• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Prinsip Dasar Komunikasi

Komunikasi adalah proses pengopoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Proses komunikasi yang menggunakan stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut menggunakan simbol-simbol disebut kmunikasi non-verbal (Setiawati, 2008)

2.1.1. Unsur-unsur Komunikasi

Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media), adalah alat atau sarana yang

(2)

digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003)

Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R), penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) (Notoatmodjo, 2003). Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.1. Landasan teori perubahan prilaku berdasarkan Teori Stimulus- Organisme-Respon (S-O-R).

2.1.2. Bentuk-bentuk Komunikasi

Agar proses komunikasi kesehatan efektif dan terarah, dapat dilakukan melalui bentuk-bentuk komunikasi antara lain : komunikasi interpersonal, yaitu salah satu bentuk komunikasi yang paling efektif, karena antara komunikan dan

Stimulus (Komunikasi) Organisme - Perhatian - Pengertian - Penerimaan Reaksi (Perubahan sikap) Reaksi (Perubahan pratek)

(3)

komunikator dapat langsung tatap muka, sehingga stimulus yakni pesan atau informasi yang disampaikan oleh komunikan, langsung dapat direspon atau ditanggapi pada saat itu juga. Komunikasi terapeutik termasuk dari komunikai interpersonal. Bentuk komunikasi yang lain adalh komunikasi masa, komunikasi ini menggunakan saluran (media) massa, atau berkomunikasi melalui media masa. Komunikasi melalui media masa kurang efektif dibanding dengan komunikasi interpersonal (Notoatmodjo, 2003)

2.2. Komunikasi Terapeutik 2.2.1. Pengertian

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi (Suryani, 2005). Menurut Purwanto (1994), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan seorang perawat dengan teknik-teknik tertentu yang mempunyai efek penyembuhan. Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk membina hubungan saling percaya terhadap pasien dan pemberian informasi yang akurat kepada pasien, sehingga diharapkan

(4)

dapat berdampak pada peningkatan pengetahuan pasien tentang diet hemodialisa dan perubahan yang lebih baik pada pasien dalam menjalankan terapi dan membantu pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan.

2.2.2. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik

Menurut Suryani (2005) ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang terapeutik. Pertama, hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling menguntungkan. hubungan ini didasarkan pada prinsip ”humanity of nurse and clients”. Kualitas hubungan perawat-klien ditentukan oleh bagaimana perawat mendefenisikan dirinya sebagai manusia. Hubungan perawat dengan klien tidak hanya sekedar hubungan seorang penolong dengan kliennya tapi lebih dari itu, yaitu hubungan antar manusia yang bermartabat.

Kedua, perawat harus menghargai keunikan klien. Tiap individu mempunyai karakter yang berbeda-beda. Karena itu perawat perlu memahami perasaan dan prilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.

Ketiga, semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga dirinya dan harga diri klien.

Keempat, komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan

(5)

memberikan alternatif pemecahan masalah. hubungan saling percaya antara perawat dan klien adalah kunci dari komunikasi terapeutik.

2.2.3. Komunikasi Terapeutik sebagai Tanggung Jawab Moral Perawat

Perawat disebutkan sebagai tenaga terpenting karena sebagian besar pelayanan Rumah Sakit adalah pelayanan keperawatan. Perawat bekerja dan selalu bertemu dengan pasien selama 24 jam penuh dalam suatu siklus shift, karena itu perawat menjadi ujung tombak bagi suatu rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Dalam pemberian intervensi keperawatan diperlukan suatu komunikasi terapeutik, dengan demikian diharapkan seorang perawat memiliki kemampuan khusus mencakup keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal dan penuh kasih sayang dalam melakukan komunikasi dengan pasien. Perawat harus memiliki tanggung jawab moral tinggi yang didasari atas sikap peduli dan penuh kasih sayang, serta perasaan ingin membantu orang lain untuk kesembuhan pasien.

Menurut Addalati (1983), Bucaille (1979), dan Amsyari (1995) dalam Nasir (2009), menambahkan bahwa sebagai seorang beragama, perawat tidak dapat bersikap tidak peduli terhadap orang lain dan adalah seorang pendosa apabila perawat mementingkan dirinya sendiri. Selanjutnya menurut Pasquali & Arnold (1989) dan Watson (1979) dalam Nasir (2009) menyatakan bahwa human

care terdiri atas upaya untuk melindungi, meningkatkan, dan

menjaga/mengabdikan rasa kemanusiaan dengan membantu orang lain mencari arti dalam sakit, penderitaan, dan keberadaanya, serta membantu orang lain untuk

(6)

meningkatkan pengetahuan dan pengendalian diri. ”Sesunggunnya setiap orang diajarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk menolong sesama yang memerlukan bantuan”. Perilaku menolong sesama ini perlu dilatih dan dibiasakan sehingga akhirnya menjadi bagian dari kepribadian

2.2.4. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Menurut Purwanto (1994), tujuan komunikasi terapeutik adalah, membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan, mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif serta mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.

Pasien dengan hemodialisa harus melakukan diet yang ketat, agar tidak terjadi komplikasi yang serius terhadap penumpukan sisa dari metabolisme makanan yang dikomsusmsi. Sehingga tidak jarang mereka merasa frustasi dan tidak mematuhi dietnya. Untuk itu, komunikasi terapeutik memegang peranan penting karena dengan komunikasi yang baik diberikan oleh perawat dapat membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban pikiran pasien, meningkatkan pengetahuan pasien dan diharapkan dapat memengaruhi pasien untuk menanamkan kepatuhan dalam menjalankan diet yang dianjurkan.

(7)

2.2.5. Tahapan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik tidak sama dengan komunikasi sosial. Komunikasi sosial tidak memiliki tujuan yang spesifik dan pelaksanaan komunikasi ini terjadi begitu saja. Sedangkan terapeutik berfungsi untuk mencapai kesembuhan pasien melalui perubahan dalam diri pasien. Karena itu pelaksanaan komunikasi terapeutik harus direncanakan dan terstruktur dengan baik. Menurut Struart, G. W (1998) Struktur dalam proses komunikasi terapeutik terdiri dari dari empat tahap yaitu tahap prainteraksi, tahap perkenanlan atau orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi. Pada setiap tahap terdapat tugas atau kegiatan perawat yang harus diselesaikan

Pada tahap Pra-Interaksi, dimulai sebelum perawat bertemu dengan pasien. Perawat terlebih dahulu menggali kemampuan yang dimiliki sebelum kontak/berhubungan dengan klien termasuk kondisi kecemasan yang menyelimuti diri perawat sehingga terdapat dua unsur yang perlu dipersiapkan dan dipelajari pada tahap prainteraksi yaitu unsur diri sendiri dan unsur dari klien. Menurut Nasir et al (2009) dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah Pengetahuan yang dimiliki yang terkait dengan penyakit dan masalah klien, kecemasan dan kekalutan diri, analisis kekuatan diri, dan waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan. Sedangkan, hal-hal yang perlu dipelajari dari unsur klien adalah perilaku klien dalam menghadapi penyakitnya, adat istiadat, dan tingkat pengetahuan.

(8)

Pada tahap perkenalan atau orientasi, perawat memulai kegiatan yang pertama kali dimana perawat bertemu pertama kali dengan klien. Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan diri kepada klien dan keluarga bahwa saat ini yang menjadi perawat adalah dirinya. Menurut Suryani (2006), Tugas perawat pada tahap perkenalan adalah pertama, membina hubungan rasa saling percaya dengan menunjukan penerimaan dan komunikasi terbuka. Penting bagi perawat untuk mempertahankan hubungan saling percaya agar klien dan perawat ada keterbukaan dan saling menutup-nutupi. Kedua, memodifikasi lingkungan yang kondusif dengan peka terhadap respon klien dan menunjukan penerimaan, serta membantu klien mengekspresikan perasaan dan pikirannya.

Menurut Nasir et al (2009), Perawat dituntut mampu membuat suasana tidak terlalu formal sehingga suasana tidak terkesan tegang dan tidak bersifat menginterograsi. Lingkungan yang kondusif membantu klien bisa berpikir jernih dan mengutarakan keluhan yang diderita secara terbuka, lengkap sistematis, dan objektif. Tugas perawat yang ketiga pada tahap perkenalan adalah membuat kontrak dengan klien. Menurut Suryani (2006) Kontrak harus disetujui bersama dengan klien antara lain, tempat, waktu pertemuan, dan topik pembicaraan. Dan, tugas yang keempat pada tahap ini, perawat menggali keluhan-keluhan yang dirasakan oleh klien dan divalidasi dengan tanda dan gejala yang lain, maka dari itu perawat perlu mendenarkan secara aktif untuk mengumpulkan data tersebut.

Perawat dituntut memiliki keahlian yang tinggi dalam menstimulasi klien maupun keluarga agar mampu mengungkapkan keluhan yang dirasakan secara

(9)

lengkap dan sistematis serta objektif. Keahlian yang harus dimiliki perawat adalah terkait dengan teknik komunikasi agar klien mengungkapkan keluhannya dengan sebenarnya tanpa dututup-tutupi ataupun diada-adakan sehingga mengacaukan rencana tindakan keperawatan.

Pada Tahap Kerja, biasanya merupakan tahap yang paling lama diantara tahap-tahap lain. Pada tahap ini, perawat dan klien bertemu untuk menyelesaikan masalah dan membentuk hubungan yang saling menguntungkan secara profesional, yaitu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tugas perawat pada fase ini adalah memenuhi kebutuhan dan mengembangkan pola-pola adaptif klien, memberi bantuan yang dibutuhkan pasien, mendiskusikan dengan klien teknik-teknik untuk mencapai tujuan. Selain sebagai pemberi pelayanan, peran perawat sebagai pengajar dan konselor sangat diperlukan pada fase ini. Peran ini meliputi upaya meningkatkan motivasi klien untuk mempelajari dan melaksanakan aktivitas peningkatan kesehatan, untuk mengikuti program pengobatan dokter, dan untuk mengekspresikan perasaan/pengalaman yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan kebutuhan perawatan yang terbentuk, contohnya memberikan pengajaran tentang diet yang harus dipatuhi pasien dengan hemodialisa. Interaksi yang memuaskan akan menciptakan situasi suasana yang meningkatkan integritas klien dengan meminimalkan ketakutan, kecemasan, ketidakpercayaan, dan tekanan pada klien (Tamsuri, 2005)

Tahap terakhir pada komunikasi terapeutik adalah tahap terminasi. Tahap terminasi dimulai ketika klien dan perawat memutuskan untuk mengakhiri

(10)

hubungan dengan klien. Menurut Tamsuri (2005), tahap terminasi dibagi menjadi dua yaitu terminasi hubungan yang temporer, terjadi ketika perawat dan klien harus berpisah pada akhir shift perawat, sementara terminasi scara permanen dilakukan ketika klien telah sembuh (tujuan telah tercapai) atau dipindah ke unit lain atau ketika perawat pindah ke unit lain sehingga tidak memungkinan lagi pertemuan dengan klien dalam situasi profesional. Tugas perawat pada tahap ini menurut Suryani (2005) adalah mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan, menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan dan membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya.

2.2.6. Hal-hal yang Harus diperhatikan Perawat dalam Komunikasi Terapeutik.

Dalam melakukan komunikasi terapeutik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan perawat, antara lain sikap perawat dalam melakukan hubungan, materi hubungan dan teknik komunikasi terapeutik.

Seorang perawat perlu memperhatikan sikap tertentu untuk melakukan komunikasi terapeutik. Egan dalam Kozier (1983) mengidentifikasi lima sikap atau cara menghadirkan diri secara fisik untuk memfasilitasi komunikasi terapeutik, yaitu Berhadapan, posisi berhadapan menunjukan/memberi isyarat ”saya siap untuk anda”. Posisi yang tidak lurus menghadap wajah klien menunjukan keterlibatan yang kurang. Mempertahankan kontak mata, kontak mata sejajar menunjukan perawat menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Membungkuk ke arah klien, posisi membungkuk ke

(11)

arah klien memberi makna ada keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu. Mempertahankan postur terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi.

Jarak yang terbentuk antara perawat dan klien menunjukan juga keintiman dan keterbukaan sikap dalam hubungan yang terbentuk antara perawat dan klien. Hall dalam kozier (1995) menyatakan bahwa hubungan intim berjarak dari nol (kontak tubuh) sampai 45 cm. Hubungan personal memiliki jarak antar individu antara 45-120 cm, hubungan sosial dalam jarak antara 1,2-3,6 meter, dan hubungan publik dengan jarak antarpersonal lebih dari 3,6 meter.

Lebih jauh, keintiman juga tercermin dari sentuhan tubuh, kemampuan merasakan bau tubuh, dan kehangatan suhu tubuh individu lain, serta frekuensi dan kualitas kontak mata terbentuk. Dan sikap yang yang terakhir yaitu rileks, sikap rileks menciptakan iklim kondusif bagi klien untuk tetap melakukan komunikasi dan memungkinkan pengembangan komunikasi. Situasi yang rileks tercipta melalui posisi tubuh yang digunakan selama komunikasi, intonasi pembicaraan, dan penggunaan kata-kata yang tepat atau mengandung humor. Pemilihan kata juga penting untuk menimbulkan kesan rileks bagi klien. Situasi rileks penting bagi klien untuk meningkatkan kepercayaan dan keterbukaan diri dengan perawat tetap mempertahankan kesan profesional.

Saat melakukan hubungan terapeutik, materi hubungan juga harus diperhatikan perawat. Materi dalam komunikasi terapeutik diorientasikan untuk mencapai tujuan hubungan. Isi (content) komunikasi yang dilakukan antara

(12)

perawat dan klien dilakukan sesuai kontrak yang telah dibuat antara klien dan perawat sehingga nilai-nilai hubungan profesional tetap terjaga (Tamsuri, 2005)

Kemudian yang tidak kalah pentingnya harus diperhatikan adalah komunikasi terapeutik Sebagaimana penjelasan bahwa hubungan yang terbentuk antara perawat dan klien selalu memerlukan komunikasi dan mengacu pada pemahaman bahwa komunikasi merupakan salah satu sarana untuk membina hubungan profesional antara perawat dan klien, penting kiranya seorang perawat memiliki keterampilan berkomunikasi supaya komunikasi yang dilakukan berguna untuk mempertahankan hubungan perawat-klien, mempengaruhi prilaku klien menuju pola-pola kesehatan, miningkatkan integritas klien, dan akhirnya menimbulkan efek mengatasi masalah klien (Tamsuri, 2005)

2.2.7. Teknik-teknik komunikasi Terapeutik

Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan teknik berkomunikasi yang berbeda pula. Berikut ini adalah teknik komunikasi berdasarkan referensi dari Tamsuri (2005)

(1) Diam, yaitu tenang, tidak melakukan pembicaraan selama beberapa detik atau menit

(2) Mendengar adalah proses aktif penerimaan informasi dan penelaah reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima

(3) Menghadirkan topik pembicaraan yang umum adalah dengan menggunakan pernyataan atau pertanyaan yang mendorong klien untuk berbicara, memilih topik pembicaraan dan memfasilitasi kelanjutan pembicaraan

(13)

(4) Menspesifikan adalah membuat pernyataan yang lebih spesifik dan tentatif (5) Menggunakan pertanyaan terbuka adalah menanyakan sesuatu yang bersifat

luas, yang memberi klien kesempatan untuk mengeksplorasi (mengungkapkan, klarifikasi, menggambarkan, membandingkan, atau mengilustasikan)

(6) Sentuhan adalah melakukan kontak fisik untuk meningkatkan kepedulian (7) Mengecek persepsi atau memvalidasi adalah metode yang sama dengan

klarifikasi, tetapi pengecekan dilakukan terhadap kata-kata khusus yang disampaikan klien

(8) Menawarkan diri adalah menawarkan kehadiran, perhatian, dan pemahaman tentang sesuatu

(9) Memberi informasi adalah memberi informasi faktual secara spesifik tentang klien walaupun tidak diminta. Apabila tidak mengetahui informasi yang dimaksud, perawat menyatakan ketidaktahuannya dan menanyakan orang yang dapat dihubungi untuk mendapatkan informasi.

(10) Menyatakan kembali dan menyimpulkan adalah secara aktif mendengarkan pesan utama yang disampaikan klien dan kemudian menyampaikan kembali pikiran dan perasaan itu dengan menggunakan kata-kata serupa.

(14)

(11) Mengklarifikasi adalah metode membuat inti seluruh pesan dari pernyataan klien lebih dimengerti. Klarifikasi dapat dilakukan bila perawat tidak dapat menyatakan kembali. Perawat dapat melakukan klarifikasi dengan menyatakan kembali pesan dasar/meminta klien mengulang atau meyatakan kembali pesan yang disampaikan

(12) Refleksi adalah mengembalikan ide, perasaan, pertanyaan kepada klien untuk memungkinkan eksplorasi ide dan perasaan mereka terhadap situasi. (13) Menyimpulkan dan merencanakan adalah menyatakan poin utama dalam

diskusi untuk mengklarifikasi hal-hal relevan yang perlu didiskusikan. Teknik ini berguna pada akhir wawancara atau mengevaluasi penguasaan klien terhadap program pengajaran kesehatan. Teknik ini sering digunakan pada pendahuluan untuk menentukan rencana perawatan berikutnya.

(14) Menyatakan realitas adalah membantu klien membedakan antara yang nyata dan yang tidak nyata

(15) Pengakuan adalah memberi komentar dengan teknik tidak menghakimi terhadap perubahan perilaku seseorang atau usaha yang telah dilakukan (16) Klarifikasi waktu adalah membantu klien mengklarifikasi waktu atau

kejadian, situasi, kejadian dan hubungan antara peristiwa dan waktu.

(17) Memfokuskan adalah membantu klien mengembangkan topik yang penting. Penting bagi perawat untuk menunggu klien beberapa saat tentang tema apa yang mereka sampaikan (perhatikan) sebelum memfokuskan pembicaraan.

(15)

2.3. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).

Dapat disimpulkan bahwa dengan pengetahuan yang baik tentang diet hemodialisa dapat berdampak pada perilaku patuh pasien dalam menjalankan diet hemodialisa.

2.3.1. Tingkat Pengetahuan Dalam Domain Kognitif

Menurut Notoatmodjo (1997), pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Sebagai contoh dapat menyebutkan jenis makanan yang tinggi natrium, dapat menyebutkan tujuan diet hemodialisa

(16)

2. Memahami (Comprehension)

Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang rendah natrium.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehtan dari kasus yang diberikan.

4. Analisis (Analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

(17)

6. Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang dibuat sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada sebelumnya.

2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah Pendidikan, Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal.

Informasi, Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana

(18)

komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Selain dari media, informasi bisa didapat darii profesional kesehatan melalui komunikasi yang baik dari petugas kesehatan. Dalam penyampaian informasi melalui komunikasi, petugas kesehatan membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

Sosial budaya dan ekonomi, kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

Lingkungan, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

Pengalaman, pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa

(19)

lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

Umur, umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini (Sunaryo, 2004).

2.4. Kepatuhan

Menurut Sackett dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Sedangkan menurut Lukman Ali dalam Suprayanto (2010), kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh menjalankan diet hemodialisa bila mengkomsumsi makanan yang telah ditentukan

(20)

sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh perawat.

2.4.1. Faktor-faktor yang Mendukung Kepatuhan

Menurut Teori Feuerstein dalam Niven (2000), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor lingkungan dan sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya interaksi profesional kesehatan dengan pasien

Pendidikan, Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dalam hal ini sekolah-sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang menggunakan buku-buku dan penggunaan kaset secara mandiri.

Akomodasi, suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan, sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa dia dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan dan jika tingkat ansietas terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka kepatuhan pasien akan berkurang.

Modifikasi faktor lingkungan dan sosial, hal ini berarti membangun dukungan soaial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program

(21)

pengobatan seperti pengurangan berat badan, membatasi asupan cairan, dan menurunkan konsumsi protein.

Perubahan model terapi, program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

Meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana pengobatannya, dapat membantu meningkatkan kepercayaan pasien. Untuk melakukan konsultasi selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh seorang perawat. Sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.

2.4.2. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994), strategi yang digunakan untuk meningkatkan kepatuhan adalah dukungan profesional kesehatan, dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.

(22)

Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter maupun perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

Strategi lain yaitu dukungan social, dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi. Modifikasi perilaku sehat juga sangat diperlukan. Untuk pasien dengan gagal ginjal kronis diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menjalankan hemodialisa. Melakukan diet yang dianjurkan dan pengontrolan berat badan sangat diperlukan bagi pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisa.

Strategi yang terakhir yaitu Pemberian informasi, pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Dalam hal ini pemberian informasi yang jelas tentang diet yang dianjurkan untuk penderita gagal ginjal kronis dengan hemodialisa, sehingga pasien dapat paham dan akhirnya patuh terhadap diet yang dianjurkan.

2.4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidakpatuhan

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan menurut Niven (2000) dapat digolongkan menjadi empat bagian, Pemahaman tentang instruksi. Jika seorang mengalami ketidakpahaman terhadap suatu instruksi maka konsekwensi yang akan didapat adalah ketidakpatuhan. Ley dan spelman dalam Niven (2000), menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan

(23)

dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan professional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat pasien.

Anderson dalam Niven (2000) dalam penelitiannya tentang komunikasi dokter dan pasiennya di Hongkong, mendapatkan bahwa pasien yang rata-rata diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu mengingat 31% saja. Dari penjabaran dan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu komunikasi yang efektif sangat diperlukan seorang tenaga kesehatan untuk memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pemahaman pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.

Kualitas interaksi juga merupakan elemen penting dalam menentukan derajat kepatuhan pasien. Korsch & negrete dalam Niven (2000), telah mengamati 800 kunjungan orangtua dan anak-anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles. Selama 14 hari mereka mewawancarai ibu-ibu tersebut untuk memastikan apakah ibu-ibu tersebut melaksanakan nasihat-nasihat yang diberikan dokter, mereka menemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kepuasan ibu terhadap konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasihat dokter, tidak ada kaitan antara lamanya konsultasi dengan kepuasan ibu. Jadi konsultasi yang pendek tidak akan menjadi tidak produktif jika diberikan perhatian untuk meningkatkan kualitas interaksi. Beberapa keluhan yang spesifik adalah kurangnya minat yang

(24)

diperlihatkan oleh dokter, penggunaan istilah medis yang berlebihan, kurangnya empati dan hamper setengah dari ibu-ibu tersebut tidak memperoleh kejelasan tentang penyebab penyakit anaknya yang sering kali menimbulkan kecemasan. Dari peneltian ini, dapat dilihat bahwa kesalahan seperti ini dapat dengan mudah diatasi dengan keterampilan komunikasi terapeutik yang dibina antara pasien dengan tenaga kesehatan

Keluarga juga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2000).

Keyakinan, sikap dan kepribadian. Becker et al dalam Niven (2000), melakukan penelitian pada 50 orang pasien hemodialisa yang hatus mematuhi program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan cairan dan pengobatan. Dari peneltian tersebut dapat disimpulkan bahwa keyakinan, sikap dan kepribadian akan kesehatan pasien berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Keyakinan, sikap dan kepribadian pasien tentang penyakit yang dideritanya dan tentang terapi yang harus dijalankannya bisa saja dipengaruhi oleh bagaimana cara petugas kesehatan dalam hal ini perawat dalam meyakinkan pasien dan memotivasi pasien untuk bisa bangkit dari keterpurukan akan penyakit dan terapi yang harus dijalankannya melalui komunikasi terapeutik. Untuk itu dalam melakukan komunikasi terapeutik seorang perawat harus mematuhi koridor yang telah diatur pada tahap-tahap komunikasi terapeutik tersebut, sehingga hasil yang diharapkan sesuai dengan tujuan komunikasi terapeutik tersebut.

(25)

2.5. Hemodialisa

Hemodialisa adalah satu bentuk prosedur cuci darah dimana darah dibersihkan melalui ginjal buatan dengan bantuan mesin (Lumenta, 2003). Pada hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang bekerja sebagai membran semipermiabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi disekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran semipermeabel tubulus.

2.5.1. Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dilaisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat.

Air yang belebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)

(26)

ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan).

Sistem dapar (buffer system) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh vena pasien. Pada akhir terapi dialisis, banyak zat limbah dikeluarkan, keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan sistem dapat juga telah diperbaharui. (Smeltzer, 2001).

2.5.2. Komplikasi Hemodialisa

Meskipun hemodialisa dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. Salah satu penyebab kematian diantara pasien-pasien yang menjalani hemodialisa kronis adalah penyakit kardiovaskuler arteriosklerotik. Gangguan metabolisme lipid (hipertrigliseridemia) tampaknya semakin diperberat dengan tindakan hemodialisa.

(27)

Gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta nyeri angina pektoris, stroke dan insufisiensi vaskuler perifer juga dapat terjadi serta dapat membuat pasien tidak berdaya. Anemia dan rasa letih dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik serta mental, berkurangnya tenaga serta kemauan, dan kehilangan perhatian. Ulkus lambung dan masalah gastrointestinal lainnya terjadi akibat stress fisiologik yang disebabkan oleh sakit yang kronis, obat-obatan dan berbagai masalah yang berhubungan. Gangguan metabolisme kalsium akan menimbulkan osteodistrofi renal yang menyebabkan nyeri tulang dan fraktur. Masalah lain mencakup kelebihan muatan cairan yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif, malnutrisi, infeksi, neuropati dan pruritus (Smeltzer, 2001).

2.6. Diet Pasien Hemodialisa

Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengeksresikan paroduk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin. Gejala yang terjadi akaibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul.

Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Protein yang diberikan harus memiliki nilai biologis yang tinggi (Smeltzer, 2001).

(28)

2.6.1. Tujuan Diet

Ada tiga tujuan diet gagal ginjal dengan dialisa, yaitu untuk mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi, agar pasien dapat melakukan aktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan (Almatsier, 2006).

2.6.2. Syarat Diet

Dialisis tidak dapat seluruhnya menggantikan fungsi ginjal normal, dialisis lebih banyak berperan pada fungsi eksresi. Tanpa adanya pengaturan diet dapat menyebabkan akumulasi sisa-sisa metabolisme diantara waktu dialisis berikutnya. Syarat diet gagal ginjal dengan hemodialisa adalah diet dengan pengaturan asupan protein, energi, kalium, natrium, fosfor dan cairan.

Menurut Sidabutar (1992), Asupan protein yang diberikan adalah1-1,2g/kg BB/hari, untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama dialisis. Dengan asupan protein 1-1,2 g/kg BB/hari diharapkan dapat mencegah tingginya akumulasi sisa metabolisme protein diantara hari dialisis berikutnya. Sekurang-kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein bernilai biologis tinggi. Protein bernilai biologi tinggi lebih lengkap kandungan asam amino esensial, sumber protein ini biasanya dari golongan hewani, misalnya : telur, daging, ayam, ikan, susu, kerang, kepiting, dan lain-lain dalam jumlah sesuai anjuran

(29)

Kemudian untuk kebutuhan energi dibutuhkan sekurang-kurangnya 35 kkal/kg berat badan/hari. Dibutuhkan asupan energi yang optimal dari golongan bahan makanan non protein, ini dimaksudkan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Bahan-bahan ini bisa diperoleh dari minyak, mentega, margarin, gula, madu, sirup, jam, dan lain-lain

Asupan natrium yang diperbolehkan 40-120 mEq/hari (920-2760 mg/hari) untuk kontrol tekanan darah dan oedema. Pembatasan natrium dapat membantu mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan asupan cairan. Asupan natrium bisa diberikan lebih tinggi 7-9 jam sebelum dialisis untuk mencegah hipotensi atau kram selama dialisis. Bahan makanan tinggi natrium yang tidak dianjurkan antara lain : garam natrium yang ditambahkan kedalam makanan, seperti natrium bikarbonat atau soda kue, natrium benzoat atau pengawet buah dan sayuran, natrium nitrit atau sendawa yang digunakan sebagai pengawet daging, seperti pada ”cornet beef”. Bahan makanan yang dikalengkan.

Pembatasan kalium sangat diperlukan. Hiperkalemia dapat mengakibatkan dysrhthmia dan cardiac arrest. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari (1560-2730 mg/hari). Bahan makanan tinggi kalium pada umbi, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan. Yang tidak dianjurkan antara lain : kentang, alpokat, pisang, mangga, tomat, rebung, kailan, daun singkong, daun pepaya, bayam, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai.

Untuk Kalsium dan Fosfor, hendaknya dikontrol keadaan hipokalsemia dan hiperphosphatemia, ini untuk menghindari terjadinya hiperparatiroidism dan

(30)

seminimal mungkin mencegah kalsifikasi dari tulang dan jaringan tubuh. Fosfor dan kalsium lebih baik dikontrol dengan penggunaan pengikat fosfor dan suplemen kalsium. Namun begitu pembatsan asupan fosfor tetap dianjurkan bersamaan dengan suplemen kalsium karbonat. Asupan fosfor 400-900 mg/hari, kalsium 1000-1400mg/hari.

Untuk membatasi kelebihan cairan tubuh sekurang-kurangnya ½ kg setiap hari, konsumsi cairan baik yang berasal dari makanan meupun minuman diberikan sesuai jumlah air seni sehari ditambah 500 cc

2.6.3. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian

Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi dialisis, sisa fungsi ginjal, dan ukuran badan pasien. Diet untuk pasien dengan dialisis biasanya harus direncanakan perorangan. Berdasarkan berat badan dibedakan 3 jenis Diet Dialisis, yaitu :

(1) Diet dialisis I, 60 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 50 kg

(2) Diet dialisis II, 65 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 60 kg

(3) Diet dialisis III, 70 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 65 kg

(31)

2.6.4. Bahan Makanan Sehari

Berikut ini adalah bahan makanan sehari yang dikomsumsi pasien gagal ginjal dengan hemodialisa

Tabel 2.1. Bahan Makanan Sehari Penderita Gagal Ginjal dengan Hemodialisa

Bahan 60 gr protein 65 gr protein 70 gr protein Makanan Berat Ukuran Berat Ukuran Berat Ukuran

(gr) rumah tangga (gr) rumah tangga (gr) rumah tangga

Beras 200 3 gelas nasi 200 3 gelas nasi 220 3¼ gelas nasi

Maizena 15 3 sendok makan 15 3 sendok makan 15 3 sendok makan

Telur ayam 50 1 butir 50 1 butir 50 1 butir

Daging 50 1 potong sedang 50 1 potong sedang 75 1 potong besar

Ayam 50 1 potong sedang 50 1 potong sedang 50 1 potong sedang

Tempe 75 3 potong sedang 100 4 potong sedang 100 4 potong sedang

Sayuran 200 1 gelas 200 2 gelas 200 2 gelas

Minyak 30 3 sendok makan 30 3 sendok makan 30 3 sendok makan

Gula pasir 50 5 sendok makan 50 5 sendok makan 50 5 sendok makan

Susu bubuk 10 2 sendok makan 10 2 sendok makan 10 2 sendok makan

Susu 100 ½ gelas 100 ½ gelas 100 ½ gelas

(Sumber : Almatsier, 2006).

2.7. Landasan Teori

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003)

Menurut Sunaryo (2004), faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah pendidikan, informasi, sosial budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman dan umur. Dari keenam faktor ini yang masih mungkin dimanipulasi untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang diet hemodialisa adalah dari penerimaan informasi yaitu dengan pendekatan interpersonal antara petugas

(32)

kesehatan melalui komunikasi terapeutik guna untuk menyampaikan pesan yang berhubungan diet yang dianjurkan pada pasien dengan hemodialisa. Sehingga hal yang diharapkan ketika pengetahuan sudah bertambah maka kepatuhan pasien untuk menjalankan diet hemodialisa akan lebih baik.

Sackett (1976) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai ”sejauhmana prilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan” (Niven, 2002).

Menurut Teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor lingkungan dan sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya interaksi profesional kesehatan dengan pasien.

Meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana pengobatannya, dapat membantu meningkatkan kepercayaan pasien. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi

(33)

(Niven, 2002). Dalam dunia keperawatan, komunikasi perawat yang diarahkan pada pencapaian tujuan untuk menyembuhkan pasien dikenal dengan komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994).

Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi terapeutik meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg, 1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Stuart G.W., et.al.,1998).

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa komunikasi terapeutik perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap prilaku pasien, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh palestin bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan dan kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes melitus. Kemudian penelitian yang dilakukan Kristiana (2004) dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat pada penderita pulpitis di Poli gigi Puskemas Pucang Sewu kota Surabaya.

Menurut Pritchard dalam Palestin (2002) menyatakan hubungan komunikasi dengan kepatuhan merupakan variabel intermediet dari mengerti, kepuasan, dan memori. Membangun suatu kepatuhan tergantung pada dua faktor

(34)

disengaja atau tidak dan biasanya didasari informasi yang benar harus selalu diberikan pada pasien yang tidak patuh pada pelayanan medis yang mungkin secara langsung membantu mengingatkan kembali. Sejak dia dipercaya dan patuh dengan nasehat, dia akan mengikuti pengalaman kesehatan masa lampau oleh karena perubahan perilaku memerlukan banyak teknik persuasive.

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter dan ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan. Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter maupun perawat dengan pasien (Niven, 2002).

Salah satu peran kolaboratif dari perawat adalah membantu menyiapkan pasien untuk taat pada program pengobatan yang telah diorderkan oleh dokter. Dalam hal tersebut peran komunikasi terapeutik sangat penting dalam menjalin saling percaya di antara perawat dan pasien. Salah satu hal yang terpenting dengan tidak berhasilnya komunikasi perawat dan pasien adalah berkaitan dengan penerimaan informasi yang kurang adequat, sehingga akan berdampak pada pengetahuan pasien yang kurang adekuat juga. Pada banyak kasus diharapkan penerimaan komunikasi akan berdampak pada pengetahuan dan kepatuhan (Palestin, 2002).

Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R), bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus)

(35)

yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) (Notoatmodjo, 2003).

2.8. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut :

3.

Pre-test Post-test

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep menggambarkan bahwasanya variabel independen yaitu komunikasi terapeutik yang terdiri dari sikap perawat, materi hubungan, dan teknik komunikasi diasumsikan dapat memengaruhi pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Pirngadi Medan yang merupakan variabel dependen.

Komunikasi terapeutik • Sikap perawat • Materi hubungan • Teknik komunikasi Pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa

Pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa

Gambar

Gambar 2.1. Landasan teori perubahan prilaku berdasarkan Teori Stimulus-                        Organisme-Respon (S-O-R)
Tabel 2.1.  Bahan Makanan Sehari Penderita Gagal Ginjal dengan  Hemodialisa
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang dan Nilai Perusahaan (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI)..

Hasil informasi baru merupakan komponen output yang dapat disimpan untuk digunakan di masa yang akan datang dan ditampilkan dalam layar komputer atau dicetak

Dengan menggunakan dua metode ini maka pada penelitian ini diperoleh metode yang lebih baik digunakan untuk meramalkan jumlah DBD di RSUD Kabupaten Sidoarjo yaitu metode

Sementara, nilai elastisitas pendapatan negara-negara pengimpor, dan elastisitas karet sintetis tidak signifikan secara statistik dan masing-masing nilainya sebesar

Jawaban : Harapan kami masyarakat, untuk mengurangi atau membasmi kasus prostitusi online adala adanya qanun baru yang lebih terkini, lalu pengawasan dari pihak yang

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan khususnya kepada UPTD Puskesmas Dawan I agar dapat mengambil langkah-langkah yang lebih efektif dalam penyuluhan

Secara garis besar, berdasarkan hasil akhir penelitian ini diketahui bahwa permasalahan utama dalam realisasi pembangunan jalan tol di Provinsi Jawa Timur adalah

Dari penentuan isu tersebut, dapat ditetapkan tujuan yang ingin dicapai dari permasalahan yang ada di Pulau Menjangan Kecil Karimunjawa, seperti mengurangi dampak