• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Hak Sisa Hasil Lelang Atas Barang Jaminan Pada Pembiayaan Perbankan Syariah (Studi di PT. Bank Muamalat, Tbk. Cabang Stabat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Hak Sisa Hasil Lelang Atas Barang Jaminan Pada Pembiayaan Perbankan Syariah (Studi di PT. Bank Muamalat, Tbk. Cabang Stabat)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETENTUAN PEMBIAYAAN BERMASALAH PADA PT. BANK MUAMALAT TBK. CABANG STABAT DAN CARA PENYELESAIANNYA A. Pengertian Dan Prinsip Bank Syariah

Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa

pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu bank dan

syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai

perantara keuangan dari dua pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang

kekurangan dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan

perjanjian yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana

dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainya sesuai dengan hukum

Islam.40

Pengertian bank menurut undang-undang perbankan Indonesia adalah badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya pada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya

dalam rangka meningktkan taraf hidup rakyat banyak.41 Sehingga secara umum,

fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari msyarakat dan menyalurkannya

kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan.

Istilah “bank syariah” itu sendiri sebenarnya adalah khas Indonesia yang tidak

dijumpai di negara lain. Di tempat lain, lembaga itu disebut “bank Islam” (Islamic

40

Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika,,2008), hal.1. 41

(2)

Bank).42 Di Indonesia istilah atau penyebutan yang dipakai ialah “bank Islam” atau

“bank syariah” dan “perbankan Islam”. Namun dari sekian istilah yang ada tersebut masyarakat Indonesia lebih dekat dengan nama “bank syariah”. Hal tersebut juga

dapat dilihat pada pencantuman kata “syariah” dibelakang nama-nama bank di

Indonesia yang melakukan berdasarkan prinsip syariah.43 Pemakaian kata “syariah” di belakang nama bank, menunjukkan bahwa dalam operasional bank tersebut

memakai prinsip-prinsip syariah yang berdasarkan hukum Islam.

Menurut UU No. 10 Pasal 8 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun

1992 tentang Perbankan, Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan

usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum

syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Artinya bahwa Bank Syariah dalam

menajemen investasi dan finansial dituntut untuk menggunakan asas profit oriented

sebagaimana bank konvensioanl menjalaninya sehingga dengan asas tadi Bank

Syariah bisa berkembang, bonafid dan professional bukan sekedar menggunakan jalur

emosional keagamaan untuk menjaring nasabahnya. Itulah salah satu persamaan yang

bisa dijadikan referensi dan motivasi dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan

Perbankan Syariah.44

42

Adiwarman A. Karim, Bank-Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Penerbit PT. RajagrafindoPersada, 2004), hal. XXII.

43

Dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, diatur bahwa bank yang telah

mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata ”syariah” sesudah kata ”bank” pada penulisan namanya.

44

(3)

Menurut Pasal 1angka (1) UU Nomor 21 Tahun 2008, pengertian perbankan

syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah dalam menjalankan kegiatan

usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum

Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiyaan Rakyat Syariah (BPRS), yaitu :

1. Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank syariah yang dalam kegiatannya

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank ini dapat berusaha

sebagai bank devisa dan bank nondevisa. Bank devisa adalah bank yang

dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang berhubungan

dengan mata uang asing secara keseluruhan seperti transfer ke luar negeri,

inkaso ke luar negeri, pembukuan letter of credit dan sebagainya.

2. Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum

konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit

yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit

kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri

yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi

sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit

syariah. Unit Usaha Syariah berada satu tingkat di bawah direksi bank

umum konvensional bersangkutan. Unit Usaha Syariah juga dapat

(4)

3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank syariah yang

dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Bentuk hukum BPRS adalah perseroan terbatas maka dari itu hanya boleh

dimiliki oleh WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia, pemerintah daerah,

atau kemitraan antara WNI atau badan hukum indonesia dengan

pemerintah daerah.45

Seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga berfungsi sebagai suatu

lembaga yaitu menampung dan mengarahkan dana dari masyarakat serta

menyalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk

fasilitas pembiayaan. Bedanya hanyalah usahanya tidak berdasarkan bunga (interest

free), tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip pembagian keuntungan dan

kerugian, seperti juga bank konvensional, selain memberikan jasajasa

pembiayaanbank, bank syariah juga memberikan jasa-jasa lain, seperti jasa kiriman

uang, pembukaan letter of credit, jaminan dan jasa-jasa lainya.46

Bank syariah didirikan bertujuan untuk menghindari persoalan bunga uang

yang terus menjadi perdebatan berkepanjangan, yang dikhawatirkan mengandung

unsur riba. Oleh karena itu setiap aktivitas bank Syariah harus menghindari

kekhawatiran adanya unsur-unsur riba. Bank syariah bukan sekedar bank bebas

45

Andri Soemitra, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta : Penerbit Kencana, 2010), hal. 61-62.

46

(5)

bunga, tetapi juga memiliki oriantasi pencapaian kesejahteraan. Secara fundamental

terdapat beberapa karakteristik bank syariah :

1. Penghapusan riba.

2. Pelayanan kepada kepentingan publik dan merealisasikan sasaran

sosio-ekonomi Islam.

3. Bank syariah bersifat universal yang merupakan gabungan dari bank

kemersial dan bank investasi.

4. Bank syariah akan melakukan evaluasi yang lebih berhati-hati terhadap

permohonan pembiayaan yang berorientasi kepada penyertaan modal,

karena bank kemersial syariah menerapkan profit and loss sharing dalam

konsinyasi, ventura, bisnis, atau industri.

5. Bagi hasil cenderung mempererat hubungan antara bank syariah dan

pengusaha

6. Kerangka yang dibangun dalam membantu bank mengatasi kesulitan

likuiditasnya dengan memanfaatkan instrumen pasar uang antarbank

syariah dan instrumen bank sentral berbasis syariah.47

Oleh karena itu, maka secara struktural dan sistem pengawasannya berbeda

dari bank konvensional. Pengawasan perbankan Islam mencakup dua hal, yaitu

pertama, pengawasandari aspek keuangan, kepatuhan pada perbankan secara umum,

dan prinsip kehati-hatian bank. Kedua, pengawasan prinsip syariah dalam kegiatan

operasional bank. Secara struktural kepengurusan bank syariah terdiri dari Dewan

47

(6)

Komisaris dan Direksi dan wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi

mengawasi kegiatan bank syariah.48

Prinsip-prinsip dasar ekonomi Syariat yang selama ini kita kenal melalui Bank

Syariah adalah nilai-nilai etika dan norma ekonomi yang universal dan komprehensif.

Secara global, Pertama, Islam mengatur semua transaksi ekonomi melalui nilai-nilai

universal (attandzim), mudah (alyusru) dan luas (assa’ah).49 Hal ini dilakukan

dengan mengamati aturan ekonomi yang ada dalam Quran dan Hadits, jelaslah bahwa

Islam benar-benar telah mengatur sistem ekonomi dengan teliti dan jelas melalui

nilai-nilainya yang universal, yaitu bahwa setiap transaksi ekonomi (muamalat) harus

didasarkan pada asas kejujuran, keadilan, toleransi dan suka sama suka, baik dalam

perdagangan, kerjasama (sharing) ataupun semua aspek ekonomi. Indikasinya bisa

dilihat dari dibolehkannya sistem barter (materi dan manfaat), baik melalui jual beli,

sewa menyewa, penggadaian, kerja sama dan lainnya.

Islam juga telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam

melakukan transaksi ekonomi (selama tidak melanggar nilai-nilai universal Islam)

bahkan menyuruh umatnya untuk terus dinamis dalam menciptakan

kemudahan-kemudahan transaksi melalui instrumen-instrumennya agar selalu update dan valid

dengan perubahan waktu dan perbedaan tempat. Indikasinya nampak pada tidak ada

pengkhususan instrumen tertentu atau pembatasan pada instrumen tertentu. Apa yang

telah diterapkan Rasulallah dan para sahabatnya pada jaman itu adalah hanya

48

Wirdyaningsih, dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Kencana Preada Media, 2005), hal. 61.

49

(7)

kecocokan jaman dan pengenalan mereka pada instrumen dan produk tersebut,

dimana hanya instrumen/produk itulah yang dikenal mereka dan dipakai pada saat itu.

Artinya tidak ada keharusan bagi generasi-generasi berikutnya untuk melaksanakan

instrumen dan produk yang pernah dipakai mereka selama nilai-nilai universalnya

tetap dipertahankan. Nilai-nilai tersebut harus tetap dipertahankan dalam setiap waktu

dan tempat.

Kedua, Islam telah mengharamkan setiap transaksi perekonomian yang

mengandung unsur kedhaliman, curang dan penipuan. Apabila Islam telah

membolehkan setiap transaksi ekonomi yang benar, berdasarkan keadilan dan

kejujuran serta bertujuan mencapai kemaslahatan umat, maka di sisi lain, Islam juga

telah mengharamkan setiap transaksi yang mengandung unsur kedhaliman,

kecurangan dan penipuan seperti monopoli untuk menguasai pangsa pasar,

menentukan harga seenaknya, jual beli gharar (spekulasi), manipulasi dalam jual beli,

sumpah bohong, mengurangi timbangan, menjual belikan barang-barang yang

diharamkan Syariat dan lainnya.

Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan. Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi

hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara

Bank dan Nasabah .

2. Prinsip Kemitraan, Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpanan dana,

nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan

(8)

dan keuntungan yang berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah

pengguna dana maupun Bank. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai

intermediary institution lewat skim-skim pembiayaan yang dimilikinya.

3. Prinsip Keterbukaan, Melalui laporan keuangan bank yang terbuka secara

berkesinambungan, nasabah dapat mengetahui tingkat keamanan dana dan

kualitas manajemen bank

4. Univeralitas Bank dalam mendukung operasionalnya tidak membeda-bedakan

suku, agama, ras dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam

sebagai rahmatan lil'alamiin.50

Perbankan syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya.

Pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam

melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga atau riba. Pelarangan inilah

yang membedakan sistem perbankan Islam dengan sistem perbankan konvesional.

Pelarangan riba diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 278-279:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan lepaskan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu modalmu. Kami tidak menganiaya dan tidak

(pula) dianiaya”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari modal dasar adalah riba,

sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal dasar yang ditentukan

sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba.51

50

(9)

Sebagai pengganti sistem bunga, maka bank syariah menerapkan berbagai

cara yang bersih dan bebas dari unsur riba yaitu melalui prinsip-prinsip :

1. Wadiah ( titipan uang, barang dan surat berharga atau deposito). Wadiah ini biasa diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente/bunga), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu depositor memerlukannnya.

2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing). Dengan mudharabah ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian. 3. Musyarakah/Syirkah (persekutuan). Di bawah kerjasama musrakah/syirkah

ini pihak bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (modal) pada usaha patungan (joint venture). Karena itu kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian profit and loss sharing.

4. Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atau dasar harga pembeliannnya pertama secara jujur).

5. Qiradh hasan ( pinjaman yang baik atau benevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjamannya tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.

6. Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan maka menejemennya dilakukan oleh bank bersama patner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.52

(10)

B. Kegiatan Usaha Dan Pembiayaan Bank Syariah

Bank Syariah pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan

bank konvesional, yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat

di samping penyediaan jasa keuangan lainnya. Perbedaannya adalah seluruh kegiatan

usaha bank syariah di dasarkan pada prinsip syariah. Implikasinya, di samping harus

selalu sesuai dengan prinsip hukum Islam, juga karena dalam prinsip syariah

memiliki berbagai variasi akad yang akan menimbulkan variasi produk yang lebih

banyak dibandignkan produk bank konvensional.53

Adapun kegiatan usaha Bank Syariah adalah :54

1. Penghimpun Dana

Dalam penghimpunan dana, bank syariah melakukan mobilisasi dan investasi

tabungan dengan cara yang adil. Mobilisasi dana sangat penting karena Islam

mengutuk penumpukan dan penimbunan harta dan mendorong penggunaannya secara

produktif dalam rangka mencapai tujuan ekonomi dan sosial. Sumber dana bank

syariah berasal dari modal disetor dan hasil mobilisasi kegiatan penghimpunan dana

melalui rekening giro, rekening tabungan, rekening investasi umum dan rekening

investasi khusus. Di samping itu bank syariah juga dapat menerbitkan obligasi

syariah sebagai alternatif pembiayaan jangka panjang. Penghimpunan dana terdiri

atas Modal Inti, Simpanan dan Investasi.

53

Andri Soemitra, Op.Cit., hal. 72. 54

(11)

2. Penyaluran Dana

Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk

pembiayaan syariah terbagi ke dalam 6 (enam) kategori yang dibedakan berdasarkan

tujuan penggunaannya, yaitu :

a. pembiayaan Berdasarkan Pola Jual Beli Dengan Akad Murabahah, Salam

atau Istishna’.

b. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad Mudharabah atau Musyarakah.

c. Pembiayaan berdasarkan Akad Qardh.

d. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada

nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah

muntahiya bittamlik.

e. Pengambilalihan utang berdasarkan Akad Hawalah.

f. Pembiayaan Multijasa.

3. Jasa Keuangan Perbankan

Selain melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank syariah

juga dapat menawarkan jasa keuangan perbankan. Jasa keuangan perbankan syariah

antara lain Letter of credit (L/C), impor syariah, bank garansi syariah dan penukaran

valuta asing (sharf).

Pembiayaan dalam arti sempit dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang

dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah.

(12)

dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan

sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain. Pembiayaan juga merupakan salah satu

tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan

pihak-pihak yang merupakan deficit unit.55

Pengertian pembiayaan menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 berbunyi :

Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak

lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau

tagihan tabungan setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi

hasil.56

Kemudian di jelaskan lagi dalam UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan

syariah pasal 1 angka ke 25 menjelasakan bahwa:

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan

istishna’;

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana

55Muhammad Syafi’I Antonio,

Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press. 2001) hal. 160.

56

(13)

tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.57

Pembiayaan juga dapat diartikan sebagai pendanaan yang diberikan oleh suatu

pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik

dilakukan sendiri atau lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan

yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.58

Secara teknis bank memberikan pendanaan atau pembiayaan untuk

mendukung investasi atau berjalannya usaha yang telah direncanakan antara kedua

belah pihak dengan kesepakatan bagi hasil di dalamnya. Sebagaimana dalam

Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, patuhilah aqad-aqad itu...”

Ayat di atas menjelaskan tentang akad atau perjanjian yaitu mencakup janjia

prasetia kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan

sesamanya (antara pihak bank dengan nasabah). Pada bank konvensional kegiatan

pembiayaan dikenal dengan istilah kredit yaitu penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakandengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi

utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga.59

57

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah 58

Veithzal Rivai, dan Arfian Arifin. Islamic Banking: Sebuah teori, konsep, dan aplikasi. (Jakarta: Pebernit Bumi Aksara, 2010), hal. 681.

59

(14)

Pada dasarnya konsep kredit pada bank konvensional dan pembiayaan pada

bank syariah tidak selalu berbeda, dimana yang menjadi perbedaan antara kredit yang

diberikan bank konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah

adalah terletak pada keuntungan yang diharapkan. Bagi bank konvensional

keuntungan yang diperoleh melalui bunga sedangkan bagi bank syariah berupa

imbalan atau bagi hasil.60Kredit pada bank konvensional, mengharuskan debitur

mengembalikan pinjaman dengan pemberian bunga kepada Bank, sedangkan pada

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pengembalian pinjaman dengan bagi hasil

berdasarkan kesepakatan antara Bank dan debitur. Misalnya, pembiayaan dengan

prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang menggunakan

prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa.61

Setiap pemberian pembiayaan apabila dijabarkan secara mendalam

mengandung beberapa arti, sehingga jika kita berbicara tentang pembiayaan maka

termasuk membicarakan unsur-unsur yang ada di dalamnya, meliputi :

a. Kepercayaan, yaitu diberikan kepada debitur baik dalam bentuk uang , jasa

maupun barang akan benar-benar dapat diterima kembali oleh bank dalam

jangka waktu yang telah ditentukan.

b. Kesepakatan, dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing

pihak menandatangai hak dan kewajiban. Kesepakatan penyaluran

60

Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Peersada, 2001), hal. 73.

61

(15)

pembiayaan dituangkan dalam akad pembiayaan yang ditandatangani oleh

kedua belah pihak, yaitu bank dengan nasabah.

c. Jangka waktu, diberikan sesuai dengan kesepakatan dimana mencakup waktu

pengambilan pembiayaan yang telah disepakati. Hampir dapat dipastikan

bahwa tidak ada pembiayaan yang tidak memiliki jangka waktu.

d. Resiko, dimana dalam memberikan pembiayaan, bank tidak selamanya

mendapatkan keuntungan, bank juga bisa mendapat resiko kerugian. Seperti

terjadinya side streaming, lalai dan kesalahan disengaja, maupun

penyembunyian keuntungan oleh nasabah. Suatu resiko ini muncul karena ada

tenggang waktu pengembalian. Semakin lama jangka waktu pembiayaan

maka semakin besar resiko tidak tertagih demikian pula sebaliknhya.

e. Balas jasa, merupakan keuntungan atas pemberian suatu pembiayaan atau jasa

tersebut yang kita kenal dengan bagi hasil. Balas jasa dalam bentuk bagi hasil

ini dan biaya administrasi ini merupakan keuntungan bank.

Berdasarkan unsur tersebut di atas membuktikan bahwa pada dasarnya

pembiayan merupakan pemberian kepercayaan dan berarti pula prestasi yang

diberikan benar-benar diyakini dapat dikembalikan oleh penerima pembiayaan sesuai

dengan waktu dan syarat yang telah disepakati oleh semua pihak

Secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam 6 (enam)

kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu :62

62

(16)

2.1 Pembiayaan Berdasarkan Pola Jual Beli Dengan Akad Murabahah, Salam

Dan Istishna’

a. Akad murabahah, adalah akad jual beli barang dengan menyatukan

harga perolehan dan keuntungan (margin) yang telah disepakati oleh

penjual dan pembeli.63Bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah

sebagai pembeli. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika

telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam

perbankan murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan

(bi tsaman ajil) dan barang diserahkan segera setelah akad sedangkan

pembayaran dilakukan secara tangguh. Landasan syariah murabahah adalah

Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

b. Akad Salam, adalah akad pembiayan suatu barang dengan cara

pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan

syarat tertentu yang disepakati. Dalam praktek perbankan, ketika barang

telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan

nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan.

Dalam hal bank menjual secara tunai biasa disebut pembiayaan talangan

(bridging financing), sedangkan dalam hal cicilan, kedua belah pihak harus

menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Landasan syariah

salam adalah Fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual

63

(17)

Beli Salam. Pembiayaan ini umumnya diterapkan bagi barang yang belum

ada seperti komuditas pertanian. Sebelum membeli hasil pertanian dari

nasabah pertama, bank terlebih dahulu telah menawarkan kepada nasabah

kedua untuk membeli hasil pertanian dari nasabah pertama dalam ketetapan

harga pembelian dan penjualan yang disepakati bersama antara nasabah

pertama dengan nasabah kedua.64

c. Akad Istishna’, adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk

pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan

tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan

penjual atau pembuat (shani’). Dalam bank syariah umumnya diaplikasikan

pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi, dimana kasus yang sering

ditemui yaitu pada proses pembangunan rumah atau gedung, usaha

konfeksi dan lain-lain.65 Landasan syariah Istishna’ adalah Fatwa DSN

MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’.

2.2 Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad Mudharabah atau Musyarakah.

a. Akad Mudharabahadalah pembiayaan antara bank dengan nasabah

dimana bank menyediakan seratus persen pembiayan bagia kegiatan

tertantu dari nasabah. Sedangkan nasabah mengelola usaha tersebut tanpa

64

Sonarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta : Penerbit Zikrul Hakim, 2003), hal. 73.

65

(18)

campur tangan bank.66 Landasan hukum Mudharabah terdapat dalam

Al-Qur’an Surat 4 ayat 29 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku

dengan suka sana suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh

dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dalam prakteknya, pihak pertama (bank syariah) yang menyediakan

seluruh modal dan pihak kedua (nasabah) yang bertindak selaku pengeola

dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang

dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh

bank syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang

disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. Landasan syariah pembiayaan

mudharabah adalah Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang

Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).

b. Akad Musyarakah adalah akad kerjasama di antara dua pihak atau lebih

untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi

dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan

kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana

masing-masing. Landasan syariah Pembiayaan Musyarakah adalah Fatwa

DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentangPembiayaan Musyarakah.

66

(19)

Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat

berupa dana, barang perdagangan, kewiraswastaan, kepandaian,

kepemilikan, peralatan, kepercayaan, dan barang-barang lainnya yang

dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkun seluruh kombinasi dari

bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu

menjadikan produk ini sangat fleksibel.

2.3 Pembiayaan berdasarkan Akad Qardh yaitu akad pinjaman dana kepada

nasabah dengan ketentuanbahwa nasabah wajib mengembalikan pokok

pinjaman yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati baik secara

sekaligus maupun cicilan. Landasan syariah Akad Qardh adalah Fatwa

DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2000 tentang Qard.

2.4 Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada

nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah

muntahiya bittamlik.

a. Akad Ijarah adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan

hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan kepemilikan

barang itu sendiri.Landasan syariah Akad Ijarah adalah Fatwa DSN MUI

No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentangPembiayaan Ijarah.

b. Akad ijarah muntahiya bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam

rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa

berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.

(20)

MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentangPembiayaan Ijarah muntahiya

bittamlik.

2.5 Pengambilalihan utang berdasarkan Akad Hawalah, yaitu pengalihan utang

dari pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau

membayar. Landasan syariah Hawalah adalah Fatwa DSN MUI No.

12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.

Dalam prakteknya fasilitas hawalah lazimnya untuk membantu supplier

mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank

mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan utang. Untuk mengantisipasi

resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas

kemampuan pihak yang berutangdan kebenaran transaksi antara yang

memindahkan piutang dengan yang berutang.

2.6 Pembiayaan Multijasa, yaitu pembiayaan yang diberikan bank dalam bentuk

sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah dan kafalah. Landasan syariah

pembiayaan multijasa adalah Fatwa DSN MUI No. 44/DSN-MUI/VII/2004

tentangPembiayaanMultijasa.

C. Sejarah Berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk

Bank Muamalat Indonesia didirikan atas ide awal yang tercetus pada

lokakarya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian didukung dan duprakarsai

oleh beberapa pejabat penting pemerintah. Para pengusaha yang berpengalaman di

(21)

Soedarmono pada saat itu bersedia mendukung utama BMI (Bank Muamalat

Indonesia).67 Dengan tema “Masalah Bunga Bank dan Perbankan” saat itu MUI meumutuskan agara memprakarsai berdirinya bank tanpa bunga, sehingga

dibentuklak kelompok kerja yang diketuai oleh H.S. Prodjokusumo yang saat itu

menjabat sebagai sekjen MUI.

Salah satu nama bank yang disusun oleh kelompok kerja tersebut

adalah”Bank Syariat Islam” namun dengan pertibangan perdebatan pemakaian kata

syariat Islam pada piagam Jakarta di masa lali sehingga nama tersebut tidak dipilih.

Nama yang kemudian diusulkan adalah “Bank Muamalat Islam Indonesia” yang

kemudian usulan nama Bank ini disetujui oleh Presiden Soeharto dengan

menghilangkan kata”Islam” dan dipakailah nama “Bank Muamalat Indonesia”.68

Secara resmi pada tanggal 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 Nopember 1991

berdiri Bank Muamalat Indonesia dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawwal

1412 H atau 1 Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan

Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank

Muamalat juga menerima dukungan masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian

saham Perseroan senilai Rp 84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian

Perseroan. Selanjutnya, pada acara silaturahmi peringatan pendirian tersebut di Istana

67

Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, (Jakarta : Penerbit Alvabet, 2000), hal. 17 68

(22)

Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut

menanam modal senilai Rp 106 miliar.69

Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank

Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Kini Bank Muamalat

memiliki bank koresponden di Arab Saudi, Sudan, Singapura, Inggris, Belanda,

Amerika, Korea Selatan, Hongkong dan Malaysia.70 Pengakuan ini semakin

memperkokoh posisi Perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka di

Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan.

Pada akhir tahun 90-an, Indonesia dilanda krisis moneter yang

memporakporandakan sebagian besar perekonomian Asia Tenggara.Sektor perbankan

nasional tergulung oleh kredit macet di segmen korporasi.Bank Muamalat pun

terimbas dampak krisis.Di tahun 1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai

lebih dari 60%.Perseroan mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar.71 Ekuitas mencapai

titik terendah, yaitu Rp 39,3 miliar, kurang dari sepertiga modal setor awal.

Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal

yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB)

yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi.Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB

secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya,

kurun waktu antara tahun 1999 dan 2002 merupakan masa-masa yang penuh

69

M. Nur Yasin, Hukum Ekonomi Islam : Geliat Perbankan Syariah, (Malang: Penerbit UIN Malang Pers, 2009), hal. 140

70

Zainul Arifin, Op.Cit., hal 176 71

(23)

tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat. Dalam kurun waktu tersebut,

Bank Muamalat berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba berkat upaya

dan dedikasi setiap Kru Muamalat, ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat, strategi

pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan

syariah secara murni.72

Sebagaimana diketahui bank merupakan lembaga intermediasi antara pihak

surplus dana dengan pihak yang membutuhka dana. Dalam rangka terus melayani

masyarakat Indonesia khususnya di luar ibukota propinsi, maka PT. Bank Muamalat

Indonesia,Tbk melakukan ekspansi jaringannya hingga ke ibukota

kabupaten/kotamadya. Segmen retail sangat berpotensi besar bagi PT. Bank

Muamalat Indonesia, Tbk, dikerenakan dana pihak ketiga (DPK) berbebtuk tabungan

merupakan dana murah dan banyak tersebar. Oleh karenanya ekspansi jaringan kantor

niscaya dibutuhkan untuk menggarap dana tersebut. Juga peluang pembiayaan

konsumtif seperti KPR juga cukup menjanjikan.73

Untuk melakukan hal tersebut di atas maka manajemen Kantor Pusat PT.

Bank Muamalat Indonesia, Tbk melalui Kantor Cabang Medan, membuka jaringan

baru di Kabupaten Langkat, tepatnya di Kota Stabat, yang terletak di Jalan KH.

Zainul Arifin Nomor 52 B-C yang resmi beroperasi pada tanggal 12 Juli 2012.

Kehadiran PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Stabat sangat didukung oleh

72

Ibid. 73

(24)

Majelis Ulama Indnesia (MUI) Kabupaten Langkat, sama seperti pada tahun 1991

berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk yang merupakan inisiatif dan

dukungan MUI dan ICM saat itu.74

Saat ini Bank Mumalat memberikan layanan bagi lebih dari 4,3 juta nasabah

melalui 457 gerai yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Jaringan BMI didukung

pula oleh aliansi melalui lebih dari 4000 Kantor Pos Online/SOPP di seluruh

Indonesia, 1996 ATM, serta 95.000 merchant debet. BMI saat ini juga merupakan

satu-satunya bank syariah yang telah membuka cabang luar negeri, yaitu di Kuala

Lumpur, Malaysia.Untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah di Malaysia, kerjasama

dijalankan dengan jaringan Malaysia Electronic Payment System (MEPS) sehingga

layanan BMI dapat diakses di lebih dari 2000 ATM di Malaysia. Selain itu Bank

Muamalat memiliki produk shar-e gold dengan teknologi chip pertama di Indonesia

yang dapat digunakan di 170 negara dan bebas biaya diseluruh merchant berlogo visa.

Sebagai Bank Pertama Murni Syariah, bank muamalat berkomitmen untuk

menghadirkan layanan perbankan yang tidak hanya comply terhadap syariah, namun

juga kompetitif dan aksesibel bagi masyarakat hingga pelosok nusantara. Komitmen

tersebut diapresiasi oleh pemerintah, media massa, lembaga nasional dan

internasional serta masyarakat luas melalui lebih dari 70 award bergengsi yang

diterima oleh BMI dalam 5 tahun Terakhir. Penghargaan yang diterima antara lain

sebagai Best Islamic Bank in Indonesia 2009 oleh Islamic Finance News (Kuala

Lumpur), sebagai Best Islamic Financial Institution in Indonesia 2009 oleh Global

74

(25)

Finance (New York) serta sebagai The Best Islamic Finance House in In Indonesia

2009 oleh Alpha South East Asia (Hong Kong).75

D. Ketentuan Pembiayan Bermasalah Pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. CabangStabat Dan Cara Penyelesaiannya

Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia tidak dijumpai

pengertian dari pembiayaan bermasalah. Begitu juga istilah Non Performing

Financings (NPFs) untuk fasilitas pembiayaan maupun istilah Non Performing Loan

(NPL) untuk fasilitas kredit tidak dijumpai dalam peraturan-peraturan yang

diterbitkan Bank Indonesia. Namun dalam setiap Statistik Perbankan Syariah yang

diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia dapat dijumpai istilah

Non Performing Financings (NPFs) yang diartikan sebagai Pembiayaan Non-lancar

mulai dari kurang lancar sampai dengan macet. 76

Pembiayaan bermasalah tersebut, dari segi produktivitasnya yaitu dalam

kaitannya dengan kemampuannya menghasilkan pendapatan bagi bank, sudah

berkurang atau menurun dan bahkan mungkin sudah tidak ada lagi. Bahkan dari segi

bank, sudah tentu mengurangi pendapatan, memperbesar biaya pencadangan, yaitu

PAP (Penyisihan Aktiva Produktif), sedangkan dari segi nasional, mengurangi

kontribusinya terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian

75

Ibid.

76

(26)

dapat disimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang

kualitasnya berada dalam golongan kurang lancar, diragukan, dan macet.77

Sedangkan menurut Dendawijaya, kredit bermasalah (Non Perfoming Loan)

merupakan kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar

angsuran (cicilan) pokok kredit beserta bunga yang telah disepakati kedua belah

pihak dalam perjanjian kredit.78

Kualitas pembiayaan dinilai berdasarkan aspek-aspek, yaitu Prospek usaha,

kinerja (perfomance) nasabah, dan kemampuan membayar/ kemampuan

menyerahkan barang pesanan. Atas dasar penilaian aspek-aspek tersebut kualitas

pembiayaan diterapkan menjadi 5 (lima) golongan yaitu lancar, dalam perhatian

khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.79

1. Lancar, apabila pembayaran angsuran tepat waktu, tidak ada tunggakan,

sesuai dengan persyaratan akad, selalu menyampaikan laporan keuangan

secara teratur dan akurat, serta dokumentasi perjanjian piutang lengkap dan

pengikatan agunan lengkap.

2. Dalam perhatian khusus, apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran

pokok dan atau margin sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari, selalu

menyampaikan laporan keuangan secara teratur dan akurat, dokumentasi

77

Ibid., hal. 66. 78

Dendawijaya Lukman, Manajemen Perbankan, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia,2005), hal. 82.

79

(27)

perjanjian piutang lengkap dan pengikatan agunan kuat, serta pelanggaran

terhadap persyaratan perjanjian piutang yang tidak prinsipil.

3. Kurang lancar, apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan

atau margin yang telah melewati 90 (sembilan puluh) hari sampai dengan 180

(seratus delapan puluh) hari, penyampaian laporan keuangan tidak teratur dan

meragukan, dokumentasi perjanjian piutang kurang lengkap dan pengikatan

agunan kuat, terjadi pelanggaran terhadap persyaratan pokok perjanjian

piutang, dan berupaya melakukan perpanjangan piutang untuk

menyembunyikan kesulitan keuangan.

4. Diragukan, apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau

margin yang telah melewati 180 (seratus delapan puluh) hari sampai dengan

270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Nasabah tidak menyampaikan informasi

keuangan atau tidak dapat dipercaya, dokumentasi perjanjian piutang tidak

lengkap dan pengikatan agunan lemah serta terjadi pelanggaran yang prinsipil

terhadap persyaratan pokok perjanjian piutang.

5. Macet, apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau

margin yang telah melewati 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, dan dokumentasi

perjanjian piutang dan atau pengikatan agunan tidak ada.

Sama hal nya dengan pembiayaan pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.

Cabang Stabat, akan dikategorikan bermasalah apabila berada dalam kategori :80

80

(28)

1. Dalam Perhatian Khusus atau disebut juga Collectibility 2, apabila tunggakan

1 (satu) dampai dengan 90 (sembilan puluh) hari.

2. Kurang Lancar atau disebut juga Collectibility 3, apabila tunggakan

91(sembilan puluh satu) sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari.

3. Diragukan atau disebut juga Collectibility 4, apabila tunggakan 181 (seratus

delapan puluh satu) sampai dengan 270 (dua ratus tujuh puluh) hari.

4. Macet atau disebut juga Collectibility 5, apabila tunggakan telah lebih dari

270 (dua ratus tujuh puluh) hari.

Setiap nasabah yang tergolong dalam kategori bermasalah akan dikenai denda

keterlambatan pembayaran sesaui dengan kesepakatan pada awal akad, dan uang

denda tersebut akan dimasukkan ke rekening ZIS (Zakat, Infaq dan Sadaqah).

Kemudian nasabah juga akan dtindaklanjuti dengan kebijakan-kebijakan tertentu

sesuai keputusan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Stabat berdasarkan

Undang-Undang Perbankan Syariah.81

Dalam penjelasan Pasal 8 Undang Nomor 7 tahun 1992 jo.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan maupun dalam penjelasan Pasal 37

UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah antara lain dinyatakan bahwa

kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank

mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan

asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat.

81

(29)

Apabila pihak lembaga keuangan syariah tidak memperhatikan asas-asas

pembiayaan yang sehat dalam menyalurkan pembiayaannya, maka akan timbul

berbagai resiko yang harus ditanggung oleh bank antara lain berupa:

1. Utang/kewajiban pokok pembiayaan tidak dibayar

2. Margin/bagi hasil/fee tidak dibayar

3. Membengkaknya biaya yang dikeluarkan

4. Turunnya kesehatan pembiayaan (finance soundness).

Resiko-resiko tersebut dapat mengakibatkan timbulnya pembiayaan

bermasalah (Non Perfoming Financings/NPFs) yang disebabkan oleh faktor intern

bank.

Secara umum pembiayaan bermasalah disebabkan oleh faktor-faktor intern

dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada di dalam perusahaan sendiri,

dan faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya

kesulitan-kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor manajerial

dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan

penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang

kurang tepat, penempatan yang berlebihan pada aktiva tetap, dan permodalan yang

tidak cukup. Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berada di luar kekuasaan

manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan dalam kondisi

perekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain.82

82

(30)

Selain itu juga, pembiayaan bermasalah dapat disebabkan karena adanya

unsur kelemahan dari sisi debitur. Faktor-faktor pembiayaan bermasalah karena

kesalahan pihak debitur (nasabah) antara lain:

1. Faktor keuangan nasabah

a. Hutang meningkat sangat tajam.

b. Hutang meningkat tidak seimbang dengan peningkatan aset.

c. Pendapatan bersih menurun.

d. Penurunan penjualan, biaya umum dan administrasi meningkat.

e. Perubahan kebijakan dan syarat-syarat penjualan secara pembiayaan.

f. Rata-rata umur piutang bertambah lama sehingga perputaran piutang

semakin lambat.

g. Tagihan yang terkonsentrasi pada pihak tertentu.

h. Piutang tak tertagih meningkat.

2. Faktor operasional usaha

a. Hubungan nasabah dengan mitra usahanya semakin menurun.

b. Terhambatnya pasokan bahan baku/bahan penopang.

c. Kehilangan satu atau lebih pelanggan utama.

d. Distribusi pemasaran terganggu.83

3. Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah merencanakan tidak

akan mengembalikan kredit).

83

(31)

4. Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang berkepanjangan,

atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa orang anggota keluarga

debitur.

Menurut Muchdarsyah, penyebab kredit bermasalah dapat bersumber dari

faktor internal dan eksternal yakni:84

1. Faktor internal nasabah yang timbul dari mental manajemen dan

ketidakmampuan manajemen dalam pengelolaan dana kredit adalah

kelemahan dalam kebijakan pembelian dan penjualan, tidak efektif kontrol

atas biaya dan pengeluaran (cash outflow), kebijakan hutang yang tidak baik,

penempatan yang berlebihan pada aktiva tetap dan permodalan yang tidak

cukup.

2. Faktor eksternal nasabah terjadinya keuangan yang terjadi disebabkan hal-hal

yang berada diluar jangkauan manajemenantara lain: bencana alam,

peperangan, kerusuhan sosial, permogokan, perombakan dalam kondisi

perekonomian, perdagangan dan perubahan ilmu pengetahuan/teknologi.

Sedangkan, Kasmir mengemukakan ada dua faktor penyebab macetnya suatu

fasilitas kredit, yaitu:85

1. Pihak perbankan

Dalam hal ini pihak analisis kredit kurang teliti baik dalam mengecek

kebenaran dan keaslian dokumen maupun salah dalam melakukan perhitungan

84

Ibid., hal. 241. 85

(32)

dengan rasio-rasio yang ada. Akibatnya apa yang seharusnya terjadi, tidak

diprediksi sebelumnya. Kemacetan suatu kredit dapat pula terjadi akibat

kolusi dari pihak analisis kredit dengan pihak debitur sehingga dalam

analisisnya dilakukan tidak objektif.

2. Pihak nasabah

Kemacetan kredit yang disebabkan oleh nasabah diakibatkan oleh 2 (dua) hal,

yaitu:

a. Adanya unsur kesengajaan. Artinya nasabah sengaja tidak mau membayar

kewajibannya kepada bank sehingga kredit yang dibrikan dengan sendiri

macet.

b. Adanya unsur ketidaksengajaan. Artinya nasabah memiliki kemauan

untuk membayar akan tetapi tidak mampudikarenakan usaha yang dibiayai

terkena musibah misalnya kebakaran, kebanjiran.

Untuk menentukan langkah yang perlu diambil dalam menghadapi

pembiayaan bermasalah terlebih dahulu perlu diteliti sebab-sebab terjadinya

pembiayaan bermasalah. Apabila pembiayaan bermasalah disebabkan oleh faktor

eksternal seperti bencana alam, bank tidak perlu lagi melakukan analisis lebih lanjut.

Yang perlu adalah bagaimana membantu nasabah untuk segera memperoleh

penggantian dari perusahaan asuransi. Yang perlu diteliti adalah faktor internal, yaitu

yang terjadi karena sebab-sebab manajerial. 86

86

(33)

Apabila bank telah melakukan pengawasan secara seksama dari bulan ke

bulan, dari tahun ke tahun, lalu timbul pembiayaan bermasalah, sedikit banyak terkait

pula dengan kelemahan pengawasan itu sendiri. Kecuali apabila aktivitas pengawasan

telah dilaksanakan dengan baik, masih juga terjadi kesulitan keuangan, perlu diteliti

sebab-sebab pembiayaan bermasalah secara lebih mendalam. Mungkin kesulitan itu

disengaja oleh manajemen perusahaan, yang berarti pengusaha telah melakukan

hal-hal yang tidak jujur. Misalnya dengan sengaja pengusaha telah mengalihkan

penggunaan dana yang tersedia untuk keperluan kegiatan usaha lain di luar proyek

pembiayaan yang disepakati.87

Dalam pembiayaan perbankan syariah khususnya di PT. Bank Muamalat

Indonesia Tbk, Cabang Stabat, yang sangat berpotensi terjadi pembiayaan bermasalah

adalah nasabah koperasi. Namun penanggulangan pembiayaan bermasalah dapat

dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat preventif dan upaya-upaya yang bersifat

represif/kuratif.UU Perbankan Syariah sudah mengatakan konsep penanganan yang

bersifat prefentif dengan tidak terjadi pembiayaan bermasalah yang diuraikan dalam

pasal 34 sampai dengan pasal 40 yang meliputi : a) tata kelola perbankan syariah;

b) prinsip kehati-hatian; dan c) kewajiban pengelolaan risiko perbankan syariah.88

Upaya yang bersifat preventif (pencegahan) dilakukan oleh bank sejak

permohonan pembiayaan diajukan nasabah, pelaksanaan analisa yang akurat terhadap

data pembiayaan, pembuatan perjanjian pembiayaan yang benar, pengikatan agunan

87

Ibid.

88

(34)

yang menjamin kepentingan bank, sampai dengan pemantauan atau pengawasan

terhadap pembiayaan yang diberikan. Sedangkan upaya-upaya yang bersifat

represif/kuratif adalah upaya-upaya penanggulangan yang bersifat penyelamatan atau

penyelesaian terhadap pembiayaan bermasalah (non perfoming financing).89

Untuk mencegah pembiayaan bermasalah kita memerlukan pengetahuan gaya

pembiayaan, kebijakan, proses pembiayaan, dan orang yang terlibat.

1. Gaya kredit/pembiayaan.

Besar kecilnya jumlah pembiayaan bermasalah dipengaruhi sistem dan proses pemberian pembiayaan. Sistem dan proses tersebut, hadir sesuai dengan gaya pembiayaan yang dianut manajemen bank terkait. Bila bergaya profit tinggi maka ekspansi dan pencarian nasabah pun gencar yang seringkali kualitas pembiayaan terabaikan. Bila bergaya likuid maka profit tidak optimal. Manajemen bank mencari jalan tengah konflik profit likuid yang lantas merumuskannya dalam target pembiayaan yang diinginkan, batas-batas kerugian atas penghapusan pinjaman yang ditolerir. Tidak ada titik tengah sempurna antara profit dengan likuid, yang ada adalah situasi dasar penggunaannya. Dalam hal gaya profit ditetapkan, maka menjaga kualitas pembiayaan dipertahankan sebagai upaya mencegah pembiayaan bermasalah. 2. Kebijakan.

Kebijakan pembiayaan merupakan sarana utama mengkomunikasikan gaya pembiayaan. Dalam kebijakan pembiayaan memuat petunjuk yang dirancang sebagai panduan pemberian pembiayaan. Agar pembiayaan tidak bermasalah maka kebijakan tersebut disosialisasikan secara lengkap dan jelas pada semua karyawan yang terlibat. Kegagalan implementasi kebijakan seringkali karena rendahnya komitmen manajemen, kurang disosialisasikan, bertentangan dengan kebiasaan formal yang dianut manajemen.

3. Proses pembiayaan.

Proses pembiayaan tidak lain the second line of defence dalam mencegah pembiayaan bermasalah. Proses ini menuntut kejelasan penyajian, bila tidak jelas maka pembiayaan akan terus mengalami penurunan kualitas yang terkadang luput dari perhatian manajemen. Proses mencakup proses pemberian pembiayaan, proses pembinaan pembiayaan, proses review pembiayaan, dan proses informasi manajemen untuk portfolio pembiayaan.

89

(35)

4. Orang yang terlibat.

Orang merupakan the first line of defence dalam mencegahpembiayaan bermasalah. Bila setiap pembiayaan didasari kebijakan yang baik, proses yang baik maka kesempatan pembiayaan bermasalah dapat diminimalisasi. Pejabat pembiayaan yang menjadi contact person utama bagi nasabah seharusnya menjadi yang pertama mengetahui gejala pembiayaan bermasalah dan juga yang pertama memulai langkah-langkah penyelamatan. Untuk memastikan bahwa account officer memiliki kemampuan mencegah dan mendeteksi pembiayaan bermasalah, maka perekrutan tidak ada jalan pintu belakang serta selalu membekali account officer dengan pendidikan latihan secara berkala.90

Banyak cara yang dapat dilakukan bank untuk menyelesaikan pembiayaan

bermasalah ini, tergantung pada berat ringannya permasalahan yang dihadapi, serta

sebab-sebab terjadinya kemacetan. Apabila pembiayaan itu masih dapat diharapkan

akan berjalan dengan baik kembali, maka bank dapat memberikan

keringanan-keringanan, misalnya menunda jadwal angsuran. Dalam hal ini Al-Quran

memberikan pedoman dalam Surat Al-Baqarah ayat 280 yang artinya :

“apabila mereka mendapat kesempitan, maka henaknya diberi kelonggaran...”

Secara operasional, penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah

pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. CabangStabat, dapat melalui beberapa cara

seperti yang tampak pada bagan di bawah ini :

90

(36)

SkemaProses penyelesaian pembiayaan bermasalah pada Bank Muamalat Cabang Stabat

Sumber : PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Stabat

Jika terjadi pembiayaan bermasalah dan nasabah bersikap kooperatif dan

masih memiliki sumber pengembalian maka proses 3Rharus diterapkan sesuai

struktur pembiayaan dan repayment capacity nasabah.Berdasarkan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 Tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 10/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan

(37)

dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain

melalui :91

1. Penjadwalan kembali (rescheduling),

Yaitu perubahan syarat-syarat pembiayaan yang menyangkut jadwal

pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang. Termasuk

apabila terjadi atau tidak terjadi perubahan besarnya angsuran.

2. Persyaratan kembali (reconditioning),

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa

menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada

Bank, antara lain meliputiperubahan jadwal pembayaran, perubahan jumlah

angsuran, perubahan jangka waktu, perubahan nisbah dalam pembiayaan

mudharabah atau musyarakah, perubahan proyeksi bagi hasil dalam

pembiayaan mudharabah atau musyarakah serta pemberian potongan.

3. Penataan kembali (restructuring),

Yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain

meliputipenambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank, konversi akad

Pembiayaan, konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka

waktu menengah serta konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal

sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling

atau reconditioning.

91

(38)

Pada dasarnya tujuan dilakukannya rescheduling, reconditioning, dan

restructuring adalah dalam rangka upaya Bank untuk membantu nasabahnya yang

beritikad baik, pada saat mengalami kesulitan dalam mengelola usahanya yang

menyebabkan berkurangnya atau melemahnya kemampuan untuk memenuhi

kewajibannya kepada Bank. Dengan demikian tindakan ini memberikan kesempatan

kepada debiturnya untuk berusaha lagi.92

Apabila nasabah dalam hal ini tidak bersifat kooperatif maka langkah-langkah

yang dilakukan bank antara lain :93

1. SMS Collection (mengingatkan nasabah via SMS)

2. Telecollection (mengingatkan nasabah via telepon)

3. Visit Collection (marketing datang menemui nasabah)

4. Surat Pemberitahuan (bisa diantar langsung atau via ekspedisi agar

tercatat)

5. Surat Teguran (bisa diantar langsung atau via ekspedisi agar tercatat)

6. Surat Peringatan I, II, III (bisa diantar langsung atau visa ekspedisi agar

tercatat)

Selanjutnya, Apabila pejabat bank dalam melakukan penagihan pembiayaan

bermasalah hasilnya tidak cukup efektif, maka boleh menggunakan jasa pihak ketiga

untuk melakukan penagihan (collection Agent), dengan syarat bahwa personal yang

92

Hasil Wawancara, Taufik, Sub Brach ManagerPT. Bank Muamalat Indonesia Tbk, Cabang Stabat, pada tanggal 7 November 2016.

93

(39)

bersangkutan harus capable, credible, amanah dan memahami prinsip-prinsip syariah

dalam menagih.94

Penyelesaian pembiayan bermasalah juga dapat dilakukan dengan

penyelesaian melalu jaminan (eksekusi) yang mengacu pada fatwa Nomor 47/DSN

MUI/II/2005 poin a, dilakukan dengan cara :

1. Non Litigasi, yaitu apabila nasabah masih kooperatif namun sudah tidak lagi

memiliki sumber pengembalian, maka nasabah disarankan untuk menjual

jaminannya atau bisa juga menyerahkan jaminannya secara suka rela kepada

Bank melalui proses AYDA (Agunan Yang Diambil Alih), dimana nasabah

secara otomatis lunas hutang-hutangnya.

2. Write Off

a. Hapus Buku, yaitu penghapus bukuan seluruh pembiayaan nasabah yang

sudah tergolong macet, akan tetapi masih akan tetap ditagih. Cara ini

hanya boleh dilakukan terhadap nasabah yang pembiayaannya sudah

tergolong macet akan tetapi berdasarkan analisis bank secara material

masih ada sumber pengembalian walau sangat terbatas jumlahnya.

b. Hapus Tagih, yaitupengapusbukuan dan pengahpus tagihan seluruh

pembiyaan nasabah yang sudag nyata-nyata macet. Cara ini hanya

dilakukan terhadap nasabah yang pembiayaannya sudah macet dan

berdasarkan analisis ekonomi yang dilakukan pihak bank, mitra yang

94

(40)

bersangkutan nyata-nyata tidak mempunyai sumber dan kemampuan

untuk membayar.

3. Litigasi

Penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan litigasi ini dilakukan baik

terhadap debitur yang usahanya masih berjalan maupun terhadap debitur yang

usahanya tidak lagi berjalan. Terhadap debitur yang usahanya masih berjalan

dilakukan apabila yang bersangkutan tidak mau melaksanakan kewajibannya

untuk membayar hutangnya, baik pokok maupun bunganya. Sedangkan

terhadap debitur yang usahanya sudah tidak berjalan lagi dilakukan apabila

yang bersangkutan tidak ada itikad baik dan tidak dapat bekerjasama.

Penyelesaian melalui litigasi ini dapat dilakukan melalui 2(dua) cara yaitu

melalui non pengadilan dan melalui pengadilan. Cara non pengadilan yaitu

bank permohonan Lelang melalui KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan

Negara dan Lelang). Sedangkan melalui pengadilan, bank mengajukan

permohonan lelang dan sita jaminan ke Pengadilan Agama. Kemudian Bank

melakukan proses lelang yang dilakukan olehpengadilan Agama dan

dilimpahkan ke KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang).

Proses lelang ini adalah proses terakhir jika nasabah tidak lagi kooperatif

kepada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk, Cabang Stabat untuk menyelesaikan

pembiayaannya.95

95

(41)

Proses lelang ini adalah proses terakhir jika nasabah tidak lagi kooperatif

kepada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk, Cabang Stabat untuk menyelesaikan

pembiayaannya.96 Jika nasabah tetap tidak kooperatif maka sesuai dengan Pasal 6

Undang-Undang Hak Tanggungan bank dapat melakukan penjualan melalui

pelelangan umum, yaitu melalui KPKNL. Bank dalammenentukanjaminan yang akan

di lelang berdasarkan nilai likuidasi, karena jaminan tersebut sudah tidak mungkin

untuk dijual dengan harga mengikuti nilai pasar, oleh sebab itu bank sudah

memperkirakan dan menentukan limit harga lelang yang telah disampaikan ke

KPKNL. Atas penjualan jaminan tersebut, hasilnya digunakan untuk melunasi

seluruh kewajiban nasabah di Bank Muamalat beserta biaya yang timbul atas proses

lelang ini.

Sejak berdirinya PT. Bank Muamalat, Tbk Cabang Stabat, pembiayaan

bermasalah sebesar 1% (satu persen) dari total pembiayaan yang telah disalurkan

dengan total 2 jaminan yang telah dilakukan lelang.97

96

Ibid. 97

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi gerakan feminis ini tidak terjadi di Kawasan Keraton Kasepuhan yang masih memegang teguh adanya suatu ruang sakral yang terlarang bagi kaum perempuan.. Ruang ini

Diharapkan perkembangan Pelabuhan Bajoe tidak berdampak kepada masyarkat sekitar yang dimana tempat mata pencariannya sebagai nelayan dan seiring berkembangnya pelabuhan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar responden mengalami kecemasan ringan dalam menghadapi menstruasi yaitu sebanyak 32

Dengan demikian Prima Tani dilaksanakan dengan empat strategi (Badan Litbang Pertanian, 2004): (1) Menerapkan teknologi inovatif tepat-guna melalui penelitian dan

(1991), pertumbuhan tunas-tunas terjadi salah satunya karena adanya perlakuan pemangkasan. Tinggi pemangkasan batang menentukan jumlah mata tunas yang ada untuk

Pada metode ini dilakukan pengamatan pada bagian produksi untuk mengetahui perencanaan proses produksi dengan pemakaian bahan baku yang terbatas untuk

Selama ini pungutan Daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun

HUBUNGAN GAMBARAN HEMATOLOGI DAN STATUS GIZI DENGAN TERJADINYA SYOK PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE ANAK DI RUMAH SAKIT GOTONG