• Tidak ada hasil yang ditemukan

AMERIKA SERIKAT DAN STATUTA ROMA ALASAN AMERIKA SERIKAT TIDAK MERATIFIKASI STATUTA ROMA (ICC)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AMERIKA SERIKAT DAN STATUTA ROMA ALASAN AMERIKA SERIKAT TIDAK MERATIFIKASI STATUTA ROMA (ICC)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

AMERIKA SERIKAT DAN STATUTA ROMA

ALASAN AMERIKA SERIKAT TIDAK MERATIFIKASI STATUTA ROMA (ICC)

Salyo Pranoto

Dosen FISIP Universitas Peradaban Salyopranoto19@gmail.com

Abstract This journal discusses the reasons the United States did not ratify the Rome Statute. Through this journal, the author argues among the many reasons and justifications for withdrawing US support from the International Criminal Court, one reason that remains constantly seen: The International Criminal Court is not in the best interests of the United States. The method used in this journal is to use literature studies that are supported by observational data through secondary sources. The results of this study state that US foreign policy emphasizes on the perspective of realism which emphasizes the interests of the state as the main foundation (national interest). So far the Rome Statute is not in the interests of the United States that can be pursued. Key Words: United States, Statute, Interest, Realist

Abstrak: Jurnal ini membahas mengenai alasan Amerika Serikat tidak meratifikasi Statuta Roma. Melalui jurnal ini, penulis berpendapat diantara banyak alasan dan pembenaran atas penarikan dukungan Amerika Serikat dari International Criminal Court, satu alasan yang tetap dilihat secara konstan: Mahkamah Pidana Internasional tidak dalam kepentingan terbaik Amerika Serikat. Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah dengan menggunakan kajian literatur yang didukung dengan data-data observasi melalui sumber-sumber sekunder. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kebijakan politik luar negeri AS menekankan pada perspektif realisme yang menekankan pada kepentingan negara sebagai landasan utama (national interest). Sejauh ini Statuta Roma bukan merupakan kepentingan negara AS yang bisa ditempuh.

Kata Kunci: Amerika Serikat, Statuta, Kepentingan, Realis PENDAHULUAN

Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter internasional (HHI) da-lam konteks internasional membutuhkan sebuah kesepakatan bersama dan payung hukum yang kuat agar konteks pengaplikasian HAM dan Hukum Humaniter Internasional dapat berjalan dengan baik. Pembentukan Statuta Roma atau Roma Statuta of the International Criminal Court diawali dengan persetujuan yang disepakati tahun 1998 oleh United Nations Diplomatics Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk mem-bentuk International Criminal Court (ICC) (Pengadilan Pidana Internasional). ICC adalah pengadilan internasional yang permanen dan independen untuk mengadili pelaku kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terha-dap kemanusiaan dan kejahatan perang. Dengan

terbentuknya ICC yang berkedudukan di Den Haag, Belanda itu, dunia internasional berharap agar praktek pemberian impunitas kepada para pelaku kejahatan serius dapat dihapuskan.

Amerika Serikat sebagai negara yang dipandang memiliki kekuatan di dunia modern, belum meratifikasi, jika tidak dikatakan menolak menandatangani ratifikasi Statuta Roma. Ini menjadi masalah ketika Amerika Serikat sangat rajin menyuarakan tentang pentingnya penegak-kan HAM di dunia melalui demokrasi sebagai agenda utama dalam menjalin hubungan inter-nasional. Di samping itu, Amerika Serikat juga dikenal sebagai negara dengan tingkat intervensi terhadap negara lain yang sangat tinggi. Bisa kita lihat ketika Amerika Serikat menginvasi Iraq, Afghanistan, dan terakhir aktif dalam krisis Krimea di Ukraina. Amerika Serikat juga sangat aktif dalam International Criminal Court (ICC).

(2)

Padahal posisi Amerika Serikat menolak menan-datangani ratifikasi Statuta Roma. Hal tersebut menjadi ironis yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengapa Amerika Serikat menolak menandatangani ratifikasi Statuta Roma? Ame-rika SeAme-rikat memiliki sejarah panjang tentang pembentukan dan prestasi hukum pidana / humaniter internasional. Mengingat Amerika Serikat memainkan peran aktif dalam penciptaan Pengadilan Kriminal Internasional melalui Sta-tuta Roma, dengan adanya "unsigning" StaSta-tuta Roma oleh Administrasi Bush telah menciptakan banyak perhatian dan perdebatan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah yang ada, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: pertama, mengapa Amerika Serikat sebagai negara adidaya dunia belum mau meratifikasi Statuta Roma? Kedua, apa alasan Amerika Serikat yang selalu memain-kan peran dalam Pengadilan Kriminal Interna-sional tetapi tidak mau menandatangani statuta tersebut?

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan jurnal ini adalah guna menganalisis kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat dalam rangka memainkan peran terhadap ratifikasi statuta roma dan aktif dalam usaha penciptaan International Criminal Court. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan jurnal ini antara lain: pertama kita bisa melihat mengapa Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Statuta Roma. Kedua kita dapat melihat dan melakukan analisis serta perbandingan terhadap kebijakan – kebijakan politik luar negeri amerika serikat yang berdampak pada pengambilan keputusan negara Amerika Serikat.

LANDASAN TEORI

Teori pilihan rasional diadopsi oleh ilmuan politik dari ilmu ekonomi karena di dalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya un-tuk mendapatkan keuntungan sebesar-besar-nya.Teori pilihan rasional ini menekankan pada cara pengambilan keputusan dengan memper-hitungkan seberapa besar keuntungan dan seberapa kerugian yang akan di terima.

Menurut Stephen M. Walz (Brown 2000) menyatakan bahwa:

...Rational choice theory is individualistic: sosial and political outcome are viewed as the collective product of individual choices (or as the product of choices made by unitary actors). Rational choice theory assumes the each actor seeks to maximize its “subjective expected utility “given a particular set of preferences and a fixed array of possible choices, actors will select the outcome that brings the great expected benetifits. The specification of actors’ preferences is subject to certain constraints: (a) an actor’s pre-ferences must be complete (meaning we can rank order their preference for different outcomes); and (b) preference must be transitive (if A is preferred to B and B to C, then A is preferred to C)...

Waltz menjelaskan tiga hal mengenai teori pilihan rasional. Pertama, teori rasional bersifat individu yaitu hasil dari sosial atau politik merupakan sebuah produk kolektif dari pilihan individu (atau sebuah pilihan yang dibuat dari pilihan aktor kesatuan). Kedua Waltz meng-asumsikan bahwa aktor berusaha memaksimal-kan kepentinganya, hal itu di lakumemaksimal-kan oleh setiap aktor dengn mengambil satu pilihan yang mem-bawa hasil maksimal bagi pencapaian kepen-tingannya. Ketiga teori pilihan rasional men-spesifikasikan preferensi aktor tehadap kendala tertentu, misalnya suatu aktor memiliki beberapa pilihan artinya pilihan tersebut dapat di urutkan bersadarkan presensi tersebut sehingga meng-hasilkan pilihan yang berbeda, dan juga pilihan harus bersifat transitif (jika pilihan A dinilai lebih penting dari pilihan B dan C maka aktor memilih A. Pada intinya Walzt mengatakan bahwa teori rasional itu pada intinya merupakan alat untuk membuat kesimpulan yang logis tentang bagai-mana suatu aktor (negara) membuat keputusan. Teori rational choice beramsumsi rasionalitas yaitu bahwa suatu pilihan yang diambil atas dasar perhitungan atau kalkulasi untung dan rugi (cost and benefit calculation) bukan pada per-timbangan moralitas baik atau buruk sesorang aktor memutuskan suatu kebijakan. Pilihan ra-sional ini menekankan pada perhitungan pengambilan keputusan secara rasional.

Menurut Kahneman & Tversky (Kahneman D 1984) kajian tentang teori pilihan rasional memiliki dua prinsip utama yaitu dominasi dan invariasi sebagai berikut:

(3)

Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan)

Vol. 4. No. 2 Juni 2019 – ISSN 2528-3650 http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk

...“However, all analyses of rational choice incorporate two principles: dominance and invariance. Dominance demands that if prospect A is at least as good as prospect B in every respect and better than B in at least one respect, then A should be preferred to B. Invariance requires that the preference order between prospects should not depend on the manner in which they are describe”...

Teori ini lebih menekankan aktor atau individu dapat juga diartikan negara yang mela-kukan sebuah tindakan, tindakan tersebut di-harapkan mampu menghasilkan sebuah peru-bahan sosial. Teori pilihan rasional ini mene-kankan bahwa aktor menjadi kunci terpenting dalam melakukan suatu tindakan. Aktor di sini bisa sebagai individu atau negara yang mela-kukan suatu tindakan untuk mencapai suatu kepentingan nasionalnya dan berusaha memak-simalkan kepentinganya. Hal tersebut dilakukan oleh aktor dengan cara mengambil atau memilih suatu pilihan yang dianggap membawa hasil untuk mencapai kepentingan tersebut, contoh: jika pilihan 1 dianggap lebih penting dari pilihan 2, dan 3, maka aktor akan memilih pilihan yang 1 Menurut Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh (Kavanagh 1992) menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memi-lih atau menentukan pimemi-lihan dengan kalkulasi antara untung dan rugi. Perumusan suatu kebija-kan yang dilakukebija-kan Indonesia diaplikasikebija-kan dengan kalkulasi bagaimana keuntunganya bagi Indonesia dan bagaimana kerugian yang akan didapatkan. Aktor dalam hal ini negara meme-gang peranan sentral dalam pengambilan kepu-tusan. Dalam kasus ini, Amerika Serikat sebagai sebuah negara dan Pemerintah negara Amerika serikat sebagai sebuah rezim, tidak melihat adanya keuntungan yang bisa didapatkan ketika Amerika Serikat meratifikasi statuta Roma mau-pun keberadaan International Criminal Court. PEMBAHASAN

Amerika Serikat dipuji dengan progresivitas berbagai prestasi internasional dari pengadilan Nuremberg ke pengadilan Yugoslavia dan Rwanda (www.amicc.org diakses tanggal 27 Juni 2014). Awalnya, Amerika Serikat adalah advokat untuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC). AS merancang banyak hukum yang diimplemen-tasikan ke dalam ICC Statuta Roma (ICC Statuta

atau Statuta). Contoh Amerika Serikat berkontri-busi terhadap Statuta yang sedang merancang kode tambahan dan dimasukkan ke dalam yurisdiksi Pengadilan (www.amicc.org). Bahkan sebagai peserta aktif dalam penciptaan penga-dilan, Amerika Serikat memiliki ketidaknya-manan yang tumbuh dengan beberapa ketentuan dalam statuta. Pada tanggal 31 Desember 2000, Presiden Clinton menandatangani statuta, tetapi dengan rekomendasi kepada penggantinya bah-wa Amerika Serikat menahan diri dari meratifi-kasi Statuta karena yang "cacat" alamiah (www.amicc.org).

Namun demikian, Pada tanggal 6 Mei 2002, Amerika Serikat memutuskan semua hubungan dengan ICC ketika pemerintahan Bush "unsigned" Statuta dan menarik dukungannya. Terlepas dari tindakan Amerika Serikat, Statuta Roma menerima ratifikasi yang ke 60 pada tanggal 11 April 2002 dan menjadi sebuah badan yang aktif pada tanggal 1 Juli 2002 (Anup Shah, 2003). Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) merupakan badan internasional pertama dengan kemampuan untuk menuntut para individu atas kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.

Amerika Serikat merasa bahwa ICC ini tidak cukup dilengkapi dengan sistem checks and balances untuk memastikan perlindungan ter-hadap kebebasan individu. Amerika Serikat me-nerapkan sistem check and balances yang dijalan-kan melalui pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan kehakiman. Struktur ICC, bagaimanapun, tidak dirancang untuk memi-sahkan kekuasaan penuntutan dan peradilan seperti yang Amerika Serikat lakukan. Sifat saling terkait struktur ICC lebih mirip dengan struktur struktur konstitusional Eropa daripada sistem Amerika checks and balances (Bolton, 2002: 2).

Sebagai tambahan terhadap sifat yang terjalin atas kekuasaan ICC, Mahkamah ICC tidak menyediakan badan legislatif. Ini adalah penye-bab keprihatinan yang diberikan oleh Amerika Serikat, sebagai Jaksa yang cukup bertanggung jawab kepada Kehakiman. Meskipun Majelis negara adalah pihak yang memiliki kekuasaan untuk menggantikan Jaksa, Amerika Serikat tidak merasa ini adalah sistem yang cukup untuk menjamin perlindungan kebebasan individu. Ar-gumen yang dibuat oleh Amerika Serikat adalah bahwa dengan hubungan dekat antara Kejaksaan dan kekuasaan Yudisial, ada menjalankan risiko tinggi politisasi. Dalam kredit ke Amerika Serikat,

(4)

ada kecurigaan penting mengenai kewajaran pertama proses pencalonan peradilan ICC seba-gai proses yang dikabarkan akan dipengaruhi oleh sistem kuota dan back-kamar penawaran (Bolton, 2002: 3). Konsep ini oleh Amerika Serikat disebut Inadequate Safeguards.

Amerika Serikat menuduh ICC memiliki penghakiman tersebut, ..ranges far beyond nor-mal or acceptable judicial responsibilities, giving it broad and unacceptable powers of interpretation that are essentially political and legislative in nature.” (Bolton, 2002: 3). Tuduhan ini tidak hanya berarti bahwa ICC memiliki kekuasaan yurisdiksi terbatas, tetapi juga bahwa kekuasaan Mahkamah dapat berjalan tak terkendali. Untuk mendukung tuduhan ini, Amerika Serikat telah merasionalisasi bahwa itu akan menjadi tidak adil bagi ICC untuk mengadili orang Amerika jika Amerika Serikat belum meratifikasi perjanjian ICC. Menurut Statuta Roma, Mahkamah diperbo-lehkan untuk mengadili siapa saja yang mela-kukan kejahatan di tanah negara anggota ini, tidak peduli apakah pemerintah individu telah menandatangani Statuta (www.amicc.org). Da-lam hal ini, Amerika Serikat telah menuduh ICC memiliki yurisdiksi yang tidak adil atau Unfair Jurisdiction.

Sampai saat ini, ICC bisa mengadili individu-individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang serius (http://www.icc-cpi.int/php/ show.php?id=faq#faq3, diakses tanggal 27 Juni 2014). Mengingat bahwa Statuta Roma mendefi-nisikan kejahatan dalam hal kabur dan ambigu, ada sejumlah besar perhatian untuk cara di mana definisi ini akan ditafsirkan (www.amicc.org). Amerika Serikat khawatir bahwa Jaksa dan hakim ICC akan memanipulasi kelonggaran tersebut untuk keuntungan mereka untuk menargetkan Amerika Serikat. Secara khusus, kejahatan agresi, yang belum didefinisikan oleh Majelis negara Pihak dan dengan demikian bukan bagian dari undang-undang ICC (http://www.icc-cpi.int/php/show), adalah isu yang sangat sensitif bagi Amerika Serikat. Amerika Serikat merasa bahwa kejahatan agresi (penggunaan tidak sah kekuatan oleh satu negara terhadap negara lain) (www.amicc.org) akan tunduk pada banyak penyalahgunaan, terutama dalam hal pemimpin politik.

Pada awal Mei 2002, pemerintahan Bush mengumumkan bahwa mereka telah memutus-kan untuk "unsign" Statuta Roma menciptamemutus-kan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Amerika

Serikat telah lama takut terhadap suatu badan internasional yang memiliki yurisdiksi atas Amerika Serikat dan bahwa kasus-kasus akan diajukan terhadap penguasa sipil dan militer AS dengan alasan politik (http://www.globalissues. org/article/490/united-states-and-the-icc.). Namun, ICC tidak akan merusak kedaulatan bangsa karena akan berfungsi hanya jika negara tidak mampu atau tidak mau. Amerika Serikat, tetap mendaftar, akan mampu untuk mengadili anggotanya sendiri jika diperlukan. Menanggapi pengumuman itu, Washington DC Center for Defense Information (CDI) juga menunjukkan bahwa kekhawatiran Amerika Serikat tidak dibenarkan. Selain itu, CDI mencatat bahwa ini juga contoh lain dari AS memutus perjanjian internasional, sehingga meningkatkan sejumlah kekhawatiran (Daniel Smith, 2002).

Amerika Serikat setidaknya memiliki tiga argument yang dipakai untuk menolak meratifi-kasi Statuta Roma ini, yaitu yang pertama adalah Adverse Affect on Peace. Amerika Serikat ini bisa dibilang negara terkaya, paling kuat dalam bi-dang milter dan politik, dan paling berteknologi maju negara di dunia. Karena itu, banyak third state (negara-negara dunia ketiga) tergantung pada Amerika Serikat dari aspek militer, politik, dan bantuan keuangan. Sudah umum bagi Amerika Serikat memiliki kehadiran yang aktif di lebih dari 100 negara dan pada suatu titik waktu tertentu memberikan bantuan kemanusiaan (Bolton, 2002: 1). Amerika Serikat mengklaim bahwa jika mereka meratifikasi Statuta Roma, hal itu akan menjadikan Amerika Serikat kurang bersedia untuk membantu negara lain yang membutuhkan karena takut mendapat penun-tutan (Roth, 2002). Seperti yang disebutkan sebelumnya, kejahatan dalam Statuta Roma telah secara bebas didefinisikan dan dengan demikian dapat digunakan sebagai senjata melawan Ame-rika SeAme-rikat tindakan, terutama jika kejahatan agresi diadopsi ke dalam Statuta. Amerika Serikat dalam konteks ini telah merasionalisasi bahwa ketakutan ini akan mencegah Amerika Serikat dari memberikan bantuan karena dinya-takan akan telah tidak meratifikasi Statuta Roma. Argument yang kedua, Amerika Serikat telah menyatakan bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma, maka bisa berpotensi inkonstitusional (Casey, et.al, 2002). Setelah Amerika Serikat meratifikasi Statuta ICC, negara berpotensi mendapat persetujuan mengenai pergeseran kekuasaan kehakiman dari Amerika Serikat ke ICC. Dengan demikian, ICC memiliki kewenangan

(5)

Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan)

Vol. 4. No. 2 Juni 2019 – ISSN 2528-3650 http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk

hukum untuk menangkap, mengadili, dan menga-tur hukuman untuk setiap warga negara Amerika Serikat dalam batas-batas dari Amerika Serikat. Dalam kasus Mahkamah Agung Amerika Serikat Ex parte Milligan 71 US 2 (Casey, dkk, 2002), terbukti bahwa, “The U.S. Constitution prohibits the vesting of such authority in any court not properly organized in accordance with its provisions” (Casey, et.al, 2002) Maka jika Amerika Serikat tidak meratifikasi Statuta ICC , yurisdiksi Pengadilan akan bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat.

Konstitusi Amerika Serikat menjamin semua tuduhan mengenai HAM, seperti hak untuk diadili oleh juri dan hak untuk diadili di tempat kejahatan. Jika Amerika Serikat meratifikasi Statuta Roma, maka Amerika tidak akan dapat menjamin hal tersebut. Individu dituntut oleh ICC secara teoritis dapat diadili di luar Amerika Serikat dan diadili oleh sistem hukum sipil inkuisisi (Casey, et.al 2002).

Sedangkan argumen yang ketiga adalah Unfair Target. Amerika Serikat merasa bahwa jika hal itu meratifikasi Statuta ICC, itu akan menjadi sasaran oleh negara-negara lain. Dalam hal ini, Amerika Serikat mungkin memiliki pandangan ke depan yang cerdas. Dari pertama 499 pengaduan yang diajukan oleh 66 negara untuk didengar oleh ICC, Amerika Serikat di-tuduh lebih dari 100 kejahatan dalam kaitannya dengan Perang Terorisme / Perang di Irak (Beth, 2003: 4). Tujuh dari kejahatan ini diduga terjadi di dalam perbatasan Amerika Serikat (Beth, 2003: 4).

Paling tidak ada beberapa hal yang menjadi kerugian Amerika Serikat ketika mereka tidak meratifikasi Statuta Roma. Pertama, seluruh dunia akan menganggap tindakan ini sebagai penolakan unilateral keterlibatan oleh Amerika Serikat kecuali bila kepentingan sempit Amerika Serikat yang terlibat. Pada gilirannya, kepe-mimpinan diplomatik Amerika umumnya juga akan menderita. Lebih buruk lagi, tindakan Ame-rika SeAme-rikat merupakan preseden bagi negara-negara lain yang telah menandatangani tetapi tidak meratifikasi perjanjian untuk meninggalkan setiap keinginan untuk mematuhi ketentuan perjanjian tersebut atau untuk menahan diri dari mengurangi ketentuan mereka ketika itu sesuai dengan kepentingan mereka - seperti yang di-sediakan oleh Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Untuk memba-talkan Konvensi Wina di atas "unsigning" Statuta

Roma akan merupakan pukulan serius kedua sistem internasional seluruh aturan hukum, dan akuntabilitas pribadi dan nasional untuk tinda-kan bahwa Amerika Serikat telah memperjuang-kan selama beberapa dekade. Tindamemperjuang-kan tersebut akan semakin mengisolasi Amerika Serikat dari sekutunya. Mungkin itu mengapa langkah menentang Konvensi Vienna, jika benar-benar dipikirkan, ditunda. Sayangnya, setelah Gagasan seperti itu muncul ke permukaan, mungkin tidak akan pernah hilang.

PENUTUP

Jelas di mata Amerika Serikat, ada banyak kekurangan dalam Statuta Roma. Tidak hanya Amerika Serikat merasa bahwa kekurangan ini akan memiliki efek samping yang serius pada legitimasi sistem peradilan global, tetapi juga bahwa Mahkamah Pidana Internasional akan digunakan sebagai alat untuk menargetkan Amerika Serikat. Di antara banyak alasan dan pembenaran atas penarikan dukungan Amerika Serikat dari Mahkamah Pidana Internasional, satu tema yang tetap dilihat secara konstan: Mahkamah Pidana Internasional tidak dalam kepentingan terbaik Amerika Serikat.

DAFTAR PUSTAKA

Amnesty International. International Criminal Court. Amnesty International. 4 February 2004.

Beth, Lamont. ICC Offers Promise-Without the United States. Humanist. Nov/Dec 2003 Vol. 63 Issue 6.

Bobbitt, Philip. The New Battle for Global Consensus. New Perspectives Quarterly. 2002 Fall. 13 March 2004.

Bolton, John. The United States and the International Criminal Court. U.S. Department of State. 2002. 21 March 2004. < http://www.state.gov/>

Coalition for the International Criminal Court. A Timeline for the Establishment of the International Criminal Court. 1998. 12 April 2004.

Crook, Clive. Should the World’s Only Superpower Pretend That it Isn’t? National Journal. 13 April 2002. Vol. 34 Issue 15. Curiel, Jonathan. Global Image Problem. San

Francisco Chronicle. 2003. 20 April 2004. Dempsey, Gary. 1998. Reasonable Doubt: The

Case Against the Proposed International Criminal Court. Cato Policy Analysis.

(6)

Farrell, Brian. An Isolationist View of the International Criminal Court. 25 November 2002.

Fuentes, Carlos. The United States vs. the Empire of Law. New Perspectives Quarterly. 2002 Fall. 13 March 2004.

Haq, Farhan. Can Criminal Court Survive Without United States? United Nations. 15 April 2004. < http://www.un.org/>

Human Rights Watch. US: End Bully Tactics against Court. 2003. 20 April 2004. < http://www.hrw.org/>

Joel, Bennathan. A Nation Above the Law. New Statesman. 21 July 2003 Vol. 132 Issue 4647.

Quijera, Irune. The United States’ Isolated Struggle Against the ICC. 2003. 21 March 2004.

Rabkin, Jerry. How to Handle the International Criminal Court. The Weekly Standard. Vol. 7, No. 35.

Shah, Anup. International Criminal Court. Global Issues. 2 July 2003.

Stephen, Davis. The International Criminal Court. Proceedings of the United States Naval Institute. March 2003 Vol. 129 Issue 3. The International Criminal Court. Rome Statute

of the International Criminal Court. The International Criminal Court. 1 July 2004. The International Criminal Court. The

International Criminal Court. 2004. 18 February 2004. < http://www.icc-cpi.int/php/show.php?id=home&l=EN> The United States Embassy. United States Policy

on the International Criminal Court. Public Affairs Section. 2002. 10 March 2004. Unknown. Both Sides Lose. The Economist. 20

July 2002 Vol. 364 Issue 8282. P. 23.

Unknown. For us or against us? The Economist. 22 Novemeber 2003 Special Edition.

Wedgewood, Ruth. International Law Is Not Enough To Stop Aggression. New Perspectives Quarterly. 2002 Fall. 1 April 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian tindakan kelas dengan judul:

Terjadinya penurunan konsumsi bahan bakar khususnya pada penggunaan reflektor dengan 3 baris sirip, dimungkinkan pada kondisi tersebut terjadi pembakaran yang

Program deteksi interaksi obat dengan menggunakan algoritma C4.5 dapat dilakukan untuk 300 data obat dengan akurasi diatas 97% dan dengan kecepatan pembentukan rule

Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan, karena bencana kekeringan ini sudah (dan akan) memiliki dampak yang luas, termasuk dalam upaya

Ketika salah satu pribadi yang berperan sebagai as di dalam komunitas sastra tersebut mengalami ‘kekeringan inspirasi’ yang bisa jadi disebabkan oleh faktor

Hasil akhir dari aplikasi ini adalah sistem yang menampilkan calon pembeli dengan menggunakan baju virtual yang melekat pada badannya sesuai dengan

penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas secara hukum adat oleh suku Dani3. Penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang telah mengakibatkan kerugian

(2) Percobaan padat {hidrostatic test) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, tekanan uji 1,5 kali dari tekanan kerja yang diperbolehkan atau tekanan desain atau tercantum