• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK KONSERVASI JENIS-JENIS ANGGREK DI TAMAN WISATA ALAM SORONG PAPUA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK KONSERVASI JENIS-JENIS ANGGREK DI TAMAN WISATA ALAM SORONG PAPUA BARAT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK KONSERVASI JENIS-JENIS ANGGREK DI TAMAN

WISATA ALAM SORONG PAPUA BARAT

Ponisri1, Sutedjo2 dan Sukartiningsih3

1

Faperta Universitas Al-Amin Sorong. 2Laboratorium Dendrologi dan Ekologi Hutan Fahutan Unmul, Samarinda. 3Laboratorium Silvikultur Fahutan Unmul, Samarinda

ABSTRACT. Conservation Prospects of Orchids at the Sorong Natural Tourism Park West Papua. The aims of research were to determine the species richness,

diversity, evenness and dominance of orchids species, perception of people about the value of orchids related to understanding and prospects for cultivation of orchids in the Sorong Natural Tourism Park, in West Papua. The results showed that there were 14 species of 9 genera of orchids in the Sorong Natural Tourism Park, that were 12 species epiphytic (148 individuals) and two species of terrestrial orchids/ground (8 individuals). The percentage of individual orchids found in this region were Dipodium pictum (14.10%) Bulbophyllum biflorum (13.46%), B. vaginatum (12.82%), B. macranthum (12.18%), Dendrobium antennatum (11.54%), Bulbophyllum sp. (10.26%), Grammatophyllum speciosum (7.05%), Eria pannea (5.13%), Dendrobium sp. (3.85%), Malaxis sp., Spathoglottis sp. and Vanda hinsii (2.56%) of each, Coelogyne speciosa (1.28%) and Dendrobium spectabile (0.64%). The analysis showed that the genera of Bulbophyllum and Dendrobium had a number of species more than another of 7 existing genera, as well as for wider distribution. Some species of them familiar to the people had a high economic value such as Dendrobium spectabile, D. antennatum, Vanda sp., G. speciosum and C. speciosa. The research had also found that Dipodium pictum orchid species as economic potential was not familiar to the people. Index of diversity of species (H) was 1.034, index of similarity (e) was 0.90 and index dominance (C) was 0.10. These meant that relatively no dominant species of orchids in distribution. The perception of people in term of the understanding of the value of orchid resources was quite good, the lack of information and knowledge in people lead to the cultivation of orchids in Sorong district was still very low. With reference to these results of the research, it can be concluded that the conservation of orchids at the Sorong Natural Tourism Park, West Papua have highly prospective to be performed either in situ or ex situ conservation.

Kata kunci: anggrek, taman wisata Sorong, keanekaragaman, kesamaan, dominan

Anggrek merupakan tumbuhan hias dari famili Orchidaceae yang banyak diminati karena bentuk dan warna bunganya yang sangat indah. Tingkat pemanfaatan tumbuhan ini cukup tinggi, termasuk pemanfaatan jenis yang tumbuh secara alami di habitat aslinya, tetapi upaya budidaya masih kurang untuk kelangsungan hidup tumbuhan tersebut, sehingga pemerintah telah menetapkan beberapa jenis di antaranya sebagai jenis-jenis yang dilindungi. Kondisi tersebut salah satunya diperkirakan terjadi juga pada jenis-jenis anggrek di kawasan hutan Taman Wisata Alam Sorong, kurangnya informasi tentang keragaman dan potensi jenis yang ada di dalamnya dapat menyebabkan kesulitan dalam mengambil kebijakan dan tindakan terkait upaya

(2)

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 57 promosi, budidaya dan konservasi plasma nutfah anggrek di Taman Wisata Alam Sorong pada khususnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekayaan jenis, keanekaragaman, kemerataan dan dominasi jenis anggrek, persepsi masyarakat sekitar terkait pemahaman nilai sumberdaya dan prospek budidaya anggrek di Taman Wisata Alam Sorong, Papua Barat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan Taman Wisata Alam Sorong Distrik Sorong Timur Papua Barat dengan luas kurang lebih 945,9 ha. Penelitian lapangan selama kurang lebih 2 bulan dimulai dari bulan Agustus sampai dengan September 2011 yang terdiri atas persiapan penelitian, orientasi lapangan, penentuan dan pembuatan jalur serta pengambilan data lapangan berdasarkan peta lokasi penelitian.

Objek utama penelitian adalah vegetasi anggrek yang tumbuh secara alami di Taman Wisata Alam Sorong dan masyarakat sekitar yang memanfaatkan sumberdaya secara langsung.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah peta kerja, global position system (GPS) merk Garmin 76, teropong binokuler, kompas, penggaris, meteran rol, clinometer, meteran pita, parang, kamera digital, buku identifikasi anggrek/buku panduan karakterisasi anggrek (Anonim, 2007) dan jasa pengenal anggrek serta kuesioner.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: tally sheet untuk menulis data-data di lapangan.

Penelitian dilaksanakan dengan metode jalur, di mana pemilihan lokasi dilaksanakan secara purposive pada 3 lokasi yaitu daerah pinggir hutan, tengah hutan dan daerah landai masing-masing sebanyak 2 jalur, sehingga jumlah jalur pengamatan secara keseluruhan ada 6 jalur, dengan luas secara keseluruhan 300.290 m2 (30,029 ha). Teknik pengambilan data dilakukan dengan eksplorasi dan observasi langsung pada 6 jalur pengamatan dan wawancara terhadap pihak-pihak terkait yang mencakup masyarakat dari kelurahan Klasaman dan Klablim sebanyak 30 responden, serta terhadap WWF, BKSDA dan Dinas Kehutanan sebanyak 6 respoden. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer yaitu jenis-jenis anggrek, penyebaran/distribusi anggrek, pohon inang dan karakteristik anggrek (batang, daun, bunga, akar, habitat) serta data hasil wawancara dengan responden. Data sekunder meliputi data iklim dan keadaan umum lokasi penelitian.

Data hasil observasi dianalisis sesuai dengan masing-masing parameter dan dideskripsi secara kualitatif dan kuantitatif serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar (bagan, grafik dan foto). Analisis data untuk parameter keanekaragaman jenis anggrek, dominasi jenis anggrek dan kemerataan jenis anggrek adalah sebagai berikut:

1. Keanekaragaman Jenis Anggrek

(3)

58 Ponisri dkk. (2012). Prospek Konservasi Jenis-jenis Anggrek

keanekaragaman jenis (H) dari Shanon dan Wiener (1949) dalam Odum (1993) sebagai berikut:          

N ni N ni H .log

H = indeks keanekaragaman, ni = jumlah individu jenis ke-i dan N = jumlah individu seluruh jenis

Keanekaragaman jenis merupakan ciri tingkat komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas dan stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto, 1994). Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan, bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi jenis yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit jenis dan jika ada jenis yang dominan (Indriyanto, 2006).

2. Kemerataan Jenis Anggrek

Untuk kemerataan jenis anggrek pada jalur penelitian, dilakukan analisis dengan menggunakan indeks kemerataan jenis (e) menurut Pielou (1966) dalam Odum (1993) sebagai berikut:

e = H / log S, yang mana e = indeks kemerataan, H = indeks keanekaragaman jenis dan S = jumlah seluruh jenis yang ada

Analisis juga dilakukan secara tabulasi untuk mengetahui keberadaan jenis anggrek di dalam jalur pengamatan. Besarnya nilai persentase merupakan hasil perbandingan antara jumlah jalur ditemukannya suatu jenis anggrek dengan jumlah seluruh jalur pengamatan dengan menggunakan jumlah individu yang diperoleh untuk menggambarkan kemerataan jenis anggrek. Kriteria indeks kemerataan menurut Krebs (1978) dalam Odum (1993) bahwa nilai kemerataan tinggi bila e = >0,6, kemerataan sedang e = 0,4< e ≤0,6 dan kemerataan rendah bila e = 0< e ≤ 0,4.

3. Dominasi Jenis

Untuk menentukan keberadaan jenis anggrek yang menyatakan tingkat penguasaan jenis dalam suatu komunitas digunakan rumus Indeks Dominasi Jenis (C) dari Simpson (1949) dalam Odum (1993) sebagai berikut:

2

  N ni C

C = indeks dominasi, ni = jumlah individu jenis ke-i dan N = jumlah individu seluruh jenis

Dominasi merupakan sifat komunitas yang memperlihatkan jumlah jenis organisme yang melimpah di suatu wilayah. Indeks dominasi berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman, semakin tinggi indeks dominasi, maka indeks keanekaragaman

(4)

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 59

jenis akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya. Suatu jenis anggrek dinilai dominan bila nilai indeks dominasinya lebih tinggi daripada anggrek yang lainnya. Kriteria indeks dominasi menurut Krebs (1989) adalah 0,00<C≤0,30 dominasi rendah, 0,30<C≤0,60 dominasi sedang, 0,60<C≤1,00 dominasi tinggi.

Analisis juga dilakukan secara tabulasi terhadap kepadatan individu setiap jenis anggrek pada masing-masing jalur pengamatan yang diteliti. Hasil analisis dinyatakan dalam jumlah individu untuk menggambarkan dominasi masing-masing jenis anggrek yang diidentifikasi.

4. Persepsi masyarakat

Persepsi masyarakat sekitar kawasan tentang pemahaman nilai sumberdaya anggrek dan prospek budidaya anggrek yang dikembangkan oleh masyarakat guna meningkatkan pendapatannya pada kawasan Taman Wisata Alam Sorong dianalisis secara tabulasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kekayaan Jenis Anggrek

Data hasil eksplorasi dan identifikasi jenis-jenis anggrek yang terdapat di kawasan hutan Taman Wisata Alam Sorong menunjukkan, bahwa marga Bulbophyllum memiliki jumlah jenis paling banyak yaitu 4 jenis kemudian diikuti selanjutnya marga Dendrobium sebanyak 3 jenis, sedangkan Dipodium, Grammatophyllum, Eria, Vanda, Malaxis, Spathoglottis dan Coelogyne masing-masing 1 jenis. Berdasarkan substrat hidupnya (habitat), dari 14 jenis anggrek yang diidentifikasi, 12 jenis di antaranya adalah anggrek epifit (hidup di pohon) dan 2 spesies/jenis lainnya anggrek terestrial (berasosiasi dengan tanah).

Hal tersebut menunjukkan, bahwa marga Bulbophyllum dan Dendrobium lebih dapat menyesuaikan pada kondisi habitatnya, selain itu karena anggrek ini memiliki buah yang ringan berbentuk kapsul yang di dalamnya terkandung biji-biji yang berukuran halus seperti debu dan berjumlah ribuan hingga jutaan, maka apabila buah telah masak, kulit akan pecah sehingga biji anggrek berhamburan keluar terbang dihembus angin, ini akan mempengaruhi penyebaran biji yang lebih luas. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Steenis (1997), Indarto (2011), bahwa biji anggrek banyak, berukuran sangat kecil dan halus seperti tepung hingga mudah tertiup oleh angin.

Marga Vanda, Eria, Dipodium, Spathoglottis, Malaxis, Coelogyne dan Grammatophyllum masing-masing 1 jenis, karena anggrek tersebut lebih menyukai tempat yang terbuka dan memilih hidup pada habitat yang paling sesuai di dalam hutan, baik sesuai dengan faktor fisik lingkungannya maupun tersedianya unsur hara. Hal ini sesuai pendapat Suin (2002), bahwa faktor fisik lingkungan yang hampir merata pada suatu habitat serta ketersediaan nutrisi bagi tumbuhan yang hidup di dalamnya sangat menentukan kehidupan tumbuhan tersebut. Sesuai dengan pendapat Harwati (2007), Damayanti (2011) sinar matahari sangat penting bagi anggrek, karena merupakan sumber energi yang bermanfaat dalam proses fotosintesis. Fotosintesis ini

(5)

60 Ponisri dkk. (2012). Prospek Konservasi Jenis-jenis Anggrek

menghasilkan energi yang berguna bagi kehidupan anggrek. Setiap jenis anggrek membutuhkan sinar matahari yang berbeda-beda, intensitas sinar yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kebutuhan optimal tumbuhan anggrek menyebabkan pertumbuhannya terhambat. Data jumlah individu dan persentase sebaran anggrek pada masing-masing jenis disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Jumlah Individu dan Persentase Jenis-Jenis Anggrek

Persentase individu anggrek menurut jenis-jenis anggrek yang terdapat di kawasan ini adalah Dipodium pictum 14,10% Bulbophyllum biflorum 13,46%, B. vaginatum 12,82%, B. macranthum 12,18%, Dendrobium antennatum 11,54%, Bulbophyllum sp. 10,26%, Grammatophyllum speciosum 7,05%, Eria pannea 5,13%, Dendrobium sp. 3,85%, Malaxis sp., Spathoglottis sp. dan Vanda hinsii masing-masing 2,56%, Coelogyne speciosa 1,28% dan D. spectabile 0,64%. Hasil analisis menunjukkan, bahwa genus Bulbophyllum dan Dendrobium memiliki jenis yang lebih banyak dan penyebarannya lebih luas dari 7 genus yang ada. Beberapa jenis di antaranya telah dikenal masyarakat dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi seperti Dendrobium spectabile, Vanda sp., D. antenatum, Grammatophyllum speciosum dan Coelogyne speciosa, selain itu dari hasil penelitian dijumpai jenis anggrek yang berpotensi ekonomi yaitu Dipodium pictum tetapi belum dikenal oleh masyarakat.

Inang Anggrek

Secara keseluruhan hasil identifikasi anggrek dan pohon inang di jalur pengamatan bahwa pohon inang yang paling banyak ditumbuhi anggrek epifit adalah resak (Vatica papuana) dan jambu (Syzygium sp.) dengan 8 jenis anggrek, kenari (Canarium sp.) 7 jenis anggrek, cempedak (Artocarpus champeden) dan Aglaia sp. masing-masing 6 jenis anggrek. Hal ini diduga karena karakteristik pohon dengan percabangan yang

(6)

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 61 banyak, tekstur kulit batang pohon kasar dan sedikit retak-retak, sehingga memudahkan akar anggrek untuk masuk menempel atau mencengkeram pada batang pohon. Kulit yang kasar atau pecah-pecah juga menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan anggrek, karena pada bagian kulit yang kasar atau pecah-pecah menampung debu-debu atau partikel pohon mati yang selanjutnya menempel pada batang pohon tersebut. Debu (partikel) ini dalam kurun waktu yang lama akan menumpuk dan tersiram oleh air hujan menyebabkan batang pohon tersebut lembap, kondisi yang demikian sangat cocok untuk pertumbuhan anggrek epifit. Hal ini sesuai pendapat Hartati (2006) dalam Yahman (2009), tipe kulit batang pohon dengan permukaan yang rata dan sedikit retak-retak adalah yang paling banyak jumlah individu epifitnya. Namun demikian hubungan anggrek dan inangnya tidak selalu spesifik.

Untuk jenis anggrek tanah yaitu Malaxis sp. dan Spathoglottis sp. tergolong dalam jenis yang membutuhkan banyak sinar (jenis intoleran). Menurut Gunawan (2000) bahwa anggrek tanah membutuhkan sinar lebih banyak daripada anggrek pot/budidaya. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa anggrek tanah dapat ditanam di tempat yang tidak membutuhkan peneduh/naungan dan dapat menerima intensitas sinar matahari penuh. Hal ini bisa dikatakan sebagai anggrek dataran rendah karena mampu tumbuh pada ketinggian dekat permukaan laut hingga pegunungan. Ini sesuai pendapat Bakhuizen van den Brink dan Backer (1968) yang mencatat penyebaran anggrek tanah tumbuhnya pada ketinggian 25–1.000 m dpl.

Keanekaragaman Jenis (H), Kemerataan Jenis (e) dan Dominasi Jenis (C)

Untuk menilai tingkat penguasaan jenis, variasi jenis dan kemerataan jenis anggrek, maka dilakukan analisis dengan pendekatan indeks keanekaragaman, kemerataan jenis dan dominasi. Hasil analisis terhadap indeks keanekaragaman, kemerataan dan dominasi jenis anggrek pada hutan Taman Wisata Alam Sorong disajikan pada Gambar 2. Tingkat keanekaragaman jenis anggrek (H) di hutan TWA Sorong adalah 1,034 dengan indeks kemerataan jenis anggrek 0,90 dan indeks dominasi jenis (C) adalah 0,10, angka ini menunjukkan bahwa relatif tidak ada jenis anggrek yang dominan dalam penyebarannya.

Gambar 2. Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan Dominasi Jenis Anggrek pada Jalur Pengamatan di TWA Sorong

(7)

62 Ponisri dkk. (2012). Prospek Konservasi Jenis-jenis Anggrek

Persepsi Masyarakat Tentang Pemahaman Nilai Sumberdaya Anggrek

Secara umum keberadaan masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan konservasi atau kawasan lindung sangat berpengaruh terhadap eksistensi kawasan. Sebagaimana diketahui bahwa Taman Wisata Alam Sorong secara administrasi terletak di antara wilayah kelurahan Klasaman yang terdiri atas 1292 kepala keluarga (KK) dan 6120 jiwa, dan Klablim terdiri atas 243 kepala keluarga (KK) dan 1110 jiwa, yang terdiri dari masyarakat suku asli dan pendatang. Jumlah penduduk pada kelurahan Klasaman adalah bermata pencaharian sebagai pegawai negeri, pedagang dan peternak serta sebagai petani, sedangkan kelurahan Klablim sebagian besar bermata pencaharian petani dan sebagian kecil pegawai negeri serta pedagang.

Aspek Pengetahuan Masyarakat Terhadap Anggrek

Aspek pengetahuan masyarakat sekitar terhadap anggrek di Taman Wisata Alam Sorong dari hasil wawancara dengan 30 responden, pada dua kelurahan yaitu kelurahan Klasaman dan Klablim disajikan pada Tabel 1.

Tabel. 1. Aspek Pengetahuan Masyarakat Terhadap Anggrek

No Uraian F Ya (%) F Tidak (%) Total (%)

1 Pengetahuan masyarakat bahwa anggrek merupakan tumbuhan yang dilindungi

24 80 6 20 100

2 Mengetahui kondisi anggrek di TWA Sorong (berkurang)

28 93,33 2 6,67 100 3 Mengetahui tentang status kawasan hutan Taman

Wisata Alam Sorong (kawasan Konservasi)

24 80 6 20 100

4 Pengambilan anggrek di TWA oleh masyarakat sekitar

11 36,67 19 63,33 100 5 Bagaiamana pemanfaatan anggrek oleh masyarakat

(untuk dijual)

10 33,33 20 66,67 100 6 Seberapa jauh usaha pembudidayaan anggrek oleh

masyarakat

2 6,67 28 93,33 100 7 Sejauh mana pernah dilakukan penyuluhan di desa

oleh dinas terkait

20 66,67 10 33,33 100 F = frekuensi

Berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan terhadap 30 responden dari kedua kelurahan yang tinggal di sekitar hutan wisata ini menunjukkan, bahwa masyarakat sebagian besar sudah mengetahui dan memahami anggrek merupakan tumbuhan yang dilindungi, begitu juga informasi tentang kawasan hutan sebagai kawasan konservasi yaitu sekitar 24 responden (80%) dan 28 responden (93,33%) mengetahui bahwa anggrek pada kawasan Taman Wisata Alam kondisinya sudah berkurang serta sekitar 20 responden (66,67%) menyatakan pernah dilakukan penyuluhan pelestarian alam. Namun masyarakat sekitar masih memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang terdapat di Taman Wisata Alam sekitarnya. Karena tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka masih merambah dan mengambil anggrek dari hutan tersebut. Hal tersebut dilakukan secara turun temurun dengan frekuensi yang cukup tinggi, sebagaimana terlihat masih terdapat 11

(8)

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 63

responden (36,67%) menyatakan bahwa mereka sering mengambil anggrek dari hutan Taman Wisata Alam dan 10 responden (33,33%) di antaranya menyatakan memanfaatkan anggrek untuk dijual. Hal ini merupakan ancaman serius terhadap keberadaan jenis-jenis anggrek di kawasan ini, terlebih masyarakat sekitar masih memasuki kawasan hutan dengan frekuensi yang relatif sering yaitu 2 kali dalam seminggu, ini tentunya merupakan suatu ancaman terhadap keberadaan jenis-jenis anggrek yang bernilai ekonomi tinggi, apalagi hanya 2 responden (6,67%) yang sedang membudidayakan anggrek. Diharapkan ancaman ini dapat diminimalisir dengan maksimalisasi peran petugas dalam kolaborasi bersama masyarakat melalui kegiatan pendampingan, pengembangan usaha, maupun monitoring kawasan di masa mendatang.

Keikutsertaan Masyarakat Lokal Dalam Program Konservasi

Keikutsertaan masyarakat lokal dalam program konservasi dari hasil wawancara dengan 30 responden, pada dua kelurahan yaitu kelurahan Klasaman dan Klablim disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Keikutsertaan Masyarakat Lokal Dalam Program Konservasi

No. Uraian F Aktif

(%) F Tidak

(%)

Jumlah (%) 1 Bentuk keikutsertaan dalam program konservasi

(memberikan informasi, konsultasi, keputusan dan memprakarsai tindakan pengawasan dan evaluasi).

10 33,33 20 66,67 100

2 Terlibat dalam kegiatan menjaga dan merawat fasilitas fisik (tanaman dan patok).

13 43,33 17 56,67 100 3 Turut serta dalam pendistribusian dan pemeliharaan fasilitas

fisik (tanaman).

12 40 18 60 100 4 Turut serta dalam mendukung keberhasilan program

(menjaga dan merawat fasilitas fisik, tanaman, patok dan papan nama).

19 63,33 11 36,67 100

5 Turut serta dalam kegiatan pelestarian alam. 18 60 12 40 100 F = frekuensi

Tabel 2 menjelaskan keterlibatan masyarakat lokal dalam bentuk program konservasi yang aktif sekitar 10 responden (33,33%) serta turut dalam pendistribusian dan pemeliharaan fasilitas fisik sekitar 12 responden (40%). Fungsi partisipasi pada pemeliharaan dan pelaksanaan secara aktif sebanyak 13 responden (43,33%) dan yang mendukung dalam keberhasilan program (menjaga dan merawat fasilitas fisik, tanaman, patok dan papan nama) 19 responden (63,33%) serta terlibat dalam kegiatan pelestarian alam 18 responden (60%). Kondisi demikian merupakan langkah positif bagi pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif antara pihak dinas terkait dengan masyarakat sekitarnya, sehingga dapat mengurangi kerusakan-kerusakan yang terjadi dalam kawasan konservasi. Selain itu akan timbul dalam diri masyarakat kesadaran bahwa hutan dan seluruh keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya harus dilestarikan. Dengan adanya kesadaran ini, maka dalam diri masyarakat akan sepakat untuk tidak ikut berperan serta mengeksploitasi hutan. Kemudian diharapkan dapat ikut

(9)

64 Ponisri dkk. (2012). Prospek Konservasi Jenis-jenis Anggrek

ambil bagian secara aktif dalam berbagai usaha melestarikan spesies anggrek di hutan tempat tumbuhnya, baik secara pelestarian in situ maupun ex situ.

Persepsi Masyarakat Lokal Tentang Konservasi Anggrek

Hasil wawancara dengan 30 responden tentang persepsi masyarakat lokal terhadap konservasi anggrek disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persepsi Masyarakat Lokal Tentang Konservasi Anggrek

No. Uraian F Ya (%) F Tidak (%) Jumlah (%) 1 Ada program konservasi anggrek dari dinas terkait. 0 0 30 100 100 2 Pendapat masyarakat tentang konservasi anggrek. 24 80 12 20 100 3 Berkewajiban untuk menjaga dan melindungi anggrek di

Taman Wisata Alam Sorong (petugas dari BKSDA, Dinas terkait, WWF dan masyarakat

23 76,67 7 23,33 100

4 Manfaat anggrek bagi masyarakat sekitar (menambah pendapatan).

18 60 12 40 100 5 Jika ada bersedia ikut program (pelestarian alam, konservasi

anggrek).

25 83,33 5 1,67 100

6 Setuju dengan program konservasi. 30 100 0 0 100

F = frekuensi

Berdasarkan pada Tabel 3, bahwa selama ini belum ada program konservasi anggrek baik secara in situ maupun ex situ secara khusus yang dilakukan oleh dinas terkait. Untuk itu diharapkan ke depannya sudah dimulai adanya program tersebut apalagi masyarakat setempat sudah ada yang membudidayakan dan mulai aktif berpartipasi dalam mendukung program pelestarian alam.

Sementara itu dari 30 responden yang diwawancarai, 24 responden (80%) berpendapat anggrek merupakan tumbuhan yang dilindungi, hal tersebut terkait adanya kegiatan pelaksanaan penyuluhan, pembinaan dan pendampingan yang dilakukan oleh pihak pengelola serta letak kawasan dekat dengan kota dan kantor BKSDA yang tepat di wilayah kawasan ini. Sebanyak 23 responden (76,67%) menyatakan semua pihak berkewajiban menjaga dan melindungi anggrek, 18 responden (60%) menyatakan anggrek bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar dan 25 responden (83,33%) bersedia ikut dalam program konservasi serta setuju dengan program konservasi sebesar 30 responden (100%). Hal ini menunjukkan, bahwa masyarakat mulai menyadari perlu dilakukan konservasi anggrek, karena dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan.

Persepsi masyarakat pada umumnya sudah cukup baik, namun kurangnya informasi dan pengetahuan pada masyarakat menyebabkan tingkat budidaya anggrek masih sangat rendah. Oleh karena itu perlu adanya kegiatan penyuluhan tentang konservasi anggrek yang melibatkan pemerintah daerah, pemuka adat dan agama, generasi muda, masyarakat ilmiah dan masyarakat sekitar kawasan Taman Wisata Alam serta komponen lainnya.

(10)

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 65

Prospek Budidaya Anggrek

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 responden yang dilakukan pada dua kelurahan yaitu kelurahan Klasaman dan Klablim, bahwa anggrek yang dikenal dan bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitar ada 5 jenis yang disajikan pada pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis dan Harga Anggrek di Sorong No. Jenis-jenis anggrek Harga (x 1000 Rp)

1 Dendrobium spectabile 150-500

2 Vanda sp. 100-400

3 Dendrobium antennatum 75-300 4 Grammatophyllum speciosum 75-250 5 Coelogyne speciosa. 75-200

Pada Tabel 4 terlihat, bahwa anggrek Dendrobium spectabile (anggrek kribo hitam) mempunyai harga jual paling tinggi sehingga masyarakat sering memburu anggrek tersebut untuk dijual. Begitu juga dengan anggrek Vanda sp., D. antennatum (anggrek kelinci), dan Grammatophyllum speciosum (anggrek tebu) serta Coelogyne speciosa, tentu saja hal ini sangat mempengaruhi keberadaan anggrek di hutan Taman Wisata Alam Sorong.

Selain ke lima jenis anggrek di atas pada jalur pengamatan dijumpai jenis anggrek yang memiliki potensi ekonomi yaitu anggrek Dipodium pictum, tetapi sayangnya masyarakat setempat belum begitu mengenal jenis anggrek ini, sehingga tidak bernilai ekonomi bagi masyarakat. Padahal jenis anggrek ini memiliki bunga yang cukup indah dan tahan lama (tidak mudah gugur), serta potensi dalam kawasan hutan Taman Wisata Alam Sorong masih cukup banyak, tentu hal ini merupakan suatu prospek yang cukup baik dalam pengembangan anggrek selanjutnya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pada hutan Taman Wisata Alam Sorong terdapat 14 jenis anggrek dari 9 genus, 12 jenis anggrek epifit (148 individu) dan 2 jenis anggrek terestrial/tanah (8 individu). Jumlah individu terbanyak adalah jenis Dipodium pictum yaitu sebanyak 22 individu (14,10%) dan jumlah individu paling sedikit adalah jenis Dendrobium spectabile sebanyak 1 individu (0,64%). Lima di antaranya bernilai ekonomi bagi masyarakat yaitu anggrek jenis D. spectabile, D. antennatum, Vanda sp., Coelogyne speciosa dan Grammatophyllum speciosum, selain itu dari hasil penelitian dijumpai jenis anggrek yang berpotensi ekonomi tetapi belum dimanfaatkan masyarakat yaitu Dipodium pictum.

Tingkat keanekaragaman jenis anggrek di hutan TWA Sorong (1,034), indeks kemerataan (0,90) dan indeks dominasi (0,10), angka ini menunjukkan bahwa relatif tidak ada jenis anggrek yang dominan dalam penyebarannya.

Persepsi masyarakat tentang pemahaman nilai sumberdaya anggrek pada umumnya sudah cukup baik, kurangnya informasi dan pengetahuan pada masyarakat

(11)

66 Ponisri dkk. (2012). Prospek Konservasi Jenis-jenis Anggrek

menyebabkan tingkat budidaya anggrek masih sangat rendah. Melihat keragaman jenis dan potensi anggrek yang cukup tinggi di hutan TWA Sorong, maka konservasi jenis anggrek di TWA Sorong Papua Barat sangat prospektif untuk dilakukan, baik secara in situ maupun ex situ.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka disampaikan beberapa hal sebagai saran penelitian yaitu perlu maksimalisasi kerja petugas dan peningkatan penyuluhan kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran terhadap kawasan TWA Sorong dan jenis-jenis anggrek di kawasan ini. Perlu upaya pengembangan jenis-jenis-jenis-jenis anggrek yang bernilai ekonomi melalui pelatihan dan pendampingan sehingga mengurangi intensitas pengambilan anggrek pada kawasan TWA Sorong sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat. Untuk jenis-jenis anggrek yang populasinya rendah dan tidak bernilai ekonomis perlu diadakan pengamanan dan pengawasan khusus secara in situ agar keanekaragaman hayati di hutan TWA tetap terjaga dan lestari.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Anggrek. Balai Penelitian Tanaman Hias. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jawa Barat.

Bakhuizen van den Brink, R.C. dan C.A. Backer. 1968. Flora of Java. Groningen. Damayanti, E. 2011. Budidaya Tanaman Anggrek. Penerbit Araska, Yogyakarta. Gunawan, L.W. 2000. Budidaya Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta.

Harwati, Ch.T. 2007. Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari terhadap Pertumbuhan Anggrek (Orchidaceae). Innofarm: Jurnal Inovasi Pertanian 6 (1): 5867.

Indarto, N. 2011. Pesona Anggrek. Penerbit Cahaya Atma, Yogyakarta. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta.

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publishers Inc., New York. 654 h. Odum, P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbit

Usaha Nasional, Jakarta.

Suin, N.M. 2002. Metode Ekologi. Cetakan ke-1. Edisi 2. Universitas Andalas, Padang.

Van Steenis, C.G.G.J. 1997. Flora. Cetakan ke-2. Terjemahan Moeso Soeryowinoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

Yahman. 2009. Struktur dan Komposisi Tumbuhan Anggrek di Hutan Wisata Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara. Tesis Magister Sains, Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

(12)

Gambar

Gambar 1. Jumlah Individu dan Persentase Jenis-Jenis Anggrek
Gambar 2. Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan Dominasi Jenis Anggrek  pada Jalur Pengamatan di TWA Sorong

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis dari penelitian ini diterima yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara kualitas layanan pemutaran film dokumenter terhadap

Pemberian stimulan pada keenam klon tanaman karet menurunkan KKK pada semua klon dengan tingkat penurunan nilai yang berbeda (Gambar 2).. Secara umum klon IRR 406 memiliki

Hasil penelitian pada tes awal menunjukan bahwa kemampuan mahasiswa memahami materi pelajaran masih dalam kategori kurang, setelah dilakukan pembelajaran menunjukkan peningkatan

Relation Database Management System (RDBMS) atau Sistem Manajemen Database Relation digunakan untuk menyimpan informasi dimana user dapat melihat dengan cara

benda yang diharamkan oleh syara', tidak dikenakan sanksi potong tangan.hal ini diungkapkan oleh Abdul Qodir Audah bahwa tidak divonis potong tangan kepada pencuri anjing

(31) Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli

Pengaruh yang positif bagi Pekon Kuala Stabas ini diantaranya sejak adanya destinasi wisata di Pekon ini membuat nama Kampung yang berada di Tengah- tengah

Pada perhitungan modulus drainase untuk menetapkan dimensi saluran dihitung berdasarkan curah hujan curah hujan maksimum dengan periode ulang 5 tahun, dimana untuk tanaman padi