• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI KEBHINEKAAN SISTEM KOSMOLOGI HINDU KAHARINGAN DALAM PENGOBATAN TRADISIONAL SUKU DAYAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI KEBHINEKAAN SISTEM KOSMOLOGI HINDU KAHARINGAN DALAM PENGOBATAN TRADISIONAL SUKU DAYAK"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI KEBHINEKAAN SISTEM KOSMOLOGI HINDU KAHARINGAN DALAM PENGOBATAN

TRADISIONAL SUKU DAYAK KADEK SUKIADA

Dosen STAHN-TP Palangka Raya E-mail: kadeksukiada@yahoo.com

ABSTRACT

As one of many ethnic groups living in Indonesia, the Dayak Kaharingan type of Hinduism had long developed through generations a traditional healing treatment system using medicine known as obat kampung (a locally self-concocted kind of medicine). The person who runs it is called tabit or lasang (kind of shaman). Despite the fast progression in modern medical science and technology, the tatambanobat kampung still plays an important role as an alternative choice due to the belief running in the society that tabit or lasang has a supernatural ability to make a relationship to the spirit world which is believed to be able to protect the society against illness. Keywords: Kosmologi System, Dayak Traditional Medical, Kaharingan Hinduism.

ABSTRAK

Sebagai salah satu etnik yang hidup di Indonesia, tipeHinduisme Dayak Kaharingan telah lama mengembangkan pengobatan tradisional menggunakan obat yang diketahui sebagai obat kampung (obat lokal). Orang yang bergerak dibidang itu disebut tabit atau lasang (sejenis saman). Disamping perkembangan cepat dari teknologi dan ilmu obat modern, tatmbanobat kampung masih memainkan alat penting sebagai pilihan alternatif oleh karena kepercayaan yang berjalan di masyarakat bahwa tabit atau lasang memiliki kemampuan supernatural untuk berhubungan dengan spirit dunia yang dipercayai mampu melindungi masyarakat melawan penyakit.

Kata Kunci: sistem kosmologi, obat Sayak Tradisional, Hinduisme Kaharingan

I. PENDAHULUAN

Masyarakat suku Dayak Ngaju Kalimantan secara umum memiliki kepercayaan yang disebut Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan telah bergabung (berintegrasi) dengan agama Hindu pada tahun 1980 sehingga masyarakat suku Dayak Kaharingan di Kalimantan Tengah menyebut identitas agamanya dengan sebutan agama Hindu Kaharingan. Suku Dayak dalam kepercayaan Hindu Kaharingan (untuk selanjutnya disebut suku DHK) memiliki keyakinan bahwa alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang bersifat nyata (fisik) dan dapat ditangkap denganpanca indra serta bersifat tidak nyata (non fisik) yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra, tetapi dipercaya ada. Alam semesta sebagai kesatuan kehidupan terwujud dalam dua kosmos, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos (Sukiada, 2016:11-12).

Hal tersebut, sejalan dengan pandangan Kumbara, (2013: 3) menyatakan sebagai berikut.

―Makrokosmos merupakan suatu wadah keseimbangan dunia yang amat besar tak terhingga, tetapi tetap diakui memiliki batas yang jelas dengan keadaan yang bersifat teratur dan tetap memusatkan

(2)

Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017 115 diri dengan Tuhan sebagai pusat pengendali keseimbangan alam sermesta. Sebaliknya, mikrokosmos adalah manusia itu sendiri yang merupakan reflika dari makrokosmos dengan unsur-unsur alam sebagai inti kehidupan‖.

Manusia merupakan reflika dari makrokosmos dan memiliki kemampuan untuk mencipta, namun mereka pun menyadari keterbatasan akan kemampuannya dan tidak pernah bisa menolak kehendak-Nya. Dalam kehidupan masyarakat suku DHK, penggambaran keterbatasan manusia dihadapan-Nya terefleksi dalam sebutan Ranying Hatala Langit.

Dalam kosmologi (bagian ilmu astronomi, asal-usul jagat raya) berkenaan dengan konsepsi orang suku DHK tentang Tuhan atau Ranying Hatala Langit, dipandang sebagai segala sumber yang ada di dunia, atau menciptakan semua yang ada di jagad raya ini, termasuk berbagai jenis penyakit dan obatnya. Dengan mengacu pada konsepsi itu, maka masyarakat suku DHK secara global menggolongkan jenis dan penyebab sakit menjadi dua, yaitu penyakit yang bersifat fisik dan nonfisik, demikian juga penyebabnya ada yang dipandangkarena faktor yang bersifat alamiah (naturalistik), ada juga yang bersifat nonalamiah (personalistik), dan supranaturalistik, ataugabungan dari kedua atau ketiganya.

Pola tingkah laku tersebut sejalan dengan pandangan sistem teori penyakit yang disampaikan oleh Foster dan Anderson (1986:46) sebagai berikut.

―Sistem-sistem teori penyakit yang berkenaan dengan kausalitas, penjelasan yang diberikan oleh penduduk mengenai hilangnya kesehatan dan penjelasan mengenai pelanggaran tabu, mengenai pencurian jiwa orang, mengenai gangguan keseimbangan antara panas dingin dalam tubuh atau kegagalan pertahanan organ manusia terhadap agen-agen pantogen seperti kuman-kuman dan virus‖.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sejauh mana masyarakat suku DHK memiliki kepercayaan-kepercayaan terhadap munculnya suatu penyakit yang disebabkan oleh dewa-dewa supranatural dan makhluk-makhluk yang diduga mendatangkan penyakit. Kepercayaan tersebut dalam masyarakat suku DHK terjalin sangat erat dengan magi dan religi sehingga mitologi dalam hal tersebut juga penting untuk menjelaskan kosmologi mengenai alam dewa-dewa supranatural dan keberadaan makhluk-makhluk gaib seperti yang telah disebutkan.

Konsep sehat sakit (barigashaban) suku DHK muncul dari pemahaman tentang makrokosmos dan mikrokosmos. Suku DHK percaya bahwa makrokosmos dan mikrokosmos merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, tetapi harusdijaga agar tetap dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi ketidak-seimbangan, maka diyakini akan memunculkan gangguan-gangguan berupa penyakit.

Alam semesta dalam pandangan suku DHK berasal dari Tuhan (Ranying Hatalla), yang pada mula ciptaannya dibantu oleh dewa dan dewi yang mirip dengan-Nya (manifestasi Ranying Hatalla). Menurut suku DHK, manusia berasal dari Tuhan, yang turun ke bumi setelah alam ini terbentuk. Keberadaan manusia

(3)

yang diturunkan Tuhan (Ranying Hatalla) dari langit hanya semata untuk merawat Bumi agar tidak rusak. Konsepsi ini telah meletakkan manusia sebagai aktor yang memiliki posisi yang sangat penting bagi alam (Yusran, 2004:157). Oleh karena itu, dalam kehidupannya manusia tidak boleh bertindak sesuka hati dalam mengelola alam ini. Larangan untuk tidak melakukan berbagai kerusakan di Bumi ini didorong oleh sebuah pemahaman bahwa alam ini berasal dari Tuhan sama dengan manusia. Upaya merusak alam sama halnya dengan merusak diri sendiri karena alam lebih dahulu diciptakan daripada manusia. Tuhan menciptakan alam karena keperluan dan kebutuhan manusia.

II. Sistem Kosmologi Suku DHK

Kosmologi suku DHK sangat erat hubungannya dengan asal usul penciptaan alam semesta beserta isinya. Dari segi mitologi selama ini nenek moyang mereka diwarisi dari generasi-generasi dengan cara lisan dan tulisan. Kosmologi lisan masyarakat suku DHK mengenai penciptaan alam beserta isinya berawal dari mitologi leluhurnya dalam tetek tatum yang menyebutkan bahwa Ranying Hatalla merupakan awal dari segala kejadian di dunia dan mengadakan segala yang ada di dunia melalui manifestasi-manifestasi ciptaannya. Sebaliknya, dalam kosmologi tulisan mengenai penciptaan disebutkan dalam isi kitab Panaturan. Kitab Panaturan menyebutkan bahwa keberadaan Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau berhubungan dengan penciptaan roh, penciptaan alam semesta, penciptaan raja dan kameluh, serta pedoman kehidupan dan kematian (ajaran tentang bagaimana manusia kembali kepada Ranying Hatalla).

Konsepsi kepercayaan suku DHK terhadap alam semesta beserta isinya merupakan ciptaan Sang Mahagaib. Sang Mahagaib tersebut lebih berkuasa dibandingkan dengan makhluk bumi. Dialah yang mengendalikan alam raya beserta isinya. Manusia harus tunduk dan patuh terhadap apa yang menjadi kehendak penguasa alam ini. Perbuatan manusia yang menentang arus kepercayaan itu akan mengakibatkan penguasa alam raya ini murka. Akibatnya, manusia akan menderita akibat murkanya. Untuk menghindari hal tersebut, maka suku DHK mengadakan ritual atau berbagai upacara agar tetap dapat menjaga keharmonisannya dengan penguasa alam gaib.

Demikian halnya, system keyakinan terhadap sehat sakit (barigashaban) dalam tradisi suku DHK, tampak dalam sistem kosmologi Suku DHK yaitu tentang harmonisasi manusia dan alam Suku DHKserta pelestarian budaya. Kosmologi suku DHK yang digolongkan menjadi dua golongan, yaitu kosmologi lisan dan tulisan, popular dalam masyarakatnya sebagai berikut.

2.1 Kosmologi Lisan Tetek Tatum

Kosmologi lisan tetektatum adalah cerita tentang para dewa dan dewi (raja dan kameluh) dari tetua suku Dayak kepada masyarakatnya (orang tua kepada anaknya) yang berlangsung secara regenerasi. Hal tersebut menjadi falsafah hidup sejak nenek moyang mereka. Kecintaan terhadap alam semesta dan keyakinan tentang adanya hukum yang digerakkan oleh kekuatan alam gaib mendorong mereka untuk melakukan berbagai ritual sebagai

(4)

Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017 117 bentuk penghormatan dan sarana komunikasi dengan dunia alam gaib dan roh para leluhurnya.

Dari pandangan tersebut, diungkapkan bahwa keyakinan suku DHK terhadap para dewa (raja) ini dituangkan dalam bentuk simbol, yang disebut dengan batang garing. Pemberian simbol tersebut merupakan hasil konvensi atau kesepakatan masyarakat suku DHK sesuai dengan makna yang terkandung dalam simbol batang garing. Batang garing merupakan simbol alam para dewa (raja) yang berkuasa atas ketiga lapisan alam tersebut. Simbol batang garing dikaitkan dengan kepercayaan Uluh Dayak terhadap alam atas, alam tengah, dan alam bawah ini dikarenakan adanya unsur konvensi dan legitimasi simbol yang sudah dilegitimasi dengan jumlah aturan legal dan tidak dapat diubah begitu saja, kecuali atas kesepakatan kelompok. Dengandemikian suku Dayak memberikan arti dari simbol batang garing tersebut berdasarkan kesepakatan masyarakat pendukungnya‖.

Batang garing diyakini merupakan awal terjadinya ciptaan di dunia oleh para dewa-dewa. Sejalan dengan hal tersebut, Nila (2003:529) mengatakan sebagai berikut.

“Pohon batang garing dalam ―tetek tatum” merupakan awal penciptaan dunia beserta isinya, dalam tetek tatum disebutkan bahwa saat Ranying Hatalla sedang melepas dan melempar selatup atau lawung (ikat kepala) yang terbuat dari emas, intan, dan permata tiba-tiba lawung tersebut berubah menjadi dua batang pohon besar dengan buah dan daun dari emas, intan, dan permata‖.

Pohon itu diberikan nama batang garing tinggang dan bungking sangalang.Pohon batang garing diyakini sebagai simbol dari dunia (alam) yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu alam atas, pantai danum kalunen (bumi), dan alam bawah. Suku DHK memberikan gambaran bahwa antara alam atas, bumi, dan alam bawah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dari implikasi sosial yang ada, orang DHK sangat menghormati dan menghargai lingkungan alam tempat tinggal mereka.

Bentuk keyakinan ini tercermin dalam aktivitas keseharian, terutama dalam kehidupan keberagamaan masyarakat suku DHK. Keyakinan tersebut, baik dalam hal ritual keagamaan maupun dalam kehidupan sosial masyarakat suku DHK. Hal itu sejalan dengan konsep keyakinan terhadap alam semesta (dunia) menurut ajaran agama Hindu yaitu dengan sebutan alam bawah (bhur), alam tengah (bwah) dan alam atas (swah). Ketiga alam ini diyakini sebagai tempat keberadaan para manifestasi Tuhan (dewa). Pernyataan ini dipertegas dalam sloka Reg Weda (Adiaya III, sloka 62, 10 dan Yayur Weda XVI, sloka 3) sebagai berikut.

“Om Bhur Bwah Swah, tat sawitur warenyam, bhragode wasa dimahi dyoyonah pracodhayat” Artinya:

Hyang Widhi penguasa ketiga dunia ini, yang mahasuci dan segala sumber kehidupan, sumber segala cahaya, semoga dilimpahkan

(5)

kepada budi nurani kami, penerangan sinar cahaya-Mu yang mahasuci.

Sloka Reg Weda tersebut popular dikenal dengan doa GayatriMantra, yang diyakini sebagai wedamata (ibu dari semua mantra Weda). Keampuhandari WedaMata ini mampu memberikan kesembuhan bagi penderita sakit, memberikan kesuburan tanaman, dan mantra ini juga diucapkan pada bayi yang baru lahir. Maksudnya, agar kelak bayi tersebut dapat hidup dengan selamat sampai ajal menjemputnya (Putra, 2014:7).

Hal tersebut, mengungkapkan bahwa ada keyakinan yang sama terhadap keberadaan manifestasi-manifestasi Tuhan dalam wujud para dewa sebagai pengendali alam semesta beserta isinya.Terkait dengan alam para dewa dan penguasaannya di dunia, dalam dunia pengobatan tradisional diyakini keberadaan dewa-dewa tersebut sebagai penganugerah kesembuhan dan pengetahuan pengobatan. Seperti apa yang disebutkan Yasa (2003: 7--9) sebagai berikut.

―Dewa merupakan sinar suci Tuhan yang memiliki sifat dan kemampuan yang berbeda-beda. Dalam Hindu ada tiga dewa yang memegang peranan penting pada kehidupan manusia yang disebut dengan Tri Murti, diantaranya Dewa Brahma dikenal sebagai dewa pencipta seluruh alam semesta (dewa utpatti), Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara dunia beserta isinya, dan Dewa Siwa sebagai pelebur dunia. Artinya, sesuatu yang mengalami kelahiran pada waktu yang telah ditentukan juga akan mengalami kematian (peleburan)‖

Lebih lanjut diutarakan bahwa Dewa Daksa Prajapati merupakan dewa yang primordial kreatif, dewa yang dijuluki sebagai anak Dewa Brahma. Dewa Daksa Prajapati menyalurkan ilmunya kepada dewa kembar Aswin. Dewa Kembar Aswin ini kemudian dikenal sebagai dokter suci di surga. Dewa Aswin merupakan simbol dualisme yang bekerja dalam satu kesatuan, energi dari bulan yang berasal dari Dewa Siwa dipusatkan pada diri Dewa Aswin. Dewa Aswin akhirnya dikenal sebagai dewa pengetahuan pengobatan yang diturunkan dari Dewa Indra. Dewa Indra mewakili tingkat pada energi yang ditranmisikan atau disalurkan melalui perasaan. Dewa Indra mengalihkan pengetahuannya kepada Reshi Kasyapa dan Dhanvantari.

Dalam dunia pengobatan suku DHK, dewa-dewa yang dipanggil untuk memohon pengobatan adalah sebagai berikut.

Dewa-dewa dalam alam sangiang, seperti Raja Sapanipas,Raja Tuntung Taseng. Raja Sapanipas untuk memohon bantuan kepada dewa sangiang, misalnya kecurian, dimohonkan kepada rajasapanipas untuk memberitahukan pelaku pencurian. sedangkan Raja Tuntung Taseng untuk memohon panjang umur, misalkan orang yang sedang sakit keras, dimohonkan kepada Raja Tuntung Taseng agar diberikan kesembuhan dan umur yang menderita sakit tersebut ditambahkan umurnya (Sukiada, 2016: 162).

Pandangan tersebut menunjukkan bahwa pengobatan tradisional lebih dominan penanggulangan penyakit secara irasional, melalui pemujaan dewa-dewa yang dipanggil agar dapat membantu menanggulangi suatu penyakit. Dalam hal ini

(6)

Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017 119 masyarakat suku DHK sampai saat ini masih percaya, apabila mengidap suatu penyakit, sebelum atau sesudah datang ke dokter atau rumah sakit, mereka juga mencari pengobatan alternative dengan obat kampong melalui tabit-tabit (dukun-dukun) suku DHK.

2.2 Kosmologi Lisan Lime Sarahan

Selain mengenal keyakinan terhadap alam para dewa, masyarakat suku DHK juga memiliki amalan yang menjadi keyakinan (lime sarahan) dalam aktivitas keberagamaannya. Lime sarahan merupakan inti dari keyakinan umat Hindu Kaharingan. Lime sarahan terdiri dari dua suku kata yaitu lime dan sarahan, lime berarti lima sedangkan sarahan ini memiliki makna yang luas yaitu proses awal adanya kehidupan.Alam semesta beserta isinya diyakini memiliki unsur yang memberikan kehidupan. Unsur tersebut adalah Ranying Hatalla katamparan, Langit katambuan, petak tapajakan, nyalung kapanduyan, talata kapadudukan. Ranying Hatala Katamparan, Tuhan merupakan segala-galanya di dunia ini.

Lima unsur yang menjadikan penyebab adanya kehidupan tersebut terdiri atas air, api, udara, angin, dan eter. Dalam lime sarahan, langit merupakan unsur (api dan udara) dan bumi merupakan unsur (tanah) dan air (Nyalung Kapanduai) air yang dimaksud di sini adalah air kehidupan dalam bahasa Sangiang disebut danum nyalung Kaharingan belum.

Hal tersebut, sejalan dengan konsep unsur kehidupan dalam ajaran agama Hindu yaitu disebut dengan panca maha bhuta (lima unsur pemebentuk alam semesta beserta isinya). Hal itu, apabila dikaitkan akan tampak sebagai berikut. Ranying Hatala Katamparan merupakan unsur eter atau zat Tuhan. Tuhan adalah segala-galanya di dunia ini. Ia adalah Maha Pencipta (Raja Bunu), Mahakuasa (Raja Sangen), dan Maha Pelebur (Raja Sangiang). Langit Katambuan unsur akasa (angin, udara) di mana pun dalam menjalankan hidup, menyesuaikan dengan keadaan setempat, Petak tapajakan (merupakan unsur padat), artinya orang suku DHK meyakini unsur tanah memberikan sumber kehidupan bagi makhluk hidup di dunia karena makanan muncul dari tanah. Nyalung kapanduyan, unsur air juga merupakan sumber kehidupan bagi makhluk di dunia. Talata kapadudukanatau unsur energi (api) lingkungan merupakan tempat aktivitas kerja sehari-hari (menjalankan kewajiban). Unsur kehidupan yang ada pada ajaran keyakinan lime sarahan tersebut memiliki unsur yang sama dengan unsur kehidupan dalam ajaran agama Hindu, yaitu panca maha bhuta yang terdiri atas apah (zat padat), teja (air), bayu (energi, api), akasa (angin), dan eter (Sukiada, 2016: 78).

Sejalan dengan lima unsur kehidupan tersebut, para Maha Rsi Hindu menjadikan beberapa unsur dari lima unsur kehidupan sebagai dasar ilmu pengobatan. Para Maha Rsi dalam mendalami ilmu penyembuhan menggunakan ajaran tiga asas (dalam bahasa Sanskerta tri dosa) sebagai fondasi dasar tiga asas tersebut adalah api, air, dan udara (angin) yang merupakan unsur mendasar dalam kehidupan. Dalam Ayur Weda unsur angin, api, dan air diartikan secara terurut, yaitu vata, pitta, dan kapha. Ketiga asas Ayur Weda adalah pernyataan fisik dari tiga kecenderungan semesta atau triguna dari kosmos, yaitu tamas (inertia), rajas (bergerak terus),

(7)

dan keseimbangannya (satva). Bergerak terus dalam tingkatan fisik adalah vata, keseimbangan adalah pitta, dan inertia adalah kapha. Kecendrungan besar ini bertindak sebagai tiga asas yang mengendalikan kesehatan pikiran, analog dengan vata, pitta dan kapha dari badan. Pikiran disebut sehat apabila pikiran penuh dengan satva atau keseimbangan mental. Sebaliknya, dikatakan sakit apabila dipenuhi oleh rajas atau tamas, baik terlalu aktif maupun kurang aktif (Vasantlad dan Robert, 2007:9, 10).

Dari pemaparan keyakinan dalam tradisi suku DHK tersebut, terutama dalam konteks barigas haban (sehat sakit)dapat dianalisis bahwa yang dikatakan barigas (sehat) adalah adanya faktor keseimbangan dalam jiwa (rohani), (makrokosmos), (niskala), terkait dengan hubungan dengan Tuhan, roh-roh suci, dan makhluk yang tidak nyata (tidak dapat diamati dengan mata). Apabila ini terganggu keharmonisannya, maka akan menimbulkan sakit (haban). Demikian juga halnya dengan raga (fisik atau badan), (mikrokosmos), (sekala). Apabila dalam tubuh, yaitu antara panas dan dingin tetap dalam keadaan harmonis, maka badan akan tetap sehat (barigas). Sebaliknya, jika terjadi ketidakseimbangan antara panas dan dingin dalam tubuh, maka tubuh akan mengalami haban (sakit). Jadi, sebab-sebab terjadinya penyakit, baik fisik maupun nonfisik, dapat disimpulkan bahwa penyebabnya adalah hubungan keharmonisan, baik harmonisasi makrokosmos maupun harmonisasi mikrokosmos.

2.3. Kosmologi Lisan Telu Kapatut Belum

Pandangan suku DHK terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan alam terwujud dalam ajaran telu kapatut belum. Tiga relasi tersebut benar-benar harus dijaga keharmonisannya sebagai berikut. Pertama, hubungan manusia dengan Ranying Hatalla (Tuhan). Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, artinya beriman kepada Yang Tunggal yaitu Ranying Hatalla Langit. Kedua, hubungan manusia dengan manusia lainnya, baik secara kelompok maupun individu. Hatamuei Lingu Nalata. Artinya, saling mengenal, tukar pengalaman dan pikiran, serta saling menolong. Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit. Artinya, berlomba-lomba menjadi manusia baik agar diberkati oleh Tuhan di langit, serta bisa memandang dan menghayati kebesaran Tuhan. Ketiga, hubungan manusia dengan alam semesta. Ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan sempurna adalah manusia. Sehubungan dengan itu, manusia wajib menjadi suri teladan bagi segala makhluk lainnya. Keajaiban- keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla. Dengan demikian, segala makhluk semakin menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut disembah. Alam merupakan suatu tatanan harmoni dan terjadinya keharmonisan merupakan tanggung jawab manusia.

Masyarakat suku DHK sudah ada sejak awal manusia pertama. Hal tersebut sangat diyakini oleh masyarakat suku Dayak selama berabad-abad. Dalam siklus kehidupan, seperti pada saat kelahiran bayi, pemberian nama, pernikahan, bahkan hingga kematian pun mereka selalu melakukan apa yang digariskan oleh

(8)

Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017 121 Ranying Hatalla yaitu ritual keagamaan suku DHK. Berbagai ritual dilakukan oleh masyarakat suku Dayak sejak berabad-abad lampau. Hal itu terbukti dengan ditemukannya banyak sandung (tempat menyimpan tulang pada upacara Tiwah). Sandung terbuat dari kayu ulin yang tahan panas dan tahan air.

Sejak zaman leluhurnya suku DHK telah menyadari bahwa ada kekuasaan adikodrati yang menciptakan alam semesta ini beserta isinya. Di samping itu, dia menjaganya dengan tujuan agar manusia yang menghuni alam semesta tidak berbuat melampaui batas. Dalam konsepsi suku DHK, kuasa adikodrati dimaksud adalah Tuhan (Ranying Hatalla). Dialah sebagai sumber segalanya di dunia sebagai mahakarya di alam semesta termasuk manusia yang ada di dalamnya. Konsepsi inilah yang mengatarkan leluhur suku DHK untuk menyadari dan mengimplementasikan keyakinan itu melalui ritual, yang bertujuan sebagai bentuk penghormatan sekaligus sebagai media komunikasi dalam memohon apa saja yang menjadi kebutuhan manusia.

Kepercayaan suku DHK tersebut kemudian terlembaga dalam berbagai tata laku dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan lestari merupakan cerminan keberhasilan pengelolaan dan keharmonisan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang cukup erat, seperti yang telah disebutkan Prasiasa (2010:139) bahwa hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan sesamanya telah menjadikan budaya sebagai pedoman serta pandangan hidup dalam mengelola dan melestarikan lingkungan merupakan hal yang sangat penting.

Hubungan antara manusia, budaya, dan lingkungan merupakan suatu hubungan yang sangat erat dan saling bersinergi dalam pelestarian lingkungan. Pengembangan tradisi ritual dalam hal ini menyangkut kesehatan suku DHK selama ini memberikan dampak yang cukup positif bagi kelangsungan ekologi dan lingkungan alam yang lestari. Namun pada era modernisasi tradisi suku DHK tersebut dikhawatirkan akan mengalami pemudaran akibat proses global, berdampak negatif bagi kelestarian hutan dan ekologi pada masa mendatang.

Jadi konsep telu kapatut belum tersebut, apabila dihubungkan dengan konsep ajaran agama Hindu terkait dengan ajaran Tri Hita Karana.Tri Hita Karana adalah tiga hubungan harmonis yang harus dipelihara manusia, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan hendaknya harmonis, hubungan manusia dengan manusia hendaknya harmonis, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya juga harus dijaga keharmonisannya. Dengan mengamalkan ajaran tersebut tujuan ajaran agama Hindu akan tercapai, yaitu ―moksartham jagat ita ya cha iti dharma‖ dan melaksanakan kewajiban (dharma), maka kedamaian, ketenteraman, kebahagiaan, dan kesentosaan akan terasakan dalam hidup di dunia dan di akhirat.

Keseluruhan sistem pemikiran yang terdapat dalam ilmu suku DHK berpusat pada manusia sebagai satu kesatuan yang utuh, baik lahiriah maupun batiniah. Dari seluruh kemampuan yang dimiliki diformulasikan untuk kepentingan Tuhan, manusia, roh leluhur, makhluk-makhluk gaib, dan alam semesta demi

(9)

kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia. Ilmu suku DHK tersebut merupakan kajian-kajian atau mantra-mantra (magi), terutama untuk perlindungan diri terhadap roh-roh jahat, seperti hantuen, kuyang atau makhluk-makhluk gaib di sekitar lingkungan di mana mereka melaksanakan kehidupannya sehari-hari.

Terkait dengan ilmu suku DHK dalam bentuk magi tersebut, Swannel (1987) dalam Hermansyah (2010:39) mengartikan magi sebagai berikut.

―Seni mempengaruhi dengan mengontrol alam atau roh, permainan sulap, pengaruh luar biasa yang tidak bisa dijelaskan, sedangkan David dan Julia (1999) mendefinisikan magi sebagai upaya untuk menggerakkan agen-agen supranatural atau spiritual untuk mencapai hasil tertentu melalui ritual‖.

Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Dhavamony (1995:47) seperti di bawah ini.

―Magi merupakan kepercayaan dan praktik, yang diyakini oleh manusia dapat mempengaruhi kekuatan alam dan antara mereka sendiri dengan memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi‖.

Kepercayaan atas sesuatu yang lebih tinggi (roh gaib) dan praktik berupa mantra dan atau ritual tertentu menunjukkan manusia yakin bahwa hal itu dapat memengaruhi kekuatan alam manusia, bahkan kehendak Tuhan, baik untuk tujuan positif (baik) maupun tujuan negatif (jahat). Tindakan magi merupakan usaha untuk memanipulasi rangkaian sebab dan akibat antara peristiwa, yang secara logika tidak berhubungan dan bagi kebanyakan orang cara-cara tersebut tidak rasional.

Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa kajian telu kapatut belum sebagai bentuk seni untuk mengontrol kekuatan alam atau roh gaib agar bermanfaat bagi kehidupan manusia melalui hubungan harmonis dengan Tuhan, manusia, alam, dan roh-roh gaib yang berada dekat dengan lingkungan tempat manusia menjalankan kehidupan kesehariannya. Dalam kehidupan yang harmonis tersebut manusia dapat terhindar dari bencana sehingga kenyamanan dan kebahagiaan dapat lebih dirasakannya.

2.4. Kosmologi tulisan Panaturan dalam Konteks Sehat Sakit (Barigas Haban)

Kosmologi tulisan yang termuat dalam teks-teks Panaturan yaitu cerita alam semesta beserta isinya termasuk ilmu pengetahuan yang menjadi keyakinan masyarakat suku DHK. Suku DHK percaya bahwa manusia sama dengan asal mula alam raya, yaitu manusia diciptakan oleh Tuhan lalu diturunkan ke bumi (danum kalunen). Manusia yang berasal dari langit di atas turun dalam wujud tiga bersaudara. Akan tetapi, dua saudaranya kembali ke alam para dewa, sedangkan yang satu hidup di Danum Kalunen (bumi), sebagaimana layaknya kehidupan manusia. Tiga saudara tersebut bernama Raja Sangen, Raja Sangiang,dan Raja Bunu. Raja Sangen,dan Raja Sangiang,kembali ke alam para dewa, sedangkan Raja Bunu tetap berada di dunia. Raja Bunu diyakini sebagai leluhur manusia suku DHK di dunia.

(10)

Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017 123 Terkait dengan penciptaan dunia tersebut, Etika (2005:159) menyebutkan bahwa keberadaan Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau sebagai berikut.

“Padaawal penciptaan dunia, keadaan dunia sunyi senyap,

hanya ada Ranying Hatalla Langit, belum adanya tanda-tanda kehidupan. Dengan kekuasaan dan kekuatan Ranying Hatala Langit, maka keadaan yang sunyi senyap tersebut menjadi terang benderang sehingga terlihatlah oleh Ranying Hatalla wujud serupa atau sama dengan wujudnya. Kemudian wujud tersebut diberi nama Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan. Jatha artinya zat, berupa bayangan, yakni bayangan diri Ranying Hatalla”.

Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa awal penciptaan dunia tidak adanya suatu kehidupan di dunia, yang ada hanyalah Tuhan itu sendiri. Dalam keadaan tersebut Tuhan mempersonifikasikan dirinya dengan menciptakan para dewa dan dewi dalam menjalankan tugas-tugasnya di dunia dan penciptaan raja dan raksasa (setan). Penciptaandua hal yang berbeda ini merupakan simbol dalam kehidupan dunia, yaitu antara baik dan buruk, siang dan malam, yang selalu berdampingan. Unsur baik disimbolkan dengan antang datuh ngampuh pulau pulu dan tambun hai nipen pulau pulu, sedangkan unsur buruk atau jahat disimbolkan dengan Tambarirang Hai Marung Singkap Langit (Etika, 2005:167).

Segala bentuk, rupa, sifat memiliki klasifikasi unsur dualisme seperti halnya penciptaan Ranying Hatalla terhadap benda-benda angkasa diantaranya bulan, bintang, dan matahari. Terjadinya perubahan malam dan siang dan posisi bintang-bintang di angkasa berpengaruh terhadap perubahan musim kemarau dan penghujan. Penciptaan benda-benda angkasa tersebut juga berpengaruh terhadap hari baik dan hari buruk dalam hal pelaksanaan ritual. Keyakinan terhadap hari baik dan buruk dalam melaksanakan ritual adalah terhitung setelah bulan mati (tilem), dua belas hari sebelum purnama disebut hari baik dan tiga hari sebelum purnama sampai bulan mati disebut hari tapas, tidak baik (buruk) untuk melaksanakan ritual‖.

Demikian halnya dengan maksud diciptakannya raja dan kameluh. Penciptaan tersebut diawali dengan penciptaan tujuh wujud serupa Ranying Hatalla dengan sebutan ―raja uju hakanduang kanaruhan hanya basakati‖ yang artinya tujuh wujud (unsur) kekuasaan atau kekuatan Ranying Hatalla. Unsur-unsur ciptaan-Nya tersebut adalah Raja Janjalung Tatu Riwut dan Gambalan Raja Tanggara merupakan unsur benda-benda angkasa (eter). Berikutnya Sangkariang Nyaru Menteng adalah unsur api, Raja Tuntung Tahaseng merupakan unsur udara atau angin, Tamanang Tarai Bulan sebagai unsur air, Raja Sapanipas dan Raja Mise Andau merupakan unsur tanah. Selanjutnya kelima unsur tersebut menjadi tujuh unsur dasar terbentuknya unsur material manusia, seperti kuku, daging, darah, kulit, tulang, dan sumsum. Kemudian unsur inti dari semua itu adalah unsur tunggal Ranying Hatalla atau atma (Etika, 2005:171).

Pandangan tersebut mengungkapkan bahwa perwujudan manifestasi Tuhan dalam kosmologi suku DHK meliputi tiga konsep kemahakuasaan Tuhan, yaitu sebagai pencipta, pemelihara, dan

(11)

pelebur dalam aktivitasnya di dunia. Raja Bunu adalah manifestasi Tuhan sebagai pencipta, menciptakan segala makhluk, alam semesta, dan segala isinya. Raja Sangen merupakan manifestasi Tuhan sebagai pemelihara. Tuhanlah yang memelihara keberlangsungan hidup segala makhluk dan alam semesta ini. Raja Sangiang merupakan manifestasi Tuhan sebagai pelebur. Tuhan diyakini sebagai pengembali proses kehidupan sehingga dalam hidup didunia ada suatu proses hidup dan mati. Segala sesuatu yang mengalami kelahiran pada waktunya akan mengalami suatu proses kematian. Tuhanlah yang menjadikan segala yang ada dan mengembalikannya kepada asalnya.

Konseppengobatan suku DHK dalam kitab Panaturan termuat pada pasal 40 ayat 2 dan 19 sebagai berikut.

“Tinai eka ije inyuhu tuntang inampa awi Ranying Hatalla akan ewen ndue, iete bagare: batang danum rasau kaput, puna batang danum tatau nyahukan, tuntang aran ewen ndue into hete ije hatue bagare mangku amat sangen, ije bawi bagare nyai jaya nyangiang, ewen ndue mijen huang ije parung hayak mahaga garu bahari, santi mait, ulih mambelum tingang tapatusuk pimpinge nampaharing haramaung nampalang bunu”.

Artinya:

Tempat yang diberikan bagi mereka berdua itu disebut oleh Ranying Hatalla bernama batang danum rasau kaput, yaitu Batang Danum Tatau Nyahukan dan nama bagi mereka berdua disebut dan diberikan oleh Ranying Hatalla bernama Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang. Mereka berdua tinggal pada sebuah balai dan mereka berdua mempunyai kesaktian yang bisa menghidupkan mayat.

“Iyoh tingang esu rawei mangku amat sangen ewen ndue nyai jaya nyangiang, kue tingang tatum tuh dia ulih mawi jalanan kanih kate mikeh dia ulih ketun mahaga palin bambang penyang kue sintung ndue, basa amun saluh sawak bambang penyang kue sintung ndue, pea ketun mite kue tingang tatum tinai”.

Artinya:

Ya cucuku kata Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang, kami berdua kakek nenekmu, sudah tidak kuat lagi bepergian jauh dan yang paling utama adalah karena banyak sekali pantangan makanan yang tidak boleh kami berdua memakannya. Kalau pantangan dilanggar, kami berdua tidak akan kalian lihat lagi. Tuturan cerita pada Panaturan tersebut menunjukkan bahwa Ranying Hatalla mengubah wujudnya menjadi Manyamai Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan berubah menjadi Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang yang memiliki kesaktian untuk mengobati orang sakit (haban), bahkan dapat menghidupkan kembali orang yang telah meninggal dunia. Keduanya tinggal di tempat yang gelap karena terdapat banyak pohon rasau, yaitu tempatnya di Batang Danum Rasau Kaput. Tempat tersebut memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, tetapi tersembunyi. Untuk tetap dapat bertemu, maka patuhilah pantangan-pantangan makanan yang tidak boleh dimakan.Apabila seseorang dalam keadaan sakit (haban) dan meminta pertolongan pengobatan dengan menggunakan ritual pengobatan suku DHK, hendaknya mengikuti pantangan pantangan (pali), yang disebutkan oleh dukun agar penyakit yang diderita bisa

(12)

Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017 125 disembuhkan. Apabilamelanggar, maka kemanjuran obat tersebut akan punah atau hilang.

Dalam kepercayaan suku DHK apabila sedang mengalami gangguan kesehatan atau sakit (haban), berarti ada kesalahan terhadap makhluk-makhluk gaib yang dilakukan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Seseorang yang menderita sakit (haban), menurut pandangan masyarakat, orang tersebut telah melakukan suatu kesalahan dan menerima hukuman dari kesalahan itu. Masalah sehat sakit (barigashaban) dalam diri terkait dengan kondisi atau keadaan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Apabila seseorang sedang dalam keadaan tidak tenang, aman, dan tenteram dalam hatinya, maka orang tersebut sedang dalam keadaan sakit (haban) rohani atau mentalnya.

III. SIMPULAN

Berdasarkan analisis paparan yang disajikan tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, nilai kebhinekaan sistem kosmologi Hindu Kaharingan dalam pengobatan tradisioal suku DHK,terdapatdua elemen dasar yakni kosmologi lisan dan tulisan yang memiliki kesejajaran pandangan dengan inti ajaran pengobatan Hindu terhadap konsep sehat sakit. Kondisi sehat (barigas) tercapai apabila kondisi fisik, psikis, dan mental dalam keadaan seimbang. Sebaliknya, keadaan sakit (haban) terjadi apabila kondisi fisik, psikis, dan mental mengalami ketidakseimbangan. Kondisi sehat sakit (barigas haban) diyakini oleh masyarakat suku DHK terjadi karena faktor alam, manusia, dan roh-roh atau merupakan faktor naturalistik dan personalistik.

Kedua, selain sistem keyakinan terhadap sehat sakit (barigas haban), pada aspek yang lebih luas yaitu suku DHK memiliki bentuk perawatan penyakit yang tampak cukup beragam akan tetapi mengerucut pada dua tindakan yaitu pengobatan tradisional dan pengobatan beomedis (rumah sakit). Dalam pengobatan tradisional meliputi pengobatan melalui tabit-tabit (dukun). Pengobatan tradisional tersebut erat kaitannya dengan persepsi orang suku DHK terhadap etiologi penyakit yang bersifat personalistik.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyani, N. K. S., & Sudarsana, I. K. (2017). Tradisi Makincang-Kincung Pada Pura Batur Sari Dusun Munduk Tumpeng Di Desa Berangbang Kecamatan Negara Negara Kabupaten Jembrana (Perspektif Pendidikan Agama Hindu). Jurnal

Penelitian Agama Hindu, 1(2), 225-231.

Foster, 1986. Antropologi Kesehatan. Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi I dan II. Jakarta Universitas Indonesia Press.

---, 1985. Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan Kesehatan. Jakarta,

Kumbara, 2004. Fungsi dan Makna Ritual Melukat dalam Penyembuhan Gangguan Jiwa di Bali.

(13)

Nala, 2003. Jurnal Ilmu Agama Dan Kebudayaan, Ayur Weda Sebagai Ilmu Kedokteran, Denpasar, Program Pasca.

Riwut Nila, 2003. Menyelami Kekayaan Leluhur. Yogyakarta: Pusakalima.

Suka Yasa, 2003. Jurnal Ilmu Agama Dan Kebudayaan, Mitos Asal-Usul Ayurveda Dan Diturunkannya Kepada Umat Manusia, Program Pasca.

Sukiada, Kadek. 2016 ―Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan Hindu Kaharingan di Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah‖, Disertasi, Ilmu Agama Dan Kebudayaan UNHI Denpasar.

Referensi

Dokumen terkait