• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA

BERBAGAI LAMA POSTMORTEM

DI SUHU RUANG

SKRIPSI

YUNITA ANGGRAENI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(2)

RINGKASAN

YUNITA ANGGRAENI. D14201055. 2005. Sifat Fisik Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem di Suhu Ruang. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hj. Niken Ulupi, MS. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S. TP., MSi.

Ayam broiler adalah hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhannya cepat. Daging ayam broiler siap potong pada umur 35 - 45 hari dengan berat 1,2 – 1,9 kg/ekor. Proporsi daging terbesar daging ayam terdapat pada bagian dada, dengan melihat kualitas daging dada ayam, maka kita dapat melihat kualitas daging ayam secara keseluruhan.

Daging ayam termasuk bahan pangan yang mudah rusak. Lama postmortem dapat mempengaruhi kerusakan daging ayam terutama sifat fisik, karena semakin lama daging dibiarkan pada suhu ruang, kemungkinan untuk terkontaminasi mikroba semakin besar, sehingga menyebabkan penurunan kualitas yang cepat. Penanganan daging ayam selama penyembelihan dan pada saat pemasaran salah satu titik kritis yang perlu diperhatikan untuk mengurangi kontaminasi daging.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari sifat fisik daging dada ayam broiler pada berbagai lama postmortem. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas fisik daging dada ayam selama 8 jam postmortem.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Hari pemotongan yang berbeda sebagai kelompok, terdiri dari 3 kelompok dan sebagai perlakuan adalah lama postmortem 0, 2, 4, 6, dan 8 jam. Peubah yang diamati adalah pH, kadar air, daya mengikat air dan aktivitas air. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras polinom orthogonal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lama postmortem berpengaruh nyata terhadap rataaan kadar air dan sangat nyata berpengaruh terhadap pH, dan aktivitas air, tetapi tidak berpengaruh terhadap nilai daya mengikat air daging ayam broiler. Analisis ragam menunjukkan bahwa lama postmortem dari 0– 8 jam postmortem menghasilkan rataan pH sebesar 5,76 – 5,40, rataan kadar air sebesar 74,50 – 73,90, rataan daya mengikat air sebesar 95,27 – 93,75%, dan rataan aktivitas air sebesar 0,985 – 0,960. Uji lanjut kontras polinomial orthogonal menunjukkan bahwa nilai pH, kadar air dan aktivitas air daging ayam broiler berubah mengikuti pola linier dengan koefisien korelasi negatif. Berdasarkan persamaan linier yang diperoleh lama postmortem akan semakin menurunkan nilai pH sebesar 0,045 satuan, kadar air sebesar 0,0973 satuan dan aktivitas air sebesar 0,003 satuan. Kata kunci : ayam broiler, daging dada ayam broiler, kualitas, postmortem.

(3)

ABSTRACT

Physical Properties of Breast Meat Broilers at Various Long Time Postmortem in Temperate Room

Anggraeni, Y., N. Ulupi, and Z. Wulandari

Chickens meat is inclusive of food substance that easy to destroy or rotten. Breast meat will be the focus in this research. Long time of postmortem affected decrease of meat quality especially on physical properties. The acceptability of poultry muscle as food depends largerly upon chemical, physical and structural changes that occur in muscle as it converted to meat. This experiment was carried out to investigate decrease of meat quality (physical properties) in various time of postmortem.The aim of this research is to learn meat of chickens physical properties at various long time postmortem (0, 2, 4, 6 and 8 hours) and to know meat quality until 8 hours postmortem. Completely Block Randomized Design was used in this experiment. Treatment of this experiment is time of postmortem (0, 2, 4, 6 and 8 hours) and different day at slaughtering as block design consist of three block. If any significant different (p<0,05) betwen treatments were than compared by using contrast polinomial orthogonal test. The observed variable are pH, water content, water holding capacity (WHC) and water activity. The results shows that long time postmortem affected to water content value, and very affected to pH value, and water activity, but not affected to water holding capacity. This research shows that long time postmortem 0 – 8 hours results that pH mean ranged from 5,76 – 5,4, water content ranged from 74,50 – 73,90, WHC mean ranged from 95,27 - 93,75 and water activity ranged from 0,985 – 0,960. Average value on pH, water content and water activity changes following linier pattern with correlation coefficient are negatively. This mean that long time postmortem will be decreasing pH value, water content value and water activity value.

(4)

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA

BERBAGAI LAMA POSTMORTEM

DI SUHU RUANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Yunita Anggraeni

D14201055

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(5)

Judul : SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG

Nama : Yunita Anggraeni NRP : D.14201055

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Ir. Niken Ulupi, MS) (Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si) NIP 131 284 604 NIP 132 206 246

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc) NIP 131 624 188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Juni 1984 di Cilacap, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari pasangan Bapak Sutarman dan Ibu Susminiati K. Pendidikan formal diawali tahun 1988 di TK Tunas Rimba Sidareja, Cilacap hingga tahun 1989. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SD Pius Sidareja, Cilacap. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SLTPN I Sidareja, Cilacap dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMUN I Sidareja, Cilacap, lulus tahun 2001.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada program studi Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Ilmu Produksi Ternak yang sekarang menjadi Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2001.

Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) Fakultas Peternakan IPB periode 2002-2003 dan aktif pada unit kegiatan mahasiswa (UKM) bidang olahraga bulu tangkis dan bola voly hingga 2004. Selain itu penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan di beberapa acara yang diadakan di kampus Institut Pertanian Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan segala Rahmat dan petunjuk-Nya, penulis dapat meyelesaikan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Sifat Fisik Daging Dada Ayam Broiler Yang Dibiarkan Di Suhu Ruang Pada Berbagai Lama Postmortem. Adapun yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai sifat fisik daging ayam selama 8 jam postmortem yang berkaitan dengan kualitas daging ayam.

Daging ayam merupakan bahan makanan yang mudah rusak. Oleh karena itu penanganan pada waktu penyembelihan dan pada waktu pemasaran menjadi penting untuk diperhatikan berkaitan dengan kualitas daging. Kualitas daging dari sejak dipotong akan berbeda dengan daging yang dibiarkan berjam-jam pada suhu ruang. Kondisi fisik daging juga mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan dan beberapa perubahan setelah pemotongan seperti perubahan pH, daya mengikat air dan rigormortis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan kritik dari semua pihak sangat membantu dalam penulisan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, September 2005

(8)

DAFTAR ISI Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Ayam Broiler ... 3 Daging Ayam... 3

Daging Dada Ayam ... 5

Kualitas Daging Ayam ... 6

Sifat Fisik Daging Ayam... 7

Nilai pH... 7

Kadar Air... 9

Daya Mengikat Air ... 10

Aktivitas Air ... 12 Postmortem ... 13 Perubahan Biokimia... 13 Glikolisis ... 14 Rigormortis ... 15 METODE ... 18

Lokasi dan Waktu ... 18

Materi ... 18

Rancangan Percobaan ... 18

Perlakuan... 18

Model ... 18

Peubah yang Diukur ... 19

Analisis Data ... 20

Prosedur ... 20

Penyembelihan Ayam ... 20

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Nilai pH ... 23

Kadar Air ... 25

Daya Mengikat Air ... 27

Aktivitas Air (aw) ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN... 31

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

UCAPAN TERIMA KASIH ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kandungan Nutrisi Daging Ayam ... 4

2. Komposisi Kimia dan Karakterisitik Daging Dada Ayam

Sesaat Setelah Dipotong... 5 3. Hubungan Antara Nilai pH Akhir dengan Warna Daging ... 9 4. Nilai Rataan pH Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama

Postmortem... 23 5. Nilai Rataan Kadar Air Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai

Lama Postmortem ... 25 6. Nilai Rataan Daya Mengikat Air Daging Dada Ayam Broiler Pada

Berbagai Lama Postmortem ... 27 7. Nilai Rataan Aktivitas Air Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem ... 29

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pengaruh Nilai pH Terhadap Jumlah Air Terikat Dalam Daging ... 11

2. Pengaruh Nilai aw Terhadap Pertumbuhan Bakteri ... 13

3. Gambar Penurunan ATP dan pH Selama Rigormortis ... 16

4. Diagram Alir Proses Penyembelihan Ayam ... 21

5. Grafik Perubahan Nilai pH Daging Dada Ayam pada Berbagai Lama postmortem ... 24

6. Grafik Perubahan Nilai Kadar Air Daging Dada Ayam pada Berbagai Lama Postmortem ... 26

7. Grafik Perubahan Nilai Aktivitas Air Daging Dada Ayam pada Berbagai Lama Postmortem ... 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Analisis Ragam Pengaruh Lama Postmortem Terhadap Nilai

pH Daging Dada Ayam Broiler ... 37 2. Analisis Ragam Pengaruh Lama Postmortem Terhadap Nilai

Kadar Air Daging Dada Ayam Broiler ... 37 3. Analisis Ragam Pengaruh Lama Postmortem Terhadap Nilai

Daya Mengikat Air Daging Dada Ayam Broiler... 37 4. Analisis Ragam Pengaruh Lama Postmortem Terhadap Nilai

Aktivitas Air Daging Dada Ayam Broiler... 37 5. Uji Lanjut Kontras Polinomial Orthogonal pH Daging Dada Ayam

Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem... 38 6. Uji Lanjut Kontras Polinomial Orthogonal Kadar Air Daging

Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem... 38 7. Uji Lanjut Kontras Polinomial Orthogonal Aktivitas Air

Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem ... 38 8. Persentase Koefisien Korelasi Antara pH dan Lama Postmortem

Daging Dada Ayam Broiler... 38 9. Persentase Koefisien Korelasi Antara Kadar Air dan Lama

Postmortem Daging Dada Ayam ... 39 10.Persentase Koefisien Korelasi Antara Aktivitas Air dan Lama

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Salah satu kemajuan dalam bidang peternakan dapat dilihat dari segi kuantitas dan kualitas. Peningkatan kuantitas harus diiringi dengan peningkatan kualitas. Peningkatan kualitas ini penting mengingat dari tahun ke tahun konsumsi daging, terutama daging ayam menunjukan kenaikan yang cukup tajam seiring dengan kenaikan populasi penduduk. Peternakan ayam broiler merupakan salah satu yang dapat dikembangkan untuk memenuhi permintaan daging, karena ayam broiler merupakan ternak yang menghasilkan daging dengan waktu singkat. Selain itu daging ayam broiler memberikan sumbangan yang sangat besar bagi tercukupinya kebutuhan protein hewani.

Kualitas dan keamanan bahan pangan merupakan salah satu faktor penting dalam penilaian mutu daging. Kualitas karkas dan sampingan yang bermutu baik diperlukan ayam hidup yang sehat (tidak terdapat penyakit), ukuran seragam dan proporsional. Proses pemotongan yang benar dan teratur berperan pula dalam menentukan kualitas daging ayam. Apabila kualitas produk yang dihasilkan meningkat maka nilai jual produk tersebut diharapkan akan meningkat pula. Peningkatan kualitas produk ini diharapkan juga dapat meningkatkan pangsa pasar sehingga dapat diterima dipasar-pasar swalayan, hotel dan restoran.

Di Indonesia sebagian besar produsen daging ayam masih menerapkan cara pemotongan tradisional dengan tempat pemotongan seadanya serta peralatan dan cara pemotongan kurang memenuhi syarat kesehatan. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat daging ayam adalah bahan makanan yang mudah rusak karena merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Daging ayam yang dibiarkan disuhu ruang akan lebih cepat busuk dan cepat mengalami penurunan kualitas. Hal ini akan berpengaruh pada sifat fisik daging. Kondisi fisik daging akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan dan beberapa perubahan setelah pemotongan seperti perubahan pH, daya mengikat air dan rigormortis.Oleh karena itu perlu dipelajari sifat fisik daging sejak dipotong sampai 8 jam postmortem.

Lama penyimpanan selama postmortem berpengaruh terhadap sifat fisik daging karena semakin lama postmortem maka peluang daging ayam terkontaminasi

(14)

semakin besar, sehingga mempengaruhi aktivitas air dalam daging. Proses rigormortis yang terjadi pada saat postmortem menghasilkan asam laktat dalam metabolismenya. Semakin panjang lama rigormortis maka semakin banyak asam laktat yang dihasilkan sehingga akan berpengaruh terhadap nilai pH, yang selanjutnya mempengaruhi kadar air, daya mengikat air dan tersedianya air bebas.

Perumusan Masalah

Proses rigormortis merupakan proses terjadinya glikolisis anaerob yang memproduksi asam laktat yang terjadi selama fase postmortem. Semakin panjang lama rigormortis maka semakin banyak asam laktat yang dihasilkan. Asam laktat yang ada dalam daging akan mempengaruhi pH yang selanjutnya mempengaruhi kadar air, daya mengikat air dan ketersediaan air bebas.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik daging dada ayam pada berbagai lama postmortem, sehingga dapat memberikan informasi mengenai keadaan sifat fisik daging dada ayam broiler (pH, kadar air, daya mengikat air dan aktivitas air) pada berbagai lama postmortem.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler

Ayam ras pedaging atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan ayam broiler merupakan ayam dengan pertambahan badan yang sangat cepat dengan perolehan timbangan berat badan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, yaitu pada umur 5 – 6 minggu berat badannya bisa mencapai 1,3 – 1,8 kg (Cahyono, 1995). Ensminger (1992), USDA menjelaskan bahwa ayam broiler adalah ayam pedaging (biasanya dijual 6-8 minggu), yang beratnya mencapai 1,36 – 2,26 kg dagingnya empuk dan lunak, mudah dikunyah dan tulang kartilago fleksibel.

Ayam broiler menurut Priyatno (2003) adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhannya cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi makanan irit dan siap potong pada umur muda yaitu 35 – 45 hari dengan bobot 1,2 – 1,9 kg/ekor.

Hardini (2004) menjelaskan bahwa ayam broiler adalah hasil dari pengembangan prinsip genetika pada ayam petelur yang kemudian menghasilkan ayam dengan produksi daging tinggi dalam waktu yang singkat. Pertumbuhan yang cepat sebagai penghasil dahing dikatakan oleh Pym dan Nicholls (1979) karena pola makannya. Apabila pakan diberikan secara ad libitum, ayam pedaging akan berhenti makan setelah kenyang dan selanjutnya akan segera minum dan istirahat sehingga pembentukan daging akan lebih efisien (Hardini, 2004).

Daging Ayam

Kebutuhan daging ayam mengalami peningkatan yang pesat, karena beberapa alasan, diantaranya karena daging ayam relatif murah dibandingkan daging lain, dari segi kesehatan daging ayam lebih baik karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein. Daging ayam mempunyai rasa yang dapat diterima semua golongan masyarakat dan cukup mudah diolah menjadi produk olahan yang bernilai tinggi, mudah disimpan dan mudah dikonsumsi (Priyatno, 2003).

Mountney (1983) menjelaskan bahwa daging ayam adalah daging yang cukup ekonomis dengan kandungan gizi yang tinggi, rendah kalori serta mengandung asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh dan asam amino esensial. Serat daging ayam

(16)

mudah untuk dipotong dan dicerna serta dapat bercampur baik dengan bumbu atau makanan lain. Kandungan nutrisi daging ayam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Daging Ayam

Nutrisi Jumlah (%)

Air 75

Protein 21

Lemak 3

Karbohidrat Kurang dari 1

Mineral 1

Vitamin Kurang dari 1

Sumber : Cross dan Overby (1988)

Protein pada daging ayam terdiri dari protein miofibril 50-55%, sarkoplasma 30-35% dan fraksi stroma 3-6% (Sams, 2001). Daging ayam mempunyai komposisi protein yang sangat baik karena mengandung semua asam amino esensial serta mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Secara umum, daging unggas memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan lainnya. (Cross dan Overby, 1988).

Ayam menyimpan cadangan energi sebagai lemak dan sebagian besar disimpan dalam jaringan tubuh (jaringan adiposa) (Rose, 1997). Kandungan lemak daging ayam sangat tergantung pada umur, jenis kelamin dan spesies (Mountney, 1983).

Karbohidrat dalam daging ayam terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kadar glikogen kurang dari 1% sedangkan asam laktat merupakan hasil utama dari proses glikolisis glikogen pada fase postmortem dan ketika ayam disembelih (Forrest et. al., 1975).

Ensminger (1992) menyebutkan bahwa mineral pada daging ayam terdiri dari makromineral dan mikromineral. Makromineral terdiri dari Ca, P, Mg, Na dan Kalium, sedangkan yang temasuk mikromineral adalah Fe, Cu dan Zn. Mountney (1983) menjelaskan bahwa daging ayam merupakan sumber vitamin yang baik untuk niasin, thiamin, riboflavin dan asam askorbat.

Daging ayam dapat dipasarkan dengan tiga bentuk yaitu: (1) sebagai karkas yang sudah dieviserasi, (2) potongan komersial tanpa tulang, dan (3) potongan

(17)

daging ayam dengan tulang (Rose, 1997). Tipe otot ayam dibagi menjadi tiga tipe: (1) otot merah, terikat pada skeleton, (2) otot jantung, strukturnya mirip dengan otot merah, (3) otot putih, terdapat pada dinding pembuluh darah dan sistem pencernaan (Rose, 1997).

Otot merah menurut Lawrie (1985), mempunyai serabut otot berwarna merah lebih banyak daripada serabut otot putih dan mengandung lebih banyak mioglobin, lemak, Fe, Na, Cu dan Zn. Pada otot putih, lebih banyak mengandung protein terlarut, jaringan otot dan glikogen tinggi serta lebih banyak mengandung serabut otot putih. Rose (1997), menyatakan bahwa yang termasuk dalam otot putih pada daging ayam adalah pada daging dada dan otot merah adalah daging paha.

Secara umum potongan komersial karkas dibagi menjadi empat yaitu: dada, paha, sayap dan punggung. Daging dada merupakan bagian dengan persentase daging yang lebih tinggi dari potongan komersial dan dengan bentuk yang lebih disukai konsumen (Rose, 1997). Lesson dan Summer (1980), menyatakan bahwa dada merupakan komponen utama pada unggas dan secara kuantitatif lebih berat dibandingkan bagian paha, sayap dan punggung. Hal ini menunjukkan bahwa dada berkembang lebih dominan daripada bagian karkas lainnya selama pertumbuhan. Selanjutnya disebutkan bahwa persentase dada broiler adalah 28%, paha 18%, punggung 25% dan sayap 13% dari berat karkas (Merkley, et al., 1980).

Daging Dada Ayam

Komposisi kimia dan karakteristik daging dada ayam setelah dipotong ditampilkan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Komposisi Kimia dan Karakteristik Daging Dada Ayam Sesaat Setelah Dipotong

Kualitas Daging dada ayam

Komposisi kimia (%) Air Protein Lemak Karakteristik Daging pH

Air terlepas (%) selama 24 jam Susut masak (%) 74,4 21,8 3,2 5,8 7,3 23,5 Sumber : Rose (1997)

(18)

Tabel 2. menunjukkan bahwa komponen terbesar pada daging dada ayam broiler adalah sebesar 74,4% dan pH akhir yang dihasilkan rendah yaitu 5,8. Menurut Judge et al. (1989), otot dada sebagian besar tersusun atas serabut putih yang sifat kontraksinya cepat, tetapi berlangsung singkat, metabolisme oksidatif rendah, metabolisme glikolitik dan glikogen tinggi. Hal ini berkaitan dengan pemecahan glikogen yang lebih tinggi, sehingga pembentukan asam laktat lebih besar. Oleh karena itu pH akhir otot dada rendah.

Distribusi otot skeletal dalam unggas tergantung pada aktivitasnya untuk terbang. Sebagian besar unggas tidak menggunakan sayapnya untuk terbang walaupun mempunyai otot dada yang lebar. Otot dada ayam hanya digunakan untuk mengepak-ngepak dengan tujuan untuk menghindari bahaya predator. Daging dada hanya membutuhkan konsentrasi mioglobin yang rendah, oleh karena itu daging dada mempunyai warna yang lebih terang atau disebut daging putih.

Kualitas Daging Ayam

Kualitas daging didefinisikan sebagai istilah yang menggambarkan semua karakteristik daging termasuk didalamnya adalah sifat fisik, kimia, biokimia, mikrobiologi, kebersihan, sensori (penampakan umum) dan kandungan nutrisi (Anadon, 2002). Mead (1984) juga mengatakan bahwa kualitas dari daging ayam didefinisikan kedalam syarat – syarat tertentu, seperti nilai nutrisi, kondisi higienis dan karakteristik sensori seperti warna, flavor, bau dan tekstur. Aspek tersebut penting bagi konsumen untuk menyeleksi dan memutuskan produk yang akan dibeli dan dikonsumsi. Permasalahan yang sering dihadapi adalah bahwa pertumbuhan broiler disertai dengan penambahan lemak tubuh, hal ini akan berpengaruh terhadap: (1) kehilangan daya mengikat air, (2) ketengikan, (3) oksidasi, (4) perubahan warna, (5) kerusakan tulang pada karkas.

Ada beberapa macam masalah kualitas, pengaruhnya dan cara menanganinya harus diperhatikan terus menerus baik itu sifat fisik, kimia atau mikrobiologinya, tetapi sebagian besar penampilan kualitas daging dipengaruhi oleh sifat fisik. Masalah yang sering dihadapi adalah adanya kontaminasi atau bahwa penampilan fisik pada produk tidak sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Masalah penampilan fisik seperti warna, flavor, bau, ukuran, bentuk adalah faktor kualitas penting yang dipandang secara subjektif (Sams, 2001).

(19)

Warris (2000) mengatakan bahwa penanganan sebelum postmortem dapat mempengaruhi kualitas daging ayam karena dapat mempengaruhi keasaman atau perkembangan waktu rigor. Selanjutnya dikatakan bahwa daging dada termasuk daging yang pale, soft dan exudative (PSE). Daging PSE mempunyai glikolisis anaerob yang tinggi selama pemotongan. Glikolisis yang tinggi ini mengakibatkan penurunan pH yang cepat pula. pH ultimat daging PSE pada umumnya rendah yaitu sekitar 5,2 – 5,4.

Daging ayam mudah mengalami penurunan kualitas sebagai akibat dari adanya perlakuan yang kurang baik pada saat ayam masih hidup, pada saat penanganan atau pada saat penyimpanan yang kurang sempurna (Sams, 2001). Kerusakan pada daging ayam belum tentu mengakibatkan kebusukan. Kerusakan daging ayam dapat terjadi karena pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam jumlah banyak, aksi enzim dalam daging tersebut dan reaksi kimia dan perubahan sifat fisik dari daging selama penyimpanan (Frazier dan Westhoff, 1978).

Enzim yang berada dalam daging mulai aktif pada keadaan segera setelah hewan dipotong. Setelah enzim tidak aktif lagi dan persediaan glikogen habis, maka bakteri yang berada dalam daging akan mulai berkembang terus (Libby, 1975).

Kebusukan yang disebabkan oleh bakteri dimulai dengan fermentasi glukosa dan glikogen yang terdapat pada daging ayam. Hasil fermentasi glukosa dan glikogen tidak menyebabkan bau busuk dan tidak berhubungan dengan kebusukan (Sams, 2001). Protein adalah bahan selanjutnya yang akan difermentasi setelah karbohidrat di dalam daging ayam mulai habis. Hasil metabolisme protein akan menghasilkan produk yang sangat erat hubungannya dengan indikator kebusukan. Bakteri, khususnya Pseudomonas, akan memproduksi amonia selama metabolisme asam amino yang menyebabkan pH daging meningkat selama kebusukan (Ray, 2000).

Sifat Fisik Daging Ayam Nilai pH

pH merupakan jumlah ion hidrogen (H+) dalam larutan. Air murni (aquadest)

akan memisahkan jumlah ion hidrogen (H+) dan ion hidroksil (OH-). pH didefinisikan sebagai –log 10 dari konsentrasi ion hidrogen (H+) (Warris, 2000). Nilai pH yang diperoleh merupakan jumlah ion (H+) yang terdapat dalam daging. pH

(20)

daging merupakan tingkat keasaman daging setelah pemotongan dan merupakan salah satu perubahan pokok dari konversi otot menjadi daging.

Ketika hewan dipotong, sel individu masih hidup dan metabolisme tubuhnya masih berlanjut dengan menggunakan cadangan energi yang masih tersimpan. Pada kondisi tersebut hewan akan kehilangan banyak darah sehingga hilang juga suplai oksigen, oleh karena itu metabolisme sel secara berangsur-angsur berubah dari metabolisme aerobik menjadi metabolisme anaerobik. Metabolisme tersebut berjalan lambat karena menggunakan energi cadangan sehingga metabolisme anerobik kurang efisien. Hal ini menyebabkan suplai ATP menurun dan dihasilkan asam laktat seiring dengan meningkatnya aktifitas anaerobik. Ketika asam laktat mulai dihasilkan maka akan terjadi perubahan sel otot yaitu perubahan pH dari pH mendekati netral (7) menjadi pH yang lebih asam sekitar 5,7. Penurunan ini menyebabkan pengurangan aktivitas beberapa ATP yang memproduksi enzim, dan selanjutnya akan mengurangi produksi ATP (Sams, 2001).

Buckle et al., (1987) menambahkan bahwa setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan pH. Besarnya perubahan pH tergantung pada jumlah cadangan glikogen sebelum ternak dipotong yang akan diubah menjadi asam laktat. Perubahan glikogen otot menjadi asam laktat akan terhenti bila glikogen otot habis atau setelah enzim glikolitik menjadi tidak aktif. Pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap enzim glikolitik pada kondisi seperti ini telah dicapai pH ultimat daging.

Perubahan pH daging terjadi karena tidak adanya oksigen, maka ion hidrogen yang dilepas pada proses glikolisis tidak dapat diikat oleh oksigen sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini kemudian dipergunakan untuk merubah asam piruvat menjadi asam laktat. Akibat asam laktat yang tertimbun ini, pH daging turun dengan cepat dan mengakibatkan kerusakan struktur protein (Forrest, et al., 1975).

Menurut Price dan Schweigert (1971), nilai pH akhir yang tinggi diatas 5,8 akan meningkatkan kemampuan mengikat air, karena cairan daging terikat oleh proteinnya. Hal ini menyebabkan warna daging lebih gelap. Rose (1997), mengatakan bahwa pH akhir juga mempengaruhi kekerasan daging ayam. Apabila ayam dipotong dalam kondisi stress maka cadangan glikogen dalam otot rendah

(21)

akibatnya pH akhir yang dihasilkan melebihi pH ultimat daging dan oleh sebab itu daging yang dihasilkan menjadi kering, keras dan gelap. Berikut hubungan antara tipe penurunan pH dengan warna daging (Tabel 3).

Tabel 3. Hubungan Antara Nilai pH Akhir dengan Warna Daging

pH akhir Tipe penurunan Warna daging

6,0 - 6,5 5,7 - 6,0 5,3 - 5,7 5,3 - 5,6 5,0 5,1 - 5,4 naik lagi 5,3 - 5,6 Agak Lambat Agak Lambat Lambat Cepat Cepat Cepat Gelap Agak Gelap Normal

Normal - agak gelap Gelap - pucat tetapi berair Pucat dan berair

Sumber : Cassens (1966)

Tabel di atas menunujukkan bahwa pH akhir yang tinggi akan menghasilkan warna dengan daging yang gelap sedangkan nilai pH akhir diantara 5,5 - 5,7 menghasilkan warna daging normal dan semakin rendah nilai pH akhir daging (<5,3) warna daging akan semakin pucat dan berair. Awal rigormortis dihubungkan dengan nilai penurunan pH intramuskular. Yang terjadi dalam broiler dan kalkun adalah 2-4 jam postmortem, sedangkan pada daging sapi (daging merah) adalah 10 jam postmortem. Daging merah mencapai pH ultimat pada 2-3 jam postmortem (pH 6,0-5,9), sedangkan pH ultimat untuk broiler (Otot putih) tercapai pada 8 jam postmortem. Waktu yang panjang pada awal rigor dan penurunan pH yang lambat dalam otot putih menunjukkan bahwa otot putih tersebut mempunyai cadangan energi yang tinggi terutama glikogen (Stewart et al., 1984).

Lama penyimpanan pada suhu ruang berpengaruh langsung terhadap perubahan pH postmortem karena temperatur yang tinggi dapat meningkatkan laju glikolisis dan mempercepat mulainya perombakan cadangan energi pada saat kematian, sehingga dapat meningkatkan laju penurunan pH (Pearson & Young, 1989).

Kadar Air

Air merupakan komponen terbesar pada daging (Sams, 2001). Air adalah media cair sebagai media transportasi, nutrisi, hormon dan produk – produk buangan

(22)

metabolit. Air juga merupakan media universal berbagai reaksi kimia dan proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh hewan (deMan, 1997).

Menurut Lakkonen (1973), air merupakan komponen terbesar pada daging dalam bentuk terikat dan air bebas dalam otot. Air yang terikat dengan otot adalah sejumlah air yang bersatu dengan protein dan berbeda dengan air bebas. Air bebas secara mekanik ditahan oleh membran protein dan protein filamen lain kemungkinan ditahan juga oleh kekuatan elektrostatik peptida.

Kadar air dalam daging terdapat dalam tiga konsentris pada molekul protein. Tiga konsentris tersebut antara lain (1) hidrasi primer yang merupakan grup aktif yang terdapat dalam molekul protein, (2) hidrasi sekunder, yang akhirnya bergabung dengan air bebas sebagai tempat ke-3 (Price and Sweighert, 1971).

Daya Mengikat Air (DMA)

Dalam otot (hewan yang masih hidup) kira-kira 10 % air terikat pada protein otot. Akan tetapi sebagian besar air dalam otot terikat pada bagian antar filamen tebal dan filamen tipis pada protein. Kontraksi pada filamen ini disebabkan oleh perbedaan interaksi antara aktin dan myosin. Selama proses rigormortis daging akan mengalami penyusutan dan air akan dikeluarkan. Faktor yang mempengaruhi pembentukan filamen dan tingkat keasaman yang terjadi selama postmortem juga akan mempengaruhi jumlah air yang keluar dari daging (Mead, 1984).

Menurut Lawrie (1985), faktor yang mempengaruhi daya mengikat air antara lain adalah umur, jenis ternak, fungsi otot, pH, lemak intramuskular, nutrisi, stress dan pengolahan. Faktor lain yang mempengaruhi daya mengikat air adalah (1) tidak adanya tempat pada protein miofibril yang menghasilkan jumlah aktomiosin komplek sebagai cadangan energi dan (2) perkembangan rigormortis yang menyebabkan Mg2+ dan Ca2+ dalam sarkoplasma mengikat gugus reaktif pada protein (Anadon, 2002).

Hamm (1962), kemampuan daging mengikat air disebabkan oleh protein otot. Sekitar 34 % dari protein ini larut dalam air. Hanya sekitar 3% dari kemampuan otot mengikat air total yang disebabkan oleh protein yang larut dalam air (plasma). Kemampuan otot mengikat air terutama disebabkan oleh aktomiosin, komponen utama miofibril.

(23)

Daya mengikat air daging tergantung dari banyaknya gugus reaktif protein. Pada pH rendah, karena banyak asam laktat maka gugus reaktif protein berkurang, daya mengikat air berkurang, hal ini menyebabkan makin banyaknya air daging yang keluar (Forrest et al., 1975). Daya mengikat air diperbaiki oleh nilai pH yang tinggi, hal ini disebabkan protein sarkoplasma sangat mudah rusak dalam suasana asam dan cenderung untuk kehilangan daya mengikat air pada pH dibawah 6,2 (Buckle et al.,1987).

Produksi asam laktat dan penurunan pH yang terjadi setelah pemotongan menyebabkan protein terdenaturasi, kehilangan solubilitas protein dan secara keseluruhan terjadi pengurangan gugus reaktif untuk mengikat air pada protein otot. Hal ini terjadi pada pH otot yang telah mencapai titik isolektrik. Pada pH ini muatan positif dan muatan negatif pada gugus reaktif seimbang. Oleh karena itu akan mengurangi jumlah gugus yang bereaksi dengan molekul air dan mengurangi kemampuan protein otot untuk mengikat air (Anadon, 2002).

Menurut Pearson dan Young (1989), titik minimal daya mengikat air bersamaan dengan pencapaian pH rendah yaitu antara 5,0 – 5,1 yang juga bertepatan dengan titik isoelektrik protein otot. pada titik isoelektrik, muatan protein berada dalam keadaan seimbang, sehingga meningkatkan ikatan antara gugus molekul. Oleh karena itu lebih sedikit air yang terperangkap dalam jaringan protein miofibril seperti pada Gambar 1 (Price and Scweighert, 1971).

Gambar 1. Pengaruh Nilai pH Terhadap Jumlah Air Terikat Dalam Daging yang Berpengaruh Terhadap Penyebaran Muatan pada Miofilamen.

(24)

Price and Scweighert (1971), menjelaskan bahwa Gambar 1, filamen pada kondisi (a) kelebihan muatan positif sehingga daya mengikat air daging akan meningkat pada pH kurang dari 5,0, (b) filamen dalam keadaan seimbang muatan positif sama dengan muatan negatif dan merupakan titik minimum daya mengikat air daging, (c) filamen kelebihan muatan negatif dan menyebabkan peningkatan daya mengikat air daging.

Warris (2000) mengatakan bahwa nilai pH daging berpengaruh pada daya ikat air. Pada pH yang tinggi struktur protein longgar dan hal ini menyebabkan struktur serat dagingnya juga longgar, sehingga daging mampu mengikat air daging lebih banyak. Sebaliknya dengan pH rendah, strukturnya mengkerut dan menyebabkan penekanan air untuk keluar dari daging menjadi besar dan struktur serat dagingnya juga menjadi mengkerut dan menyebabkan daging tidak mampu mengikat air lebih baik, artinya daya ikat air menjadi rendah.

Aktivitas Air (aw)

Winarno (1992) menyatakan bahwa aktivitas air (aw) merupakan jumlah air

bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya, sehingga sangat menentukan dalam kerusakan bahan pangan. Air bebas secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain-lain. Bagian air ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw

minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri aw : 0,90. khamir : 0,80 –

0,90, dan kapang aw : 0,6 – 0,7.

Daging segar mempunyai aw sekitar 0,990 dan pembusukan mudah sekali

terjadi karena bertumbuhnya berbagai mikroorganisme. Penurunan aw akan

meningkatkan tingkat pertumbuhan fungi, ragi dan bakteri. Nilai aw yang optimum

untuk beberapa bahan makanan yang dapat diracuni oleh Staphilococcus aureus kira-kira 0,995 (Lawrie, 1985).

Troller and Cristian (1978) mengatakan bahwa pada saat mikroba tumbuh dilingkungan baru, maka yang mungkin terjadi adalah tumbuh (survival) atau mati (death). Pada dasarnya mikroba tumbuh makin tinggi dengan menurunnya nilai aw.

(25)

Gambar 2. Pengaruh Nilai aw Terhadap Rata-rata Pertumbuhan Bakteri

Sumber: Sperber, 1983 Dalam Troller and Cristian (1978)

Beberapa mikroorganisme tumbuh baik pada kisaran aw 0,91-0,99.aw adalah

faktor kritis yang dapat menentukan keamanan bahan pangan. Pengukuran aw dapat

digunakan untuk memprediksi mikroorganisme mana yang akan tumbuh dan mana yang tidak dapat tumbuh. aw bukan merupakan air akan tetapi merupakan ukuran

atau batas terendah air yang dapat digunakan oleh mikroorganisme (Anonimous, 2002).

Postmortem Perubahan Biokimia

Setelah pemotongan, maka akan terjadi perubahan biokimia, konversi otot menjadi daging. Perubahan biokimia ini akan menentukan kualitas akhir daging. Perkembangan rigormortis adalah faktor penting dalam proses kematian dan penting untuk menentukan kualitas daging. Pada saat hewan dipotong, maka akan terjadi pengeluaran darah, sehingga sel otot akan terus berlanjut menggunakan dan menghasilkan ATP selama cadangan glikogen masih tersedia (Greaser, 1986). Forrest et al., (1975) mengatakan bahwa tidak adanya darah setelah hewan dipotong menyebabkan penyediaan oksigen ke otak berhenti dan tidak ada lagi glikogen dalam otot sehingga hasil sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari otot dan mulai terjadi perubahan pada otot menjadi daging meliputi perubahan suhu, perubahan pH dan terjadinya proses rigormorti.

Menurut Eskin (1971), terhentinya respirasi menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur jaringan otot hewan serta menurunnya jumlah ATP dan kreatin fosfat (CP) sebagai sumber energi. Hal ini ditandai dengan terjadinya

(26)

kekakuan (rigor) pada jaringan otot beberapa saat setelah hewan mati. Menurut Hamm (1981), jika CP habis, sintesa ATP diperoleh melalui glikolisis anaerob yang mengubah glikogen menjadi asam laktat. Dengan demikian pada fase awal kematian hewan hanya terjadi penurunan pH secara bertahap sementara jumlah ATP masih relatif konstan.

Perubahan biokimia postmortem dalam konversi otot menjadi daging hampir sama antara aves dan mamalia. Akan tetapi glikolisis dan rigormortis terjadi lebih cepat pada unggas dibandingkan dengan spesies daging merah (Gray et al., 1974). Berbeda dengan spesies lain, perubahan saat postmortem pada unggas terjadi dalam waktu yang singkat dan rigor sempurna terjadi kira-kira 1 jam setelah pemotongan (Dransfeield and Sosnicki, 1999).

Menurut Palupi (1986), sesaat setelah hewan dipotong, perubahan biokimia dalam jaringan masih terjadi. Proses kontraksi menyebabkan jaringan otot menjadi karkas dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong (fase postmortem) adalah rigor, rigormortis dan pasca rigormortis. Pada fase pre-rigor, daging masih lunak karena daya ikat air dan jaringan otot masih tinggi. Pada fase rigormortis, jaringan otot menjadi kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigormortis berlangsung cukup lama. Fase pasca rigormortis adalah fase pembentukan aroma dan pada fase ini daging menjadi lunak kembali, karena daya ikat air kembali meningkat sehingga daging menjadi empuk.

Glikolisis

Glikolisis adalah pemecahan glukosa untuk menghasilkan asam laktat karena tidak adanya oksigen. Dalam kondisi anaerobik, 2 molekul ATP pada setiap molekul glukosa dirombak dirubah menjadi asam laktat.

Perubahan yang terjadi selama postmortem, merubah sistem metabolik otot dan serabut otot. Pada saat unggas dipotong, maka suplai oksigen dan nutrisi ke serabut otot, dan konsentrasi ATP dirombak, pertama adalah kreatin fosfat, dan kemudian glikogen. Pemecahan glikogen ini (glikolisis) adalah dibawa oleh aksi enzim yang terjadi dalam sarkoplasma terlarut pada otot dan menghasilkan asam laktat, dan terjadi perubahan pH otot postmortem yaitu dari 7,0 menjadi pH ultimat

(27)

5,6 – 5,8 dalam daging dada ( Mead, 1984). Kinsman (1994) mengatakan bahwa dalam metabolisme anaerobik yang terjadi hanyalah proses glikolisis.

Pada awalnya, nilai glikolisis berjalan lambat dengan nilai ATP hasil dari perombakan kreatin fosfat rendah, tetapi selanjutnya menggunakan cadangan energi, sehingga glikolisis meningkat dan konsentrasi ATP juga meningkat. Ketika konsentrasi turun antara 20-30 %, maka otot menjadi kurang extensible dan memasuki fase rigor. Unggas mulai megalami rigor dalam waktu yang relatif pendek (Mead, 1984).

Proses glikolisis yang cepat dalam daging ayam akan menghasilkan proses rigormortis yang cepat pula. Hal itu menyebabkan tidak ada waktu untuk degradasi protein, sehingga daging menjadi keras. Kerusakan protein akan mengurangi daya mengikat air dalam daging dan akan memberikan tekstur yang lembab (Rose, 1997). Rigormotis

Otot secara normal berkontraksi setelah kematian dan kemudian terjadi kekejangan otot yang disebut rigormortis. Kekejangan ini disebabkan oleh pertautan antara aktin dan miosin akibat keluarnya darah dan habisnya ATP (Adhenosin Triposphat) sehingga daya regang otot akan hilang dan akhirnya otot menjadi kaku (Forrest et al., 1975).

Menurut Rose (1997) rigormortis adalah ketika unggas dipotong, maka otot mulai berkontraksi. Selanjutnya oksigen akan keluar karena tidak ada lagi suplai darah dalam tubuh. Yang terjadi hanya metabolisme anaerobik dan akan menghasilkan asam laktat dalam otot. Konsentrasi dalam otot terus menerus menurun sampai benar-benar habis. Penurunan ATP ini menyebabkan terbentuknya ikatan aktomiosin sehingga otot menjadi kaku. Pearson dan Young (1989), menyatakan bahwa setelah perkembangan rigor, ATP masih terdapat dalam otot dan dengan menurunnya nilai pH, kerja ATP-ase dihambat, hidrolisis ATP dicegah, dan melepaskan ikatan aktomiosin.

Sams (2001) menjelaskan bahwa ATP adalah komponen penting dalam fungsi otot karena tidak hanya berfungsi untuk menyediakan energi, tapi juga berperan dalam beberapa reaksi terutama yang membantu pengaturan interaksi protein serat dalam kontraksinya. Otot terdiri dari filamen-filamen protein, yaitu filamen tebal (miosin) dan filamen tipis (aktin). Filamen ini adalah bagian dari

(28)

serabut otot yang disebut sarkomer, yang merupakan unit dasar terjadinya kontraksi dan relaksasi. ATP menyebabkan kontraksi, dengan menyediakan energi dan relaksasi dengan memecah rantai antara filamen tebal dan filamen tipis. Dalam hal ini konsentrasi minimum untuk ATP yang dapat digunakan adalah 1 µM ATP/g otot. Oleh karena itu ketika konsentrasi ATP mulai menurun maka tidak ada lagi ruang untuk merespon sistem syaraf dan stimulus dan ini terjadi dalam rigormortis. Lebih jelas terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Penurunan ATP dan pH selama proses rigormortis Sumber: Sams, 2001

Hamm (1981), menerangkan bahwa pada tingkat ATP dibawah 1 µM/g, energi yang dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi retikulum sarkoplasma sebagai pompa kalsium (yang menjaga kondisi ion Ca2+ disekitar miofilamen serendah mungkin. Akibatnya terjadi pembebasan ion Ca2+. Ion Ca2+ kemudian akan berkaitan dengan troponin yaitu suatu penghalang bagi pembentukan ikatan antara aktin dan miosin. Akibatnya terjadi elektrostatik antara filamen aktin dan miosin membentuk suatu kompleks yang disebut aktomiosin. Proses ini ditandai dengan pengkerutan dan kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik.

Bendall (1973), proses rigormortis dan kontraksi otot secara esensial adalah sama, tetapi pada kondisi rigormortis, relaksasi tidak mungkin terjadi. Peristiwa rigormortis berhubungan dengan semakin habisnya ATP otot. Kecepatan penurunan

(29)

jumlah ATP tergantung pada kandungan awal glikogen otot daging. Semakin tinggi kandungan glikogen semakin lama proses habisnya ATP. Habisnya ATP pasca pemotongan pada fase rigormortis menyebabkan terjadinya ikatan yang kuat antara filamen aktin dan miosin. Kuatnya jaringan protein miofibril tersebut juga dapat menyebabkan menyempitnya ruangan untuk pengikatan air sehingga daya mengikat air daging pada fase rigormortis rendah (Hamm 1981) dan apabila cadangan glikogen habis, perubahan ATP juga terhenti, sementara pemecahan ATP untuk menghasilkan energi terus berlangsung, sehingga jumlah ATP jaringan otot akan menyusut secara bertahap (Muchtadi dan Sugiyono, 1982).

Rigormortis pada unggas lebih cepat dibandingkan pada mamalia. Daging ayam mulai mengalami rigormortis kira-kira dibawah 1 jam dan 90 menit pada kalkun. Unggas yang meronta-ronta sebelum dipotong akan mengalami proses glikolisis yang tinggi dalam postmortem. Pencabutan bulu menggunakan mesin akan meningkatkan glikolisis otot dibandingkan dengan pencabutan bulu secara manual, selain itu pencabutan bulu dengan mesin akan menghasilkan daging yang keras dan liat (Rose, 1997).

(30)

MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan September 2005. Lokasi pemotongan di Laboratorium Lapang Kandang B Bagian Ilmu Produksi Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis pH, aktivitas air (aw) dan

kadar air di Laboratorium Teknologi Kimia, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan untuk analisis daya mengikat air dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Bahan yang digunakan adalah ayam broiler berumur 5 minggu diperoleh dari Peternakan Mandiri Leuwiliang sebanyak 6 ekor (diambil bagian dada saja, satu bagian dada digunakan untuk 5 perlakuan), garam (BaCl2, Mg(NO3)2, NaCl dan

KCl), aquadest dan kertas Whattman. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pH meter, blender, gelas piala, timbangan digital, pisau, talenan, alat penggiling daging, dan alat shibaura aw meter, cawan porselin, oven.

Rancangan Percobaan Perlakuan

Penelitian ini disusun dengan rancangan acak kelompok. Hari pemotongan yang berbeda sebagai kelompok, terdiri dari 3 kelompok, sebagai perlakuan adalah lama postmortem 0, 2, 4, 6 dan 8 jam.

Model

Model matematikanya mengacu pada Mattjik dan Sumertajaya (2000), sebagai berikut:

Y

ij

= ì + ái + â

i

+ å

ij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

ì = rataan umum

ái = pengaruh perlakuan ke-i (i = 0, 2, 4, 6 dan 8 jam) âi = pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2 dan 3)

(31)

Peubah yang Diamati Nilai pH (AOAC, 1984).

Sampel daging digiling kemudian 10 g sampel hasil gilingan dimasukkan ke dalam gelas piala dan diencerkan dengan ditambahkan 100 ml aquadest. Setelah itu dimixer dengan menggunakan blender selama 1 menit lalu diukur dengan pH meter yang sebelumnya dikalibrasi pada pH 4 dan 7.

Kadar Air (AOAC, 1984).

Kadar air ditentukan secara langsung dengan menggunakan oven pada suhu 105ºC. Cawan yang digunakan terlebih dahulu ditimbang beratnya. Sampel sebanyak 3 g dimasukkan kedalam cawan porselin lalu ditimbang. Cawan beserta isi dikeringkan 1 malam (15 jam) dalam oven sampai beratnya konstan. Cawan berisi contoh tersebut selanjutnya dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai berat konstan. Kadar air dihitung dengan rumus berikut:

Kadar air (% berat basah) = A

C B

x 100 % Keterangan:

A : Berat sampel sebelum dikeringkan

B : Berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan C : Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan Daya Mengikat Air (Hermanianto et al., 1999).

Metode Hamm dapat digunakan untuk menggambarkan nilai daya mengikat air pada daging. Untuk mengukurnya, sebanyak 0,3 gram sampel ditekan dengan beban 35 kg, setelah lima menit daerah yang tertutup sampel daging dan luas daerah basah disekitarnya ditandai dan diukur. Daerah basah merupakan luas lingkaran luar dikurangi luas lingkaran dalam diukur dengan planimeter dan diperoleh nilai gH2O,

dengan rumus sebagai berikut: gH2O = 0948 , 0 h daerahbasa - 8,0

(32)

Nilai daya mengikat air dihitung dengan rumus sebagai berikut: DMA = x y x− x 100% Keterangan :

x : Jumlah air sampel (gram) y : Jumlah air terlepas (gH2O)

Nilai Aktivitas Air (AOAC, 1984).

Penentuan nilai aktivitas air dari produk diukur dengan menggunakan alat pengukur aw (Shibaura aw meter). Sebelum melakukan pengukuran aw produk,

dilakukan kalibrasi alat dengan memasukkan garam kedalam wadah yang telah tersedia. Jenis garam yang digunakan adalah BaCl2, Mg(NO3)2, NaCl dan KCl.

Pengukuran nilai aw dilakukan dengan cara memasukkan sampel yang akan diukur

dalam wadah yang tersedia pada alat tersebut, kemudian sampel didiamkan kurang lebih 15 menit, setelah itu dilihat nilai aw yang tertera pada alat tersebut.

Analisis Data

Data nilai pH, kadar air, daya mengikat air dan aktivitas air yang diperoleh diolah dengan analisis ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji kontras polinomial ortogonal (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).

Prosedur Penelitian Penyembelihan Ayam

Penyembelihan dimulai pada pukul 07.15 - 08.00, dilakukan dengan menggantungkan ayam dalam corong penggantung sedemikian rupa sehingga kepala ayam menjulur keluar dengan posisis kepala dibawah. Ayam dipotong tepat di bawah rahang termasuk vena jugularis, pipa tenggorok dan kerongkongan. Setelah dipotong ayam dibiarkan tergantung dalam corong selama kurang lebih 2 – 5 menit agar darah keluar sempurna. Selanjutnya dilakukan Scalding, yaitu pencelupan ayam kedalam air panas suhu sekitar 60ºC selama 1 menit untuk memudahkan pencabutan bulu. Pencabutan bulu, dilakukan tanpa menggunakan alat pencabut bulu, tetapi dilakukan secara manual. Pengeluaran isi rongga perut dilakukan dengan membuat irisan mendatar pada daerah perut kemudian isi rongga perut ditarik keluar dengan tangan.

(33)

Selanjutnya dilakukan pemotongan leher, sayap, kaki dan dada, kemudian dilakukan pencucian. Gambar 4 menunjukkan diagram alir proses penyembelihan ayam.

.

Gambar 4. Diagram Alir Proses Penyembelihan Ayam Sumber: Priyatno, 2003

Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian dada. Daging dada ayam broiler dibiarkan pada suhu ruang selama 8 jam postmortem. Pengamatan dimulai pada 0 jam postmortem, 2 jam postmortem, 4 jam postmortem, 6 jam postmortem dan 8 jam postmortem. Pengambilan sampel untuk tiap perlakuan

Penggantungan ayam

Pemotongan leher tepat dibawah rahang

Pencelupan kedalam air panas

(60°C selama 1 menit)

Pencabutan bulu

Pengeluaran isi rongga perut

Pemotongan leher, sayap, kaki, paha dan dada

Pencucian Pengeluaran darah

(34)

dilakukan dengan cara mengiris satu sisi bagian dada yang telah ditentukan secara acak. Kemudian ditimbang berat sampel sesuai yang ditentukkan, untuk analisis pH 10 g, analisis kadar air 3 g, analisis daya mengikat air 0,3 g dan analisis aktivitas air 2 g. Selanjutnya dianalisis sifat fisik daging meliputi nilai pH, kadar air, daya mengikat air dan aktivitas air secara bersamaan.

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai pH

Pengukuran pH daging ayam sesaat setelah dipotong, dilakukan menggunakan kertas lakmus dengan nilai pH antara 6 - 7. Rataan nilai pH pada 0 jam postmortem sebesar 5,76. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan pH yang cepat. Penurunan pH yang cepat ini disebabkan karena pada saat ayam disembelih akan terjadi pengeluaran darah yang mengakibatkan sirkulasi darah dan oksigen kedalam tubuh berhenti. Hal tersebut mengakibatkan ion hidrogen tidak dapat berikatan lagi dengan oksigen sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini digunakan untuk merubah asam piruvat menjadi asam laktat, oleh karena itu akan mempengaruhi nilai pH (Forrest et al., 1975). Kontraksi otot (rigormortis) yang cepat pada daging dada berkaitan dengan metabolisme glikolitik dan glikogen yang tinggi sehingga pembentukan asam laktat lebih besar dan menurunkan pH lebih cepat (Rose, 1997).

Hasil pengamatan nilai rataan pH daging dada ayam broiler pada berbagai lama postmortem disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Rataan pH Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem

Lama postmortem (jam) Nilai pH

0 2 4 6 8 5,76 ± 0,144 5,65 ± 0,150 5,55 ± 0,100 5,48 ± 0,104 5,40 ± 0,000

Rataan nilai pH daging dada ayam broiler dari 0 - 8 jam postmortem menurun dari 5,76 menjadi 5,40. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama postmortem sangat berpengaruh terhadap rataan nilai pH.

Hasil uji lanjut kontras polinomial orthogonal menunjukkan bahwa perubahan pH daging dada ayam broiler pada berbagai lama postmortem selama 8 jam mengikuti pola linier dengan koefisien korelasi negatif (-0,996). Artinya bahwa

(36)

peningkatan waktu postmortem akan semakin menurunkan nilai pH daging. Lebih jelasnya ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Perubahan Nilai pH Daging Ayam Pada Berbagai Lama

Postmortem

Gambar diatas menunjukan bahwa nilai pH daging dada ayam broiler mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya waktu postmortem. Semakin lama postmortem akumulasi ion hidrogen dalam otot semakin meningkat sehingga makin banyak asam laktat yang terbentuk. Oleh karena itu pH turun terus sampai cadangan glikogen otot benar-benar habis atau setelah enzim glikolitik tidak aktif lagi. Pada kondisi ini telah tercapai pH ultimat daging (Buckle et al., 1987).

Nilai rataan pH akhir (8 jam postmortem) sebesar 5,40. Pada kondisi ini telah tercapai pH ultimat daging. Sesuai dengan Stewart et al., (1984), yang mengatakan bahwa pH ultimat daging ayam broiler dapat mencapai 8 jam postmortem, dengan nilai pH ultimat sekitar 5,3 - 5,5 (Eskin, 1990).

Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan yaitu 0,989 artinya bahwa

98,9% keragaman dari rataan pH dapat dijelaskan oleh persamaan regresi y = 5,75 – 0,045x. Berdasarkan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan lama postmortem akan menurunkan perubahan nilai pH sebesar 0,045 satuan.

Nilai pH akhir daging berkaitan dengan kualitas daging. Seperti dikatakan

5,77 5,55 5,65 5,48 5,40 y = 5.75 - 0.045x R 2 = 0,9891 5,4 5,5 5,6 5,7 5,8 0 2 4 6 8

Lama Postmortem (jam) Nilai pH

(37)

struktur terbuka dan baik untuk pengawetan dan layak untuk dikonsumsi. Pada penelitian ini pH akhir daging dada ayam broiler pada 8 jam postmortem sebesar 5,4. Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran normal untuk dikonsumsi.

Kadar Air

Kadar air adalah jumlah air total yang terkandung dalam bahan. Air merupakan komponen terbesar dari daging 74,4% (Rose, 1997). Air merupakan ikatan kovalen yang terbentuk dari dua buah atom hidrogen dengan sebuah atom oksigen dan keduanya memiliki daya padu yang sangat besar (Winarno, 1992). Nilai rataan kadar air daging dada ayam broiler selama 8 jam postmortem dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Rataan Kadar Air Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem

Lama postmortem (jam) Nilai kadar air (%) 0 2 4 6 8 74,50 ± 0,199 74,38 ± 0,191 73,91 ± 0,353 73,74 ± 0,502 73,90 ± 0,260

Rataan nilai kadar air daging dada ayam broiler dari 0 - 8 jam postmortem menurun dari 74,50 menjadi 73,90. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama postmortem nyata berpengaruh terhadap rataan nilai kadar air. Uji lanjut kontras polinomial orthogonal pada Gambar 5 menunjukkan bahwa perubahan nilai kadar air daging dada pada berbagai lama postmortem mengikuti pola linier dengan koefisien korelasi -0,913. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama postmortem, semakin menurunkan nilai kadar air daging dada ayam broiler.

Penurunan kadar air berhubungan dengan penguapan yang terjadi selama postmortem. Air yang terikat secara fisik pada jaringan matriks bahan seperti serat, mudah diuapkan dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba (Winarno, 1992). Penguapan kadar air dalam daging terjadi karena terputusnya ikatan hidrogen antara molekul air sehingga molekul bergerak cepat dan keluar menjadi gas.

(38)

Gambar 6. Grafik Perubahan Nilai Kadar Air Daging Ayam Selama 8 jam Postmortem

Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan rendah yaitu 0,7728, artinya hanya 77,28% keragaman dari nilai kadar air dapat dijelaskan oleh persamaan regresi y = 74,487 - 0.0973x. Berdasarkan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan lama postmortem akan menurunkan nilai kadar air sebesar 0.0973.

Selama postmortem efek penurunan pH pada saat rigormortis berpengaruh terhadap kadar air. Penurunan pH postmortem akan menurunkan kadar air dalam miofibril dari 80 - 60% dari total air yang terdapat dalam daging (Price and Scweighert, 1971). Warris (2000), mengatakan bahwa nilai pH daging berpengaruh terhadap air yang keluar dari daging. Daging dengan nilai pH rendah mengakibatkan struktur protein mengkerut dan menyebabkan penekanan air untuk keluar dari daging menjadi besar. Semakin banyak air yang keluar dari daging, maka kadar air dalam daging menjadi berkurang dan mempengaruhi ketersediaan air bebas dalam daging. Mead (1984) juga mengatakan bahwa tingkat keasaman yang terjadi selama postmortem akan mempengaruhi jumlah air yang keluar dari daging. Penurunan pH yang cepat berhubungan dengan denaturasi miosin yang menyebabkan penyusutan air yang besar.

74,55 74,39 73,91 73,90 73,74 y = 74,487 - 0,0973x R 2 = 0,7728 73,70 74,00 74,30 74,60 0 2 4 6 8

Lama Postmortem (jam) Nilai kadar air

(39)

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air (DMA) adalah merupakan faktor penting dalam pengolahan daging ayam. Protein daging mempunyai peran utama dalam pengikatan daging dalam jaringan. Kekuatan untuk menjaga molekul air diikat oleh protein ditentukan oleh distribusi muatan positif dan muatan negatif dalam filamen otot (Price and Scweighert, 1971). Berikut hasil nilai rataan DMA daging dada ayam pada lama postmortem 0, 2, 4, 6 dan 8 jam.

Tabel 6. Nilai Rataan Daya Mengikat Air Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama Postmortem

Lama postmortem (jam) Nilai daya mengikat air (%) 0 2 4 6 8 95,27 ± 2,148 94,93 ± 2,008 94,11 ± 2,076 94,45 ± 1,041 93,75 ± 0,761

Rataan nilai daya mengikat air daging dada ayam broiler dari 0 - 8 jam postmortem menurun dari 95,27% menjadi 93,75%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama postmortem tidak berpengaruh nyata terhadap nilai daya mengikat air daging dada ayam broiler. Hal ini berarti bahwa nilai daya mengikat air daging untuk 0, 2, 4, 6 dan 8 jam postmortem tidak berbeda.

Lawrie (1985) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi daya mengikat air adalah jenis ternak, umur, fungsi otot, pH, lemak intramuskular, nutrisi, stress dan pengolahan. Richardson dan Mead (2003) juga mengatakan bahwa nilai daya mengikat air dipengaruhi oleh umur dan spesies ternak. Price and Scweighert (1971) menjelaskan bahwa daging ayam yang berumur masih muda menghasilkan nilai lebih tinggi dari ayam yang berumur tua, karena ayam muda memiliki struktur protein longgar sehingga memungkinkan air untuk masuk dan diikat oleh protein otot, sedangkan pada ayam tua struktur proteinnya semakin menyempit sehingga air terikat dalam daging berkurang karena banyak air yang terlepas. Pada penelitian ini ayam yang digunakan memiliki bobot dan umur yang sama, yaitu 1,7 kg dan berumur 35 hari. Selain itu otot yang digunakan untuk setiap perlakuan memiliki

(40)

fungsi yang sama yaitu otot bagian dada. Oleh karena itu nilai daya mengikat air tidak berbeda untuk tiap perlakuan.

Nilai pH berhubungan dengan nilai daya mengikat air daging. Nilai pH dan DMA tidak berkorelasi pada pH 5,4 - 5,8 dan hanya diatas pH 5,8 terdapat korelasi positif dengan nilai DMA (Forrest, et al., 1975). Nilai rataan pH selama postmortem, tidak berpengaruh pada nilai daya mengikat air daging, seperti dikatakan Price and Scweighert (1971) bahwa diantara pH 5,6 – 7,0 DMA mempunyai nilai yang konstan, tetapi pada pH kurang dari 5,5 DMA akan meningkat.

Nilai daya mengikat air tidak dipengaruhi oleh jumlah air terlepas, karena DMA bukan merupakan jumlah air tetapi merupakan kemampuan daging untuk mengikat airnya, seperti dikatakan Warris (2000) bahwa daya mengikat air dipengaruhi oleh kekuatan ikatan silang terutama ikatan antara aktin dan miosin pada protein miofibril. Jadi walaupun jumlah kadar air dalam daging berkurang selama postmortem, tetapi kekuatan silang aktin dan miosin tetap sama. Seperti dikatakan Hamm (1981) bahwa habisnya ATP pasca pemotongan pada fase rigormotis menyebabkan terjadinya ikatan yang kuat antara filamen aktin dan miosin.

Daging dengan daya mengikat air yang tinggi baik digunakan untuk produk emulsi, karena daya mengikat air yang tinggi memiliki struktur longgar sehingga protein daging khususnya aktin dan miosin mudah larut. Hal tersebut menyebabkan daya emulsinya juga tinggi. Sebaliknya daging dengan daya ikat air rendah sebaiknya digunakan untuk pengolahan yang sifatnya banyak melepaskan air seperti pembuatan dendeng dan abon.

Aktivitas Air (aw)

Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh

mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw

minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri aw : 0,90. khamir : 0,80 –

0,90, dan kapang aw : 0,6 – 0,7 (Winarno, 1992). Berikut nilai rataan aw daging dada

(41)

Tabel 7. Nilai Rataan Aktivitas Air (aw) Daging Dada Ayam Broiler Pada

Berbagai Lama Postmortem

Lama postmortem (jam) Nilai aktivitas air 0 2 4 6 8 0,985 ± 0,004 0,977 ± 0,006 0,975 ± 0,013 0,967 ± 0,007 0,960 ± 0.009

Rataan nilai aktivitas air daging dada ayam broiler dari 0 - 8 jam postmortem menurun dari 0,985 menjadi 0,960. Analisis ragam menunjukKan bahwa lama postmortem sangat nyata berpengaruh terhadap nilai aw daging dada ayam broiler.

Hasil uji lanjut kontras polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perubahan nilai aw

pada berbagai lama postmortem selama 8 jam postmortem mengikuti pola linier dengan koefisien korelasi -0,988. Lebih jelasnya ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik Perubahan Nilai Aktivitas Air Daging Ayam Broiler Selama 8 jam Postmortem

Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan yaitu 0,9761, artinya bahwa 97,61% keragaman dari nilai aktivitas air dapat dijelaskan oleh persamaan regresi y =

0,985 0,975 0,967 0,960 0,977 y = 0,9848 - 0,003x R 2 = 0,9761 0,960 0,970 0,980 0,990 0 2 4 6 8

Lama Postmortem (jam) Nilai aw

(42)

0,9848 – 0,003x. Berdasarkan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan lama postmortem akan menurunkan perubahan nilai aktivitas air sebesar 0.003 satuan.

Nilai aw semakin menurun pada saat postmortem, karena berdasarkan Lawrie

(1985), bahwa semakin lama postmortem maka urat daging akan menyusut sehingga banyak air terlepas yang juga akan mempengaruhi ketersediaan air bebas dalam daging. Penyusutan otot ini memungkinkan untuk penetrasi bakteri ke dalam jaringan daging.

Eskin (1990) menyatakan bahwa penurunan nilai pH menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Tersedianya air bebas secara mekanik ditambat oleh membran seluler protein (Lakkonen, 1973). Denaturasi protein ini menyebabkan air bebas yang ditambat oleh protein berkurang sehingga banyak air bebas yang terlepas. Warris (2000), juga mengatakan bahwa nilai pH daging berpengaruh terhadap air yang keluar dari daging. Daging dengan nilai pH rendah mengakibatkan struktur protein mengkerut dan menyebabkan penekanan air untuk keluar dari daging menjadi besar. Semakin banyak air yang keluar dari daging, maka kadar air dalam daging menjadi berkurang dan juga mempengaruhi ketersediaan air bebas dalam daging. Lama postmortem semakin menurunkan nilai aw seiring dengan menurunnya nilai pH.

Troller and Cristian (1978) mengatakan bahwa pada saat mikroba tumbuh dilingkungan baru, maka yang mungkin terjadi adalah tumbuh (survival) atau mati (death). Pada dasarnya mikroba tumbuh makin tinggi dengan menurunnya nilai aw.

Rataan nilai aw yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 0,985 – 0,960,

yang mungkin tumbuh pada kisaran ini adalah populasi bakteri, karena berdasarkan pada Jay (2000) nilai aw minimal yang dibutuhkan oleh bakteri sebesar 0,91, jadi

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Lama postmortem selama 8 jam postmortem (0, 2, 4, 6 dan 8 jam) berpengaruh terhadap rataan nilai kadar air dan sangat berpengaruh terhadap perubahan rataan nilai pH, aktivitas air. Akan tetapi tidak berpengaruh terhadap rataan nilai daya mengikat air daging dada ayam broiler.

Peningkatan waktu postmortem menurunkan nilai rataan pH, kadar air dan aktivitas air (aw) daging dada ayam broiler. Daya mengikat air daging sampai 8 jam

postmortem memiliki kemampuan yang sama. Saran

Pemrosesan dalam pemotongan ayam seperti teknik pemotongan, pencabutan bulu, pencucian dan pengolahan serta penyimpanan yang higienis dan memenuhi syarat kesehatan merupakan satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penentuan kualitas daging. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk pengamatan pada aspek mikrobiologis dan pengamatan bau, warna dan lendir dari sejak ayam dipotong hingga 8 jam postmortem. Penyimpanan daging dada ayam broiler di suhu ruang sebaiknya diperpanjang waktunya.

(44)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongannya, skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang banyak membantu baik materi, motivasi, serta kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Juga, kepada Ibu Ir. Hj. Niken Ulupi, MS dan Ibu Zakiah Wulandari, S.TP, M.Si yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi, serta kepada Ibu Ir. B. N. Polii, SU dan Ibu Dr. Ir. Rita Mutia, M. Agr sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang membantu dalam kesempurnaan skripsi ini. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan juga kepada Pembimbing Akademik, Ibu Irma Isnafia, S.Pt, MSi dan seluruh staff atau teknisi yang banyak memberi bantuan dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada THT’ 38 atas dukungan, semangat dan kekompakannya selama ini, terutama kepada Arinahatien, Karyadinata, Yeni, Yefirma, Ade W, Sangadah, Nuzul W, Nirmala, Tria dan Ohan S, Wisnu dan Rental Edwin. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Gangsar, kakak dan adik tercinta yang selalu memberi dukungan dan tidak lupa kepada keluarga baruku di ’Amanah C’ atas persaudaraan yang diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Oktober 2005

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Anadon, H. L. S. 2002. Biological, nutritional and processing factors affecting breast meat quality of broilers. Dissertation. Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University. Blacksburg, Virginia.

Anonimous. 2002. Water Activity for Product Quality.

http://www.decagon.com/aqualab/aw info.html. [6 Juni 2005].

Association Of Analytical Chemists, 1984. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical. Chemist. Washington, DC.

Bendall, J. R. 1973. Physiologys and chemistry of muscle. Dalam Price , J. F. and B. S. Schweigert. The Science of Meat and Meat Products. Third Edition. Departemen of Food Science. Michigan University.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Cahyono, B. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging. Yayasan

Pustaka Nusatama, Yogyakarta.

Cassens, R. G. 1966. General aspect of postmortem changes. Dalam Eskin, N. A. M. 1990. Biochemistry of Foods.2nd Edition. Departement of Foods and Nutrition. The University of manitoba. Canada.

Cross, H. R. and A. J. Overby. 1988. World Animal Science. Elsevier, New York. deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Institut Teknologi Bandung,

Bandung.

Dransfeield, E. and A. A. Sosnicki. 1999. Relationship between muscle browth and poultry meat quality. Poultry Science. 78:743-746.

Edwards, S. A. 1974. Meat Technology, p. 40-1533. A course Manual in Food Science, Australia Rice Concelors Commite, Brisbane.

Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science. 4th Ed. Interstate Publisher, Inc. Denville. Illnos.

Eskin, N. A. M. 1990. Biochemistry of Foods. 2nd Edition. Departement of Foods and Nutrition. The University of manitoba. Canada.

Forrest, J. G., E. D. Aberk, H. B. Hendrick, M. D. Judge and R. A. Merks. 1975. Principle of Meat Science. W. H. Freeman and Company, San Francisco. Frazier, W. C. and D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Third Edition. Tata

McGraw. Hill Publishing Company Limited, New Delhi.

Gray, J. I. and Pearson, A. M. 1994. Lipid –derived off-flavors in meat formation and inhibitation. Dalam Shahidi, F. 1998. Flavor of Meat and Meat Products. Chapman and Hall, Glasgow.

Greaser, M. L., 1986. Conversion of muscle to meat. Dalam Anadon, H. L. S. 2002. Biological, nutritional and processing factors affecting breast meat quality of broilers. Dissertation. Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University. Blacksburg, Virginia.

Gambar

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Daging Ayam
Tabel 2.  Komposisi Kimia dan Karakteristik Daging Dada Ayam Sesaat         Setelah Dipotong
Tabel 3.  Hubungan Antara Nilai pH Akhir dengan Warna Daging
Gambar 1. Pengaruh Nilai pH Terhadap Jumlah Air Terikat Dalam Daging  yang Berpengaruh Terhadap Penyebaran Muatan pada  Miofilamen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan karkas ayam broiler dalam kemasan plastik terhadap daya ikat air, pH, susut masak

Jenis kemasan sangat berpengaruh nyata (P&lt;0,01) terhadap kadar air, aktivitas air, dan kerapatan pemadatan tumpukan, sedangkan lama penyimpanan sangat

Hasil penelitian menunjukkan interaksi perlakuan faktor suhu kamar penyimpanan dan konsetrasi emulsi lilin lebah terhadap tekstur mentimun, berat, kadar air menunjukkan pengaruh

Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sifat fisik (nilai pH, daya mengikat air, keempukan dan susut masak) daging sapi, kerbau dan domba pada lama postmortem yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pengeringan dalam pembuatan teh daun sambiloto memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air, kadar abu, aktivitas

Adapun Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan karkas ayam broiler dalam kemasan plastik terhadap daya ikat air, pH, susut masak

Jenis kemasan sangat berpengaruh nyata (P&lt;0,01) terhadap kadar air, aktivitas air, dan kerapatan pemadatan tumpukan, sedangkan lama penyimpanan sangat

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah nilai pH daging, daya mengikat air, keempukan, susut masak dan parameter uji mutu hedonik (warna, aroma,