• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENTINGNYA METODE NARASI DALAM MENGANALISA POSISI NARASI YEHUDA DAN TAMAR (KEJADIAN 38) DALAM NARASI TENTANG YUSUF (KEJADIAN 37-50)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENTINGNYA METODE NARASI DALAM MENGANALISA POSISI NARASI YEHUDA DAN TAMAR (KEJADIAN 38) DALAM NARASI TENTANG YUSUF (KEJADIAN 37-50)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENTINGNYA METODE NARASI DALAM

MENGANALISA POSISI NARASI YEHUDA

DAN TAMAR (KEJADIAN 38) DALAM NARASI

TENTANG YUSUF (KEJADIAN 37-50)

Gumulya Djuharto

ABSTRAKSI

Metode Narasi sebenarnya adalah metode yang sudah lama dipakai dalam rangka memahami dan menafsirkan Alkitab, namun akibat serangan tajam Metode Kritik Historis mulai abad ke-19 yang cenderung membuat para ahli mempertanyakan validitas kesejarahan bagian-bagian Alkitab. Di dalam pemeliharaan Tuhan, kehadiran Metode Kanonikal Brevard S. Childs yang menekankan pentingnya menyelidiki teks dalam perkembangannya yang terakhir dalam lingkup kanon, dan juga Metode Kritik Retorik James Muilenburg di tahun 1968 yang memahami Alkitab sebagai literatur menolong para peneliti Alkitab untuk melakukan investigasi ulang terhadap teks-teks Alkitab sebagai suatu eksistensi yang obyektif, yang dapat dan layak untuk dianalisa karena memiliki unsur estetika yang tinggi.

Berdasarkan pemahaman di atas, penulis mencoba menganalisa posisi narasi Yehuda dan Tamar dalam Kejadian 38 bukan sebagai sesuatu yang kebetulan ditempatkan atau disisipkan dalam keseluruhan narasi tentang Yusuf (Kejadian 37-50). Penulis melihat adanya maksud yang implisit untuk menekankan posisi Yehuda dalam sejarah perkembangan kehidupan bangsa Israel. Berbeda dengan Ruben yang kehilangan arah dan tujuan dalam hidupnya, bahkan ada indikasi menuju insignifikansi hidup yang mengundang keprihatinan Musa dalam doanya tentang suku Ruben supaya tetap eksis dan tidak mati, Yehuda memiliki kebesaran hati untuk mengakui kesalahannya, dan bukan malah mencari-cari alasan untuk mengatasi kelemahan dan ketidaksempurnaan dirinya, yang berujung pada peran dan posisinya yang krusial dalam sejarah Israel. Penulis berharap agar tulisan ini memberikan inspirasi bagi setiap pembaca tentang pentingnya berada di tempat yang tepat untuk melakukan hal yang tepat: untuk membangun dan bukan meruntuhkan. Untuk sampai dalam posisi tersebut, ada satu syarat utama yang diperlukan yaitu adanya relasi yang pribadi dan hidup dengan Tuhan Sang Pencipta yang dengan hikmat-Nya akan mengajar dan membimbing serta mengarahkan hidup menuju kepada tujuan Allah sendiri, demi hormat dan kemuliaan Allah. Ini adalah respon yang benar dan positif terhadap

(2)

anugerah yang telah diberikan-Nya kepada umat pilihan-Nya, yang didasari oleh kerinduan untuk meneruskan pengaruh anugerah di dalam relasi antar manusia sampai pada kepenuhan-Nya di dalam Kristus.

Kata Kunci: Metode Narasi, Teknik Makroskopik dan Mikroskopik, Model Konseptual dan Skenario, Signifikansi dan Insignifikansi Hidup.

PENDAHULUAN

Kebangkitan kembali penggunaan Metode Narasi dalam meneliti kisah-kisah sejarah (atau lebih dikenal sebagai “narrative history”) yang

tercatat di dalam Perjanjian Lama setelah pengabaian cukup lama oleh para sejarawan11 patutlah kita syukuri karena keyakinan Kristiani yang memandang peranan krusial sejarah dalam proses penafsiran dan aplikasi teks. Merrill bahkan menegaskan bahwa:22 “The religion of the Bible cannot be reduced to an abstraction of principles or a collection of doctrinal tenets alone; rather, it is rooted and grounded in space and time, deriving much of its meaning from its environmental contexts.” (“Kepercayaan dalam

Alkitab tidak dapat dikurangi menjadi sekedar prinsip-prinsip yang abstrak dan koleksi formasi doktrinal belaka; sebaliknya, itu berakar dan berdasar dalam ruang dan waktu, mendapatkan banyak pemahaman dari konteks lingkungannya.”). Bahkan Yairah Amit, Profesor di Tel Aviv University, Israel, menegaskan bahwa sebagian besar cerita-cerita dalam Perjanjian Lama adalah laporan peristiwa yang terjadi di masa yang lampau.33 Pembacaan terhadap artikel Gordon J. Wenham44 meyakinkan penulis bahwa titik krusial kembalinya minat dan ketertarikan terhadap metode narasi ada pada perubahan pandangan terhadap teks-teks yang terkesan janggal dan tidak jelas kronologisnya akibat adanya pengulangan atau variasi kata-kata yang dipakai. Dulu, teks semacam itu langsung dianggap sebagai teks yang ditulis atau disusun oleh banyak pengarang. Namun sekarang, hal itu dianggap sebagai teknik retorika dan gaya bercerita orang Ibrani, yang memang sengaja dipakai oleh para penulis Alkitab yang ahli dalam mengartikulasikan cerita-cerita Alkitab demi menarik perhatian pendengar terhadap pesan yang ingin disampaikan.

Sejalan dengan itu, penting untuk dicermati dua model utama pemahaman bacaan yang diangkat oleh Malina berdasarkan psikologi eksperimental Sanford dan Garrod, yaitu model konseptual dan model skenario. Model konseptual pada dasarnya berusaha membagi teks menjadi unit-unit yang lebih kecil, menganalisa unit-unit tersebut, dan kemudian mengintegrasikan proposisi-proposisi yang dihasilkan dari analisa unit-unit tersebut menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Model skenario pada dasarnya melihat teks seperti suatu adegan yang terdiri dari rangkaian episode, latar belakang, permainan kata atau bahasa, serta

(3)

interaksi dengan pembaca atau pendengar.55 Penulis meyakini dua model pemahaman di atas sangat diperlukan sehingga usaha mengkombinasikan keduanya mutlak diperlukan. Penulis setuju dengan Richard L. Pratt, Jr., yang menegaskan bahwa penelitian terhadap unit-unit yang lebih besar/luas, yaitu dengan menggunakan teknik makroskopik, sama vitalnya dengan penelitian yang berfokus pada bagian-bagian yang lebih kecil/sempit melalui penggunaan teknik mikroskopik.66 Dengan pemahaman bahwa catatan narasi-narasi dalam Alkitab bersifat pragmatis dan bukan sekedar pemaparan ideologis,77 penulis mencoba untuk meneliti peran penting Kejadian 38 dalam Narasi tentang Yusuf (Kejadian 37-50) dengan menggunakan teknik makroskopik dan teknik mikroskopik yang menggabungkan model konseptual dan model skenario.

PENELITIAN DENGAN TEKNIK MAKROSKOPIK YANG MENGGABUNGKAN MODEL KONSEPTUAL

DAN MODEL SKENARIO

Untuk memahami peran penting Kejadian 38, diperlukan pemahaman makroskopik teks dengan cara membandingkan dengan teks sebelum dan sesudahnya.88 Perlu dipahami bahwa narasi Yehuda dan Tamar memiliki problem berkenaan dengan urutan kronologisnya karena minimal ada durasi waktu 22 tahun antara Yusuf dijual ke Mesir pada usia 17 tahun (37:2) dan Yakub sekeluarga pindah ke Mesir pada waktu Yusuf berusia 39 tahun (45:6).99 Perbedaan waktu kronologis tersebut mengakibatkan sebagian ahli berpendapat bahwa Kejadian 38 sebagai teks yang terisolasi, yang mungkin hanya ditempatkan untuk menyebutkan narasi tentang keluarga Yakub.1010 Namun pemahaman terhadap kualitas narasi Perjanjian Lama yang penuh dengan nilai estetika1111 meyakinkan penulis bahwa Kejadian 38 bukanlah teks yang terisolasi. Penulis setuju terhadap pendapat Redford yang melihat Kejadian 38 memiliki motif yang sama dengan Kejadian 37 karena baik Yehuda maupun Yakub tertipu meskipun alasan di balik tindakan tersebut berbeda.1212 Namun penulis akan menganalisa kemiripan motif Kejadian 37 dengan 38 bukan dalam perbandingan antara Yakub dan Yehuda, melainkan antara Yehuda dan Ruben. Setelah menganalisa tentang kelakuan Ruben, Phillips menyimpulkan Ruben sebagai sosok pribadi yang tidak stabil dan kehilangan hak kesulungannya.1313 Lebih jauh, Ruben digambarkan memiliki “criminal weakness” (kelemahan yang mengijinkan suatu tindakan kriminal terjadi) ketika di dalam keraguan dia gagal menunjukkan tanggung jawab sebagai kakak tertua untuk melindungi Yusuf dari ancaman saudara-saudaranya yang memusuhinya.1414 Yang dibutuhkan oleh Yusuf adalah tindakan berani untuk membela dirinya, dan bukan sekedar anjuran yang tidak jelas arahnya,1515 yang justru berujung pada ketidakhadiran Ruben di saat keputusan yang bersifat menentukan dijatuhkan pada Yusuf. Ketidakjelasan peran Ruben digambarkan dengan baik melalui perbedaan konsep pencerita dan tokoh yang disebutkan.1616 Pencerita (narator)

(4)

Kejadian 37 mewakili maksud hati Ruben yang sebenarnya, namun tidak kesampaian, untuk membebaskan kembali Yusuf di ayat 22, karena dimaknai secara berbeda oleh saudara-saudaranya, yaitu sebagai anjuran yang sejalan dengan rencana mereka sebelumnya, seperti tampak dalam tindakan mereka di ayat 24-25. Komentar pencerita sangat berbeda ketika menyebutkan peran Yehuda. Kejadian 37:26, misalnya, menunjukkan nasehat Yehuda diterima dengan baik oleh saudara-saudaranya. Ada indikasi bahwa pencerita ingin menunjukkan peran yang seharusnya diemban oleh Ruben, sekarang mulai digantikan oleh Yehuda. Pola ini terulang dalam Kejadian 42-43. Sementara Kejadian 42:37-38 menceritakan usaha gagal Ruben dalam membujuk Yakub dalam hal membawa Benyamin ke Mesir, Kejadian 43:3-12 menunjukkan kata-kata persuasif Yehuda yang penuh dengan kesabaran menjelaskan kepada Yakub sehingga akhirnya Yakub menyerah dan membiarkan Benyamin dibawa ke Mesir. Hasilnya, ketika akhirnya Yakub diboyong ke Mesir, Yakub menyuruh Yehuda, dan bukan Ruben, untuk mendatangi Yusuf terlebih dahulu (Kejadian 46:28). Setelah membandingkan fakta-fakta di atas dengan struktur klasik skenario di balik pembuatan sebuah narasi, tampak jelas bahwa kehadiran Kejadian 38 bukanlah sekedar suatu sisipan, namun ingin menekankan peran yang beralih akibat ketidakstabilan Ruben.1717 Kejadian 38 menjadi semacam prolepsis (melihat ke depan) terhadap apa yang terjadi bagi Yehuda dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Ruben dalam Kejadian 37.1818 Data-data dalam bagian Alkitab yang lain dalam konteks Kitab Pentateukh mendukung pemahaman ini. Sementara referensi-referensi tentang Yehuda menunjukkan peran vital suku Yehuda (lihat misalnya dalam Keluaran 31:2 dan Bilangan 7:12), peran suku Ruben makin terpinggirkan (lihat misalnya Bilangan 7:30). Bahkan berkaitan dengan referensi tentang keputusan suku Ruben, Gad, dan setengah Manasye untuk menetap di seberang sungai Yordan (Bilangan 32), terkandung implikasi ke arah insignifikansi peran suku Ruben. Williams menyebutkan pengamatannya bahwa enam dari tujuh referensi tentang suku-suku di seberang sungai Yordan, urutannya adalah Gad dan kemudian Ruben dan bukan sebaliknya (Bilangan 32: 2, 6, 25, 29, 31, dan 33).1919 Mungkin ini adalah penyebab mengapa dalam Mesha Stela, nama Ruben tidak muncul sedangkan nama Gad muncul sebagai lawan bangsa Moab.2020 Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Ruben sebagai saudara tertua gagal menjadi sosok pelindung yang memelihara kelangsungan hidup dan masa depan keluarga besar Yakub, dan perannya digantikan oleh saudaranya yang lain. Menurut hemat penulis, klimaks kecenderungan ini muncul dalam perbandingan langsung antara suku Ruben dan Yehuda dalam berkat terakhir Musa: sementara doa Musa kepada Tuhan tentang suku Ruben adalah permintaan agar tetap eksis dan tidak mati,2121 permintaan Musa tentang suku Yehuda adalah agar Tuhan berjuang bersama suku Yehuda dan menjadi penolong melawan musuhnya (Ulangan 33:6-7).

(5)

Kejadian 37 dan 38 hadir untuk menyatakan gambaran kesusahan Yakub terhadap nasib kedua anaknya, Yusuf dan Yehuda.2222 Berdasarkan pengetahuannya yang terbatas, Yakub menganggap hidupnya sungguh menyedihkan karena anak yang dikasihinya, Yusuf, sudah tidak ada lagi. Demikian pula halnya dengan Yehuda. Berdasarkan pengetahuannya yang terbatas, Yakub melihat hidupnya sungguh menyedihkan karena anaknya Yehuda menjadi seorang pezinah. Fakta ini bertambah menyedihkan dengan hadirnya fakta tentang Ruben, yang justru berzinah dengan Bilha, gundiknya (Kejadian 35:22a), suatu peristiwa yang terus diingatnya sampai akhir hayatnya (lihat Kejadian 49:4). Jadi ada 3 tokoh utama dalam sorotan Yakub: Yusuf, Yehuda, dan Ruben. Penulis melihat adanya skenario menarik dalam pemaparan ketiga tokoh tersebut. Ini menjadi suatu paradigma dengan Yehuda sebagai pelaku utama yang bisa dijadikan refleksi bagi pembaca. Sama seperti Yehuda, pembaca diperhadapkan pada pilihan: menuju ke arah Ruben, tokoh peragu dan tidak stabil yang akhirnya gagal menjadi pelindung atau penolong karena berada di tempat yang tidak tepat pada saat dibutuhkan; atau menuju ke arah Yusuf, tokoh yang dikenal tanpa kompromi terhadap dosa yang menggagalkan usaha istri Potifar. Dan pembacaan terhadap keseluruhan narasi menunjukkan akhir yang berbeda dari anggapan Yakub: Yusuf menjadi aktor penting di balik keberlangsungan hidup keluarga Yakub, sedangkan Yehuda menjadi orator penting dalam kondisi krusial yang mengubah keseluruhan akhir cerita yang berakhir happy ending. Dalam konteks ini, dapat dikatakan Yehuda mengalami transformasi rohani yang positif, yang memampukannya untuk menjadi sosok pelindung bagi depan keluarga besar Yakub.

Kejadian 38 juga hadir untuk menyandingkan tindakan Yehuda dengan Yusuf. Walton mencoba memberikan kalkulasi tentang waktu terjadinya skandal Yehuda dengan Tamar dan menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi di antara dua kunjungan anak-anak Yakub ke Mesir. Dengan kata lain, narasi dalam Kejadian 38 mencapai klimaks pada saat yang kurang lebih sama pada saat narasi Yusuf mencapai klimaksnya, yaitu pada waktu Yusuf memperkenalkan dirinya yang sebenarnya di hadapan saudara-saudaranya.2323 Artinya, sama seperti Yusuf menunjukkan perannya sebagai pelindung2424 bagi saudara-saudaranya ketika dia melangkah melampaui kepentingan diri sendiri,2525 demikian pula halnya dengan Yehuda. Perjalanan meninggalkan saudara-saudaranya yang membawanya pada skandal dengan Tamar justru membawa pengingatan bahwa tindakan untuk melangkah melampaui kepentingan diri sendiri2626 justru membawa efek yang positif. Kebesaran hati untuk mengakui kesalahan dalam kasus Tamar berimbas pada keberanian diri untuk membela Benyamin dalam Kejadian 44:18-34. Kalau kita mengikuti kalkulasi waktu Walton di atas, perjalanan Yehuda meninggalkan saudara-saudaranya dapat diartikan sebagai tindakan mencari “obat pelipur lara” setelah perjalanan pertama mereka ke Mesir

(6)

berakhir dengan ditahannya Simeon oleh Yusuf (Kejadian 42:24). Faktanya bukan obat pelipur lara, namun justru malu yang didapat. Tetapi, kesediaan diri mengakui kesalahan membawa bukan hanya “obat pelipur lara,” melainkan semangat berlipat kali ganda untuk mencari solusi bagi masalah kelaparan hebat yang mereka derita. Dan sekali lagi terungkap peran penting Yehuda di dalam menyampaikan pendapat persuasifnya demi mendapat ijin membawa Benyamin dalam perjalanan kedua mereka ke Mesir (Kejadian 43:3ff). Kesimpulannya, kegagalan dalam kasus Tamar justru membawa pelajaran penting dalam hidup Yehuda dengan cara menunjukkan peran yang krusial berupa pidato yang sangat menggerakkan hati Yusuf, sehingga Yusuf tidak kuasa lagi untuk menutupi identitas diri yang sebenarnya di hadapan saudara-saudaranya. Dalam konteks ini, Yehuda dapat disejajarkan dengan Yusuf sebagai sosok pelindung yang memelihara kelangsungan hidup dan masa depan keluarga besar Yakub.

Selain perbandingan dengan teks sebelum dan sesudahnya, menarik juga diteliti relasi dengan kitab lainnya. Perbandingan suku Yehuda dan Yusuf dalam Kitab Yosua menarik untuk dicatat. Catatan negatif suku Yehuda melalui pribadi Akhan (Yosua 7) dinetralisir oleh catatan positif melalui pribadi Kaleb (Yosua 14:6-15) yang dilanjutkan dengan keseimbangan posisi suku Yehuda dan Yusuf (Yosua 18:5) yang mengapit posisi suku Benyamin (Yosua 18:11) yang menandakan peran mereka sebagai pelindung. Perbandingan di dalam Kitab Hakim-hakim menunjukkan peran sentral yang beralih kepada suku Yehuda, kemungkinan karena sikap keturunan Yusuf yang melunak terhadap musuh (Hakim-Hakim 1:22-29). Kemunduran peran suku Yehuda dalam Kitab Hakim-Hakim berangsur-angsur membaik dalam Kitab selanjutnya, bahkan terlihat menjadi 2 kelompok besar, orang Israel dan orang Yehuda (lihat misalnya 1 Samuel 11:8 dan 15:4) yang tentunya makin bersinar dengan kehadiran peran Daud yang sangat krusial dan signifikan.

Perbandingan suku Yehuda dan Yusuf berdasarkan analisa penulis Tawarikh perlu mendapat perhatian khusus. Penulis Tawarikh, yang memang memiliki perhatian khusus untuk menekankan Kerajaan Yehuda,2727 secara jelas membedakan peralihan hak kesulungan dari suku Ruben kepada suku Yusuf yang secara jelas berarti pemberian “double portion” kepada suku Yusuf melalui Efraim dan Manasye, namun

menjelaskan bahwa Yehuda melebihi saudara-saudaranya (1 Tawarikh 5:1-2). Itu dapat dipahami sebagai pertambahan populasi seperti perbandingan dengan suku Simeon (1 Tawarikh 4:27) atau sebagai pertambahan kekuatan atau pengaruh. Konsep pertambahan kekuatan atau pengaruh diekspresikan oleh pemakaian kata gavar dalam bentuk qal perfek orang ketiga tunggal maskulin yang berarti “to be or become strong, powerful, mighty.”2828 Dari kacamata penulis Tawarikh, pertambahan kekuatan atau pengaruh suku Yehuda selalu berkaitan dengan takut akan

(7)

Tuhan dan penyertaan Tuhan terhadap umat-Nya. Konsep ini tampak jelas dalam 2 Tawarikh 15:8-9 yang melukiskan usaha Raja Asa yang di dalam responnya terhadap nubuat nabi Azarya mengumpulkan seluruh Yehuda dan Benyamin dan dari kota-kota yang direbutnya di pegunungan Efraim setelah sebelumnya terjadi perpindahan orang Israel ke wilayah Yehuda karena mereka mendengar tentang penyertaan Tuhan terhadap Raja Asa. Hal yang sama diungkapkan dalam hubungannya dengan Raja Yosafat. 2 Tawarikh 17:7-10 mencatat tentang pengutusan beberapa pembesar Raja Yosafat untuk mengajar di kota-kota Yehuda tentang Taurat TUHAN yang berakibat pada keamanan negeri karena “ketakutan yang dari TUHAN menimpa semua kerajaan di negeri-negeri sekeliling Yehuda. Dapat disimpulkan bahwa peran suku Yehuda akhirnya melebihi peran suku Yusuf karena perpaduan unsur takut akan TUHAN dan penyertaan TUHAN kepada umat-Nya.

PENELITIAN DENGAN TEKNIK MIKROSKOPIK YANG MENGGABUNGKAN MODEL KONSEPTUAL

DAN MODEL SKENARIO

Penelitian makroskopik di atas sejalan dengan penelitian mikroskopik teks. Kejadian 38 dimulai dengan frasa “Yehuda meninggalkan saudara-saudaranya.” Kata “meninggalkan” berasal dari akar kata Ibrani yarad yang seringkali berarti “turun (ke bawah).”2929 Meskipun secara topografis,

perjalanan Yehuda memang menuju ke arah selatan, namun kata ini hampir selalu digunakan untuk perjalanan ke Mesir3030 yang seringkali digunakan sebagai metafora negatif yang menunjukkan insignifikansi, penderitaan, depresi, kematian.3131 Selanjutnya, inti utama cerita dalam Kejadian 38 tentang insiden Yehuda dan Tamar dimulai ketika Yehuda “pergi ke Timna.” Kata “pergi” berasal dari akar kata Ibrani ‛alah yang berarti “naik (ke atas)3232 yang menandakan selesainya ritual berkabung

atas kematian isterinya. Kebalikan dengan kata yarad, kata ini seringkali digunakan sebagai metafora positif yang menunjukkan status, kemuliaan, penghiburan, dan kehidupan.3333

Menarik untuk disimak perbandingan antara Yehuda dalam Kejadian 38 dengan Ruben dalam Kejadian 37. Meskipun ketidakhadiran Ruben di saat yang menentukan tidak disebutkan alasannya, kedatangannya kembali diekspresikan dengan kata “kembali” yang berasal dari akar kata Ibrani šub yang pada dasarnya berarti “berbalik arah atau kembali.”3434 Hamilton mengungkapkan bahwa Alkitab dipenuhi dengan ekspresi pertobatan seperti “condongkanlah hatimu kepada Tuhan” (Yosua 24:23), “sunatlah dirimu bagi Tuhan” (Yeremia 4:4), “bersihkanlah hatimu dari kejahatan” (Yeremia 4:14), “bukalah bagimu tanah baru”3535

(Hosea 10:12), dll, yang dapat dikategorikan dan diringkaskan dalam kata šub ini, sehingga pertobatan meliputi 2 syarat: berbalik dari kejahatan dan berbalik kepada Tuhan.3636 Meskipun teks sama sekali tidak menjelaskan alasan

(8)

mengapa Ruben tidak ada di tempat justru pada saat yang krusial dan penting dalam relasinya dengan Yusuf, atau sama sekali tidak diungkapkan bahwa Ruben melakukan kesalahan moral dalam relasi dengan Yusuf, ada beberapa indikasi yang menunjukkan Ruben melakukan tindakan yang tidak tepat. Pertama, pemakaian kata šub dapat disejajarkan dengan kata yarad yang memiliki konotasi negatif mengingat konteks keduanya menunjukkan Ruben meninggalkan saudara-saudaranya, persis seperti yang dilakukan Yehuda. Jadi kembalinya Ruben menunjukkan unsur “pertobatan”: kesadaran bahwa dia berada di tempat yang tidak tepat, dan sekarang memilih untuk kembali berada di tempat yang tepat. Sayangnya, dia kembali di tempat yang tepat pada waktu yang tidak tepat, alias terlambat. Kedua, respon Ruben ketika mengetahui Yusuf sudah tidak ada di sumur itu menunjukkan kondisi orang yang kebingungan dan kehilangan arah. Frasa “kemanakah aku ini” berasal dari frasa Ibrani wa ani ana ani bo secara literal berarti “dan aku, kemanakah aku masuk/pergi?” Permainan kata ani ana ani jelas menunjukkan kondisi orang yang kebingungan dan kehilangan arah, persis seperti konsep kerja “setrika”: bolak balik, kiri kanan, ke sana ke mari. Bedanya, yang ini tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Jadi ketidakhadiran Ruben yang menyebabkan dirinya tidak dapat menolong dan menyelamatkan Yusuf adalah sebuah kesalahan besar, yang membuatnya begitu terpukul dan kehilangan arah atau langkah strategis yang harus dilakukan. Ketiga, tindakan Ruben mengoyakkan bajunya persis seperti yang dilakukan Yakub tidak membawa dampak apa-apa, hanya sebuah penyesalan yang tidak berujung, ibarat sebuah kalimat yang tidak selesai: ... Satu-satunya ujung yang mungkin ada, terlihat dalam ungkapan Yakub: “...sampai aku turun ... ke dunia orang mati.”

Penelitian terhadap Yehuda menghasilkan pemahaman yang amat menarik. Sesuai dengan pemahaman kata yarad di atas, tindakan Yehuda meninggalkan saudara-saudaranya justru membawanya dalam permasalahan yang sangat amat serius dalam Kejadian 38. Seperti Ruben, dia tidak melakukan tindakan yang tepat pada saat dibutuhkan. Kalau Ruben tidak hadir secara fisik pada saat dibutuhkan Yusuf, Yehuda tidak “menghadirkan” anaknya Syela, yang akhirnya telah menginjak dewasa, menjadi suami bagi Tamar sebagai pengganti Er dan Onan, sesuai dengan Hukum Levirat.3737 Lebih lanjut, teks menyebutkan sebuah paradoks: pada saat Yehuda melakukan tindakan yang berpotensi menghasilkan sesuatu yang positif,3838 Yehuda justru melakukan tindakan yang menghasilkan sesuatu yang negatif, meskipun pada akhir kisah dia melakukan sesuatu yang positif. Tindakannya untuk menghampiri seorang yang disangkanya pelacur namun ternyata adalah Tamar, menantunya sendiri, pastilah sebuah tindakan yang sangat tercela, memalukan, dan merendahkan martabat. Namun setelah pemeriksaan pengadilan yang semula dimaksudkan untuk Tamar yang dianggap melakukan perzinahan justru mengungkapkan bukti kesalahan ganda Yehuda (tidak memenuhi Hukum

(9)

Levirate dengan menahan memberikan Syela dan tindakan perzinahan yang dilakukannya), Yehuda dengan besar hati berkata: “Bukan aku, tetapi perempuan itulah yang benar” (ayat 26). Yehuda mengambil sikap yang berbeda dari Ruben: bukan kebingungan dan kehilangan tujuan, melainkan pengakuan terhadap kesalahan dirinya. Pengakuan Yehuda menyingkapkan sesuatu yang sangat amat penting: tindakan yang benar bukan ditentukan oleh kondisi yang kondusif untuk berbuat benar, melainkan oleh kesadaran diri untuk mau melakukan introspeksi diri dan mengakui kesalahan.

Kesimpulan di atas mendapatkan penegasan dalam narasi tentang Yusuf: memang Yusuf mengalami situasi insignifikansi dan penderitaan karena “turun” ke Mesir, namun tidak ada tanda-tanda dia mengalami depresi dan bahkan kematian dalam pengertian tidak dapat berbuat apa-apa. Yang terjadi justru sebaliknya. Di tempat yang salah, Yusuf melakukan tindakan yang benar sehingga membuat dirinya dilantik menjadi penguasa kedua di Mesir. Kata “dilantik” (41:41) berasal dari kata Ibrani ‛al yang dibentuk dari kata kerja ‛alah sehingga diterjemahkan “lebih tinggi dari” atau “di atas.”3939 Di tempat dan situasi insignifikansi dan penuh

dengan penderitaan, Yusuf justru mendapatkan status dan penghormatan yang membawa pada kehidupan yang penuh dan berkemenangan. Dan teks-teks berkenaan dengan Yusuf menekankan satu kunci utama: “Tuhan menyertai Yusuf.” Jadi, kehidupan dan status didapatkan bukan karena kondisi yang kondusif melainkan oleh kesadaran diri terhadap kehadiran Tuhan di dalam kehidupan seseorang yang membuatnya berserah penuh dan percaya pada pimpinan Tuhan bagi kehidupannya. Grisanti dengan indah menggambarkan peran Yusuf yang dengan pertolongan Tuhan menjadikan Mesir, tempat yang penuh dengan tendensi untuk melukai dan menghancurkan seseorang, menjadi tempat yang nyaman, tenang, dan aman (haven) mirip surga (heaven) untuk menggenapkan kehendak dan tujuan Allah sendiri.4040

KESIMPULAN

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan cara menggapai suatu status sosial yang penting di dalam suatu masyarakat tertentu atau cara menjadi orang yang penting dan diperhitungkan. Sebaliknya tulisan ini didasari oleh presupposisi bahwa mereka yang merasa dirinya penting atau dengan penuh ambisi mengejar suatu status sosial tertentu, justru akan mengalami kondisi insignifikansi atau minimal ketidakpuasan yang menyebabkan kehilangan arah dan tujuan hidup. Kalau dirunut lebih dalam, tulisan ini menegaskan bahwa semuanya itu didasarkan oleh suatu komitmen untuk setia pada Tuhan. Bukan berarti bahwa kesetiaan kepada Tuhan adalah tiket untuk mendapatkan status sosial dan menjadi orang penting. Minimal penulis yakin bahwa orang yang taat dan setia kepada Tuhan tidak akan seterusnya kehilangan arah dan tujuan dalam hidupnya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak setia kepada Tuhan. Dalam satu titik

(10)

dalam hidupnya, ia pasti akan mengalami insignifikansi hidup. Harapannya, mereka yang mengalami kondisi insignifikansi seperti itu, boleh belajar dari tokoh Yehuda yang memiliki kebesaran hati untuk mengakui kesalahannya, dan bukan malah mencari-cari alasan untuk mengatasi kelemahan dan ketidaksempurnaan dirinya.

Secara positif, tulisan ini diharapkan memberikan inspirasi bagi setiap pembaca tentang pentingnya berada di tempat yang tepat untuk melakukan hal yang tepat: untuk membangun dan bukan meruntuhkan. Meskipun penulis yakin bahwa untuk sampai pada posisi tersebut ada ketrampilan-ketrampilan tertentu yang dapat dipelajari, ada satu syarat utama untuk dapat berada di tempat yang tepat untuk melakukan hal yang tepat: adanya relasi yang pribadi dan hidup dengan Tuhan Sang Pencipta yang dengan hikmat-Nya akan mengajar dan membimbing serta mengarahkan hidup menuju kepada tujuan Allah sendiri, demi hormat dan kemuliaan Allah. Allah yang telah memulai anugerah-Nya di dalam kehidupan manusia, akan meneruskan pengaruh anugerah di dalam relasi antar manusia sampai pada kepenuhan-Nya di dalam Kristus, di dalam konteks kekekalan. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Alter, Robert. Genesis. New York, NY: W. W. Norton, 1996.

_______. The Five Books of Moses. New York, NY: W. W. Norton, 2004.

Amit, Yairah. “Narrative Art of Israel’s Historian.” Halaman 708-10 dalam Dictionary of the Old Testament: Historical Books. Diedit oleh Bill T. Arnold dan H. G. M. Williamson. Downers Grove, IL: IVP, 2005.

Brown, Francis, S. R. Driver, and Charles A. Briggs. Hebrew and English Lexicon of the Old Testament. Peabody, MA: Hendrickson, 1996.

Carr, G. Lloyd. “ , go up, climb, ascend.” Halaman 666 dalam

Theological Wordbook of the Old Testament, vol. 2. Diedit oleh R. Laird Harris, Gleason L. Archer, Jr., dan Bruce K. Waltke. Chicago, IL: Moody, 1980.

Coats, George W. Genesis with An Introduction to Narrative Literature, vol. 1. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1983.

Davidson, Benjamin. The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon. Grand Rapids, MI: Zondervan, 1993.

Fokkelman, Jan. Di balik Kisah-kisah Alkitab. Diterjemahkan oleh A. S. Hadiwiyata. Jakarta: BPK, 2008.

Goldingay, John. Old Testament Theology, vol. 1. Downers Grove, IL: IVP Academic, 2003.

(11)

Grisanti, Michael A. “The Book of Genesis.” Halaman 184 dalam The World and The Word. Ditulis oleh Eugene H. Merrill, Mark E. Rooker, dan Michael A. Grisanti. Nashville, TN: B&H Academic, 2011.

Hamilton, Victor P. “bWv, (re)turn.” Halaman 909 dalam Theological Wordbook of the Old Testament, vol. 2. Diedit oleh R. Laird Harris, Gleason L. Archer, Jr., dan Bruce K. Waltke. Chicago, IL: Moody, 1980.

_______. Handbook on the Pentateuch. Grand Rapids, MI: Baker, 1982.

Hill, Andrew E. The NIV Application Commentary: 1 & 2 Chronicles. Grand Rapids, MI: Zondervan, 2003.

Kissling, Paul J. “Preaching narrative: characters.” Halaman 33-37 dalam

‘He Began With Moses ...’. Diedit oleh Grenville J. R. Kent, Paul J. Kissling dan Laurence A. Turner. Nottingham, England: IVP, 2010. Long, V. Philips. “Narrative and History.” Halaman 78-79 dalam A Biblical

History of Israel. Ditulis oleh Iain Provan, V. Philips Long, dan Tremper Longman III. Louisville, KY: Westminster John Knox, 2003. Merrill, Eugene H. “The Historical Setting of the Old Testament.”

Halaman 17 dalam The World and The Word. Ditulis oleh Eugene H. Merrill, Mark E. Rooker, dan Michael A. Grisanti. Nashville, TN: B&H Academic, 2011.

_______. “The Development of the Historical Critical Method.” Halaman 146 dalam The World and The Word. Ditulis oleh Eugene H. Merrill, Mark E. Rooker, dan Michael A. Grisanti; Nashville, TN: B&H Academic, 2011.

“Mesha Stele,” diakses pada tanggal 5 September 2012 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Mesha_Stele

Phillips, John. Exploring Genesis. Chicago, IL: Moody, 1980.

Pratt, Jr., Richard L. He Gave Us Stories: The Bible Student’s Guide to

Interpreting Old Testament Narratives. Phillipsburg, NJ: P&R,

1990.

Turner, Laurence A. “Preaching narrative: plot.” Halaman 16 dalam ‘He Began With Moses ...’. Diedit oleh Grenville J. R. Kent, Paul J. Kissling dan Laurence A. Turner. Nottingham, England: IVP, 2010. Walton, John H. The NIV Application Commentary: Genesis. Grand

Rapids, MI: Zondervan, 2001.

Wenham, Gordon J. “Recent Old Testament Study: an Evangelical Assessment.” Themelios 8.2 (January 1983) 25. Diakses pada

tanggal 1 September 2012 dari

http://www.biblicalstudies.org.uk/ot.php.

Westermann, Claus. Genesis 37-50. Minneapolis, MN: Augsburg, 1986.

(12)

Williams, Peter J. “Israel outside the Land: The Transjordanian Tribes in 1 Chronicles 5.” Halaman 152 dalam Windows into Old Testament History. Diedit oleh V. Philips Long, David W. Baker, dan Gordon J. Wenham. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2002. Winther-Nielsen, Nicolai. “Fact, Fiction, and Language Use: Can

Modern Pragmatics Improve on Halpern’s Case for History in Judges?” Halaman 58 dalam Windows into Old Testament History. Diedit oleh V. Philips Long, David W. Baker dan Gordon J. Wenham. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2002.

11V. Philips Long, “Narrative and History,” dalam A Biblical History of Israel (oleh Iain

Provan, V. Philips Long, dan Tremper Longman III; Louisville, KY: Westminster John Knox, 2003) 77-79, menyebutkan sikap skeptis para ahli sejak abad ke-19 terhadap metode narasi (narrative history) khususnya dalam kaitan dengan rekonstruksi penulisan sejarah. Dalam kaitan dengan Sejarah Alkitab, Long misalnya menyebutkan pendapat Lemche yang menganggap Israel (dalam Alkitab) bukanlah Israel (secara historis), Yerusalem (dalam Alkitab) bukanlah Yerusalem (secara historis), Daud (dalam Alkitab) bukanlah Daud (secara historis), dst. Namun kebangkitan minat terhadap metode narasi diantara sejarawan dalam dekade ini, termasuk ketertarikan para ahli Alkitab yang menekankan unsur kesejarahan dalam penelitian mereka, membangkitkan kembali relasi antara sejarah dan literatur.

22Eugene H. Merrill, “The Historical Setting of the Old Testament,” dalam

The World and The Word (oleh Eugene H. Merrill, Mark E. Rooker, dan Michael A. Grisanti; Nashville, TN: B&H Academic, 2011) 17.

33Yairah Amit, “Narrative Art of Israel’s Historian,” dalam

Dictionary of the Old Testament: Historical Books (eds. Bill T. Arnold dan H. G. M. Williamson; Downers Grove, IL: IVP, 2005) 708-10. Beliau menyebutkan 2 kisah dongeng buatan dalam Alkitab, yaitu perumpamaan yang diucapkan Nathan (2 Samuel 12:1-4) dan perempuan Tekoa (2Samuel 14:4-7).

44

Gordon J. Wenham, “Recent Old Testament Study: an Evangelical Assessment,” Themelios 8.2 (January 1983) 25. Diakses pada tanggal 1 September 2012 dari http://www.biblicalstudies.org.uk/ot.php.

55

Bruce J. Malina, Asal Usul Kekristenan dan Antropologi Budaya (Jakarta: BPK, 2011) 5-6.

66

Richard L. Pratt, Jr., He Gave Us Stories: The Bible Student’s Guide to Interpreting Old Testament Narratives (Phillipsburg, NJ: P&R, 1990) 56.

77

Nicolai Winther-Nielsen, “Fact, Fiction, and Language Use: Can Modern Pragmatics Improve on Halpern’s Case for History in Judges?” dalam Windows into Old Testament History (eds. V. Philips Long, David W. Baker dan Gordon J. Wenham; Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2002) 58, mengutip Green yang memahami “pragmatis” sebagai “apa yang diyakini pembicara/pencerita tentang apa yang diyakini pendengar/pembaca, dan tentang efek/akibat/pengaruh apa yang dimaksudkan/diharapkan dari pembicaraan yang dilakukan.

88

Robert Alter, Genesis (New York, NY: W. W. Norton, 1996) 217, menyebutkan kebanyakan pembaca melihat Kejadian 38 sebagai interupsi narasi tentang Yusuf yang berisi detail-detail yang memiliki hubungan atau network dengan catatan sebelum dan sesudahnya.

99

John H. Walton, The NIV Application Commentary: Genesis (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2001) 667. Usia Yusuf 39 tahun didapat dari perhitungan Yusuf dipercaya sebagai orang kedua Firaun dalam usia 30 tahun, dan dia sudah melewati 7 tahun kelimpahan, dan kemudian Kej. 45:6 menyebutkan bahwa masa kelaparan telah berlangsung 2 tahun.

1010

Claus Westermann, Genesis 37-50 (Minneapolis, MN: Augsburg, 1986) 49, menyebutkan para ahli seperti Wellhausen, Holzinger, Gunkel, dan Emerton yang memiliki pendapat seperti di atas.

(13)

1111

Itu adalah satu dari empat keuntungan pemakaian metode narasi menurut Eugene H. Merrill, “The Development of the Historical Critical Method,” dalam The World and The Word (oleh Eugene H. Merrill, Mark E. Rooker, dan Michael A. Grisanti; Nashville, TN: B&H Academic, 2011) 146.

1212

Saya tidak setuju dengan George W. Coats, Genesis with An Introduction to Narrative Literature, vol. 1 (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1983) 273, yang menganggap analisa Redford sebagai sesuatu yang superfisial (tidak berdasarkan pemikiran yang mendalam). Memang penelitian lebih dalam menunjukkan perbedaan alasan di balik penipuan yang terjadi: penipuan terhadap Yakub didasari dendam dan iri hati terhadap Yusuf, sedangkan penipuan Tamar harus dilihat dari seorang yang tidak punya pilihan lain karena hak-haknya tidak dipenuhi, meskipun tentunya tidak ada alasan untuk melegitimasi penipuan sebagai satu-satunya cara untuk memperjuangkan hak-hak seseorang.

1313

Phillips, 295 menyimpulkan bahwa pemberian jubah kepada Yusuf berkenaan dengan pemberian hak kesulungan kepada Yusuf, yang akhirnya dibuktikan dengan pemberian “double portion” kepada anak-anak Yusuf, Efraim dan Manasye.

1414

Phillips, 300.

1515

Phillips, 300.

1616Paul J. Kissling, “Preaching narrative: characters,” dalam ‘He Began With Moses ...’

(eds. Grenville J. R. Kent, Paul J. Kissling dan Laurence A. Turner; Nottingham, England: IVP, 2010) 33-37, menekankan pentingnya pengamatan untuk membedakan sudut pandang pencerita (narator) dan sudut pandang tokoh.

1717Laurence A. Turner, “Preaching narrative: plot,” dalam ‘He Began With Moses ...’

(eds. Grenville J. R. Kent, Paul J. Kissling dan Laurence A. Turner; Nottingham, England: IVP, 2010) 16, menyebutkan 5 unsur skenario dalam suatu narasi: penggambaran situasi secara umum (initial situation), pergerakan tokoh menuju suatu ketegangan atau masalah tertentu (complication), cara tokoh menangani ketegangan yang dihadapi (transforming action), pemecahan masalah (resolution), dan situasi akhir (final situation). Dalam penggambaran tentang tokoh Ruben, jelas terlihat tidak adanya unsur resolusi atau pemecahan masalah, meskipun dia sempat menyampaikan usul atau rencana.

1818

Jan Fokkelman, Di balik Kisah-kisah Alkitab (Terj. A. S. Hadiwiyata; Jakarta: BPK, 2008) 43 menampilkan perbandingan Saul dan Daud yang disampaikan dalam kerangka prolepsis yang sangat menarik.

1919Peter J. Williams, “Israel outside the Land: The Transjordanian Tribes in 1

Chronicles 5,” dalam Windows into Old Testament History (eds. V. Philips Long, David W. Baker, dan Gordon J. Wenham; Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2002) 152.

2020“Mesha Stele,” diakses pada tanggal 5 September 2012 dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Mesha_Stele

2121

Robert Alter, The Five Books of Moses (New York, NY: W. W. Norton, 2004) 1050, melihat bagian ini lebih sebagai doa dan bukan berkat, dan menghubungkannya dengan kemungkinan ancaman terhadap suku Ruben, baik dari para pendatang yang ingin menyerang daerah mereka maupun proses pengambilalihan oleh tetangganya, suku Gad yang lebih besar dan berpengaruh. Pemahaman ini sejalan dengan analisa sebelumnya.

2222

Victor P. Hamilton, Handbook on the Pentateuch (Grand Rapids, MI: Baker, 1982) 137.

2323

Walton, 667.

2424

Fakta bahwa 25% dari keseluruhan Kitab Kejadian berbicara tentang Yusuf membuat John Phillips, Exploring Genesis (Chicago, IL: Moody, 1980) 290, menyebut Yusuf sebagai “The Provider” (Pelindung yang menyediakan dan memelihara) dan mensejajarkannya sebagai tipologi peran Kristus.

2525

Dengan kesadaran bahwa Yusuf adalah manusia biasa, pastilah peristiwa ekstradisi yang dialami akibat iri hati saudara-saudaranya pasti membawa kepedihan tersendiri di hati Yusuf. Namun yang jelas, Yusuf sanggup mengatasi perasaan diasingkan tersebut dan mengambil langkah-langkah positif sejalan dengan pimpinan Tuhan dalam hidupnya.

(14)

2626

Dalam kasus Tamar, minimal Yehuda mengabaikan kepentingan untuk melindungi harga dirinya dan memilih untuk mengakui kesalahannya.

2727

Andrew E. Hill, The NIV Application Commentary: 1 & 2 Chronicles (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2003) 26, 28-29, menyebutkan Kitab Tawarikh sebagai “Sejarah Kedua dari Perjanjian Lama” yang menceritakan kembali kisah-kisah dari Kejadian sampai 2 Raja-raja dari perspektif periode paska pembuangan, dengan penekanan pada tiga hal. Pertama, menggarisbawahi kesetiaan Tuhan dalam menggenapi janji perjanjian-Nya. Kedua, menekankan sentralitas Bait Suci dan legitimasi para imam sebagai pemimpin dalam komunitas. Ketiga, menunjukkan kontribusi kesatuan bangsa Yahudi dan Kerajaan Yehuda bagi kehidupan religius bangsa Israel. Penekanan terhadap Kerajaan Yehuda dimaksudkan untuk menekankan promosi tentang teologi pengharapan yang diusung oleh penulis Kitab Tawarikh di hadapan komunitas paska pembuangan.

2828

Benjamin Davidson, The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon (Grand Rapids, MI: Zondervan, 1993) 130.

2929

Francis Brown, S. R. Driver, dan Charles A. Briggs, Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (Peabody, MA: Hendrickson, 1996) 434.

3030

Alter, 217.

3131

John Goldingay, Old Testament Theology, vol. 1 (Downers Grove, IL: IVP Academic, 2003) 292.

3232

Brown, Driver, dan Briggs, 750.

3333

Goldingay, 292.

3434

Brown, Driver, dan Briggs, 1000.

3535Bandingkan misalnya dengan terjemahan NIV “break up the unplowed ground” yang

mengindikasikan bahwa sebelum tanah bisa ditanami, tanah itu harus “dihancurkan” supaya lembek dan siap ditanami.

3636Victor P. Hamilton, “ , (re)turn,” dalam

Theological Wordbook of the Old Testament, vol. 2 (eds. R. Laird Harris, Gleason L. Archer, Jr., dan Bruce K. Waltke; Chicago, IL: Moody, 1980) 909.

3737

Hukum yang mengharuskan saudara dari suami yang meninggal untuk menikahi istri saudaranya yang telah menjadi janda dengan tujuan meneruskan keturunan keluarga orang yang telah meninggal tersebut.

3838Lihat pembahasan di atas tentang kata “naik (ke atas)” dan suasana positif setelah

selesai berkabung.

3939G. Lloyd Carr, “ , go up, climb, ascend,” dalam Theological Wordbook of the

Old Testament, vol. 2 (eds. R. Laird Harris, Gleason L. Archer, Jr., dan Bruce K. Waltke; Chicago, IL: Moody, 1980) 666.

4040Michael A. Grisanti, “The Book of Genesis,” dalam

The World and The Word (oleh Eugene H. Merrill, Mark E. Rooker, dan Michael A. Grisanti; Nashville, TN: B&H Academic, 2011) 184.

Referensi

Dokumen terkait