• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan zaman akan cenderung semakin meningkat sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien. Pasien dengan kedaruratan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dialami oleh siapa saja. Dapat berupa serangan penyakit mendadak, kecelakaan, atau bencana alam.

Time saving is life savingmerupakan dasar dari tindakan pada menit-menit pertama yang dapat menentukan hidup atau mati penderita. Basic Life Support merupakan tindakan-tindakan segera yang dilakukan untuk mencegah proses menuju kematian. Sirkulasi yag terhenti 3-5 menit dapat menyebabkan kerusakan otak permanen, pada korban yang pernah mengalamai hipoksemia waktunya menjadi lebih sempit sehingga butuh penanganan segera.8,9

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan dan merupakan salah satu kasus kedaruratan traumatologi yang memerlukan resusitasi dan penanganan yang segera. Secara anatomis tulang tengkorak memiliki manfaat untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain dilindungi oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa, dan juga terdapat cairan yang disebut cerebrospinal fuild (CSF). Trauma dapat berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan saraf pada otak.5,9

Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala (“tekanan gelombang” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Pasien dengan fraktur basis Cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Penampakan fraktur basis Cranii fossa anterior ditandai dengan adanya Rhinorrhea dan memar di

(2)

2 sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan diagnosis fraktur basis Cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap, analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan radiologik.

Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusitasi awal dilakukan secara menyeluruh.10

(3)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os sphenoidal, Os occipital dan Os temporal, pada regio temporal strukturnya lebih tipis, namun pada bagian ini dilindungi oleh otot-otot temporalis.6

Basis Craniii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa Cranii anterior, fossa Cranii media dan fossa Cranii posterior5

(4)

4 Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20% fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.5,6

Fossa crania anterior : Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di media. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang-lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.5

Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior5

Fossa Cranii media : Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan

(5)

5 a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.5

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n.occulomotorius dan n.abducens.

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis Cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.

Fossa Cranii posterior melindungi otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa Cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.

Pada fraktur fossa Cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.5,6

2.2 Mekanisme terjadinya fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote”

(6)

6 dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Huelke dkk pada tahun 1988 menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis Cranii merupakan dampak dari hasil benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

Gott dkk pada tahun 1983 melakukan studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, ia meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).

Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances dkk pada tahun 1981 juga mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan

(7)

7 bahwa lokasi fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN. Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.

Oleh karena penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya itu pada tahun 1994 Hopper melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa

1. Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii. 2. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung

diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.

Hopper menyimpulkan bahwa dari hasil penelitiannya hal itu mendukung hipotesis yang ada sebelumnya bahwa ruda paksa pada mandibula saja tidak dapat berdampak pada kejadian fraktur pada basis cranii. Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen

(8)

8 magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai. Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum pada basis cranii.7

2.3 Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.7,11

(9)

9 (A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

A B

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis. 7

Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I

(10)

10 fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.8,9

2.4 Manifestasi Klinis

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII. 10

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).13

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia. 10,13

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain

(11)

11 sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.8,12

2.5 Pemeriksaan penunjang

Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis Craniii antara lain: 1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, fungsi 2. Pemeriksaan radiologi

(12)

12 b. CT-scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis

frakturnya.

c. MRI (Magnetic Resonance Angiography) d. Pemeriksaan arteriografi

2.6 Penanganan Cedera Kepala Ringan (GCS 14-15)

Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan cederanya. Bisa terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui. Gambaran ini sering berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.

Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti. Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat dideteksi.4

Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit neurologic fokal yang berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi. Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan pada foto kepala:5,6

1. Fraktur linear atau depressed

2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi 3. Level udara cairan pada sinus

4. Pneumocephals 5. Fraktur fasial 6. Benda asing

(13)

13 Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :

- Pingsan > 15menit

- Post Traumatic Amnesia > 1Jam - Pada observasi penurunan kesadaran - Sakit Kepala >>

- Fraktur

- Otorhoe / Rinorhoe - Cedera penyerta, - CT-Scan Abnormal - Tidak ada keluarga

- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.

Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan.

Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal sbb :4,7

-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam - Mual dan muntah yang terus memburuk - Sakit Kepala yang terus memburuk - Kejang

- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese) - Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah - Pupil anisokor

(14)

14 2.7 Penanganan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-13)

Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen dan mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga koma.

(15)

15 Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan kardiopulmoner distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi. Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien. 4

(16)

16 2.8 Penanganan Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)

Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan menunda CT scan.4,9

A. Primary Survey dan Resusitasi

Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia ditambah hipotensi berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera tercapai.

Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100% sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri adalah pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat terjadi penurunan tingkat neurologic.

Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien hipotensi.

Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas. Penyebab yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan tension pneumothorax.10,11,14

B. Pemeriksaan Neurologis

Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang cepat dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada

(17)

17 pasien koma, respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan nail-bed pressure. 11,12

C. Secondary Survey

Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin.4

D. Prosedur Diagnostik

CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT scan awal.4

(18)

18 2.10 Penanganan Umum

Adapun prinsip penanganan umum secara keseluruhan dari trauma kepala sendiri, meliputi:2,5,15

Penatalaksanaan :

1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial

Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg

2. Mengontrol tekanan perfusi otak

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.

3. Mengontrol hematokrit

Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.

4. Obat obatan sedasi

Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.15

5. Kontrol suhu

Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat

(19)

19 sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala , hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.

6. Kontrol bangkitan

Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma , menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural , adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.

7. Kontrol cairan

NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik . 8. posisi kepala

8. Head Up 30o

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan meningkatkan venous return ke jantung.

9. Merujuk ke dokter bedah saraf Indikasi rujukan ke ahli bedah saraf:

• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal • Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam

• penurunan skor GCS terutama respon motoric • tanda-tanda neurologis fokal progresif

• kejang tanpa pemulihan penuh • cedera penetrasi

• kebocoran cairan serebrospinal

2.11 Penananganan Khusus

Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.

(20)

20 a) Fistula cairan serebrospinal:

Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.1

b) Rinore

Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu dapat diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi.1

Pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen.

(21)

21 Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.

Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.1

Tindakan Bedah Sinus

endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.1

c) Otore

Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,

(22)

22 kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.1,2

d) Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.3,4

2.11 Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.5

(23)

23 BAB III

KESIMPULAN

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang mengakibatykan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Terbagi atas 3 jenis: fraktur basis Cranii anterior yang mengenai lobus frontal yang ditandai dengan adanya raccoon eyes, fraktur basis Cranii media yang mengenai fossa Cranii media, dengan gejala khas berupa rinore dan otore serta battle sign, dan fraktuir basis Cranii posterior yang mengenai fossa Cranii posterior namun jarang memberikan gejala yang khas.

Penanganan fraktur basis Cranii ini meliputi konservatif dan operatif, dengan tujuan utama megurangi TIK, dan mengatasi fistula yang ada, serta profilaksis infeksi meningitis.Prognosis fraktur basis Cranii tergantung pada lokasi, apabila mengenai anterior dan media, umumnya prognosis baik, namun apabila mengenai daerah posterior umumnya prognosis buruk.

(24)

24 DAFTAR PUSTAKA

1. Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 2006

2. Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis, University of Missouri–Kansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.

3. Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki SPA. traumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11

4. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health.

Available at

http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=59402&p age=1#overview last update 15 Agust 2014

5. Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

6. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture. Biomechanical of basilar skull fracture. On ATSB Research and analysis report road safety research grant report 2007-03. Australia 2007

7. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture. On emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108clinicalmanifestations last update 15 Agust 2014

8. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193. 9. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,

(25)

25 penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.740-59

10. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC;2003.

11. Ishman SL, Friedland DR. Temporal bone fractures: traditional classification and clinical relevance. Laryngoscope. Oct 2004;114(10):1734-41.

12. Anderson PA, Montesano PX. Morphology and treatment of occipital condyle fractures. Spine (Phila Pa 1976). Jul 1988;13(7):731-6.

13. Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle fractures. Neurosurgery. Aug 1997;41(2):368-76; discussion 376-7.

14. Menku A, Koc RK, Tucer B, Durak AC, Akdemir H. Clivus fractures: clinical presentations and courses. Neurosurg Rev. Jul 2004;27(3):194-8. 15. Legros B, Fournier P, Chiaroni P, Ritz O, Fusciardi J. Basal fracture of the

skull and lower (IX, X, XI, XII) cranial nerves palsy: four case reports including two fractures of the occipital condyle--a literature review. J Trauma. Feb 2000;48(2):342-8.

Referensi

Dokumen terkait

Belum ada nilai mata uang yang disebutkan dengan benar meskipun dengan bantuan guru Keterampilan (kd 4.5) Menuliskan mata uang sesuai dengan harga benda. Semua nilai mata

Lain halnya dengan organisasi besar yang berbentuk perusahaan, biasanya mereka memanfaatkan semua elemen dari bauran promosi (promotion mix) untuk meningkatkan jumlah

informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya

Hasil uji beban statis untuk muka air tanah di atas dasar fondasi dengan berbagai variasi persentase campuran styrofoam pada lubang uji dengan media tanah lempung

1) Desa yang diusulkan adalah desa mitra hasil kesepakatan empat fakultas dan Kepala UPBJJ-UT terpilih. 2) Kegiatan PkM yang dilaksanakan sesuai dengan RENSTRA PkM UT. 3) Desa

Skripsi yang berjudul “Peran Ibu Dalam Pendidikan Ibadah (Studi Kasus Keluarga Petani Desa TInggiran Baru Kecamatan Mekarsari Kabupaten Barito Kuala).”, ditulis

Untuk penurunan Nilai IHD arus yang dihasilkan sudah mengalami penurunan pada fasa S, terlihat pada Gambar 18 menunjukan spektrum harmonisa setiap orde kelipatan

Luka bakar yang lebih dalam dari kulit seperti sub kutan dan tulang dikelompokkan juga pada tingkat III.. Luas