• Tidak ada hasil yang ditemukan

Si Pemanah Gadis III Bag1 30

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Si Pemanah Gadis III Bag1 30"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

SI PEMANAH GADIS

JILID 3

HUJAN DARAH DI TANAH BAMBU

Oleh : Gilang Daftar Isi

(2)

BAGIAN 1

“Akhirnya datang juga.”

Itulah kata pertama yang keluar dari mulut seorang pemuda yang duduk santai uncang-uncang kaki di atas sebuah balok kayu di sisi kiri dermaga yang cukup ramai di pagi hari kala saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru di kejauhan. Meski hanya setitik kecil di kejauhan, namun mata putih si pemuda bisa melihat dengan jelas.

“Satu pekan ditunggu-tunggu ... akhirnya nongol juga.”

Kembali terdengar suara keluar dari bibir si pemuda baju biru dengan kucir rambut ekor kuda sambil bangkit berdiri. Tangan kanan meraih tongkat hitam berlekuk di ke dua ujungnya. Ciri-ciri dengan mata putih berbaju biru laut hanya dimiliki seorang pendekar saja yang akhir-akhir ini menyandang gelar nyentrik ...

Si Pemanah Gadis!

“Lebih baik ... aku sarapan dulu. Dari kemarin cuma makan ikan laut pancingan saja. Hari ini aku mau makan besar. Pesta pora!”

Lalu dirogohnya saku celana.

“Masih ada sembilan keping uang perak dan dua keping uang emas pemberian dari Ki Gegap Gempita. Lebih dari lumayan untuk mengisi perut,” Pikirnya pula, “ ... lagian paling banter ntar sorean kapal itu juga baru sampai di dermaga ini.”

Tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke tanah sambil berjalan ke arah sebuah warung yang letaknya tidak begitu jauh, kira-kira sepuluh tombak dari tepi dermaga.

Meski terlihat lumayan ramai, dermaga Muara Karang tidaklah seperti dermaga besar lainnya. Hanya sesekali saja dilewati kapal, itu pun belum tentu bongkar sauh disana. Namun, roda kehidupan seakan tidak pernah berhenti berputar. Ada-ada saja orang-orang yang hilir mudik di sekitar dermaga. Ada yang jual-beli hasil tangkapan ikan, barter kebutuhan pokok, bahkan ada yang membuka warung remang-remang (maksudnya buka ntar sore ampe tengah malam, bukan warung buat 'begituan' lho ... kalau sekarang namanya warung HIK alias Hidangan Istimewa Kampung). Namun tidak sedikit pula yang menunggu datangnya kapal dagang untuk mengangkut hasil bumi dan di perdagangkan di seberang pulau. Bahkan beberapa saudagar hasil bumi dari seberang acap kali singgah ke dermaga Muara Karang untuk berdagang dengan penduduk sekitar.

Langkah si pemuda bertongkat hitam akhirnya berhenti tepat di pintu masuk warung.

Semua pengunjung menoleh sekilas, lalu meneruskan kegiatan makan minum.

(3)

Nggak ada!

“Wedang Kamplung satu, Ki! Lengkap dengan nasi dan ayam panggang!” kata Jalu sambil meletakkan tongkat hitam dan pantat di atas bangku yang terletak sudut warung yang masih kosong. “Ingat Ki, lengkap dengan ayam panggang, nasi putih sama lalapan sambal. Dan satu lagi ... ga pakai lama, hehehe!”

Semua orang yang berada di dalam warung makan sontak menghentikan kegiatan makan minum secara hampir bersamaan. Mereka saling tatap satu sama lain, seolah ada yang aneh dengan pendengaran mereka.

Wedang Kamplung? Minuman jenis apa itu? Dengar juga baru sekarang!

Salah seorang diantara mereka yang berewokan dengan tubuh kurus pun akhirnya buka suara.

“Anak muda, kau tadi pesan apa?” tanya si brewok kurus. “Ooo ... tadi nasi putih, a ... ”

“Bukan itu!” potong si brewok kurus, “Minuman apa tadi yang kau pesan?”

Jalu sedikit menjungkitkan alisnya sambil berkata singkat, “Wedang Kamplung.”

“Wedang Kamplung?” tanya ulang brewok kurus. “Itu sejenis ... wedang jahe?” Ki Durba sendiri juga heran, sebab selama ia membuka bisnis perwarungan, baru kali ini ia mendengar nama 'Wedang Kamplung'!

“Nama minuman kok aneh!?”

Semua mata memandang ke sosok pemuda bermata putih dengan mata bertanya dan begitu menginginkan jawaban dengan segera.

Jalu yang dipandangi merasa risih. Seperti orang melihat tahi kerbau yang nempel di mukanya!

Mendadak saja, Jalu merasakan sesuatu yang janggal, katanya, “Ada yang aneh?”

Semua orang --termasuk Ki Durba, si empunya warung-- mengangguk.

Melihat anggukan semua orang yang hampir bersamaan, Jalu semakin heran. “Tunggu-tunggu-tunggu! Jangan sobat semua katakan bahwa tidak ada satu pun diantara sobat yang ada disini tidak tahu dengan apa yang aku maksudkan?” katanya dengan tatapan mengedar. “Betul begitu?”

Kembali semua mengangguk pelan.

Saat itulah, Jalu Samudra merasa bahwa dirinya sebagai orang paling pinter dunia-akhirat!

(4)

Pikirnya, “Busyet! Segini banyak orang ngga ada yang ngerti Wedang Kamplung? Kata kakek, yang namanya Wedang Kamplung sudah mendunia. Semua orang pasti tahu! Lha kok ini malah ... ” lalu katanya, “Sobat semua tidak bercanda, kan?”

“Apa tampang kami semua seperti orang bercanda?” seru si gendut di dekat pintu.

Naga-naganya memang tidak ada yang tahu, apalagi Ki Durba malah plenggang-plenggong seperti sapi ompong, Jalu segera beranjak dari tempat duduknya.

“Geser sedikit, Ki ... ” “Silahkan, anak muda.”

Ki Durba menggeser sedikit ke kiri dari tempat biasanya ia membuat segala macam minuman, ia bisa membuat segala macam minuman kecuali ya ... itu tadi ... Wedang Kamplung. Denger juga baru kali ini!?

Aneh, ya!?

Semua orang yang ada di tempat itu semakin heran dibuatnya. Jelas-jelas orang bermata putih adalah ciri khas orang buta, namun pemuda bermata putih itu dengan seenaknya berjalan mengitari meja tanpa menyenggol barang apa pun. Bahkan tongkat hitamnya masih tergeletak begitu saja di atas meja.

“Begini cara buatnya,” kata Jalu ‘menggurui’.

Pemuda itu mengambil cangkir gerabah yang letaknya di sebelah kanannya. Berikutnya mengambil daun teh kering dua jumput kecil, seruas jahe yang sudah dimemarkan serta gula merah diikuti dengan irisan jeruk nipis tipis-tipis, semua dimasukkan ke dalam cangkir.

“Minta air panas, Ki.”

Tanpa menjawab, Ki Durba menuangkan air panas ke dalam cangkir gerabah. Serrr!!!

Saat tiga perempat sudah terisi air panas, Jalu berkata, “Cukup, Ki. Cukup!” Cangkir dari gerabah digoyang-goyangkan sebentar. Tak lama kemudian, bau semriwing teruar.

“Uahhhaah ... sedaaap ... !”

Suara desahan Jalu terdengar kala ia mencicipi Wedang Kamplung buatannya!

Benar-benar nikmat, coy!

“Ini yang namanya Wedang Kamplung!” cerocos Jalu sambil ngeloyor begitu saja, tak lupa ia berkata, “Jangan lupa nasi dan ayam panggangku, Ki! Ntar lupa, tuh!”

(5)

Dengan cekatan Ki Durba membuat semua pesanan Jalu dan sebentar saja sudah terhidang di depan meja. Karena memang sudah lapar berat, semua hidangan langsung disikat tanpa malu-malu!

Si brewok kurus yang penasaran dengan yang namanya Wedang Kamplung, segera berkata pada Ki Durba.

“Ki, tolong buatkan Wedang Kamplung juga,” katanya, “Aku kok jadi penasaran dengan rasanya.”

“Tunggu sebentar,” sahut Ki Durba. “Aku harus minta ijin dulu pada anak muda itu. Dia ‘kan yang punya ide.”

“Sudahlah, Ki! Buatkan saja! Anggap saja ini menu spesial gratis dariku,” seru Jalu dengan mulut penuh nasi dan potongan ayam.

“Terima kasih, anak muda. Kau baik sekali.”

Ki Durba segera membuatkan pesanan sang pelanggan.

Sebentar saja, semua orang yang ada di dalam warung, mencicipi segarnya Wedang Kamplung!

--o0o-- Sore itu ...

Sesuai dengan perkiraan Jalu, kapal layar besar hijau garis-garis biru yang ditunggu-tunggunya telah merapat ke dermaga Muara Karang. Begitu merapat sempurna diikuti dengan awak kapal yang bertubuh gendut membuang jangkar, para penumpang dengan berjalan dua-dua turun lewat tanggakayu yang letaknya di sisi kiri lambung kapal, sedang di tangga satunya terlihat hilir-mudik para anak buah kapal menurunkan tong-tong kayu ukuran besar dengan cara digelindingkan dari atas dan beberapa orang menerimanya di bawah sambil menata berjajar rapi di sudut dermaga. Tong-tong kayu yang telah kosong inilah yang nantinya akan diisi air tawar sebagai persediaan di perjalanan.

Beberapa orang yang makan di warung ki durba bersama dengan Jalu segera bergegas berlarian –sebagian terlihat beradu cepat dengan sesama kawan-- menuju ke arah tong-tong kayu tersebut berjajar.

Tentu saja perbuatan ‘sobat baru’ Jalu ini si pemuda baju biru terheran-heran, dan bertanya pada laki-laki tua yang kini sedang asyik menghisap rokok kawung.

“Ki, mereka sedang apa?”

“Ooo ... mereka cuma Kuli Air,” jawab Ki Durba sambil klepas-klepus, enteng. “Kuli Air?”

“Ya. Jika ada kapal merapat dan menurunkan tong-tong kayu seperti gentong itu, menjadi tugas mereka untuk mengisikan air tawar kedalamnya,” jelas si empunya warung. “Dan sebagai balas jasanya, mereka menerima satu keping uang perak untuk delapan tong air.”

(6)

“Wah ... banyak juga ya, Ki!”

“Begitulah kehidupan orang-orang di dermaga ini, anak muda!” tutur Ki Durba sambil mempermainkan asap rokok membentuk bulatan-bulatan tiga susun. “Jika ada tong kayu dikeluarkan, jadilah mereka Kuli Air. Namun andai yang dikeluarkan barang dagangan mereka berubah jadi Kuli Panggul. Akan tetapi jika sepi, mereka jadi Kuli Ikan alias nelayan, hehehe ... ”

“Apa mereka tidak pernah saling cakar, Ki?” tanya Jalu. “Rebutan pelanggan, maksud saya.”

“Itu dulu ... dulu sekali!” sahut ki durba dengan mulut dimonyong-monyongkan. “Namun semenjak adanya Koro Welut datang ke tempat ini, semuanya menjadi teratur. Tidak ada lgai saling jegal, saling memangsa. Dan yang pasti ... tidak ada lagi pemuda yang suka mabuk-mabukan atau main judi di tempat ini. Apalagi main perempuan ... wuihhh ... jaaauuuh ... !!”

Tentu saja Jalu Samudra paham dengan orang yang disebut-sebut dengan Koro Welut itu. Laki-laki brewok kurus yang seluruh tubuhnya licin mengkilat seperti belut sawah dengan kulit sawo matang akibat sering terpanggang teriknya sinar matahari. Namun bukan Jalu namanya jika tidak mengetahui bahwa di balik tubuh cekingnya ternyata si Koro Welut membekal ilmu silat yang tidak rendah.

“Benar-benar kehidupan yang harmonis,” kata Jalu sambil nyeruput Wedang Kamplung.

“Ya. Kehidupan damai seperti inilah yang diidam-idamkan oleh setiap orang. Rukun tanpa perselisihan dan saling membantu dalam kesulitan,” kata Ki Durba. “Masa tua yang penuh kedamaian.”

“Maaf, Ki! Dari kemarin ada yang mengganjal pikiranku,” ucap Jalu dengan hati-hati.

“Apa yang membuat pikiranmu terganjal, Jalu?”

“Emmm ... dari tadi siang tidak terlihat anak-istri Ki Durba. Pada kemana ya, Ki?” tanya Jalu sambil melirik ke arah pemilik warung yang baik hati itu.

Sekilas raut muka laki-laki itu berubah beberapa kejap, lalu mendesah, “Jika saja tidak ada ombak raksasa pada dua puluh lima tahun silam, mungkin sekarang ini anakku sudah sebesar kamu, Jalu. Mungkin aku sudah menimang dua atau tiga orang cucu malah.”

Dada Jalu sedikit bergetar. Dua puluh lima tahun silam!

“Anak Ki Durba ... laki-laki?” Jalu coba menebak. “Perempuan.”

“Oooo ... ” sahut Jalu sambil manggut-manggut tanpa sadar. “Lalu ... saudara-saudara Ki Durba?”

(7)

“Aku anak tunggal. Mendiang istriku juga anak tunggal,” terang Ki Durba sambil menengadah. Matanya menerawang langit-langit atap warungnya yang terbuat dari daun rumbia. “Yang aku sesalkan saat itu adalah istriku sedang hamil lima bulan kala ombak pembawa petaka itu datang. Aku menyesal tidak bisa menyelamatkan mereka.”

“Maaf, kalau saya lancang mengungkit-ungkit masa lalu Ki Durba,” kata Jalu saat melihat sudut mata laki-laki itu berkaca-kaca.

Menyesal, Broo!

“Tidak apa-apa, Jalu,” kata Ki Durba sambil menyusut sudut matanya dengan ujung lengan baju. “Sekarang, besok, atau kapan pun ... sama saja. Itu tetap menjadi kenangan bagi tubuh tua ini.”

Dua orang laki-laki beda kualitas itu terus saja bisa bicara ngalor-ngidul. Yang pasti ... ngga ada hubungannya sama dunia persilatan babar blas!

Ada kalanya terdengar tawa tua Ki Durba mendengar lelucon-lelucon yang dilontarkan Jalu Samudra. Entah apanya yang lucu, acap kali kakek itu tertawa terpingkal-pingkal. Jelas sekali terlihat bahwa dengan adanya Jalu disana membuat kakek yang sudah uzur dimakan usia terlihat bahagia.

Lucunya lagi, Ki Durba tidak tahu bahwa saat ini dirinya dengan bercanda dengan tokoh muda top markotop rimba persilatan, menjadi buah bibir para pendekar karena kesaktiannya. Bahkan dari selentingan kabar yang sulit dipertanggungjawabkan, menjadi idola para gadis-gadis yang ngebet berat ketemu saja yang namanya si Pemanah Gadis!

Koro Welut dan teman-temannya menghentikan sejenak pekerjaan mereka mendengar suara tawa yang paling sulit didengar oleh telinga mereka. Mereka saling pandang satu sama lain.

“Kita tidak salah dengar, kan?” tanya Koro Welut.

“Itu memang suara Ki Durba. Asli!” tandas yang bernama Wangen. “Dulu waktu kecil aku pernah dengar ia tertawa lepas seperti itu. Kok bisa, ya?”

“Mungkin kesedihan akibat di tinggal anak istrinya telah pupus,” serobot Sarpo yang agak gendut.

“Mungkin juga,” kata Koro Welut, pendek. “Ayo ... kerja lagi.”

Saat merembang petang menjelma, semua tong-tong kayu telah penuh dengan air tawar. Kalau sebelumnya digelindingkan dari atas ke bawah, kini untuk menaikkan dengan cara memasukkan lima-enam tong kayu ke dalam jala besar terbuat dari tali kulit kerbau dan ditarik ke atas oleh sembilan orang lewat sebuah tuas. Seratus delapan puluh empat tong kayu sukses diangkut naik ke atas kapal. Dan itu artinya dua puluh tiga keping uang perak telah berada dalam genggaman tangan para Kuli Air!

Mereka membagi hasil kerja di dalam warung Ki Durba. Masing-masing menerima tiga keping uang perak bertujuh yang cukup untuk makan dua bulan,

(8)

total yang dibagi dua puluh satu keping uang perak. Sedang sisa yang dua keping uang perak dititipkan pada Koro Welut sebagai pimpinan mereka.

“Kawan-kawan! Uang sisa kerja kita bertujuh selama tiga bulan ini jika ditambah dengan dengan pendapatan hari ini tepat tujuh keping uang perak,” ucap Kowro Welut sambil mengeluarkan lima keping uang perak dari dalam kantong hitam yang kemana-mana selalu dibawanya. “Setuju dibagi rata?”

“Setuju ... !!” “Akur ... !”

--o0o--

BAGIAN 2

“Baik kalau begitu! Kita putuskan saja ... dibagi rata!” kata Koro Welut.

Biasanya seorang pemimpin akan mengambil bagiannya terlebih dahulu, tapi hal itu tidak berlaku untuk Koro Welut. Ia mendahulukan teman-temannya terlebih dahulu dengan masing-masing mendapatkan satu keping uang perak.

Barulah dirinya mendapat giliran terakhir!

“Lihat! Kantung ini sudah kosong!” kata Koro Welut sambil membalik bagian dalam ke luar. “Bersih?”

“Bersih!” jawab mereka serempak.

Jalu Samudra kagum dengan Koro Welut saat melihat bagaimana si brewok kurus itu membagi adil pendapatan mereka.

“Muka boleh sangar, tapi hati berkilau seperti intan permata,” pikir murid si Dewa Pengemis. “Pemimpin panutan yang seperti ini contohnya.”

Mata Koro Welut melirik ke orang yang paling sudut sendiri. Yang sedari awal menimang-nimang uang di tangannya.

“Apa ada, Sarpo?” tanya Koro Welut. “Ada yang kurang?” Sarpo hanya menggeleng.

“Lalu ada apa?”

“Aku hanya berpikir saja, apa dengan uang sebanyak ini cukup membayar ongkos dukun bayi dan tabib untuk dua anakku yang sedang sakit?” ucap Sarpo, masgul.

“Begitu?” ucap Koro Welut, sambungnya dengan mata sedikit menyipit, “Lalu ... kapan anak ketigamu akan lahir?”

“Menurut Nyi Ginah, kemungkinan besar menjelang malam nanti. Tadi aku sudah diberitahu Menik anaknya si Wangen, kalau istriku perutnya mulas-mulas ... ”

(9)

Plakk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan si gendut Sarpo yang langsung membuat laki-laki berkulit lumayan hitam terpelanting ke belakang meski tidak jatuh dari kursi.

“Goblok! Kenapa kau tidak langsung pulang menemui istrimu!?” bentak Koro Welut. “Mau menunggu sampai kapan!?”

“Tapi ... bukankah kita ... ”

“Apa?! Kau pikir dengan meninggalkan istri hamil tua sendirian di rumah, aku akan senang!? Begitu!” bentak Koro Welut. Lalu ia memandang ke sekelilingnya, “Bagaimana prinsip kita?”

“Susah senang dipikul bersama!” seru teman-teman Sarpo yang lain.

“Nah, kau dengar! Kalau situasinya seperti itu, kau tetap mendapatkan hak yang sama,” kata koro welut sedikit melembut. “Dengan catatan ... selama tidak malas bekerja! Itu saja!”

Lalu didekapnya Sarpo erat-erat. Dekapan hangat persahabatan!

“Tamparanku tadi sebagai peringatan bahwa uang memang penting, tapi keluarga lebih penting! Paham?”

“Paham, Koro.”

“Jika kau ingin membalas tamparanku ... silahkan,” kata Koro Welut sambil melepaskan pelukan pada Sarpo diikuti mundur satu langkah sambil mengangsurkan pipinya ke depan.

“Tidak, Koro.”

“Kau kecewa karena aku tampar?” “Tidak.”

“Marah?” “Tidak juga.” “Dendam?” “Juga tidak.”

“Kalau begitu ... terima ini sebagai sumbangan dariku,” kata Koro Welut sambil mengangsurkan uang yang ada di tangan kanannya pada Sarpo.

Semuanya!

Uang yang didapatnya dengan memeras keringat dan menguras tenaga, tanpa ragu-ragu diberikan begitu saja kepada Sarpo. Disusupkannya ke dalam telapak tangan laki-laki dengan perawakan agak gendut itu.

“Tidak, Koro! Kau pun juga membutuhkannya,” kata Sarpo sambil mengangsurkan kembali uang pemberian Koro Welut.

(10)

“Aku memang butuh, tapi kebutuhanku tidak mendesak seperti kebutuhanmu,” kata Koro Welut, lalu tangannya mendorong ke depan. “Terimalah ... aku ikhlas membantu.”

“Terima kasih, Koro. Terima kasih.”

Sarpo memeluk erat Koro Welut selama beberapa saat.

“Kami juga akan membantu, Sarpo. Meski tidak banyak, semoga saja cukup meringankan bebanmu,” kata Wangen sambil mengangsurkan lima keping perak yang dikumpulkan dari teman-temannya yang lain.

“Kawan-kawan ... kalian ... ” “Terimalah ... ”

Sarpo segera jatuh berlutut sambil meratap, “Ya Dewa! Terima kasih engkau telah mengirimkan kawan-kawan terbaik yang pernah hamba miliki.”

Jalu benar-benar terpana dibuatnya!

Drama kehidupan yang digelar nyata di depan matanya benar-benar membuat jiwanya terketuk. Belum pernah selama hidupnya menjumpai orang-orang yang memiliki ketulusan hati seperti apa yang ada didepan matanya. Tak terbersit sedikit pun kalau ia bakal menjumpai hal seperti itu.

“Ki Durba, sudah saatnya kita berpisah,” kata Jalu saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru menaikkan bendera hijau kecil. Tak lupa diraihnya tongkat kayu hitam miliknya. Menurut Ki Durba, tanda bendera kecil di dekat pintu masuk ke kapal punya arti bahwa kapal akan berangkat dalam sepeminuman teh.

“Jalu, apakah kita akan bertemu lagi?” tanya Ki Durba.

Sambil berjalan tanpa menoleh ke belakang, Jalu berkata, “Jika ada umur panjang ... kenapa tidak?”

“Jalu ... aku punya pesan untukmu,” kata Ki Durba lebih lanjut. Jalu berhenti sejenak.

“Silahkan, Ki.”

“Jika kau dalam bahaya ... nikmati saja. Jangan melawan,” kata Ki Durba. Jalu sedikit mengerutkan alisnya mendengar ucapan dari si empunya warung. Benar-benar pesan yang aneh!

Namun tanpa pikir panjang lagi, Jalu menyahut, “Baik. Akan kuturuti!”

Jalu kembali melangkahkan kakinya. Saat melewati kawan-kawan barunya, Jalu berhenti sejenak.

“Kawan-kawan ... jaga diri kalian baik-baik.”

“Hoi, Wedang Kamplung! Kau mau kemana?” tanya Koro Welut. “Ga ngerti. Mungkin cuma mau nostalgia dengan laut.”

(11)

“Huh! Orang buta saja pakai acara nostalgia-nostalgia segala,” seloroh Wangen di sambut dengan gelak tawa yang lain.

Jalu juga ikutan tertawa, serunya, “Yach, maklumlah! Orang udik yang kemana-mana selalu ditemani dengan tongkat mana ada tempat menetap? Tul ngga?”

“Betul ... betul!” seru Koro Welut sambil menepuk-nepuk bahu kanan Jalu Samudra.

Bukan sembarang tepukan, cing!

“Meski wajah terlihat serampangan seperti tapi tenaga dalamnya boleh juga,” pikir murid si Dewa Pengemis.

“Hemm, dia bukan orang sembarangan rupanya. Jurus ‘Gunung Jugrug’ (Gunung Runtuh) rasanya seperti tenggelam ke dasar laut,” kata hati Koro Welut. “Siapa dia sebenarnya?”

“Sarpo, aku juga mau ikut menyumbang,” kata si Pemanah Gadis sambil meletakkan sesuatu di atas meja. “Anggap saja sebagai hadiah atas kelahiran anakmu.”

Tanpa menunggu jawaban, Jalu segera berlalu dari tempat itu.

Semua mata memandang dengan melotot lebar-lebar. Bahkan Wangen yang matanya sebesar jengkol itu hampir saja terlepas dalam rongga mata kala melihat sebentuk benda yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat sama sekali.

Sekeping uang emas!

Sekeping uang emas jika ditukar dengan uang perak bisa mencapai seribu keping. Semua mata beralih ke Jalu yang berjalan dengan lenggang kangkung. Sebentar saja ia sudah sampai di dekat pintu masuk kapal.

“Mau berlayar, Tuan?” tanya si penjaga pintu dengan sopan. “Betul.”

“Kemana tujuan, Tuan?”

“Emmm ... kemana saja. Sampai kapal ini berlabuh kembali,” sahut Jalu sekenanya.

Kalau saja Jalu menjawab Kepulauan Tanah Bambu, pastilah si penjaga pintu langsung pingsan kebingungan.

Gimana ngga bingung, lha wong dengar juga belum?

“Kapal ini akan berlayar kurang lebih satu bulan beberapa hari lamanya,” tutur si penjaga pintu.

“Tak masalah,” tukas Jalu, pendek. “Berapa ongkos perjalanannya?” Langsung pada sasaran rupanya!

(12)

Si penjaga pintu yang melihat si pemuda bermata putih, hanya tersenyum menyeringai.

“Ada mangsa tolol,” katanya dalam hati, lalu katanya pada si pemuda berbaju biru laut. “Tujuh keping perak.”

“Tidak mahal ... tidak mahal ... ” kata Jalu sambil merogoh saku celana, katanya sambil memberikan uang tujuh keping perak, “Sudah termasuk makan dan minum?”

“Sudah termasuk makan, minum dan menginap,” kata si penjaga pintu, katanya dalam hati. “Orang buta bego! Ongkos naik kapal ini cuma lima keping perak sudah lengkap semua. Lumayan-lah dapat untung dua keping perak.”

Tentu saja sorot mata licik si penjaga pintu tidak lepas dari mata putih Jalu, pikirnya, “Buaya kok dikadalin ama monyet? Tapi biarlah ... sekali-sekali membantu orang kesusahan ... ”

“Silahkan naik, Tuan! Ini nomor kamarnya,” kata si penjaga pintu sopan, sambil mengangsurkan papan kayu kecil warna merah. Disana tertera angka tujuh. “Kamar Tuan nomor tujuh dan di lantai ke tiga. Di dekat pintu ada ukiran angka tujuh.”

“Begitu?” kata Jalu sambil menerima papan kayu kecil itu. “Apa Tuan butuh bantuan untuk mencari kamarnya?”

“Tidak perlu. Aku bisa cari sendiri,” sahut Jalu sambil memutar-mutar tongkat hitamnya pulang-balik.

Begitulah ... berturut-turut para penumpang naik ke atas kapal, satu demi satu. Saat menjelang keberangkatannya, di kejauhan terlihat serombongan iring-iringan yang mendekati kapal.

Si penjaga pintu yang hampir saja berteriak kalau penumpang sudah habis, mengurungkan niatnya. Matanya langsung hijau melihat banyaknya jumlah rombongan. Terlihat memimpin di depan seorang pemuda tampan berbaju merah terang memakai celana merah gelap dengan kumis tipis bertengger di bawah bibir sedang puluhan orang di belakangnya berbaju aneka warna dengan menyandang golok tersarung rapi di bagian punggung. Wajah-wajah mereka terlihat sedang menyiratkan sesuatu yang penting. Beberapa orang diantara tengak-tengok mengawasi keadaan sekelilingnya. Yang jelas ... semuanya rata-rata berusia antara tiga puluh hingga empat puluhan tahun.

“Hmm ... sekitar dua puluhan orang,” gumamnya. “Lumayan ... ”

“Silahkan naik, Tuan-tuan semua,” katanya sopan dengan sedikit membungkukkan badan. “Silahkan.”

Pemuda berbaju merah terang tanpa banyak kata dan tanya segera menyodorkan tiga keping uang emas.

“Cukup?” katanya singkat.

Aneh sekali nada suara pemuda ini. Suaranya terlalu merdu untuk seorang pemuda. Yang lebih menarik lagi, tidak ada jakun pada lehernya.

(13)

Si penjaga pintu yang semula membungkukkan badan, semakin membungkukkan badan kala melihat tiga keping uang emas berada tepat di ujung hidungnya.

“Cu-cu-cukup ... cukup!” katanya terbata-bata, pikirnya, “Mimpi apa aku semalam?”

Tanpa menunggu jawaban, si pemuda segera mengibaskan tangannya, sambil berkata, “Kita naik.”

Si penjaga pintu segera melangkah minggir ke samping kiri, sambil menyodorkan papan kayu kecil warna merah dengan tulisan angka delapan. “Kamar Tuan di lantai ke tiga. Kamar terakhir.”

“Bagaimana dengan kami?” tanya salah seorang pengawal si pemuda yang paling depan sendiri.

“Semua kamar sudah penuh, hanya tertinggal kamar nomor tiga, empat dan lima di lantai dua,” kata si penjaga pintu, “Tapi jangan khawatir, tiga kamar terakhir ini cukup muat kalau untuk tiga puluh orang sekaligus, karena ada sepuluh ranjang di setiap kamarnya.”

“Lalu bagaimana dengan kamar lantai tiga?” tanyanya lagi.

“Seperti saya katakan sebelumnya, kamar Tuan Muda tadi adalah kamar nomor terakhir,” terang si penjaga pintu. “Kamar lantai tiga hanya ada delapan buah. Semua sudah terisi penuh dengan orang terakhir adalah Tuan Muda tadi. Lagi pula, kamar ini berukuran lebih kecil ... ”

“Jalan keluar masuk cukup mudah?” potong cepat si pengawal. “Sangat mudah.”

“Baik. Kami ambil kamar nomor tiga dan empat,” katanya cepat. Rombongan itu segera saja naik ke atas kapal.

Tak lama kemudian, si penjaga pintu yang bernama Arimbawa berteriak nyaring, “Angkut sauh!”

Terdengar suara bersahutan dimana-mana. Tak lama kemudian, jangkar terangkat naik. Layar besar di turunkan.

Brekk! Brekk!

Suara kelebatan kain tertiup angin nyaring terdengar. Pelan namun pasti, kapal mulai meninggalkan dermaga Muara Karang.

Namun baru saja sejarak lima belas tombak dari dermaga, sebuah teriakan keras terdengar.

“Hoi ... ! Tunggu aku, gimana sih kok ditinggal!” teriak seorang pemuda baju hijau dari kejauhan.

(14)

Dari jaraknya saja yang sudah begitu jauh bisa dipastikan bahwa si pemilik suara memiliki tenaga dalam kuat.

Nakhoda kapal yang saat itu berada di geladak berteriak keras, “Kalau kau bisa ... lompat sajalah! Kalau tidak bisa ... tunggu bulan depan saja!”

Semua orang yang mendengar seloroh dari Nakhoda kapal tertawa keras. Termasuk Jalu Samudra tertawa kecil mendengar suara si nakhoda kapal.

Sejenak pemuda baju hijau berdiri tegak sambil cemberut, gerutunya, “Dasar kampret! Jarak lima belas tombak disuruhnya melompat! Memangnya aku burung apa?” keluhnya. “Terpaksa deh, harus pamer dikit!”

Tanpa berkomentar lagi, ia menjejakkan kaki. Jduk!

Dengan ringan ia melayang di atas air seperti orang berjalan saja mendekati kapal.

Jleg!

--o0o--

BAGIAN 3

Sampai juga si pemuda di atas geladak kapal. Nakhoda kapal dan beberapa anak buahnya tak bersuara menyaksikan pameran kesaktian yang jarang mereka jumpai. Kalau saja ilmunya pas-pasan, si pemuda sudah mati tenggelam kecebur laut!

“Hebat ... ” desis si pemuda baju merah terang.

“Gara-gara kekenyangan, aku malah ketiduran,” gerutu si pemuda sambil duduk di atas bangku.

Seorang laki-laki dengan tubuh kekar berotot berompi merah dengan cepat mendekatinya.

“Kau manusia, ‘kan?” ia bertanya.

“Bukan! Aku setan dari langit!” gerutu si pemuda baju hijau dengan nada kesal, “Tentu saja manusia. Liat aja kakiku! Bego amat sih!”

Seolah sudah sering mendengar suara seperti itu, si laki-laki justru mengangsurkan tangan kanan.

“Apa?” tanya si pemuda baju hijau, heran.

“Karena kau manusia, maka naik kapal ini tidak gratis,” kata si laki-laki berompi merah tanpa basa-basi. “ ... cukup dua keping perak untuk sekali jalan.”

Pemuda baju hijau merogoh saku celana, mengambil dua keping perak, lalu diberikan pada si laki-laki berompi merah.

(15)

“Terima kasih! Selamat datang di kapal layar Surya Silam,” kata si laki-laki baju merah. “Namaku ... Gandarwa. Panggil aku jika kau butuh apa-apa.”

Tanpa menunggu jawaban, Gandarwa langsung pergi begitu saja. Rupanya ia juga bertugas menarik ongkos dari semua orang yang naik kapal layar Surya Silam.

--o0o--

Seekor elang laut terbang jauh di angkasa. Dari atas ia melihat sebuah kapal berlayar dalam jarak yang tak terlalu jauh. Elang laut tadi menukik, hendak bertengger beristirahat di ujung kapal yang besar dan beristirahat sejenak. Namun ia mendadak mengurungkan niatnya.

Ia tak mau mati konyol ... !

Sebab ... nakhoda kapal keluar dari ruangannya dengan golok terhunus!

“Kemana perginya ayam sialan tadi?” pikir si Nakhoda, “Mau dibikin sate kok malah menghilang?”

--o0o-- Saat sore merembang petang ...

Rata-rata penumpang tidak langsung masuk ke dalam kamar masing-masing. Kebanyakan duduk saja sambil menikmati keindahan laut di sore hari. Termasuk pula Jalu dan si pemuda baju hijau yang duduk di sebangku.

“Indah sekali sore ini,” kata si pemuda baju hijau. “Sudah lama sekali aku tidak melihat laut. Jika dihitung-hitung ada kalau cuma lima belas tahunan.”

“Cukup lama juga,” sahut Jalu.

“Apakah kau juga sering pergi ke laut, sobat?”

“Dulunya iya ... tapi sekarang mungkin baru kali ini,” sahut Jalu dengan mata merawang ke atas. Pikirannya tertuju ke Gua Walet, tempat dimana ia dibesarkan oleh sepasang suami istri tokoh rimba persilatan yang mengasingkan diri. Dari merekalah ia mengenal apa yang namanya ilmu silat dan segala hal yang berhubungan dengan laut.

“Sobat, dari tadi kita bicara tak karuan tapi belum menyapa nama masing-masing,” kata si Pemanah Gadis. “Perkenalkan namaku ... Jalu Samudra.”

“Samudra artinya lautan luas,” desis si pemuda baju hijau. “Nama yang sesuai dengan apa yang sekarang ini kita jalani sekarang ini. Berlayar di tengah laut luas tanpa batas. Kau sudah menyebut nama, tak adil rasanya jika aku -- Adiprana -- tidak memperkenalkan diri. Tapi orang rimba persilatan memberiku julukan jelek ... si Naga Terbang.”

(16)

Jalu pernah mendengar sepak terjang tokoh muda yang berjuluk Naga Terbang selama dalam pengembaraannya. Sosok pemuda yang cukup ditakuti oleh kaum sesat karena ketelengasannya dalam membantai lawan-lawannya. Meski jika ditilik dari usianya hanya selisih dua tahun lebih tua dari Jalu sendiri, namun gaya penampilannya masih seperti anak muda usia belasan tahun.

Pada intinya Adiprana bukanlah tokoh jahat, hanya saja sifatnya yang mau menang sendiri membuatnya lebih banyak memiliki lawan daripada kawan. Namun dalam sekelabatan saja, Jalu Samudra sudah bisa menyelami delapan bagian jati diri si pemuda baju hijau. Meski terlihat seenaknya, namun jelas sekali terlihat sifat-sifat seorang pendekar tulen. (Itu menurut penilaian Jalu, lho ... !)

Setelah berbasa-basi sebentar, Jalu pun berniat masuk ke dalam kamarnya di lantai tiga.

“Hemm ... si Jalu ini meski buta, tapi aku yakin dia bukan tokoh silat kelas kecoa atau setidaknya termasuk dalam golongan jago-jago kelas tiga,” pikir Adiprana sambil menatap punggung si pemuda buta yang berjalan menyusuri tangga ke atas. “Dari caranya berjalan dan bernapas, aku yakin setidaknya ia berada satu tingkat di bawahku. Entah murid siapa dia ini sebenarnya.” Tiba-tiba selintasan pikiran mampir ke dalam benaknya, “ ... atau jangan-jangan ia juga memiliki tujuan yang sama denganku?”

Tujuan yang sama?

Apa yang dimaksud dengan ‘tujuan yang sama’ oleh Adiprana?

Semua itu masih menjadi tanda tanya besar dalam benak si Naga Terbang ini! “Hemm ... satu-satunya jalan untuk mengetahuinya adalah dengan menyelidiki lebih jelas siapa adanya si buta ini, jika perlu satu kapal aku selidiki jati diri mereka semua,” desis si Naga Terbang dengan sorot mata berkilat aneh.

Sementara itu, Jalu sendiri yang pada saat itu baru mau masuk ke kamarnya, berpapasan dengan sosok pemuda baju mentereng yang juga berkeinginan masuk ke kamar di sebelahnya. Jalu Samudra tersenyum ramah dan mengangguk sedikit dan dibalas dengan anggukan pula,

Melihat kawan sebelahnya, Jalu sedikit mengkernyitkan alis, batinnya, “Aneh, jika dilihat sekilas mirip laki-laki, tapi dari langkah kakinya jelas-jelas seorang perempuan.”

Hidungnya sedikit mengendus-endus seperri anjing membaui daging.

“Hemm, harum sekali. Aneh, masa’ laki-laki berbau harum bunga begini?” gumamnya tanpa sadar, pikirnya kemudian, “Atau ... jangan-jangan ... dia banci? Gini-gini aku ‘kan laki-laki tulen.”

“Hiii ... ” desis Jalu lirih sambil buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam.

Tentu saja cengar-cengir Jalu tidak lepas dari pandang mata si pemuda baju merah.

(17)

“Brengsek!” maki si pemuda dalam hati. “Mata pemuda itu seolah sanggup melongok ke dalam hatiku. Uhh ... kenapa jantungku berdebar-debar kayak gini? Aneh! Tidak biasanya. Sekilas kulihat dia memiliki mata putih yang hanya dimiliki orang buta. Apa benar dia buta?” Mendadak rasa sebal berubah menjadi rasa iba. “Kasihan sekali! Ganteng-ganteng kok buta?”

Selebar wajahnya langsung merah merona.

“Sinting! Kenal saja tidak, kenapa aku bisa memikirkan dia?” gerutunya sambil membuka pintu kamar dan langsung dikunci dari dalam.

Lagak lagunya sekilas seperti gadis usia belasan tahun. --o0o--

BAGIAN 4

Nyi Sungsang Sumbel, julukannya Tongkat Berbisa, nenek jahat biang dari segala tokoh jahat sekaligus nenek paling ceria di muka bumi, sebab senantiasa ketawa mengikik di segala kesempatan. Nenek ‘berbahagia’ yang paling senang menyebar teror di muka bumi dikukuhkan sebagai musuh bebuyutan para tokoh aliran putih rimba persilatan wilayah tenggara. Dan uniknya, setiap pertarungan maut yang terjadi tak pernah tuntas karena tokoh ini selalu saja lolos dari pintu neraka.

Nenek jahat yang selalu beruntung!

Seperti halnya kali ini, Nyi Sungsang Sumbel ngibrit, lari lintang pukang saat ketanggor tokoh tua yang berjuluk Kakek Kocak dari Gunung Tugel yang nama aslinya Gayam Dompo.

“Brengsek keparat! Tiap kali ketemu dengan tua peot Gayam Dompo, aku tidak pernah menang barang setindak pun juga,” maki Nyi Sungsang Sumbel dalam keluhan. “Nampaknya aku harus memperdalam ilmu silatku lagi. Sampai kapan aku harus main kucing-kucingan seperti ini?”

Pikir punya pikir, sampai kapan ia harus selalu menggunakan Ilmu Sakti ‘Langkah Seribu’ alias melarikan diri dari arena pertarungan. Paling banter yang bisa dimajukan selain Ilmu Sakti ‘Langkah Seribu’ tidak ada yang lain, tuh!?

“Hi-hi-hi-hi! Bodohnya aku! Sudah tua bangka begini mau memperdalam apa lagi? Ilmu sudah mentok begini kapan bisa dimajukan lagi? Kalau mau diperdalam lagi, aku sudah keburu modar! Paling-paling juga ... hi-hi-hik, itunya doang yang maju,” katanya sambil menjungkit-jungkitkan alis matanya yang separo hitam separo putih.

Benar-benar sepasang alis yang aneh! Mendadak saja ...

“Nah ... ini dia orangnya!”

Sebuah suara sember lumayan keras mengejutkan Nyi Sungsang Sumbel. Wajahnya yang cerah ceria sontak ditekuk menjadi muram durja.

(18)

“Huh, aku tidak akan lari lagi,” katanya dalam hati. Lalu teriaknya dengan suara cempreng, “Hi-hi-hik, gendut botak Gayam Dompo kurang kerjaan! Kesini kalau berani!? Biar kulumat ... ”

“Apa? Kau mau melumat bibirku dengan bibirmu? Dasar nenek ganjen! Pikirannya ngeres melulu! Sudah tua tidak ingat kuburan, justru sukanya keluyuran!”

Suara sember kembali terdengar di belakang punggung Nyi Sungsang Sumbel, yang dengan gerak refleks langsung mengayunkan tongkat kayu ke belakang. Ayunannya bukan sembarang ayunan, namun sudah dialiri dengan tenaga dalam tinggi.

Wutt!

“Tidak kena! Tidak kena!” ledek suara sember sambil melangkah mundur tiga tindak.

“Botak sialan! Tongkat Berbisa dianggap mainan! Nih, makan!”

Si nenek sambil tertawa terkikik macam kuntilanak buang hajat segera mengayunkan tongkat secara serampangan.

Wutt! Wess ... !

Meski terlihat serampangan tak tentu arah, namun sebenarnya si nenek baju lurik kembang-kembang kedodoran yang berjuluk Tongkat Berbisa menggunakan jurus-jurus aliran tongkat yang dinamakan jurus ‘Tamparan Kelinci Genit’. Berulang kali sambaran tongkat sarat tenaga dalam menyambar ke arah si kakek gendut botak, namun anehnya dengan gaya lucu megal-megol macam angsa mau bertelur, kelebatan dan sambaran tongkat dari jurus ‘Tamparan Kelinci Genit’ bisa di mentahkan begitu saja.

Sett! Wutt!!

Eitt ... ! Tidak kena!” ledek si kakek sambil nungging tepuk-tepuk pantat kirinya, “Nih, pantatku! Silahkan sodok kalau bisa!?”

“Hi-hi-hik! Barang busuk macam pantat kuali saja kau pamerkan di hadapanku!” sambar si nenek sambil terus mengayun-ayunkan tongkatnya kesana kemari.

Wutt! Wutt ... !

Tiba-tiba, tangan kirinya melepas gagang tongkat lalu bergerak menyodok ke depan.

Dubb ... !

Segumpal hawa padat melesat cepat, dan tanpa dapat di cegah lagi langsung menghantam pantat kiri si kakek yang kala itu sedikit bergeser ke kanan menghindari ayunan tongkat.

Blakk!

(19)

“Wuadowww ... !!”

Si kakek kocak langsung berjingkrak-jingkrak sambil mengusap-usap pantatnya.

“Dasar tua bangka ganjen!” bentak si kakek sambil tangan kanan masih terus mengusap pantat, sedang tangan kirinya bergerak dari arah belakang ke depan seperti anak kecil melempar gasing.

Wutt!

Sebentuk bola biru sebesar telur bebek melesat cepat.

“Jurus ‘Hantam Bukit Hancurkan Tebing’!” seru Tongkat Berbisa sambil mengayunkan tongkat di tangannya membentuk baling-baling.

Wukk ... wukk ... !! Durr ... !!

Terdengar suara letupan kecil dikala bola biru sebesar telur bebek membentur perisai tongkatnya.

Jika si nenek terjengkang ke belakang akibat benturan, justru Kakek Kocak dari Gunung Tugel terjerembab ke depan. Justru karena itulah, jurus yang baru saja dilontarkan si kakek dinamakan ‘Hantam Bukit Hancurkan Tebing’ sebab begitu serangan pertama bisa digagalkan lawan, maka dengan gaya seolah-olah terjerembab, sepasang tangannya yang berubah menjadi biru terang menghantam ke arah depan dengan cepat!

Wuss ... !!

“Hi-hi-hi-hik! Aku sudah tahu kelanjutan jurusmu, tua bangka edan!” kekeh Tongkat Berbisa sambil melenting ke atas, sehingga serangan Gayam Dompo alias Kakek Kocak dari Gunung Tugel lewat di bawah kakinya.

Wuss ... ! Durr ... !!

Dari arah ketinggian, kembali Tongkat Berbisa mengelebatkan tongkatnya digebukkan ke arah punggung si gendut botak!

Wukk ... !

Benar-benar serangan yang berbahaya bagi keselamatan punggung gempal itu!

Namun, bukan Kakek Kocak dari Gunung Tugel namanya jika hanya mendapat serangan seperti itu sudah terkena serangan lawan. Sepasang tangannya yang masih terselimuti cahaya biru terang di putar ke belakang dalam posisi membungkuk untuk menghalangi ayunan tongkat yang akan mengarah ke punggung.

Brakk! Jderr ... !!

Gerakan cepat lawan ternyata diluar perhitungan si nenek periang ini. Akibatnya tubuh si nenek baju lurik kembang-kembang kedodoran semakin melambung tinggi ke atas akibat benturan tenaga sakti masing-masing.

(20)

“Botak sialan! Aku terpaksa membiarkan nyawa busukmu untuk sementara ngendon di sana! Suatu saaat aku akan mengambilnya sendiri, hi-hi-hik!” seru si nenek sambil ngacir, mengerahkan jurus peringan tubuhnya sampai tahap tertinggi. “Titip, ya!?”

Blass ... !

“Nenek ganjen! Bilang saja kau takut! Pake acara titip nyawa segala!” bentak keras Gayam Dompo dengan pengerahan tenaga dalam tinggi hingga suaranya memantul-mantul ke sekitar.

“Brengsek! Hebat juga tenaga si tua bangka itu,” gerutu si kakek sambil mengeluarkan kakinya dari dalam tanah. “Luka dalam ngga, nih?”

Setelah dilihat pulang-balik, kaki ini menarik napas lega.

“Fiuhh ... untung cuma luka kecil doang,” katanya sambil menghembuskan napas dari mulutnya yang lumayan tebal. Akibat benturan terakhir tadi, sepasang kaki Gayam Dompo sampai melesak hingga setinggi lutut. Meski pertarungan singkatnya seperti orang main-main, namun sebenarnya ke dua tokoh kosen yang memang sama sudah bau tanah ternyata telah mengeluarkan jurus-jurus silat tingkat tinggi.

“Dasar kodok sawah! Kemana saja perginya Kaswari muridku?” gerutu Kakek Kocak dari Gunung Tugel. “Di pos selatan dan utara yang seharusnya dijaga oleh Contreng Nyawa dan Dewa Periang dibiarkan kosong melompong tanpa penjagaan sama sekali. Apa mereka tidak takut dengan hukuman dari Tuan Majikan, apa?”

Belum lagi gerutuannya menghilang, tiga sosok bayangan berkelebat cepat. Wutt! Jleegg!

“Guru!”

“Gayam Dompo! Enak saja kau bilang kami kelayapan!” tukas seorang laki-laki parobaya berambut hijau belang-belang. “Jika bukan karena menolong murid tololmu dari sergapan Nyai Kembang Hitam dan anak si Pawang Racun yang menyusup, kami masih di pos penjagaan.”

“Nyai Kembang Hitam dan Pawang Racun Kecil?” kata kaget kakek Gayam Dompo. “Benarkah mereka yang datang, Kaswari?”

“Benar seperti apa yang dikatakan Paman Contreng Nyawa, Guru,” sahut Kaswari. Gadis manis berkulit kuning sedikit kecoklatan dengan raut muka lonjong berbaju kuning gading membungkukkan badan dengan hormat kepada kakek botak itu.

“Lagi pula di posku sendiri, aku juga harus menghadapi Pemulung Nyawa ... ” ujar seorang kakek rambut putih sambil senyum-senyum sendiri. “Ha-ha-ha, untung saja Pemulung Kurang Kerjaan itu bisa aku sepak keluar dari wilayah kekuasaanku. Kalau tidak mengingat saudara Contreng Nyawa, mungkin Pemulung Nyawa sudah dicambuk sama Dewa Neraka. Ha-ha-ha!”

(21)

Wajahnya terlihat paling segar diantara ke dua orang itu (kalau dengan Kaswari jelas kalah segar, kalah cakep pula!). Mukanya kemerah-merahan seperti bayi baru lahir, lucu-lucu imut gimana gitu!? Karena selalu riang gembira, bahkan susah pun kakek ini selalu riang tanpa beban hingga digelari Dewa Periang.

“Heh, memang adikku itu paling sulit dinasehati,” gumam Contreng Nyawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Terima kasih atas kebaikan Dewa Periang. Biar lain kali aku saja yang menghajar adat padanya.”

“Ho-ho-ho ... ! Jangan sungkan-sungkan sobat,” sahut Dewa Periang sambil menepuk pundak Contreng Nyawa, ringan.

“Guru, aku sendiri merasa heran,” kata Kaswari. “Apa yang kau herankan, muridku?”

“Nyai Kembang Hitam, anak si Pawang Racun, dan Tongkat Berbisa adalah tokoh silat aliran hitam yang berkepandaian tinggi. Entah dengan cara bagaimana paman Pemulung Nyawa bisa berkawan dengan mereka,” sahut Kaswari, sambungnya. “Setahu murid, wilayah Tanah Bambu ini tidak pernah memiliki silang sengketa dengan mereka bertiga, apalagi dengan Paman Pemulung Nyawa yang masih saudara seperguruan dengan Paman Contreng Nyawa. Bukankah hal ini adalah aneh?”

“Kita bicarakan saja hal ini di pos utama. Aku yakin, di sekitar tempat ini ada mata dan telinga yang mendengar pembicaraan kita,” bisik Contreng Nyawa. “Kita kembali sekarang.”

Ketiganya mengangguk pelan dan tanpa banyak kata, mereka berempat langsung melesat pergi ke arah jurusan selatan.

Begitu empat orang itu lenyap dari pandangan, dari balik gerumbulan perdu tiba-tiba menyeruak sebentuk tangan putih mulus diikuti dengan sesosok tubuh tinggi semampai berbaju hitam ketat sehingga mencetak setiap lekuk lengkung tubuhnya. Sepasang bukit kembar terlihat begitu menonjol sehingga jika terlihat dari samping, potongan tubuh itu begitu sempurna. Dilihat sekilas, wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahunan dengan wajah cantik jelita ini sangat menggiurkan setiap laki-laki yang memandang. Terlebih lagi dengan adanya belahan dada yang rendah sehingga sebagian besar bukit dada terlihat jelas sudah lebihd ari cukup untuk membuat mata laki-laki manapun blingsatan.

Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam. Dialah yang dijuluki ...

Nyai Kembang Hitam!

Begitu sosok ramping Nyai Kembang Hitam keluar dari tempat persembunyiannya, dibelakangnya telah berdiri tegak seorang laki-laki muda rupawan berbaju merah darah dengan celana pangsi coklat cerah, yang tanpa malu-malu langsung melingkarkan tangan kanan ke pinggang Nyai Kembang Hitam, ditarik dalam satu sentakan saja tubuh Nyai Kembang Hitam sudah jatuh dalam pelukannya.

(22)

Nyai Kembang Hitam tersenyum manis. Lalu dengan satu gerakan cepat, ia meraih wajah si pemuda dengan kedua tangannya, dan menyentuhkan ujung bibirnya dengan lembut ke bibir si pemuda. Merekahkan tepian lalu melumat lambat-lambat. Pemuda itu memejamkan mata. Kehangatan bibir gadis itu, coba diresapinya dalam-dalam.

Nyai Kembang Hitam menarik wajahnya mundur. Kelopak matanya tampak sayu. Sedang napasnya terdengar mulai cepat.

“Panji Tilar, ini ... ”

Tanpa sempat melanjutkan kata-katanya, bibir si pemuda langsung menyumpal bibir indah Nyai Kembang Hitam. Untuk sesaat, tubuh Nyai Kembang Hitam mengejang-melemas tanpa kendali. Bahkan sedikit menggeliat kala tangan kiri pemuda yang bernama Panji Tilar menyusup masuk ke dalam belahan dada montok Nyai Kembang Hitam dari arah depan dan begitu mendapat sasaran tangkap, langsung meremas-remas bongkahan kenyal di dada kanan Nyai Kembang Hitam.

Untuk sesaat Nyai Kembang Hitam menikmati setiap perbuatan Panji Tilar, namun pada detik berikutnya wanita cantik itu melakukan gerakan memutar dengan cepat.

Sett!

Dalam satu gerakan saja, tubuh ramping Nyai Kembang Hitam telah lepas dari dekapan Panji Tilar.

Namun, justru karena gerakan yang dilakukan oleh Nyai Kembang Hitam membuat tangan kiri Panji Tilar yang masih berada dalam bajunya tanpa sengaja tercabut paksa. Akibatnya ...

Brett!!

Baju bagian dada yang sudah rendah itu justru tersobek hingga ke pusar! “Kenapa ... ?” terdengar suara Panji Tilar sedikit memburu.

Mata pemuda itu semakin nanar melihat pemandangan syur itu. Bagaimana tidak, sepasang bukit kembar yang awalnya sudah membusung kencang, kini seakan meloncat hendak keluar karena ruang geraknya sedikit terbebas.

Benar-benar memusingkan!

“Kau nakal sekali, Panji Tilar!” kata Nyai Kembang Hitam berjalan mendekat dua langkah dengan napas sedikit cepat. Lalu dipeluknya pemuda itu. “Ingat dengan tugas yang dibebankan Ketua pada kita.”

Mendengar kata-kata Nyai Kembang Hitam, Panji Tilar menghembuskan napas berulang kali. Sedikit banyak, hawa birahinya terkendali.

“Tapi aku ... ”

Nyai Kembang Hitam meletakkan jari telunjuk kirinya ke bibir si pemuda.

“Pawang Racun Kecil!” kata Nyai Kembang Hitam menyebut gelar si pemuda. “Aku tahu beban yang ditugaskan oleh Ketua berada di pundakmu. Dan aku tahu

(23)

pula kematian Pawang Racun ayahmu di tangan Dedengkot Dewa memang harus dibalas termasuk dengan bunga-bunganya ... ”

“Aku paham maksudmu, Nyai ... !” tukas Pawang Racun Kecil. “Tapi sekarang aku membutuhkan dirimu. Membutuhkan kehangatan tubuhmu! Balas dendam bisa aku lakukan sambil jalan. Lagi pula Dedengkot Dewa sudah aku ketahui dimana adanya dia berada. Kupikir ... ”

“Kau pikir segampang itu menghadapi Dedengkot Dewa? Ayahmu saja tewas melawannya, apalagi dirimu?”

“Huh! Aku bukan ayahku!” sahut Pawang Racun Kecil sambil membalas pelukan Nyai Kembang Hitam. “Ayahku tewas karena ia malas mempelajari Kitab ‘Racun Lima Bintang’ sampai tuntas! Sedang aku? Kitab itu aku pekajari hingga tingkat paripurna. Tingkat dua puluh!”

“Sudahlah!” kata Nyai Kembang Hitam, karena ia memang tidak mau berdebat dengan pemuda itu. “Bagaimana dengan tugasmu?”

“Pemulung Nyawa yang asli sudah aku kirim ke neraka,” kata Pawang Racun Kecil sambil dua tangannya mengusap-usap lembut.

Nyai Kembang Hitam membiarkan saja tingkah pemuda di hadapannya, bahkan kini karena mulai terangsang birahinya, ia meletakkan ke dua tangannya merangkul leher si pemuda.

“Tugas kedua?”

“Pemulung Nyawa yang palsu sudah aku susupkan ke dalam wilayah Tanah Bambu, tapi tololnya ... penyamarannya terbongkar dan terpaksa aku kirim pula ia ke neraka menyusul Pemulung Nyawa yang asli,” ucap si pemuda sambil tangannya terus bergerilya ke mana-mana. “Benar-benar brengsek! Untuk mengambil sebuah medali saja, ia tidak becus!”

Pawang Racun Kecil terus saja menggerakkan tangannya ke sana kemari menjelajahi tubuh Nyai Kembang Hitam sembari mulutnya memberi keterangan tentang apa-apa yang menjadi tugasnya. Sedang yang menjadi sasaran gerilya hanya bisa mendesis-desis sambil sesekali menggelengkan kepala dengan pelan. Nampak Nyai Kembang Hitam pun mulai terangsang ulah Pawang Racun Kecil.

“Apakah ... mas … sih ada ... lagi tugasmu ... ?” tanya wanita baju hitam, yang kini baju hitamnya sudah tidak karuan bentuknya. Bahkan ia tidak menyadari bahwa ikat pinggang hitamnya sudah kendor dan celananya sedikit melorot ke bawah paha meski masih di atas lutut, sehingga sebentuk rerimbunan di bawah sana yang menutupi sebentuk gerbang istana kenikmatan terkuak.

“Ada.” “Apa?” “Ini!”

Diangkatnya sedikit bagian bawah belakang Nyai Kembang Hitam, lalu diturunkan dengan cepat!

(24)

Srepp ... !!

“Aaakkh ... !” jerit lirih Nyai Kembang Hitam kala ia merasakan sebuah benda panjang menerobos paksa ke bagian bawah tubuhnya. Belum lagi ia menjerit kembali, bibirnya sudah di sumpal oleh bibir Pawang Racun Kecil dan menyodokkan pilar tunggal penyangga langitnya hingga masuk sempurna.

Srepp ... !!

Tangan kiri kanan Pawang Racun Kecil meremas-remas sepasang bukit kembar milik Nyai Kembang Hitam dengan kasar. Tentu saja Nyai Kembang Hitam kelabakan karena mendapat serangan dadakan begitu rupa dari pemuda tampan yang kini sedang memaju-mundurkan senjata pusakanya.

“Nyai, kita bercinta di rumahku saja,” kata lirih Pawang Racun Kecil, yang tanpa melepaskan pilar tunggal penyangga langitnya terlebih dahulu dari dalam gerbang istana kenikmatan Nyai Kembang Hitam, langsung menghentakkan kaki ke tanah.

Wutt!

Tubuh pemuda itu melesat cepat laksana panah terlepas dari busurnya.

Uniknya, meski sambil mengerahkan tenaga peringan tubuh, Pawang Racun Kecil masih ‘menghajar nikmat’ bagian bawah tubuh Nyai Kembang Hitam hingga wanita itu merasakan sensasi yang luar biasa yang seumur hidup belum pernah ia rasakan.

Bercinta sambil melayang-layang di udara! --o0o--

BAGIAN 6

“Kalau bukan rahasia Ilmu ‘Bayu Buana’ tentulah Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’ milik Tuan Majikan,” tebak Riung Gunung dengan pasti, sambil menyeret sebuah bangku dan duduk di sana. Tak lupa periuk yang ada di punggungnya dilepas lalu ditaruh di samping kanan.

Semua orang yang ada di tempat itu terkejut mendengar perkataan si pemuda berperiuk. Jelas sekali bahwa memang ada kemungkinan dua ilmu rahasia itulah yang menjadi sasaran dari para pennyusup. Karena dari tingkat kedudukan mereka di rimba persilatan tidaklah mungkin mengincar harta benda berupa emas berlian dan sejenisnya.

Lagi pula, siapa orang-orang rimba pendekar yang tidak tahu tentang Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’?

Kecuali orang yang tidak tahu, semua pasti tahu, bro!

Ilmu ‘Bayu Buana’ adalah sejenis ilmu ringan tubuh yang bisa membuat orang mengarungi angkasa dengan memanfaatkan kekuatan angin meski tidak terbang bebas seperti burung, akan tetapi tubuh bisa melayang-layang di angkasa tanpa

(25)

sayap. Jelas dengan adanya ilmu ini membuat siapa saja pasti ngiler empat hari tiga malam karena saking inginnya menguasai Ilmu ‘Bayu Buana’ ini. Konon kabarnya Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu telah menguasai ilmu ini dengan sempurna hingga bisa bepergian kemana saja.

Benar atau tidaknya, kali ini hanya Yang Kuasa yang tahu! Lalu bagaimana dengan Ilmu ‘Seribu Bulan’?

Wah, ini malah bisa membikin lebih ngiler lagi, cing!

Dengan menguasai Ilmu ‘Seribu Bulan’ secara sempurna bisa memperpanjang umur hingga mencapai delapan puluh empat tahun bahkan lebih. Namun yang lebih membuat semakin ngiler adalah sosok pemilik ilmu ini akan berubah wujud menjadi sosok manusia yang usianya baru mencapai dua puluh lima tahunan. Pada umumnya usia manusia antara lima puluh sampai tujuh puluh tahun. Kalau bisa menguasai ilmu dengan sukses plus umur bertambah sekian puluh tahun, apa ngga hebat ’tuh?

Bisa dibayangkan betapa inginnya orang-orang menjadi awet muda, bukan awet tua!

“Bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu, Riung?” tanya Dedengkot Dewa sambil tersenyum.

“Mudah saja, Paman.” sahut Riung Gunung sambil membetulkan posisi duduknya. “Semenjak Tuan Majikan serta Nyonya Majikan menghilang, kedua ilmu ini pun turut menghilang. Sebagai orang asli Kepulauan Tanah Bambu, semua tahu bahwa Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’ hanya bisa dimiliki oleh orang yang memiliki tautan darah dengan pemilik asli Kepulauan Tanah Bambu, barulah bisa menguasai ke dua ilmu ini. Meski benar atau tidaknya bahwa orang harus punya tautan darah untuk menguasai ke dua ilmu ini, tidak ada yang tahu. Namun rahasia ini diketahui oleh pihak luar --dalam hal ini saya beranggapan orang-orang yang berani menyusup ke tempat kita-- berpikir bahwa dengan menghilangnya pucuk pimpinan di tempat ini akan semakin mudah mencuri ilmu-ilmu sakti yang ditinggal.”

“Ilmu sakti yang ditinggal?” potong Kaswari.

“Benar. Ilmu sakti yang ditinggal bisa berupa catatan, kitab-kitab silat atau pun sejenisnya ... ” kali ini yang menjawab Dedengkot Dewa, sambungnya, “ ... dan hal itu perlu kita waspadai.”

“Setahuku, Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’ selalu diturunkan secara pribadi pada calon pengganti saja,” kata Dewa Periang.

“Benar apa yang dikatakan oleh Dewa Periang,” jawab Dedengkot Dewa, “Namun kita melupakan satu hal yang teramat penting.”

“Apa itu!?” tanya Gayam Dompo, heran.

“Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’!” tegas sekali kata Dedengkot Dewa. “Dan yang jelas ... tanpa perlu darah keturunan pun, kedua ilmu itu bisa dipelajari siapa saja!”

(26)

Saat mengatakan hal itu, matanya sedikit berkeredep penuh kilatan amarah, namun hanya sesaat saja. Semua orang yang ada di tempat itu terperanjat mendengar ucapan Dedengkot Dewa sehingga tidak begitu menyadari perubahan mimik muka dari si laki-laki berkumis tipis, kecuali satu orang!

Riung Gunung!

Kala itu si pemuda ingin mengambil potongan ikan asap yang ada di dalam periuk, namun saat berusaha mengusir lalat, secara tidak sengaja ia memandang raut wajah Dedengkot Dewa yang berdiri membelakangi semua orang yang ada di tempat itu, kecuali dirinya yang duduk beradu muka sejarak tiga langkah dari laki-laki itu. Keredepan mata penuh dendam bisa ditangkapnya meski sekilas.

“Aneh, sekilas tadi kulihat mata Paman Dedengkot Dewa sedikit memancarkan hawa amarah yang tertahan,” pikir Riung Gunung, namun hatinya merasa sangsi, “Atau ... jangan-jangan aku salah lihat?”

“Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’?” Contreng Nyawa membantah. “Tidak mungkin! Kau bohong!”

“Bisa dipelajari siapa pun? Huh! Itu betul-betul tidak mungkin dan tidak mungkin betul!” seru Kakek Kocak dari Gunung Tugel.

“Dedengkot Dewa, Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’ hanyalah mitos belaka. Mitos yang dihembuskan oleh Tuan Majikan pertama agar orang-orang persilatan ... “

“Itu bukan mitos!” potong Dedengkot Dewa dengan cepat.

“Bukan mitos katamu?” kali ini Dewa Periang berkata, “Ha-ha-ha! Jangan ngawur kau, sobat!”

“Aku berkata yang sebenarnya!” kali ini suara Dedengkot Dewa sedikit keras, “Dengar! Dari beberapa lontar yang aku pelajari dan pernah kusinggung tentang kitab itu pada Empat Tua Raja Tanah Bambu, ternyata Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’ berasal dari Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’. Dan menurut Tua Raja Tinju Kayangan, masih ada dua ilmu lagi yang ada dalam kitab sakti itu. Dan ilmu ini puluhan kali lebih berbahaya dari dua ilmu sebelumnya.”

“Apa!?” seru Gayam Dompo sambil berdiri.

Semua yang ada di tempat itu sontak ikut berdiri dengan wajah penuh ketegangan. Jika dua ilmu pertama saja sudah membuat orang mupeng alias muka pengin, lalu bagaimana dengan dua ilmu lainnya?

“Jika memang benar apa katamu, ilmu apa yang ke tiga dan ke empat?”

“Menurut penuturan Tua Raja Tinju Kayangan, dua ilmu yang lain adalah Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ dan Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’!” tegas Dedengkat Dewa, sambungnya, “ ... aku yakin kalian pernah mendengar legenda dua ilmu itu!”

Mendengar tentang Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’ saja sudah membuat orang-orang persilatan sudah ngiler ingin menguasainya, kini ditambah dengan Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ dan Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat

(27)

Sembilan Matahari’ yang kabarnya hanya dikuasai oleh datuk persilatan masa enam ratus silam ini, membuat tokoh-tokoh utama dari Kepulauan Tanah Bambu bergidik ngeri!

Kala itu, guru Dewa Pengemis yang bergelar Matahari Sabit konon kabarnya hanya menguasai setengah dari kekuatan Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’ sudah menjadi jagoan tanda tanding di jagat persilatan, bahkan para tokoh sakti dari Daratan Tiongkok dan Tanah Hindustan banyak yang bertumbangan di bawah tangan si Matahari Sabit ini.

Beberapa Biksu Sakti dari Shaolin mengklaim bahwa Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’ adalah sama dengan Kitab Ilmu ‘Sembilan Matahari’ (Jiu Yang Zhen Jing) aliran mereka yang konon kabarnya telah hilang dari Gudang Pustaka Biara Shaolin untuk kedua kalinya selama puluhan tahun menghilang tak tentu rimba, sehingga mereka berkesimpulan bahwa ilmu yang dikuasai oleh Matahari Sabit adalah ilmu dari Biara Shaolin sehingga mereka berniat meminta kembali kitab ilmu tersebut. Namun oleh Matahari Sabit disangkal keras, hingga terjadilah pertarungan dua hari dua malam lamanya.

Pertarungan itulah yang hingga kini menjadi legenda abadi rimba persilatan! Matahari Sabit yang marah karena dituduh sebagai pencuri ilmu oleh para Biksu Shaolin langsung membabat habis para biksu tanpa berpikir siapa yang salah dan siapa yang benar. Tanpa ampun, delapan Biksu Shaolin pada akhirnya harus mati berkalang tanah di Tanah Jawa. Meski begitu, akibat pertarungan yang sungguh-sungguh melelahkan itu sang pendekar tidak luput dari luka dalam parah karena terlalu banyak menggunakan tenaga sakti hingga melebihi batas kemampuannya sebagai manusia.

Karena kejamnya pertarungan kala itu, sampai-sampai Matahari Sabit diberi julukan baru ...

Dewa Perang!

Kini ilmu-ilmu sakti milik Dewa Perang dalam legenda kembali diungkit.

Tentu saja membuat orang-orang yang ada di tempat itu langsung merasa ngeri!

“Jika memang benar seperti yang kau katakan, maka wilayah Kepulauan Tanah Bambu ini sekarang bukan wilayah yang aman!” kata tegas Contreng Nyawa, lalu sambil memandang semua orang yang di tempat itu satu persatu, ia pun melanjutkan, “Dan naga-naganya ... kita harus melibatkan Penguasa Gaib Tanah Bambu untuk membantu kita!”

“Maksudmu ... Sepuluh Dara Gaib!?” tanya Dewa Periang menegaskan. “Benar.”

“Kau tahu cara menghubungi mereka?” tanya Dewa Periang lagi. “Tahu.”

“Kau bisa melakukannya?” “Tidak.”

(28)

“Kenapa tidak?”

“Karena aku tidak mau mati di alam gaib.”

“Kenapa, Paman?” kali ini Riung Gunung yang bertanya.

“Untuk masuk alam gaib wilayah kekuasaan Sepuluh Dara Gaib, memerlukan tenaga gaib yang besar dan setidaknya menguasai ilmu pangracutan atau yang sejenisnya. Di alam gaib, hanya sukma saja yang sanggup merobos masuk ke dalam tirai gaib ... ” tutur Gayam Dompo, sambungnya, “ ... dan satu-satunya orang pernah keluar-masuk alam gaib dengan selamat di wilayah mereka adalah gurumu sendiri, Riung.”

“Ki Ajar Lembah Halimun!” seru Contreng Nyawa. “Betul-betul-betul! Kukira hanya orang tua itu saja yang sanggup masuk ke sana.”

Mendengar nama gurunya disebut-sebut, Riung Gunung hanya tersenyum kecut, “Percuma saja meminta bantuan Kakek Guru!”

“Kenapa?”

“Karena beliau berpesan, bahwa kemelut ini tidak akan terselesaikan meski meminta bantuan kepada Sepuluh Dara Gaib.”

“Benarkah?”

“Guru tidak pernah meleset dalam soal ramal-meramal. Saya rasa paman-paman sekalian sudah jelas tentang hal itu,” tandas Riung Gunung.

Semua yang ada di tempat itu terdiam. Tidak ada komentar sedikit pun terhadap pernyataan yang dilontarkan oleh anak muda berperiuk itu. Para penguasa Tapal Batas tahu betul seberapa jujur ucapan Riung Gunung dan seberapa teguh pendirian Ki Ajar Lembah Halimun serta seberapa hebat ilmu meramalnya.

“Kalau memang begitu, kita harus berusaha dengan cara kita sendiri,” putus Contreng Nyawa, lalu sambungnya, “Kukira ... sudah saatnya Pedang Pensil milikku perlu dicuci dengan darah.”

“Baik! Selain Pasukan Bambu Barat, Gelang Hitam Belenggu Hawa juga siap mendampingiku menghadapi musuh yang menyerang wilayah kita, hahahaha!” seru Kakek Kocak dari Gunung Tugel sambil mengelus-elus sepasang gelang besar yang ada di punggungnya.

“Ha-ha-ha! Kalian jangan lupa dengan Tongkat Gulungan Kain-ku!” seloroh Dewa Periang sambil memutar-mutar kain biru panjang di tangannya.

Begitu disentakkan ke depan ... Sett! Rett!!

Sontak kain langsung menggulung membentuk sebuah tongkat panjang dari gulungan kain. Jelas sekali bahwa Dewa Periang termasuk tokoh silat kelas tinggi, terlihat dari tenaga dalam yang dialirkan ke dalam senjata uniknya, sambungnya, “Lagi pula, Pasukan Tanah Selatan juga siap berkorban demi kejayaan Kepulauan Tanah Bambu!”

(29)

“Pedang Pensil, Gelang Hitam Belenggu Hawa dan Tongkat Gulungan Kain adalah senjata-senjata luar biasa. Sedang aku ... cuma punya Tangan Pengejar Nyawa,” desah Dedengkot Dewa sambil tangan kirinya di tarik dari kiri ke atas lalu turun sejajar dada. Sebentuk cahaya merah kecoklat-coklatan terpancar kuat dari tangan kiri Dedengkot Dewa yang segera dikibaskan ke arah rerimbunan pohon perdu.

Sett! Weeerr ... ! Dhuarrr ... !

Rerimbunan pohon perdu dan tanah dibawahnya langsung terbongkar diikuti dengan semburatnya tanah.

Plokk! Plook!

Dewa Periang bertepuk tangan sambil berkata, “Benar-benar ilmu yang hebat, Dedengkot Dewa! Tanpa bertanding denganmu pun, aku sudah merasa di bawah angin! Benar-benar luar biasa!”

“Cuma ilmu picisan, apa bagusnya!?” kata Dedengkot Dewa sambil tersenyum, lalu katanya pada Riung Gunung, “Anak Riung! Kurasa tugas ayahmu di wilayah Tapal Batas Utara bisa kau ambil alih untuk sementara waktu. Kau siapkan Pasukan Tambak Segara dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi lawan yang kemungkinan besar akan menyerang dalam waktu dekat ini.”

“Baik, Paman!”

“Dan kau ... Kaswari! Kumpulkan semua teman-temanmu yang bisa memanah untuk memperkuat Pasukan Panah Api,” kata tegas Dedengkot Dewa. ”Perbanyak latihan, jika perlu penegakan disiplin dalam latihan!”

“Siap, Paman!”

“Dedengkoat Dewa! Kukira Pasukan Tanduk Banteng-mu pun juga perlu dipersiapkan lebih baik dari pasukan yang ada di tiap wilayah Tapal Batas,” usul Gayam Dompo.

“Kau benar, sobat! Pasukan Tanduk Banteng adalah pasukan perintis. Mereka memang telah terlatih sebagai pasukan berani mati,” ucap Dedengkot Dewa dengan nada bangga. “Kalian tidak perlu khawatir dengan hal itu!”

“Sekarang ... pertemuan bubar!”

Semua orang yang di tempat itu saling menjura satu sama lain sebagai adat penghormatan terhadap sesama penguasa wilayah Tapal Batas. Setelah itu semua segera melesat pergi meninggalkan tempat itu. Hanya Riung Gunung seorang yang berjalan lambat-lambat, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam kepalanya.

“Aneh sekali. Kenapa aku merasa perlu mencurigai Paman Dedengkot Dewa, ya?” pikirnya. ”Wah, pasti ada yang ga bener nih! Kuselidiki, ahh ... “

Sambil beranjak berdiri, ia kembali mendesis pelan, “Lebih baik aku kembali ke tempat ayah. Kurasa Tombak Penusuk Bumi milik ayah bisa aku gunakan sebagai penjaga diri. Tidak melulu Periuk Ikan ini!”

(30)

Riung Gunung melesat pergi dengan lompatan-lompatan ringan seperti gaya belalang melentik.

--o0o--

BAGIAN 7

“Ada perompak ... ! Ada perompak ... !” seru salah seorang anak buah kapal Surya Silam dari atas tiang penyangga layar. Tubuhnya berloncatan turun ke bawah laksana kera. Meski tidak menguasai jurus peringan tubuh, namun kegesitan yang ditempa alam membuatnya sanggup melejit dari satu tali ke tali yang lain dan pada akhirnya turun dengan manis di atas geladak.

Gandarwa yang saat itu sedang tidur-tidur ayam dekat anjungan kapal menikmati sejuknya angin laut, langsung menghampiri orang yang baru saja berteriak, “Brengsek benar kau, Satari! Ada apa teriak-teriak sesiang ini?”

“Ada perompak, Kang! Di sana!” sahut Satari sambil menunjuk ke arah selatan.

“Dasar setan laut keparat!” makinya sambil memandang ke jurusan selatan. Mata tajamnya sedikit menyipit, seolah sedang memastikan benar-tidaknya laporan dari sang anak buah.

Dari menyipit, Gandarwa justru menjerengkan mata! “Busyet, itu mata apa jengkol? Gede amat!” pikir Satari.

“Demi setan laut! Itu Perompak Tujuh Lautan pimpinan Jenggot Perak Mata Satu!” desis Gandarwa.

Mendengar sebutan Perompak Tujuh Lautan, Satari langsung terjengkit kaget! “Yang bener, Kang!?”

“Meski jarak cukup jauh, mataku belum lamur!” desis Gandarwa sekali lagi, sambil matanya tidak lepas dari sebentuk titik hitam yang semakin lama semakin kelihatan jelas. “Lihat bendera hitam lambang tiga tengkorak itu.”

“Wah, ga keliatan, Kang ... masih jauh ... “ seru Satari sambil celingak-celinguk, sambungnya, “Kakang yakin itu kapal Perompak Tujuh Lautan?”

“Yakin sekali.”

“Wah ... asyik kalau begitu ... “

“Asyik kepalamu pitak! Ini berhubungan dengan nyawa seluruh penumpang kapal Surya Silam ini, goblok!” bentak Gandarwa.

Mendengar suara ribut-ribut di depan anjungan, nakhoda kapal berjalan menghampiri mereka.

“Ada apa, Gandarwa?” tanyanya.

(31)

Dan tanpa bertanya untuk kedua kali, mata sang nakhoda langsung memandang ke jurusan selatan, dimana Gandarwa memelototi titik hitam yang semakin mendekat. Sontak, ia langsung berteriak kaget, “Celaka lima belas! Itu ... kawanan Perompak Tujuh Lautan!”

“Aku sudah tahu, Kang. Lalu bagaimana?”

“Apanya yang bagaimana?” balik tanya si nakhoda yang bernama Gautama. “Tentang Perompak Tujuh Lautan.”

“Hemm, dari kabar yang berhasil aku sirap, kawanan Perompak Tujuh Lautan adalah jenis perampok yang pekerjaan yang ‘serba bersih’. Bersih nyawa, bersih harta dan bersihkan apa yang ada!”

“Jadi ... ?”

“Jika mereka sudah memberikan target, pasti akan menyapu bersih semua yang ada! Jika di kapal ini ada seribu nyawa, maka seribu nyawa pulalah yang dibersihkan. Dan itu artinya ... “

“Artinya ... ?”

“Kita harus bersiap-siap menjadi penghuni laut!” desis Gautama.

“Huh, tapi aku tidak mau menjadi penghuni laut!” seru laki-laki berompi merah itu. Wajah Gandarwa langsung membesi kala mengetahui bahwa kawanan Perompak Tujuh Lautan yang diketuai oleh Jenggot Perak Mata Satu adalah tipe perompak yang ‘suka kebersihan’!

Benar-benar reputasi yang hebat!

“Lebih baik mati dalam pertarungan dari pada mati tanpa perlawanan!” ucap Gandarwa berapi-api.

“Aku setuju, Kang! Setuju!” sahut Satari ikut-ikutan.

Gandarwa menoleh pada pemuda pendek didekatnya. Sudah puluhan tahun mereka bersama, baik dalam suka mau pun duka. Meski selisih umur mereka sepuluh tahunan, tidak menghalangi rasa persahabatan diantara keduanya.

“Satari, kau takut mati!?”

“Yoo ... jelas to, Kang! Lha wong aku masih muda, pingin makan, pingin punya istri, pingin ... “

“Kalau begitu ... kau siap mempertahankan hidupmu!?” tanya Gandarwa lagi. “Jelas aku siap!” kata tegas Satari.

“Bagus! Tidak percuma aku punya sahabat seperti dirimu!” Keduanya saling pandang, lalu sama-sama tersenyum. “Lalu, apa yang harus aku lakukan, Kang?”

“Siapkan teman-temanmu. Dan ungsikan para penumpang ke ruang rahasia di bagian bawah kapal!” perintah Gandarwa. “Katakan pada mereka, keadaan darurat!”

(32)

Tanpa bertanya lagi, Satari segera berlalu.

Sebentar saja, suara ribut-ribut terdengar saling bersahutan.

Ada yang langsung menangis menggerung-gerung mengetahui bahwa yang ingin menyatroni mereka adalah kawanan Perompak Tujuh Lautan, ada pula yang terlongong bengong macam sapi ompong, bahkan ada di antara mereka yang sedikit memiliki ilmu silat, langsung menghunus senjata siap sedia mempertahankan kapal yang mereka tumpangi.

Seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluh lima tahunan berjalan cepat, naik ke lantai tiga. Berjalan sebentar dan berhenti pada pintu kamar dengan tulisan merah berangka delapan.

Took! Took ... !

Suara ketukan terdengar lirih.

“Siapa?” tanya sebentuk suara dari dalam kamar. “Saya ... Cideng,” sahut si laki-laki.

Terdengar suara langkah kaki diikuti dengan deritan pintu. Krieekk!

“Ada apa, Paman Cideng?” tanya si penghuni kamar yang ternyata seorang pemuda berkumis tipis.

“Di luar ada perompak.”

“Perompak?” tanya heran si pemuda, “Perompak siapa?”

“Kawanan Perompak Tujuh Lautan yang diketuai oleh Jenggot Perak Mata Satu,” tutur laki-laki bernama Cideng dengan sopan.

Sorot mata si pemuda mendadak berkilat tajam mendengar nama Jenggot Perak Mata Satu.

“Huh, akhirnya muncul juga keparat itu,” desis si pemuda, lalu sambungnya, “Lebih baik Paman siapkan kawan-kawan yang lain. Aku menyusul belakangan.”

Tanpa menyahut, orang yang menyandang golok di punggung membungkuk sedikit lalu bergegas turun ke bawah.

“Hemm, sudah saatnya perompak kesiangan itu dikirim ke neraka,” desis si pemuda. Lalu ia berbalik masuk ke dalam dan sebentar kemudian keluar dari kamar. Di pinggangnya terlilit sebentuk benda putih keperakan. Jelas sekali bahwa benda itu adalah sebentuk cambuk.

Saat melewati kamar sebelahnya, ia berandek sebentar, “Apa perlu pemuda di sebelah ini aku bangunkan? Bangunkan ... tidak ... bangunkan ... tidak ... ? Ah ... ga usahlah. Rasanya kok tidak etis. Dari keterangan yang kudapat, pemuda berbaju biru laut dengan tongkat hitam di tangannya seorang pemuda buta. Biarlah ... mendingan tidak perlu aku usik dia. Kasihan,” desahnya lirih.

Referensi

Dokumen terkait