• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Nilai Pengukuran Parameter Sefalometrik Pasien Ras Deutro Melayu Usia 6-12 Tahun Menggunakan Analisis Steiner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambaran Nilai Pengukuran Parameter Sefalometrik Pasien Ras Deutro Melayu Usia 6-12 Tahun Menggunakan Analisis Steiner"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

48 JKGT VOL.1,NOMOR 1, JULY (2019) 48-52

(Penelitian)

Gambaran Nilai Pengukuran Parameter Sefalometrik Pasien Ras Deutro

Melayu Usia 6-12 Tahun Menggunakan Analisis Steiner

Tasqia Alifa Syabira1, Olivia Piona Sahelangi2

1

Mahasiswa Profesi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

2

Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Email: oliviasahelangi@gmail.com

ABSTRACT

Background: Cephalometric analysis is an important tool in the field of orthodontics. It is used to examine the growth and development of facial bones in treatment planning, and changes between before and after treatment in evaluation stage. Steiner's analysis uses angle dan distance measurements to determine the patient's skeletal position. Steiner's analysis includes the position and inclination of the incisors to the jaw and the position of the jaw to the cranial base.This study was thus carried out to describe the value of cephalometric parameter measurements of Deutro-Malay race patients aged 6-12 years using Steiner's analysis. Materials and Methods: This study is a descriptive observational method with a cross-sectional study design. Samples were taken from secondary data of cephalogram orthodontic patients RSGM FKG Usakti in 2017-2018. The analysis was carried out by measuring 11 Steiner's analysis parameters, namely: SNA, SNB, SND, ANB, Go-Gn to SN, U1-NA, L1-NB, U1-L1, Occl-SN.Results: Based on Steiner's analysis, the cephalometric mean value of RSGM FKG Usakti orthodontic patients was SNA of 80.80; SNB of 76.60; SND of 72.990; ANB of 4,240; Go-Gn to SN is 36.80; U1-NA is 26,920 and 3,93 mm; L1-NB of 32.10 and 5.98 mm; U1-L1 of 116,890; Occl-SN is 20,680.Conclusions: Malay Deutro Race has a tendency for class II, skeletal class II malocclusion, retrusive symphysis, less developed horizontal growth patterns, and incisive proclination.

Keyword: Cephalogram, Steiner's Analysis, Deutro-Malay Race, Children, Description Of Cephalometric Values

LATAR BELAKANG

Sefalometri adalah alat yang penting dalam bidang ortodonti klinis.1,2 Radiograf yang telah terstandarisasi dapat dipelajari dengan mengartikan pengukuran sudut dan garis untuk mendapatkan orientasi dari berbagai struktur anatomi. Penggunaan radiograf sefalometri untuk meneliti pertumbuhan dan perkembangan tulang fasial dalam perencanaan perawatan, dan perubahan antara sebelum dan sesudah perawatan dapat membantu dalam evaluasi perawatan.2

Maloklusi memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup seseorang.3 Tingkat prevalensi kasus maloklusi di Indonesia mencapai angka 80% di Indonesia setelah karies dan penyakit periodontal. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat dewasa ini menjadikan perawatan ortodonti diminati demi mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.3,4

Periode gigi campur adalah periode gigi desidui dan gigi permanen terdapat pada lengkung rahang yang ditandai dengan erupsinya gigi molar pertama dan insisivus permanen.5 Kasus maloklusi sebagian besar terjadi pada periode ini, dengan rentang usia 6 sampai 12 tahun.6-8 Periode gigi campur adalah waktu yang kritis pada perkembangan maloklusi. Adanya perawatan interseptif ortodonti dapat membantu dalam pencegahan perkembangan maloklusi.5

Perawatan ortodonti adalah usaha pengawasan untuk membimbing dan mengoreksi struktur dentofasial yang sedang tumbuh atau yang sudah dewasa. Perawatan ortodonti yang dilakukan

seperti mengkoreksi posisi gigi, malrelasi dan malformasi struktur dentokraniofasial, serta mengatur oklusi antara gigi yang satu dan lainnya.9 Tujuan dari perawatan ortodonti tidak hanya mengedepankan kebutuhan estetika wajah, tapi segi fungsional dan keseimbangan struktur dentokraniofasial juga perlu diperhatikan.10

Perawatan ortodonti meliputi perawatan terhadap gigi dan skeletal wajah.11 Proses tumbuh kembang pada regio wajah memiliki peranan penting dalam pertimbangan perawatan ortodonti.12 Teknik diagnostik tradisional menggunakan landmark, bidang, dan sudut sefalometri internal untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan ortodonti lebih lanjut.13

Sefalogram merupakan alat bantu untuk mendiagnosis, merencanakan perawatan, dan evaluasi perawatan ortodonti dalam jangka panjang.11,14 Dalam membaca sefalogram, titik fokus bagi dokter gigi berada pada kelainan struktural jaringan keras wajah dan fungsional gigi geligi sehingga analisis sefalometri dibutuhkan.13 Analisis sefalometri berguna dalam penentuan posisi skeletal fasial yang ideal berdasarkan nilai sefalometri dari ras yang telah ditentukan. Perbandingan pengukuran pada standar berdasarkan faktor umur, jenis kelamin, dan ras menjadi tolak ukur penting dalam menentukan diagnosis, memonitor perawatan, prediksi hasil akhir dari perawatan ortodonti.15

Analisis Steiner merupakan metode gabungan dari metode Downs, W. Wylie, Brodie, Ricketts, Thompson, Riedel, dan Holdaway. Analisis Steiner

(2)

49 adalah analisis yang paling populer dalam

menentukan rencana perawatan ortodonti, karena analisis ini dianggap mudah dan cepat dalam pelaksanaanya.16 Analisis Steiner berfokus pada pada hubungan antara sudut ANB dan sudut U1-NA/L1-NB, juga pada posisi tepi insisal dari mandibular dan maksila yang berelasi dengan garis NA dan NB.17 Analisis Steiner meliputi posisi dan inklinasi gigi insisif terhadap rahang serta posisi rahang terhadap basis cranium. Dalam analisisnya, Steiner memilih garis SN (S=sella tursica dan N=nasion) sebagai bidang referensi karena kedua titik tersebut berada pada jaringan keras yang mudah diidentifikasi pada hasil rontgen. Letak keduanya yang berada di bidang midsagital cukup menguntungkan karena pergerakan yang minimal bila ditemukan deviasi dari posisi profil sebenarnya (normal).18

Indonesia sebagian besar penduduknya berasal dari ras Paleomongoloid atau disebut juga ras Mongoloid.19 Ras Mongoloid mendominasi bagian barat dan timur dari utara Indonesia. Sedangkan ras Melanesia hidup di utara dan selatan Indonesia. Ras mongoloid terbagi menjadi dua grup besar, yaitu Proto-Melayu dan Deutro-Melayu.18,20 Penelitian antropologi menyatakan bahwa setiap ras tidak hanya memiliki karakteristik tersendiri, tetapi sub bagian ras juga mempunyai karakteristik yang

berbeda-beda.19 Berdasarkan berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melalukan penelitian tentang gambaran nilai pengukuran parameter sefalometrik pasien ras Deutro Melayu usia 6-12 tahun menggunakan analisis Steiner.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan rancangan penelitian cross-sectional. Sampel diambil dari data sekunder sefalogram pasien ortodonti RSGM FKG Usakti tahun 2017-2018 menggunakan total sampling. Ras pasien adalah Deutro Melayu dengan memiliki keturunan bersuku Aceh / Melayu / Minangkabau / Betawi / Sunda / Jawa / Lampung / Madura / Bali / Makassar / Bugis / Manado. Bahan yang digunakan adalah sefalogram x-rays, kertas tracing, negatoskop, 4H pencil, adhesive (tape), protractors merek Ormco, penghapus.

Analisis dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap 11 parameter analisis Steiner, yaitu SNA, SNB, SND, ANB, Go-Gn ke SN, U1-NA, L1-NB, U1-L1, Occl-SN. Pengukuran angular yaitu sudut SNA, SNB, SND, ANB, Go-GN ke SN, U1-L1, Occl-SN, dicatat dalam skala nominal dan besaran derajat. Pengukuran linear yaitu U1-NA dan L1-NB, dicatat dalam skala nominal dan millimeter (mm).21-30

Gambar 1. Titik baku analisis Steiner.31

HASIL

Dari 77 sampel yang digunakan dalam penelitian ini, hanya 64 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Dari total 64 sampel yang digunakan

tercatat proporsi jenis kelamin pasien adalah 30 laki-laki dan 34 perempuan (Tabel 1). Distribusi rentang usia pasien yaitu 6-12 tahun.

(3)

50 Tabel 1. Jumlah sampel menurut jenis kelamin.

Jenis Kelamin Jumlah

Laki-Laki 30

Perempuan 34

Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirnof terlihat bahwa semua data berdistribusi normal, hal ini terlihat dari data yang memiliki p > 0.05 yang merupakan hasil normal.

Pengukuran dilakukan pada sefalogram dari pasien ortodonti RSGM-FKG Usakti usia 6-12 tahun berdasarkan 11 parameter analisis Steiner yaitu SNA, SNB, SND, ANB, garis gonion dan gnation terhadap bidang sella-nasion, insisif pertama atas terhadap garis nasal-titik A dalam derajat dan milimeter, inisisf pertama bawah terhadap garis nasal-titik B dalam derajat dan milimeter, insisif pertama atas terhadap insisif pertama bawah, bidang oklusal terhadap bidang sella-nasion.

Tabel 2. Hasil penapakan 11 parameter Steiner pada pasien ortodonti RSGM FKG Usakti usia 6-12 tahun.

Parameter MeanSD

Steiner

MeanSD

penelitian

Interpretasi

SNA 820±20 80,804,310 Kedudukan maksila terhadap basis kranii

normal

SNB 800±20 76,604,20 Retrusi mandibula terhadap basis kranii

SND 780±20 72,9903,90 Letak symphysis retrusi

ANB 20±20 4,2402,120 Bialveolar protrusion ringan

Go-Gn ke SN 320±20 36,805,050 Pola pertumbuhan vertikal

U1-NA (sudut) 220±40 26,9206,920 Proklinasi gigi insisif atas

U1-NA (jarak) 4 mm 3,932,34 mm Normal

L1-NB (sudut) 250±40 32,106,970 Proklinasi gigi insisif bawah L1-NB (jarak) 4 mm 5,982,53 mm Protrusi gigi insisif bawah

U1-L1 1310±20 116,89011,440 Proklinasi gigi insisif atas dan bawah

Occl-SN 140±80 20,6804,620 Dolichofasial

PEMBAHASAN

Perawatan ortodonti yang dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki posisi gigi, malrelasi dan malformasi struktur dentokraniofasial, juga oklusi antargigi.9 Tujuan dari perawatan ini tidak hanya berfokus pada kebutuhan estetika wajah, tapi segi fungsional dan keseimbangan struktur dentokraniofasial juga perlu diperhatikan.10

Hasil analisis sefalometri pada pasien ortodonti RSGM FKG-Usakti usia 6-12 tahun dengan metode analisis Steiner menunjukkan kecenderungan retrusif mandibula dengan hasil rata-rata sudut SNB adalah 76,7° dan posisi symphysis retrusif, dengan hasil rata-rata sudut SND 72,99°. Sudut SND adalah perpotongan antara garis sella-nasion dengan garis nasion-titik D. Jika simfisis diibaratkan sebagai sebuah lingkaran, maka titik D adalah titik tengah dari lingkaran simfisis. Sudut SND dapat disebut juga sebagai sudut yang mewakili letak symphysis.

Pada pengukuran gigi insisif atas dengan bidang NA memperlihatkan adasnya proklinasi dari gigi geligi insisif atas dan gigi insisif bawah. Pasien

ortodonti FKG Usakti memiliki hasil rata-rata sudut ANB yang masih dapat dikategorikan ideal, yaitu 4,240, namun tetap condong kepada kecenderungan protrusi. Bidang mandibular Go-Gn ke SN adalah garis yang digambar dengan menarik garis antara gonion dan gnation berpotongan dengan garis sella dan nasion. Rata-rata sudut normal dari sudut ini adalah 320±20. Penambahan angka sudut mengindikasikan pola pertumbuhan vertikal dan rotasi ke bawah dan ke belakang dari mandibula.31 Penelitian terhadap ras Deutro-Melayu di RSGM FKG-Usakti menunjukkan hasil rata-rata yang jauh lebih besar dari nilai ideal, yaitu 36,80 menunjukkan kecenderungan tipe dolichofasial dan open bite.

Insisif atas terhadap bidang NA (sudut), pembacaan sudut ini mengindikasikan hubungan relatif sudut dari gigi insisif maksila. Sudut normal yang dibentuk antara panjang aksis dan bidang nasal dan titik A adalah 220±40. Panjang aksis adalah bidang yang digambar menghubungkan tepi insisal dengan tepi akar. Peningkatan nilai menunjukkan adanya proklinasi insisif yang

(4)

51 berelasi dengan maksila.11 Pengukuran insisif atas

dengan bidang NA 26,92° ini memperlihatkan gigi geligi insisif memiliki normal dengan kecenderungan proklinasi ringan.32

Sudut insisif bawah terhadap bidang NB dan jarak antara insisif bawah terhadap garis NB menunjukkan hubungan aksial gigi insisif bawah dan jarak labial insisif bawah terhadap garis NB. Sudut antara insisif bawah terhadap bidang NB (sudut), posisi relatif anteroposterior dan angulasi insisif bawah dievaluasi dengan menghubungkan gigi terhadap garis NB. Hasil rata-rata di RSGM Usakti didapatkan hasil L1-NB 32,10 dan 5,98 mm. Apabila sudut L1-NB lebih besar dari 25° menunjukkan kecenderungan kelas II divisi 1. Hal ini menandakan bahwa populasi di RSGM FKG-Usakti memiliki insisif bawah yang cenderung proklinasi dan adanya pergerakan posisi gigi mandibula yang lebih cenderung ke depan dengan kecenderungan kelas II divisi 1.

Sudut interinsisal adalah sudut antara insisif atas dan insisif bawah dengan rata-rata normal 1310±20.31 Pengurangan derajat sudut mengindikasikan adanya proklinasi insisif, sedangkan pada protrusi bimaksila dentoalveolar sudutnya sangat berkurang. Jika sudut bertambah, ini menandakan insisif yang retroklinasi seperti klasifikasi maloklusi Angle kelas II divisi II dimana sudut interinsisal bertambah.31 Pada Tabel 2, rata-rata sudut interinsisal ras Deutro-Melayu pasien ortodonti FKG-Usakti adalah 116,890 yang merupakan rata-rata yang jauh dari ideal. Hasil rata-rata demikian memperlihatkan adanya proklinasi gigi maksila dan mandibula dan menunjukkan kecenderungan protrusi bialveolar pada pasien ortodonti FKG Usakti.33

KESIMPULAN

Pasien ortodonti FKG Usakti memiliki kecenderungan maloklusi kelas II, skeletal kelas II, protrusi bialveolar, simfisis yang retrusif, pola pertumbuhan vertikal dan proklinasi insisif.

KONFLIK KEPENTINGAN

Tidak ada

DAFTAR PUSTAKA

1. Devereux L, Moles D, Cunningham SJ, McKnight M. How Important Are Lateral Cephalometric Radiographs in Orthodontic Treatment Planning. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 2011; 139(2):175-81. DOI: 10.1016/j.ajodo.2010.09.021

2. Celik E, Polat-Ozsoy O, Toygar Memikoglu TU. Comparison of Cephalometric Measurements with Digital versus Conventional Cephalometric Analysis. Eur J Orthod. 2009;31(3):241-6. DOI: 10.1093/ejo/cjn105

3. Cobourne MT, DiBiase AT. Handbook of Orthodontics. 1st ed. Philadelphia: Elvesier. 2010. p7-15, 133, 153, 157, 167-8.

4. Dika DD, Hamid T, Sylvia M. Penggunaan Index of Orthodontic Treatment (IOTN) sebagai evaluasi

hasil perawatan dengan piranti lepasan. Ortho Dent J. 2011; 2(1):45-8.

5. Srivastava B, Bhatia HP, Singh R, Singh AK, Aggarwal A, Gupta N. Validation of Tanaka and Johnston’s Analysis In Western UP Indian Population. J Indian Soc Pedod Prev Dent 2013; 31(1): 36-42. DOI: 10.4103/0970-4388.112405 6. Dhakal J, Shrestha RM, Shrestha S. Applicability of

Tanaka & Johnston Analysis and Prediction of New Equation For Contemporary Nepalese Sample. OJN 2013; 3(1): 14-8. Available from: https://www.nepjol.info/index.php/OJN/article/view /9269. DOI: https://doi.org/10.3126/ojn.v3i1.9269 7. Phulari BS. Orthodontics Principles and Practice.

New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2011.p 63-6, 70-4.

8. Kadu A, Londhe SM, Kumar P, Datana S, Singh M, Gupta N. Estimating The Size of Unerupted Canine and Premolars In a Mixed Indian Population. J Dent Res Rev 2014; 1:62-5. Available from: http://www.jdrr.org/text.asp?2014/1/2/62/133933 9. Liou EJ, Chen PH, Wang YC, Yu CC, Huang CS,

Chen YR. Surgery-First Accelerated Orthognathic Surgery: Orthodontic Guidelines and Setup for Model Surgery. J Maxillofac Surg 2011; 69(3):771-80. DOI: 10.1016/j.joms.2010.11.011

10. Clinical Standards Committee of the British Orthodontic Society. The Justification For Orthodontic Treatment. British Orthodontic Society 2008. P 4, 7-10.

11. Atit MB, Deshmukh SV, Rahalkar J, Subramanian V, Naik C, Darda M. Mean Values Of Steiner, Tweed, Ricketts And Mcnamara analysis in Maratha ethnic population: A cephalometric study. APOS Trends Orthod 2013; 3:137-51. DOI: 10.4103/2321-1407.119095

12. Janson M, Janson G, Sant'Ana E, Simão TM, de Freitas MR. An orthodontic-surgical approach to Class II subdivision malocclusion treatment. J Appl Oral Sci. 2009;17(3):266–73. DOI:10.1590/s1678-77572009000300026

13. Malkoç S, Demir A, Uysal T, Canbuldu N. Angular Photogrammetric Analysis Of The Soft Tissue Facial Profile Of Turkish Adults. Eur J Orthod 2009; 31(2): 174-9. DOI: 10.1093/ejo/cjn082 14. Kumar V, Ludlow J, Soares Cevidanes LH, Mol A.

In vivo comparison of conventional and cone beam CT synthesized cephalograms. Angle Orthod. 2008;78(5):873–9. DOI:10.2319/082907-399.1 15. Vojdani Z, Bahmanpour S, Momeni S, Vasaghi A,

Yazdizadeh A, Karamifar A, Najafifar A, Setoodehmaram S, Mokhtar A. Cephalometry in 14-18 Years Old Girls and Boys of Shiraz-Iran High School. Int. J. Morphol. 2009; 27(1):101-4.

DOI:http://dx.doi.org/10.4067/S0717-95022009000100018.

16. Navarro, Navarro AC, Carreiro LS, Rossato C, Takahashi R, Lima CE. Assessing the predictability of ANB, 1-NB, P-NB and 1-NA measurements on Steiner cephalometric analysis. Dental Press J. Orthod. 2013;18(2):125-32. DOI:

http://dx.doi.org/10.1590/S2176-94512013000200024.

17. Chen YW, Inami K, Matsumoto N. A Study Of Steiner Cephalometric Norms For Chinese Children. J Osaka Dent Univ. 2015; 49(2): 237–44. DOI: https://doi.org/10.18905/jodu.49.2_237

(5)

52

18. Jan A, Rehman H, Taifur N, Bangash AA. Correlation Between Nasolabial Angle And Maxillary Incisor Inclination. Pak Armed Forces Med J. 2015; 65(0): S236-39.

19. Soeroso A. Sosiologi 2. Bogor: Penerbit Quadra; 2008.p141-2.

20.Cristiany, Budiyanti AE, Hidayat A, Hamilah DK. Differences of Lateral Cephalometry Values between Australo-Melanesian and Deutero-Malay Races. Journal of Dentistry Indonesia. 2013; 20(1): 9-14. DOI: https://doi.org/10.14693/jdi.v20i1.127 21.Wahab RMA, Idris H, Yacob H, Ariffin SHZ.

Cephalometric and malocclusion analysis of Kadazan dusun ethnic orthodontic patients. Sains Malaysiana. 2013; 42(1): 25–32.

22. Mah JK, Hatcher D, Harell WE. Craniofacial Imaging in Orthodontics. In: Graber LW, Vanarsdall RL, Vig KW. Orthodontics Current Principles and Techniques, 5th ed. Philadelphia: Mosby Inc; 2012. p110.

23. Karad A. Clinical Orthodontics: Current Concepts, Goals and Mechanics. New Delhi: Elsevier Health Science; 2014. p53,107.

24. Saravanakumar MS, Vasanthakumari A, Bharathan R. Oral Health Status Of Special Health Care Needs Children Attending A Day Care Centre In Chennai. Int J Stud Res 2013; 3: 12-5. DOI: 10.4103/2230-7095.113814

25. Joshi N, Hamdan AM, Fakhouri WD. Skeletal Malocclusion: A Developmental Disorder With a Life-Long Morbidity. J Clin Med Res. 2014; 6(6):

399-408. DOI:

https://doi.org/10.14740/jocmr1905w

26. Nanjannawar L, Agrawal JA, Agrawal M. Pattern of Malocclusioan and Treatment Need in Orthodontic Patients: An Institution-based Study. World J Dent 2012; 3(2): 136-40. DOI: 10.5005/jp-journals-10015-1144

27. Millet D. Orthodontics I: development, assessment and treatment planning. In: Heasman P. Master Dentistry Volume 2 – Restorative Dentistry, Paediatric Dentistry and Orthodontics. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2008. p215-31.

28. Mageet AO. Classification of Skeletal and Dental Malocclusion: Revisited. StomaEduJ. 2016; 3(2): 38-44. DOI: 10.25241/2016.3(2).11

29. Lopatiene K, Dumbravaite A. Relationship Between Tooth Size Discrepencies and Malocclusion. Stomatologija. 2009; 11(4): 119-24. PMID: 20179399

30. Araújo EA, Buschang PH. Recognizing and Correcting Developing Malocclusions: A Problem-Oriented Approach to Orthodontics. New Jersey: John Wiley & Sons; 2016. p42-53.

31. Premkumar S. Textbook Of Orthodontics. New Delhi: Elsevier Health Science; 2015. 175-205, 274-7.

32. Ousehal L, Lazrak L, Chafii A. Cephalometric Norms for a Moroccan Population. Int Orthod. 2012; 10(1): 122-34. DOI: 10.1016/j.ortho.2011.12.001

33. Karunanithi C, Rajmohan M, Nanda BI, Sharanya

Dhevi, Ali AA. A Cephalometric Appraisal of Steiner’s Analysis Normal Occlusion in Chennai Suburban and Rural Area of Population in the Age Group of 14 – 21 Years. University Journal of Surgery and Surgical Specialities. 2018, 4(2):

Gambar

Gambar 1. Titik baku analisis Steiner. 31
Tabel 2. Hasil penapakan 11 parameter Steiner pada pasien ortodonti RSGM FKG Usakti usia 6-12 tahun

Referensi

Dokumen terkait