yang berbeda dengan hukum Islam sebagai adat yang telah dijadikan sumber hukum dalam perilaku masyarkat namun dalam sistem perkawinan yang ada di Desa Nahula Julu tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam. Karena sudah memenuhi terhadap rukun dan syarat dalam pernikahan.

Sedangkan analisis penulis terhadap pilosofi terhadap larangan perkawinan manyunduti adalah dimana yang melatarbelakangi terhadap larangan perkawinan manyunduti sebagai yang telah terjadi sebelumnya. Karena banyak orang yang bercerai disebabkan pernikahan manyunduti dan mengakibatkan pertengkaran terhadap keluarga kedua pihak, sedangkan keluarga tersebut masih dalam persaudaran. Dari kajadian tersebut para tokoh adat masyrakat membuat adat larangan perkawinan manyunduti. Namun dilihat dari akibat terhadat pelarangan perkawinan yang menyebabkan orang yang dilarang untuk perkawinan manyunduti akan melakukan perzinaan untuk mendapatkan kawin menyunduti, dari pilosofi tersebut dapat dilihat bahwa adat tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam, seperti yang dijelaskan sabda Rasulullah:

(12)

و هيلع للها ىلص للها لوسر انل لاق : لاق ,هنع للها يضر دوعسم نب للها دبع نع

,رصبلل ضغأ هناف .جوزتيلف ةءابلا مكنم عاطتسا نم ,بابشلا رشعم اي : ملس

هل هناف ,موصلاب هيلعف عطتسي لم نمو ,جرفلل نصحأو

)هيلع قفتم( .ءاجو

Artinya: “Dari ‘Abdullah Ibnu Mas’ud r.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami : Wahai para pemuda, apabila kamu sudah sanggup untuk melaksanakan kawin maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin itu menjaga pandangan dan kehormatan. Dan bagi siapa yang tidak sanggup maka

hendaklah berpuasa karena puasa itu benteng

(HR.Mutafaqun ‘alaih) (Ash-Shan’ani 1995, 394)”.

Perkawinan merupakan hal sangat penting karena berhubungan erat dengan sistem kekerababatan dan garis keturunan masyarakat. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara peribadi yang bersangkutan, antara mempelai laki-laki dan mempelai wanita tetapi antara kedua keluarga. Larangan adalah perintah atau aturan yang melarang suatu perbuatan, sesuatu yang terlarang karena dipandang keramat atau suci, sesuatau yang terlarang karena kekecualian. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2008, 819). Sedangkan larangan perkawianan adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan (Syarifuddin 2006, 109).

Di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara terdapat 2 (dua) suku yaitu suku batak mandailing dan Suku Nias dan di Desa tersebut terdapat delapan 8 (delapan) macam marga, diantaranya Marga Rambe, Marga Ritonga, Marga Lubis, Marga Dalimunthe, Marga Simbolon, Marga Siregar, Marga Nasution, Marga Tanjung. Di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara dimana terdapat larangan perkawin manyunduti, yang dimaksud dengan perkawinan manyunduti itu adalah seorang anak yang kawin dengan anak perempuan dari saudara kandung Ibu ( Kumpul 2017 ).

(13)

Dalam masyarakat Nahula Julu yang menjadi syarat dari perkawinan adalah kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari marga yang sama, kedua mempelai saling menghormati dan menghargai orang tua. Namun para tokoh adat dan orang tua menambah dengan tidak membolehkan anaknya kawin dengan cara manyunduti, sebagaimana ungkapan dari orang tua yang melakukan perkawinan manyunduti, mereka tidak ingin anak laki-lakinya kawin dengan anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara kandung ibunya. Selain itu, mereka takut kalau anak laki-lakinya menikah dengan keluarga dekatnya, seperti boru tulang, akan mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran karena perkawinan tidak selamanya akur dan tentram. Apabila terjadi pertengkaran di dalam rumah tangganya maka akan hancur pulalah hubungan keluarga antara kedua belah pihak keluarga mempelai. Pada awalnya mereka bersaudara dekat, menjadi bermusuh-musuhan diakibatkan anak mereka yang melakukan perkawinan dan berakhir dengan perceraian antara kedua mempelai laki-laki dan mempelai perempuan (Kumpul 2017).

Seperti wawancara yang dilakukan penulis kepada keluarga yang pernah melanggar aturan perkawinan adalah, perkawinan yang dilakukan oleh keluarga Amin dengan Siti yang telah menikah pada tahun 2007 (Amin Dan Siti 2017). Andam dengan Alwiah yang telah menikah pada tahun 2010 (Andam 2017). Yang telah menikah dengan kawin lari. Keluarga Munir dan Helda yang telah menikah pada tahun 2013 (Munir 2017). Selanjutnya keluarga Mardan dengan Cahaya yang telah menikah pada tahun 2014 karena hamil diluar nikah (Mardan 2017).

Jika perkawinan tersebut tetap terjadi baik dikarenakan sudah terjadi kesalahan (hamil diluar nikah) atau karena alasan-alasan yang

(14)

lain, maka yang melakukan perkawinan tersebut dikenakan sangsi, yaitu ( Basyir 2017):

5.1. Diusir dari rumah, pihak keluarga mengasingkannya dan

tidak memperdulikannya lagi, meski mereka meminta kepada orang tua agar diakui kembali untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.

5.2. Pasangan yang melanggar aturan orang tua tersebut juga akan diasingkan dari kampung, Mereka tidak boleh lagi tinggal dikampung mereka sendiri. Dengan kata lain mereka diusir keluar dari kampung tersebut.

5.3. Pasangan yang melanggar aturan tersebut juga akan

dikucilkan oleh masyarakat, karena dianggap telah melanggar atau mendurhakai orang tua.

Didalam Islam tidak ada yang melarang perkawinan antara dua orang yang memiliki kekerabatan seperti yang penulis paparkan di atas. Namun dalam pembahasan ini penulis menemukan perbedaan, bahwasanya di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Uatara, terdapat larangan perkawinan yang berbeda dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah, seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.

Pada Bab II telah dijelaskan bahwa mengenai wanita yang haram di kawini secara garis besar dibagi dua, yaitu yang haram dinikahi untuk selamanya dan wanita yang haram dinikahi untuk sementara. Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya ada diantaranya, yaitu haram disebabkan oleh adanya hubungan nasab, haram karena adanya hubungan sepersusuan, haram karena besanan (karena pertalian kerabat semenda) (Ghazaly 2006, 107).

Kenyataan yang terjadi di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara, terdapat larangan

(15)

perkawinan yang berbeda dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah seperti yang telah di jabarkan pada bab-bab sebelumnya, ketentuan tersebut yaitu: seorang Laki-laki dilarang kawin dengan anak perempuan dari saudara kandung Ibu larangan ini telah menjadi adat dalam setiap keluarga (Jana 2017). Meskipun di dalam kajian ushul fiqh adat biasa dijadikan sumber hukum dengan kaedah:

لا

تمكحم

ةداعلا

Artinya: Adat dapat menjadi dasar hukum. (Al-Suyuthi 1979, 5)

Namun adat yang dimaksud adalah adat yang shahih, yaitu: adat yang berulang-ulang dilakukan diterima banyak orang, tidak bertentangan dengan agama sopan santun dan budaya luhur. Umpamanya mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi) sesudah hari raya.

Sedangkan mengenai larangan perkawinan manyunduti Di Desa Nahula Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara tersebut tergolong kepada aturan fashid (merusak). Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 87 yang berbunyi:

َّنِإ

ْْۚآَٰوُدَخ ۡعَح َلََو ۡمُكَل ُ َّللَّٱ َّلَحَأ َٰٓاَم ِجََٰبِّيَط ْاىُمِّسَحُح َلَ ْاىُىَماَء َهيِرَّلٱ اَهُّيَأَََٰٰٓي

َهيِدَخ ۡعُمۡلٱ ُّبِحُي َلَ َ َّللَّٱ

٧٨

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Departemen RI 2005)

Ayat diatas merupakan suatu penegasan langsung dari Allah kepada orang-orang yang beriman untuk tidak mengharamkan apa yang dibolehkan oleh Allah. Allah tidak pernah melarang perkawinan

(16)

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang memiliki hubungan kerabat (anak mamak) asalkan perkawinan tersebut tidak melanggar ketentuan al-Qur’an dan Sunnah terutama yang membahas mengenai larangan perkawinan.

Setiap Desa memiliki adat atau peraturan tertentu mengenai perkawinan dan peraturan itu tidak sama pada masing-masing Desa. Dimana laki-laki yang kawin dengan anak perempuan dari saudara kandung ibu adanya larangan tersebut dikarenakan orang tua dari calon mempelai laki-laki tidak membolehkan anaknya mengawini anak perempuan dari saudara kandung ibu. Mereka takut akan hal-hal yang mengakibatkan perselisihan antara kedua keluarga besarnya, oleh karena itu orang tua tidak ingin menikahkan anak laki-lakinya dengan kerabatnya sendiri, sebagaimana ungkapan orang tua dari Satiyan. Bahwa Satiyan tidak dibolehkan menikahi sepupunya (boru tulang)

(Imran 2017).

Setelah diperhatikan mengenai orang-orang yang diharamkan dikawini menurut hukum syara’ dan selanjutnya dalam surat an-Nisa ayat 24 juga dijelaskan bahwa halal mengawini perempuan-perempuan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 22-24.





































































(17)





































































































































































Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang

(18)

telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan (di haramkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-nya atas kamu. dan di halalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Departemen RI 2005). Bahkan dalam surat al-Ahzab ayat 50 orang-orang yang bersaudara sepupu saja boleh melakukan perkawinan apalagi kalau hanya hubungan yang tidak memiliki hubungan darah, tentu akan lebih boleh lagi untuk menikah. Dengan demikian jelaslah sekarang bahwa larangan orang tua terhadap anaknya untuk mengawini anak dari saudara kandungnya adalah tidak sesuai dengan peraturan al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga dengan demikian larangan tersebut menjadi haram hukumnya.































































































(19)































Artinya: Hai Nabi, Sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Sebatas penelusuran literatur, peneliti tidak menemukan nash

al-Qur’an yang bersifat Qat’i1 maupun Zanni2 yang membahas

larangan ini, begitu juga dengan hadits, ijma’ maupun pada kitab-kitab fiqih tidak ada yang menerangkan tentang larangan perkawinan ini, untuk itu penulis akan menggunakan tinjauan al-urf sebagai pencarian hukum (ijtihad).

Adapun larangan perkawinan dalam hadits yaitu: nikah mut’ah,3 nikah muhallil,4 dan nikah shigar.5 Dalam hal ini tidak ditemukan larangan atau anjuran secara tegas tentang larang

1

Qat’i: Adalah ketetapan hukum yang sudah pasti yang langsung ditetapkan Allah maupun Nabi Muhammad SAW

2

Zanni: Dalil-dalil yang belum pasti penunjukannya terhadap sesuatu

3 Nikah Muhallil: pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah di tolak tiga (ba’in kubra)

4 Nikah Mut’ah: Nikah kontrak dalam tempo masa 5

Nikah Shigar: Pernikahan yang di dasarkan pada janji atau kesepakatan penukaran dengan menjadikan dua orang perempuan sebagai mahar

(20)

perkawinan manyunduti. Oleh karena itu tidak ada larangannya dalam al-Qur’an maupun Hadits, maka dapat disimpulkan larangan perkawinan manyunduti semata-mata adat urf.

Adapun alasan para ulama mengenai penggunaan dan penerimaan mereka terhadap ‘urf atau ‘adat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi SAW dari Abdullah bin Mas’ud yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi:

ع

وهف اسح ن ولسلم ا ه أ ر ام: لمسو هيلع الله لىص الله لوسر لاق :لاق دوعسم نب اللهدبع ن

)دحم أ هاور( نسح لله ا دنع

Artinya: Apa- apa yang dilihat oleh umat Islam sebagaimana sesuatu yang baik maka yang demikian disisi Allah adalah baik. (Hadis riwayat Ahmad) (Bazar Thabrani dalam kitab Al-khabir dari Ibnu Mas’ud)

Dari hadits tersebut dapat dilihat bahwa apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka hal tersebut baik juga disisi Allah, namun segala ketentuan yang bertentangan dengan hukum syara’ harus ditinggalkan. Akan tetapi syraiat Islam tidak menutup kemungkinan terhadap adat yang sudah ada dikalangan masyarakat sejak zaman terdahulu, karena seperti kaidah yang dibawah ini;

طسش طوسشل اك فسع فوسعملا

Artinya: Sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah di isyaratkan (Djazuli 2006, 164).

Dari kaidah tersebut dijelaskan bahwa apa-apa yang telah ditetapkan dengan ‘urf, maka dari itu sama hal kekuatannya dengan nash, maka adat tersebut bisa dijadikan sebagai pijakan hukum dalam menetapkan hukum dikalangan masyarakat yang berlaku adat

(21)

tersebut. Al-Suyuthi juga mengatakan dalam kutipan Amir Syarifuddi dalam bukunya ushul Fiqh.

اَمَّوِإ

ُسَبَخْعُح

ُةَداَعْلا

اَذِإ

َسَطِا

ْثَد

ْنِإَف

ْجَبَسَط ْضِإ

َلَف

Artinya: Adat atau kebiasaan dianggap sebagai pijakan hukum berulang, berlaku umum, jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan pijakan hukum (Syarifuddin 2008, 401).

Dari kaidah di atas dapat dilihat bahwa suatu adat itu sudah berulang dan berlaku bagi umum bisa dikatakan sebagai adat, tetapi jika sautu adat itu bertentangan dengan syariat Islam maka adat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan kebiasaan tersebut. Akan tetapi dalam kaidah lain juga menjelaskan seperti dibawah ini:

حلاصملا بلج ىلع مدقم دسافملا ءرد

Artinya: ‘’ Menolak kemafsadatan di dahulukan dari pada meraih kemaslahatan’’ (Al-Salam 1980, 81).

Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu kemafsadatan yang akan terjadi lebih baik dihindari dari pada meraih kemaslahatan, dikarenakan apabila maslahat didahulukan maka mafsadat akan tetap ada, tapi apabila mafsadah yang dihindari maka maslahat akan mengikut dengan sendirinya

فملا ؤزدو حلاصملا بلج

ةدس

ةسضملا تلاشإو

Artinya: ‘’Mewujudkan kebaikan, menolak keburukan, dan menghilangkan kemudharatan’’. (Al-Salam 1980, 81)

Dalam analisis penulis Maka dapat dilihat dari keabsahannya larangan perkawinan manyunduti termasuk kategori al-urf al-fasid jika dilihat dari sisi pandangan al-Qur’an dan Hadits yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, karena secara normativ bertentangan

(22)

dengan nash al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi jika dilihat dari penjelasan kaidah yang diatas walaupun bertentangan dengan Hukum Islam, kiadah tersebut mengisaratkan suatu adat sama halnya dengan nash, karena bisa juga dilihat terhadap manfaat terhadap masyarakat sekitar yang berlaku dalam adat tersebut sebagiaman adat tersebut ada manfaat bagi masyarakat. Maka dari hal tersebut dalam analis penulis adat yang berlaku di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara yaitu larangan perkawinan menyunduti adalah adat atau al-urf al-fasid, karena dalam analisis penulis walaupun ada kemaslahatan dalam ‘urf tersebut tetapi kemafsadatan terhadap masyarakat Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara masih ada dalam adat tersebut, maka adat larangan perkawinan menyunduti diliaht lebih besar yang ada dikalangan masyarakat, sedangkan maslaha yang dilihat dari masyarakat hanya kekhawatiran, sedangkan kekhawatiran tidak diakui oleh kaidah fiqih seperti dibawah ini:

مه وتلل ةربعلا

Artinya: tidak diakui adanya waham (kira-kira)

Sedangkan Berbicara mengenai sanksi terhadap perkawinan ini, berdasarkan uraian di atas, jika perkawinan tersebut tetap terjadi baik itu dikarenakan sudah terjadi kesalahan (hamil diluar nikah) atau karena alasan-alasan yang lain maka pihak yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan sanksi.

Adapun orang telah pernah melanggar aturan tersebut yaitu Ridho seorang laki-laki dan Baiti seorang perempuan yang telah melakukan perkawinan pada tahun 2006, yang dikenakan sanksi diusir dari rumah (Ridho 2017). Lija seorang perempuan dan Marasi seorang laki-laki yang melakukan perkawinan pada tahun 2008 (Marasi 2017). Tohir seorang laki-laki dengan Lamsah seorang perempuan yang telah melakukan perkawinan pada tahun 2005

(23)

(Tohir 2017). Selanjutnya Parubahan seorang laki-laki dan Dewi seorang perempuan yang telah melakukan perkawinan pada tahun 2010 karena telah hamil di luar nikah ( Parubahan 2017).

Berkenaan dengan sanksi yang tersebut di atas ulama dan pemuka adat memberikan alasan tetap setuju dengan aturan yang dibuat oleh keluarganya (orang tua) di Desa Nahula Julu. Tidak akan pernah diubah lagi. Sanksi-sanksi tersebut diadakan bukan berarti untuk kedepannya hal yang demikian akan dibolehkan jika pasangan yang akan melakukan perkawinan dengan cara kawin lari. Sanksi tersebut diadakan adalah sebagai pagar untuk generasi selanjutnya tidak lagi melakukan larangan orang tua tersebut. Agar generasi selanjutnya itu jera dikarenakan adanya sanksi yang demikian ( Aprisal 2017).

Sedangkan tanggapan pasangan yang sudah melakukan pelanggaran tersebut adalah:

5.4. Orang yang telah melakukan perkawinan tersebut merasa

keberatan dengan berlakunya larangan perkawinan tersebut.

5.5. Orang yang melakukan perkawinan tersebut merasa

dibatasi dengan semua hukum yang semestinya tidak diberlakukan dalam perkawinan.

5.6. Bagi mereka yang telah melakukan perkawinan yang

dilarang tersebut, mereka ingin aturan tersebut tidak berlaku.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sanksi yang ditetapkan terhadap anak yang melanggar perkawinan tersebut akan dikenakan sanksi:

(24)

5.6.1. Diusir dari rumah.

5.6.2. Pasangan yang melanggar aturan orang tua tersebut juga akan diasingkan dari kampung.

5.6.3. Pasangan yang melanggar aturan tersebut juga akan dikucilkan oleh masyarakat, karena dianggap telah melanggar atau mendurhakai orang tua (Kumpul 2017). Melihat dari uraian di atas bahwa hukum pemberian sanksi bagi orang yang melanggar aturan tersebut yang telah ditetapkan di Desa Nahula Julu Kecamatan Dolok Sigompulon Kabupaten Padang Lawas Utara, sepanjang penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa hukum pemberian sanksi bagi orang melanggar aturan yang diberikan tersebut adalah haram.

Hal ini tepat sekali jika dilihat dari kacamata maqasid Syari’ah. Pengertian dari maqasid Syari’ah itu sendiri menurut ulama ushul fiqh adalah makna dan tujuan yang dikehendaki dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Jika dilihat dari tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik jasmani maupun rohani, individual dan soaial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk hal dunia saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak (Rusli 1999, 42-43).aqasid Al

Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, Maqasid

al-Syari’ah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari’ah, yang ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum (Zuhaili 1986, 748).

Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.

(25)

Maqasid al- Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut al-Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari’ (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al-mukallaf (tujuan al-mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqasid al-Syariah mengandung empat aspek, yaitu :

1. Tujuan awal dari Syari’ menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.

2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.

3. Penetapan syariah sebagai hukum takhlifi yang harus dilaksanakan.

4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum (Shatibi 1997, 326).

Maka analisis penulis dari penjelasan di atas faktor-faktor dan pandangan terhadap larangan perkawinan manyunduti lebih banyak mudharat dari pada maslahah yang terjadi pada masyarakat, karena adat larangan perkawinan manyunduti membuat orang yang akan kawin melakukan zina terlebih dahulu sebelum kawin, kawin lari maupun membangkang kepada orangtua. Sedangkan larangan perkawinan manyunduti itu hanya karena kekhawatiran akan memudahkankan perceraian, maupun kekhawatiran akan perpecahan keluarga jika terjadi perkawinan menyunduti. Dari kekhawatiran itu dari kaidah fiqh menjelaskan bahwa tidak diakui adanya waham (kira-kira). Maka dapat dilihat dari maqashid syari’ah itu sendiri berguna untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan diakhirat, oleh karena itu adat larangan perkawinan manyunduti adalah adat yang batal (fashid), karena tujuan maqashid itu sendiri untuk menjaga kemashlahatan dan menghilangkan mafsadah.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah prestasi belajar peserta didik (siswa) pada materi bangun ruang sisi datar yang menggunakan model pembelajaran

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah besaran komite audit, aktivitas pertemuan komite audit, independensi komite audit, kualifikasi komite

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tentang diversi dengan suatu penelitian yang berjudul: “ PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK

Penelitian menemukan keterkaitan konsep “sederhana” yang mendukung sustainabilitas desain Masjid Al-Irsyad Satya Kota Baru Parahyangan sekaligus juga menggarisbawahi

[r]

Pengaruh Ekstrak Etanolik Biji Kelor (Moringa oleifera, Lam.) terhadap Ekspresi ICAM-1 pada Arteri Carotis Interna dan Jaringan Otak Tikus Putih (Rattus

i g ttint r+.e should held study tour regularly in order the other shrdents who never join the study tour can follow this program.) Because this program is good for

Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan