• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

KECENDERUNGAN BERPERILAKU DELINKUEN DITINJAU DARI INTENSITAS BERKELOMPOK INFORMAL DAN

TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA PADA SISWA KELAS II

SMK DR. TJIPTO AMBARAWA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi

Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna

Memperoleh Derajat Sarjana SI Psikologi

Oleh:

ARIES EKO RETNOWATI

95.231.036

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

(2)

KECENDERUNGAN BERPERILAKI DELINKUEN DITINJAU

DARI INTENSITAS BERKELOMPOK INFORMAL DAN

TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA PADA SISWA KELAS II

SMK DR. TJIPTO AMBARAWA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi

Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dan Syarat-syarat Guna

Memperoleh Derajat Sarjana SI Psikologi

Oleh:

ARIES EKO RETNOWATI

95.231.036

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

(3)

Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia

Diterima Untuk Memenuuhi Sebagian Dari syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat sarjana SI Psikologi Dewan Penguji Pada Tanggal 2 3 DEC ?n™ Mengesahkan Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia

kan,

V, f)k HI^feludin Ancok

r - i

1. Prof. DR. Sri Rahayu Partosuwido

2. Drs. Koentjoro, MBSc, Ph.D

(4)

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk : Bapak Suyitno dan Ibu Hj. Mujawati tercinta

Semoga anakmu ini bisa membanggakanmu

Adikku Bayu Dwipo dan Cahya Ningrum tersayang Semoga bisa memacu semangat kalian

Irwansyah Djohan, ST terkasih

(5)

Aku tidah meminta suatu upah pun atasseruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan..."

(Qs. 42:23)

(6)

KATA PENGAINTAR

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya

dengan izin-Nyalah pada ahkirnya peneliti dapat menyelesaikan tugas yang saya

anggap berat ini. Tapi saya percaya Engkau tidak akan pernah menguji diluar batas

kemampuan hambanya.

Dengan segenap kerendahan hati, peneliti sadar dengan sepenuhnya bahwa

karya ini masih jauh dan kesempurnaan. Namun besar harapan peneliti kiranya karya

sederhana ini dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi dan masyarakat pada umumnya. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu dalam proses pembuatanya. Dengan setulus hati perkenankanlah peneliti ucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Dr. H. Djamaludin Ancok, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Islam Indonesia.

2. Bapak Drs. Muhammad Bachtiar, MM. selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Psikologi Universitas Islam Indonesia.

3. Bapak Drs. Koentjoro, MBSc., PhD, selaku dosen Pembimbing Utama.

4. Bapak Drs. H. Fuad Nashori, MSi. selaku dosen Pendamping yang telah menjadi

guru sekaligus memacu semangat saya dalam menyelesaaikan skripsi ini.

5. Bapak Imam Subagyo, Bsc. Selaku kepala sekolah SMK Dr. Tjipto Ambarawa.

6. Tbu Dra. Setyorini, Selaku Wakasek urusan kurikulum SMK. Dr. Tjipto Ambarawa yang telah membantu peneliti dalam pengambilan data.

(7)

7. Ibu Dra. Emi Zulaifah dan Bapak Irwan Nuryana, S.Psi. Selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memperhatikan perkembangan prestasi akademik.

8. Ibu. Hj. Ratna Syifa'a, S.Psi, Bapak Sus Budiharto, S.Psi., Ibu Rina Mulyati, S.Psi, Ibu Yuli, S.Psi, Ibu Retno Kumolohadi, S.Psi, Ibu Qurotul Uyun, S.Psi, Sony Andriyanto, S.Psi, Mira Aliza, S.Psi dan Miftahul Ni'mah, S.Psi yang telah membimbing saya dalam studi dan selalu menanyakan perkembangan skripsi

saya.

9. Ibu Munjiah yang telah membantu mencarikan referensi di Perpustakaan UII.

Juga tak lupa terima kasih pada ibu Rochimah, Bapak Imron selaku kelapa Tata usaha, bapak Drs. Fatkhurohman, bapak Surani, Mas Ferry dan segenap karyawan

Fak. Psikologi UII.

10. Bapak Drs. Abdul Haris, yang telah memberikan masukan dalam proses

pengolahan data.

11. Benny Herlena, S.Psi beserta istrinya Nida Failasofa, S.Psi yang telah maminjami buku-buku dan selalu berusaha ikut menyelesaikan permasalahanku.

12. Indah Ria Sulistyorini, S.Psi, Ane Rudatin, S.Psi, semoga persahabatan ini tidak

pernah berahkir dan terimakasih atas segala-galanya.

13. Rohana Syamsi, S.Psi, Indah Setyowati, S.Psi, Indah "Arsitek'95", Irman ,ST,

Tengku Ahmad, ST dan Guyub Karyadi yang selalu memberi semangat dan

(8)

14. Teman-teman seperjuangan Mei Kuncarasih, Liena Puspita, Andi Rahmat, Rosita Y, S.Psi dan Arief Mustaqim, S.Psi, melalui kalianlah aku terbangun dari lamunanku selama ini.

15. Seluruh teman-teman Fakultas Psikologi UII angkatan '95 yang tak dapat saya

sebutkan satu persatu.

16. Keluarga Bapak Rendradi Suprihandoko, SH dan seluruh anggota kost putri "Yustisia" : Farida, Nisa, Yati dan Lia (terima kasih atas pinjaman motornya)

Ervita, Opie' Yuli, lis dan Diana.

17. Keluarga bapak Ir. Alip Anyanto, M.si. Yang telah memberikan banyak masukan dan memberi motivasi untuk segera menyelesaikan tugas ini. Serta seluruh anggota kost putrinya yang mampu menjadi teman baik saya, yaitu : Die' Uji,

Upih, Nini', Sekar, Indah.

18. Kedua orang tua saya (Bp. Suyitno dan Ibu Hj, Mujawati) atas dukungan material

dan moril, pengorbanan dan doa tulusmu yang tak pernah ada hentinya.

19. Keluarga ibu Amirudin Djohan yang telah menganggap saya sebagai anggota keluarga.

20. Adikku Bayu Dwipo Mujiatno dan Cahya Ningrum Trisnowati atas doa dan pengorbanan kalin selama ini.

21. Ir. Irwansyah Djohan terima kasih atas segala cinta kasih dan kesabaranmu selama ini.

22. Serta seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah

(9)

Saya selalu berdoa semoga Allah SWT, akan membalas kebaikan-kebaikan

yang saya terima dan memberikan ganjaran yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan dapat memperkaya

penelitian di bidang psikologi sosial dan perkembangan.

Yogyakarta, Desember 2000 Penulis

(10)

DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN PENGESAHAN j HALAMAN PERSEMBAHAN u HALAMAN MOTTO ni KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vill

DAFTAR TABEL X1

DAFTAR LAMPIRAN X]i

DAFTAR SKEMA Xlli

BAB I PENDAHULUAN

A. Permasalahan \

B. Tujuan Penelitian 8

C. Manfaat Penelitian 8

D. Keaslian Penelitian 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Berperilaku Delinkuen 11

1. PengertianRemaja \\

(11)

3. Faktor-faktor Pendorong Munculnya Kecenderungan Berperilaku

Delinkuen pada Remaja 17

a. Faktor Individu 21

b. Faktor Keluarga 22

c. Faktor lingkungan sekolah dan sosial 24

B. Intensitas Berkelompok Informal 26

1. Pengertian Intensitas Berkelompok Informal 26

2. Ciri-ciri dan Sifat Kelompok Remaja 29

C. Kenakalan Remaja ditinjau dari Perbedaan Tingkat Pendidikan Orang

Tua 31

E. Hubungan Antara Intensitas Berkelompok dengan Kenakalan Remaja..34

F. Hipotesis 40

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Identitas Variabel Penelitian 41

B. Difinisi Operasiobal Variabel Penelitian 41

C. Subjek Penelitian 42

D. Metode Pengambilan Data 43

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 46

F. Teknik Analisis Data 47

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA, HASIL

PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN.

(12)

B. Penyusunan dan Uji Coba Alat Ukur 49 C. Pelaksanaan Penelitian 53 D. Uji Asumsi 54 E. Hasil Penelitian 55 F. Pembahasan 58 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan 65 B. Saran-saran 66 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(13)

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN

1 Penduduk berumur 10 tahun keatas 2

2. Penyebaran skala item Intensitas Berkelompok Infonnasi 50

3. Penyebaran skala item Kecenderungan Berperilaku Delinkuen 50

4. Penyebaran item yang valid skala Intensitas berkelompok Informal 52

5. Rangkuman Uji Normalitas sebaran 54

6. Deskripsi data 55

7. Diskripsi data variabel tingkat pendidikan orang tua dan kecenderungan perilaku

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Alat ukur

Skala: Intensitas Berkelompok Informal Skala :Kecenderungan Berperilaku Delinkuen

B. Analisis Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Anahsis butir skala mtnesitas berkelompok informal

1• Validitas/ kesahihan butir

2. Reliabilitas / keandalan C. Uji Asumsi 1. Normalitas 2. Uji Linearitas 3. Analisis Regresi 4. Analisis uji-beda 5. Diskripsi Statistik 6. Keterangan berkas

D. Surat Bukti Penelitian

(15)

1. Skema 1 2. Skema 2.

(16)
(17)

BAB I

PENDAHULIAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Negara Indonesia memiliki sumber daya manusia muda dalam jumlah yang

besar dan memiliki tanah air dengan potensi sumber alam yang relatif melimpah,

Sebagai bangsa Indonesia kita tidak dapat berbuat lam kecuali hams menjadi

bangsa yang maju dan mampu bersaing dalam menghadapi tantangan global dan

pasar bebas, dengan cara mempersiapkan SDM yang berkualitas. Hal ini

merupakan suatu tekad dan sekaligus menjadi tantangan dalam pembangunan

generasi bangsa.

Generasi muda merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia yang

ditempatkan sebagai generasi penerus cita-cita bangsa dan sumber insam bagi

pembangunan nasional. Berdasarkan proyeksi penduduk dan tenaga kerja

Indonesia 1995 - 2025 LDU1 (dalam Koentjoro, 1999) menyebutkan bahwa dan

tahun 1995-2005, jumlah penduduk terbanyak adalah usia muda dengan kisaran

umur 10-24 tahun dan jumlah perempuan masih lebih banyak dibandmgkan

dengan pria.

Salah satu bidang yang menjadi perhatian pemenntah untuk mewujudkan

cita-cita bangsa adalah bidang pendidikan. Adanya pendidikan yang baik dan

merata akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pula. Namun

pada kenyataanya kesempatan memperoleh pendidikan di Indonesia belum

merata. Berdasarkan data yang diperoleh dan BPS (Badan Pusat Statistik)1997

(18)

sebagaimana dikutip dan Koentjoro (1999) dilaporkan bahwa kondisi memperoleh kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan masih sangat

tertinggal (lihat tabel )

Tabel 1

Penduduk Berumur 10 tahun ke atas Menurut Tingkat Pendidikannya Tahun 1996

Pendidikan Pna Wanita

Tidak pernah sekolah

Desa Kota 3.898.776 660.357 7.705.719 1.881.979 Universitas Desa Kota 221.538 976.501 103.938 586.696

Diolah dari data BPS. 1997. Keadaan pekerja/karyawan Indonesia.

Bab II pasal 4 UUR1 nomor 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional menjelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Tujuan pendidikan nasioanal telah dijelaskan dalam undang-undang namun

realitanya tujuan tersebut belum menunjukkan hasil yang sempurna. Bahkan

masih banyak tujuan tersebut belum sesuai atau tidak sesuai dengan harapan

pendidikan nasional.

Salah satu masalah penting dan membutuhkan perhatian adalah masalah kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja. Pada saat ini banyak

(19)

organisasi kepemudaan dan LSM yang berusaha untuk menampung aspirasi remaja, memahami persoalan mereka, dan mencoba memberikan solusi pemecahannya, namun sampai saat ini belum bisa secara langsung menangani

problematikanya. Termasuk pihak yang terlibat dalam penanganan masalah

remaja adalah guru, dan orang tua.

Penlaku delinkuen pada remaja sekarang ini cenderung menjurus pada tindak kriminalitas. Hal ini dapat dilihat semakin banyaknya jumlah kenakalan

atau kejahatan yang dilakukan oleh remaja dari tahun ke tahun. Berdasarkan rapat koordinasi khusus (Rakorsus) Polkam, diketahui bahwa di Indonesia tahun 1994 -1999 khusus tindak penganiayaan berupa perkelahian pelajar meningkat mencapai 14,85 persen, dari 1261 siswa menjadi 8492 siswa. Perkelahian pelajar itu

sebagian besar dilakukan oleh siswa SMU (Republika, 1999). Selain itu masih

banyak contoh seperti kasus benkut ini, Pemuda Mencoba Mencuri Tewas dihajar Masa (Bernas, 2000), Pelajar Layangkan Batu, Kondektur Terkapar (Kompas, 2000), SMK 3 Yogya Serang SMU Muhamadiyah 7 (Bernas, 2000), Tujuh Siswa

Pesta Narkoba Ditangkap (Bernas, 2000), Ikut Gang Supaya Terkenal (Bernas,

2000).

Masalah kenakalan remaja biasanya timbul pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial, sehmgga beralasan bila perubahan sosial ini lebih

dikaji secara mendalam. Perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat

tradisional maupun modern dan perubahan sosial itu sendiri merupakan problem sosial. Pada hakekatnya delikuensi anak-anak dan remaja bukanlah suatu problem sosial yang hadir dengan sendirinya di tengah-tengah masyarakat, tetapi masalah

(20)

tersebut muncul karena beberapa keadaan yang berkaitan, bahkan mendukung kenakalan itu (Sudarsono, 1995). Kenakalan remaja disebabkan antara lain tidak adanya integrasi yang harmonis antar lembaga kemasyarakatan yang ada dalam menangani masalah ini, karena kepadatan penduduk, keadaan keluarga yang tidak harmonis atau broken home, pendidikan yang salah, keadaan sekolah dan sistcm

pendidikan yang tidak menarik (Hawari, 1994). Masalah tersebut bertambah

komplek dengan masuknya unsur-unsur budaya yang negatif dan negara-negara lain sebagai akibat dari komunikasi yang akhir-akhir ini mengalami kemajuan

pesat sebagai hasil perkembangan teknologi (Soekanto, 1989).

Keluarga sebagai unit terkecil dari komunikasi sering tidak mampu memberikan tatanan moral yang memadai. Apalagi dalam masyarakat ditemui hal

yang serupa atau bahkan lebih parah lagi.

Menurut Basri (Setyowati, 1999), kualitas diri pribadi remaja itu sendiri

bisa menjadi penyebab perkembangan emosional yang kurang sehat, mengalami hambatan dalam perkembangan hati nuram yang bersih, ketidakmampuan

mempergunakan waktu luang secara sehat dan ekonomis, kelemahan diri dalam

menghadapi kegagalan dengan memilih alternatif kegiatan yang keliru dan pengembangan kebiasaan diri yang kurang sehat di dalam kehidupan sehan-han. Menurut Hurlock (1999), masa remaja merupakan periode "badai dan tekanan", yaitu masa di mana ketegangan emosi remaja meninggi sebagai akibat dari

perubahan fisik dan kelenjar, juga karena remaja berada di bawah tekanan dan

(21)

Dalam menemukan proses menemukan jati dirinya remaja membaca

penlaku sekitar yang kiranya dapat dijadikan objek identifikasi. Jumlah remaja

yang banyak dan memiliki kecenderungan dan kesenangan serta kondisi

psikologis yang hampir sama pula, adalah salah satu alasan mengapa akhirnya

remaja suka bergerombol dan membentuk kelompok-kelompok atau gang-gang.

Di dalam kelompok itu remaja saling akrab, berkawan, bersenang-senang, bahkan

ada yang menjadikan fungsi hubungan itu sebagai tempat untuk berbicara serta

menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Dengan demikian remaja yang merasa kesepian, bingung, marah, sengsara

hatmya, keinginannya untuk memamkan peran sosial tertentu, secara spontan

berteman saling menarik, dan saling membutuhkan. Anak muda yang merasa

senasib dan sepenanggungan karena ditolak oleh masyarakat secara otomatis lalu

menggerombol, mencan dukungan monl guna memamkan peran sosial yang

berarti, dan melakukan perbuatan spektakuler bersama-sama. Karena ltulah maka

gerombolan anak muda mi senang berkelahi, mau melakukan perang antar

kelompok supaya lebih tampak, dan untuk menunjukkan egonya (Kartono, 1992).

Penlaku berkelompok ini dilakukan secara intens, dikarenakan remaja

merasa tidak merasa puas terhadap lingkungan yang selalu acuh tak acuh terhadap

keberadaan remaja. Ini sekaligus untuk menarik perhatian pada lingkungan dan

membuktikan bahwa remaja bisa berbuat sesuatu. Perilaku seperti ini kadang

tidak memperdulikan lagi lingkungan sekitarnya karena banyak terlihat

(22)

Justru yang paling rawan adalah akibatnya. Apa yang dikerjakan sebagai suatu kebiasan kadang-kadang malah menjadi penyebar maut bagi perkembangan remaja itu sendiri. Remaja yang berada dalam kondisi dalam kondisi psikologis

yang paling rawan dengan proses pencahariannya akhirnya berusaha mencari tempat untuk menunjukkan eksistensi dirinya (Soekanto, 1989).

Peer group, dengan tatanan nilai yang berada dengan yang ada dalam

keluarga, menyeret remaja yang ikut di dalamnya untuk berperilaku serupa demi pengakuan teman kelompoknya. Akhirnya remaja mengabaikan nilai-nilai yang

pernah diajarkan keluarganya dan masyarakatnya serta menggunakan nilai-nilai

baru yang diperoleh dari kelompoknya Mappiare (1982). Di dalam masyarakat gangnya, pada umumnya remaja bisa merasakan lklim aman dan terlmdungi,

sebab di tengah kelompok tersebut remaja merasa diakui pnbadi dan eksistensinya dan merasa punya harga diri. Sehubungan dengan hal tersebut

mentalitas kelompok suatu gang jelas dapat membedakan ciri-ciri karakteristik para anggota m-group dan out-group. Di tengah lingkungan in-group tadi anak-anak remaja menemukan arti kehidupannya (Kartono, 1992).

Organisasi dengan tujuan tak jelas dan memiliki norma yang berbeda dengan nonna masyarakat di sekitarnya tersebut agaknya menjadi pedoman baru

yang memberikan tuntutan baru bagi perilaku remaja yang menjadi anggotanya. Bersama kelompoknya remaja melakukan apa saja yang disukai, yang dianggap sebagai usaha untuk membebaskan diri dan belenggu tata aturan orang tua dan

masyarakat yang tidak sesuai dan mengekang. Dari sinilah muncul perilaku kenakalan remaja yang dilakukan secara berkelompok dengan membawa identitas

(23)

bersama Mappiare (1982). Salah satu berkelompok pada remaja adalah kelompok informal. Berkelompok secara infonnal artinya melakukan aktivitas bersama yang dilakukan remaja dimana aktivitas tersebut dilakukan dalam kelompok sebaya dan bukan dalam kelompok formal.

Delikuensi yang dilakukan oleh remaja pada umumnya merupakan produk

dari konstitusi defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan

tetangga dekat, ditambah nafsu primitif dan agresivitas yang tidak terkendali.

Semua itu mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan anak-anak muda yang

belum matang dan sangat labil (Kartono, 1992)

Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa pola asuh juga menentukan

perkembangan kepribadian anak. Seorang anak akan tumbuh menjadi anak baik maupun tidak dipengaruhi oleh pola asuh orang tuanya. Dalam mengasuh anak, antara orang tua yang satu dengan yang lamnya berbeda-beda, hal ini salah

satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua. Koentjoro (1986) mengutip pendapat Krench dkk, bahwa adanya variasi dalam tingkat pendidikan

orang tua akan menimbulkan pula variasi dalam mendidik anak.

Triwmingsih (1983) mengemukakan bahwa adanya tingkat pendidikan yang berbeda akan menimbulkan perbedaan pengalaman-pengalaman yang

diperoleh, seperti mendidik anak, penanaman disiplin, pengertian maupun

penguasaan orang tua terhadap anak.

Dari penjelasan di atas dirumuskan permasalahan penelitian sebagai

(24)

1. Apakah terdapat hubungan yang positif antara intensitas berkelompok

infonnal dengan kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja9

Benarkah intensitas berkelompok informal menaikkan atau justru

menurunkan kecenderungan berperilaku delinkuen remaja9

2. Apakah ada perbedaan kecenderungan berperilaku delinkuen antara

remaja berasal dari tingkat pendidikan orang tua rendah dan

menengah-tinggi?

B. Til JUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas berkelompok

informal dengan kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja.

Selam itu peneliti juga ingin mengetahui perbedaan kecenderungan

berperilaku delinkuen antara remaja yang berasal dari tingkat pendidikan orang

tua tergolong rendah dan menengah- tinggi.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat secara teoritis

Secara teoritis penelitian ini akan banyak menambah informasi dan

memperkaya khasanah teori psikologi sosial dan psikologi perkembangan yang

khususnya mengenai hubungan intensitas berkelompok informal dengan

kecenderungan berperilaku delinkuen dan mengenai perbedaan kecenderungan

(25)

berperilaku delinkuen antara remaja yang berasal dari tingkat pendidikan orang

rendah dan mengah -tinggi. 2. Manfaat secara praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai informasi terutama untuk remaja, guru dan orang tua dalam mencegah kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja dan diharapkan dapat memberi solusi yang tepat dalam menghambat perilaku delinkuen yang muncul

pada kelompok remaja.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian - penelitian sebelumnya yang bertopik delinkuen pada remaja antara lain: Kurniawan (1997), Elfida (1995), Pratidanastiti (1991), Setyowati

(1999) dan Widowati (1995).

Variabel bebas yang digunakan oleh mereka adalah Orientasi religius (Kurniawan, 1997) Emosional Inteligence (Setyowati, 1999), Kontrol diri (Elfida, 1995) Perkembangan moral (Pratidanastiti, 1991) dan Intensitas berkelompok

(Widowati, 1995).

Penelitian yang dilakukan peneliti kali ini menggunakan variabel bebas intensitas berkelompok informal. Dibandingkan dengan penelitian Widowati (1995) yang meneliti tentang intensitas berkelompok. Pada umumnya, penelitian ini lebih menekankan intensitas berkelompok secara informal.

Subjek penelitian ini berbeda dengan subjek penelitian dengan subjek penelitian Widowati (1995). Widowati menggunakan subjek siswa SMU,

(26)

sementara penelitian ini menggunakan siswa SMK (Sckolah Mengah Kejuruan)

Teknik, yang selama ini diketahui memiliki kecenderungan berperilaku delinkuen yang cukup tinggi.

(27)
(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KECENDERUNGAN BERPERILAKU DELINKUEN

a. Pengertian Remaja

Masa remaja senng disebut sebagai masa transisis dari kanak-kanak kemasa

dewasa yang ditandai dengan kemasakan organ seks untuk siap melakukan

reproduksi. Senada dengan hal tersebut Gunarsa (1985) mengartikan bahwa masa

remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yakni

antara umur 12 tahun sampai 18 tahun.

Freud (dalam Gunarsa, 1985) mengartikan bahwa masa remaja adalah suatu

proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan

perkembangan psiko seksual, perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan

cita-cita mereka. Neidhart (dalam Gunarsa, 1985) melihat masa peralihan ditinjau dan

kedudukan ketergantunganya dalam keluraga menuju kehidupan mandiri, maksudnya

remaja memiliki ketergantungan pada keluarga baik itu secara sosial, psikologis

maupun ekonomi dalam rangka mempersiapkan kehidupan selanjutnya secara

mandiri. Hal inilah yang kemudian menimbulkan istilah remaja diperpendek dan

remaja diperpanjang di Indonesia.

Masa remaja dikatakan diperpendek adalah remaja yang belum sampai batas

umur maksimal harus menyelesaikan masa remajanya dengan menikah diusia muda

(29)

atau mereka yang tidak meneruskan sekolah dan harus mencari nafkah. Mereka ini

tidak dapat lagi dikatakan remaja, meskipun secara umur mereka masih remaja karena mereka sudah dapat dikatakan dewasa ekonomi, sosial maupun psikologis.

Masa remaja diperpanjang apabila umurnya lebih dari 24 tahun tidak menikah atau

masih sekolah dan dibiayai oleh orang tua, karena dianggap belum dewasa secara ekonomi dan sosial meskipun secara psikologis mungkin sudah dewasa.

Karena rancunya batasan masa remaja pada tahun 1974 atas dasar penelitian Muangman, WHO memberikan batasan remaja dan definisinya secara lebih

konseptual. Dalam difinisi tersebut dikemukan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi itu berbunyi :

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekunder sampai ia mencapai kematangan seksual.

2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari

kanak-kanak sampai dengan dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaaan yang relatif mandiri (Sarwono, 1994).

Masa remaja adalah masa penyempurnaan dari perkembangan tahap-tahap

sebelumnya (Sarwono, 1994). Masa remaja juga merupakan awal dari perkembangan tahap selanjutnya, pada masa ini merupakan dasar sukses atau tidaknva seseorang

pada masa dewasanya. Biasanya apabila remaja dapat melampaui masa remajanya

(30)

baik pula, karena ia dapat memandang masa depannya dengan sikap optimis.

Sementara itu remaja yang tidak dapat melampaui masa tersebut dengan baik karena

melanggar norma yang ada, misalnya pernah melakukan seks bebas atau terlibat

dalam kasus tindak kriminal, dan lain-lainya. Dalam melangkah menuju pada

kehidupan selanjutnya akan dibayangi dengan rasa takut dan gelisah.

Selain itu pula rasa takut dan gelisah dikarenakan banyak remaja yang kurang

faham akan kondisi yang sedang terjadi pada diri mereka, organ-organ fisik yang mulai berubah sangat mempengaruhi kondisi psikologi remaja. Banyak orang mengatakan bahwa masa ini disebut dengan masa pubertas dan biasanya seorang remaja menginginkan lepas dari ikatan emosional dengan orang tuanya dan

merencanakan hidup dengan sitem nilai sendiri tanpa dipengaruhi orang tua.

Dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan remaja adalah mereka yang berada dalam masa transisi antara anak-anak dan dewasa berumur 12-18 tahun dan belum menikah.

b. Pengertian Kenderungan Berperilaku Delinkuen Pada Remaja

Kenakalan remaja atau sering disebut dengan istilah juvenile dehngquency. Oleh Kartono (1992) dikatakan bahwa kejahatan atau kenakalan yang dilakukan oleh anak muda dan merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak atau remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka

(31)

Gold dan Petronio (Sarwono, 1994) berpendapat bahwa perilaku delinkuen

atau kenakalan remaja merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa, yang sengaja melanggar hukum dan diketahui oleh anak itu sendiri jika perbuatan itu sempat diketahui oleh petugas hukum, ia bisa dikenai hukuman.

Delinkuensi, menurut White (Kurniawan, 1997) adalah sebuah batas hukuman yang

merujuk pada remaja (dibawah usia 18 tahun) yang melakukan perbuatan kriminal atau menampilkan variasi perilaku, yang secara spesifik tidak terrmasuk kedalam

hukuman kriminal seperti membolos, melanggar jam belajar, kabur dari rumah,

menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol.

Delinkuensi, menurut Thomburg (Kurniawan, 1997) merupakan konflik normatif antara remaja dengan masyarakatnya. Hal ini terjadi dengan berbagai alasan, ketika remaja berperilaku yang secara sosial tersebut menyimpang. Delinkuensi ini bisa dilakukan sendiri atau perilaku gang, perilaku delinkuen ini mungkin bersifat

spontan atau direncanakan dengan baik, ditujukan untuk menentang individu atau institusi tertentu.

Dengan dijelaskan lebih lanjut oleh Thomburg (Kurniawan, 1997) bahwa

secara hukum, seorang remaja dipandang delinkuen bila melakukan tindakan melanggar hukum dan pelanggaran tersebut merupakan kewenangan pihak aparat kepolisian dan pengadilan untuk memberi sanksi secara hukum. Secara psikologis, seorang dianggap delinkuen bila melakukan tindakan melanggar norma masyarakat. Secara fungsional, remaja dikatakan delinkuen bila melanggar hak-hak orang lain.

(32)

15

Secara teknis, remaja tidak akan disebut delinkuen bila telah dihukum oleh

pengadilan.

Perilaku delinkuen, menurut Soekadji (Alit, 1995) merupakan perilaku yang melanggar norma, aturan dan moral masyarakat, yang menimbulakn konflik antar

pribadi atau kelompok-kelompok pribadi dengan masyarakat. Hal ini menurut

Sarwono (1994) hanya merupakan perilaku yang menyimpang sedangkan perilaku

remaja dikatakan delinkuen bila penyimpangan yang terjadi telah melanggar hukum

pidana. Sedangkan menurut Hurlock (1973), remaja delinkuen adalah remaja yang melakukan perbuatan melanggar hukum, yang membuatnya bisa dikirim ke penjara

jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa.

Tim proyek jukvenile delinguency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Elfida, 1995) merumuskan delinkuensi sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang

dilakukan seorang anak dan dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang

berlaku di suatu negara serta masyarakatnya dirasakan dan ditafsirkan sebagai

perbuatan tercela. Dalam undang-undang di Indonesia, menurut Pratidarmanastiti

(1991), remaja delinkuen adalah remaja yang berumur 18 tahun kebawah, yang melakukan tindakan antisosial, bertentangan, atau melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat dan bila tindakan tersebut dilakukan oleh orang dewasa

merupakan tindakan kejahatan yang dapat dikenai hukuman pidana.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kenakalan remaja

(33)

16

bawah, berupa pelanggaran hukum serta undang-undang yang berlaku, jika perbuatan

tersebut dilakukan oleh orang dewasa dapat disebut dengan tindak kejahatan.

Sementara itu yang dimaksud dengan kecenderungan berperilaku delinkuen adalah

tinggi rendahnya kemungkinan remaja untuk melakukan tindakan melawan hukum

dan undang-undang yang berlaku serta tindakan yang dianggap masyarakat sebagai

perbuatan tercela.

Sejumlah ahli telah mengklasifikasikan kenakalan remaja dalam berbagai

bentuk. Hilgard (Kartono, 1991) mengelompokkan kenakalan remaja dalam dua

golongan yaitu Pertama, Sosial delenguency yaitu delinkuen yang dilakukan oleh

sekelompok remaja, misalnya gang. Individual delinguency yaitu penlaku delinkuen

yang dilakukan oleh seorang remaja tanpa teman. menutupi kesalahan ataupun untuk

menipu. Kedua, kenakalan yang bersifat melanggar hukum dan mengarah pada

tindakan kriminal, misalnya; berjudi, mencuri, menjambret, mencopet, merampok,

memperkosa, penganiayaan, pembunuhan.

Jensen (Sarwono, 1994) membagi perilaku delinkuen menjadi empat jenis.

Pertama delinkuen yang menimbulkan

korban fisik pada orang lain seperti

perkelahian, pemerkosaan, penganiayaan, dan lain-lain. Kedua, penlaku delinkuen

yang menimbulkan korban materi bagi orang lain, dan lain-lam. Ketiga, delinkuen

yang melanggar status seperti membolos, melawan orang tua^guru, kabur dari rumah,

dan lain-lam. Keempat, peilaku delinkuen yang tidak menimbulkan korban dipihak

(34)

Hurlock juga mengkategonkan penlaku delinkuen remaja menjadi empat macam.

Pertama, perilaku yang menyakiti diri sendin dan orang lain seperti menyerang orang

lam dan bunuh diri. Kedua, perilaku yang membahayakan milik orang lain seperti

merampas, mencuri. Ketiga, perilaku yang tidak terkendali seperti tidak mematuhi

orang tua dan peraturan sekolah, membolos, kabur dan rumah, mengendarai

kendaraan tanpa surat ljin. Keempat, penlaku yang dapat membahayakan din sendiri

dan orang lain seperti mengendarai kendaraan dalam dengan kecepatan tinggi,

menggunakan narkotika, pemerkosaan dan membawa senjata tajam.

Dengan demikian dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat

bentuk perilaku delinkuen remaja. Pertama, perilaku yang melanggar status, kedua

perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain, ketiga, perilaku

yang menimbulkan korban maten dan keempat, perilaku yang menimbulkan korban

fisik.

3. Faktor-faktor Pendorong Munculnya Kecenderungan Berperilaku Delinkuen

Pada Remaja.

Ada banyak pendapat tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya

kenakalan remaja. Hurlock (1973) melihat ada dua hal yang berhubungan dengan

delinkuen remaja yaitu predisposisi dan motivasi penyebabnya. Pertama, predisposisi

(kecenderungan ) yang menyebabkan delinkuen pada remaja. Bagi remaja laki-laki

identifikasi dengan gang dan tekanan dan anggota gang merupakan penyebab

(35)

kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja, sedangkan pada remaja

perempuan kondisi rumah yang tidak menyenangkan berperan penting terhadap

kecenderungan berperilaku delinkuen. Kecenderungan-kecenderungan tersebut

diantaranya :

a. Tingkat intelegensi yang rendah, biasanya berkaitan dengan kurangnnya

perencanaan dan pandangan ke depan (foresight), tidak memungkinkan bagi

sejumlah reamaja untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan baik.

b. Ketidak sempuranan fisik dan kemasakan seksual yang menyimpang akan

mengakibatkan perasaan yang tidak adekuat pada remaja, yang mungkin

dikompensasikan pada remaja dalam bentuk berperilaku menyimpang.

c. Sikap yang tidak menguntungkan terhadap sekolah yang berasal dari kegagalan

akademis atau sosial, seringkali mendorong remaja membolos dan mengakibatkan

drop out dan kesulitan memperoleh pekerjaan, meningkatkan remaja untuk

berperilaku antisosial.

d. Penerimaan sosial oleh gang remaja membuat remaja sering berinteraksi dengan

kelompok tersebut, sehingga ahkirnya terpengaruh.

e. Komunikasi media masa secara tidak bertanggung jawab terhadap perilaku

delinkuen terutama jika media massa memperkuat kondisi lingkungan yang tidak

menguntungkan.

f Kondisi rumah yang kurang menguntungkan seperti kurang perhatian dan orang

(36)

displm dalam keluarga dan pola kehidupan keluarga yang menyimpang, membuat

anak merasa tidak disayangi dan anak ingin menyakiti orang taunya dengan

perilaku yang menyimpang.

g. Pola kepribadian tertentu, seperti konsep din yang kurang baik, kontrol diri yang

rendah, mfenontas dan perasaan tidak adekuat menyebabkan remaja berpotensi

melakukan penyesuainan din dengan cara yang meladaptif.

Kedua, motivasi penyebab munculnya kenakalan remaja. Motivasi mi bila

berkolaborasi dengan penyebab kecenderungan akan menghasilkan dorongan untuk

melakukan penlaku delinkuen dan terlalu kuat bagi remaja untuk menahanya.

Sebaliknya ketiadaan motivasi akan menjauhkan remaja dari perilaku delinkuen

meskmpun remaja dalam kondisi siap bereaksi. Beberapa penyebab itu menurut

Hurlock (1973), diantaranya:

a. Keinginan akan hal-hal yang lebih baik akibat dan ketidak puasan terhadap apa

yang dimiliki, yang senngkali diintensifkan oleh media massa, kemungkinan

akan memotivasi remaja untuk mencun, misalnya, sebagai cara tercepat dan

termudah untuk mendapatkan simbol status yang dndamkan.

b. Emosi yang kuat, terutama perasaan marah, in, cemburu, takut dan adanya

msiden-insiden kecil yang senngkali memicu remaja untuk berpnlaku delinkuen.

c. Kebosanan. Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh prestasi yang

memuaskan dan tanggungjawab yang terlalu kecil, mendorong para remaja

(37)

20

mengurangi kebosanannya dengan melanggar hukum dan sejumlah perilaku yang

menyenangkan bagi dirinya.

d. Perasaan inferior. Perasaan inferior, secara fisik, mental, sosial akan mendorong

remaja melakukan perbuatan melanggar hukum untuk membuktikan bahwa dirinya sama seperti teman sebaya lainnya, tidak inferior.

Graham (Sarwono, 1994) yang teonnya berdasarkan pada pengamatan empiris

dan sudut kesehatan mental anak dan remaja, membagi faktor-faktor penyebab

kenakalam remaja dalam dua golongan. Pertama , faktor lingkungan meliputi, mal

nutnsi, kemiskinan dikota-kota besar, ganguan lmkungan (polusi, kecelakaan

laluhntas, bencana alam, dan lain-lain), migrasi, faktor sekolah (kesalahan didik,

kurikulum yang tidak tepat), keluarga yang bercerai berai, serta ganguan dalam pola

pengasuhan keluarga (kematian orang tua, orang tua sakit berat atau cacat, hubungan

antara anggota keluarga yang tidak harmonis, orang tua sakit jiwa, kesulitan ekonomi

karena pengangguran , tingkat pendidikan dan lam-lam). Kedua faktor pribadi yang

meriiputi faktor bakat yang mempengamhi tempramen (menjadi pemarah, hiperaktif,

dan lam-lain), cacat tubuh dan tidak mampu menyesuaikan diri.

Dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, faktor-faktor yang

melatarbelakangi terjadmya perilaku delinkuen pada remaja dapat dikelompokkan

menjadi tiga bagian, yaitu faktor individu, faktor keluarga, faktor lingkunagn sosial.

Dan ketiga faktor tersebut satu dengan yang lainya saling berpengaruh dan

(38)

a. Faktor Individu

Dan berbagai faktor kenakalan remaja, faktor intelegensi mendukung

kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja. Haditono (Monk, dkk, 1994) dalam

penelitianya mengatakan bahwa 69,45 % remaja delinkuen memiliki tarafintelegensi

di bawah normal, demikian pula penelitian Trinovita (Kurniawan, 1997)

memperlihatkan hasil bahwa remaja delinkuen menunjukan skor IQ yang lebih

rendah secara signifikan dibandingkan mereka yang non delinkuen. Rendahnya tingkat intelegensi menyebabkan remaja tidak mampu melihat dam memperkirakan akibat dari perbuatanya tersebut. Hal ini menunjukan bahwa faktor intelegensi

memberikan andil atas kecenderungan berperilaku delinkuen.

Sementara itu rendahnya kontrol diri juga merupakan suatu faktor penyebab

kenakalan remaja. Lebih lanjut Kartono (1992) menjelaskan bahwa kurang baiknya remaja dalam mengontrol dirinya terhadap dorongan-dorongan mtrinsik yang ada, membuat remaja tidak dapat menyalurkan dorongan tersebut dalam perbuatan yang bermanfaat dan lebih berbudaya ahkirnya yang terjadi adalah perilaku mal adaptif.

Senada dengan hasil penelitian Elfida (1995), yaitu ada hubungan negatif

anatara kemampuan mengontrol diri dengan kecenderungan berperilaku delinkuen

pada remaja, dimana remaja yang kemampuan mengontrol dirinya bagus maka

kecenderungan berperilaku delinkuennya rendah.

Kartono (1992), mengungkapkan bahwa adanya gangguan fungsi perasaan pada

(39)

??

satu penyebab terjadinya perilaku delinkuen pada remaja. Seperti yang diketahui

bahwa masa remaja adalah masa yang penuh dengan gejolak dan emosi. Emosi

mereka cenderung meninggi apabila ada keinginanan dan kebutuhannya yang tidak terpenuhi, dengan demikian hal tersebut akan dapat mendorong mereka pada

perbuatan yang menyimpang.

Selain itu faktor agama juga dianggap sebagai salah satu faktor yang ikit mempengaruhi kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja. Penelitian yang

dilakukan oleh Kurniawan (1997) menemukan bahwa ada hubungan negatif antara

orientasi religius dengan kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja, yaitu bahwa remaja dengan orientasi religius rendah menunjukan kecenderungan berperilaku delinkuen yang tinggi.

b. Faktor Keluarga

Keluarga merupakan kelompok terkecil dari masyarakat yang memiliki peranan

penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positifbagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif.

Menurut Sudarsono ( 1995 ) keluarga yang tidak normal {broken home) dan keadaan

jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan dapat menimbulkan perilaku

delinkuen.

Senada dengan pendapat di atas Hawari ( 1997 ) mengatakan bahwa remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial kelurga yang tidak hannonis, memiliki resiko lebih besar mengalami gangguan kepribadian, menjadi kepribadian anti sosial

(40)

dan berperilaku menyimpang dibandingkan dengan remaja yang dibesarkan dalam

keluarga yang harmonis.

Menurut Kartono (1992), kenakalan remaja disebabkan karena : (1). Rumah tangga yang berantakan. Bila suatu rumah tangga mengalami konflik terus menerus dan serius mengakibatkan keretakan dan pada akhirnya mengalami perceraian. Keluarga yang sudah tidak harmonis lagi dapat menyebabkan anak mengalami

kebingungan dan merasakan ketidakpastian emosional. Anak tidak tahu harus

membela siapa. Pada akhirnya si anak merasa tidak betah tinggal tinggal di rumah,

tidak bisa tenang belajar, tertekan dan menderita. Untuk melampiaskan penderitaannya, marah dan agresivitasnya itu pada akhirnya si anak melakukan tindakan - tindakan anti sosial. (2). Perlindungan lebih dari orang tua. Orang tua yang terlalu banyak melindungi dan memanjakan anak dan menghindarkan mereka dari

berbagai kesulitan tanpa sengaja akan membuat anak tidak mandiri. Mereka akan selalu tergantung pada bantuan orang tua, merasa cemas dan selalu ragu - ragu, aspirasi dan harga dirinya tidak bisa berkembang dengan baik bahkan kepercayaan dirinya bisa hilang. Sebagai akibatnya ada kalanya anak melakukan identifikasi total terhadap gangnya, terutama terhadap pimpinan gang dan secara tidak sadar hanyut terseret melakukan tindakan ugal - ugalan serta berkelahi untuk menyembunyikan

kekerdilan hatinya. (3). Penolakan Orang Tua. Ada pasangan suami istri yang tidak

pernah bisa memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu. Mereka masih ingin meneruskan kebiasaan hidup yang lama, bersenang - senang seperti belum menikah.

(41)

24

Mereka tidak mau memikirkan konsekuensi dan tanggung jawab sebagai orang tua.

Anak - anaknya sendiri ditolak dianggap sebagai beban dan hambatan meniti karir.

Anak yang hidup dalam keluarga yang mengalami maladjustment seperti mi akan mengalami ketegangan batin, konflik serta kecemasan. Dalam situasi keluarga yang

demikian biasanya tidak terdapat ketenangan, hannoni, kerukunan, loyalitas dan solidaritas keluarga yang kuat. Semua ini dapat memberikan dampak yang buruk pada perkembangan kepribadian anak. Anak akan tumbuh menjadi seorang yang benngas, mudah marah, eksplosif, binal, berandalan, suka berkelahi tanpa motivasi

apapun. Hal ini dilakukan untuk melampiaskan kerisauan batin dan membuang kesebalan dalam dirinya. (4). Pengaruh buruk dari orang tua. Tingkah laku kriminal yang asusila dan orang tua atau salah seorang anggota keluarga bisa memberikan

pengaruh menular pada anak. Anak akan ikut - lkutan melakukan tindakan kriminal dan asusila bahkan menjadi anti sosial. Dengan demikian kebiasaan buruk orang tua

mengkoordimr tingkah laku anak dan sikap hidup anak.

Menurut Steinberg (dalam Kurniawan, 1997), kurangnya pengawasan dari

orang tua dan sikap Premisif yang berlebihan, meningkatkan probabilitas terjadinya

perilaku delinkuen pada remaja. Hal ini bisa terjadi sebagai akibat dari kesibukan orang tua mengejar materi sehingga menimbulkan keterasingan remaja dari kasih

(42)

25

c. Faktor lingkungan, sekolah dan sosial

Menurut Hawan (1997) kondisi sekolah yang tidak baik seperti sarana

prasarana sekolah yang kurang memadai, kuantitas dan kuahtas tenaga pengajar dan

non-pengajar yang tidak memadai, kesejahteraan guru yang kurang, lokasi sekolah di

daerah rawan dapat mengganggu proses belajar dan mengajar yang pada akhirnya

dapat memberi peluang pada anak didik untuk berperilaku delinkuen.

Senada dengan hal tersebut Kartono (1992) juga mengatakan bahwa kondisi

sekolah yang tidak memenuhi syarat seperti tidak adanya halaman untuk bermain,

tidak ada fasilitas olah raga, minimnya ruang belajar, jumlah murid dalam satu kelas

yang terlalu banyak (50 - 60 orang), ventilasi yang buruk, mmimnya ekstra kurikuler,

kurikulum yang tidak menentu dan selalu berubah membuat siswa dan guru menjadi

bingung dan membuat anak menjadi jemu belajar, kesejahteraan guru yang kurang

membuat guru suka mengobyek mencari tambahan dan hal ini jelas akan

mengganggu kegiatan belajar dan mengajar.

Secara umum, para remaja delinkuen menunjukkan prestasi akademik yang

rendah, sering membolos, kurang dihargai guru, sangat tergantung oleh teman

-temannya baik ketika mereka mendapatkan kesulitan atau tidak dan drop out.

Thomburg (dalam Kurniawan, 1997).

Lingkungan tempat tinggal yang dihuni oleh orang dewasa dan anak - anak

muda yang berperilaku kriminal dan anti sosial dapat merangsang anak untuk

penlaku mereka, perkampungan yang kumuh, kepadatan penduduk, serta kemiskinan.

(43)

26

mempunyai orang tua yang tidak bertanggung jawab, menurut Conger (dalam Monk

dkk, 1994) menjadi delinkuen. Dan hasil penelitian Haditono (Monks dkk, 1994)

ditemukan bahwa para remaja delinkuen berasal dan lapisan ekonomi yang

bermacam - macam dan dari status sosial ekonomi yang bermacam - macam pula.

Selain itu keberadaan teman sebaya juga memberikan andil yang cukup besar

pada penlaku remaja. Pada umumya remaja dan pelajar suka berkelompok. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi dan memerangi tekanan-tekanan dalam hidupnya, baik

tekanan dari keluarga maupun masyarakat. Senada dengan hal tersebut Kartono

(1992) mengatakan bahwa anak dan para remaja menjadi delinkuen disebabkan

partisipasinya di tengah-tengah lingkungan sosial, karena itu, semakm lama anak

bergaul dan semakin ,'ntensif relasinya dengan anak - anak delinkuen lainnya, akan

semakin besar kemungkinan anak - anak remaja tadi menjadi delinkuen.

B INTENSITAS BERKELOMPOK SECARA INFORMAL

1. Pengertian Intensitas Berkelompok secara Informal

Kelompok {group) adalah dua orang atau lebih yang bennteraksi dan saling

tergantung dan bersatu untuk mencapai tujuan tertentu. (Covey, 1989). Sherif dan

Sherif (dalam Ahmadi, 1990) mengatakan bahwa kelompok adalah dua atau lebih

individu yang telah mengadakan interraksi sosial yang cukup intensif dan teratur,

(44)

27

tertentu yang khas bagi kelompok itu, serta mempunyai sifat saling tergantung di antara anggota kelompok sehingga membentuk pola tertentu yang mengikat satu

dengan lainnya.

Menumt Freedman (dalam Ahmadi, 1990), kelompok adalah organisasi yanh terdiri atas dua atau lebih individu. Individu tersebut tergantung dalam ikatan - lkatan

suatu sistem ukuran-ukuran kelakuan yang diterima dan disetujui oleh semua anggotannya.

Setiap kelompok mempunyai struktur. Hal ini dijelaskan oleh Rato (1989) bahwa kelompok adalah sejumlah orang yang satu dengan lainnya menjalin hubungan dan hubungan tersebut membentuk suatu stmktur. Struktur itulah yang memperkuat jaringan hubungan dan pola-pola komunikasi di kalangan anggota kelompok (Horton

&Hunt, 1987).

Sementara itu istilah intensitas diadaptasi dari kata intensity, yaitu aspek kuantitatif dari satu pengindraan, yang berhubungan dengan intensitas perangsangnya, seperti kecemerlangan suatu wama ataupun bunyi (Chaplin, 1997). Masih menumt Chaplin, intensitas adalah kekuatan yang mendukung suatu pendapat

atau suatu sikap.

Kartono (1987) mengatakan bahwa intensitas adalah besar atau kekuatan

sesuatu tingkah laku untuk merangsang salah satu indera, ukuran fisik dan energi atau

(45)

Sejak kecil manusia dikaruniai na]uri qntyk hidup berkumpul dengan orarig lain untuk saling tolong-menolong, bahkan apa"bila pada stiatu saat manusia dipisahkan dengan orang lain maka kemungkinan besar keseinlbangan jiwa manusia

tersebut akan terganggu. Manusia hidup dan berkumpul dengan orang lain dikarenakan manusia tidak dilengkapi dengan alat yang cukup untuk hidup sendiri didunia ini. Karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain maka disebutlah sebagai manusia sebagai mahkluk sosial, selain itu manusia

disebut pula dengan mahkluk religi dan mahkluk indiviual. Sebagai mahkluk

individual manusia mempunyai dorongan untuk kepentingan pribadinya, sebagai mahkluk religi manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan kekuatan diluar dirinya dan sebagai mahkluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk selalu berkumpul dengan orang lain. Dorongan ini demikan kuatnya bahkan

dilakukan dengan penuh semangat dan emosional. Dengan adanya dorongan yang kuat pada diri manusia untuk selalu berinteraksi dan berkumpul dengan manusia lain,

maka terbentuklah kelompok-kelompok di dalam masyarakat.

Dengan adanya kelompok-kelompok ini, Soekanto (1989) mengatakan bahwa

kelompok berfungsi untuk memberikan kepuasan afeksi bagi individu, sehingga kehidupan menjadi menyenangkan. Selain itu kelompok juga membantu perkembangan psikologis individu dengan memberikan wadah bagi pengembangan intelektualitas maupun emosinya. Salah satu jenis kelompok yang berkembang dikalangan remaja adalah berkelompok informal. Dalam kelompok 1m remaja bergaul

(46)

29

dengan teman teman sebayanya di luar kelompok formal seperti pramuka, OSIS,

PMR dan sebagainya.

Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa intensitas

berkelompok informal adalah sebuah dorongan perilaku yang kuat pada remaja untuk

memenuhi kebutuhan sosialnya yang berhubungan dengan perkembangan psikososial yang sedang dialaminya, yang dilakukan dalam kelompok informal. Dalam hal ini

remaja melampiaskan keinginnanya akan perhatian yang tidak diperoleh dari rumah. Selain itu dorongan ini juga terjadi disebabkan karena keinginan remaja untuk dipuja oleh teman-temannya.

2. Ciri - Ciri dan Sifat Kelompok Remaja.

Kelompok remaja, menurut Gunarsa (1991) sangat sulit ditiadakan dikarenakan

remaja membutuhkan rasa aman dan terlindungi yang diperoleh dalam lingkungan kelompoknya. Hal ini yang mendorong remaja untuk lebih sering berada di luar mmah untuk berkumpul bersama-sama teman-teman sebayanya, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap dan pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengamh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba

(47)

30

mmum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka remaja akan cenderung

mengikuti tanpa memperdulikan akibatnnya.

Dalam sifatnnya kelompok remaja mempunyai dua bentuk, yaitu kelompok

yang mempunyai sifat positif dan negatif. Kelompok remaja dikatakan bersifat positif

apabila anggota kelompok diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri,

berlatih dan bersikap, bertingkah laku serta dapat berhubungan sosial dengan baik.

Sementara kelompok remaja dikatakan memiliki ciri-ciri sifat yang negatif apabila

lkatan antar anggota kelompok menjadi sangat kuat, sehingga identitas din menurun

dan bembah menjadi identitas kelompok dan energi yang terkumpul disalurkan pada

tujuan yang memsak.

Gang kriminal, menurut Kartono (1992) pada awalnya merupakan kelompok

bermain yang dinamis. Permainan yang semula bersifat netral, baik dan menyenangkan, kemudian ditransformasikan dalam aksi eksperimental bersama yang

berbahaya dan sering menggangu atau merugikan orang lain. Pada ahkirnnya kegiatan

tadi ditingkatkan menjadi perbuatan kriminal.

Kelompok Remaja sekalipun tidak permanen sifatnya, akan tetapi jelas

menampilkan pola-pola tingkah laku yang khas, sebagai cermman dari suatu dunia

sosial anak remaja masa kini yang nyata ada sekarang, yang memiliki

sentimen-sentimen yang amat kuat dan ambisi ideal serta material tertentu (Kartono, 1992).

Jiwa kelompok ini menumbuhkan kerelaan berkorban dan semangat saling

(48)

bagi anak-anak muda tadi, gang sendiri menjadi suatu realita supra natural yang berdiri diatas segala-galanya, berdiri di atas semua kepentingan. Tantangan serta

kesakitan hati dan jasmaniah yang diderita oleh seorang anggota kelompok, secara otomatis menjadi tantangan seluruh anggota kelompok, yang harus dilawan dan

dibalas dengan keras. Karena itu kelompok hams melakukan vendetta (balas dendam)

terhadap agresor dan luar (Kartono, 1992). Semua hal tersebut akan terjadi apabila intensitas berkelompok mereka tinggi. Mappiare (1989) intensitas bertemu dengan

anggota kelompok yang tinggi akan mengakibatkan imitasi antar anggota, apabila yang ditiru itu berbuat buruk maka kelompok tersebut dapat menjadi kelompok delinkuen.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kelompok remaja, remaja memiliki sifat tanpa pamrih. Kelompok adalah segalanya bagi remaja, segala sesuatu yang menyangkut kelompok ditanggung dan dirasa bersama oleh anggota kelompok.

C. Kenakalan Remaja ditinjau dari Perbedaan Tingkat Pendidikan OrangTua

Dari penelitian yang terdahulu dapat dikatakan bahwa faktor-faktor penyebab kenakalan sangatlah komplek. Di samping faktor individu, dan faktor sosial

lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan kepribadian anak. Dalam perkembangan kepribadiannya seorang anak akan tumbuh menjadi anak baik maupun tidak dipengaruhi oleh pola asuh yang dipakai orang

(49)

32

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua. Koentjoro (1986) mengutip pendapat Krech dkk., bahwa adanya perbedaan pendidikan akan menimbulkan terjadinya

perbedaan sikap dan tingkah laku. Adanya variasi dalam tingkat pendidikan akan menimbulkan variasi dalam cara atau pola asuh orang tua terhadap anak.

Triwiningsih (1983) mengemukakan bahwa adanya tingkat pendidikan yang

berbeda akan menimbulkan perbedaan pengalaman-pengalaman yang diperoleh, seperti cara mendidik anak, penanaman disiplin, pengertian maupun penguasaan

orang tua terhadap anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin

banyak pengalaman yang diperoleh untuk mendidik anak.

Beberapa penelitian pada tahun tiga puluhan dan empat puluhan secara umum menunjukan bahwa para orang tua dari kelas menengah lebih keras dalam

membesarkan anak dari pada orang tua dari kelas pekerja, hal ini mungkin dikarenakan para orang tua dari kelas menengah memiliki cita-cita yang tinggi akan

masa depan anaknya serta memiliki kelonggaran waktu untuk mengasuh anak. Sementara itu para orang tua dari kelas pekerja tidak memiliki perhatian akan

cita-cita masa depan anaknya karena disibukkan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi

keluarga. Akan tetapi pada tahun lima puluhan menunjukkan kesimpulan yang

berlawanan. Para orang tua dan kelas menengah menjadi lebih longgar dalam mendidik anak-anaknya. Perubahan ini nampaknya karena para orang tua dari kelas

menengah lebih sering mengikuti petunjuk "para ahli" psikologi anak, dalam

(50)

yang berasal dan kelas pekerja lebih senng menggunakan hukuman fisik dalam

mendisiplinkan anak, sedangkan orang tua dan kelas menengah lebih sering

menggunakan "disiplin psikologis". Teknik ini lebih efektif dalam melatih dan mengkontrol anak. Morgan (dalam Kiranawati, 1992).

Hukuman fisik akan memberikan dampak yang sangat negatif dalam

perkembangan anak, selain mengganggu pertumbuhan fisik anak akan mengakibatkan

suatu trauma yang akan dibawa sampai dewasa. Karena trauma tersebut seorang anak

akan dapat memiliki kepribadian yang menyimpang, mudah dendam, suka melukai

orang lain, senang melihat orang lam menderita, berperilaku sangat agresif dan lam

sebagainya.

Dari hasil penelitian triwiningsih (1983) diketahui bahwa terdapat perbedaan

sikap remaja terhadap kenakalan dilihat dan tingkat pendidikan orang tua. Pada

remaja yang berasal dan orang tua yang berpendidikan rendah menunjukkan sikap

lebih setuju terhadap tingkah laku kenakalan dibandingkan dengan remaja yang

berasal dan orang tua yang berasal dari tingkat pendidikan menengah. Demikian pula

dengan remaja yang orang tuanya berasal dan tingkat pendidikan tinggi menunjukkan

sikap yang lebih setuju terhadap tingkah laku kenakalan dibanding dengan siswa

yang tingkat pendidikan orang tuannya menengah.

Dan uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan orang

tua sangatlah berpengaruh dalam perkembangan anak, pola asuh yang salah akan

(51)

34

akhirnya akan membawa anak pada perilaku delikuen. Karena masih jarang dilakukan

penelitian tentang hal ini, maka perlu diadakan penelitian tentang perbedaan

kenakalan remaja ditinjau dari perbedaan tingkat pendidikan orang tua.

E.

Hubungan Antara Intensitas

Berkelompok Informal dengan

Kecenderungan Berperilaku Delinkuen pada Remaja

Merupakan gejala yang wajar apabila remaja senang mencari kawan,

berkumpul dengan kawan-kawannya meskipun tidak semuanya memberi pengaruh

yang baik pada diri remaja. Pengamh dan kawan-kawan terhadap kehidupan remaja

sangatlah besar karena pada saat itu ada rasa kebanggaan tersendiri apabila remaja

mempunyai banyak kawan, karena remaja merasa dirinya terkenal.

Timbulnya kesadaran akan dirinya sebagai individu yang berdiri sendiri,

membuat remaja tidak ingin diperlakukan seperti anak-anak, remaja ingin bebas dari

kekangan orang tua, ingin mengeluarkan pendapat, mengingmkan status yang sama

seperti orang dewasa lainnya. Keinginan remaja untuk dipuja terutama oleh lawan

jemsnya, kadang-kadang membuat tingkah lakunya melebihi batas, dengan maksud

untuk menarik perhatian dan mendapat pujian (Walgito, 1982).

Remaja pada masa ini seakan-akan berpijak pada dua kutub, yaitu kutub lama

dan kutub baru. Kutub lama, yaitu masa kanak-kanak yang ditinggalkan dan kutub

baru yaitu masa dewasa yang akan dimasuki. Karena berpijak pada dua kutub tersebut

pada umumnya membuat remaja penuh dengan keragu-raguan, anak belum bisa

(52)

35

memasuki alam baru itu, sebaliknya dia hams meninggalkan masa lalunya. Di sinilah muncul kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh keragu-raguannya itu

(Walgito,1982).

Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami remaja, remaja dalam memilih teman cenderung menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman dan dapat membahas hal-hal

yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tuannya. Remaja lebih menghargai

pendapat kelompoknya sendiri daripada pendapat orang tuanya ataupun gurunya.

Menurut Gunarsa (1989), kelompok disini menjadi acuan atau referensi ketika memberikan penilaian.

Sebagian besar remaja menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya

dengan berkumpul dan diskusi dengan teman-temannya, kemudian melakukan

kegiatan bersama, mengadakan penjelajahan secara berkelompok.

Dengan

pengalaman berkelompok manusia menghayati norma-norma kebudayaan, serta bersama-sama memiliki nilai-nilai dan tujuan serta perasaan yang membedakan

manusia dengan mahkluk lam. Perasaan dan penlaku seseorang banyak dipengaruhi

oleh keanggotaan kelompok. Apakah seseorang itu akan jadi pahlawan atau jadi

pengecut barang kali lebih banyak ditentukan oleh ikatan kelompoknya, daripada sifat individualnya (Horton dan Hunt, 1987).

Menumt Kartono (1992) meskipun dalam gangnya remaja melakukan

(53)

36

didalamnya mereka merasa lebih kokoh dan kuat, dan dapat memainkan peran

penting yang mereka harapkan. Maka kelompok ini dijadikan alas dan dasar martabat

dan harga diri mereka, dimana ego mendapatkan arti khusus, mempunyai posisi dan

dapat melakukan peran yang menonjol.

Remaja yang berada pada masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa

dewasa memiliki ciri khas yang berbeda karena mereka sedang berada dalam

pencarian identitas diri. Perubahan fisik mereka yang mencolok merupakan gejala

primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan pembahan psikologis muncul antara

lain sebagai akibat dari beban fisik itu sendiri (Sarwono, 1994).

Perubahan-perubahan yang terjadi pada diri remaja saat itu, membuat remaja

mengalami kebmgungan. Sementara orang tua melihat gejala tersebut tanpa

memperdulikan lagi sisi psikologis yang sedang dialami oleh remaja. Pasa masa knsis

mi sebenarnya remaja sangat membutuhkan perhatian orang tuanya, namun

kebanyakan hal ini diabaikan oleh orang tuannya, karena orang tua menganggap

bahwa anaknya sudah dewasa dan mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri.

Melihat kondisi demikian akhirnya remaja membentuk kelompok-kelompok informal

dengan teman-temannya. Remaja yang berkelompok mi biasanya memiliki kedekatan

dan keeratan karena mereka merasa senasib dan sama-sama sedang memperjuangkan

kebebasan mereka.

Bagi remaja, kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang

menyiapkan panggung dimana ia dapat menguji din sendiri dan orang lain.

(54)

37

Kelompok sebaya memberikan sebuah tempat kawula muda untuk dapat melakukan sosialisasi dalam suasana nilai-nilai yang bukan ditetapkan oleh orang dewasa,

melamkan ditentukan oleh teman-teman sebayanya. Jadi di dalam kelompok ini

remaja memperoleh dukungan untuk emansipasi dan di sini pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya untuk bertindak sebagai pemimpm

apabila ia mampu untuk melakukannya. Selain dari itu kelompok sebaya juga

mempakan tempat hiburan utama bagi anak-anak belasan tahun (Horrocks dan Benimoff, dalam Hurlock, 1999).

Biasanya keinginan remaja untuk berkumpul dengan kelompoknya terjadi

apabila mereka memiliki aktivitas bersama, semakin senng mereka berkumpul dan

beraktivitas semakin mereka saling mengenai satu dengan lainnya dan pada setiap

anggota kelompok remaja saling mempengamhi satu dengan lainnya, sehingga lama

kelamaan akan terjalin hubungan emosional yang kuat di antara mereka. Apabila

salah satu di antara mereka bermasalah, maka mereka akan sama-sama

merasakannya. Demikian pula jika satu anggota kelompok mempunyai ide bumk dan

sekiranya menguntungkan mereka, maka mereka akan bersedia membantu untuk

mewujudkan ide salah satu anggota tersebut, yang pada akhirnya akan menjadi

cita-cita bersama. Misalnya, 72 pelajar STM tawuran di Cawang Jakarta Timur (Permata,

1997), Gerombolan siswa SMP Tewaskan Seorang Warga (Kompas, 2000). Penstiwa

mi terjadi dikarenakan salah satu anggota kelompok merasa dirinya dilecehkan oleh

(55)

karena itu atas nama solidaritas anggota kelompok lainnya dengan suka rela menyerbu orang lain yang dianggap musuh.

Dengan demikian tidak mengherankan apabila remaja akhirnya melakukan tindakan yang melanggar norma susila dalam masyarakat dan melanggar hukum, semuannya ini dilakukan untuk menjaga agar tidak disingkirkan oleh kelompoknya. Dari uraian di atas terlihat bahwa pada masa remaja, remaja sangat membutuhkan

perhatian khusus baik itu dari keluarga maupun lingkungannya. Karena apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi maka remaja akan mencari perhatian di luar, termasuk perhatian dalam kelompoknya. Mereka sering mengabaikan aturan yang telah ditetapkan oleh hukum. Tindakan mereka itu dikarenakan kondisi psikologis mereka yang belum stabil dan bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana caranya supaya mereka tidak disingkirkan oleh kelompoknya karena pada saat ini mereka masih membutuhkanriya untuk mencari jati diri.

Remaja membutuhkan perhatian dari lingkungan / keluarga

Kelompok Informal

i

Kondisi psikologis yang labil

Perilaku Delinkuen

(56)

39

Pengaruh kehadiran orang lain atau sering disebut dengan Pengaruh sosial

{social influence) membentuk suatu perilaku yang bisa untuk meningkatkan

keinginan individu untuk menampilkan citra yang lebih baik tentang dirinya serta

dapat pula meningkatkan harga diri seseorang. Tetapi perilaku agresif juga dapat

muncul disebabkan adanya kehadiran orang lain yang kemudian membentuk suatu

kemmunan yang mungkin menyebabkan keadaan deindividuasi, dimana individu

merasa bahwa telah kehilangan identitas pribadi dan telah bergabung menjadi satu

kelompok.

Teori yang dikemukan Zimbardo dan Diener (dalam Atkinson,dkk. 1999)

bahwa kondisi tertentu dalam kelompok kadang-kadang membuat individu yang ada

disana mengalami deindividuasi, yaitu perasaan bahwa mereka telah kehilangan

identitas pribadi dan identitas itu telah menjadi identitas kelompok sehingga

melemahnya tanggung jawab pribadi. Hal ini yang menyebabkan kendumya

kekangan terhadap perilaku impulsif dan kondisi emosional dan konflik Iain yang

berkaitan dengan perilaku kerumunan yang tidak beraturan, serta terjadi peningkatan

sensitivitas terhadap isyarat langsung dan mengurangnya kepenilam pada orang lain

Diendividuasx ini adalah pemicu perilaku delinkuen yang berkaitan dengan intensitas

(57)

Suasana awal terjadinya deindividuasi

Keadaan perantara hipotesis

Akibat deindividuasi

Anonimitas

Tingkat rangsang yang tinggi Fokus pada peristiwa eksternal

Kesatuan kelompok yang erat

Berkurangnya kesadaran diri

DEINDIVIDUASI

40

Melemahnya kekangan terhadap perilaku implusif

Meningkatnya kepekaan terhadap isyarat Langsung dalam keadaan emosional saat itu

Tidak sanggup memantau atau mengatur perilaku sendiri Menurunnya perhatian terhadap penilaian orang lain

Melemahnya kemampuan untuk berencana secara rasional

i

Kecenderungan Berperilaku Delinkuen

Skema II

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang akan diajukan adalah :

1. Ada hubungan positif antara intensitas berkelompok informal dengan

kecenderungan berperilaku delinkuen remaja. Semakin tinggi intensitas

berkelompok informal semakin tinggi pula tingkat kecenderungan berperilaku

delinkuennya, semakin rendah intensitas berkelompok informalnya semakin

rendah pula tingkat kecendemngan berperilaku delinkuennya.

2. Ada perbedaan tingkat kenakalan remaja antara remaja yang berasal dari orang

tua yang tingkat pendidikannya rendah dan menengah - tinggi. Kecenderungan

berperilaku delinkuen pada remaja yang dilakukan oleh remaja berasal dan orang

tua yang tingkat pendidikannya rendah akan lebih tinggi daripada remaja yang

(58)
(59)

41

BAB HI

METODE PENELITIAN

A. Identitas Variabel Penelitian

Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, rancangan penelitian yang diajukan

adalah sebagai benkut:

1. Variabel Bebas : Intensitas Berkelompok Informal

2. Validitas Tergantung :Kecendemngan Berperilaku Delinkuen

3. Variabel Kontrol: Tingkat Pendidikan Orang tua

B. Penelitian Difinisi Operasional Variabel

1. Intensitas berkelompok informal adalah sebuah dorongan perilaku yang kuat

pada remaja untuk memenuhi kebutuhan sosialnya yang berhubungan dengan

perkembangan psikososial yang sedang dialaminya dalam kelompok informal.

Dalam hal mi remaja melampiaskan kemginannya akan perhatian yang tidak

diperoleh dan rumah. Selain itu dorongan ini juga terjadi disebabkan karena

keinginan remaja untuk dipuja oleh teman-temanya. Intensitas berkelompok

diketahui dan skor total yang diperoleh subjek. Semakin tinggi skor yang

diperoleh semakin tinggi intensitas berkelompok pada remaja.

2. Kecenderungan berpenlaku delinkuen adalah tinggi rendahnya kemungkinan

remaja untuk melakukan tindakan melangar hukum dan peraturan-peraturan yang

(60)

42

berlaku, serta tindakan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatuan

tercela. Kecenderungan berperilaku delinkuen diketahui dan skor yang diperoleh

subjek melalui skala kecenderungan berpenlaku delinkuen. Semakin tinggi skor

yang diperoleh semakin tingg, kecendemngan berpenlaku delinkuennya.

3- Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang terakhir yang dicapa, orang tua

subjek dalam pendidikan formal. Variabel mi menganalisis tingkat pendidikan

terakhir dan salah satu orang tua subjek, diambil yang paling tinggi dan diketahui

dari identitas subjek dalam angket. Pendidikan dikatakan dasar bila pendidikan

yang ditempuh setmgkat SD dan SMP , menengah - tinggi bila SMU sederajat

dan PT.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian mi adalah siswa SMK Dr. Cipto Ambarawa. Kabupaten.

Semarang. Sampel diambil dan siswa kelas II dan berumur 15-17 tahun, dengan

pertimbangan bahwa perilaku berkelompok dengan teman sebaya dan perilaku

delinkuen memuncak pada usia in, dan sesuai dengan defimsi penlaku delinkuen,

yaitu mempakan perbuatan yang melanggar aturan yang biasanya dilakukan oleh

Gambar

TABEL HALAMAN
TABEL RANGKUMAN ANALISIS

Referensi

Dokumen terkait

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kinerja perusahaan yang diukur dengan kinerja keuangan dan kinerja pasar (saham) yaitu 1) Return on Equity (ROE) yang mengukur

Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral yang kurang (mual, muntah).. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan

Ini adalah juga merupakan salah satu tujuan sedekah laut yang dilaksanakan pada masa sekarang ini, tetapi lain dengan tujuan masa lalu disamping sebagai sarana

Berdasarkan tabel 2 perbedaan kepatuhan mengkonsumsi tablet Fe pada kelompok intervensi setelah diberikan SMS Reminder diperoleh sebanyak 17 ibu hamil (85%) patuh dalam

tidak tahan dan kurang tahan yang proporsinya cukup besar mencapai 94%, maka kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani, dengan umur yang relatif produktif, pendidikan petani

(jadi diibaratkan agar bisa lebih akrab sama seseorang cara yang dipakai adalah dengan menggojlok). Subjek menegaskan bahwasanya dirinya tidak merasa kasihan jika

Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong- royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library). Di