• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERTAHANAN TRADISI PERNIKAHAN PADA KELUARGA KETURUNAN ARAB DI CONDET JAKARTA TIMUR. Ayu Triyana Mardiani Pembimbing : Dr. Apipudin, M.Hum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERTAHANAN TRADISI PERNIKAHAN PADA KELUARGA KETURUNAN ARAB DI CONDET JAKARTA TIMUR. Ayu Triyana Mardiani Pembimbing : Dr. Apipudin, M.Hum."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERTAHANAN TRADISI PERNIKAHAN PADA KELUARGA

KETURUNAN ARAB DI CONDET JAKARTA TIMUR

Ayu Triyana Mardiani

Pembimbing : Dr. Apipudin, M.Hum

Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok 16424 – Indonesia ayutm@hotmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas pemertahanan tradisi pernikahan pada keluarga keturunan Arab di

Condet Jakarta Timur. Skripsi ini membahas perbedaan dan persamaan tradisi pernikahan

pada keluarga keturunan Arab dahulu dan sekarang. Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif yaitu melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pernikahan keturunan Arab di Condet mengacu pada ajaran dan tradisi Islam, juga salah satu

bentuk dari asimilasi terhadap kebudayaan sekitar. Tradisi pernikahan yang dipertahankan

yaitu perjodohan, malam pacar, akad nikah, resepsi pernikahan, dan ngunduh mantu. Hanya

waktu, tempat dan prosesi pelaksanaannya saja yang membedakannya antara dahulu dan

sekarang.

Kata Kunci:

Akad Nikah, Asimilasi, Budaya, Condet, Islam, Malam Pacar, Ngunduh Mantu, Tradisi, Perjodohan, Resepsi Pernikahan

Retention Wedding Traditions in The Arab Descent Family

in Condet East Jakarta

Abstrack

This focus of this study is discusses retention wedding traditions in Arab families in Condet

East Jakarta. This study is discusses the differences and similarities of the wedding on the

family tradition of Arab descent past and present. This study used qualitative methods through

interviews and observation. The results show that the marriage of Arab descent in Condet

refers to the teachings and traditions of Islam, is also a form of assimilation to the surrounding

culture. Tradition maintained that marriage matchmaking, malam pacar, ceremony, wedding

reception, and ngunduh mantu. Only time, any place and procession implementation

distinguishes between past and present.

Keywords:

Assimilation, Ceremony, Culture, Condet, Islam, Malam Pacar, Marriage Matchmaking, Ngunduh Mantu, Tradition, Wedding Reception

(2)

Pendahuluan

Pernikahan merupakan pengikatan janji nikah antara dua orang yang dilakukan secara hukum agama, hukum negara, maupun hukum adat. Pernikahan dilangsungkan dengan melakukan rangkaian upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku di suatu wilayah. Upacara pernikahan itu sendiri memiliki berbagai variasi dan ragam adat yang terdapat di setiap bangsa dan biasanya disesuaikan dengan agama, budaya, maupun kelas sosial. Tujuan diadakannya upacara tersebut tidak lain adalah untuk mengenang peristiwa penting dalam kehidupan seseorang sehingga dirasa perlu disakralkan. Upacara pernikahan di Indonesia dilakukan dengan dua cara yaitu secara tradisional dan modern. Ada kalanya pengantin menggunakan kedua cara tersebut yang dilaksanakan dalam acara yang terpisah. Upacara tradisional merupakan upacara yang dilakukan menurut aturan-aturan adat

setempat, sedangkan upacara modern dilakukan dengan mengikuti aturan-aturan dari luar negeri.1

Di Indonesia terdapat bermacam-macam etnik, yaitu etnik yang berasal dari dalam Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia. Masing-masing etnik tersebut memiliki tradisi pernikahan sendiri. Berbagai tradisi pernikahan yang dimiliki oleh etnik-etnik yang ada di Indonesia merupakan suatu bentuk budaya setempat yang diturunkan secara turun-temurun. Tradisi tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh budaya etnik setempat. Sehingga, walaupun mempunyai beragam tradisi, namun, pada dasarnya tradisi pernikahan yang mereka lakukan adalah sama. Perbedaannya hanya terdapat pada istilah, waktu, dan tata cara pelaksanaannya. Begitu juga berlaku pada tradisi pernikahan etnik yang berasal dari luar Indonesia. Mereka saling menyesuaikan dengan tradisi asli mereka dan tradisi dari etnik lain.

Bangsa Arab, misalnya, sejak zaman dahulu telah banyak melakukan perdagangan di Indonesia. Selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam melalui perkawinan dengan penduduk setempat. Akhirnya, lahirlah etnik Arab-Indonesia. Tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi pun mengalami beberapa perubahan yang disesuaikan dengan budaya tempat tinggal mereka. Masyarakat Arab yang terbentuk di kampung-kampung Arab mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, dan kultur. Kemudian berlanjut dan mengalami perubahan kelompok, komunitas, dan organisasinya sehingga terjadi interaksi dalam rangka adaptasi (penyesuaian). Perubahan seperti ini dipahami sebagai bentuk akulturasi

(asimilasi kultural).2 Akulturasi yang sudah terjadi berabad-abad yang lalu membuat mereka sudah dianggap

sebagai orang pribumi.

Di kawasan DKI Jakarta dari zaman kolonial sampai sekarang terdapat berbagai macam etnik walaupun jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah pribumi di Jakarta. Salah satu di antaranya adalah etnik Arab. Kemudian etnik tersebut bermukim di daerah tersendiri atau di kampung-kampung yang ada di pinggiran.

Biasanya mereka menetap di wilayah tersebut disesuaikan dengan pekerjaan dan status sosial ekonomi mereka.3

Condet merupakan salah satu kawasan perkampungan Arab terbesar di Jakarta selain Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Condet memiliki tiga kelurahan yaitu Balekambang, Batu Ampar, dan Kampung Tengah.

Komunitas etnik Arab mulai berdatangan ke Condet sejak tahun 1970-an. Dahulu Condet merupakan tempat pemukiman etnik Betawi. Bahkan Condet sempat dijadikan sebagai Cagar Budaya Betawi oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1976. Dikarenakan mayoritas etnik Betawi di Condet beragama Islam, orang keturunan Arab mudah berinteraksi dan melakukan kegiatan sosial ekonomi di wilayah tersebut. Selain itu, beberapa tradisi mereka berhubungan erat dengan agama Islam sehingga memudahkan mereka dalam berinteraksi seperti tradisi maulid dan haul.

Di komunitas etnik Arab Condet terdapat beberapa tradisi atau kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kekhasan tradisi ini ditandai oleh manifestasi agama Islam dalam kehidupan kesehariannya. Misalnya, dalam melakukan kegiatan perdagangan, mereka umumnya lebih berorientasi pada peralatan ibadah agama Islam; komunikasi di antara mereka masih menggunakan bahasa Arab; serta kesenian mereka cenderung bernafaskan Islam seperti seni menulis kaligrafi, nasyid, dan seni baca Al-Qur’an. Selain itu di dalam pernikahan orang keturunan Arab juga terdapat tradisi tersendiri. Di dalam perkawinan inilah muncul tradisi khas dari komunitas etnik Arab Condet yang telah berasimilasi dengan etnik lain di wilayah tempat tinggal mereka.

                                                                                                               

1 Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Lkis, 2007, hlm. 23.

2 Akulturasi adalah suatu bentuk perubahan budaya yang diakibatkan oleh terjadinya kontak antara kelompok-kelompok budaya, yang

menekankan penerimaan pola-pola dan budaya baru dan ciri-ciri masyarakat pribumi oleh kelompok-kelompok minoritas. (Deddy Mulyana, Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya (Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya), Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2005, hlm. 158-163)

(3)

Di kawasan DKI Jakarta dari zaman kolonial sampai sekarang terdapat berbagai macam etnik walaupun jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah pribumi di Jakarta. Salah satu di antaranya adalah etnik Arab. Kemudian etnik tersebut bermukim di daerah tersendiri atau di kampung-kampung yang ada di pinggiran.

Biasanya mereka menetap di wilayah tersebut disesuaikan dengan pekerjaan dan status sosial ekonomi mereka.4

Condet merupakan salah satu kawasan perkampungan Arab terbesar di Jakarta selain Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Condet memiliki tiga kelurahan yaitu Balekambang, Batu Ampar, dan Kampung Tengah.

Komunitas etnik Arab mulai berdatangan ke Condet sejak tahun 1970-an. Dahulu Condet merupakan tempat pemukiman etnik Betawi. Bahkan Condet sempat dijadikan sebagai Cagar Budaya Betawi oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1976. Dikarenakan mayoritas etnik Betawi di Condet beragama Islam, orang keturunan Arab mudah berinteraksi dan melakukan kegiatan sosial ekonomi di wilayah tersebut. Selain itu, beberapa tradisi mereka berhubungan erat dengan agama Islam sehingga memudahkan mereka dalam berinteraksi seperti tradisi maulid dan haul.

Di komunitas etnik Arab Condet terdapat beberapa tradisi atau kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kekhasan tradisi ini ditandai oleh manifestasi agama Islam dalam kehidupan kesehariannya. Misalnya, dalam melakukan kegiatan perdagangan, mereka umumnya lebih berorientasi pada peralatan ibadah agama Islam; komunikasi di antara mereka masih menggunakan bahasa Arab; serta kesenian mereka cenderung bernafaskan Islam seperti seni menulis kaligrafi, nasyid, dan seni baca Al-Qur’an. Selain itu di dalam pernikahan orang keturunan Arab juga terdapat tradisi tersendiri. Di dalam perkawinan inilah muncul tradisi khas dari komunitas etnik Arab Condet yang telah berasimilasi dengan etnik lain di wilayah tempat tinggal mereka. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas rumusan masalah yang akan peneliti bahas adalah bagaimana prosesi tradisi pernikahan masyarakat Arab di Condet dahulu dan sekarang dan apa perbedaan prosesi tradisi pernikahan masyarakat Arab di Condet dahulu dan sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran tradisi pernikahan etnik keturunan Arab di Condet yang masih dipertahankan dan mengetahui perbedaan tradisi pernikahan etnik keturunan Arab di Condet dahulu dan sekarang.

Tinjauan Teoritis

Penulis menggunakan beberapa teori dalam melakukan penelitian ini yaitu yang pertama adalah etnisitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa

(baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.5 Fredrik Barth menggunakan

istilah etnik merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Sedangkan etnisitas adalah hal yang berhubungan dengan etnik dan etnis seperti identitas, budaya, gaya hidup, dan lain-lain. Singkatnya, istilah etnik adalah suku atau kelompok orang-orang, sedangkan istilah

etnis adalah anggota suatu suku atau orangnya.6 Hanya saja istilah etnik lebih banyak digunakan dibandingkan

dengan istilah suku karena istilah etnik mencakup pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian

suku.7

Kedua, tradisi dan budaya. Tradisi atau dalam bahasa Latin traditio yang artinya ”diteruskan” adalah suatu kebiasaan yang sudah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat di dalam suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Tradisi memiliki suatu ciri khas yaitu tradisi itu mempunyai informasi yang diteruskan atau diturunkan turun-menurun dari generasi ke generasi baik tertulis maupun tidak tertulis karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Selain tradisi yang mendasari di dalam

suatu kehidupan masyarakat, kebudayaan juga erat hubungannya dengan masyarakat.8 Sedangkan kebudayaan

menurut Melville J. Herskovits adalah segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan

                                                                                                               

4 Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, Depok: Masup Jakarta, 2007, hlm. 76. 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 399.

6 Fredrik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 11. 7 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 399.

(4)

segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Selo Soemardjan

dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.9

Ketiga, akulturasi dan asimilasi. Akulturasi adalah suatu bentuk perubahan budaya yang diakibatkan oleh terjadinya kontak antara kelompok-kelompok budaya, yang menekankan penerimaan pola-pola dan budaya baru dan ciri-ciri masyarakat pribumi oleh kelompok-kelompok minoritas. Sebenarnya, perubahan itu mungkin terjadi pada kelompok minoritas seperti juga terjadi pada kelompok dominan. Namun, seperti disebutkan tadi, perubahan pada kelompok pertama lebih ditekankan daripada perubahan pada kelompok kedua, karena diasumsikan bahwa perubahan pada kelompok-kelompok minoritas lebih besar daripada perubahan pada masyarakat pribumi. Perubahan-perubahan yang diukur terjadi meliputi perubahan pada ciri-ciri budaya, nilai-nilai budaya, dan rasa memiliki, yang semuanya berhubungan dengan etnisitas. Lebih lanjut, menurut Milton Gordon bahwa kelompok-kelompok etnik tetap ada meskipun perbedaan-perbedaan budaya di antara mereka surut atau bahkan sirna. Gordon berpendapat bahwa asimilasi dan akulturasi adalah dua proses yang berbeda. Masing-masing proses bisa jadi berlangsung secara independen. Akulturasi merupakan proses dua arah sedangkan asimilasi adalah proses satu arah. Gordon membedakan tujuh dimensi asimilasi, yaitu: asimilasi kultural atau perilaku (akulturasi), asimilasi struktural, asimilasi marital, asimilasi identifikasional, asimilasi penerimaan sikap, asimilasi penerimaan perilaku, dan asimilasi kewarganegaraan.

Keempat, amalgamasi. Amalgamasi adalah istilah perkawinan campur antar etnik. Amalgamasi biasa dikaitkan

dengan asimilasi budaya karena berkaitan dengan interaksi antara dua budaya berbeda.10 Kelima, stratifikasi

sosial. Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam

kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).11 Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas sosial lebih tinggi dan kelas

sosial yang lebih rendah. Keenam, sistem kekerabatan keluarga. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang

bersangkutan.12

Ketujuh, arena sosial. Arena adalah ruang khusus yang ada di masyarakat. Arena sosial berkaitan erat dengan habitus dan kapital. Pierre Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas

perilaku manusia.13 Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia dan tercipta

melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Kapital adalah modal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Kedelapan, pola pemukiman penduduk. Menurut Prof. Bintarto, faktor-faktor yang mempengaruhi pola pemukiman penduduk yaitu bentuk permukaan bumi (relief),

keadaan tanah, keadaan iklim, keadaan ekonomi, dan kultur penduduk.14 Berdasarkan faktor-faktor di atas,

Bintarto membagi pola pemukiman penduduk atas tiga jenis: pola pemukiman memanjang (linear), pola pemukiman memusat, dan pola pemukiman menyebar.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Condet, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramadjati, Jakarta Timur, yaitu wilayah yang memiliki populasi orang-orang keturunan Arab. Penelitian akan difokuskan pada tradisi pernikahan orang-orang keturunan Arab di Condet. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian studi kasus yang bertujuan untuk melakukan deskripsi tentang proses asimilasi dan akulturasi keturunan Arab yang berlokasi di daerah Condet Jakarta Timur. Penelitian ini dilakukan di daerah Condet, Jakarta Timur. Penelitian dikhususkan di kelurahan Balekambang, RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 05, Kecamatan Kramadjati, Jakarta Timur.

Populasi penduduk berjumlah 27.643 jiwa, terdiri dari laki-laki 14.316 jiwa dan perempuan 13.327 jiwa.15

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dan observasi.

Etnik Keturunan Arab

                                                                                                               

9 Ibid.

10 Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi, Jakarta: Esis Erlangga, 2001, hlm. 63. 11 Soekanto, Op, Cit., hlm. 220.

12 George Ritzer dan Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi. Jil 6, Bantul: Kreasi Wacana, 2011, hlm. 24. 13 Arizal Mutahir, Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2011, hlm. 34. 14 Bintarto R, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989, hlm. 56.

(5)

Asal-usul keturunan Arab di Indonesia dimulai pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi. Bermula para perantau Arab yang melakukan kegiatan perdagangan ke Indonesia yang akhirnya menetap sampai berdiri kerajaan-kerajaan Islam pada abad ke-13 Masehi. Orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari Hadramaut. Sebagian lagi ada yang berasal dari Maskat, tepian Teluk Persia, Yaman, Hijaz,

Mesir atau dari pantai Timur Afrika.16 Hubungan antar kelompok pedagang Arab dengan masyarakat pribumi

terwujud secara bertahap. Mereka merantau ke Indonesia tanpa membawa istri-istrinya dan seluruhnya terdiri dari laki-laki, tua-muda dan anak-anak. Kondisi yang sedemikian menyebabkan pedagang Arab tersebut mengadakan jalinan kekeluargaan melalui pernikahan dengan penduduk pribumi, beranak-pinak dan tidak

kembali lagi ke negeri asal mereka.17

Identitas Etnik Keturunan Arab

Etnik juga erat kaitannya dengan identitas kelompok etnik dengan ciri-ciri fisik ataupun ciri-ciri kehidupan suatu kelompok dalam suatu masyarakat sehingga bisa diketahui perbedaan antar etnik yang ada di Indonesia. Etnik Arab di Indonesia mempunyai perbedaan yang mencolok seperti ciri-ciri fisik, bahasa, budaya, agama, busana, dan lain sebagainya. Sebagian besar orang Arab memiliki ciri-ciri fisik seperti berbadan tinggi besar, bermata besar, berhidung mancung, dan berkulit putih. Namun ciri-ciri fisik ini tidak selalu menandakan bahwa keturunan Arab seperti itu karena banyak di antara mereka yang telah bercampur dengan orang Indonesia. Identitas yang lain adalah terlihat dari gaya berpakaian dan perilaku. Pada kelompok sayid, para pria dari kelompok ini menggunakan baju putih panjang dengan topi atau peci dan pada acara spesial ada tambahan jubah. Bahasa yang digunakan sehari-hari juga sedikit banyak menggunakan bahasa Arab, seperti gahwah yang berarti

kopi, ane ente yang berarti saya anda, gamis yang berarti baju, dan lain-lain.18 Agama juga merupakan salah

satu ciri khas yang mendasar dari sebuah etnik. Etnik Arab di Indonesia adalah orang-orang yang beragama Islam. Dikarenakan itu mereka dapat dengan mudah berinteraksi dengan budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ciri yang lain adalah ciri mengenai arena sosial etnik Arab. Sebagian besar arena sosial orang Arab dalam dunia perekonomian adalah berdagang, walaupun ada juga yang bekerja di sektor swasta maupun menjadi pegawai negeri. Hal ini mereka lakukan sampai sekarang karena dari zaman dahulu orang-orang Arab merantau adalah untuk berdagang. Arena keagamaan, seperti dakwah di masjid dan tradisi

keagamaan seperti pembacaan maulid dan perayaan haul menjadi salah satu ciri khas etnik Arab di Indonesia.19

Stratifikasi Sosial Masyarakat Keturunan Arab

Masyarakat keturunan Arab di Indonesia terbagi ke dalam golongan-golongan yang berbeda. Penggolongan ini didasarkan atas keturunan dan status sosial mereka di masyarakat. Penggolongan masyarakat keturunan Arab ini agak sedikit berbeda dengan masyarakat Arab Hadramaut pada umumnya. Pada masyarakat Arab Hadramaut, masyarakatnya terbagi ke dalam empat golongan yang berbeda, yaitu: golongan Sayid, golongan suku-suku, golongan menengah, dan golongan budak. Akan tetapi, penggolongan masyarakat keturunan Arab di Indonesia terbagi menjadi dua golongan saja. Penggolongan ini terjadi karena mereka sudah keluar dari tanah Arab dan sudah berasimilasi dengan kebudayaan lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat keturunan Arab di

Indonesia terbagi atas golongan Sayid dan golongan non-Sayid.20

Golongan yang pertama yaitu golongan Sayid. Golongan sayid adalah keturunan Husein, cucu Muhammad dari perkawinan Fatimah dengan Ali ibn Abi Thalib. Mereka dikenal dengan sebutan Habib (jamak: Habaib) untuk laki-laki, sedangkan perempuan mereka disebut Hababah atau Syarifah. Kata Sayid (jamak: Sadah, feminin:

Syarifah) hanya digunakan sebagai atribut atau keterangan, bukan sebagai gelar. Golongan yang kedua yaitu

golongan non-Sayid. Penamaan golongan non-Sayid karena mereka terlahir bukan dari keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Golongan ini merupakan perpaduan antara golongan kaum menengah dengan golongan kaum

budak. Biasanya mereka dibedakan dengan golongan Sayid berdasarkan status sosial mereka di masyarakat.21

Arena Sosial Masyarakat Keturunan Arab

                                                                                                               

16 Hussen Abdullah Badjerei. Al-Irsyad, Jakarta: PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, 1987, hlm. 34. 17 Badjerei, Op, Cit., hlm. 77.

18 Observasi perilaku di kelompok keturunan sayid.

19 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013.

20 L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1986, hlm. 33-34 21 Ibid., hlm. 34.

(6)

Masyarakat keturunan Arab sejak kedatangannya di Indonesia terkenal dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan berdagang. Kehidupan berdagang ini sudah menjadi ciri khas mereka dari dulu sampai sekarang. Di Indonesia jarang sekali ditemukan keturunan Arab yang sama sekali tidak meminati perdagangan. Dalam arena keagamaan, warga keturunan Arab berperan penting. Ada dua kubu yang masing-masing melakukan kegiatannya yang didelegasikan oleh dua masjid, yaitu masjid yang mewakili aliran Sayid/Habib, dimana banyak berperan warga keturunan Arab dari golongan Sayid dalam segala kegiatan sosial keagamaan, seperti dalam membantu ekonomi masyarakat yang kekurangan/kaum dhuafa. Juga masjid yang mewakili aliran Al-Irsyad yaitu warga keturunan Arab dari golongan Al-Irsyad yang berkemampuan memberikan bantuannya kepada mereka yang kekurangan seperti bantuan sembako terutama dalam masa krisis ekonomi, baik secara rutin

maupun berkala.22 Arena sosial mereka yang banyak berkaitan dengan usaha-usaha perekonomian adalah

sebagai berikut: sebagai pedagang/pengusaha bahan-bahan bangunan (material), sebagai pedagang/pengusaha meubel/furniture, sebagai pedagang minyak wangi dan madu, sebagai developer perumahan/real estate, sebagai makelar/perantara jual beli tanah, rumah, kendaraan, dan barang-barang elektronik, sebagai pedagang kain dan

batik, dan sebagai pedagang buku-buku/kitab-kitab keagamaan.23

Dakwah Orang-orang Arab dalam Perkembangannya di Indonesia

Pada zaman kolonial Belanda, seorang tokoh alim ulama, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, berinisiatif mendirikan sebuah perguruan Islam, Jami’at Kheir, tahun 1901. Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan umum. Bersama Abubakar bin Ali Shahab, bergabung sejumlah pemuda Alawiyyin yang mempunyai kesamaan tekad memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda jahat Belanda yang anti-Islam. Mereka antara lain, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Al Habsyi, dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama ini, Jami’at Kheir tumbuh pesat. Mereka lantas memindahkan pusat organisasi ini dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas

Mansyur, Tanah Abang).24

Pentingnya keberadaan Jami’at Kheir terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat berkala) dan mendirikan suatu sekolah dengan cara yang modern. Organisasi ini mendapat pengakuan secara hukum dari pemerintah Belanda pada 17 Juli 1905. Kegiatan organisasi ini meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl Kebon Kacang Raya), serta cabang Jami’at Kheir di Tanah Tinggi, Senen. Organisasi ini juga dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam. Sebut misalnya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H Samanhudi (pendiri dan tokoh Syarekat Dagang Islam/SDI), dan H Agus Salim.

Jami’ah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah

Di tahun 1913, bersama beberapa tokoh Arab non-sayyid, Ahmad Surkati mendirikan organisasi baru, Jam’iyah

Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah (Asosiasi Arab untuk perbaikan dan pembimbingan) yang lebih dikenal

dengan nama Al-Irsyad. Organisasi ini dengan cepat berkembang dan mendapat pengakuan pemerintah Belanda pada 6 September 1914. Pada awalnya Al-Irsyad memusatkan perhatian pada bidang pendidikan terutama pada masyarakat Arab. Di samping itu juga memberikan perhatian pada permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat keturunan Arab walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerja sama dengan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah dan Persatuan

Islam.25 Organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatiannya kepada persoalan-persoalan yang lebih luas yang

mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia. Sejak didirikan oleh Ahmad Surkati, Al-Irsyad telah mengalami banyak perkembangan dengan berbagai masalah yang dihadapinya baik secara intern maupun ekstern. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Al-Irsyad yang hingga saat ini telah memiliki 49 cabang di 20 provinsi yang tersebar di seluruh pelosok kota di Indonesia seperti Jakarta, Cirebon, Semarang, Solo,

Banyuwangi, Tegal, Pekalongan, Papua, dan lain-lain.26

                                                                                                               

22 Ibid., hlm. 80.

23 van den Berg, Op. Cit., hlm. 81.

24 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1995)

25 Kees Grijins, Peter J.M. Nas, Jakarta-Batavia Socio-cultural Essays, Leiden: KITLV Press, 2000, hlm. 152-153.

(7)

Persatuan Arab Indonesia (PAI)

Golongan Alawi mendirikan ar-Rabitah al Alawiyah pada tahun 1928. Organisasi ini tujuan utamanya mempererat persaudaraan sesama Alawi. Berbagai usaha mendamaikan golongan ini selalu gagal. Perseteruan kedua belah pihak berakhir setelah terbentuknya Persatuan Arab Indonesia (PAI) tahun 1934 yang diketuai oleh Abdurrahman Baswedan, beliau lebih akrab dipanggail AR Baswedan. Agenda utama PAI untuk memperbaiki keadaan dan kedudukan keturunan Arab dan masyarakat Arab pada umumnya. Selain itu mempererat

perhubungan antara sesama keturunan Arab dan etnis lain sesama penduduk Indonesia.27 Pada tahun 1940,

dalam konggresnya akhirnya PAI menjadi sebuah organisasi yang bersifat politik, kata “persatuan” menjadi “partai”. Tujuannya jelas menyatakan bahwa PAI mendidik keturunan Arab supaya menjadi putera-puteri Indonesia yang berbakti kepada tanah airnya dan masyarakatnya.

Bekerja membantu segala daya dan upaya politik, ekonomi, dan sosial menuju keselamatan rakyat dan tanah air Indonesia. Kehadiran sejumlah ormas Islam (Jami’at Kheir, Al-lrsyad, PAI) yang dibintangi oleh komunitas Arab tersebut di atas membuktikan bahwa di samping aktifitas perdagangan dan dakwah Islam, tidak sedikit kaum imigran Hadhrami ini berhasil memasuki kancah politik dan menduduki posisi penting. Kenyataan ini

mempercepat terjadinya asimilasi dan percepatan proses dakwah islamiyah di Indonesia.28 Percepatan dakwah

islamiyah ditandai dengan terwujudnya jaringan intelektual Ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah (alHaramain). Jaringan tersebut terbentuk berkat sejumlah ulama yang datang dari berbagai belahan dunia Islam, termasuk di dalamnya para ulama dari dunia Melayu-Nusantara, tidak terkecuali Jakarta yang membawa semacam “tradisi kecil Islam” dari wilayah asalnya, dan kemudian berinteraksi dengan sejumlah tradisi kecil Islam lain, sehingga pada akhirnya membentuk sebuah “tradisi besar Islam” yang sangat kosmopolit, dan

kemudian tersebar kembali ke berbagai wilayah melalui jaringan keulamaan yang terbangun.29

Pola Pemukiman Masyarakat Keturunan Arab

Dilihat dari status sosial dan arena sosial keturunan Arab di masyarakat, sebagian besar keturunan Arab di Indonesia memiliki kehidupan ekonomi yang terbilang cukup baik. Keadaan ekonomi mereka yang mampu menopang pembiayaan hidup mereka sehari-hari mempengaruhi pola pemukiman komunitas keturunan Arab. Pola pemukiman ini berdasarkan keadaan ekonomi masing-masing individu. Tidak dipungkiri jika keadaan ekonomi orang Arab yang memiliki standar kehidupan biasa saja maka rumah-rumah mereka bercampur dengan masyarakat sekitar. Ada di antara mereka yang tinggal di perkampungan dan di perumahan. Mereka membaur

dengan penduduk sekitar dan tidak tinggal mengelompok.30 Hasil observasi penulis terhadap salah satu acara

pernikahan orang Arab di daerah Lenteng Agung menunjukkan bahwa keturunan Arab yang memiliki keadaan ekonomi yang sangat baik lebih cenderung untuk hidup mengelompok.

Rumah-rumah orang Arab yang hidup mengelompok memiliki rumah-rumah yang besar dan membentuk

komplek perumahan sendiri.31 Biasanya mereka membentuk komplek perumahan sendiri dan anggotanya adalah

keluarga mereka sendiri. Rumah-rumah penduduk keturunan Arab terlihat padat namun tidak terlihat kesan kumuh. Pada pola pemukiman keturunan Arab yang menyebar terlihat diselingi oleh satu, dua, atau tiga rumah penduduk bukan keturunan Arab. Memang di beberapa tempat ada dua, tiga, empat, atau lima rumah penduduk keturunan Arab yang tampak mengelompok, tetapi selebihnya adalah rumah-rumah penduduk bukan keturunan Arab dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Rumah-rumah penduduk Arab sukar dibedakan dengan rumah-rumah penduduk bukan keturunan Arab, baik dari segi bentuknya, besarnya, bahannya, mau pun warnanya. Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang bertingkat, ada yang luas, ada yang sempit, ada yang mengikuti model

rumah Arab dan lain-lain tergantung pada kemampuan dan status sosial pemiliknya.32

Kampung Arab di DKI Jakarta

Kampung Arab di Jakarta dapat dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu mereka yang pertama kali datang pada zaman kolonial Belanda, dan kedua yaitu mereka yang datang pada zaman setelah kemerdekaan. Kampung Arab pada zaman kolonial Belanda yaitu Pekojan, Krukut, Tanah Abang, Petamburan, Kampung Melayu, Pasar Rumput, dan Pasar Minggu. Kampung Arab yang baru saja ada keberadaannya yaitu Rawabelong dan Condet. Meskipun wilayah ini disebut “Kampung Arab”, namun tidak benar-benar didominasi hanya orang Arab. Pada

                                                                                                               

27 Ibid.

28 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1995)

29 Ibid.

30 Wawancara dengan salah satu anggota keluarga Alatas, Sabtu, 23 Februari 2013. 31 Observasi pola pemukiman keturunan Arab di daerah Lenteng Agung. 32 Observasi pola pemukiman keturunan Arab di daerah Balekambang, Condet.

(8)

kampung Arab zaman kolonial mereka tinggal mengelompok yang dikelilingi oleh orang Cina dan penduduk

pribumi. Sekarang, kampung Arab sudah menghilang dan digantikan dengan kampung Cina.33 Kampung Arab

dibentuk selama zaman kolonial Belanda dengan kebijakan tidak mengizinkan orang-orang Arab atau Cina untuk keluar dari Batavia tanpa lisensi. Mereka dilokalisasi di daerah tertentu sehingga mereka dapat dipantau dengan mudah. Orang-orang Arab mengambil lokasi di Krukut, Pekojan, Tanah Abang, Petamburan, dan Pasar Minggu. Waktu itu hanya Krukut dan Pekojan sebagai daerah pusat sementara lainnya adalah pinggiran Batavia (Jakarta).

Jika Krukut didominasi oleh Gabails, maka Pekojan didominasi oleh Ba-Alwis.34

Perkembangan Jakarta yang dibarengi oleh migrasi dari luar Jakarta serta migrasi internal menyebabkan perubahan wilayah tempat tinggal mereka. Perubahan pertama adalah hilangnya beberapa kampung Arab di pusat kota Jakarta, yaitu Krukut dan Pekojan. Orang-orang Arab di wilayah Krukut dan Pekojan Jakarta Utara telah digulingkan oleh orang-orang Cina dan telah pindah ke daerah Kampung Melayu dan Condet Jakarta Timur. Krukut dan Pekojan sekarang telah berubah menjadi kampung Cina. Orang-orang Arab di Tanah Abang dan Petamburan telah dipindahkan karena pembangunan kota dan telah pindah ke Rawabelong Jakarta Barat. Bahkan pemakaman wakaf untuk keturunan Arab di Tanah Abang telah dihapus oleh pemerintah lokal pada tahun 1975 dan pindah ke Tanah Kusir. Meskipun pemakaman ini adalah salah satu simbol dan pusat komunikasi keturunan Arab di Jakarta khususnya pada masa ziarah. Hilangnya pemakaman di Tanah Abang ini

sebagai salah satu media komunikasi keturunan Arab telah dihapus.35 Hilangnya kampung Arab di Krukut,

Pekojan, Tanah Abang, dan Petamburan telah bertepatan dengan pembentukan Rawabelong dan Condet sebagai kampung Arab. Oleh karena itu dari beberapa situs kampung Arab telah menyusut hanya tinggal tiga situs, dan jika Pasar Minggu, Rawabelong, dan Condet gagal untuk menjadi kampung Arab maka kampung Arab hanya

akan sebagai cerita dalam sejarah Jakarta.36

Populasi Etnik Keturunan Arab di DKI Jakarta

Pada sub bab ini penulis bermaksud memberikan sedikit gambaran demografi mengenai keturunan Arab di Indonesia dengan menggunakan data sensus tahun 2000 dan 2010 yang menyajikan distribusi dan jumlah etnik di seluruh Indonesia, termasuk jumlah dan persebaran keturunan Arab di negeri ini. Sensus tahun 2000 merupakan sensus pertama di Indonesia yang memberikan informasi tentang suku-bangsa setelah sensus tahun

1930.37 Ternyata dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, hanya dua provinsi saja yang mencatat jumlah orang

Arab yaitu provinsi Jawa Timur dan provinsi Jawa Tengah dengan jumlah penduduk keturunan Arab sebesar 22.747 jiwa di Jawa Timur dan 10.751 jiwa di Jawa Tengah. Artinya di provinsi lainnya jumlah keturunan Arab sangat kecil sehingga dimasukkan dalam kategori “lain-lain”. Sedangkan pada sensus terbaru yaitu tahun 2010, sudah tidak dicantumkan lagi provinsi yang mencatat jumlah orang Arab di Indonesia sehinggal dimasukkan

dalam kategori “asing/luar negeri”.38

Bandingkan dengan Cina di mana terdapat sebelas provinsi yang mencatat adanya keturunan Cina di provinsi terkait pada sensus tahun 2000. Jumlah mereka masing-masing 460.002 jiwa untuk DKI Jakarta; 352.937 jiwa untuk Kalimantan Barat; 190.968 jiwa untuk Jawa Timur; 176.853 jiwa untuk Riau; 165.531 jiwa untuk Jawa Tengah; 163.255 jiwa untuk Jawa Barat; 15.029 jiwa untuk Sumatra Barat; 103.736 jiwa untuk Bangka Belitung; 10.630 jiwa untuk Bali; 9.942 jiwa untuk Yogyakarta; 90.053 jiwa untuk Banten. Jumlah keturunan Cina terbesar di Jakarta, padahal untuk Jakarta keturunan Arab masuk ke dalam kategori lain-lain yang berarti jumlah keturunan Arab di ibukota tidak signifikan. Bahkan Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai satu-satunya provinsi dimana terdapat keturunan Arab yang cukup signifikan, ternyata jumlah keturunan Arab di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya 1,92% dibandingkan dengan keturunan Cina. Artinya data sensus menunjukkan jumlah orang

Arab di Indonesia ternyata sangat kecil, jauh kecil dibandingkan dengan keturunan Cina.39

Marga-marga Keturunan Arab di Indonesia

Berikut akan disebutkan marga-marga keturunan Arab Sayid yang ada di Indonesia bahkan di dunia, yaitu: Alyadrus, Bin Shahab, Al Mashyhur, Alattas, Assegaf, Ba Agil, Al Musawa, Al Munawwar, Al Hinduan, Baabud, Alhamid, Basmeleh, Assegaf Al Fakhir, Bufteim (Sheh Abubakar), Sheh Abubakar, Al Muhdar, Bin

                                                                                                               

33 Yasmine Shahab, Ethnic Village in Urban Life: The Case of Arab in Jakarta. 34 Ibid.

35 Yasmine Shahab, Ethnic Village in Urban Life: The Case of Arab in Jakarta. 36 Ibid.

37 Sensus yang pernah dilakukan di Indonesia adalah sensus tahun 1930, 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010. Sensus yang menyajikan

data suku bangsa adalah sensus tahun 1930, 2000, dan sensus tahun 2010.

38 Sensus penduduk BPS tahun 2000 dan 2010 39 Sensus penduduk BPS tahun 2000.

(9)

Jindan, Al Khamur, Al Haddar, Al Hied, Al Hamid, Al Madehij, Al Masilah, Al Syilli, Al Junaid Al Ahdhar, Al Babrik, Al Kherid, Al Hamdun Bajahdab, Baraqbah, Babu Dibjah, Al Munaffar bin Hamid, Al Mashyhur Marzak, Fad’aq.

Al Mudhir, Abu Numai, Al Abu Numai Assatiri, Mauladawilah, Al Mugebel, Mulakhela, Bin Yahya, Bak Mar, Al Bar, Assyerem, Al Magdhi, Al Khaneman, Al Hamil, Al Ba’Ali, Bil Fagih, Al Beidh, Al Jabhan, Al Rakhmili, Al Balghais, Al Kaff, Al Jufri, Al Bahar, Al Habsyi, Al Shatiri, Basyeban, Al Syambal, Al Junaid, Ba Harun, Al Sri, Al Gadri, Jamalullail, Al Maghrum, Bin Sahil, Al Aidid, Al Baskotah, Al Haddad, Al Bafaraj, Al Hasni, Al Masyhur Al Hasni, Al Hasyim, Ba Hasyim, Al Nadhir, Bin Smith, Ba’bud Maghfun, Bin Thahir, Ba

Faqih, Basurrah.40 Untuk masyarakat keturunan Arab yang bukan sayid yaitu marga-marga di luar marga-marga

keturunan sayid yang sudah disebutkan di atas, yaitu Abud, Abdul Azis, Addibani, Al Katiri, Ba’asyir, Bachrak, Badjubier, Bahasuan, Baswedan, Kawileh, Nahdi, Sungkar, Bahafdullah, Bawazier, Thalib, Ba’alwi, dan lain-lain.

Deskripsi Wilayah DKI Jakarta dan Kota Administrasi Jakarta Timur

Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima wilayah Kota Administrasi dan satu Kabupaten Administratif, yakni: Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2. Di sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya tiga belas sungai dan dua buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut

Jawa.41 Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta menurut sensus penduduk BPS tahun 2010 sebanyak 9.607.787

jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi DKI Jakarta sebanyak 4.870.938 jiwa dan perempuan sebanyak 4.736.849 jiwa. Menurut data BPS tahun 2010 penduduk Jakarta yang masuk ke dalam sepuluh etnis terbesar di Indonesia terdiri atas etnis Jawa berjumlah 3.453.453 jiwa, Betawi berjumlah 2.700.722 jiwa, Sunda berjumlah 1.395.025 jiwa, Batak berjumlah 326.645 jiwa, Minangkabau berjumlah 272.018 jiwa, Melayu berjumlah 92.088 jiwa, Madura berjumlah 79.925 jiwa, suku asal Sumatra Selatan berjumlah 71.987 jiwa, Bugis berjumlah 68.227 jiwa,

dan suku asal Sulawesi lainnya berjumlah 32.276 jiwa.42

Deskripsi Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur

Kota Administrasi Jakarta Timur merupakan salah satu wilayah administrasi di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga merupakan wilayah yang paling luas di antara wilayah-wilayah lainnya di Provinsi DKI Jakarta. Luas wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur mencapai 187,75 km2 atau mencapai 28,37% dari luas total wilayah Provinsi DKI Jakarta. Dari luas ini sebagian besar terdiri dari dataran rendah. Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Timur di bagi ke dalam sepuluh kecamatan, yaitu Kecamatan Pasar Rebo, Ciracas, Cipayung, Makasar, Kramatjati, Jatinegara, Duren Sawit, Cakung, Pulogadung, dan Matraman. Adapun jumlah kelurahan di Kota Administrasi Jakarta Timur adalah 65 kelurahan. Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur memiliki perbatasan sebelah utara dengan Kota Administrasi Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, sebelah timur dengan Kota Bekasi (Provinsi Jawa Barat), sebelah selatan Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa Barat) dan sebelah barat dengan Kota Administrasi Jakarta Selatan. Kota Administrasi Jakarta Timur dilalui oleh tujuh sungai/kali

yaitu Kali Ciliwung, Kali Sunter, Kalimalang, Kali Cipinang, Kali Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung.43

Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS tahun 2010 jumlah penduduk Kota Jakarta Timur adalah 2.687.027 orang, terdiri atas 1.368.857 laki-laki dan 1.318.170 perempuan. Sementara jumlah rumah tangga di Kota Administrasi Jakarta Timur tercatat sebanyak 621.876 KK dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,37% per tahun. Dari hasil sensus penduduk 2010 tersebut bahwa penyebaran penduduk di Jakarta Timur terbesar di Kecamatan Cakung yakni sebesar 18,73%, diikuti Kecamatan Duren Sawit sebesar 14,18%, dan Kecamatan Kramat Jati sebesar 10,14%. Kecamatan Cakung, Kecamatan Duren Sawit, dan Kecamatan Kramat Jati adalah kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang masing-masing berjumlah 503.174 orang, 381.964 orang, dan 272.164 orang. Sedangkan kecamatan dengan penduduk yang paling kecil di

Kecamatan Matraman berjumlah 148.648 orang.44

Deskripsi Wilayah Kecamatan Kramat Jati

                                                                                                               

40 Database Rabithah Alawiyyah tentang marga-marga keturunan Arab Sayid. 41 Portal resmi pemerintah provinsi DKI Jakarta www.jakarta.go.id

42 Sensus penduduk wilayah DKI Jakarta tahun 2010 www.bps.go.id

43 Portal resmi pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur www.timur.jakarta.go.id 44 Portal resmi pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur www.timur.jakarta.go.id

(10)

Daerah penelitian Condet terletak di kecamatan Kramat Jati di mana kecamatan ini memiliki luas wilayah 13,34 km2. Kecamatan Kramat Jati mempunyai batas wilayah di sebelah utara yaitu Kecamatan Jatinegara, sebelah selatan Kecamatan Ciracas dan Kecamatan Pasar Rebo, sebelah timur Kecamatan Makasar, dan sebelah barat Kecamatan Pasar Minggu. Jumlah penduduk di Kecamatan Kramat Jati sebanyak 272.164 pada tahun 2010. Jumlah rumah tangga sebanyak 50.128 dengan jumlah RW 65, RT 655, dan KK (Kepala Keluarga) 52.567. Secara administrasi Kecamatan Kramat Jati terdiri atas tujuh kelurahan. Masing-masing kelurahan mempunyai luas yang sangat bervariasi. Secara rinci luas wilayah kelurahan di Kecamatan Kramat Jati adalah Kelurahan Balekambang 1,67 km2, Kelurahan Batu Ampar 2,55 km2, Kelurahan Tengah/Kampung Tengah 2,03 km2, Kelurahan Dukuh 1,98 km2, Kelurahan Kramat Jati 1,52 km2, Kelurahan Cililitan 1,80 km2, dan Kelurahan

Cawang 1,79 km2.45

Deskripsi Wilayah Kelurahan Balekambang

Daerah penelitian Condet terletak di tiga kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, yaitu Kelurahan Balekambang, Kelurahan Kampung Tengah, dan Kelurahan Batu Ampar. Lokasi penelitian di Condet di khususkan di Kelurahan Balekambang yang berbatasan sebelah utara yaitu Jalan Buluh, berbatasan dengan Kelurahan Cililitan, sebelah timur yaitu Jalan Raya Condet, berbatasan dengan Kelurahan Batu Ampar dan Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo, sebelah selatan yaitu Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo, dan sebelah barat yaitu Sungai Ciliwung, Wilayah Jakarta Selatan. Berdasarkan data sensus kependudukan yang dikeluarkan oleh Kelurahan, sampai akhir bulan Maret 2013 sebanyak 8.609 KK terdiri dari KK laki-laki 7.591 KK dan KK perempuan 745 KK, dengan keseluruhan penduduk berjumlah 27.643 jiwa. Terdiri dari laki-laki 14.316 jiwa dan perempuan 13.327 jiwa, dan yang wajib KTP sebanyak 205.914 jiwa. Jumlah prosentase penduduk menurut agama terdiri dari 97,87% penduduk di Kelurahan Balekambang memeluk agama Islam, 1,08% agama Kristen

Protestan, 0,92% agama Hindu, dan 0,08% agama Buddha.46

Luas wilayah Kelurahan Balekambang adalah 167,450 hektar, terbagi menjadi 5 RW dan 53 RT. Status tanah Kelurahan Balekambang terdiri dari tanah negara 22,75%, tanah milik adat 70,08% dan tanah wakaf 7,16%. Dari jumlah keseluruhan luas wilayah Balekambang memiliki tanah yang diperuntukan sebagai perumahan 100,47 Ha, pendidikan dan peribadatan 6,70 Ha, perkantoran 7,53 Ha, fasilitas umum atau balai rakyat 16,75 Ha, pemakaman 0,72 Ha. Adapun untuk masalah tanah wakaf yang berada di wilayah tersebut yang diprosentasikan 7,16% umumnya dipergunakan untuk bangunan masjid dan mushola serta pemakaman umum. Sedangkan yang

lainnya digunakan untuk jalan kendaraan dan tanah kepentingan umum lainnya misalnya untuk sekolah.47

Sejarah Condet

Menurut Ridwan Saidi, daerah Condet merupakan tempat di mana negara Salaknegara berada. Salakanegara adalah kerajaan pertama yang berdiri di tanah Jawa pada tahun 130 Masehi. Bahkan jika ditengok kebelakang, berdasarkan temuan arkeologis, daerah Condet telah dihuni manusia sejak jaman Neolitikhum (3000-3500 tahun lalu). Saidi kemudian mengaitkan dengan nama-nama bermakna sejarah di Condet seperti Batu Ampar yang berarti batu tempat meletakan sesaji dan Bale Kambang yang merupakan pesanggrahan para raja jaman dulu. Ada juga beberapa pendapat mengenai asal mula nama buah salak, konon nama itu juga berasal dari kata Salaknegara. Lebih lanjut Saidi mengatakan bahwa wilayah Jakarta sudah dihuni dan didatangi oleh masyarakat

jauh sebelum kerajaan Tarumanegara berdiri yaitu pada abad ke-5 Masehi.48

Untuk daerah Condet sendiri, Ridwan Saidi memiliki kesimpulan bahwa daerah ini berasal dari kata Ci dan Ondet. Ci berarti air atau kali seperti nama kali lain, Ciliwung, Citarum, Cisadane dan sebagainya. Sementara Ondet atau Odeh adalah nama pohon sejenis buni. Pada masa lalu di sepanjang aliran kali Ciliwung yang lewat

di wilayah itu banyak ditemukan pohon Ondet, sehingga disebut Condet.49

Condet sebagai Cagar Budaya

                                                                                                               

45 Portal resmi pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur www.timur.jakarta.go.id

46 Titin Widarti, Asimilasi Sosial-Budaya Komunitas Keturunan Arab di Kelurahan Condet Balekambang Jakarta Timur, Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah, 2010, hlm. 33

47 Ibid.

48 Ridwan Saidi, Islam dan Moralitas Pembangunan, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 59. 49 Shahab, Op, Cit., hlm. 21.

(11)

Berawal dari keinginan Pemerintah DKI Jakarta untuk mempertahankan salah satu kantong pertanian di Jakarta Timur, Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1974 dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 menetapkan Condet sebagai Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. Kemudian disusul SK Gubernur No D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, gubernur kembali menetapkan Condet sebagai Daerah buah-buahan. Keputusan itu berisi penetapan kawasan condet seluas 18.228 hektar

sebagai Cagar Budaya Betawi.50 Cagar budaya Condet yang dilindungi terdiri dari tiga kelurahan yaitu kelurahan

Batu Ampar seluas 255,025 hektar yang terdiri dari 4 RW dan 39 RT, kelurahan Bale Kambang seluas 161,8 hektar yang terdiri dari 3 RW dan 20 RT, dan kelurahan Kampung Tengah seluas 214, 8 hektar yang terdiri dari 5 RW dan 29 RT. Kebijakan tersebut hanya bertahan selama sepuluh tahun saja, karena perlindungan Cagar Budaya Betawi-Condet hanya memiliki kekuatan di tingkat perda. Pemerintah provinsi sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk melarang warga menjual tanah milik mereka. Akibatnya, pertumbuhan kawasan Condet sulit dikendalikan. Rumah-rumah modern, kios, bengkel,warung, restoran, toko, hingga mini market tumbuh berjamur. Kebun dan kawasan hijau berkurang drastis. Sehingga, tidak terdengar lagi Condet sebagai penghasil duku dan salak. Kawasan Condet hampir tidak berbeda dengan pemukiman-pemukiman lain, padat dan ramai. Penduduknya pun lebih banyak pendatang ketimbang orang Betawi asli.

Etnik Keturunan Arab di Condet

Kedatangan etnik Arab di Condet dimulai pada tahun 1970-an pada saat Condet diresmikan sebagai kawasan cagar budaya Betawi tahun 1974. Hal ini membuat banyak orang Arab pindah dari kawasan padat penduduk keturunan Arab seperti di Kampung Melayu, Tanah Abang, Krukut, Pekojan, dan lain-lain ke Condet. Sehingga daerah Condet semakin lama semakin kental dengan nuansa Arab. Penulis tidak berhasil mendapatkan angka pasti jumlah masyarakat keturunan Arab di Condet maupun di Jakarta karena kesulitan dalam pendefinisian mana keturunan Arab dan mana yang bukan hanya dengan identifikasi fisik. Juga karena saat kini keturunan Arab telah semakin luas persebarannya di Jakarta dan beberapanya telah menikah dengan orang non-Arab atau telah keluar dari kampungnya.

Orang Arab di Condet memiliki beragam kegiatan perekonomian seperti bisnis jual/beli mobil, restoran makanan khas Timur Tengah, minyak wangi, dan bisnis penampungan TKI. Hal tersebut dapat kita lihat ketika kita

memasuki Jalan Raya Condet banyak sekali jenis usaha tersebut yang ditawarkan.51 Pada tahun 1990-an Condet

semakin ramai didatangi orang-orang keturunan Arab. Dengan adanya bisnis yang dikelola oleh masyarakat Arab di Condet, banyak orang Arab dari berbagai perkampungan Arab di Jakarta maupun di beberapa kota di Indonesia pindah ke Condet. Kios minyak wangi menjadi salah satu ciri khas komunitas orang Arab Condet yang terlihat ketika kita memasuki kawasan Condet. Awalnya kios minyak wangi hanyaada satu di Condet. Namun karena semakin banyak penduduk keturunan Arab yang pindah ke Condet, bisnis minyak wangi berkembang pesat di Condet.

Sistem Kekerabatan Keluarga Keturunan Arab

Sistem kekerabatan keluarga Arab menganut sistem patrilineal dimana yang bertanggungjawab penuh di dalam keluarga adalah kaum laki-laki saja. Sistem kekerabatan keluarga Arab terdiri dari keluarga batih dan keluarga luas/besar. Keluarga batih dalam keluarga keturunan Arab di Condet yaitu di dalam satu rumah tinggal ayah, ibu, beserta anak-anaknya. Bila kebetulan sang ibu sudah ditinggal sang ayah karena meninggal atau lain-lain berfungsi sebagai kepala keluarga, maka anak laki-laki tertua yang sudah terlatih tampil sebagai pendamping sang ibu. Bentuk keluarga luas atau besar pada keluarga keturunan Arab di Condet maupun di beberapa daerah di Indonesia yaitu di dalam satu rumah terdiri dari dua atau lebih keluarga batih yang masih mempunyai hubungan keturunan satu dengan yang lain. Anggota pada keluarga luas tidak hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, melainkan di dalam keluarga itu tinggal ibu dan bapak mertua dari pihak istri atau suami, serta adik atau kakak dari pihak suami atau istri. Dengan kata lain apabila dalam keluarga luas ini ditinjau dari pihak anak-anak, maka dalam keluarga luas tinggal pula nenek dan kakek dari pihak ibu atau ayah serta paman dan atau bibi

dari pihak ibu atau ayah.52

Bentuk keluarga luas pada masyarakat keturunan Arab sudah memiliki pengertian yang berbeda sekarang. Menurut observasi penulis ketika mendatangi sebuah acara pernikahan keturunan Arab, orang keturunan Arab

                                                                                                               

50 Tatok Taranggono, Cagar Budaya Condet: Suatu Kajian Ekologi Budaya di Wilayah Condet DKI Jakarta, Disertasi pada Program

Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 78.

51 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 52 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013.

(12)

masih memiliki hubungan persaudaraan yang kuat sehingga masih hidup secara mengelompok dengan keluarganya. Untuk menjaga privasi antar keluarga batih dengan keluarga batih lainnya, mereka memilih untuk tetap tinggal di dalam rumah masing-masing namun masih ingin tetap berkeluarga luas dengan keluarga besar. Cara merealisasikan hal itu yaitu dengan membentuk komplek perumahan pribadi. Dengan dibentuknya komplek perumahan pribadi, masyarakat keturunan Arab masih tetap dapat berinteraksi dengan keluarga besar tetapi tidak

tinggal dalam satu atap. Intinya mereka tetap hidup berdampingan di dalam satu lingkungan yang sama.53

Tradisi Sebelum Pernikahan Etnik Arab di Condet

Pernikahan yang dilakukan oleh etnik Arab di Condet didasarkan atas suruhan Allah dan Nabi Muhammad s.a.w dalam menyempurnakan ibadah umat Islam. Tujuan atas disyari’atkan pernikahan umat Islam yang pertama adalah untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Kedua, untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Terutama bagi golongan Sayid dalam menjaga keturunan pertalian darah yang erat di antara keluarga mereka. Perjodohan sering dilakukan pada golongan Sayid demi menjaga keturunannya. Ada kalanya perjodohan itu dilakukan oleh orang tua maupun dilakukan atas pilihan sendiri. Kedua bentuk pola ini saling berlawanan. Namun, dalam pelaksanaannya keduanya saling berhubungan. Pemilihan jodoh oleh orang tua berarti si anak pasif dan peran orang tua aktif. Keadaan in terjadi pada perjodohan di masa lampau. Dalam kenyataan hidup sehari-hari memang peranan orang tua untuk menetapkan pilihan jodoh bagi anaknya sangat menentukan, namun hal tersebut tidak berlaku secara mutlak karena keinginan setiap orang tua selalu diletakkan untuk kebahagiaan anaknya di

belakang hari, maka persetujuan anak lebih bersifat positif.54

Oleh karena itu, orang tua tidak sembarangan untuk langsung menjodohkan anaknya. Mereka melakukan pendekatan terlebih dahulu. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara perjodohan di masa lampau dan sekarang. Untuk perjodohan pada masyarakat keturunan Arab di masa lampau, perjodohan sepenuhnya diatur oleh orang tua dan anak hanya menuruti saja. Biasanya si anak belum mengenal calonnya sama sekali. Bahkan, biasanya perjodohan ditentukan antar orang tua saja sedangkan si anak tidak diberikan kesempatan untuk melihat calonnya. Sang anak tinggal menunggu waktu untuk menikah saja tanpa adanya masa berkenalan dengan calonnya. Sedangkan pada masyarakat keturunan Arab di masa sekarang, walaupun perjodohan masih tetap dilakukan tapi sifatnya lebih longgar. Jika si anak baik laki-laki maupun perempuan ditawarkan beberapa calon untuknya, si anak diperbolehkan mempertimbangkannya terlebih dahulu. Anak diberikan kebebasan untuk memilih atau menolak pilihan orang tua. Jika dia sepakat dengan pilihan orang tua, maka pendekatan akan dilakukan ke keluarga calonnya. Dikarenakan perkembangan zaman yang semakin maju, biasanya di antara anak laki-laki dan perempuan yang akan dijodohkan ini sudah ada proses perkenalan terlebih dahulu. Hal itu bisa

memudahkan proses perjodohan ini.55

Dalam pola cara pemilihan jodoh atas pilihan sendiri pada masyarakat keturunan Arab, memang yang akan menikah sendiri bersifat aktif, namun seluruh kegiatan si calon menurut fungsinya tetap di bawah pengawasan dan pengaruh orang tua. Pemilihan jodoh atas pilihan sendiri sebenarnya terpengaruh dari perkembangan zaman, dimana sekarang muncul wadah-wadah sosial media di masyarakat. Sehingga membuat mereka lebih tertarik memilih jodoh sendiri. Di dalam penentuan pemilihan jodoh ini, kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam pergaulan kemasyarakatan cukup terfasilitasi dengan wadah-wadah sebagai awal proses pemilihan jodoh ini. Dalam wadah-wadah yang tersedia itulah dimulai masa-masa perkenalan, yang kemudian dengan restu orang tua dilanjutkan untuk ditingkatkan dalam bentuk-bentuk yang juga diterima oleh masyarakat. Sesuai dengan perkembangan zaman, wadah-wadah itu juga ikut berkembang bahkan sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan yang lebih jauh namun masih dalam batas-batas yang dapat diterima oleh masyarakat. Pemilihan jodoh atas pilihan sendiri dibolehkan menurut tradisi masyarakat keturunan Arab selama ada izin orang tua. Jika pria keturunan Arab sudah menjatuhkan pilihannya kepada seorang perempuan, secepatnya dia harus memberitahukan kepada keluarganya. Tujuan dari meminta izin kepada orang tua itu adalah untuk pemberian saran yang baik terhadap calon untuk anaknya kelak. Dikarenakan orang tua juga ingin mendapatkan menantu

yang baik untuk anaknya pula.56

Upacara Pernikahan

                                                                                                               

53 Observasi pada pola kekerabatan keturunan Arab di Lenteng Agung. 54 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 55 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 56 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013.

(13)

Upacara pernikahan pada keluarga keturunan Arab di Condet terbagi ke dalam tiga upacara: upacara sebelum pernikahan, upacara pelaksanaan pernikahan, upacara sesudah pernikahan. Pada upacara sebelum pernikahan dilakukan beberapa upacara yang disesuaikan dengan tata cara Islam dan tradisi budaya setempat. Pada tata cara Islam terdapat upacara peminangan, yaitu menanyakan seorang gadis perihal penjodohan dirinya kepada seorang jejaka. Prosesnya diawali dengan saling bertemu antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga

perempuan atas calon-calon pengantin mereka.57

Upacara yang kedua yaitu lamaran. Jika prosesi sebelum pernikahan sudah masuk ke dalam upacara lamaran, maka dalam upacara peminangan sebelumnya pihak laki-laki telah mendapat persetujuan baik dari orang tua perempuan mau pun si perempuan itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan tradisi setempat yaitu upacara serah-serahan. Bagi masyarakat keturunan Arab, upacara seserahan pernikahan ini adalah upacara pemberian barang seserahan dari pihak keluarga perempuan kepada keluarga pihak laki-laki dan pemberian uang lamaran dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Setelah upacara peminangan, upacara lamaran, dan upacara seserahan pernikahan telah dilakukan, maka tinggal satu upacara sebelum upacara pernikahan diselenggarakan yaitu upacara malam pacar. Upacara malam pacar adalah tradisi upacara yang dilakukan menjelang hari pelaksanaan upacara pernikahan masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Dinamakan malam pacar karena calon pengantin perempuan menggunakan daun pacar atau inai untuk menghias tubuhnya. Daun pacar atau inai, ada yang menyebutnya dengan Henna, adalah tumbuhan yang biasa digunakan kaum wanita Arab untuk menghias kuku. Sejak zaman dulu, wanita di beberapa belahan dunia termasuk di Indonesia

menggunakan daun tersebut untuk mewarnai kuku agar terlihat cantik.58

Terdapat perbedaan pada malam pacar yang dilakukan masyarakat keturunan Arab pada masa lampau dan masa sekarang. Pada masa lampau malam pacar yaitu malam calon pengantin perempuan menggunakan pacar di tangan maupun kaki, namun pada masyarakat keturunan Arab yang sekarang atau yang sudah modern malam pacar sudah tidak ada lagi tradisi mengenakan pacar pada pengantin perempuan. Malam pacar saat ini lebih berfungsi sebagai waktu mengakrabkan diri antara keluarga dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan sebelum melaksanakan pernikahan esok hari. Biasanya disediakan hiburan berupa musik gambus untuk

menambah memeriahkan acara.59

Pada upacara pelaksanaan pernikahan, ada beberapa prosesi yang wajib dilaksanakan yaitu: upacara akad nikah. Semua prosesi dilakukan sesuai tata cara Islam. Akad nikah adalah perjanjian antara wali dari mempelai wanita dengan mempelai laki-laki dimuka paling sedikit dua orang saksi yang mencukupi syarat menurut syariah. Ketika kedua pengantin akan menikah, pengantin perempuan tidak dihadapkan bersamaan dengan pengantin laki-laki. Melainkan pengantin perempuan ditempatkan di ruangan khusus perempuan. Sedangkan yang menikah hanya pengantin laki-laki saja dan wali dari pengantin perempuan yang menikahkan. Juga terdapat petugas KUA sebagai pencatat administrasi pernikahan. Bagi masyarakat keturunan Arab, akad nikah merupakan hal yang sakral sehingga akad nikah adalah acara khusus para tamu laki-laki. Jadi yang datang pada saat pelaksanaan akad nikah adalah laki-laki. Sedangkan para tamu perempuan datang ketika upacara resepsi pernikahan. Ketika sudah dinyatakan sah oleh para saksi, seketika itu pengantin laki-laki diarak ramai-ramai menuju ruangan perempuan yang mana pengantin perempuan telah menunggu. Pengantin laki-laki datang diarak menggunakan iringan musik marawis atau tanjidor. Ketika upacara akad nikah selesai dan para tamu laki-laki sudah pulang, maka dilanjutkan dengan upacara resepsi pernikahan. Kedua mempelai pengantin dengan menggunakan pakaian perpaduan antara budaya Arab dengan budaya Betawi seperti pakaian jubah dan sorban pada pakaian pengantin laki-laki dan baju adat betawi atau pakaian adat mana pun pada pakaian pengantin perempuan. Kemudian, dilanjutkan dengan undangan untuk para tamu perempuan. Upacara resepsi pernikahan

ini diramaikan dengan berbagai hiburan seperti marawis, gambus, tarian khas Arab, belly dance, dan lain-lain.60

Pada upacara setelah pernikahan dilakukan upacara yang disesuaikan dengan tradisi setempat. Pada daerah Condet ini masyarakat keturunan Arab melakukan upacara ngunduh mantu. Penggunaan tradisi ngunduh mantu dalam pernikahan etnik Arab sudah menjadi kebiasaan dan merupakan akulturasi dengan budaya disekitar. Ngunduh mantu biasanya dilakukan pada pernikahan yang dilakukan secara adat dan disesuaikan dengan kesepakatan dua pihak mempelai. Jika pasangan tersebut berasal dari dua daerah atau suku yang berbeda, prosesi adat dapat dilakukan secara bergantian. Apabila prosesi nikah secara adat dilakukan, pihak wanita dulu yang mengadakan pernikahan secara adat. Setelah itu, selang beberapa hari bergantian dilaksanakan oleh mempelai pria. Acara ngunduh mantu seperti halnya resepsi pernikahan dilakukan di tempat mempelai perempuan, tetapi biasanya ngunduh mantu di tempat mempelai laki-laki diselenggarakan tidak semeriah pesta resepsi pernikahan

                                                                                                               

57 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 58 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 59 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013.

(14)

sebelumnya. Ngunduh mantu merupakan tradisi dari adat Jawa. Jadi, istilah ngunduh mantu bisa dipahami sebagai prosesi mengambil menantu yang sudah cukup dewasa. Zaman dulu, ketika ada pengantin wanita suku jawa yang akan menikah dan kemudian dia akan diboyong oleh suaminya untuk tinggal di rumah suami atau

bersama keluarga sang mempelai pria, maka dilakukanlah prosesi ngunduh mantu.61

Tradisi Menetap Sesudah Menikah

Dalam adat masyarakat dan kebudayaan Arab, tidak terdapat ketentuan yang mengatur di lingkungan mana pengantin baru itu harus tinggal menetap. Pengantin baru diberi kebebasan memilih di mana mereka akan menetap. Walaupun pada masyarakat dan kebudayaan Arab berkecenderungan pada pola sistem perkawinan yang patrilokal yaitu masuknya anak perempuan ke dalam keluarga laki-laki, tetapi mereka tetap diberi kebebasan untuk menentukan sendiri dimana keluarga baru ini akan menetap. Namun, hakekatnya masing-masing pihak laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pernikahan dan

sesudahnya.62

Tradisi Mengenai Perceraian

Dalam kehidupan berumah tangga, kadang-kadang terjadi perceraian yaitu putus hubungan sebagai suami istri karena tidak terdapat kecocokan dalam hidup bersama. Bila hal ini terjadi, maka pihak orang tua masing-masing secara bersama berusaha agar kedua suami istri dapat hidup berumah tangga kembali. Bahkan sebelum terjadi perceraian, orang tua masing-masing berusaha untuk menenangkan keadaan dengan harapan agar perceraian jangan terjadi. Sebenarnya tradisi hukum pernikahan yang berlaku menurut tradisi pernikahan masyarakat keturunan Arab lebih ditekankan kepada berlakunya hukum Islam. Alasan perceraian jarang sekali datang dari sebab-sebab lain seperti zina, poligami, kemandulan dan sebagainya. Bila ada pun, hal itu juga bukan merupakan obyek yang diutamakan, tetapi emosi dan ketidakserasianlah yang menyebabkannya. Menurut tradisi, pernikahan di dalam masyarakat keturunan Arab jarang terjadi perceraian. Jika pernikahan sempat terganggu oleh hal-hal yang sudah disebutkan di atas, maka sebaiknya jangan sampai terjadi perceraian di dalam pernikahan. Fungsi orang tua masing-masing pihak laki-laki mau pun pihak perempuan berperan besar dalam keberlangsungan pernikahan anak-anak mereka. Oleh karena itu, diharapkan orang tua dapat memberikan saran yang baik demi

pernikahan anak-anak mereka.63

Hukum Waris

Apabila salah seorang di antara suami istri atau pun kedua-duanya meninggal dan meninggalkan harta benda maka dalam pembagian warisan berlaku hukum Islam sesuai dengan kebiasaan. Pada pokoknya hak waris yang ditinggalkan ada dua macam yaitu: hak pusaka dan hak perorangan. Hak pusaka adalah warisan yang berasal dari peninggalan orang tua suami yang diturunkan kepada salah seorang di antara anak-anaknya. Hak ini tidak menjadikan hak penuh bagi suami atau istri tersebut. Harta pusaka ini merupakan warisan dari orang tua yang langsung pula menjadi hak anak-anak apabila bapak atau ibu yang dipusakai itu meninggal. Di samping itu, ada pula harta warisan yang menjadi hak perorangan yaitu harta yang berasal dari hasil jerih payah suami istri. Apabila salah seorang di antara suami atau istri meninggal maka yang masih hidup berhak mengatur

keseluruhannya dan baru dapat diwarisi oleh anak-anaknya bila kedua orang tuanya sudah meninggal.64

Orang yang telah mati dan meninggalkan harta untuk diwariskan disebut dengan pewaris. Sedangkan orang yang berhak menerima harta warisan dari pewaris disebut dengan ahli waris. Dalam Islam terdapat ketentuan-ketentuan seseorang disebut sebagai ahli waris. Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu disyaratkan dia telah dan masih hidup saat terjadinya kematian pewaris. Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dan langsung oleh Allah dalam Al-Quran dan oleh Nabi dalam haditsnya; ada yang ditemukan melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari

Al-Quran dan atau hadits Nabi.65

Poligami

                                                                                                               

61 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 62 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 63 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 64 Wawancara dengan Bapak Husein Al-Haddad, Rabu, 20 Februari 2013. 65 Syarifuddin, Op, Cit., hlm. 155.

Referensi

Dokumen terkait