• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Memperoleh Gelar. Sarjana Pendidikan Islam. Oleh : OKTAFIANI NIM : JURUSAN TARBIYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Memperoleh Gelar. Sarjana Pendidikan Islam. Oleh : OKTAFIANI NIM : JURUSAN TARBIYAH"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMATIKA PENGAMALAN IBADAH ANAK

PADA KELUARGA BEDA AGAMA

(Studi Kasus pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V

Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir

Kota Salatiga Tahun 2011)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh :

OKTAFIANI

NIM : 111 07 095

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)

SALATIGA

2011

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka

apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah

dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya

kepada Tuhanmulah kamu berharap

(Q.s. Al Insyiroh : 6 – 8)

Apabila engkau telah bercita-cita (yang tetap) maka

bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi

orang-orang yang tawakal

(Q.s Al Imron : 159)

Manusia hanya akan memperoleh apa yang telah

diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan

diprlihatkan padanya kemudian akan diberikan balasan

dengan balasan yang paling sempurna

(7)

PERSEMBAHAN

1. Kepada Bapak dan Ibu tercinta yang telah tiada terima kasih selama hidup kaliyan telah mendidikku dan merawatku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang tak ternilai harganya.

2. Untuk kakak-kakakku tersayang (Mas Slamet, Mbak Nur, Mas Kolis, Mas Masykur, Mas Niam, Mbak Rika, Mbak Lita, Mbak Isna) terima kasih banyak selama ini telah setia mendukung, mendampingi serta menasehatiku untuk menjadi seseorang yang senantiasa bersyukur walau dalam keterbatasan.

3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, dimana tempat yang telah penulis pilih untuk menuntut ilmu. Semoga ilmu yang penulis terima dapat bermanfaat bagi orang lain dan khususnya bagi diri sendiri.

4. Bapak Achmad Maimun M.Ag. yang telah bersedia memberikan pengarahan bimbingan penulis hingga selesainya pembuatan skripsi ini..

5. Keluarga Besar TPA AL-HIKMAH NGENTAK SALATIGA yang telah memberikan pengalaman dalam mengamalkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah secara nyata di lapangan.

6. Sahabat-sahabatku tersayang (mbak Tias, mas Enggar, mbak Nia, Nafi’ah, Fita, Emma, Risma, Rosa) dsb yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu disini, terima kasih kaliyan selalu setia mendampingiku dalam suka maupun duka.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan KKN Dusun Sidodadi Tegalrejo Magelang, (Kumi, Ana, Mujrikah, Mb Mul, Hariri, Pak Teguh) memorikan selalu saat-saat kebersamaan kita.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, taufik dan hidayah-Nya , sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya,dan para pengikutnya semoga kita kelak mendapatkan syafaatnya.,amin.

Sebagai insan yang dhoif, penulis sadar bahwa skripsi ini bukanlah tugas yang ringan, yang tidak akan terselesaikan tanpa bantuan pihak yang berkompeten, yang penulis tidak mampu menyebutkan satu persatu. Oleh karena itu dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan, motivasi dan iktikad baik kepada :

1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag , selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Dra. Siti Asdiqoh, M.Si , selaku Ketua Jurusan Tarbiyah PAI. 3. Bapak Achmad Maimun M.Ag., selaku pembimbing yang telah

mencurahkan pikiran dan tenaganya , hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kakak-kakaku tersayang yang telah memberikan bekal baik materiil maupun spiritual.

5. Bapak Jaka Siswanta, M.Pd. selaku pembimbing akademik

(9)

7. Mukti Ali,M.Hum, selaku Kepala Unit Kemahasiswaan.

8. Keluarga Bapak Eko Pujiastowo dan Keluarga Bapak Ngadiyo yang telah bersedia meluangkan waktunya membantu penulis dalam pengambilan data skripsi ini

(10)
(11)

ABSTRAK

Oktafiani NIM : (111 07 095). Problematika Pengamalan Ibadah Anak pada Keluarga Beda Agama (Studi Kasus pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, 2011. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Achmad Maimun, M.Ag.

Kata Kunci : Problematika Pengamalan Ibadah Anak dan Keluarga Beda Agama.

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui: Problematika Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama. pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1. Bagaimana Pengamalan ibadah anak pada keluarga beda agama 2. Apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama 3. Apa solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan problem pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif, dan untuk mendapatkan data, maka digunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian disusun dan dianalisis dengan menggunakan reduksi data, penyusunan data dan mengambil kesimpulan.

Setelah dianalisis disimpulkan bahwa cara pengamalan ibadah anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama di dukuh Ngentak adalah dengan menjalankan sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat, dan ibadah-ibadah umum lainnya sedangkan anak yang beragama non islam mereka menjalankan ibadah ke gereja setiap hari Minggu. Problem pengamalan ibadah anak yang tinggal di lingkungan beda agama di dukuh Ngentak antara lain yaitu: anak kurang mampu mendalami ajaran agama yang mereka yakini, anak kurang menjiwai ketika beribadah di rumah, rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak. solusi yang di tempuh untuk mengatasi problem-problem tersebut adalah: bersosialisasi dengan masyarakat luar, aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan, banyak membaca buku-buku keagamaan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan, bagi keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, anak-anak khususnya yang tinggal di dalam lingkungan keluarga beda agama dan bagi penulis yang dapat bermanfaat untuk penulisan skripsi ini.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……… i

Nota Pembimbing..……… ii

Lembar Pengesahan…………..………. iii

Pernyataan Keaslian Tulisan ……… iv

Motto………. v

Persembahan………. vi

Kata Pengantar ………. vii

Abstrak……….. ix

Daftar Isi………... x

BAB I: PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Definisi Operasional ……… 5

C. Rumusan Masalah ……… 7

D. Tujuan Penelitian ………. 7

E. Kegunaan Penelitian ……… 7

F. Metode Penelitian ……… 8

G. Sistematika Penulisan Skripsi……….. 15

BAB II: KAJIAN PUSTAKA ……… 17

A. Ibadah ………. 17

1. Pengertian dan Dasar Hukum ……….. 18

2. Ruang Lingkup Ibadah ………. 20

(13)

B. Keluarga Beda Agama ……… 23

1. Pengertian Perkawinan Beda Agama ………... 23

2. Perkawinan Antara Orang Yang Berlainan Agama Menurut Hukum Islam ………. 24

a. Perkawinan antara perempuan Muslim dengan Laki-laki non muslim ……….. 24

b. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik ………. 27

c. Perkawinan Antara Laki-Laki Muslim Dengan Perempuan Ahli Kitab ……….. 29

3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama ………. 32

4. Problem Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama ….. 36

BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ……….. 40

A. Data Umum ……….. 40

B. Data Khusus ………. 42

1. Bentuk Pendidikan Agama Anak ………. 42

2. Aktifitas Ibadah Anak dari Keluarga yang Kawin Beda Agama ….. 43

3. Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda Agama ……… 45

4. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda Agaam ……….. 47

BAB IV : PEMBAHASAN ………. 49

(14)

B. Aktifitas Ibadah Anak Yang Tinggal Dalam Lingkungan Keluarga Yang

Kawin Beda Agama ……... 50

C. Problem Pengamalan Ibadah Anak dalam Lingkungan Keluarga Beda Agama ………. 51

D. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Iadah Anak Dalam Lingkngan Keluarga Beda Agama ……… 53

BAB V : PENUTUP ……….. 55

A. Kesimpulan ………. 55

B. Saran-saran ………. 56

DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN-LAMPIRAN ……….. 60

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan buah hati, tumpuan dan harapan dari keluarga. Anak adalah amanat dari Allah yang diberikan kepada orang tua, maka islam menugaskan kepada umatnya (orang tua) agar memberikan pendidikan terhadap anaknya, terutama dalam hal ini pendidikan agama.

Di dalam keluarga orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam penanaman nilai-nilai keagamaan kepada anak-anaknya, khususnya dalam hal beribadah. Anak merupakan buah perkawinan yang sangat membutuhkan orang tua untuk memberikan pendidikan agama, dalam proses pendidikan banyak masalah yang akan dilontarkan anak pada orang tua, misalnya anak menanyakan tentang siapa Tuhan itu, dimana surga dan neraka itu, siapa yang membuat alam ini dan sebagainya. Untuk menjawab persoalan ini maka sangat diperlukan adanya persamaan persepsi, prinsip, pemikiran dari orang tua untuk memberikan dan membawanya agar anak menyadari dan melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang agama serta mengerjakan hal-hal yang baik dan beramal sholeh ( Kusuma, 1990:24 ).

Dalam lingkungan keluarga yang semua anggotanya beragama islam, mungkin masalah-masalah tersebut mudah untuk diatasi, akan tetapi dalam lingkungan keluarga yang berbeda-beda agama tentu hal tersebut akan menimbulkan problem tersendiri yang perlu untuk dipecahkan. Anak yang

(16)

tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama tentu sering mengalami problem dalam menjalankan aktifitas ibadahnya, karena tidak adanya persamaan aqidah antar anggota keluarga. Sehingga hal ini dapat mempengaruhi kesadaran dan motivasi anak alam mengamalkan ibadahnya.

Sebagaimana kasus yang terjadi pada masyarakat Ngentak RT 10 RW V Salatiga, dimana di daerah tersebut terdapat dua keluarga yang melakukan perkawinan beda agama. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari beberapa anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama tersebut dan keterangan dari masyarakat sekitar, ternyata perkawinan beda agama cukup memberi dampak negatif terhadap ketekunan beribadah anak-anak. Hal ini diakui oleh salah seorang anak yang tinggal di keluarga yang berbeda agama, dia merasa tidak semangat dalam menjalankan aktivitas ibadahnya karena dalam keluarganya tidak ada kekompakan dalam hal beribadah. Pengakuan lain juga di utarakan oleh anak dari keluarga kedua yang merasa tidak khusyuk dalam menjalankan ibadah khususnya shalat karena suasana rumah yang tidak mendukung akibat adanya perbedaan keyakinan antar anggota keluarga. Bapaknya seorang aktivis masjid sedangkan ibunya seorang aktivis gereja. Dari sini dia merasakan suasana rumah yang kurang religius sehingga dia kurang menjiwai setiap ibadah yang dikerjakan.

Terdapat banyak ayat Al-qur’an yang mengaitkan perintah ibadah kepada Tuhan dengan tujuan memperoleh takwa. Takwa dalam ajaran islam merupakan satu-satunya ukuran nilai kemuliaan manusia dihadapan Allah.

(17)

Bagi manusia ibadah merupakan kodrat pembawaan jiwa manusia yang rindu kepada kemuliaan. Kemuliaan manusia di hadapan Allah diukur dengan kuat lemahnya takwa kepada Allah, sedangkan takwa dapat diperoleh dan diperkuat dengan melaksanakan ibadah. Takwa merupakan bekal hidup kejiwaan yang mutlak bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Berkaitan dengan hal tersebut, Tono dkk. (2002:16-17) menyatakan sebagai berikut.

Jiwa yang bertakwa akan senantiasa menyesuaikan hidupnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai diri pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai yang hidup di tengah-tengah alamnya, dengan berpedoman yang diberikan Allah.

Urgensi ibadah juga merupakan tujuan seluruh yang wujud di alam ini. Allah berfiman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56









Artinya: “Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.(Q.S.Adz-Dzariyat : 56).

Dalam surat Al-isra’: 44 Allah berfirman:













































Artinya:“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, tiada sesuatupun yang terkecuali, semuanya bertasbih dengan memuji-Nya tetapi kamu sekalian tidak tahu tasbih mereka,

(18)

sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”.(Q.S. Al-isra’ : 44).

Karena amat pentingnya kedudukan ibadah dalam agama pada umumnya, agama wahyu pada khususnya, masalah ibadah dalam pengertiannya yang khusus merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat diubah oleh manusia. Hanya Tuhan yang dituju dan hanya Tuhan pula yang mengajarkan bagaimana cara melaksanakannya. Manusia hanya taat kepada ajaran yang datang dari Tuhan, tidak membuat cara sendiri, tidak boleh mengurangi, menambah atau mengubah. (Basyir, 2002:9-10).

Dalam mendidik anak-anak, ibadah menjadi persoalan yang sangat penting untuk diajarkan karena ibadah merupakan wujud penghambaan kepada Allah. Ibadah kepada Allah adalah hak Allah yang wajib ditunaikan. Oleh karena itu, belajar dan mengajarkan ibadah adalah kewajiban yang harus ditunaikan pula.

Ibadah yang harus lebih dahulu dipahami adalah ibadah khusus yang ditegaskan macamnya dan ditentukan pula cara melaksanakannya. Apabila pelaksanaannya tidak seperti ketentuan yang diberikan, maka tidak akan diterima. Empat macam ibadah utama yang menjadi sendi Islam setelah dua kalimat syahadat, yaitu: shalat, zakat, puasa dan haji merupakan ibadah yang paling banyak diajarkan kepada anak kita, bahkan dikalangan orang tua juga. Namun cara mengajarkannya sering membuka peluang untuk membahas hal yang lebih bersifat formalitas, jarang yang melandasi

(19)

juga dengan aspek kejiwaan. Bahkan dalam praktik, masalah ibadah diajarkan sedemikian rumit sehingga untuk mempelajarinya memerlukan waktu bertahun-tahun. Itupun tidak dirasakan puas karena masalahnya telah menjadi bercabang dan beranting sedemikian banyaknya sehingga hal yang mestinya tidak perlu, telah menjadi pembicaraan amat panjang lebar.

Maka, agar ibadah itu dapat dipahami dengan baik, tetapi juga dihayati oleh orang yang melaksanakannya, kepada anak-anak hendaklah diajarkan hal yang memang diperlukan, sesuai dengan tujuan ibadah untuk memperoleh ridho Allah dan membuahkan hasil yang positif dalam hidup di dunia, serta dapat mengantarkan kepada kebahagiaan hidup di akherat kelak, tidak melibatkannya dalam masalah yang akan menghabiskan waktu dan tidak menjiwai ( Basyir, 2003:123-124).

Berangkat dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Problematika Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama (Studi Kasus Pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun 2011)

B. Definisi Operasional

Untuk memberikan batasan-batasan yang jelas dalam skripsi ini, penulis perlu menegaskan istilah-istilah dalam judul di atas.

(20)

Problem mempunyai arti persoalan atau permasalahan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994:38). Sedangkan problematika mempunyai pengertian sebagai hal-hal yang menimbulkan masalah yang belum bisa dipecahkan (permasalahan) (Depdikbud, 2007:896).

2. Pengamalan Ibadah Anak

Pengamalan adalah cara menerapkan sesuatu hal. Sedangkan ibadah dari segi bahasa berarti taat, tunduk, merendah diri, dan menghambakan diri (Basyir, 2003:11). Ibnu Taimiyah memberikan pengertian ibadah menurut istilah syara’ dengan tunduk dan cinta, yaitu tunduk mutlak kepada Allah disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya. Dengan demikian unsur pertama ibadah adalah taat dan tunduk kepada Allah, yaitu merasa berkewajiban melaksanakan peraturan Allah yang dibawakan oleh para Rasul-Nya, baik yang berupa perintah maupun larangan, ketentuan halal maupun haram. Sedangkan anak yang dimaksud disini bukanlah anak menurut tingkatan umur, akan tetapi anak dalam arti anak dari orang tua.

3. Keluarga Beda Agama

Keluarga adalah seisi rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sedangkan beda agama yang dimaksud disini adalah satu keluarga yang anggotanya terdiri lebih dari satu macam agama karena adanya

(21)

perkawinan beda agama, yaitu perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita) (Zuhdi, 1996:4).

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama?

2. Apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama?

3. Apa solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan problem pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama.

2. Untuk mengetahui apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama.

3. Untuk mengetahui apa solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan problem pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama.

(22)

Hasil penelitian ini diharapakan memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini sebagai bagian usaha untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan jurusan tarbiyah pada khususunya.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat untuk lebih memperhatikan pentingnya pendidikan agama khususnya dalam hal beribadah kepada anak-anaknya.

b. Dapat dijadikan dasar bagi anak-anak dalam mengatasi problem-problem beribadah, khususnya bagi anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama.

c. Dapat memberikan motivasi kepada orang tua untuk senantiasa memberikan pengajaran dan contoh pengamalan ibadah yang baik dan benar kepada anak-anaknya sesuai keyakinan yang dianutnya agar mampu mengantarkan mereka pada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

F. Metode Penelitian

(23)

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri (Tobroni,2003:9). Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2005:234).

2. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal itu dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan dirinya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu hanya manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan-kaitan kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya ( Moleong, 2009:9).

(24)

3. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Dukuh Ngentak, RT 10 RW V Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Dengan unit analisisnya adalah masyarakat. Selain letaknya yang strategis, alasan lain pemilihan tempat penelitian adalah berkaitan dengan upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan agama khususnya dalam hal beribadah bagi anak-anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama. Di daerah ini terdapat beberapa keluarga yang beda agama dalam satu rumah. Menurut pengakuan dari anak-anaknya, adanya perbedaan keyakinan dalam satu rumah itu menyebabkannya merasa bingung dalam menentukan keyakinan yang harus dianutnya, apakah ikut agama yang dianut ayahnya atau yang dianut ibunya.

4. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini ada dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data yang dikumpulkan langsung dari tangan pertama, yaitu kata-kata dan tindakan subyek serta gambaran dan pemahaman dari subyek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Data tersebut diperoleh secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui

(25)

masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data yang diperlukan. Pada penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah anak-anak yang berasal dari keluarga beda agama. Dalam hal ini yang menjadi informan kunci adalah ketua RW V Ngentak. Dari informasi informan kunci tersebut akan dilakukan penelusuran lebih lanjut kepada pihak-pihak terkait.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang mengandung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah ketua RT, ketua remaja masjid dan tokoh masyarakat lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan fokus penelitian, maka teknik pengumpulan data yang akan dipakai meliputi :

a) Metode Wawancara

Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Tobroni, 2003:172).

(26)

Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang problem yang dihadapi anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama dalam mengamalkan ibadahnya.

b) Metode Observasi Nonpartisipan

Observasi nonpartisipan tidak banyak menuntut peranan tingkah laku atau keterlibatan peneliti terhadap kegiatan atau fenomena dari subjek yang diteliti. Perhatian peneliti terfokus pada bagaimana mengamati, merekam, memotret, mempelajari, dan mencatat tingkah laku atau fenomena yang diteliti (Tobroni, 2003:170-171). Dalam hal ini peneliti mengunjungi keluarga yang berbeda agama.

c) Metode Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang tertentu, majalah, dokumen, dan peralatan untuk memperoleh data. Untuk mengumpulkan informasi-informasi yang diperlukan pada penelitian ini, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen. Dokumentasi yang penulis gunakan adalah foto dan rekaman hasil wawancara. Foto digunakan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya dari narasumber. Sedangkan rekaman wawancara digunakan untuk menelaah lebih detail informasi-informasi yang disampaikan oleh narasumber.

(27)

Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis data secara induktif, yaitu suatu metode berfikir yang bertolak dari fenomena yang khusus, konkrit kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.

Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan, yaitu:

a. Proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam data.

b. Lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel.

c. Analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya

d. Lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan

e. Dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik (Moleong, 2009:10).

(28)

Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka perlu dilakukan pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam penelitian ini peneliti memanfaatkan teknik triangulasi dengan sumber dan triangulasi dengan metode.

Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton 1987:331). Hal itu dapat dicapai dengan jalan: 1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; 2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; 3) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi; 5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton(1987:329), terdapat dua strategi, yaitu: 1) pengecekan derajat kepercayaaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan

(29)

data dan 2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. (Moleong, 2002:178).

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan memahami isi skripsi ini, maka peneliti menulis skripsi ini secara sistematis. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Definisi Operasional, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II: KAJIAN PUSTAKA, yang meliputi :Pengamalan Ibadah Anak, meliputi: Pengertian dan Dasar Hukum Ibadah, Ruang Lingkup Ibadah, Urgensi Ibadah, Keluarga Beda Agama, meliputi: Pengertian Keluarga Beda Agama, Perkawinan Antar orang yang Berlainan Agama Menurut Hukum Islam, Problem-Problem Perkawinan Beda Agama, Problem Pengamalan Ibadah Anak pada Keluarga Beda Agama.

BAB III: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN, yang menjabarkan tentang: Keadaan Penduduk, Kondisi Sosial Ekonomi, Kondisi Sosial Keagamaan, Data Hasil Wawancara, meliputi: Data Tentang Keadaan Keluarga yang Kawin Beda Agama, Data Tentang Problem Pengamalan

(30)

Ibadah Anak yang Tinggal dalam Lingkungan Keluarga Beda Agama di Ngentak RT 10 RW V, Kel. Kutowinangun, Kec. Tingkir Kota Salatiga.

BAB IV: PEMBAHASAN, yang berisi tentang: Bentuk Pendidikan Agama Anak, Aktivitas Ibadah Anak Dari Keluarga Yang Melakukan Perkawinan Beda Agama, Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda Agama, Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda Agama.

BAB V: PENUTUP, yang merupakan bab terakhir dan kesimpulan dari hasil penelitian dengan melihat permasalahan serta saran.

(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Ibadah

Semua risalah menyerukan penyembahan terhadap Allah, Yang Mencipta dan Memelihara (rabb) semesta alam. Menurut penuturan Al-Qur’an, para nabi yang terdahulu diutus kepada kaumnya masing-masing membawa dakwah tauhid.

Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW melakukan ibadah selama hidupnya dan tidak boleh berhenti sebelum mati. Ibadah itu penting karena sesungguhnya untuk itulah manusia diciptakan Tuhan, sesuai dengan penegasan-Nya dalam Qur’an surat Azdariyat ayat 56:















Artinya : ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Apabila manusia diciptakan hanya untuk menyembah dan beribadah kepada Allah, maka setiap orang perlu mengetahui pengertian dan hakikat

(32)

ibadah agar ia dapat melaksanakannya dengan benar. Selain itu ia juga perlu mengetahui urgensi dan hikmah yang terkandung pada tiap-tiap ibadah yang dilakukannya ( Nasution, 1987:1-2).

1. Pengertian dan Dasar Hukum 1.1. Pengertian Ibadah

Kata ibadah menurut bahasa berarti taat, tunduk, merendahkan diri dan menghambakan diri (Basyir, 2001:11). Adapun kata “ibadah” menurut istilah berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat” (Ash-Shiddiqy, 1954:4).

Menurut Al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah. Ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Al-Syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal.

Dalam istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:

(33)

Ibadah ialah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf, tidak menurut hawa nafsunya, untuk memuliakan Tuhannya.

2. Menurut Ibn Katsir:

Ibadah adalah himpunan cinta, ketundukan, dan rasa takut yang sempurna (Nasution, 1987:2-3).

Dalam hal ini Ibnu Taimiyah merumuskan bahwa ibadah menurut syara’ itu “tunduk dan cinta” artinya tunduk mutlak kepada Allah yang disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya. Oleh karena itu, unsur-unsur ibadah adalah:

a. Taat dan tunduk kepada Allah

Artinya merasa berkewajiban melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan Allah yang dibawakan oleh para rasul-Nya. Oleh karena itu, belum termasuk beribadah apabila seseorang tidak mau tunduk kepada perintah-perintah-Nya, tidak mau taat kepada aturan-aturan-Nya, meskipun ia mengakui adanya Allah yang menciptakan langit dan bumi serta yang memberi rezeki kepada-Nya.

b. Cinta kepada Allah

Bahwa rasa wajib taat dan tunduk itu timbul dari hati yang cinta kepada Allah, yakni ketundukan jiwa dari hati yang penuh kecintaan kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya, karena memiliki

(34)

keyakinan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya (Tono dkk, 2002:3-4).

1.2. Dasar Hukum Ibadah

Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu keutamaan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan, hakikat perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya. Dasar hukum ibadah itu antara lain firman Allah dalam surat Al-Baqarah :21

























Artinya:“Wahai para manusia beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dan telah menjadikan orang-orang sebelum kamu, agar supaya bertaqwa” (Tono dkk, 2002: 2-5).

2. Ruang Lingkup Ibadah

Al-qur’an mengajarkan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah agar mereka beribadah kepada-Nya. Ajaran tersebut memberi pegertian bahwa ibadah bukan hanya berupa shalat, zakat, puasa, dan haji seperti yang banyak dipahami banyak orang, karena ibadah mempunyai pengertian yang lebih luas.

(35)

Ibadah dalam pengertian yang umum adalah menjalani kehidupan untuk memperoleh keridhaan Allah dengan menaati syariat-Nya. Apabila dikerjakan dengan tujuan memperoleh keridhaan Allah, segala perbuatan merupakan ibadah dalam arti yang umum. Menunaikan hak individu sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti makan, minum, menuntut ilmu adalah ibadah. Menunaikan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan sesuai dengan perintah Allah adalah ibadah. Mengolah sumber daya alam yang hasilnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah ibadah. Bekerja mencari nafkah untuk mencukupkan kebutuhan hidup diri pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggungannya adalah ibadah.

Islam tidak membenarkan orang yang menghabiskan waktunya hanya untuk melakukan ibadah khusus dan mengabaikan segi-segi ibadah umum. Nabi pernah melihat seorang sahabat melakukan ibadah khusus dalam seluruh waktunya. Lalu Nabi bertanya: siapa orang itu? Yang mendengar pertanyaan Nabi menjawab: ia adalah ahli ibadah di kalangan para sahabat. Nabi bertanya lagi: siapa yang menanggung makannya sehari-hari? Mereka menjawab: para sahabat jugalah yang menanggung makannya. Nabi kemudian bersabda:“kamu semua lebih baik daripadanya”.

Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:

(36)

a. Ibadah Umum

Artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaan Allah. Unsur terpenting agar dalam melaksanakan segala aktifitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar bernilai ibadah adalah niat yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.

b. Ibadah Khusus

Artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan dalam syara’(ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). Ibadah khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai dengan peraturan dan tuntunan yang ada, tidak boleh mengubah, menambah dan mengurangi, seperti tuntunan bersuci (wudhu), shalat, puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat (Tono dkk, 2002:6-7).

3. Urgensi Ibadah

Bagi manusia ibadah merupakan kodrat pembawaan jiwa manusia yang rindu kepada kemuliaan. Kemuliaan manusia dihadapan Allah diukur dengan kuat lemahnya takwa kepada Allah, sedangkan takwa dapat diperoleh dan diperkuat dengan melaksanakan ibadah. Takwa merupakan bekal hidup kejiwaan yang mutlak bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

(37)

Jiwa yang bertakwa akan senantiasa menyesuaikan hidupnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai diri pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai yang hidup di tengah-tengah alamnya, dengan berpedoman yang diberikan Allah. Urgensi ibadah juga merupakan tujuan seluruh yang wujud di alam ini. Allah berfirman dalam surat Al-isra’ :44













































Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, tiada sesuatupun yang terkecuali, semuanya bertasbih dengan memuji-Nya tetapi kamu sekalian tidak tahu tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Tono, 2002:16-17).

Setiap ibadah sebagaimana yang berlaku pada setiap yang diperintahkan Allah mengandung maksud tersendiri dan di dalam pelaksanaannya terdapat hikmah (Syarifuddin, 2003:19). Dasar-dasar hikmah yang telah ditetapkan Allah ini dapat dipelajari bahwa Allah mewajibkan iman untuk membersihkan hati dari syirik, mewajibkan shalat untuk mensucikan diri dari takabur, mewajibkan zakat untuk menjadi sebab pemerataan rezeki. Mewajibkan puasa untuk menguji keikhlasan manusia, mewajibkan haji untuk mendekatkan umat islam antara yang satu dengan yang lainnya, mewajibkan amar ma’ruf untuk kemaslahatan manusia (orang banyak), mewajibkan nahi mungkar untuk menghardik

(38)

orang-orang yang kurang akal, mewajibkan silaturahim untuk menambah bilangan persaudaraan (Ash-Shiddqy, 1954:14-15).

B. Keluarga Beda Agama

1. Pengertian Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama pada dasarnya berarti perkawinan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain.Perkawinan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang banyak terekspos ke masyarakat luas hanyalah pernikahan atau perkawinan dari pasangan para selebriti kita. Ambillah beberapa contoh dari pasangan suami istri, Nurul Arifin-Mayong, Ira Wibowo-Katon Bagaskara, Dewi Yull-Rae Sahetapy (yang akhirnya Rae menjadi Muslim, tetapi kini telah bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari Sihasaleh. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama, melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan seperti itu kira-kira dapat dirumuskan begini, "Agama tidak boleh dibawa-bawa, oleh karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang terpenting kita saling mencintai apa tidak?’’. Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya ialah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan

(39)

ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin (http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html).

Jadi yang dimaksud dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama ialah perkawinan orang islam (pria atau wanita) dengan orang bukan Islam (pria atau wanita) (Zuhdi, 1996:4).

2. Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama Menurut Hukum Islam

Mengenai masalah perkawinan beda agama ini islam membedakan hukumnya menjadi tiga macam (Zuhdi, 1996:4).

a. Perkawinan antara Perempuan Muslim dengan Laki-Laki Non Muslim

Semua ulama telah sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik Ahli Kitab maupun musyrik (Suhadi, 2006:36). Baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme dan Hinduisme, maupun pemeluk agama dan kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang

(40)

serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya (Zuhdi, 1996:6).

Pertimbangan daripada ketentuan ini adalah di tangan suamilah kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada perintahnya yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud daripada kekuasaan suami terhadap istri. Akan tetapi bagi orang kafir tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan Muslim. Selain itu seorang suami kafir tidak mau tahu akan agama istrinya yang Muslim bahkan ia mendustakan kitab sucinya dan mengingkari ajaran Nabinya. Disamping itu dalam rumah yang terdapat perbedaan paham begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah tangganya tidak akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng.

Akan tetapi hal ini bebeda jika laki-laki Muslim kawin dengan perempuan ahli kitab, sebab ia mau tahu agama istrinya, dan menganggap bahwa percaya kepada kitab suci dan Nabi-nabi agama istrinya sebagai bagian daripada rukun iman, dimana keimanan islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak mempercayai Kitab dan para Nabi Ahli Kitab (Sabiq, 1980:164).

Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, ialah:

(41)































Artinya:”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. 2. Ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita

Muslimah dengan pria non-Muslim

Hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita Islam dengan pria Kristen atau Yahudi karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya (Zuhdi, 1996:6-7).

Adapun dalam hadist Nabi telah diriwayatkan tentang bolehnya laki-laki muslim mengawini wanita-wanita ahli kitab. Tetapi sebaliknya laki-laki ahli kitab tidak dibolehkan mengawini wanita-wanita muslimat. Dan jika demikian maka wanita tersebut telah menjadi murtad yaitu keluar dari agama Islam. Dengan demikian Allah tidak akan menerima ibadat dan bacaan Qur’annya,

(42)

dan wanita tersebut (jika mati) tidak boleh dishalati sebagaimana kaum muslimin. Kecuali jika wanita tersebut telah keluar dari kekafirannya, yaitu jika telah masuk Islam kembali. Maka yang demikian keadannya diperlakukan seperti terhadap orang-orang Islam yang lain (Bahreisj, 1992:297).

b. Perkawinan antara Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Musyrik

Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan keluar dari Islam, menyembah sapi, perempuan beragama politeisme (Sabiq, 1980:152). Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:



























Artinya:”Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang

beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu" (Zuhdi, 1996:4).

Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan Ahli Kitab adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran

(43)

kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan bayangan yang dibisikkan setan. Inilah yang bisa menyebabkan ia menghianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya.

Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin tidak terdapat distansi yang jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani Allah dan menyembah-Nya, beriman kepada para nabi, hari akhirat beserta pembalasannya, dan menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang esensial hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal orang yang beriman kepada kenabian universal tidak akan mempunyai halangan mengimani nabi penutup, yakni Muhammad kecuali kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan suami yang menganut agama dan syariat yang baik maka sangat terbuka peluang baginya ntuk mengikuti agama suaminya. Dan, apa yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-qur’an yang jelas niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan, keimanan, dan keislaman (Suhadi, 2006:38-39).

c. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab

Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5

(44)





















...



Artinya:”Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang- orang yang diberi kitab suci sebelum kamu” (Zuhdi, 1996:5). Secara redaksional dan dhahirnya ayat laki-laki muslim diperbolehkan mengawini wanita Ahlul Kitab, namun Syaltut dalam fatwanya menyatakan sebagai berikut:

Jika Allah telah melarang kepada wanita muslimah kawin dengan laki-laki Ahlul Kitab, karena menjaga (kehawatiran) pengaruh kekuasaan dan dominasi suaminya terhadapnya, maka Islam juga memandang, bahwa sesungguhnya jika seorang muslim itu telah bergeser dari posisinya yang semestinya dalam keluarga (sebagai pemimpin), dan menyerahkan urusannya kepada istrinya yang non Islam itu, sehingga ia hanya membebek saja, sudah seharusnya ia dilarang mengawini wanita Ahlul Kitab itu.

Fatwa Syaltut ini bersifat kondisional dan kasuistis, yang berarti manakala kondisi seorang pria itu tidak memnuhi criteria negative sebagaimana yang diungkapkannya, maka tidak mengapa seorang laki-laki muslim mengawini wanita Ahlul Kitab. Hal ini dapat dipahami dari pernyataannya sebagai berikut:

“Bagi suami muslim yang memiliki kemampuan membina anak-anaknya dan keluarganya secara Islami, maka diperbolehkan baginya, mengawini wanita Ahlul Kitab. Dengan harapan perkawinannya itu akan dapat mendekatkan hati istrinya terhadap nila-nilai Islam yang selanjutnya akan timbul simpatinya terhadap Islam, karena keutamaan dan kebaikan-kebaikan ajarannya” (Salam Arief, 2003:126-127)

Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan ahlul kitab adalah haram. Sama haramnya

(45)

dengan perempuan musyrik. Alasannya karena perempuan ahlul kitab juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat yang membolehkan perkawinan ini Q.S. Al-Maidah/5:5 dianulir (naskh) dengan Q.S. Al-Baqarah/2:221.

(http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html).

Syaltut dalam fatwanya melarang perkawinan campuran antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab. Hal ini disebabkan karena ia sangat khawatir anak keturunan dari keluarga yang dibina dalam perkawinan itu akan berpaling dari ajaran Islam. Jika hal itu dibiarkan, maka tidak mustahil generasi yang akan datang dari kalangan keluarga yang semula muslim , akan berpindah menjadi generasi yang tidak tahu ajaran Islam dan bahkan berpindah agama menjadi orang non Islam.

Fatwa yang melarang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab dikemukakan pula oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa tersebut memuat dua pernyataan mengenai masalah: pertama, bahwa seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam, dan kedua, bahwa seorang pria Muslim tidak di izinkan menikahi seorang wanita bukan Islam.

(46)

Kalau dikaji mengenai keluarnya fatwa Syaltut maupun fatwa yang dikeluarkan Majlis Ulama Indonesia mengenai larangan mengawini wanita Ahlul Kitab, keduanya sam-sama memiliki kemiripan, yaitu banyaknya kecenderungan perkawinan antar agama. Tercatat di Kantor Catatan Sipil Jakarta sampai dengan buln Juli 1986 telah terjadi perkawinan antar agma yang melibatkan 112 pria muslim dan 127 wanita muslimah dan menjadi sorotan publik.

Menurut pengamatan Syaltut laki-laki muslim yang menikah dengan wanita Ahlul Kitab itu, mereka merasa memiliki kebanggaan dan merasa memiliki stratifikasi sosial yang lebih di banding yang lain. Dengan demikian, larangan Syaltut mengawini wanita Ahlul Kitab bagi laki-laki muslim itu mengandung maslahah dan menghindari mafsadah (kerusakan). Adapun metode ijtihad yang digunakan Syaltut dalam fatwanya melarang laki-laki muslim mengawini wanita Ahlul Kitab adalah sad al- zari’ah. Syaltut melarang perkawinan muslim dengan wanita Ahlul Kitab, karena perkawinan itu mengandung mafsadah (kerusakan) itu pasti akan terjadi, oleh karenanya perkawinan itu harus dicegah. Jalan untuk mencegah datangnya mafsadah ialah melarang perkawinan itu walaupun nas sendiri tidak melarangnya (Arief, 2003: 128-132).

3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama

Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka problem yang dapat timbul

(47)

apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain: a. Keabsahan perkawinan

Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al-Baqarah (2):221). Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang.

b. Pencatatan perkawinan

Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan

(48)

menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan (pasal 21 ayat (1) UUP)

c. Status anak

Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya (pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP)

(http://www.bphntv.net/index.php?option=com_content&view=article&i

d=312:masalah-perkawinan-beda-agama&catid=28:konsultasi-hukum&Itemid=128, 20 Juni 2011).

Selain problem-problem di atas, penulis juga menemukan dari sumber lain yaitu:

1. Perkawinan beda agama lebih mengundang persoalan-persoalan yang yang dapat mengguncangkan kestabilan kehidupan rumah

tangga yang berakhir pada hancurnya sendi-sendi kehidupan perkawinan atau pemutusan perkawinan.

(49)

Pasangan kawin beda agama biasanya bukannya semakin bertambah keimanan mereka terhadap agamanya, tapi sebaliknya semakin melemahkan iman mereka. Dan demi “toleransi” dan “kerukunan” masing-masing mereka melepaskan prinsip-prinsip aqidah agamanya sendiri dan tanpa disadari telah terjadi “erosi iman”.

3. Terjadi pola hidup sekuler

Dengan terjadinya erosi iman yang dialami oleh pasangan suami istri tersebut akan berlanjut dengan mengakibatkan pasangan tersebut melakukan perilaku sekuler, yang berakibat pasangan tidak mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, karena menganggap bahwa agama adalah urusan dengan Tuhan, tidak ada hubungannya dengan manusia, sehingga ajaran agama tidak tersosialisasikan atau teramalkan dalam kehidupan sehari-hari. 4. Terjadinya konflik yang berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian

Perkawinan berbeda agama menimbulkan terjadinya konflik-konflik yang berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian baik itu karena salah satu pasangan tidak mau cerai, Karena salah satu pasangan tidak mau cerai, karena ingin mempertahankan keutuhan keluarganya, sehingga hancurlah sendi-sendi kehidupan rumah tangga ini.

5. Kemungkinan salah satu pasangan akan terkucil dalam kelompok masyarakat agama

Setiap agama menghendaki pemeluknya melakukan perkawinan yang seagama atau seiman. Karena setelah memasuki dunia keluarga/berumah tangga diharapkan dalam kehidupan sehari-hari ajaran agama yang dianutnya turut mewarnai dan

(50)

berperan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, sesuai dengan tujuan pokok perkawinan tersebut. Perkawinan beda agama tidak akan pernah memuaskan kedua pihak. Kedua agama tidak merelakan terjadinya perkawinan beda agama. Maka apabila perkawinan tersebut terjadi, kedua pihak akan terkucilkan di komunitas agama kedua belah pihak, terutama sekali pihak masing-masing keluarga. Karena dalam masyarakat kita perkawinan bukan hanya antara dua individu, melainkan perkawinan yang melibatkan keluarga kedua belah pihak, bahkan komunitas agama yang ikut terlibat.

6. Memungkinkan terjadinya derita mental dari salah satu pasangan kawin beda agama.

Sering terjadi demi agar perkawinan dapat dilangsungkan dan mengikuti tata cara islam sewaktu menikah, salah satu pasangan berpindah agama, namun dalam perjalanan, suami berbalik kembali memeluk agama yang semula dianutnya. Hal ini dapat menimbulkan derita mental bagi si istri untuk bisa diterima dalam lingkungan keluarganya karena ia telah kawin dengan suami yang berbeda agama. bahkan ini bisa berakibat pemutusan hubungan perkawinan (Mustafidah, 2008:33-35).

4. Problem Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama

(51)

Problem akibat perbedaan keyakinan dalam perkawinan cukup memberi dampak negatif terhadap anak. Di antara kasus yang terjadi adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan tahun, semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan agama. Misalkan saja, ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.

Begitupun ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di satu sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama,betapa indahnya melakukan kebaktikan di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan belaka.

Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-anaknya ikut agama ibunya. Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah

(52)

tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh. Karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan. Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan saling melengkapi.

Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama.Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.

Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen.Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.

Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan

(53)

dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga.

Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai hidup. Jika kedua orang tua mempunyai agama yang berbeda, lantas mana yang seharusnya pantas di ikuti anak dalam beribadah, padahal kedua-duanya sama-sama berjasa dalam mendidik dan membesarkannya.

Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Secara psikologis pernikahan beda agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah. Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis.

Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu tidak ada, maka rasa sepi semakin terasa.

(54)

Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya.

Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak

(http://www.bantu-nikah.com/2010/10/nikah-beda-agama.html#axzz1PbGBL5jl, 20 Juni 2011).

BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Data Umum

Dalam melakukan penelitian, penulis berhasil mendapatkan informan dua keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, keluarga pertama berstatus sebagai orang biasa, artinya bukan berasal dari status sosial pejabat atau pegawai negeri, sedangkan keluarga kedua berstatus sebagai pegawai di Universitas 17 Agustus Semarang pada bagian Puskom/PDE (Pusat Data Elektronik).

(55)

Tabel 1

NO Keluarga Jenis Pekerjaan Penghasilan Rata-rata/@ 1 I Wiraswasta Rp 700.000,-

2 II Pegawai Rp 2.000.000,-

Sumber:hasil wawancara dengan orang tua yang kawin beda agama pada tanggal

18 Juli 2011

Dari data tersebut diketahui bahwa tingkat ekonomi dari jenis pekerjaan keluarga yang kawin beda agama yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah:

1. Keluarga swasta berekonomi menengah kebawah 2. Keluarga pegawai berekonomi menengah keatas

Jumlah keluarga yang kawin beda agama yang penulis jadikan responden dalam penelitian ini adalah dua keluarga, karena kedua keluarga tersebut penulis jadikan objek penelitian, maka kiranya penulis perlu cantumkan nama, pasangan, usia dan anak kandung mereka.

Hal itu dapat dilihat dari tabel II dan III sebagai berikut: Tabel 2

Daftar Keluarga Kawin Beda Agama

NO SUAMI ISTRI USIA

1 Ngadio (I) Tuti Patmiyati (K) 60/46 tahun 2 Eko Pudjiastowo SH (I) Andewi Epi Trayati (K) 51/49 tahun Sumber: hasil wawancara dengan orang tua yang kawin beda agama Pada tanggal 18 Juli 2011 Keterangan:

I = Islam K = Kristen

(56)

Tabel 3

Daftar Nama, Usia dan Keberagamaan Anak

NO KELUARGA NAMA ANAK USIA AGAMA

1s

I

Ita Setyoningsih 26 tahun Kristen Anita Setyorini 19 tahun Kristen 2

II

Aditya Muhammad Pudi Budianto 30 tahun Islam

Ajeng Ratmadita Puti 26 tahun Kristen

Aldino Zevanya Pandita 23 tahun Islam

Nadya Martania 12 tahun Kristen

Nadin Kirena Ratih 5 tahun Kristen

Sumber: hasil wawancara dengan anak yang tinggal di lingkungan kawin beda agama pada tanggal 29 Juli 2011

B. Data Khusus

1. Bentuk Pendidikan Agama Anak

Bentuk pendidikan agama yang diberikan orang tua kepada anaknya adalah dengan menyuruh anaknya tersebut berangkat ke gereja. Hal ini berdasarkan penuturan seorang Ibu dari keluarga I :

“Dia saya suruh berangkat ke gereja setiap Minggu pagi, karena anak saya kelihatannya lebih senang dengan agama saya, bapaknya juga tidak terlalu mempersoalkan agamanya, jadi terserah mau ikut agama saya atau bapaknya” (wawancara dengan Ibu Tuti Patmiyati, 18 Juli 2011).

Dari penuturan ini, ternyata bentuk dari pendidikan agama yang diberikan orang tua baru sebatas menyuruh anaknya ke gereja, di samping pendidikan formal yang diberikan yaitu memusukkan anaknya ke sekolah umum.

(57)

Perlu diketahui bersama bahwa gereja yang ada di daerah tersebut sifatnya sudah maju, dilihat dari segi bangunannya yang megah dan bagus serta banyaknya jama’ah yang memadati gereja tersebut setiap ada kebaktian (observasi, 19 Juli 2011).

Lain lagi dengan penuturan seorang suami dari keluarga II yang seorang aktivis masjid, bahwa dia dalam mendidik agama anak-anaknya sangat berkeinginan agar anaknya mengikuti agama yang dianutnya yaitu Islam, akan tetapi hal ini bertentangan dengan keinginan istrinya yang kebetulan seorang aktivis gereja yang juga ingin anak-anaknya mengikuti agama yang dianutnya, yaitu Kristen. Dengan adanya hal tersebut munculah konflik pertengkaran diantara suami istri, yang masing-masing mempunyai keinginan agar anak-anaknya ikut agamanya. Pertengkaran ini sering terjadi manakala istrinya mengajak anaknya pergi ke gereja atau ketika suaminya mengajari anaknya dasar-dasar ajaran islam. Hal ini sempat mengakibatkan anaknya bingung untuk memilih agama yang akan dianutnya. Tetapi lama kelamaan sang suami mengalah dengan tidak memaksakan anak-anaknya harus ikut ke agama yang dianutnya. Sebagaimana yang diutrakan oleh Bapak Eko sebagai berikut:

“Anak-anak bebas memilih agama yang di inginkannya yang penting mereka beragama karena agama merupakan pedoman hidup. Jika dia muslim maka dia harus aktif menjalankan ibadahnya sebagai seorang muslim dan jika dia kristen maka juga harus rajin beribadah ke gereja”. (wawancara dengan Bapak Eko Pudjiastowo, 29 Juli 2011).

(58)

Mengenai aktivitas ibadah yang dilakukan oleh keluarga yang kawin beda agama, ternyata diantara mereka saling memberikan kebebasan dalam melakukan ibadah, masing-masing berusaha untuk saling menghormati pihak yang lain dalam melaksanakan ibadah agamanya. Hal ini berdasarkan penuturan seorang suami dari keluarga I yang istrinya beragama Kristen yang membolehkannya untuk shalat berjama’ah di masjid serta aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan di masjid lingkungan rumahnya, dan lain sebagainya. Demikian pula sang suami yang juga memberikan kebebasan kepada istri dan anak-anaknya yang kebetulan ikut agama ibunya untuk beribadah ke gereja setiap hari Minggu (wawancara dengan Bapak Ngadio, 18 Juli 2011).

Dari wawancara dengan keluarga kedua, penulis memperoleh informasi yang tidak jauh berbeda dengan keluarga pertama dimana antar anggota keluarga tersebut saling menghormati dan memberikan toleransi dalam hal beribadah. Sang ibu yang seorang aktivis gereja senantiasa memberikan kebebasan kepada suaminya yang seorang aktifis masjid dan menjadi pengurus masjid di lingkungan sekitar rumahnya.

Mengenai aktivitas ibadah anak-anak mereka, orang tua masing-masing memberikan kebebasan tetapi tetap ada kontrol agar mereka tetap rajin beribadah sesuai dengan agama yang mereka yakini. Sebagaimana penuturan dari seorang suami dari keluarga I :

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Perpindahan ini bisa naik bisa turun, atau tetap pada tingkat yang sama tetapi dalam pekerjaan yang berbeda (Bruce J. Tipe-tipe gerak sosial yang prinsipil ada dua macam, yaitu

Para wisudawan yang berbahagia, pesan yang sangat penting yang ingin saya sampaikan adalah Anda tidak perlu merasa pesimis dalam merajut masa depan, karena masa depan kita yang

menyelesaikan skripsi dengan judul “Status Kepulauan Dokdo Dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Terhadap Kasus Sengketa Kepulauan Dokdo Antara Korea

Berdasarkan kondisi diatas perma- salahan utama yang diangkat dalam tugas akhir ini adalah : (1) Untuk mendapatkan solusi alternatif dari kendala yang terjadi dilapangan pada

1 tahun Musnah - standar pelayanan minimal pengoperasian terminal 2 tahun sejak penetapan yang baru 3 tahun Permanen - jaringan trayek angkuaa.n antar kota dalam propinsi

Dan sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman maka kewajiban hakim baik dalam mengikuti, menggali serta memahami nilai dalam hukum terhadap putusan ini dapat

Selamat malam izin melaporkan giat bhabin sek batanghari brigpol yuda r laksanakan giat sambang bersama tokoh pemuda sdr.tuek desa sumber agung berikan arahan dn himbauan

Nilai WUE produksi merupakan nilai efisiensi kebutuhan air tanaman ditinjau dari faktor produksi GKG dan WUE total berdasarkan hasil biomassa kering (GKP dan