• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum Penguasaan Negara Atas Usaha-Usaha Pertambangan Mineral dan Batabara di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepastian Hukum Penguasaan Negara Atas Usaha-Usaha Pertambangan Mineral dan Batabara di Indonesia"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat

melimpah dan beragam sumber dan jenisnya. Baik Sumber daya yang ada di laut,

daratan maupun perut Bumi. Segala Kekayaan alam tersebut merupakan

Anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dipergunakan se-Arif dan sebijak

mungkin untuk kelangsungan hidup umat manusia. Dimana dalam

penggunaannya harus memperhatikan antara kebutuhan saat ini dan dimasa yang

akan datang. Sehingga kekayaan alam bumi pertiwi tetap dapat dinikmati generasi

berikutnya. Dalam artian, sumber daya alam tersebut dapat diolah namun tidak

menjadikan pengelolaan tersebut menjadikan sumber daya alam yang lainnya

menjadi rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi, dampak pengelolaan tersebut

juga sebisa mungkin haruslah tidak memberikan dampak negatif terhadap

masyarakat.

Sejak kemerdekaan NKRI, Founding father negara kita sudah meletakkan

sebuah pengaturan akan sumber daya alam kita. Pengelolaan sumber daya alam

tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3

menyebutkan “Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung Didalamnya

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat”. Secara singkat pengertian dari Dikuasi Negara tersebut adalah Negara

berdaulat mutlak atas kekayaan sumber daya alam. Sedangkan digunakan

(2)

atas kekayaan alam adalah rakyat indoneia yang dikuasakan kepada negara.2

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,

dan pemeliharaannya.

Yang

dipertegas kembali dalam UU No.5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 1 Tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (Selanjutnya disebut UUPA) “Bumi, Air, dan Ruang

Angkasa dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada

tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”. Namun, pengertian “dikuasai” dalam

ayat tersebut tidaklah berarti “dimiliki”, akan tetapi memberikan pengertian “yang

memberi wewenang kepada negara” sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa

indonesia. Adapun wewenang yang dimaksud diatas sesuai dengan pasal 2 ayat 2

dan 3 UUPA adalah negara melalui pemerintah sebagai pengatur roda

pemerintahan Negara berwenang:

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas Bumi, air,

ruang angkasa dan kekayaan alam terkandung di dalamnya itu.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa

tersebut.

3

2

UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 3

C.S.T Kansil dan Kansil.cristine, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 40-41

Berdasarkan pengaturan tersebut, pemerintahlah yang berperan aktif dalam

mengatur tentang bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam (selanjutnya

disebut BARAKA) yang terkandung didalamnya. Pemerintah mengatur setiap

kegiatan pengelolaan BARAKA yang berada dalam wilayah hukum Negara

(3)

bangsa indonesia. Sebagai contoh kegiatan pengelolaan atas BARAKA yaitu

Perikanan, perindustrian, PERTAMBANGAN, Pembangunan perumahan, dan

lain sebagainya. Dimana dalam pelaksanaannya tetap memegang tujuan dari

wewenang tersebut adalah sebesarnya-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang

adil dan makmur. Selain itu, pemerintah juga berwenang untuk menentukan dan

mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk Badan Hukum dengan

BARAKA.

Pertambangan sebagai salah satu kegiatan pengelolaan kekayaan alam yang

ada dalam perut bumi merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki negara.

Pada tanggal 02 desember 1967 diundangkan undang-undang No.11 Tahun 1967

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok pertambangan untuk mengkoordinir

penguasaan dan pengusahaan kekayaan alam dalam bidang pertambangan umum.

Meskipun terdapat kelemahan dalam undang-undang ini karena sifatnya yang

sentralistik, namun selama lewat satu dasawarsa sejak diberlakukan,

undang-undang ini telah membawa sumbangan yang besar bagi perkembangan

pembangunan dibuktikan dengan semakin banyaknya pertambangan umum yang

beroperasi di Indonesia.

Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut dianggap sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan dimasa

depan. Disamping itu, pembangunan pertambangan dituntut harus menyesuaikan

diri dengan perubahan lingkungan dan perkembangan kebutuhan masyarakat

dalam kegiatan berbangsa dan bernegara maupun international. Oleh sebab itu,

pada tanggal 12 januari 2009, diundangkanlah undang-undang no. 4 tahun 2009

(4)

pemerintah memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum

indonesia, koperasi maupun perseorangan untuk melakukan pengusahaan bahan

galian tambang mineral berdasarkan izin usaha tambang.

4

4

UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Energi Sumber Daya Mineral

Adapun pengertian Pertambangan sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UU Nomor 4

Tahun 2009 Tentang Pertambangan Energi Sumber Daya Mineral (selanjutnya

disebut UU ESDM)“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka

penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi

penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca

tambang”. Uniknya, bahwa pertambangan yang notabenenya merupakan kegiatan

pengelolan kekayaan alam yang ada dalam perut bumi yang berbentuk bahan

tambang galian memiliki pengaturan hukum khusus berbeda dengan ketentuan

yang mengatur mengenai BARAKA lainnya. Namun, salah satu hal yang sangat

penting dalam undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 ini adalah adanya kewajiban

pengelola untuk menyetorkan keuntungan yang diperolehnya kepada pemerintah.

Dimana selama ini, pemegang Kontrak Karya (selanjunya disebut KK) dan

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (selanjutnya disebut

PKP2B) tidak pernah menyetorkan kepada pemerintah maupun pemerintah daerah

keuntungan yang diperolehnya. Keuntungan yang diperolehnya hanya dinikmati

oleh pemegang KK dan PKP2B. Dimana pemegang KK dan PKP2B hanya

diwajibakan untuk membayar kewajiban pajak dan penyetoran pembagian hasil

(5)

pemerintah adalah sebesar 10% dari total keuntungan bersih yang diperoleh

perusahaan. Adapun dari 10% keuntungan tersebut dibagi lagi menjadi :

1. Pemerintah; dan

2. Pemerintah Daerah.

Adapun bagian pemerintah sebesar 4% sedangkan bagisan pemerintah daerah

adalah sebesar 6%. Bagian pemerintah daerah sebanyak 6% ini dibagi antara lain:

1. Pemerintah provinsi mendapat 1%;

2. Pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5%; dan

3. Pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat

bagian sebesar 2,5%.

Selain itu, Yang menarik untuk ditelusuri adalah instansi pemerintah mana

yang berhak untuk mengeluarkan Izin kuasa Pertambangan tersebut,

memperpanjangnya, memonitor, meminta laporan berkala, dan mencabut izin

nya.Selanjutnya apakah masalah “tarik menarik” antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah akan dapat terpecahkan, jika kita kaitkan dengan adanya

otonomi daerah.Biasanya secara klasik akan terjadi perebutan wewenang

pemberian izin, pembuatan kebijakan, pembuatan peraturan, serta pembagian

keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan terjadi tarik

menarik pembagian rejeki atas “bagian Pemerintah” yang diperoleh dari

kontraktor pertambangan umum antara Bupati, gubernur dan pemerintah pusat,

sebagai mana ditetapkan dan ditentukan oleh kontrak karya atau implementasi

dari community development.

(6)

terhadap kelestarian lingkungan hidup. Media Communication and Outreach

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) tertanggal 28 September 2012

memperkirakan, sekitar 70 persen kerusakan lingkungan Indonesia karena operasi

pertambangan. Sekitar 3,97 juta hektare kawasan lindung terancam

pertambangan, termasuk keragaman hayati. Tak hanya itu, daerah aliran sungai

(DAS) rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS di

Indonesia, 108 rusak parah.Meskipun demikian, patut diberi apresiasi bahwa

semangat disusunnya UU Minerba adalah dalam rangka memberikan landasan

hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan

pengelolaan dan pengusahaan pertambangan dan mineral. Terutama dalam rangka

menghadapi tantangan lingkungan strategis baik bersifat nasional maupun

internasional dan menjawab sejumlah permasalahan di bidang pertambangan

mineral dan batubara akibat pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi,

otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi

dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran

swasta dan masyarakat.5

Disisi lain juga, kekuasaan negara atas BARAKA tersebut juga merupakan

suatu kewajiban, dan yang harus dirasakan oleh masyarakat umum terkhusus

masyarakat disekitar wilayah pertambangan. Kekuasaan yang dimiliki negara juga

masih melekat suatu kewajiban untuk kesejahteraan masyarakat. Walaupun secara

konkrit kemakmuran yang dimaksudkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak

dapat didefenisikan secara jelas. Namun secara implisit, pengembangan terhadap

masyarakat sekitar wilayah pertambangan dapat dijadikan sebagai acuan yang

Diakses tanggal 09 februari 2016,

(7)

mendasar bahwa sebuah usaha pertambangan telah memberikan manfaat positif

terhadap masyarakat sekitar pertambangan, belum lagi untuk kemakmuran

Rakyat. Seperti contoh pendirian sekolah untuk masyarakat, pemeberian bantuan

kepada masyarakat yang mengalami kerugian atas usaha pengelolaan

pertambangan, pembangunan untuk kepentingan sosial lainnya, Beasiswa dan lain

sebagainya. Peran negara sebagai pemilik kekuasaan haruslah terlihat secara nyata

baik secara langsung maupun melalui perantara perusahaan yang menjadi

pengelolaa usaha pertambangan tersebut. 6

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat

(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat;

Berkaitan dengan Hukum

Pertambangan Nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, menurut

Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara:

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam

atau diatas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat

dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan

rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam

menikmati kekayaan alam.

Realitas menunjukkan bahwa setiap usaha pengelolaan pertambangan pasti

akan berdampak terhadap kelestarian lingkungan hidup, pengaruh terhadap sosial

6

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan.Lex Jurnalica Volume 10

(8)

dan ekonomi masyarakat, dan perekonomian negara sendiri. Sehingga kepastian

hukum sangatlah dibutuhkan dalam menjalankan hak dan kewajiban tersebut.

7

Dengan demikian menunjukan bahwa hukum adat disamping sebagai sumber

utama, juga sebagai pelengkap dalam pembentukan hukum agraria nasional.

Prinsip yang terkandung dalam hak ulayat, terkait dengan salah satu prinsip

hukum adat adalah bersifat “Komunal”. Hak ulayat ini adalah merupakan refleksi

dari salah satu prinsip hukum adat yang bersifat “Komunal”, bahwa masyarakat Selain itu, Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat

hukum adat sekitar pertambangan juga melahirkan suatu permasalahan tersendiri

terhadap pengelolaan pertambangan. Dalam Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat

3 UUD-1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI. Hal ini menunjukan bahwa

Negara RI menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dengan segala

aspeknya, termasuk pemerintahan dan hukum dalam sistem hukum Adat, hak-hak

ekonomi dan lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan lain sebagainya.

Dalam ketentuan Pasal 3 dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 tahun

1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, pada prinsipnya menjelaskan

bahwa Pelaksanaan hak ulayat dari masyarakat hukum adat sepanjang masih ada,

disesuaikan dengan kepentingan nasional dan negara, dan akan didudukan pada

tempat yang sewajarnya dalam alam bernegara dewasa ini. Pengakuan hukum

adat dalam UUPA, khususnya dalam Pasal 5 bahwa Hukum agraria yang berlaku

atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat.

7

(9)

adat mengutamakan prinsip kebersamaan dalam segala hal termasuk dalam

menikmati hasil-hasil tanaman yang ada diatas wilayah mereka. Dalam pandangan

hukum adat, tanah hak ulayat adalah merupakan milik persekutuan hukum

masyarakat adat, dimana mereka secara kolektif memiliki hak untuk

menggunakan dengan bebas tanah tersebut dan pihak diluar persekutuan dapat

juga menikmati hasil tersebut dengan izin kepala Adat dengan pembayaran

recognisi (pembayaran sebelum tanah diolah). Hal ini menunjukan dalam

pandangan hukum adat, bahwa kepemilikan masyarakat adat lebih dominan dari

pada pihak luar . Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPA Kedudukan Hak Ulayat

masih diakui sepanjang masih hidup masih diakui. 8Menurut Boedi Harsono

(Boedi Harsono, 1997), hak ulayat diakui oleh UUPA tetapi pengakuan itu harus

memenuhi 2 syarat : yakni mengenai eksistensinya, diakui sepanjang masih ada,

dan mengenai pelaksanaannya, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan

negara. Undang-Undang, UUPA No. 5 tahun1960 adalah produk hukum yang

menegaskan pengakuan atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5

yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”.

9

8Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang

Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya,Djambatan, Bandung 1997, hal.70.

9

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan,Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013, hal 209

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan)

juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 6

UU Kehutanan, menyebutkan bahwa Hutan adat adalah hutan negara yang berada

(10)

sebagai hutan negara. Kedudukan hutan adat sebagai hutan negara ini dipertegas

lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan

yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).

Perlindungan hukum terhadap masyarakat adat juga diatur dalam Undang-Undang

Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan ( UU Perkebunan). Dalam Pasal 9 ayat

(2) UU Perekebunan menegaskan bahwa permohonan hak untuk usaha

perkebunan berada diatas tanah ulayat yang menurut kenyataannya masih ada,

pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat yang

bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan

imbalannya (ganti rugi). Terkait dengan pengelolaan tambang yang berada di

wilayah masyarakat hukum adat, memiliki pengaruh dan dampak yang luas bagi

masyarakat hukum adat itu sendiri. Pengaruh tersebut tidak hanya berkaitan

kegiatan penggembangan ekonomi dan produksi tambang, namun juga

masalah-masalah sosial dan budaya, juga lingkungan tempat tinggal masyarakat adat.

Pembangunan adalah proses natural untuk mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu

masyarakat makmur sejahtera, adil, dan merata.10

Berdasarkan latar belakang realitas tersebut diatas, penulis berpendapat

bahwa sangat penting untuk mengetahui tentang penguasaan negara terhadap

pengelolaan pertambangan dan pertanggung jawaban negara baik melalui

pemerintah daerah maupun perusahaan pengemban untuk memberikan

kemakmuran terhadap rakyat terkhususnya untuk kemakmuran masyarakat

lingkar tambangan, sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur

10

(11)

mengenai usaha-usaha pertambangan minerba serta kaitannya terhadap pengakuan

terhadap masyarakat hukum adat.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kewenangan yang dimiliki negara dari penguasaan-Nya atas

usaha-usaha pertambangan jika dikaitkan dengan hukum agraria?

2. Apa saja hak dan kewajiban yang diberikan yang diberikan kepada

pemilik izin usaha pertambangan dalam mengelola pertambangan

minerba?

3. Bagaimana kepastian hukum pemberian izin usaha pertambangan jika

dikaitkan dengan hak menguasai negara?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui kewenangan hak menguasai negara atas

usaha-usaha pertambangan jika dikaitkan dengan hukum agraria.

b. Untuk mengetahui hak dan kewajiban apa saja yang diberikan kepada

pemilik izin usaha pertambangan dalam mengelola pertambangan

minerba.

c. Untuk mengetahui kepastian hukum pemberian izin usaha

pertambangan jika dikaitkan dengan mak menguasai negara

sebagaimana diatur dalam UUPA.

2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat Teoritis

Karya tulis ini dapat dijadikan sebagai tambahan literatur dibidang ilmu

(12)

karya tulis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi penulisan

karya tulis selanjutnya sehingga dapat memberkan kontribusi terhadap

ilmu pengetahuan dibidang hukum, khususnya hukum agraria tentang

pertambangan minerba.

b. Manfaat Praktis

Karya tulis ini dapat dijadikan sebagai acuan secara yuridis bagi

pemerintah dalam mengatur tata pengelolaan pertambangan di

Indonesia. Selain itu, karya tulis ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan kepada pembaca tentang kepastian hukum atas

pengelolaan kekayaan alam yang terdapat dalam wilayah negara

kesatuan republik Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Karya Tulis ini dalam pengesahannya adalah melalui tahap pemeriksaan di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan hasilnya belum

pernah ada ataupun tidak ada karya tulis yang membahas maupun menulis tentang

pembahasan yang sama. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dapat

dipertanggung jawabkan keasliannya secara ilmiah oleh penulis.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kepastian Hukum

Kepastian hukum (Legal Certainty atau Certain in Law) terdapat dua

suku kata dimana salah satunya terdapat kata “certain”. Berdasarkan Blak’s

Law Dictionary merumuskan pengertian “certain” adalah sebagai berikut:

Certain, Ascertained : precise, identified; exact;definitife;clearly known;

(13)

about.” Dalam artian Dipastikan tertentu pada : tepat, mengindetifikasi, tepat,

definitif, jelas diketahui, tanpa adanya kesalahan atau ambiguitas,

memberikan kepada seseorang apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Kepastian hukum merupakan satu asas esensisal dalam negara hukum.

11

Adapun dalam teori mengenai kepastian hukum yang dikemukakan oleh

Lawrence M.Friedman terdapat tiga elemen berkaitan dengan hukum, yaitu

struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture). Boediono kusumohamidjojo berpendapat bahwa kepastian hukum nyaris

merupakan syarat mutlak bagi suatu negara hukum dan demokratis. Kepastian

hukum sebagai salah satu tujuan dari hukum itu sendiri mengadung arti

adanya konsistensi dalam penyelenggaraan hukum. Konsistensi tersebut

diperlukan sebagai acuan atau patokan bagi perilaku manusia sehari-hari

dalam berhubungan dengan masnuai lainnya. Fungi dari kepastian tersebut

antara lain untuk memberikan patokan bagi perilaku yang tertib, damai, dan

adil.

12

“The structure of a legal system consists of elements of this kind : the number and size of court;their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how and why); and modes of appeal from onecourt to Berkaitan dengan struktur yang dimaksud oleh Friedman, merupakan

kerangka yang memberikan perlindungan menyeluruh terhadap suatu sistem

hukum, struktur terdiri dari elemen-elemen lembaga peradilan, peraturan

perundang-undangan dan prosedur yang menjadi acuan oleh penegak

hukum. Berikut pendapat Friedman mengenai struktur :

11

Budiono kusumohamidjojo, Ketertiban yang adil, Gramedia Widiasarana Indonesia, jakarta 1999. Hal 109

12

(14)

another . Structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the Federal Trade Commision, what a president can (legally) do or not do, what procedures the policies department follows, and so on. Structure, in way, is a kind of cross section of the legal system – a kind of still photograph, whichfreezes the action.”13

”Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system; Substance also means the “the product” that people within the legal system manufacture – the decision they turn out, the new rules they contrive”

Friedman memfokuskan bahasan mengenai hukum secara struktur

sebagai susunan pranata yang mengisi kedudukan-kedudukan yang

mempunyai peran dan fungsinya masing-masing di dalam sebuah sistem

hukum. Sedangkan substansi atau substance merupakan hal-hal apa saja

yang dihasilkan oleh struktur, hal itu bisa berupa peraturan

perundang-undangan, keputusan-keputusan maupun kebijakan- kebijakan. Substansi

merupakan peraturan, norma, tatanan, dan perilaku suatumasyarakat dalam

suatu sistem yang dibuat oleh yang berwenang. Friedman berpendapat

mengenai substansi (substance) sebagai berikut :

14

Setelah membahas mengenai struktur dan substansi, Friedman juga

berpendapat mengenai budaya hukum. Budaya hukum merupakan sikap

perilaku masyarakat, sikap masyarakat terhadap suatu norma hukum. Hal ini

berkaitan dengan kepercayaan, nilai, ide dan pengharapan dari suatu

masyarakat terhadap hukum. Pandangan masyarakat terhadap hukum sangat

bervariasi karena dipengaruhi oleh sub kebudayaan seperti etnik, jenis

kelamin, pendidikan, keyakinan, dan lingkungan. Adapun pendapat

13

I b i d hal 5 14

(15)

Friedman mengenai budaya hukum sebagai berikut:

“The stress here is on living law, not just rules in law books. And this brings us the third component of a legal system, which is, in some ways, the least obvious : the legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system–their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that the part of the general culture which concerns the legal system. These ideas and opinion are, in a

sense, what sets the legal process going;thelegalculture,inotherwords,istheclimateofsocialthoughtandsoci

al force which determines how law is used, avoided, or abused.”15

Berkaitan dengan kepastian hukum juga terdapat pendapat dari Leonard

J.Theberge yang menyatakan sistem hukum yang dikembangkan agar hukum

tersebutmampu berperan dalam pembangunan ekonomi, yang mampu

menciptakan prediktabilitas (predictablitiy), stabilitas (stability), dan

keadilan (fairness).

Ketiga hal diatas yang telah dijelaskan merupakan tiga kesatuan yang utuh.

Tiga komponen hukum tersebut menurut Friedman, struktur itu ibarat

sebuah mesin, sementara substansi itu adalah hasil karya mesin tersebut

sedangkan budaya hukum sebagai perilaku atau tata cara si pengguna yang

menggunakan mesin tersebut.

16

Berkaitan dengan stability, peranan dari suatu negara yang dikuasakan

melalui sistem hukum yang sah pada dasarnya untuk menjamin dan menjaga

keseimbangan dari perpolitikan negara tersebut. Keseimbangan ini meliputi

kepentingan individu, kelompok dan kepentingan umum yang dikaitkan Berkaitan dengan predictablitiy, hal ini diperlukan agar

hukum dapat menciptakankepastian. Dengan adanya kepastian, investor

dapat memperkirakan akibat tindakan- tindakan yang akan dilakukannya dan

memiliki kepastian bagaimana pihak lain akan bertindak.

15

I b i d hal 6 16

(16)

dengan tantangan yang sedang dihadapi baik dalam negeri maupun di luar

negeri. Dalam hal ini, hukum dilihat sebagai alat untuk mengakomodasi dan

menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat.17

2. Penguasaan Negara

Hal ketiga yang disampaikan oleh Leonard adalah keadilan atau

fairness. Fairness adalah hukum harus menciptakan keadilan bagi

masyarakat dan mencegah terjadinya praktek-praktek yang tidak adil dan

bersifat diskriminatif. Aspek fairness seperti due-process, persamaan

perlakuan dan standar tingkah laku pemerintah adalah suatu kebutuhan

untuk menjaga mekanisme pasar dan mecegah dampak negatif tindakan

birokrasi yang berlebih-lebihan. Tidak adanya standar keadilan, dikatakan

sebagai masalah paling besar yang dihadapi oleh negara-negara berkembang.

Dalam jangka panjang tidak adanya standar tersebut dapat

mengakibatkanhilangnyalegitimasi pemerintah.126

Dalam penelitian ini, dapat digunakan untuk melihat bagaimana

kepastian hukum yang ditimbulkan oleh pemberian izin usaha pertambangan

terhadap masyarakat hukum adat, pengembangan masyarakat lingkar

tambang dan terhadap kehutanan di Indonesia.

Penguasaan negara adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh UUD

1945 pasal 33 ayat 3. Namun, yang menjadi pemikiran tentang penguasaan

BARAKA oleh negara berangkat dari pemahaman atas ketentuan alinea

keempat pembukaan UUD 1945 yaitu :

17

(17)

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yangdipimpinolehhikmah kebijaksanaan dalamPermusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Pemerintah memiliki tanggungjawab sekaligus tugas utama untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kata-kata tumpah darah memiliki makna tanah air. Tanah air Indonesia

meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Kesemuanya itu ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Negara melalui pemerintah mengupayakan agar kekayaan alam yang ada di

Indonesia meliputi yang terkandung di dalamnya adalah dipergunakan

utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Penjabaran lebih lanjut

lanjut dari kalimat ini dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Hak penguasaan negara yang dimaksud dalam skripsi ini adalah hak

pengelolaan yang bersumber dari Hak Menguasai negara yaitu Hak

Menguasai Negara atas usaha pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa serta

kekayaan lama yang terkandung didalamnya. Dimana mineral dan batu bara

(18)

yang mengaturnya adalah pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengannya. Hak Menguasai Negara

yang dimaksud disini adalah hak menguasai atas bumi, air, dan ruang angkasa

serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Menguasai yang dimaksud

bukanlah dalam artian negara sebagai pemilik namun menguasai dalam artian

negara yang mengatur mengenai peruntukan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan BARAKA, Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan

hukum orang-orang dengan BARAKA, juga menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan

hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa sesuai pasal 2 ayat 1 dan 2

UUPA, yang bunyinya:

Ayat 1

“atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana terdapat pada pasal 1, Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalmnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat.”

Ayat 2

“Hak menguasai oleh negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”

Dalam rangka penguasaan negara atas usaha-usaha pertambangan

mengandung pengertian negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan

mengusahakan segenap sumber daya bahan galian yang terdapat dalam

(19)

UUD 1945 “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat. Dari ayat tersebut terdapat dua aspek kaidah yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu “Hak penguasaan negara” dan “dipergunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Hak penguasaan negara merupakan

instrumen (alat) atau bersifat instrumental, sedangkan dipergunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan tujuan (objektivitas) dari pada

alat setelah dipergunakan. Hak penguasaan negara merupakan konsep yang

didasarkan pada organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat.18

Maka, untuk delegasi wewenang pelaksanaan Hak menguasai Negara itu

tidakah mungkin dapat dilaksanakan oleh pusat secara keseluruhan.

Mengingat adanya program otonomi daerah, sehingga kewenangan untuk

mengatur sendiri daerahnya dapat dilegasikan kepada daerah. Demikian juga Hak penguasaan

negara selain berisi wewenang untuk mengatur dan mengurus dan mengawasi

pengelolaan atau penguasaan bahan galian, juga berisi kewajiban untuk

mempergunakannya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengusahaan

dan penggunaan bahan galian disesuaikan dengan tujuan dan diantara

keduanya memiliki sifat kesesuaian yang mutlak dan tidak dapat diubah.

Kemakmuran rakyat merupakan semangat dan cita negara kesejahteraan yang

harus diwujudkan oleh negara dan pemerintah negara indonesia. Oleh karena

itu, HPN atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya pada

hakikatnya merupakan suatu perlindungan dan jaminan akan terwujudnya

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

18

(20)

dikehendaki oleh UUPA pasal 2 Ayat 4 yang bunyinya:

“Dari hak menguasai negara tersebut diatas pelaksanaanya dapat

dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat

hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional menurut ketentuan peraturan pemerintah.

Dari uraian ayat 4 tersebut diatas, ternyata ada kemungkinan dibuka untuk

menerbitkan suatu hak baru yang namanya ketika itu belum ada tetapi

merupakan delegasi pelaksanaan kepada daerah-daerah otonom dan

masyarakat hukum adat. Untuk delegasi wewenang pelaksanaan Hak

Menguasai Negara itu kepada daerah swatantra (sejak berlakunya

undang-undang nomor 5 Tahun 1974 istilah ini sudah tidak digunakan lagi dan

diganti dengan daerah tingkat I yaitu Provinsi dan daerah tingkat II yaitu

Kabupaten/Kota), sementara untuk pendelegasian kepada Masyarakat Hukum

Adat masih belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya

sehingga masih menjadi suatu das sollen (Teori atau konsep) semata

sungguhpun UUPA cukup fleksibel untuk menampung kelak suatu ketentuan

hak pengelolaan bagi daerah-daerah pedesaan yang tercantum dalam suatu

masyarakat hukum tertentu.19

3. pengelolaan dan pengusahaan pertambangan di Indonesia.

20

19

A.P Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Medan, 1994. Hal.1 Pengelolaan berdasarkan KBBI memiliki kata dasar “kelola” yang

artinya mengendalikan, mengurus, menyelenggarakan, jika ditambah awalan

pe- dan akhiran an- membentuk kata pengelolaan yang artinya :

diakses tanggal 10 Februari 2017.pukul

(21)

a. Proses, cara, perbuatan mengelola.

b. Proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang

lain.

c. Proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan

organisasi,

d. Proses yang memberikan pengawasan kepada semua hal yang terlibat

dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.

21

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam

rangka kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan

mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi

kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,

pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

22

Kegiatan pasca tambang yang selanjutnya disebut pascatambang adalah

kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau

seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan

alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal diseluruh wilayah

penambangan.

23

Penambangan sendiri merupakan bagian kegiatan usaha pertambangan

untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral dan ikutannya.

24

21

Pasal 1 ayat 1 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara. 22

Pasal 1 ayat 27 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara 23

Pasal 1 ayat 19 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara. 24

Pasal 1 ayat 2 dan 3 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara.

Mineral adalah senyawa organik yang terbentuk dialam, yang memiliki

sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya

(22)

Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara

alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

25

Dalam pengusahaan suatu usaha pertambangan, haruslah mendapat izin

usaha pertambangan (selanjutnya disebut IUP). IUP adalah izin untuk

melaksanakan usaha pertambangan.

26

Usaha-Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka

pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi tahapan kegiatan

penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca

tambang.

Prinsip saling menguntungkan yang dimaksud dalam hal ini adalah

antara masyarakat sekitar wilayah pertambangan dengan pihak pengelola

usaha-usaha pertambangan baik melalui pemerintah pusat ataupun

pemerintah daerah maupun perusahaan pengemban usaha pertambangan.

Dimana diantara subjek hukum tersebut haruslah saling memberikan

pengaruh yang positif dalam bidang-bidang yang sudah dijelaskan diatas.

27

Suatu perusahaan pertambangan haruslah memberikan kontribusi Wilayah pertambangan yang selanjutnya disebut WP adalah wilayah

yang memiliki potensi mineral dan/atau batu bara dan tidak terikat dengan

batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang

nasional. Maka, Masyarakat sekitar wilayah pertambangan adalah masyarakat

yang bermukim disekitar wilayah usaha-usaha pertambangan mineral

dan/atau batubara dan mineral ikutan-nya.

25

Pasal 1 ayat 7 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara. 26

Pasal 1 ayat 6 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara 27

(23)

terhadap masyarakat lingkar tambang. Pengembangan ini dinamakan dengan

pemberdayaan masyarakat sebagaimana dalam pasal 1 angka 28 yang

bunyinya “pemberdayaan masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun secara kolektif, agar

menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Menurut Soerjono soekanto, penelitian hukum dapat dibagi kedalam:

a. Penelitian hukum normatif, yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas

hukum, sistematika hukum, taraf sinkronasi hukum, sejarah hukum, dan

perbandingan hukum.

b. Penelitian Huku m sosiologis atau Empiris, yang terdiri dari penelitian

terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

Maka, jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan Penelitian hukum

Normatif. Normatif, karena skripsi ini mengkaji kepastian hukum Indonesia

dalam mengatur tentang usaha pengelolaan pertambangan tepatnya dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu

Bara (termasuk peraturan perundang-undangan dibawahnya secara hirarkis)

dikaitkan dengan hak pengelolaan negara atas bumi, air, dan ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkadung didalamnya yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-pokok Dasar Agraria.

(24)

Secara garis besar, sifat penelitian terbagi atas:

a. Penelitian Eksploratoris, yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk

memperoleh keterangan, penjelasan dan data yang belum diketahui

sebelumnya.

b. Penelitian Deksriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan dan

memaparkan kembali fenomena yang ada.

c. Penelitian Eksplanatoris, yaitu suatu penelitian yang menerangkan,

memperkuat, menguji, bahkan menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa

terhadap penelitian-penelitian yang ada.

Berdasarkan penjelasan diatas, Sifat penulisan dalam skripsi adalah penelitan

Dekskriptif. Karena dalam skripsi ini akan dipaparkan mengenai kekuasaan

negara atas usaha pengelolaan pertambangan sekaligus kaitannya dalam

perkembangan hukum positif indonesia yang telah mempengaruhi kepastian

hukum kekuasaan negara atas bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam

yang terkandung didalamnya yang terdapat diwilayah hukum NKRI.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian hukum pada umumnya dapat berupa data

primer dan data sekunder.

a. Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya

baik melalui baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam

bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.

b. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari dokumen resmi,

buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, dan peraturan

(25)

Dalam penelitian ini, menggunakan data sekunder. Dimana dalam data

sekunder ini, kemudian terbagi atas tiga bagian, yaitu:

• Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang memiliki sifat

mengikat. adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam

peneliian ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria,Undang-undang No.4 Tahun 2009

Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, Peraturan Pemerintah

RI No.22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan, Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No.23 Tahun 2010 Tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

• Bahan Hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen resmi dan sifatnya tidak terikat seperti

buku teks, jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan. yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa buku-buku, jurnal, yang

berkaitan dengan hukum agraria khususnya pertambangan.

• Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahanprimer maupun sekunder. Misalnya

Kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bashasa Indonesia (KBBI),

Ensiklopedia, Indeks Kumulatif, Wikkipedia, dan Lain sebaginya.

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus besar bahasa

indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum.

4. Metode Pengumpulan Data

(26)

a. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum dapat berupa studi

lapangan (Field Research) yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan

untuk mendapatkan data primer yang diperoleh langsung dari lapangan baik

berupa wawancara maupun pengamatan terhadap objek penelitian dan Studi

kepustakaan (Library Research) digunakan untuk mendapatkan data

sekunder yaitu dengan mencari teori yang bersifat umum berkaitan dengan

objek penelitian untuk mendapatkan data sekunder.

Dalam hal ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti

adalah studi kepustakaan karena dari sifat penelitian normatif yang dipakai,

sehingga peneliti mengumpulkan data skripsi ini untuk memperoleh konsep

dan teori yang bersifat umum. Untuk kemudian dapat dianalisa

permasalahan yang ada untuk kemudian ditemukan suatu pemecahan

masalah melalui data yang bersumber dari buku, jurnal hukum, maupun

kamus hukum serta peraturan perundang-undangan di Indonesia.

b. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan pendekatan secara kualitatif terhadap data sekunder. Analisis

terhadap data sekunder dimaksudkan untuk mengetahui makna aturan

hukum tentang kekuasaan negara atas pengelolaan pertambangan dan

konsepsi pengembangan masyarakat dalam usaha kegiatan pertambangan.

Adapun cara yang dilakukan penulis dalam menganalisis data skripsi ini

adalah melalui pemilihan peraturan perundang-undangan yang kemudian

(27)

mengatur tentang objek kajian, membuat sistematika dan sinkronasi diantara

peraturan perundang-undangan tersebut sehingga akan ditemukan suatu

permasalahan kemudian melalui data sekunder akan dilakukan analisis

untuk menemukan klasifikasi dan keselarasan yang benar mengenai objek

kajian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan gambaran isi dari tulisan penelitian yang

tersusun secara sistematis (sesuai urutan, tahapan, langkah, dan lain-lain). Adapun

tulisan ini disusun secara bertahap yang terdiri dari bab-bab, dimana bab-bab

tersebut sesuai dengan pembahasannya terdiri dari sub-sub bab sebagai

penjabaran dari setiap bab per babnya. Adapun sub-sub bab tersebut antara satu

dengan yang lainnya masih berkaitan (komprehensif).

Oleh karena itu, sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam susunan

sebagai berikut:

a. BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini, terdapat sub bab yang berisikan tentang gambaran umum

penelitian yaitu latar belakang penulis mengangkat judul penelitian, perumusan

masalah tentang apakah yang menjadi masalah hukum maupun sosial lainnya

yang ingin dibahas dalam penelitian tersebut, tujuan dan manfaat penelitian,

keaslian penulisan tentang judul penelitian yang dibahas adalah murni belum

pernah dibahas dalam penelitian sebelumnya, dan tinjaun pustaka tentang

penjelasan secara singkat dan umum mengenai judul penelitian yang diangkat

juga penjelasan terhadap kata-kata yang berkaitan dengan pembahasan penelitian

(28)

b. BAB II Kewenangan hak menguasai negara atas usaha-usaha pertambangan

mineral dan batubaradikaitkan dengan hukum agraria.

Dalam bab ini, membahas tentang Pengertian hak menguasai negara

berdasarkan uupa, Sistem pengelolaan usaha pertambangan minerba di-Indonesia,

serta kewenangan negara atas usaha-usaha pertambangan minerba di-Indonesia

berdasarkan undang-undang no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan

batubara dengan uupa.

c. BAB III Hak dan kewajiban pemegang izin usaha pertambangan dalam

mengelola Mineral dan batubara.

Dalam bab ini, akan dibahas mengenai apa saja Hak dan Kewajiban

pemegang IUP dalam mengelola pertambangan minerba. Serta akibat hukum yang

timbul apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang IUP.

d. BAB IV Kepastian hukum pemberian izin usaha pertambangan dikaitkan

dengan hak menguasai negara berdasarkan UUPA.

Bab ini membahas tentang penelitian penulis terhadap Kepastian hukum

pemberian IUP dengan hak ulayat masyarakat hukum adat, Kepastian hukum

ataspemberdayaan masyarakat lingkar tambang, kepastian hukum izin usaha

pertambangan terhadap kehutanan.

e. BAB VIPenutup

Bab ini merupakan pembahasan terakhir dalam skripsi ini dimana akan

dipaparkan mengenai apa yang menjadi kesimpulan atas permasalahan yang ada

(29)

Referensi

Dokumen terkait

(Studi Tentang Iklan Pepsodent Edisi Sikat Gigi Pagi dan Malam Pada Masyarakat Desa Buahdua Sumedang). Oleh Ai

Untuk produksi domestik pangan beras dan non beras di Kota Medan dapat di lihat pada Tabel 1.2 dimana padi sawah atau beras masih mendominasi lahan pertanian yang ada di

mengetahui pengaruh ajaran Konfusius terhadap etos kerja pekerja Tiongkok dan Tionghoa Indonesia yang bekerja diproyek Blast Furnace Complex, apakah nilai-nilai moral

Metode K-Means diharapkan mampu mengelompokkan pendataan obat bulanan yang dapat dijadikan sebagai acuan perencanaan persediaan obat pada tahun berikutnya, selain

Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan apabila pengguna sistem informasi merasakan bahwa kualitas layanan yang diberikan oleh penyedia paket program aplikasi

Bila 100 mL contoh larutan jenuh masing masing garam Pb berikut ini, manakah yang mengandung konsentrasi ion Pb 2+ (aq) paling tinggiA. Berikut ini, manakah pernyataan yang

PROGRAM INTERPRETASI WISATA KAMPUS UNTUK MELESTARIKAN SEJARAH DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Penilaian Kinerja Dosen merupakan Suatu proses dimana Dosen di monitoring setiap kegiatannya dari segi pendidikan sampai pada pengabdian, yang mana hasil monitoring tersebut