i
EFEK NEFROPROTEKTIF PEMBERIAN JANGKA PANJANG INFUSA BIJI Persea americana Mill. TERHADAP KADAR KREATININ DAN
GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Diajukan oleh : Gidion Krisnadi Yoseph
NIM : 108114081
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan
perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu
dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur
melalui Dia kepada Allah, Bapa kita”
(Kolose 3: 17)
“I am sure that neither death nor life, nor angles nor
principalities nor power nor things present nor things to
come, not height nor depth nor any creature shall separate
me from the love of God”
(Doug Nolk & Tom Fettke dalam lagu He Loved Me)
Aku persembahkan karya ku ini untuk : Yesus Kristus yang selalu menguatkan hidup Mama, bapak, adik dan eyang tercinta Almamater tercinta Universitas Sanata Dharma
vii PRAKATA
Puji syukur dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat
dan rahmat karunia yang setiap hari diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “EFEK NEFROPROTEKTIF PEMBERIAN JANGKA PANJANG INFUSA BIJI Persea americana Mill. TERHADAP KADAR KREATININ DAN GAMBARAN HISTOLOGI
GINJAL TIKUS TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA” dengan baik
dan lancar. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata
Dharma.
Penulis menyadari bahwa dalam proses pelaksanaan dan penyusunan
skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak.
Kesempatan ini penulis pergunakan untuk mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mengijinkan
penulis menjalankan pembelajaran selam masa studi.
2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi yang
telah setia membimbing, mendampingi, memberikan saran dan semangat
selama proses penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dosen Penguji skripsi atas kritik
dan masukan yang membangun demi kemajuan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji skripsi atas
viii
5. Bapak Yoseph Wijoyo, M.Si., Apt.; Ibu Dra. M.M. Yetty Tjandrawati, M.Si.;
Bapak Jeffry Julianus, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan pertimbangan akademis penulis selama masa studi di
Universitas Sanata Dharma.
6. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., yang telah memberikan bantuan dalam
determinasi biji Persea americana Mill.
7. Ibu Rini Dwiastuti, M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi
yang telah memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk
kepentingan penelitian ini.
8. Ibu drh. Sitarina Widyarini, MP., Ph.D. dan Bapak drh. Sugiyono selaku
dokter hewan bagian patologis Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah
Mada atas bantuannya dalam pembacaan preparat histologis ginjal.
9. Bapak Heru, Bapak Suparjiman, dan Bapak Kayatno selaku Laboran
Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Bapak Wagiran selaku Laboran
Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Bapak Otok selaku pengelola gudang
kefarmasian atas segala bantuan selama pelaksanaan skripsi ini.
10. Teman-teman “Tim infusa biji Persea americana” Inneke Devi Permatasari,
Lydia Setiawan, N.L.P Dian Prawita atas bantuan, kerjasama, perjuangan,
pengertian, kesabaran, dan suka duka yang telah dijalani bersama selama
penelitian ini.
11. Teman-teman SMA N 3 Yogyakarta Galuh, Riana, Ervina, Muthia, Yudi atas
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...vi
PRAKATA...vii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR ...xvi
DAFTAR LAMPIRAN...xviii INTISARI ...xix ABSTRACT... xx BAB I. PENGANTAR... 1 A. Latar Belakang ... 1 1. Perumusan masalah... 5 2. Keaslian penelitian... 6 3. Manfaat penelitian ... 7 B. Tujuan Penelitian... 7 1. Tujuan umum ... 7
xi
2. Tujuan khusus ... 7
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8
A. Persea americana Mill... 8
1. Morfologi ... 8
2. Taksonomi... 9
3. Kandungan kimia & kegunaan... 9
B. Anatomi Fisiologi Ginjal... 10
C. Histologis Ginjal ... 12
D. Ketoksikan Ginjal ... 14
E. Karbon Tetraklorida ... 15
1. Sifat karbon tetraklorida (CCl4) ... 15
2. Penggunaan karbon tetraklorida (CCl4) ... 16
3. Reaksi dan metabolisme karbon tetraklorida (CCl4)... 16
4. Pengaruh karbon tetraklorida terhadap tubuh ... 18
F. Metode Uji Nefrotoksik ... 18
G. Kreatinin... 19
H. Infundasi... 20
I. Keterangan Empiris ... 20
BAB III. METODE PENELITIAN ... 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 21
1. Variabel utama ... 21
xii
3. Definisi operasional ... 22
C. Bahan Penelitian... 23
1. Bahan utama... 23
2. Bahan kimia ... 23
D. Alat dan Instrumen Penelitian ... 24
E. Tata Cara Penelitian... 24
1. Determinasi biji alpukat (Persea americana Mill.) ... 24
2. Pengumpulan bahan ... 24
3. Pembuatan serbuk ... 25
4. Penetapan kadar air serbuk ... 25
5. Pembuatan infusa biji alpukat ... 25
6. Pembuatan larutan CCl4... 26
7. Uji pendahuluan ... 26
a. Penetapan dosis toksin ... 26
b. Penetapan dosis infusa biji Persea americana Mill... 26
c. Penetapan waktu pengambilan darah ... 28
8. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji... 28
9. Pembuatan serum ... 29
10. Pengukuran kadar kreatinin pada serum ... 29
11. Pembuatan preparat histologi ginjal... 30
F. Tata Cara Analisis Hasil ... 30
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
xiii
B. Penetapan Kadar Air ... 33
C. Pembuatan Infusa Biji Pesea americana Mill... 34
D. Penentuan Dosis Infusa ... 34
E. Penentuan Dosis Nefrotoksik Karbon Tetraklorida... 35
F. Penentuan Waktu Pengambilan Darah ... 35
G. Penetapan Lama Pemejanan Infusa Biji Pesea americana Mill. ... 37
H. Hasil Uji Efek Nefroprotektif Infusa Biji Pesea americana Mill. ... 37
I. Kontrol Olive Oil ... 39
J. Kontrol Karbon Tetraklorida Dosis 2 mL/kgBB... 40
K. Kontrol Infusa Biji Pesea americana Mill. Dosis 1142,86 mg/kgBB ... 41
L. Kelompok Perlakuan Infusa Biji Pesea americana Mill. Dosis 360,71 mg/kgBB; 642,06 mg/kgBB; dan 1142,86 mg/kgBB pada Tikus Jantan Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida Dosis 2 mL/kgBB ... 42
M. Gambaran Histologis ... 46
1. Kontrol karbon tetraklorida 2 mL/kgBB... 46
2. Kontrol olive oil ... 47
3. Kontrol infusa biji Pesea americana Mill. dosis 1142,86 mg/kgBB... 49
4. Kelompok praperlakuan infusa biji Pesea americana Mill. dosis 360,71 mg/kgBB + karbon tetraklorida 2 mL/kgBB... 50
5. Kelompok praperlakuan infusa biji Pesea americana Mill. dosis 642,06 mg/kgBB + karbon tetraklorida 2 mL/kgBB... 51
xiv
6. Kelompok praperlakuan infusa biji Pesea americana Mill. dosis
1142,86 mg/kgBB + karbon tetraklorida 2 mL/kgBB... 53
N. Rangkuman Pembahasan ... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
A. Kesimpulan ... 56
B. Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
LAMPIRAN... 61
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Kandungan gizi Persea Americana Mill. 9
Tabel II. Rata-rata kadar kreatinin serum tikus pasca induksi karbon
tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48,
dan 72 jam 36
Tabel III. Hasil uji Scheffe kada kreatinin serum tikus pasca induksi
karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0,
24, 48, dan 72 jam 36
Tabel IV. Rerata ± SE kadar kreatinin serum tikus praperlakuan infusa
biji Persea americana Mill. terinduksi karbon tetraklorida
dosis 2mL/kgBB 38
Tabel V. Hasil uji Scheffe kadar kreatinin serum tikus antar kelompok
perlakuan 39
Tabel VI. Hasil uji t-berpasangan kadar kreatinin serum tikus setelah
pemberian olive oil pada selang waktu 0 dan 48 jam 40
Tabel VII Persentase efek nefroprotektif praperlakuan infus biji Persea
americana Mill. 44
Tabel VIII Hasil penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill. 80
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur ginjal 11
Gambar 2. Nefron ginjal 11
Gambar 3. Photomicrograph bagian kapsul ginjal manusia 13 Gambar 4. Photomicrograph korpuskel ginjal manusia 13 Gambar 5. Gambaran histologis ginjal normal (diwarnai dengan
haematoxylin dan eosin) 14
Gambar 6. Mekanisme biotransformasi dan oksidasi karbon
tetraklorida 17
Gambar 7. Diagram batang rata-rata kadar kreatinin serum tikus
pasca induksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada
selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam 36
Gambar 8. Diagram batang rata-rata kadar kreatinin serum tikus
praperlakuan infusa biji Persea Americana Mill. 1x
sehari selam 6 hari terinduksi karbon tetraklorida
2 mL/kgBB 38
Gambar 9. Diagram batang rata-rata kadar kreatinin serum tikus
setelah pemberian olive oil pada selang waktu 0 dan 48
jam 40
Gambar 10. Fotomikroskopik histologis ginjal normal 47
Gambar 11. Fotomikroskopik histologis ginjal 48 jam pasca
xvii
Gambar 12. Fotomikroskopik histologis ginjal kelompok
praperlakuan infusa biji Persea americana Mill. dosis
642,8 mg/kgBB + karbon tetraklorida 2 mL/kgBB 51
Gambar 13. Fotomikroskopik histologis ginjal kelompok
praperlakuan infusa biji Persea americana Mill. dosis
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto infusa biji Persea americana Mill. 62
Lampiran 2. Foto serbuk biji Persea americana Mill 62
Lampiran 3. Surat Ethics Committee Approval 63
Lampiran 4. Surat pengesahan determinasi 64
Lampiran 5. Surat pengesahan hasil pembacaan preparat histologis
ginjal 65
Lampiran 6. Analisis statistik kadar kreatinin serum pada uji
pendahuluan penentuan waktu pencuplikan darah
induksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB 66
Lampiran 7. Analisis statistik kadar kreatinin serum pada kontrol
Olive oil 70
Lampiran 8. Analisis statistik kadar kreatinin serum praperlakuan
infusa biji Persea americana Mill. setelah induksi
karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB 72
Lampiran 9. Perhitungan efek nefroprotektif 78
Lampiran 10. Perhitungan penetapan peringkat dosis infusa biji
Persea americana Mill. kelompok perlakuan 79 Lampiran 11. Penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill. 80
Lampiran 12. Hasil pengukuran validitas dan reabilitas 81
xix INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh nefroprotektif pemberian jangka panjang infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) berdasarkan kadar kreatinin serum dan gambaran histologis ginjal tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida (CCl4), serta mendapatkan besar dosis efektif pemberian infusa biji alpukat (Persea americana Mill.).
Jenis penelitian bersifat eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan tikus jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan ± 150-250 gram. Tikus dibagi secara acak ke dalam enam kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok I (kontrol nefrotoksin) diberi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok II (kontrol negatif) diberi olive oil 2 mL/kgBB. Kelompok III (kontrol infusa) diberikan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dosis 1142,86 mg/kgBB. Kelompok IV-VI (perlakuan) berturut-turut diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 360,71; 642,06; dan 1142,86 mg/kgBB secara peroral sekali sehari selama enam hari berturut-turut, pada hari ke tujuh semua kelompok perlakuan diberi induksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Empat puluh delapan jam pasca induksi karbon tetraklorida, darah diambil melalui sinus orbitalis mata untuk diukur kadar kreatinin serum dan pengambilan ginjal untuk dilakukan pencuplikan jaringan ginjal. Kadar kreatinin serum dianalisis secara statistik dengan menggunakan One Way ANOVA dan preparat histologis dianalisis serta dideskripsikan.
Berdasarkan hasil penelitan, infusa biji Persea americana Mill. memberikan efek nefroprotektif dengan menurunkan kadar kreatinin serum pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida. Gambaran histologis belum dapat dibandingkan hasilnya karena gambaran hislotogis kelompok nefrotoksin tidak mengalami perubahan yang berarti secara patologis. Jadi infusa biji Persea americana Mill. dosis 360,71; 642,06; dan 1142,86 mg/kgBB memiliki efek nefroprotektif berturut-turut 100%; 80,95%; dan 61,90% berdasarkan kadar kreatinin serum. Dosis efektif infusa biji Persea americana Mill. yang memberikan efek nefroprotektif paling efektif adalah 360,71 mg/kgBB.
Kata kunci : Persea americana Mill., infusa, nefroprotektif, karbon
xx ABSTRACT
The purpose of this research is to determine the nephroprotective effect of infusion of avocado’s seeds (Persea americana Mill.) based on creatinine serum level and renal histology of male rats strained Wistar induced carbon tetrachloride (CCl4), and also to determine the effective dose of infusa of avocado’s seeds (Persea americana Mill.).
This study purely using randomized experimental design, complete with its unidirectional pattern. The subject of these studies were male rats of Wistar strain, aged 2-3 months, and ± 150-250 gram for its weight. Rats were divided into six groups randomly, each group consist of five rats. Group I (nefrotoxin control) was given carbon tetrachloride 2 mL/kgBW i.p. Group II (negative control) was given olive oil 2 mL/kgBW. Group III (infusion control) was given infusion of avocado’s seeds (Persea americana Mill.) with the highest dose (1142.86 mg/kgBW). Group IV-VI were given infusion of avocado’s seeds
(Persea americana Mill.), the doses were 360,71; 642.06; and 1142.86 mg/kgBW orally once a day during six days continuously and then in the seventh day all of these groups were induced carbon tetrachloride 2 mL/kgBW i.p. Fourty eight hours after induced carbon tetrachloride, the blood was collected from sinus orbitalis to measure the creatinine serum level and also made the renal histology. Creatinine serum level was analyzed statistically using ANOVA one way and the renal histology was analyzed microscopically also described.
Based on these result of the research, seeds infusion of Persea americana Mill. gave nephroprotective effect for reducing creatinine level serum of rats induced carbon tetrachloride. Renal histology results cannot be compared because renal histology of control nefrotoxin group do not change pathologically. Thus dose infusion of avocado’s seeds (Persea americana Mill.) 360,71; 642.06; and 1142.86 mg/kgBW had nephroprotective 100%, 80.95%, and 61.90% based on creatinine serum level. Effective dose of infusion of avocado’s seeds (Persea americana Mill.) which gave the most effective nephroprotective effect was 360,71 mg/kgBW.
Keywords : Persea americana Mill., infusa, nephroprotective,
1 BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Alpukat, buah bertekstur lembut yang mudah dijumpai di Indonesia.
Kondisi iklim tropis yang dimiliki Indonesia mendukung untuk tumbuh dan
berkembangnya buah alpukat. Keberadaanya yang lazim dan rasanya yang
unik menjadikan buah alpukat digemari masyarakat luas. Selain itu alpukat
diketahui mempunyai banyak manfaat karena kandungan antioksidan dan zat
gizi berupa lemak yang baik untuk kesehatan (Afrianti, 2010).
Umumnya masyarakat hanya memanfaatkan daging buah alpukat
saja, sedangkan bijinya kurang dimanfaatkan karena keterbatasan informasi
yang ada pada masyarakat akan manfaat biji alpukat. Dalam beberapa
penelitian, infusa biji alpukat ternyata memiliki kemampuan untuk
menurunkan kadar glukosa darah sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif
pengobatan (Anggraeni, 2006). Penelitian tersebut membuktikan bahwa
kandungan tanin dalam biji alpukat mampu mempresipitasi protein selaput
lendir di permukaan usus halus dan membentuk lapisan yang mampu
menghambat absorbsi glukosa sehingga peningkatan glukosa darah tidak
terlalu tinggi.
Ginjal merupakan organ di dalam tubuh yang fungsi utamanya
sebagai jalur ekskresi termasuk senyawa-senyawa toksik. Volume aliran darah
senyawa toksik pada filtrat dan membawanya kedalam tubulus-tubulus yang
ada pada ginjal, bahkan beberapa senyawa toksik mungkin menjadi aktif saat
perjalanan dalam tubulus. Akibatnya organ ini menjadi organ sasaran juga
untuk beberapa efek toksik (Santoso dan Nurliani, 2006).
Penyakit ginjal sudah menjadi perhatian dunia sebagai masalah
kesehatan yang serius baik di negara maju ataupun negara berkembang.
Menurut data dari Third National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES III) menunjukkan bahwa kurang lebih 8,3 juta (4,6%) populasi
dewasa (20 tahun ke atas) di Amerika menderita Penyakit Ginjal Kronis
(PGK), dan 300.000 diantaranya berakhir dengan Penyakit Ginjal Tahap
Akhir (PGTA). Dan pada tahun 2006 jumlah penderita gagal ginjal kronik di
Amerika meningkat menjadi 19,2 juta atau 11% dari populasi dewasa. Selain
itu pada tahun 2002 insidensi hemodialisis sebagai penatalaksanaan gagal
ginjal di Beijing mencapai 146,4 per juta populasi, keadaan ini meningkat
hampir dua kali lipat dibandingkan data tahun 1999 (Park, Zhu, Palaniappan,
Heshka, Carnethon, dan Heymsfield, 2003; Zhang et al, 2007; Schoolwerth,
Engelgau, Hostetter, Rufo, dan McClelan, 2006).
Menurut Firmansyah (2005) insidensi PGK di Indonesia diperkirakan
sebesar 100-150 orang tiap 1 juta penduduk per tahun dan prevalensinya
mencapai 200-250 kasus per juta penduduk. Di Indonesia prevalensi penderita
gagal ginjal hingga kini belum ada yang akurat karena belum ada data yang
lengkap mengenai jumlah penderita gagal ginjal kronis di Indonesia. Tetapi
meningkat. WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan
penderita gagal ginjal antara tahun 1995-2025 sebesar 41,4%.
Kerusakan struktural pada sel-sel ginjal akibat kondisi patologis
tertentu akan berpengaruh pada kerja fungsional dari ginjal. Kerusakan
struktural dapat dideteksi secara mikroskopis dengan melihat preparat
histologis dari ginjal apakah terlihat secara perubahan patologis yang spesifik
atau tidak. Namun menjadi mustahil dilakukan pada manusia untuk mencuplik
jaringan ginjal, maka dari itu dibutuhkan parameter lain yang mampu
menggambarkan kondisi fugsional ginjal. Kreatinin menjadi salah satu
parameter yang mampu menggambarkan fungsional dari ginjal. Kreatinin
yang notabene merupakan metabolit sisa metabolisme keratin otot seharusnya
diekskresikan keluar tubuh melalui ginjal, namun ketika ginjal mengalami
gangguan/ kreusakan maka ginjal tidak mampu melakukan penyaringan secara
sempurna sehingga kadar kreatinin dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan
kadar kreatinin selanjutnya diapat digunakan sebagai parameter prediktif
untuk menilai fungsi kerja ginjal (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010).
Radikal bebas menjadi salah satu faktor yang mampu mempengaruhi
struktur dan fungsi dari sel ginjal. Radikal bebas merupakan produk reaksi
kimia yang memiliki sifat sangat reaktif dan tidak stabil karena adanya
elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Sifatnya yang reaktif
pada radikal bebas mampu menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak
beberapa komponen sel dalam tubuh seperti protein, lipid, karbohidrat dan
Karbon tetraklorida sebagai senyawa model untuk menginduksi
terjadinya stres oksidatif pada beberapa fungsi fisiologis hewan uji
eksperimental (Ivor dan Schneider, 2005). Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan xenobiotika yang lazim digunakan untuk menginduksi terjadinya
peroksidasi lipid dan keracunan. Dalam retikulum edoplasma hati, CCl4 dimetabolisme oleh sitokrom P450 menjadi radikal bebas triklorometil
(CCl3●), senyawa radikal ini yang kemudian akan beredar dalam tubuh termasuk ginjal yang akan mengekskresikan segala bentuk senyawa hasil
metabolisme hati (Jeon, Hwang, Park, Shin, Choi, dan Park, 2003; Manna,
Sinha, dan Sil, 2006)
Antioksidan merupakan senyawa yang mampu memberikan elektron.
Cara kerja antioksidan dengan mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa
yang bersifat oksidan sehingga aktifitas senyawa oksidan tersebut dapat
terhambat. Secara ilustrasi, antioksidan melengkapi kekurangan elektron yang
dimiliki radikal bebas sehingga mampu menghambat reaksi berantai dari
reaktifitas radikal bebas (Winarsi, 2007).
Malangngi, Meiske, dan Jessy (2012) memaparkan hasil penelitian
mengenai kandungan tanin dan uji aktifitas antioksidan ekstrak biji buah
alpukat (Persea americana Mill.), ekstrak kering biji alpukat memiliki
kandungan tanin total yang tinggi yaitu 117 mg/kg serta memiliki aktifitas
antioksidan yang tinggi yaitu 93,045%. Semakin banyak kandungan tanin
maka semakin besar aktivitas antioksidannya karena tanin tersusun dari
kandungan antioksidan pada ekstrak kering biji alpukat, memungkinkan
antioksidan yang terkandung pada biji alpukat mampu mencegah kerusakan
ginjal dengan cara melengkapi elektron bebas pada senyawa radikal sehingga
reaktifitas dari senyawa radikal terhadap sel-sel disekitarnya khususnya sel
ginjal dapat dicegah.
Bentuk sediaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu infusa
Persea americana Mill. Teknik yang cukup mudah dalam menggunakan serbuk biji alpukat yaitu dengan menyeduh serbuk biji alpukat menggunakan
air panas dan air seduhannya dikonsumsi. Secara umum teknik ini hampir
mirip dengan pembuatan infusa.
Penelitian terkait dengan Persea americana Mill. yang pernah
dilakukan untuk alternatif pengobatan diabetes mellitus. Namun penelitian
tentang biji Persea americana Mill. sebagai nefroprotektif belum pernah dilakukan, padahal biji Persea americana Mill. mempunyai kandungan antioksidan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk
membuktikan kemampuan nefroprotektif infusa biji Persea Americana Mill.
pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.
1. Perumusan masalah
Permasalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah pemberian jangka panjang infusa biji Alpukat (Persea americana
terinduksi CCl4 berdasarkan kadar kreatinin serum dan gambaran histologis ginjal?
b. Berapakah dosis pemberian infusa biji Alpukat (Persea americana Mill.)
yang mampu menimbulkan efek nefroprotektif pada tikus jantan galur
Wistar yang terinduksi CCl4?
2. Keaslian penelitian
Sebelumnya pernah dilakukan penelitian yang berhubungan dengan biji
Persea americana Mill. diantaranya :
1. Malangngi dkk, (2012) melaporkan bahwa kandungan total tanin biji
alpukat biasa kering yaitu 117 mg/kg. Aktivitas antioksidan tertinggi
ditunjukkan oleh ekstrak biji alpukat biasa kering (93,045%).
2. Marlinda, Meiske, dan Audy, (2012) melaporkan bahwa berdasarkan
skrining fitokimia, biji buah alpukat diketahui mengandung alkaloid,
triterpenoid, tanin, flavonoid dan saponin. Nilai LC50 yang diperoleh berdasarkan uji toksisitas biji buah alpukat mentega segar 42,270 mg/L.
3. Anggraeni (2006) Pemberian infusa biji Persea americana Mill. 0,315
g/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Penelitian tentang efek nefroprotektif biji Alpukat berbeda dengan
penelitian-penelitian yang ada. Sejauh ini belum ada publikasi resmi mengenai
efek nefroprotektif Persea americana Mill. pada tikus jantan galur Wistar
yang terinduksi karbon tetraklorida (CCl4) dilihat dari parameter kadar kreatinin dalam serum dan gambaran histologis ginjal.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini mampu memberikan informasi yang berhubungan dengan
kemampuan nefroprotektif infusa biji Persea americana Mill.
b. Manfaat praktis
Memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan dosis aplikatif
dari infusa biji Persea americana Mill. sebagai salah satu pengobatan
alternatif gangguan ginjal.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang infusa biji Persea
americana Mill. terhadap efek nefroprotektif pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi CCl4.
2. Tujuan khusus
1. Membuktikan bahwa pemberian infusa biji Persea americana Mill.
mampu memberikan efek nefroprotektif berdasarkan kadar kreatinin dan
gambaran histologis ginjal tikus jantan galur Wistar yang terinduksi CCl4. 2. Mengetahui besarnya dosis infusa biji Persea americana Mill. yang
mampu memberikan efek nefroprotektif pada tikus jantan galur Wistar
8 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Persea americana Mill.
Alpukat merupakan tanaman buah yang berasal dari Amerika Tengah
yang diperkirakan masuk ke Indonoesia pada abad ke-18. Di Indonesia nama
alpukat mempunyai beberapa nama daerah, seperti alpuket atau alpukat (Jawa
Barat), alpokat (Jawa Tengahdan Jawa Timur) dan apokat atau jambu
wolanda (sebutan di lain-lain daerah). Alpukat banyak tumbuh liar di hutan-hutan, dan dewasa ini banyak juga ditanam di kebun, atau di pekarangan yang
tanahnya subur dan gembur serta tidak digenangi air (BAPPENAS, 2000;
Rukmana, 1997; Yuniarti, 2008).
1. Morfologi
Alpukat memiliki ciri morfologi berbentuk pohon berukuran kecil,
berakar tunggang, batangnya berkayu, bulat dan warnanya coklat kotor,
batangnya bercabang dan rantingnya berambut halus. Morfologi daunnya
merupakan daun tunggal, letaknya berdesakan di ujung ranting, berbentuk
jorong sampai bundar telur dan memanjang, tebal seperti kulit ujung dan
pangkalnya runcing. Tepi daunnya rata kadang agak menggulung ke atas,
bertulang menyirip. Daun mudanya berwarna kemerahan dan berambut rapat,
sedangkan daun tuanya berwarna hijau dan gundul tanpa rambut. Alpukat
memiliki morfologi bunga majemuk, buahnya buah buni, berbentuk bola dan
bulat telur, berwarna hijau atau hijau kekuningan, daging buahnya jika sudah
ini merupakan tumbuhan berbiji bulat seperti bola, keping bijinya berwarna
putih kemerahan (Yuniarti, 2008).
2. Taksonomi
Klasifikasi lengkap tanaman alpukat adalah sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Ranales
Keluarga : Lauraceae
Marga : Persea
Varietas : Persea americana Mill. (BAPENAS, 2000).
3. Kandungan kimia & kegunaan
Kandungan gizi pada tanaman Persea americana Mill. yang
mendominasi adalah karbohidrat dan lemak seperti yang tersaji pada tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Gizi Persea americana Mill
No. Kandungan Gizi Jumlah
1 Kalori 85,00 kal 2 Protein 0,90 g 3 Lemak 6,50 g 4 Karbohidrat 7,70 g 5 Kalsium (Ca) 10,00 mg 6 Fosfor (P) 20,00 mg
7 Zat Besi (Fe) 0,90 mg
8 Vitamin A 180,00 S.I.
9 Vitamin B1 0,05 mg
10 Vitamin C 13,00 mg
11 Air 84,30 mg
12 Bagian dapat dimakan (Bdd) 61,00%
Senyawa metabolit skunder yang terkandung pada biji alpukat (Persea
americana Mill.) adalah alkaloid, triterpenoid, tannin, flavonoid, dan saponin (Marlinda dkk, 2012). Tanin merupakan adstringen yang memiliki rasa pahit,
berfungsi mempercepat penyembuhan luka dan inflamasi pada membran
mukosa (Okwu dan Okwu, 2004).
Flavonoid merupakan antioksidan larut air yang sangat kuat dan
merupakan penangkap radikal bebas. Flavonoid dapat mencegah kerusakan
oksidatif sel, mempunyai aktifitas perlindungan dan anti kanker yang kuat
melawan tahap-tahap dalam karsinogenesis (Salah, Miller, Pangauga, Bolwell,
Rice, dan Evans,1995).
B. Anatomi Fisiologi Ginjal
Ginjal merupakan organ dalam tubuh manusia yang berbentuk seperti
kacang, terletak di sisi kolumna vertebralis. Ginjal bisa dijumpai di dalam
daerah abdominal, di dekat dinding posterior. Struktur ginjal dibagi dalam
beberapa ciri morfologi yang spesifik. Jika ginjal dibagi dua secara melintang,
ada dua daerah yang dapat digambarkan, yaitu korteks dan medula (Gambar 1)
(Stine and Brown, 1996; Guyton dan Hall, 1997).
Bagian luar dari ginjal dilapisi oleh kapsul, di bawah kapsul tersebut
merupakan selapis jaringan yang sering disebut korteks, dan daerah yang lebih
dalam disebut dengan medulla. Darah memasuki ginjal melalui arteri ginjal
(renal artery), dan meninggalkan ginjal melalui vena ginjal (renal vein).
ginjal, dan mendapatkan lebih banyak supply oksigen daripada bagian
medulla. Urin meninggalkan ginjal melalui pelvis ginjal menuju ureter.
Gambar 1. Struktur ginjal (Stine and Brown, 1996).
Unit fungsional dari ginjal adalah nefron (Gambar 2), dimana setiap
ginjal memiliki jutaan nefron. Masing masing nefron disusun oleh
tubulus-tubulus ginjal serta glomerulus yang dikelilingi oleh sebuah struktur yang
disebut Kapsula Bowman. Tubulus-tubulus yang dimiliki oleh ginjal antara
lain tubulus proximal, Lengkung Henle, tubulus distal, dan tubulus pengumpul
(collectivus).
Glomerolus dialiri darah oleh sebuah kapiler yang bertekanan tinggi
sehingga mampu menghasilkan ultrafiltrat dari plasma. Filtrat hasi
penyaringan ini akan terkumpul pada kapsul Bowman dan mengalir melalui
tubulus-tubulus menuju medulla ginjal dan akan dikeluarkan melalui ureter ke
uretra sebagai urin (Lu, 1995).
Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan sisa-sisa metabolisme
yang ada di dalam darah (termasuk didalamnya xenobiotik yang larut air serta
konjugat-konjugat lain) membentuk urin. Ginjal juga berperan penting dalam
pertahanan homeostasis air dan elektrolit dalam tubuh. Ginjal berperan untuk
mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh, air, serta semua elektrolit
dalam tubuh. Ginjal berperan untuk mengatur keseimbangan antara asupan
(akibat pencernaan atau produksi metabolik) dan keluaran (akibat eksresi atau
konsumsi metabolik) sebagaian besar dipertahankan oleh ginjal. Selain itu
hormon dan enzim yang diproduksi oleh ginjal digunakan untuk mengatur
tekanan darah, pH, metabolisme kalsium, dan produksi sel darah merah (Stine
and Brown, 1996).
C. Histologis Ginjal
Gambar 3 menggambarkan bahwa lapisan luar dari kapsul (OLC)
terdiri dari jaringan ikat padat. Keberadaan fibroblast dibagian kapsul
jumlahnya relatif sedikit, nukleus pada bagian ini terlihat pipih dan
myofibroblast yang nukleusnya berbentuk bundar dan memanjang (Ross dan Pawlina, 2006).
Gambar 3. Photomicrograph bagian kapsul ginjal manusia (x180).
Cap = Kapsul; OLC = outter layer of the capsule (lapisan
luar kapsul); ILC = inner layer of the capsule (lapisan dalam kapsul) (Ross dan Pawlina, 2006)
Gambar 4. Photomicrograph korpuskel ginjal manusia (x160) (Ross dan Pawlina, 2006).
Pada gambar 4 terlihat korpuskel ginjal berbentuk sferis dan
mempunyai diameter rata-rata 200µm. Bagian ini tersusun atas lipatan-lipatan
kapiler glomerular dan dikelilingi jaringan epitel visceral dan parietal dari
kapsul Bowman (Ross dan Pawlina, 2006).
Gambar 5. Gambaran histologis ginjal normal (diwarnai dengan
haematoxylin dan eosin). (A). Korteks ginjal, 1: renal corpuscle; 2: proximal convoluted tubules; 3: distal convoluted tubues; 4: Bowman’s capsule space. (B) Medula ginjal, 1: thick ascending limb of the loop Henle; 2:
interstitial connective tissue (Gunin, 2000)
Gambar 5 menggambarkan bahwa renal corpuscle merupakan unit
berstruktur spheris berukuran besar yang dikelilingi oleh tubulus distal dan
tubulus proksimal. Kesatuan ini masih tergabung dalam struktur penyusun
korteks ginjal. Bagian medula ginjal tersusun atas turunan lengkung Henle;
tanjakan lengkung Henle; serta tubulus collectivus (Ross dan Pawlina, 2006).
D. Ketoksikan Ginjal
Induksi senyawa toksik terhadap keruskan ginjal dapat bersifat ringan
ataupun parah, bisa kembali seperti semula ataupun permanen, tergantung dari
berpotensi sebagai organ yang menjadi target dampak senyawa toksik
alasannya karena, aliran darah yang menuju ginjal sangat tinggi artinya
pasokkan dari ke ginjal besar, sehingga senyawa-senyawa toksik yang berada
di dalam sirkulasi darah akan mengalir pula ke ginjal dalam jumlah yang besar
(Stine and Brown, 1996; Hodgson, 2010).
Alasan yang kedua, sebagaimana diketahui bahwa ginjal mengeluarkan
garam, air dan senyawa-senyawa lain dari filtrat melalui proses reabsorpsi,
beberapa senyawa toksik yang tidak terabsorbsi kembali akan meningkat
konsentrasinya di dalam filtrat. Sehingga, sekalipun senyawa toksik tersebut
nantinya diabsorpsi kembali, masih saja terdapat senyawa toksik dalam jumlah
yang cukup besar dalam sel-sel tubulus, akibatnya sel-sel tubulus ini akan
terpapar oleh senyawa toksik yang jauh lebih pekat konsentrasinya daripada
konsentrasinya di dalam plasma. Ditambah lagi terdapat banyak sel yang
memiliki aktivitas CYP P450, sehingga ketika terjadi bioaktivasi senyawa
toksik, maka sel-sel tersebut juga akan terpengaruh (Stine and Brown, 1996;
Hodgson, 2010).
E. Karbon Tetraklorida 1. Sifat karbon tetraklorida (CCl4)
Karbon Tetraklorida merupakan senyawa golongan halogen alifatik,
berbentuk cair, tidak berwarna, berbau khas, dan tidak menyala. Berat molekul
dalam air 0,08% pada suhu 20oC, sangat mudah larut dalam alcohol, benzene, kloroform, eter, karbon disulfida, aseton (SiKerNas, 2010).
2. Penggunaan karbon tetraklorida (CCl4)
Karbon Tetraklorida termasuk dalam golongan senyawa beracun dan
berbahaya bagi lingkungan. Senyawa ini biasa digunakan sebagai bahan dasar
chlorofluorocarbon (CFC) untuk pendingin lemari es atau AC, fumigasi atau pengasapan di pertanian, cairan pembersih, penghilang noda, dan sebagai
pelarut lemak, minyak, lilin, karet, dll (WHO, 2002; SiKernas, 2010).
3. Reaksi dan metabolisme karbon tetraklorida (CCl4)
Karbon tetraklorida dapat dibuat di laboratorium dengan mereaksikan
gas Cl dan CH4. Reaksi CH4 dan Cl2 terjadi dengan bantuan sinar ultraviolet yang menyediakan energi yang cukup untuk menyebabkan homolytic fission
pada ikatan kovalen molekul halogen. Reaksi ini menghasilkan reaksi radikal
bebas seperti gambar di bawah ini :
1. Inisiasi Cl2bereaksi dengan sinar UV Cl●+ Cl● 2. Propagasi Cl●+ CH4 CH3●Cl + HCl CH3●+ Cl2 CH3Cl + Cl Cl●+ CH3Cl HCl +●CH2Cl ● CH2Cl + Cl2 CH2Cl + Cl●, dst 3. Terminasi CH●+ Cl CH3Cl CH3●+ CH3● C2H6(etana)
Oleh karena itu, CH4 dikonversikan pada CH3Cl, CH2Cl. CHCl2, dan CCl4 (Halliwell and Gutteridge, 1999).
Karbon tetraklorida adalah salah satu toksin yang metabolismenya
dilakukan oleh sitokrom P450 yang menghasilkan produk bersifat destruktif
yaitu trichloromethyl radical (CCl3●) (Gregus and Klaaseen, 2001).
Didalam hati karbon tetraklorida mengalami aktivasi metabolisme oleh
sitokrom P-450 khususnya CYP2E1. Sebagai enzim mikrosomal, CYP2E1
akan mempengaruhi aktivasi metabolit dari senyawa yang diproduksi,
sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan atau penurunan sifat toksik
dari senyawa induk.CYP2E1 akan berperan sebagai agen pereduksi dan
mengkatalis adisi elektron sehingga satu ion klorin akan hilang dan terbentuk
radikal bebas triklorometil (●CCl3) yang bersifat reaktif. Keberadaan oksigen disekitar radikal bebas triklorometil akan menginduksi pembentukan
triklorometilperoksi (●OOCCl3) bersifat lebih reaktif (Gambar 6) (Timbrell, 2008; Gregus dan Klaasseen, 2001).
Gambar 6. Mekansime biotransformasi dan oksidasi karbon tetraklorida (Timbrell, 2008)
4. Pengaruh karbon tetraklorida terhadap tubuh
Karbon tetraklorida dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan
misalnya dapat merusak hati, ginjal dan sistem saraf, dan lain-lain. CCl4 dapat
menyebabkan acute tubular necrosis dengan gambaran patologis sel epitel
tubulus mengalami pembengkakan, edema intestinal dan adanya sel epithelial
cost di tubulus. Sel epithelial cost tersebut akan menyebabkan obstruksi dari tubulus (ECO-USA, 2006).
Bagian ginjal yang terpapar karbon tetraklorida akan mengalami
nekrosis diantaranya adalah tubulus proksimal dan loop of henle, kerusakan
glomerulus dan pembengkakan membrane basal dan sel epithelial parietal
(ATSDR, 2005).
F. Metode Uji Nefrotoksik
Pendekatan terhadap dugaan adanya keruskan ginjal dilakukan dengan
anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik serta dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium menjadi penting karena
pemeriksaan ini menjadi penegas terhadap diagnosa yang ditetapkan.
Pemeriksaan laboratorium klinis bisa berupa urinalisis kemudian bisa
dilengkapi dengan pemerikasaan kimia darah berupa kadar kreatinin dan
ureum (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010; Sutedjo, 2006).
Yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan kadar ureum adalah
banyak faktor yang mempengaruhi kadar ureum dalam darah seperti asupan
perdarahan atau tidak, adanya infeksi, penggunaan obat khususnya steroid.
Hal-hal tersebut yang menjadi pertimbangan untuk menjadikan ureum sebagai
parameter utama terhadap penilaian fungsi ginjal (Laboratorium Amerind
Bio-Clinic, 2010; Sutedjo, 2006).
Kadar kreatinin darah bisa dijadikan parameter yang cukup terpercaya
karena faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin tidak terlalu kompleks.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah kadar kreatinin tidak dipengaruhi
intake makanan/ minuman, kenaikan/penurunanannya stabil maka dari itu parameter ini dianggap mudah untuk dipantau. Namun parameter ini
bergantung dari masa otot subjek uji sehingga perlu adanya pengontrolan
untuk kondisi ini (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010; Sutedjo, 2006).
G. Kreatinin
Kreatinin adalah hasil perombakan dari kreatin yang merupakan
senyawa dengan unsur nitrogen dan sering dijumpai dalam otot. Kreatin ini
akan difosforilasi oleh enzim kreatine fosfokinase (CPK, creatine phosphokinase) menjadi suatu senyawa fosfat yang kaya akan energi dan berperan dalam reaksi-reaksi yang memerlukan energi. Jadi kreatinin
merupakan produk akhir metabolisme kreatin otot yang disintesis di dalam
hati dan ditemukan dalam otot rangka serta aliran darah, kemudian
diekskresikan dalam urine (Widmann, 1995; Sutedjo, 2006).
Keberadaan kreatinin dalam darah dapat digunakan untuk
mendiagnosis fungsi ginjal secara kuantitatif dengan mengukur laju filtrasi
peningkatan kreatinin dalam darah tidak dipengaruhi diet dan pasokan cairan,
selain itu kenaikan/penurunan kreatinin dalam darah cenderung stabil/tidak
banyak berubah jika dibandingkan dengan kadar ureum, sehingga layak
dijadikan parameter kuantitatif fungsi ginjal. Kadar kreatinin utamanya
dipengaruhi oleh massa otot, maka dari itu kadar kreatinin darah pada laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010;
Sutedjo, 2006).
H. Infundasi
Infundasi merupakan salah satu metode ektraksi yang merupakan
sebuah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dalam pelarut cair
tertentu sehingga mampu terpisah dari bahan yang tidak larut dalam pelarut
tersebut. Infundasi termasuk dalam ekstraksi dengan cara panas karena dalam
prosesnya ditambahkan panas. Infundasi secara umum dilakukan untuk
menyari kandungan senyawa aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan
nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit. Hasil proses infundasi selanjutnya disebut infusa (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan RI, 1986).
I. Keterangan Empiris
Penelitian eksploratif untuk mengetahui adanya efek nefroprotektif
pemberian jangka panjang infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) pada
ginjal berdasarkan kadar kreatinin serum darah dan gambaran histologis ginjal
21 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental murni dengan
menggunakan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini
menggunakan subyek uji sebanyak 30 ekor yang dibagi acak dalam 6
kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol CCl4; 1 kelompok kontrol olive oil; 1 kelompok kontrol infusa biji Persea americana Mill.; dan 3 kelompok perlakuan dengan dosis infusa yang berbeda. Tiap kelompok terdiri
dari 5 ekor hewan uji.
B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama
a. Variabel bebas : Dosis infusa biji Persea americana Mill., merupakan
volume tertentu (mL) infusa biji Persea americana Mill., tiap kg berat badan
subjek uji yang digunakan.
b. Variabel tergantung : Penurunan kadar kreatinin serum tikus dan gambaran
histologis ginjal akibat pemberian jangka panjang infusa biji Persea
americana Mill. terhadap sel ginjal tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
2. Variabel pengacau
a. Variable pengacau terkendali : Kondisi hewan uji , yaitu tikus jantan galur
pemberian infusa biji Persea americana Mill. yaitu satu kali sehari selama
enam hari berturut-turut dengan waktu pemberian yang sama. Cara pemberian
senyawa pada tikus dilakukan secara peroral untuk infusa biji Persea
americana Mill. dan injeksi intraperitonial untuk karbon tetraklorida. Bahan uji yang digunakan berupa biji Persea americana Mill. yang diperoleh dari
Padang, Sumatra Barat.
b. Variabel pengacau tak terkendali : Kondisi patologis dari tikus jantan galur
Wistar yang digunakan sebagai hewan uji.
3. Definisi operasional
a. Infusa biji Persea americana Mill. 100% Infusa serbuk kering biji Persea
american Mill. didapatkan dengan cara menginfundasi 8 gram serbuk kering biji Persea americana Mill. dalam 100,0 ml air pada suhu 90oC selama 15 menit.
b. Penurunan kadar kreatinin pada serum tikus merupakan kemampuan
infusa biji Persea americana Mill. pada dosis tertentu untuk menurunkan
kadar kreatinin pada serum tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon
tetraklorida.
c. Gambaran histologis ginjal merupakan hasil penglihatan dan pembacaan
gambaran histologis ginjal tikus yang ditandai dengan ditemukannya infiltrasi
sel radang, fibrosa, cacat seluler seperti nekrosis sel epitel pada glomerulus,
dan pembengkaan sel tubulus proksimal yang menyebabkan penyempitan
C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama
a. Hewan uji yang digunakan berupa tikus jantan galur Wistar dengan umur 2-3
bulan dan berat badan 150-250 g yang diperoleh dari Laboratorium Imono
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
b. Serbuk biji Persea americana Mill. yang diperoleh dari Padang, Sumatra
Barat, Januari 2013.
2. Bahan kimia
a. Bahan nefrotoksin yang digunakan adalah karbon tetraklorida yang diperoleh
dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogakarta.
b. Air suling sebagai pelarut yang digunakan untuk pembuatan sediaan uji, yang
diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Toksikologi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
c. Aqua bidestilata yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis
Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
digunakan sebagai blanko pada pengujian kadar kreatinin pada serum,
d. Kontrol serum Kreatinin Cobas® (PreciControl ClinChem Multi 2)
Roche/Hitachi analyzer
e. Olive Oil merk Bertolli®
D. Alat dan Instrumen Penelitian
1. Alat-alat pembuat serbuk kering biji Persea americana Mill. antara lain :
oven, mesin penyerbuk, timbangan elektrik.
2. Alat-alat pembuat infusa biji Persea americana Mill. anatar lain : panci lapis
aluminium, heater, thermometer, gelas ukur, stopwatch, timbangan elektrik.
3. Alat-alat uji nefroprotektif anatar lain : Seperangkat alat gelas berupa Bekker
glass, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass®). Timbangan elektrik Mettler Toledo®, sentrifuge Centurion Scientific®, vortex Genie Wilten®, spuit per oral dan syringe 3 cc Terumo®, spuit intraperotonial dan syringe 1 cc Terumo®, pipa kapiler, tabung Eppendorf, Microlab 200 Merck®.
E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi biji alpukat (Persea americana Mill.)
Determinasi biji Persea americana Mill. dilakukan dengan cara
mencocokan ciri-ciri mikroskopis biji Persea americana Mill. dengan serbuk
yang diperoleh dari Padang, Sumatra Barat. Determinasi dilakukan oleh Bapak
Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Dosen Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Pengumpulan bahan
Bahan uji yang digunakan adalah biji Persea americana Mill. segar,
muda dan tidak terlalu tua. Biji yang digunakan sudah dalam bentuk serbuk
yang diperoleh dari wilayah Padang, Sumatera Barat.
3. Pembuatan serbuk
Biji Persea americana Mill. dicuci bersih di bawah air mengalir.
Setelah bersih, biji dikering anginkan hingga biji tidak tampak basah
kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 50° C selama
24 jam. Setelah kering biji dibuat serbuk dan diayak dengan ayakan nomor 40
supaya kandungan fitokimia yang terkandung dalam biji Persea americana
Mill. lebih mudah terekstrak karena luas permukaan serbuk yang kontak
dengan pelarut semakin besar.
4. Penetapan kadar air serbuk
Penetapan kadar air sederhana dilakukan dengan alat moisture balance.
Berdasarkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia
(1989). Sebanyak 5 g serbuk biji Persea americana Mill. kering dimasukkan
kedalam alat moisture balance, dan diratakan. Serbuk ditimbang dan dicatat
sebagai bobot sebelum pemanasan. Serbuk dipanaskan pada suhu 110oC selama 15 menit. Kemudian serbuk ditimbang lagi dan dicatat sebagai bobot
sesudah pemanasan. Selisih bobot sebelum dan sesudah pemanasan
merupakan kadar air dalam sampel yang diteliti.
5. Pembuatan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.)
Infusa biji Persea americana Mill. dibuat dengan konsentrasi 100%.
Sebanyak 8 g serbuk kering biji Persea americana Mill. dibasahi terlebih
aquadest. Campuran ini kemudian dipanaskan diatas heater selama 15 menit
dengan suhu 90oC. waktu 15 menit terhitung saat campuran mencapai suhu 90oC. Jika air hasil infusa tersebut kurang maka dapat ditambahkan air selagi panas melalui ampas rebusan hingga volume yang diinginkan tercapai.
6. Pembuatan larutan CCl4
Hasil penelitian Janakat dan Al-Merie (2002) menyatakan pembuatan
larutan Karbon tetraklorida dibuat dalam konsentrasi 50%. Larutan karbon
tetraklorida dalam olive oil dibuat dengan cara melarutkankan 50 ml karbon
tetraklorida ke dalam olive oil sebanyak 50 ml.
7. Uji pendahuluan a. Penetapan dosis toksin
Penetapan dosis nefrotoksin karbon tetraklorida. Pemilihan dosis
karbon tetraklorida dilakukan untuk mengetahui pada dosis berapa karbon
tetraklorida mampu menyebabkan kerusakan ginjal tikus yang ditandai dengan
peningkatan kadar kreatinin dalam serum darah paling tinggi. Dosis
nefrotoksik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada hasil orientasi
yang dilakukan dengan cara menginduksi hewan uji dengan karbon
tetraklorida dosis 2 mL/kgBB seacara i.p.
b. Penetapan dosis infusa biji Persea americana Mill.
Peringkat dosis didasarkan pada pengobatan yang biasa digunakan
pada masyarakat yaitu ± 2 sendok makan (4 g) serbuk biji Persea americana
adalah 4 g/70 kgBB manusia. Konversi dosis tikus (manusia 70 kg ke tikus
200g) = 0,018.
Dosis untuk 200 g tikus = 0,018 x 4g = 0,72 g/200 g BB = 360
mg/kgBB.
Hasil orientasi infusa menunjukkan bahwa konsentrasi maksimal
infusa biji Persea americana Mill. yang dapat dibuat adalah 8 g/ 100 ml,
dengan asumsi berat badan hewan uji maksimal adalah 350 g, dan volume
maksimal pemberian infusa secara p.o = 5 ml
Berdasarkan perhitungan,
D x 350 g = 8 g/ 100ml x 5 ml
D = 1142,86 mg/kg BB, selanjutnya dosis ini disebut dosis tinggi perlakuan.
Untuk mendapatkan dosis tengah perlakuan, terlebih dahulu dihitung
faktor kelipatan dari doisi rendah dan dosis tinggi yang sudah diperoleh.
Perhitungan faktor kelipatan adalah sebagai berikut :
N = Jumlah peringkat dosis yang digunakan. Penelitian ini menggunakan 3
peringkat dosis maka n=3, sehingga perhitungannya sebagai berikut :
(Faktor kelipatan)
Berdasarkan faktor kelipatan yang diperoleh maka dosis tengah dan dosis
rendah perlakuan ditentukan sebagai berikut,
D = 1142,86 mg/ kgBB : 1,78 = 642,06 mg/ kgBB (dosis tengah)
c. Penetapan waktu pengambilan darah
Untuk menentukan waktu pengambilan darah yang mampu
menggambarkan kondisi ginjal berdasarkan parameter kreatinin pada serum,
dilakukan orientasi dengan cuplikan serum dari jam 0, 24 dan 48 jam setelah
pemejanan karbon tetraklorida untuk melihat kadar kreatinin pada serum tikus.
Orientasi dilakukan pada satu kelompok perlakuan namun dipantau kadar
kreatinin pada waktu ke-0, 24 dan 48 jam setelah pemejanan karbon
tetraklorida. Digunakan 4 tikus untuk satu kelompok perlakuan orientasi.
Pengambilan darah dilakukan melalui sinus orbitalis. Setelah diambil darah
pada jam ke-0, 24 dan 48 jam, kemudian serum diukur kadar kreartininnya.
Waktu di mana kadar kreatinin serum menunjukkan nilai paling maksimal
dijadikan sebagai waktu pengambilan sampel darah.
8. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Sejumlah tiga puluh ekor tikus dibagi secara acak ke dalam enam
kelompok perlakuan masing-masing sejumlah lima ekor tikus.
a. Kelompok I (kontrol hepatotoksin) diberi larutan karbon tetraklorida : olive oil (1:1) dosis 2 ml/kgBB secara i.p.
b. Kelompok II (kontrol ekstrak) diberi infusa biji Persea americana Mill. dosis 1142,86 mg/kgBB selama enam hari berturut-turut secara per oral.
c. Kelompok III (kontrol olive oil) diberi olive oil dosis 2 mL/kgBB secara i.p.
d. Kelompok IV (dosis 360,71 mg/kgBB) diberi infusa biji Persea americana Mill. secara per oral sekali sehari selama enam hari berturut-turut.
e. Kelompok V (dosis 642,06 mg/kgBB) diberi infusa biji Persea americana Mill. secara per oral sekali sehari selama enam hari berturut-turut.
f. Kelompok VI (dosis 1142,86 mg/kgBB) diberi infusa biji Persea americana Mill. secara per oral sekali sehari selama enam hari berturut-turut.
Pada hari ke tujuh kelompok IV-VI diberi larutan karbon tetraklorida
dosis 2 ml/kgBB secara intraperitonial. Setelah 48 jam paska induksi CCl4 tikus diambil darahnya melalui sinus orbitalis mata, dan diukur kadar kreatinin
serum. Selanjutnya hewan uji yang sudah diambil sampel darahnya
dikorbankan untuk diambil organ ginjalnya kemudian disimpan dalam larutan
formalin 10% untuk selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histologis
ginjal.
9. Pembuatan serum
Darah diambil melalui bagian sinus orbitalis mata tikus, kemudian
ditampung dalam tabung Eppendorf. Darah didiamkan selama kurang lebih 15
menit. Darah disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm dan
bagian supernatannya diambil.
10. Pengukuran kadar kreatinin pada serum
Alat yang digunakan untuk mengukur kadar kreatinin serum adalah
Mikrolab 200 Merck®. Kadar kreatinin dinyatakan dengan satuan mg/dl. Pengukuran kadar kreatinin serum dilakukan di laboratorium Biokimia
a. Penetapan kadar kreatinin serum kontrol. Bertujuan untuk validitas dan
reliabilitas alat yang digunakan. Analisis dilakukan dengan cara
mencampur 1000 μL reagen I, kemudian dicampurkan 50 μL serum kontrol, didiamkan selama lima menit. Setelah itu, ditambahkan 250 μL
reagen II dan dibaca resapan setelah satu menit. Pengukuran kontrol serum
digunakan untuk mengetahui validasi alat yang digunakan.
b. Penetapan kadar kreatinin serum. Analisis serum kreatinin dilakukan
dengan cara mencampur 1000 μL reagen I, kemudian dicampurkan 50μL serum, didiamkan selama lima menit. Setelah itu, ditambahkan 250μL
reagen II dan dibaca resapan setelah satu menit.
11. Pembuatan preparat histologi ginjal
Tikus dibedah kemudian diambil organ ginjalnya dengan
menggunakan pinset dan gunting bedah, kemudian organ dicuci terlebih
dahulu menggunakan NaCl 0,9% dan dimasukkan kedalam formalin 10%
untuk diawetkan. Pembuatan preparat histologi dan pemeriksaan preparat
histologis dilakukan di Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hasil pembacaan disajikan dalam bentuk
fotomikroskopik sebagai data kualitatif.
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data kadar kreatinin serum diuji dengan Kolmogorov-Smirnov untuk
mengetahui distribusi data dan analisis varian untuk melihat homogenitas
Diperoleh data terdistribusi normal dan homogen maka dilanjutkan
dengan analisis variansi pola searah (ANOVA one way) dengan taraf
kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok.
Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk melihat perbedaan antar
kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak
signifikan) (p>0,05).
Pemeriksaan preparat histologi ginjal dilakukan secara kualitatif
deskriptif dengan membandingkan kondisi histologis kelompok kontrol
dengan kelompok perlakuan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa biji
Persea americana Mill. terhadap kerusakan ginjal pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.
Perhitungan persen efek nefroprotektif terhadap karbon tetraklorida
sebagai senyawa model penginduksi kerusakan ginjal diperoleh dengan
32 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka
panjang infusa biji Persea americana Mill. terhadap efek nefroprotektif pada tikus
jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida yang ditinjau dari kadar
kreatinin serum serta gambaran histologis ginjal. Lebih spesifik, tujuan khusus
penelitian ini adalah membuktikan pemberian infusa biji Persea Americana Mill.
mampu memberikan efek nefroprotektif serta mengetahui besarnya dosis infusa
biji Persea americana Mill. yang mampu memberikan efek nefroprotektif pada
tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
Hasil penelitian yang akan dibahas adalah sebagai berikut determinasi biji
Persea americana Mill., penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill., pemeriksaan kadar kreatinin serum, serta pemeriksaan histologis ginjal tikus.
A. Determinasi Biji Persea americana Mill.
Tahap awal penelitian ini adalah melakukan pemeriksaan terhadap serbuk
biji Persea americana Mill. yang diperoleh dari Padang, Sumatera Barat melalui
determinasi. Determinasi ditujukan untuk memastikan bahwa serbuk biji yang
digunakan pada penelitian adalah benar biji Persea americana Mill. Determinasi
dilakukan dengan cara mencocokkan kesamaan ciri serbuk (Lampiran 13) yang
digunakan dalam penelitian terhadap serbuk biji Persea americana Mill. yang
Universitas Sanata Dharma. Hasil determinasi membuktikan bahwa benar serbuk
biji yang digunakan dalam penelitian adalah biji Persea americana Mill.
(Lampiran 4)
B. Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air ini dilakukan untuk mengetahui banyaknya air yang
terkandung dalam serbuk simplisia biji Persea americana Mill.yang selanjutnya
dinyatakan dalam satuan persen, sehingga memenuhi persyaratan kandungan
kadar air serbuk yang baik. Menurut Direktorat Jendral Bina Kesehatan (2008)
dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK./VII/1994 tentang
Persyaratan Obat Tradisional, menyatakan bahwa standar kadar air maksimum
simplisia adalah 10%.
Proses penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill. dilakukan
dengan alat moisture balance menggunakan metode Gravimetri. Sejumlah serbuk
dipanaskan pada suhu 110oC selama 15 menit. Pemanasan dilakukan pada hingga suhu 110oC agar kandungan air yang ada dalam serbuk simplisia menguap dan dengan estimasi waktu 15 menit dianggap bahwa kadar air dalam serbuk biji
Persea americana Mill. persyaratan parameter standar. Hasil perhitungan menunjukkan serbuk biji Persea americana Mill.memiliki kadar air sebesar 7,4%.
Hasil tersebut menunjukkan serbuk biji Persea americana Mill. memenuhi
C. Pembuatan Infusa Biji Persea americana Mill.
Metode infusa dipilih sebagai cara ektraksi serbuk biji Persea americana
Mill. karena proses pembuatan infusa memiliki prinsip yang sama dengan cara
penggunaan serbuk biji Persea americana Mill. yang lazim digunakan
masyarakat.
Berdasarkan hasil orientasi, diperoleh konsentrasi maksimal serbuk biji
Persea americana Mill. yang mampu menghasilkan infusa adalah 8 g dalam 100 mL aquadest. Hasil infundasi 8 g serbuk biji Persea americana Mill. dalam 100
mL aquadest adalah sejumlah ± 80 mL infusa serbuk biji Persea americana Mill.
yang selanjutnya ditambahkan sejumlah aquadest panas melalui ampas proses
infundasi sehingga menghasilkan volume total infusa sebesar 100 mL.
D. Penentuan Dosis Infusa
Tujuan penetapan dosis infusa adalah untuk menentukan besar atau
banyaknya pemejanan infusa sebagai bahan yang hendak dilihat pengaruhnya
pada kelompok perlakuan. Ditetapkan dosis infusa sebagai dosis rendah adalah
dosis penggunaan serbuk biji Persea americana Mill. di masyarakat yaitu 2
sendok makan (4 g) serbuk biji Persea americana Mill. yang direbus dengan 250
mL air, maka dianggap dosis penggunaan pada manusia adalah 4 g/70 kgBB
manusia sehingga dibutuhkan konversi dosis penggunaan pada tikus, dan
dihasilkan konversi dosis pada tikus yaitu 360,71mg/ kgBB tikus.Penelitian ini
perhitunga diperoleh tiga peringkat dosis secara berturut yaitu 360,71; 642,06; dan
1142,86 g/kgBB.
E. Penentuan Dosis Nefrotoksik Karbon Tetraklorida
Dosis nefrotoksikn ditentukan untuk menentukan jumlah dosis karbon
tetraklorida yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal yang ditandai
dengan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum serta didukung dengan hasil
gambaran histologis ginjal. Dosis yang digunakan berdasarkan hasil orientasi
yang telah dilakukan pada empat ekor hewan uji yang diinduksikan senyawa
model penginduksi kerusakan ginjal yaitu karbon tetraklorida sebesar 2mL/kgBB.
Hasil orientasi menunjukkan bahwa 2mL/kgBB karbon tetraklorida sudah
menimbulkan efek nefrotoksik yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin
serum.
F. Penentuan Waktu Pengambilan Darah
Waktu pencuplikan darah perlu ditetapkan dengan tujuan untuk
mengetahui jangka waktu karbon teraklorida dosis 2mL/kgBB dapat memberikan
efek kerusakan ginjal (nefrotoksik) yang maksimal berdasarkan kenaikkan kadar
kreatinin serum. Karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB diinduksikan pada tikus
kemudian tikus diambil darahnya dengan selang waktu pencuplikan darah 0, 24,
Tabel II. Rata-rata kadar kreatinin serum tikus pasca induksi karbon tetraklorida
dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam (n = 4)
Selang waktu (jam)
Rerata kadar kreatinin serum ± SE (mg/dL)
0 0,35 ± 0,03 24 0,53 ± 0,05 48 1,00 ± 0,07 72 0,45 ± 0,03
Gambar 7. Diagram batang rata-rata kadar kreatinin serum tikus pasca induksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48,
dan 72 jam
Berdasarkan tabel II dan gambar 7, hasil analisis variansi satu arah data
kadar kreatinin serum tikus menunjukkan nilai signifikansi 0,000 (<0,05) artinya
data keempat kelompok tersebut memiliki perbedaan. Kebermaknaan perbedaan
antar kelompok tersebut selanjutnya diuji dengan uji Scheffe. Hasil analisis uji
Scheffe tersaji pada tabel III.
Tabel III. Hasil uji Scheffe kada kreatinin serum tikus pasca induksi karbon
tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam.
Selang waktu (jam) 0 24 48 72
0 TB B TB
24 TB B TB
48 B B B
72 TB TB B
Keterangan : B = Berbeda bermakna (p≤0,05); TB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Verweij, Fronius, Stuurman, Triet, Hattum, Vries, dan Pinedo (1988)
melaporkan bahwa kadar normal kreatinin serum adalah 0,43 – 0,70 mg/dL.
Pada tabel I, terlihat bahwa kadar kreatinin serum yang paling tinggi terjadi pada
jam ke 48 (1, 000 ± 0,071 mg/dL) dan menurut hasil uji Scheffe peningkatan kadar
kreatinin serum yang terjadi adalah signifikan dan berbeda bermakna
dibandingkan dengan data kadar kreatinin jam ke 0, 24 dan jam ke 72. Pada
selang waktu pencuplikan jam ke 72 terjadi penurunan kadar kreatinin serum
(0,581 ± 0,068) yang secara statistik berbeda tidak bermakna terhadap jam ke 0,
artinya kadar kreatinin pada jam ke 72 sudah kembali normal. Berdasarkan analisa
tersebut ditetapkan kadar puncak kreatinin pasca induksi karbon tetraklorida dosis
2 mL/kgBB pada jam ke 48 dan dijadikan sebagai waktu pencuplikan darah.
G. Penetapan Lama Pemejanan Infusa Biji Persea americana Mill.
Penetapan lama pemejanan infusa biji Persea americana Mill. berdasarkan
penelitian Windrawati (2012) efek proteksi ekstrak air daun Macaranga tanarius
L. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida, diberikan praperlakuan pemejanan
ekstrak selama 6 hari berturut-turut dan pada hari ke 7, hewan uji diberi senyawa
toksin, karbon tetraklorida 2 mL/kgBB, untuk mengkondisikan kerusakan hepar.
H. Hasil Uji Efek Nefroprotektif Infusa Biji Persea americana Mill.
Penelitian ini meninjau kadar kreatinin serum tikus jantan terinduksi
karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB yang sebelumnya dipejankan infusa biji
melihat efek nefroprotektif infusa biji Persea americana Mill. Berdasarkan data
kadar kreatinin serum yang dianalisis dengan analisis variansi satu arah
menunjukkan bahwa antar kelompok terdapat perbedaan dengan signifikansi
0,000 (<0,05). Kebermaknaan perbedaan antar kelompok dibuktikan dengan uji
Scheffe (tabel IV). Data kadar kreatinin serum tersaji dalam bentuk rerata ± SE pada tabel IV serta gambar 8.
Tabel IV. Rerata ± SE kadar kreatinin serum tikus praperlakuan infusa biji
Persea americana Mill. terinduksi karbon tetraklorida dosis 2mL/kgBB (n = 5)
Kelompok Perlakuan
Rerata kadar kreatinin serum ±
SE (mg/dL) I Kontrol karbon tetraklorida dosis
2mL/kgBB 1,00 ± 0,06
II Kontrol negative olive oil 0,58 ± 0,02
III Kontrol infusa 1142,86 mg/kgBB 0,58 ± 0,02
IV Infusa 360,71 mg/kgBB + karbon tetraklorida 2 mL/kgBB 0,58 ± 0,02 V Infusa 642,06 mg/kgBB + karbon tetraklorida 2 mL/kgBB 0,66 ± 0,03 VI Infusa 1142,86 mg/kgBB + karbon tetraklorida 2 mL/kgBB 0,74 ± 0,09
Gambar 8. Diagram batang rata-rata kadar kreatinin serum tikus praperlakuan infusa biji Persea Americana Mill. 1x sehari selam 6 hari
terinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB Keterangan :
Dosis 1 = 360,71 mg/kgBB Dosis 2 = 642,06 mg/kgBB Dosis 3 = 1142,86 mg/kgBB