BAB II
PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT MACET
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit
1. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan mengenai pengertian persetujuan yaitu
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih. Rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan dan bukan
perjanjian, namun dengan kedua istilah yang berbeda ini kiranya tidak perlu
dipertentangkan karena pada dasarnya apa yang dimaksudkan adalah sama, yaitu
tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.
Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang lengkap karena pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian hanya satu pihak saja sementara sering kali
dijumpai dalam perjanjian kedua belah pihak saling mengikatkan diri seperti
perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar dimana para pihaknya saling
mengikatkan diri sehingga keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang timbal
balik. Rumusan perjanjian seharusnya perlu ditambah dengan kata-kata “atau
saling mengikatkan diri satu sama lain”.10
Atas dasar kekurangan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan
kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut M. Yahya Harahap
perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak
10 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu tinjauan di Bidang Yuridis,
lain untuk menunaikan prestasinya.11 Menurut Tan Kamello perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata
sepakat mengenai objek tertentu dengan tujuan untuk menimbulkan akibat
hukum.12
Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak
dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat
hukum tertentu.
2. Asas-asas Perjanjian
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas perjanjian, perlu
dijelaskan pengertian asas. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin
“principium”, bahasa Inggris “principle” dan bahasa Belanda “beginsel”, yang
artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.13
Paul Scholten menegaskan bahwa asas hukum merupakan pikiran-pikiran
dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing
dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim
yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan
individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. Sebagai kaidah penilaian, asas
hukum itu mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif.
Itu sebabnya asas hukum itu adalah pondasi dari sistem tersebut. Asas hukum
11
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Jakarta: 1986, hlm. 6.
12 Hasil wawancara langsung dengan Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.S., Medan: 31 Mei 2014. 13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
mengemban fungsi ganda, yaitu sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan
sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.14
Asas-asas dalam hukum perjanjian dikenal ada bermacam-macam, yaitu:15
a. Asas konsensualisme
Sesuai dengan artinya konsensualisme adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan bahwa terjadinya suatu perjanjian setelah terjadi kata sepakat dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kesepakatan maka perjanjian menjadi sah dan mengikat kepada para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Asas ini dijumpai dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, asalkan perjanjiannya tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
c. Asas kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Konsekuensi dari asas kepribadian adalah pihak ketiga tidak dapat dimasukkan dalam perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian dan tidak mungkin memberikan kata sepakat.
d. Asas itikad baik
Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menegaskan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apapun yang telah diperjanjikan oleh para pihak harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran sesuai dengan maksud dan tujuannya. Asas itikad baik sesungguhnya tidak hanya ada pada waktu pelaksanaan perjanjian, akan tetapi pada waktu membuat perjanjian juga dilandasi dengan itikad baik, sehingga itikad baik antara pada waktu membuat perjanjian dengan pelaksanaan perjanjian sinkron.
e. Asas keadilan
Asas keadilan lebih tertuju pada isi dari perjanjian bahwa isi perjanjian harus mencerminkan adanya keadilan pada kedua belah pihak yang berjanji. Asas ini diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata.
f. Asas kepatutan
Suatu perjanjian dibuat bukan hanya semata-mata memperhatikan ketentuan undang-undang, akan tetapi kedua belah pihak harus memperhatikan pula tentang kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat secara patut. Asas kepatutan diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata
g. Asas kepercayaan
Para pihak dalam melakukan perjanjian harus saling percaya satu sama lain. Kepercayaan itu menyangkut saling memenuhi kewajibannya seperti yang diperjanjikan.
3. Syarat Sah Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian para
pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa
para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian
kemauan atau saling menyetujui kehendak masingmasing, yang dilahirkan
oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan dan penipuan.
Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara
diam-diam.16
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian
Kecakapan adalah kemampuan para pihak bertindak membuat perjanjian.
Pada prinsipnya semua orang mampu membuat perjanjian karena para
pihak bebas menentukan bentuk perjanjian secara lisan atau tertulis.
KUHPerdata tidak menentukan orang yang cakap bertindak secara hukum,
namun sebaliknya menentukan orang-orang yang tidak memiliki
kecakapan.
Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat perjanjian adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa.
16
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.
3) Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang
telah melarang persetujuan tertentu.
Kemudian mengenai orang yang belum dewasa, siapakah yang termasuk
orang-orang yang belum dewasa ternyata KUHPerdata tidak memberikan
perinciannya oleh karena itu untuk mengetahui hal tersebut, perlu melihat
beberapa ketentuan undang-undang untuk dapat dijadikan pedoman:
1) Pasal 6 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.
2) Pasal 1 angka 2 UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang
berusia 21 tahun keatas disebut dewasa, kecuali di bawah umur tersebut
yang bersangkutan pernah kawin. Orang yang umur belum genap 21 tahun
sudah kawin dikatakan sudah dewasa, dengan perkawinan itu pasangan
suami istri tersebut telah memiliki rumah tangga sendiri dan cakap
bertindak sebagai orang dewasa.17
Pasal 433 KUHPerdata disebutkan mengenai orang-orang yang ditaruh di
bawah pengampuan, yaitu setiap orang dewasa yang selalu berada dalam
keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap. Selain itu juga orang yang
karena perbuatannya boros dapat ditaruh di bawah pengampuan. Dalam
perkembangan hukum, keadaan juga telah mengubah kedudukan wanita
menjadi sama dengan kedudukan kaum pria. Di Negara Belanda sendiri
sejak tahun 1958 telah memiliki KUHPerdata yang baru, wanita telah
cakap melakukan perbuatan hukum.18 c. Suatu hal tertentu
Berdasarkan Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai
pokok suatu barang yang sedikit sudah ditentukan. Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukan/tertentu, asal saja jumlah
itu kemudian dapat ditentukan/dihitung. Selanjutnya di dalam Pasal 1334
KUH Perdata dinyatakan pula bahwa barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian
jelas bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian ialah barang/benda yang
sudah ada maupun barang/benda yang masih akan ada.
d. Suatu sebab yang halal
Kata “Causa” berasal dari bahasa latin artinya “Sebab”. Sebab adalah
suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang
dimaksud dengan sebab dalam Pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab
dalam arti yang menyebabkan orang membuat perjanjian, melainkan sebab
dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang
akan dicapai oleh pihak-pihak. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab
yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum, dengan
demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di depan
hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa sebab, ia dianggap
tidak pernah ada.
Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu
perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah. Keempat unsur
tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut
subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif) dan dua unsur pokok
lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).
Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak
yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Unsur
objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus
sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak dipenuhinya salah satu unsur
dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian
tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika
terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum (dalam
hal tidak terpenuhinya unsur objektif)
4. Pengertian Kredit
Istilah kredit bukan hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Berbagai macam transaksi sudah banyak dijumpai seperti jual beli
barang dengan cara kredit. Jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai, tetapi
pembayaran harga barang dilakukan secara angsuran. Selain itu dijumpai pula
banyak warga masyarakat yang menerima kredit dari lembaga perkreditan untuk
kepentingan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya masyarakat
mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu
mereka wajib membayar dengan lunas.
Kata “kredit” berasal dari bahasa Yunani, yaitu Credere yang artinya
kepercayaan.19Dengan demikian kredit menunjukkan hubungan kepercayaan antara pihak yang memberikan kredit (kreditur) dengan yang menerima kredit
(debitur). Maksudnya adalah apabila seseorang memperoleh kredit maka mereka
memperoleh kepercayaan, sedangkan bagi si pemberi kredit artinya memberikan
kepercayaan kepada seseorang bahwa uang yang dipinjamkan pasti kembali.
Seseorang atau semua badan usaha yang memberikan kredit percaya bahwa
penerima kredit dimasa mendatang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah
diperjanjikan itu meliputi waktu, syarat-syarat lainnya, prestasi dan
kontraprestasinya. Kreditur percaya bahwa debitur dapat dipercaya
kemampuannya untuk membayar lunas pinjaman setelah jangka waktu yang
ditentukan.20
Kata “kredit” juga berasal dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to
trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”. Dengan demikian, walaupun
kata “kredit” telah berkembang, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah
perkembangannya, kata “kredit” tetap mengandung usaha “kepercayaan”
walaupun sebenarnya kredit tidak hanya sekedar kepercayaan.
Savelberg mengatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain :21
a. Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak
menuntut sesuatu dari orang lain.
b. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang
lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.
19Thomas Suyanto (dkk), Dasar-dasar Perkreditan, edisi keempat, cetakan kesebelas,
Gramedia Pustaka Umum, Jakarta: 2007, hlm.12.
20Gatot Supramono, Op.Cit, hlm. 44.
21Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia, Penerbit
Sementara pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan) adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam bank untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Kredit yang diberikan oleh lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan.
Dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Dapat
disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam kredit ialah:22
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.
b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang. c. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat dalam bentuk barang atau jasa, namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan uang, maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
5. Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit mengacu kepada KUHPerdata yang merupakan salah satu
bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam buku III, Pasal 1754 KUH
Perdata, yang berbunyi:
22Thomas Suyanto (dkk), Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta: 1993,
“Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Perjanjian pinjam-meminjam ini mengandung makna yang luas yaitu
objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya
uang, karenanya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat riil yaitu
bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh pihak
kesatu kepada pihak lain dan bukan mengikatkan diri untuk menyerahkan uang
dari uraian tersebut dapat dibedakan 2 (dua) kelompok perjanjian kredit:23 a. Perjanjian kredit uang.
b. Perjanjian kredit barang, misalnya perjanjian sewa beli dan perjanjian
sewa guna usaha.
Perjanjian kredit merupakan “Perjanjian Pendahuluan” dari penyerahan
uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi
dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian
ini bersifat konsensuil oligatoir, yang dikuasai oleh Undang-undang Perbankan
dan Bagian Umum KUH Perdata.24 Perjanjian kredit dapat diartikan sebagai suatu
kesepakatan atau persetujuan antara kreditur dan debitur dalam hal penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan pihak
lain (khususnya debitur) untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
23 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti. Bandung: 2001, hlm. 111.
dengan pemberian bunga kepada kreditur (sesuai kesepakatan) berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.25
Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang penting baik bagi kreditur
maupun bagi debitur yaitu sebagai perjanjian pokok artinya perjanjian kredit
merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak perjanjian lain yang
mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Fungsi kedua adalah alat
bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur.
Fungsi yang ketiga adalah sebagai panduan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit.
Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 (dua) bentuk, yakni:
a. Perjanjian dalam bentuk akta di bawah tangan (Pasal 1874 KUH Perdata)
Akta bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda
tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani.
Pentingnya legalisasi oleh Notaris yang mengakibatkan akta bawah tangan
tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik agar akta
dibawah tangan tersebut tidak mudah dibantah.
b. Perjanjian dalam bentuk akta otentik (Pasal 1868 KUH Perdata)
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang
artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau
menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak.
Perjanjian kredit berakhir mengacu pada Pasal 1381 KUHPerdata dan
berbagai praktek hukum lainnya yang timbul dalam hal pengakhiran perjanjian
kredit. Hal ini dilakukan melalui:
25Handri Raharjo, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit ,Pustaka Yustisia,
a. Pembayaran
b. Subrograsi (Pasal 1400 KUHPerdata)
c. Pembaharuan utang/novasi (Pasal 1413 KUHPerdataDebitur yang telah)
d. Perjumpaan utang/ kompensasi (Pasal 1425 KUHPerdata)
B. Tinjauan Umum tentang Kredit Macet
1. Pengertian Kredit Macet
Fasilitas kredit yang diperoleh dari pihak kreditur tidak seluruhnya dapat
dikembalikan utangnya dengan lancar sesuai dengan waktu yang telah
diperjanjikan. Pada kenyataannya di dalam praktik selalu ada sebagian debitur
yang tidak dapat mengembalikan kredit kepada kreditur yang telah
meminjamkannya. Apabila debitur tidak dapat membayar lunas utangnya, maka
tergambar perjalanan kredit menjadi terhenti atau macet.
Keadaan yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum perdata disebut
wanprestasi atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa pemberian
kredit merupakan perbuatan pinjam-meminjam uang dan pengembalian kredit
atau membayar angsuran kredit disebut sebagai prestasi. Apabila debitur tidak
membayar lunas utangnya setelah jangka waktu pengembalian tersebut terlewati,
maka perbuatannya disebut wanprestasi. Wanprestasi itu tergolong atas 3 (tiga)
macam perbuatan jika dihubungkan dengan kredit macet, perbuatan tersebut
yaitu:26
a. Nasabah (debitur) sama sekali tidak tepat membayar angsuran kredit (beserta bunganya);
b. Nasabah (debitur) membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunganya). Pembayaran angsuran kredit tidak dipersoalkan apakah nasabah (debitur) kurang membayar satu kali angsuran, tetap tergolong kreditnya sebagai kredit macet.
c. Nasabah (debitur) membayar lunas kredit (beserta bunganya) setelah jangka waktu yang diperjanjikan berakhir. Hal ini tidak termasuk nasabah membayar lunas setelah perpanjangan jangka waktu kredit yang telah disetujui kreditur atas permohonan debitur.
Dengan kata lain, kredit macet diartikan bahwa debitur tidak mampu
melaksanakan prestasinya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian.
Kredit macet merupakan salah satu dari penggolongan kredit bermasalah.
Istilah penggolongan kredit bermasalah merupakan istilah yang dipakai untuk
menunjukkan penggolongan kolektibilitas kredit yang menggambarkan kualitas
dari kredit itu sendiri.27Jadi, untuk menentukan apakah suatu kredit dikatakan bermasalah didasarkan pada kolektibilitas kreditnya. Berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia No.7/ 2/ PBI/ 2005 tentang kualitas aktiva Bank Umum Pasal 13 ayat 3,
kolektibilitas kredit terdiri dari 5 (lima) golongan, yaitu:
a. Lancar (pass), kredit digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria di
bawah ini:
1) Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak
ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit;
2) Hubungan debitur dengan kreditur baik dan debitur selalu
menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat;
3) Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat.
b. Dalam perhatian khusus (special mention), kredit digolongkan dalam
perhatian khusus apabila memenuhi kriteria di bawah ini:
1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai 90
(Sembilan puluh) hari;
27Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1996,
2) Jarang mengalami cerukan;
3) Hubungan debitur dengan kreditur baik dan debitur selalu
menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih
akurat;
4) Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat;
5) Pelanggaran perjanjian kredit tidak prinsipil.
c. Kurang lancar (substandard), kredit digolongkan kurang lancar apabila
memenuhi kriteria di bawah ini:
1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah
melampaui 90 (Sembilan puluh) hari sampai dengan 180 (seratus
delapan puluh) hari;
2) Terdapat cerukan yang berulang kali khususnya untuk menutupi
kerugian operasional dan kekurangan arus kas;
3) Hubungan debitur dengan kreditur memburuk dan informasi
keuangan tidak dapat dipercaya;
4) Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan lemah;
5) Pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit;
6) Perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan.
d. Diragukan (doubtful), kredit digolongkan diragukan apabila memenuhi
kriteria di bawah ini:
1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah
melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari sampai dengan 270
2) Terjadi cerukan yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi
kerugian operasional dan kekurangan arus kas;
3) Hubungan debitur dengan kreditur semakin memburuk dan
informasi keuangan tidak bersedia atau tidak dapat dipercaya;
4) Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan agunan lemah;
5) Pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam
perjanjian kredit;
e. Macet (loss), kredit digolongkan macet apabila memenuhi kriteria di
bawah ini:
1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah
melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh) hari;
2) Dokumentasi kredit dan atau pengikatan agunan tidak ada.
Berdasarkan kolektifitas kredit tesebut diatas, kredit macet ialah kredit
yang telah jatuh tempo, namun belum dilunasi dan tunggakan angsuran lebih dari
270 hari atau 9 bulan. Kredit macet juga dapat dikatakan ketika debitur tidak
mampu lagi untuk mengangsur utang pokoknya dan bunga dari hasil usaha yang
dimodali dengan fasilitas kredit.28
2. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kredit Macet
Faktor yang menyebabkan nasabah tidak melaksanakan kewajibannya
melunasi utangnya menurut Salim H.S adalah sebagai berikut:29 a. Kondisi ekonomi nasabah/debitur
Pada umumnya, yang meminjam uang pada lembaga perbankan / non bank adalah nasabah/debitur menengah ke bawah. Mereka pada umumnya adalah para petani tembakau, pengusaha kecil, dan menengah. Sehingga
28
Mantayborbir, S., dkk.,Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa, Medan: 2002, hlm. 23.
29Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta:
dalam mengembangkan usahanya selalu tergantung pada harga pasar yang berlaku. Di dalam prinsip ekonomi, bahwa semakin banyak barang yang dijual dipasar, maka semakin rendah harga barang tersebut. Hal ini tampak dari kebijakan petani tembakau, dimana mereka semua menanam tembakau. Tembakau ini melimpah, sehingga harga anjlok, sementara kebutuhan perusahaan sangat terbatas. Maka dengan sangat terpaksa mereka menjual harga tembakau dengan harga yang rendah. Sehingga pada gilirannya mereka tidak mampu membayar utang kredit pada lembaga perbankan, sementara uang yang diterima hanya cukup untuk membayar biaya pengelolaannya;
b. Kemauan debitur untuk membayar hutangnya sangat rendah
Rendahnya kemauan debitur untuk membayar hutang – hutangnya ini disebabkan karena jaminan yang digunakan oleh mereka adalah tanah milik orang lain. Terjadinya penggunaan tanah milik orang lain adalah disebabkan pemilik tanah membutuhkan uang, misalnya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Untuk mendapatkan uang tersebut, maka yang bersangkutan menyuruh orang lain untuk memperoleh kredit tersebut. Di dalam mengajukan permohonan kredit, debitur ini meminjam kredit dalam jumlah yang besar, misalnya Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sehingga pada gilirannya ia tidak mampu membayar pinjaman pokok dan bunga kreditnya.
c. Nilai jaminan lebih kecil dari jumlah hutang pokok dan bunga
Pada saat dilakukan penilaian oleh lembaga perbankan/ non bank, bahwa objek jaminan yang dimiliki oleh nasabah dianggap cukup untuk membayar hutang pokok dan bunga, manakala ia tidak mampu membayar hutang. Namun, dalam kenyataan ternyata pada saat dilakukan pelelangan nilai jaminan itu tidak cukup untuk membayar hutang –hutangnya.
d. Usaha nasabah bangkrut
Setiap nasabah yang mengembangkan bisnis tidak menginginkan usahanya bangkrut. Mereka tetap menginginkan supaya usaha dagangnya tetap berjalan dan mendapat keuntungan sebanyak – banyaknya. Bangkrutnya usaha debitur ini disebabkan bisnis yang dikembangkan sangat banyak dan adanya pengaruh krisis ekonomi dan moneter. Misalnya, usaha yang utama mereka berdagang, tetapi mereka juga mengembangkan usaha di bidang transportasi, perkayuan, dan lain – lain. Banyaknya usaha yang dikembangkan nasabah ini membuat biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan usaha tersebut menjadi bertambah. Setiap penambah sebuah kegiatan usaha, maka akan bertambah modal yang dibutuhkan untuk itu. Krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan berdampak negatif terhadap pengembangan usaha dari debitur, dimana debitur tidak mampu bersaing untuk mengembangkan usahanya karena besarnya biaya yang dikeluarkan untuk itu, sedangkan daya beli masyarakat sangat kurang/rendah.
e. Kredit yang diterima nasabah disalahgunakan
mestinya. Mereka menggunakan kredit yang diterima untuk membeli mobil mewah, rumah, dan lain-lain.
f. Manajemen usaha nasabah sangat lemah
Pengelolaan bisnis harus disertai dengan manajemen yang baik. Artinya, nasabah di dalam mengembangkan usahanya mempunyai pengetahuan dan
skill yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Tanpa adanya hal itu, maka usaha nasabah/debitur tidak dapat berkembang dengan baik. Suatu manajemen dikatakan baik, apabila nasabah tersebut mempunyai catatan yang berkaitan dengan debit dan kredit (pemasukan dan pengeluaran). Umumnya, pengusaha ekonomi lemah di dalam mengembangkan usahanya tidak mempunyai catatan-catatan seperti tersebut di atas, sehingga mereka tidak mampu menghitung berapa jumlah keuntungan dan kerugian yang dideritanya.
g. Pembinaan kreditur terhadap nasabah sangat kurang
Keberhasilan nasabah di dalam pengembangan usahanya tidaklah terlepas dari usaha pembinaan yang dilakukan oleh kreditur terhadap nasabahnya. Pembinaan nasabah ini mencakup pembinaan skill, pembinaan manajemen, marketing, negosiasi. Selama ini kita melihat bahwa pembinaan yang dilakukan oleh lembaga perbankan terhadap nasabahnya sangat kurang. Pembinaan baru dilakukan oleh kreditur setelah debitur mengalami masalah di dalam pengembalian kreditnya. Para nasabah seharusnya diberikan keterampilan, baik skill, manajemen, marketing dan negosiasi.
Sedangkan Bagir Manan berpendapat bahwa faktor-faktor yang
merupakan sumber-sumber munculnya kredit macet dapat dikategorikan sebagai
berikut:30
a. Faktor debitur
Ada kemungkinan debitur tertentu memang tidak memperhitungkan dengan cermat kemungkinan pelunasan pinjaman dengan teratur dan tepat waktu. Pinjaman dilakukan sekadar memanfaatkan berbagai peluang yang tidak begitu terjamin atau tidak dapat diketahui secara tepat kelangsungannya. Bahkan untuk debitur semacam ini sejak semula ada unsur spekulasi berlebihan bahkan kemungkinan itikad kurang baik untuk memenuhi segala kewajiban yang diperjanjikan. Tetapi kesulitan pelunasan pinjaman tidak semata-mata pada debitur yang kurang cermat atau yang serba berspekulasi. Debitur yang beritikad baik juga dapat terperosok pada kesulitan pengembalian pinjaman karena berbagai kondisi, baik yang ditimbulkan oleh debitur itu sendiri atau faktor – faktor di luarnya seperti kelesuan ekonomi, dan lain sebagainya.
b. Faktor kreditur
30Gatot Supramono, sebagaimana dikutip dari Bagir Manan, Sarana Penanggulangan Kredit
Kekurangcermatan kreditur pada saat memberikan pinjaman juga dapat menjadi sumber kredit macet. Kekurangcermatan tersebut dapat terjadi karena didorong melakukan ekspansi kegiatan yang berlebihan atau dorongan persaingan antara kreditur. Dorongan – dorongan ini menimbulkan kebijaksanaan (beleid) yang memberikan berbagai kemudahan sehingga menjadi kurang cermat dalam menilai jaminan (agunan atau penjamin), prospek usaha dan lain sebagainya. Keadaan ini akan makin diperburuk apabila aparat kreditur tidak menjaga integritas dengan baik sehingga mudah “dibelai” calon debitur.
c. Faktor pemerintah
Kemacetan pengembalian pinjaman dapat pula bersumber dari berbagai tindakan atau kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan uang ketat (tight money policy), atau berbagai kebijaksanaan yang mempengaruhi kegiatan ekonomi tidak jarang menjadi sebab kesulitan mengembalikan pinjaman. Dalam hal benar-benar terbukti kebijaksanaan pemerintah merupakan penyebab kesulitan debitur melunasi pinjamannya. Maka sudah semestinya pemerintah ikut bertanggung jawab dan wajib berupaya memberikan kebijaksanaan yang tidak akan lebih menekan debitur.
d. Faktor masyarakat-khususnya kegiatan ekonomi masyarakat
Piutang negara adalah kredit yang diberikan atau diperoleh untuk menjalankan berbagai kegiatan ekonomi-perdagangan, industri dan sebagainya. Krisis ekonomi, kelesuan ekonomi, baik yang bersifat nasional maupun internasional (global) akan berakibat pula pada kemampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang menjadi faktor munculnya kredit macet adalah faktor debitur itu
sendiri yaitu para debitur kurang memiliki kesadaran dalam melaksanakan
tanggung-jawabnya untuk melunasi utang kreditnya, faktor kreditur yaitu
kurangnya ketelitian kreditur dalam memberikan pinjaman kepada calon debitur
dan juga kurangnya pembinaan terhadap debitur dalam hal menjalankan usahanya,
serta faktor pemerintah dalam berbagai kebijaksanaanya yang pada umumnya
sering memberatkan masyarakat yang otomatis memberatkan debitur dalam hal
pengembalian pinjaman kredit.
Apabila kredit macet terjadi karena debitur tidak melaksanakan
prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum
melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan
wanprestasi yang dilakukan melalui putusan pengadilan, untuk itu kreditur harus
menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Namun, sebelum menggugat debitur,
kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar debitur
memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka
kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanprestasi yang oleh pengadilan
diputuskan bahwa kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang
diberikan oleh debitur.
Eksekusi barang jaminan tidak hanya bergantung pada jangka waktu
pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Apabila debitur melakukan prestasi
yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, hal ini juga merupakan bentuk
wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang
diperjanjikan) sehingga kreditur berhak untuk melaksanakan haknya
mengeksekusi barang jaminan. Namun, biasanya sebelum membawa perkara
kredit yang bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara